Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 35


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 35



"Engkau cerdas sekali, Lin Lin. Memang benar dugaanmu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa aku hari ini akan berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian, sebelum lewat sebulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!"

   Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian dan berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kembali ke ruangan tamu di mana Sin Liong dan Bi Cu menanti dengan tuan rumah pergi begitu lama, dan juga Lan Lan dan Lin Lin tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi jelas mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.

   "Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di sini,"

   Bisik Bi Cu.

   "Sstt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan kahwatir, andaikata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, namun jelas kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku."

   Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena diapun dapat melihat sendiri betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah. Mereka segera diam ketika mendengar langkah kaki, dan muncullah Kui Hok Boan dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah.

   "Maaf, karena ada keperluan lain, maka agak lama aku meninggalkan kalian di sini,"

   Katanya.

   "Paman, di manakah adik Lan dan Lin?"

   Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi derap kaki dua ekor kuda tadi.

   "Ah, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin,"

   Jawab Hok Boan yang memang sudah siap menghadapi pertanyaan itu, Sin Liong menjadi girang dan hilanglah kecurigaannya.

   "Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali itulah aku bertemu dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang ini,"

   Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu. Dara remaja ini segera menerima pedang, menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat baik.

   Tiba-tiba keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seolah-olah dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu pernah dipergunakan oleh ayah kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat mengusai guncangan batinnya, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya. Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada encinya agar berhenti.

   "Ada apakah?"

   Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.

   "Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak,"

   Kata si adik yang biasanya pendiam itu.

   "Aihh, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tidak pernah terjadi sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andaikata ada yang berani mengganggu kita, kitapun tidak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan menghajar siapa yang berani mengganggu kita!"

   Lan Lan menepuk pedang yang tergantung di pinggangnya. Lin Lin menggeleng kepala.

   "Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatirkan diri kita, enci, melainkan diri Liong-koko."

   Lan Lan membelalakkan mata dengan heran.

   "Eh, apa maksudmu, Lin Lin?"

   "Surat yang kau bawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan berada di dalam rumah kita. Sekarang ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan."

   "Kau mencurigai ayah?"

   "Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah tidak baik, akan tetapi akupun tahu betapa ayah tidak suka kepada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah. Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir, enci."

   Lan Lan juga menjadi bimbang. Diambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya.

   "Habis, bagaimana?"

   Tanyanya bingung.

   "Kita buka dan baca dulu isinya!"

   "Ahh...!"

   Lan Lan meragu.

   "Surat ini bersampul dan tertutup rapat..."

   "Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan perekat ini."

   Lin Lin mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan sudah merencanakan untuk membuka surat ayahnya itu dan membaca isinya.

   "Engkau benar, adikku. Biarpun perbuatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat."

   Mereka berdua lalu turun dari punggung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama pula mereka membaca isi surat dalam sampul.

   Kwan-ciangkun yang terhormat

   Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!

   Hormat saya.

   yang setia kepada negara,

   Kui Hok Boan

   Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika.

   "Celaka, kiranya dugaanmu benar, Lin-moi!"

   Seru Lan Lan dengan gemas.

   "Ayah telah mengkhianati mereka! Ah, sungguh celaka!"

   Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata,

   "Kita harus menggunakan akal, enci."

   "Bagalmana akalnya? Ah, betapa jahatnya ayah...!"

   "Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu terdorong oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena tidak sukanya kepada Liong-koko. Betapapun juga, kita harus menolong Liong-ko."

   "Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itupun bukan berarti menolong Liong-ko terbebas dari ancaman bahaya."

   "Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu harus kita sampaikan kepada alamatnya, akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau saja melanjutkan perjalanan ke kota raja untuk menyampaikan surat ini kepada Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu datang."

   "Bagus! Akan tetapi bagaimana kalau ayah curiga dan marah melihat engkau pulang sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?"

   "Jangan khawatir, hal itu dapat kuatur. Pula, setelah tiba di rumah, tentu malam telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri harap melakukan perjalanan lambat saja, makin lambat makin baik, enci Lan. Atau, engkau dapat menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa tidak enak malam-malam datang berkunjung ke rumah Kwan-ciangkun. Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat menyelamatkan diri."

   Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya.

   "Engkau hebat! Nah, kita berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing."

   "Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci,"

   Kata Lin Lin. Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lalu meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat akan tetapi Lin Lin membalap. Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biarpun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, namun perbuatan itu kejam dan jahat.

   Betapapun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah. Mengapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasatpenangkapan terhadap Sin Liong itu? Pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak? Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tak terasa lagi kedua mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat. Kenyataan ini membuat dia makin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya adalah seorang yang gagah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu, dan membuat hatinya makin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya.

   "Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku akan memenggal batang lehermu!"

   Teriaknya dan dia mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang.

   Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap ayahnya yang kejam terhadap Sin Liong. Malam itu Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah dikenalnya karena komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Sudah beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, dan sering pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka.Kwan-ciangkun sendiri yang menyambut kedatangannya dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat kerjanya.

   "Eh, nona Kui Lin..."

   "Aku Kui Lan, ciangkun."

   "Ah, ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum mampu membedakan antara kalian berdua."

   Komandan yang bertubuh tinggi besar itu tertawa.

   "Dengan siapa nona datang? Dan bagaimana kabar ayahmu?"

   "Aku datang sendirian saja, ciangkun. Dan aku disuruh oleh ayah untuk mengantarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun."

   "Ah, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona."

   "Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena banyak pekerjaan menanti di rumah."

   "Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barangkali membutuhkan balasan."

   Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, membaca surat itu. Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan dia memandang kepada Kui Lan dengan mata bersinar-sinar.

   "Ah, kiranya urusan yang amat penting sekali! Aku harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia berada di kota raja..."

   "Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja."

   "Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan kepada ayahmu bahwa aku telah menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!"

   Perwira itu kelihatan gugup dan tergesa-gesa. Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapayang dimaksudkan "dia"

   Oleh perwira itu, dia memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu,

   Kembali ke hotelnya dan tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya. Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pengawal istana. Dia bersahabat dengan she Kui ini adalah orang yang terkaya di dusunnya, dan selain itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang hartawan yang memiliki ilmu silat tinggi. Persahabatan antara mereka itu mendatangkan keuntungan timbal balik. Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia mendapatkan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat maupun ilmu surat, sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, bahkan dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu.

   Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa bangga mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal istana karena selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang "dalam"

   Apabila terjadi sesuatu atau apabila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang berkuasa. Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun mempercaya sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena menangkap pemberontak buronan itu, atau lebih tepat lagi, putera dari pemberontak terkenal Cia Bun How, berarti dia akan membuat jasa yang besar. Cepat dia berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu.

   Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong. Pemilik rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin. Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, segera berangkat melakukan pengejaran ke dusun kecil itu, dengan menunggang kuda. Orang-orang di sepanjang perjalanan memandang dengan takut-takut dan heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini.

   Tentu ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, setiap kali ada pasukan melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan. Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui? Seperti kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu. Selagi mereka bercakap-cakap, muncullah pelayan wanita yang membawa hidangan. Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk.

   "Ah, harap paman tidak usah repot-repot,"

   Kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.

   "Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe."

   Melihat dua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan berkata,

   "Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak keras."

   Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, kemudian dia mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu. Setelah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.

   "Kau suka minum arak?"

   Tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggeleng kepalanya.

   "Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak?"

   Kata Bi Cu tersenyum.

   "Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas memperlancar jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum."

   Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu di atas meja.

   "Aku sendiripun tidak begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar."

   Mereka makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam guci. Selagi makan minum, diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu yang menembus ke dalam. Biarpun matanya tidak dapat menembus daun pintu, namun pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sin-kangnya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu. Mula-mula dia mengira bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka, akan tetapi makin lama dia makin merasa curiga. Kalau pelayan, mengapa bersembunyi di balik pintu?

   Dan orang itu memiliki kepandaian tinggi, ketika mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan ketika kini bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Dan pernapasan ini cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang.Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Kiranya orang yang bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri! Orang ini masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya nampak kecewa.

   "Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?"

   Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.

   "Terima kasih, aku sudah makan cukup,"

   Kata Bi Cu sedangkan Sin Liong masih melanjutkan makannya. Kui Hok Boan duduk.

   "Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit? Dan ini... ah, kenapa arak dalam guci masih penuh? Apakah kalian tidak mau minum arak yang kusuguhkan?"

   "Terima kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak,"

   Jawab Sin Liong sambil meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.

   "Aahh, kalau terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tidak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan amat baik bagi kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan? Nona, engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!"

   Kui Hok Boan menuangkan secawan arak di dalam cawan depan dara remaja itu. Bi Cu merasa bingung, akan tetapi tentu saja sukar baginya untuk menolak. Menolak berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.

   "Aku tidak biasa minum arak, paman, kalau hanya secawan saja bolehlah,"

   Jawabnya dan dia lalu mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan sedikit demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itupun habis dan Kui Hok Boan tertawa gembira.

   "Secawan tadi adalah selamat datang, kini secawan arak penghormatanku kepada mendiang suhumu belum kauminum."

   Dia menuangkan lagi secawan. Bi Cu tersenyum.

   "Ah, paman terlalu mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum secawan lagi kalau paman berjanji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini tadi saja sudah membuat perut terasa panas."

   "Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe."

   Bi Cu menerima secawan arak itu dan minum lagi. Sin Liong memandang penuh perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega ketika dara remaja itu menghabiskan dua cawan tanpa ada terjadi sesuatu yang mencurigakan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu kini mulai menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.

   "Dan untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang amat menggembirakan ini, aku ingin menyampaikan selamat kepadamu dengan tiga cawan arak, harap kau suka menerimanya!"

   Kui Hok Boan lalu menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sin-kang Thi-khi-i-beng, dengan hawa yang amat kuat dari Thi-khi-i-beng dia dapat menekan dan menguasai hawa asing itu di dalam perutnya schingga hawa itu tidak menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri. Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia menutupi mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.

   "Ah, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah dipersiapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong, engkaupun agaknya perlu mengaso."

   Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu diapun pura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu. Sungguh tidak wajar kalau Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Kini dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya. Begitu tiba di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah kamar untuknya, Bi Cu terus lari masuk dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa.

   "Ah, kasihan, dia sudah amat lelah,"

   Katanya sambil menutupkan daun pintunya.

   "Kaupun tentu amat lelah, Sin Liong."

   Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu.

   "Aku mengaso juga, paman,"

   Katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi Cu. Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya.

   Setelah semua hawa asing itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum yang aneh. Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi? Melihat keadaan Bi Cu, sudah jelas tentu demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi-i-beng. Dia lalu menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, menempelkan telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan. Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu dan tahulah dia bahwa gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan diapun lalu duduk bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.

   Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak dapat menangkap kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu bahwa yang bicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah laki-laki yang masih muda. Akan tetapi, sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan terdengarlah bunyi langkah seorang diantara mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong terguncang dan dia makin bercuriga. Apakah artinya semua ini?

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Ada suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudian, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar! Sin Liong tetap diam saja, menanti sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan berkelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, diapun meloncat dan sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus!

   "Siapa kau...?"

   "Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!"

   Bisik orang itu yang menyeringai karena lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.

   "Eh, adik Lin...? Mengapa kau...?"

   "Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... akan datang pasukan dari kota raja untuk menangkap kalian...!"

   Suara itu terisak dan ditahannya.
(Lanjut ke Jilid 33)

   Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 33
"Hemm, dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami berada di sini?"

   Sin Liong berbisik masih memegang lengan adik tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.

   "...ayah..."

   Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya di dalam gelap remang-remang itu.

   "Dan kalian disuruh ke kota raja melaporkan kehadiran kami...?"

   Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya.

   "Kenapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?"

   Lin Lin menjadi tidak sabar atas sikap Sin Liong yang tidak cepat-cepat pergi melarikan diri itu.

   "Dengar, Liong-ko,"

   Bisiknya sambil mendekat.

   "Kami disuruh antar surat kepada Kwan-ciangkun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu pergi sebelum terlambat!"

   "Bi Cu... ah, kamipun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat bius..."

   "Ahhh... aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku..."

   Lin Lin tidak melanjutkan kata-katanya. Sin Liong merangkulnya dan mencium pipinya.

   "Lin Lin, kalian baik sekali, aku cinta kepadamu dan kepada Lan-moi..."

   Dia melepaskan rangkulannya.

   "Aku akan pergi sekarang juga, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya."

   Dia lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.

   "Liong-ko...!"

   Lin Lin berbisik. Sin Liong menoleh.

   "Kau... harap kau maafkan ayahku...!"

   "Hemmm...!"

   Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.

   "Demi aku, demi enci Lan...!"

   Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang.

   "Baiklah, Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu malam ini."

   "Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk melakukan penjagaan. Biar kupancing mereka agar melepaskan perhatian dari kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap, nah, kau boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang."

   "Baik, Lin-moi, dan terima kasih."

   "Tapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu? Bagaimana kalau engkau dikejar-kejar dan tertawan?"

   Suara Lin Lin terdengar penuh kegelisahan.

   "Serahkan saja kepadaku...!"

   Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin Lin. Dara itu lalu menyelinap melalui jalan memutar sedangkan Sin Liong berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, maka dia mendekam di tempat gelap, mendengarkan. Tak lama kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia tahu tentu seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.

   "Heiii, Lin-moi... engkau sudah pulang? Mana Lan-moi?"

   "Aku... aku pulang lebih dulu, perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan seorang diri..."

   Terdengar suara Lin Lin menjawab.

   "Mengapa engkau belum tidur, Sin-ko? Mana ayah?"

   "Ayah sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga..."

   "Lin-moi, kenapa engkau pulang malam-malam? Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota raja?"

   Terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bahwa laki-laki ini tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin. Betapa inginnya untuk keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan keadaan dirinya yang terancam,

   Apalagi Bi Cu yang mungkin masih tidur nyenyak karena obat bius, dia menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap, cepat dia menyelinap menghampiri jendela kamar Bi Cu. Mudah saja baginya membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara dan dia cepat meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang gelap seperti kamarnya tadi, namun matanya yang tajam dapat melihat Bi Cu rebah miring di atas pembaringan dengan pakaian masih lengkap seperti ketika makan minum tadi. Dia menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak. Dia mengguncangnya beberapa kali, namun Bi Cu seperti dalam keadaan pingsan saja, sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu memanggul tubuh Bi Cu di pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke luar dari dalam kamar melalui jendela!

   Sin Liong mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua orang muda dan para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan, kemudian dengan kepandaiannya yang tinggi dia meloncat ke atas genteng tanpa menimbulkan sedikitpun suara, dan berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu yang masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu. Karena dia tahu bahwa pasukan kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia melarikan diri menuju ke barat di mana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus pergi bersama Bi Cu ke utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melalui kota raja, maka dia mengambil jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja di mana terdapat banyak pegunungan liar, kemudian baru ke utara. Biarpun Sin Liong telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia dapat mempergunakan gin-kangnya untuk berlari cepat sekali,

   Namun malam itu gelap hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apalagi dia harus memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat. Betapapun juga, karena pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorangpun dalam rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah terbang dari sarangnya! Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya dan segera dia pergi menuju ke kamar dua orang "tamu"

   Itu. Hatinya lega melihat betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula menjaga di situ!

   "Eh, engkau sudah pulang? Mana Lan Lan?"

   "Ayah, aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan terpaksa aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan perjalanan ke kota raja."

   "Hemm, dan sekarang bagaimana sakit perutmu?"

   Tanya ayah ini sambil memandang wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena semalam suntuk Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah.

   "Mengapa engkau tidak tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit?"

   "Sekarang sudah sembuh, ayah dan aku memang ikut berjaga bersama Bu-ko dan Sin-ko."

   Ayah itu termenung dan mengerutkan alisnya.

   "Kenapa Lan Lan belum juga pulang? Kalau dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang bersama pasukan..."

   "Mungkin enci Lan lelah dan bermalam di kota raja, ayah,"

   Kata Lin Lin dan Hok Boan mengangguk. Akan tetapi tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya pengiriman pasukan dari kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di sini. Kalau pasukan sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia merasa lega. Makin diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia. Tentu saja dia tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua orang muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapapun juga dia merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka makin cepat perkara ini selesai, makin baiklah. Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri kamar Sin Liong lalu mengetuk daun pintu kamar itu.

   "Liong-ji...! Sin Liong...! Tuk-tuk-tukk! Sin Liong...!"

   Tidak ada jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil menyeringai, lalu berkata kepada para penjaga itu,

   "Dia masih tidur nyenyak!"

   Kembali dia mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu, akan tetapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik kamar yang tertutup pintunya itu.

   "Biarkan mereka tidur, kalian jaga di sini jangan lengah sampai pasukan datang,"

   Kata Kui Hok Boan dengan hati lega.

   "Lin Lin, kau agak pucat, hayo kau mengaso ke kamarmu sana. Atau sebaiknya kau makan pagi dulu, baru mengaso."

   "Aku ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti kalau sudah lelah, aku akan pergi mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan."

   Kui Hok Boan mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapapun juga, dua orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau perlu, sebelum pasukan datang, dan mereka itu akan melarikan diri, dia dapat menggunakan kekerasan untuk menahan atau menangkap mereka. Sungguhpun kalau dapat, jangan dia yang melakukan penangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar jangan terlalu kentara dia memusuhi mereka itu. Matahari telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul dengan muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat menyambut kedatangan puterinya ini dan langsung bertanya,

   "Bagaimana?"

   Lin Lin juga sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri berdampingan di depan ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan dengan sinar mata mengandung kemarahan.

   "Ayah sungguh keterlaluan!"

   Tiba-tiba Lan Lan berkata.

   "Bagaimana ayah sampai dapat bertindak sekejam itu?"

   Kata pula Lin Lin yang kini berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi ketika pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah mereka.

   "Eh, eh, mengapa kalian ini? Apa maksud kalian?"

   Kui Hok Boan membentak, pura-pura tidak mengerti.

   "Ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa maksud ayah?"

   Kata Lin Lin.

   "Ahh... bukankah kalian sudah kuberi tahu? Agar Kwan-ciangkun tidak datang ke sini dan..."

   "Ayah tidak perlu membohongi kami!"

   Teriak Lan Lan marah.

   "Ayah melaporkan kehadiran Liong-koko dan menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke sini untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!"

   Kui Hok Boan menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk.

   "Ah, kiranya Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan? Itu lebih baik lagi. Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi pemberontak-pemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga memberontak merupakan perbuatan yang amat berdosa. Kita sebagai rakyat yang baik harus menentang pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong dan Bi Cu adalah keturunan dan murid pemberontak dan menjadi buronan pemerintah, sudah seharusnya kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap."

   "Ayah sungguh kejam! Betapapun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara seibu, sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!"

   Lan Lan berseru.

   "Kami tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!"

   Lin Lin menyambung.

   "Lan dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian tidak usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku tidak memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan, dan engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini..."

   "Kami tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!"

   Potong Lan Lan dengan berani.

   "Dan aku telah membebaskan Liong-ko!"

   Sambung Lin Lin. Mendengar ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua orang puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke tempat kedua orang tamu itu tidur. Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut melihat Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu, lebih terkejut lagi melihat Hok Bean mendobrak pintu kamar Sin Liong.

   "Krakkkk!"

   Pintu itu jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok Boan berlari ke kamar Bi Cu, dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata kamar itupun telah kosong.

   "Keparat...!"

   Kui Hok Bean menyumpah-nyumpah, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya.

   "Hayo kalian katakan, apa artinya semua ini!"

   Bentaknya marah. Akan tetapi dua orang dara itu menentang pandang, mata ayah mereka dengan berani, kemudian Lan Lan berkata lantang,

   "Kami tidak ingin melihat ayah melakukan perbuatan yang khianat dan kejam, maka kami berdua lalu berpisah, membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku menyampaikan surat ke Kwan-ciangun..."

   "Dan aku kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat pergi melarikan enci Bi Cu!"

   Sambung Lin Lin. Kemarahan Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya itu.

   "Keparat! Kalian anak-anak durhaka!"

   Bentaknya dan tangannya bergerak cepat menampar ke depan dua kali.

   "Plak! Plak!"

   Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak oleh tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.

   "Ayah boleh membunuh kami!"

   Teriak Lan Lan sambil bangun kembali.

   "Lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat kejam!"

   Teriak Pula Lin Lin.

   "Jahanam, kalian berani melawan ayah sendiri? Kalian sudah bosan hidup?"

   Kemarahan Kui Hok Boan membuat dia mata gelap. Dia sudah melangkah maju lagi, siap untuk menghajar.Akan tetapi pada saat itu, dua orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut di depan Hok Boan. Yang seorang adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan berpakaian rapi, sedangkan pemuda yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah ramah dan bertubuh gendut.

   "Harap paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia menerima hukuman mewakili mereka..."

   Kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan gerak-gerik dan suara yang lucu sungguhpun dia tidak bermaksud untuk melucu.

   "Saya mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir, sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari jauh!"

   Kwan Siong Bu penuh semangat. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan disusul kata-kata nyaring,

   "Wah, sungguh mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan gagah perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!"

   Semua orang terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika mereka semua melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ, padahal mereka tadi tidak mendengar suara apapun. Dari mana datangnya dua orang ini, dan bagaimana me-reka bisa masuk tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Yang seorang adalah pemuda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat indah dan mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas. Pemuda inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikapnya amat berwibawa dan angkuh. Orang ke dua adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita, pakaiannya mewah, kedua lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang tergantung di pinggang kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu salib.

   Kui Hok Boan terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio, sedangkan pemuda tampan gagah itu adalah Pangeran Ceng Han Houw! Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mungkin mereka dapat melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu? Maka, dengan kemarahan yang meluap-luap, dua orang dara kembar ini mengeluarkan teriakan nyaring dan seperti menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah melencat ke depan sambil mencabut pedang mereka dan serentak mereka menyerang Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan ganas karena terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.

   "Lan dan Lin, jangan...!"

   Kui Hok Boan berseru kaget, akan tetapi dua orang anak perempuan itu tidak memperdulikan seruan ayah mereka. Bahkan mereka makin gemas mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa dahulupun ayah mereka ini sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk membalas kematian ibu kandung mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus biarpun serangan pertama mereka tadi dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh Kim Hong Liu-nio.

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Iblis betina keji!"

   Bentak Lan Lan.

   "Kau harus menebus kematian ibu!"

   Bentak Lin Lin.

   "Ha-ha, bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!"

   Ceng Han Houw tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang sucinya.

   "Hemm, pergilah kalian!"

   Bentak Kim Hong Liu-nio, kedua tangannya bergerak cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis dua kali ke arah pedang dan dua batang pedang itu terlepas dari pegangan pemiliknya dan terpental jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan kanan membuat dua orang dara kembar itu terpelanting ke kanan kiri!

   "Berani kau merobohkan mereka!"

   Bentak Kwan Siong Bu marah.

   "Engkau wanita kejam!"

   Bentak pula Tee Beng Sin. Dua orang pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin. Siong Bu telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok besar di tangannya.

   "Siong Bu! Beng Sin! Mundur kalian!"

   Bentak Kui Hok Boan dan dua orang pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur, tidak jadi melanjutkan serangan mereka.Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit lagi dan biarpun mereka sudah tidak memegang senjata, mereka masih nekat, maju menerjang dan menyerang dengan tangan kosong.

   "Lan dan Lin, jangan kurang ajar kalian!"

   Kembali Kui Hok Boan membentak, akan tetapi dua orang dara itu sama sekali tidak memperdulikannya, melainkan terus menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.

   "Heiiitttt!!"

   Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya itu.

   "Hiaaaaattt!"

   Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat tenaga.

   "Hemm, menjemukan kalian!"

   Bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki miringkan tubuhnya.

   "Plak! Plak!"

   Dua kali tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak kedua orang lawan itu. Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak mampu bergerak lagi.

   "Kalian ini bocah-bocah lancang berani menyerangku? Nah, bersiaplah untuk mati!"

   "Kouwnio... harap ampunkan mereka...!"

   Kui Hok Boan meratap! Laki-laki ini memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan dia tidak akan mampu menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan hanya meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.Kim Hong Liu-nio menoleh dan ter-senyum mengejek,

   "Orang she Kui, engkau hendak membela mereka? Majulah!"

   "Tidak... tidak... harap kouwnio ampunkan kami..."

   Akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kembar itu tidak memperdulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke atas dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.

   "Plakk!"

   Sebuah tangan menangkis tamparannya.

   "Aih, suci, jangan bunuh mereka! Mereka ini menarik sekali, sayang kalau dibunuh. Wah, sungguh manis dan serupa benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana adik, dan andaikata diberitahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku akan minta kepada Sin Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku."

   Aneh sekali, Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh kedua orang dara kembar itu setelah dicegah oleh sutenya. Dan pada saat itu terdengar derap kaki banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu.

   "Hee, Kui-sicu, mana buronan-buronan itu?"

   Begitu memasuki ruangan, Kwan-ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan.

   "Ah, kiranya paduka sudah mendahului ke sini, pangeran?"

   Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw, kemudian memberi hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata.

   "Dengan adanya lihiap dan pangeran di sini sebetulnya tidak perlu mengerahkan pasukan menangkap dua orang buronan pemberontak kecil, ha-ha-ha!"

   Melihat munculnya sahabatnya ini, legalah hati Kui Hok Boan.

   "Wah, celaka, Kwan-ciangkun, kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri dan melarikan diri semalam!"

   "Ahhh...?"

   Kwan-ciangkun berseru kaget.

   "Ha-ha, berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!"

   Kata Han Houw.

   "Orang she Kui, ke mana larinya mereka?"

   Pertanyaan yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat Kui Hok Boan gelagapan.

   "Mereka... saya kernarin bicara tentang Lembah Naga, sudah pasti mereka itu menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa mereka pasti melarikan diri ke utara."

   "Kalau lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!"

   Bantah Kwan-ciangkun.

   "Hemm, mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Kenapa engkau begitu bodoh? Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, ke mana kiranya dua orang buronan itu lari, Kwan-ciangkun?"

   Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu. Perwira she Kwan itu kelihatan bingung, mukanya berubah merah dan sikapnya gugup.

   "Menurut penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan tetapi kalau ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... eh, mereka itu tidak lari ke utara, pangeran."

   "Ha-ha-ha, jawabanmu itu bodoh sekali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bahwa Sin Liong amat cerdik. Coba bayangkan seandainya engkau menjadi dia. Engkau tahu bahwa dari utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh adik tiri yang manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana yang akan kauambil? Melarikan diri ke utara sudah pasti tidak mungkin melalui selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena engkau tahu bahwa pasukan tentu akan melakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kauambil? melalui timur berarti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan melalui barat berarti melalui daerah pegupungan dan hutan-hutan."

   Wajah Kwan-ciangkun berseri.

   "Ah, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke barat!"

   Pangeran Ceng Han Houw juga tertawa mengejek.

   "Kalau begitu, mengapa engkau tidak lekas mengejarnya?"

   Perwira itu memberi hormat.

   "Terima kasih, pangeran!"

   Lalu dia mengeluarkan aba-aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke arah barat. Kim Hong Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu berkata dengan suara dingin,

   "Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan dirimu, dulu dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya."

   "Akan tetapi, kouwnio, saya telah berusaha menghubungi Kwan-ciangkun untuk menangkap mereka..."

   Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.

   "Dan siapa yang memberi tahu mereka sehingga lolos? Dua orang puterimu, bukan? Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang kepada mereka, maka engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!"

   Wajah Kui Hok Boan makin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!"

   Orang she Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-sia belaka, kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apalagi setelah melihat betapa Kwan-ciangkun tadi amat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran ini. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan dua orang itu!

   "Ampunkan hamba... ampunkan hamba..."

   Ratapnya. Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang tadi terlempar, melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan.

   "Jangan membunuh ayah kami!"

   Bentak Lan Lan.

   "Kalau kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!"

   Bentak Lin Lin. Dua orang dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan, wajah mereka yang cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian untuk melindungi ayah mereka.Melihat betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat sebaliknya dua orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah merah. Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji.

   "Ha-ha, sungguh mengherankan sekali seekor ular tanah yang merayap dapat mempunyai dua orang anak seperti sepasang naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, betapa cantiknya. Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"

   Sambil tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara kembar itu, memandang mereka penuh kagum.

   "Nona berdua sungguh manis dan gagah sekali, benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian?" "Akan kami bela sampai mati!"

   Jawab Lan Lan tegas sambil meniandang pangeran itu dengan mata bersinar penuh ketekadan.

   "Hemm, kalian hebat! Daripada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian ikut bersamaku menjadi kekasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian?"

   "Tidak sudi!"

   Bentak Lin Lin marah.

   "Lebih baik kami mati!"

   Teriak pula Lan Lan. Han Houw menoleh kepada sucinya yang memandang dengan wajah dingin saja.

   "Lihat, suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, bagaikan bunga belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!"

   Kemudian pangeran ini kembali menghadapi Lan Lan dan Lin Lin.

   "Engkau belum tahu aku siapa dan biarlah kita saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh ayah kalian, kalian boleh membelanya!"

   Dengan tertawanya yang memikat Han Houw lalu menggertak hendak memuKui Kui Hok Boan.

   Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin cepat menerjangnya dan menyerang dengan pedang mereka, bukan hanya untuk mencegah pangeran itu mengganggu ayah mereka melainkan juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu. Akan tetapi, dengan amat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang pedang itu sambil tertawa-tawa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah dan mereka sudah nekat untuk mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini sudah merasa sakit bukan main, bukan hanya sakit karena melihat penghinaan-penghinaan dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka anggap amat pengecut dan memalukan itu.

   Melihat ayahnya berlutut dan meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan rasa jijik dan malu, maka mereka nekat maju menentang dua orang itu biarpun mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu, memiliki kepandaian yang amat lihai. Kini, melihat pangeran itu bermaksud kurang ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerangnya dengan nekat dan mati-matian, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat hebat pula! Betapapun mereka menyerang dengan ganasnya, tidak pernah ujung pedang mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncatan ke sana-sini sambil tersenyum girang seperti seekor harimau mempermainkan dua ekor kelinci sebelum diterkamnya!

   "Ha-ha-ha, cukuplah, kalian benar-benar mempunyai semangat berkobar-kobar, kelak akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!"

   Kata pangeran itu. Akan tetapi ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati sepasang dara kembar itu, dan sambil berseru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada pangeran itu dengan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba dua tangan pangeran itu bergerak mendahului.

   "Tuk! Tukk!"

   Jari tangan kanan kiri telah berhasil menotok pundak kiri dua orang dara itu dan di lain saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga Lan Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi. Ketika mereka hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka sudah lumpuh tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lalu melangkah maju dan mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan dan Lin Lin hanya mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pipi mereka kena dicium!

   "Lepaskan mereka!"

   Siong Bu meloncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.

   "Siong Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!"

   Bentak Kui Hok Boan yang masih berlutut dan dua orang muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak jadi bergerak, mundur kembali. Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak kanan Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan tubuh lemas!

   "Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan engkau, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan menyerahkan dua orang puterimu ini kepadaku. Antarkan saja ke istana, cari aku, Pangeran Ceng Han Houw. Mengertikah engkau?"

   Kui Hok Boan yang masih berlutut itu mengangguk-angguk.

   "Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!"

   Dan memang orang she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri pangeran, tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!

   

Petualang Asmara Eps 44 Petualang Asmara Eps 32 Dewi Maut Eps 22

Cari Blog Ini