Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 38


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 38



"Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut,"

   Jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa gadis ini memang tidak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa.

   "Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi."

   Mereka makan minum dan seperti biasa, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini, apalagi karena hatinya memang amat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik. Secara memutar dan tidak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini menyatakan betapa dia amat dikasihi oleh Sri Baginda, dipercaya besar sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.

   "Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan Kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku,"

   Katanya sambil tersenyum dan menggerakkan pundak seolah-olah dia "terpaksa"

   Oleh keadaan itu.

   "Akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal aku sejak kecil paling suka akan kegagahan!"

   "Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap,"

   Kata Tong Siok, bukan untuk menjilat melainkan berkata dengan sejujurnya karena diapun sudah tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat lihai. Mendengar ini, makin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, manis budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong,

   Dapat menguasai orang-orang kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah memiliki kepandaian yang tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang! Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandang mata pangeran itu, dan beberapa kali dia merasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu penuh arti ketika bertemu dengan pandang matanya. Juga sang pangeran merasa betapa gadis itu tidak mengelak lagi kini, bahkan berusaha untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si dan berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang teratur seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi.

   "Lie-siocia, sudah semenjak jaman dahulu para pendekar selalu mengutamakan perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatihnya semenjak kecil. Kini, biarpun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan kepadaku untuk mengenal ilmu silatmu, nona!"

   Ini merupakan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan. Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat membalas penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.

   "Ah, mana aku berani, pangeran? Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pangeran tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang begitu tinggi, apa sukarnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan adalah permainan berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak bermata akan mendatangkan malapetaka."

   Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum,

   "Nona, jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga di setiap ujung jari nona seakan-akan telah bermata, mana mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri? Marilah, harap nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona."

   "Kamipun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi dan agar pertemuan ini makin menggembirakan,"

   Kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inipun ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja. Karena memang pada dasarnya Ciauw Si ingin menguji kepandaian silat dari pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang, kecuali Sin Liong, membujuknya, dia lalu berkata,

   "Baiklah, pangeran, akan tetapi kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan jangan menurunkan tangan besi."

   "Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona."

   Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh perhatian, sedangkan Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah mengenal betul watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak senang, melanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan adu ilmu itu.

   "Mulailah, pangeran,"

   Ciauw Si berkata setelah berhadapan dengan pangeran itu, memasang kuda-kuda dengan gagahnya dan tersenyum manis, matanya menyambarkan kerling maut yang membuat jantung Han Houw makin terguncang. Sungguh mengherankan memang kekuasaan cinta asmara. Sekali Ciauw Si terpikat, secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya, terbawa oleh naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria me-ngeluarkan kata-kata yang sifatnya menggoda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan kepadanya. Kini, dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan lawannya sambil tersenyum manis!

   "Ah, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu, maafkan,"

   Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sin-kangnya yang kuat. Memang pangeran ini ingin sekali menguji sendiri kepandaian dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.

   "Hiaattt...!"

   Dia menyusulkan serangan sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, amat cepat dan angin pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu terkejut bukan main karena serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.

   "Haaaiiitttt...!"

   Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan amat mudahnya, seolah-olah serangan yang amat cepat dan bertenaga itu bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum. Akan tetapi pada saat itu, Sin Liong tertegun di atas kursinya.

   Dia mengenal ilmu sliat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek-sin-kun! Tidak salah lagi! Thai-kek-sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu. Mudah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek-sin-kun dari tangan pertama! Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya? Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan kini diapun mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian. Diam-diam Ceng Han Houw juga girang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang tinggi sekali! Makin hebatlah dia melancarkan serangannya. Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu!

   Bahkan ketika pangeran itu sengaja mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawan, dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa tenaga sin-kang pula! Makin kagumlah hati tertarik pula dia. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis pilihan! Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biarpun dia mengenal ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki pangeran itu amat hebat, dan tenaga sin-kangnya juga amat kuat! Kiranya pangeran ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya berputaran seperti gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!

   "Ehhh...!"

   Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan terpaksa dia main mundur dan bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw tidak dapat mengandalkan kelincahan tubuh mengelak, melainkan menjaga diri dengan tangkisan-tangkisan cepat. Kembali Sin Liong menahan napas. Itulah In-keng-hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak salah lagi! Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw terdesak dan pangeran ini cepat menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-po dan barulah dia berhasil menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.

   "Hebat...!"

   Serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus luar biasa itu dan tiba-tiba Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua tangannya pula.

   "Plakk!"

   Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan untuk beberapa detik lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan dan dia hampir tidak dapat menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya sehingga kekuatan mereka berimbang. Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada getaran-getaran halus menjalar melalui kedua telapak tangan mereka yang saling melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung dan membuat pipi mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang seperti tidak mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru,

   "Aku mengaku kalah..."

   Ceng Han Houw tertawa.

   "Ha-ha-ha, sungguh nona terlalu merendah! Selama hidupku belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw bertemu dengan seorang yang demikian lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!"

   "Pangeran terlalu memuji..."

   Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi hatinya hanya dia yang tahu, girang dan bangga bukan main! Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan tetapi kini diapun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini.

   Dia teringat akan cucu perempuan yang meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inilah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah kandungnya? Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung, melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya. Sayang bahwa dia dulu tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali lupa akan nama cucu kakeknya atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya? Akan tetapi, karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-ling-pai, maka diapun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan gadis ini dan melindunginya dari marabahaya!

   "Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja? Apakah engkau tidak kagum melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?"

   Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona cantik itu memandang kepadanya.

   "Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkatku sendiri!"

   Kata pula sang pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si. Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang tampan dan pendiam itu, dan sama sekali tidak memperhatikannya. Akan tetapi sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini memiliki kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki kepandaian hebat! Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan kepada Sin Liong, kemudian dia berkata,

   "Ah, pengertianku dalam ilmu silat masih amat dangkal..."

   Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan kepada nona ini. Seorang nona yang gagah perkasa, namun di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu terkandung keramahan dan agaknya nona ini telah terdidik baik untuk merendahkan diri, maka dia cepat bangkit berdiri dan menjura.

   "Ilmu silat Lie-lihiap sungguh amat tinggi sekali! Sungph aku merasa kagum."

   Ciauw Si balas menjura dah mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw, akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk tinggal selama beberapa hari di situ. Selain fihak tuan rumah amat ramah dan baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang amat kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw. Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu jangan sampai diganggu siapapun juga.

   "Nona Lie Ciauw Si, aku tidak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku jatuh cinta kepadamu, nona."

   Hening sekali dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini.

   Mereka duduk berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw. Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya! Mendengar ucapan itu, Ciauw Si mengangkat muka memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia kini telah dapat menguasai rasa malu dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu, dan mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.

   "Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali bertemu, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu, dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup bersamamu sebagai suami isteri."

   Biarpun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw telah memiliki banyak pengalaman dengan wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walaupun usianya sudah dua puluh empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!

   "Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kauucapkan itu?"

   Akhirnya terdengar Ciauw Si bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu. Pangeran itu memegang tangan Ciauw Si dan kembali dari pertemuan antara kedua tangan itu terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.

   "Ciauw Si, apakah engkau tidak percaya kepadaku? Pandanglah mataku dan engkau tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru sekali ini aku jatuh cinta, sungguhpun telah banyak wanita diberikan kepadaku sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini, Ciauw Si. Aku cinta padamu, perlukah aku bersumpah?"

   "Mungkinkah itu? Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali, sedangkan aku... aku hanyalah seorang gadis..."

   "Yang cantik manis, yang gagah perkasa, yang budiman, dan aku percaya dan yakin bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!"

   Sambung pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat itu. Namun Ciauw Si dengan lembut menarik tangannya dari genggaman sang pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.

   "Tapi, pangeran... hendaknya kau ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih... tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang telah dua puluh empat tahun dan engkau tentu paling banyak dua puluh... dan..."

   Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat telinga Ciauw Si.

   "Ciauw Si... mengapa engkau meragukan semua itu? Cinta kasih tidak mengenal usia, tidak mengenal kedudukan, bukan? Aku cinta padamu, berikut keadaanmu, kedudukanmu, usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah, masih ragukah engkau, Ciauw Si? Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!"

   "Tapi... tapi..."

   Tiba-tiba Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya halus ke belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang.

   "Dengar baik-baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu kalau engkau tidak dapat menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku yakin bahwa engkaupun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si?"

   Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan bibirnya berbisik lirih,

   "Aku... aku cinta padamu, pangeran..."

   Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis itu dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh hatinya! Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu,

   Dia menjadi terharu dan diapun balas merangkul dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang timbul karena ciuman mesra itu. Seperti dalam keadaan mimpi atau setengah sadar, Ciauw Si menyerah saja dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia tenggelam ke dalam kemesraan yang membuatnya seperti mabuk. Setelah gelombang kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas dada pangeran itu dalam keadaan lemas seperti kehabisan tenaga. Dia mendengarkan suara jantung pangeran itu berdentaman keras di dekat te-linganya dan dia merasa berbahagia sekali, perasaan yang selama hidupnya baru sekarang dirasakannya. Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu amat mesra, membuatnya memejamkan mata dengan hati merasa tenteram dan damai.

   "Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si? Lenyapkah sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwaku, dan bahwa engkaupun mencintaku?"

   "... aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tidak ragu-ragu lagi, pangeran..."

   Bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.

   "Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku kekamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si..."

   Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik tubuhnya dari pelukan pangeran itu, meloncat ke belakang dan memandang dengan mata berkilat kepada pangeran itu.

   "Kau... kau..."

   Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri kekasihnya ini.

   "Ciauw Si, mengapa kau? Kau kelihatan marah, kenapa?"

   "Pangeran, seperti itukah cintamu?"

   "Eh...? Kenapa? Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?"

   Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin,

   "Hemm, engkau masih bertanya lagi? Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu? Begitu kotor dan rendah cintamu?"

   Kini pangeran itu yang terbelalak.

   "Ahhh? Bagaimana ini? Apa salahnya bagi kita yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita di dalam kamar? Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si? Sungguh aku tidak mengerti..."

   "Hemm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kau kira aku semacam perempuan yang mudah saja kaurayu kemudian kaubujuk untuk menyerahkan kehormatanku? Aku bukan perempuan murah seperti itu!"

   "Eh, eh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian? Aku cinta padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud tidak baik. Apa salahnya kalau kita mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?"

   Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita?

   "Pangeran, seorang wanita yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya kepada pria manapun, kecuali kepada suaminya yang telah resmi menjadi suaminya!"

   "Ahhh...!"

   Kini wajah pangeran itu berseri.

   "Ah, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau benar, sungguh aku sampai lupa diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka akupun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda dengan mereka! Tentu saja! Dan aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum kita menjadi pengantin! Kaumaafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk menghinamu, sungguh mati, bukan..."

   Perlahan-lahan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan kemarahannya mereda, akhirnya wanita itu lalu duduk lagi di samping pangeran dan memegang tangannya.

   "Kaulah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi terkejut sekali maka aku menjadi marah ah, engkau memang mengejutkan aku dengan ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja... percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku bersedia menyerahkan segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran."

   Sang pangeran merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta padanya, bukan sekedar hendak mempermainkannya! Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Pemuda inipun selalu mendengarkan percakapan mereka. Dia mengalami ketegangan tadi, namum akhirnya dia merasa lega dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Diapun tidak mengintai lebih jauh karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah dia dari tempat sembunyinya.

   "Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga amat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ah, sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini namun aku belum pernah mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak."

   Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang amat dirindukan kakeknya.

   Dapat dibayangkan betapa kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan tetapi hatinya terasa lega karena betapapun juga, secara pribadi dia sama sekali tidak mempunyai permusuhan apapun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para pendekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, gurunya dan kakak seperguruannya, akan tetapi dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Apalagi, gadis ini biarpun masih keluarga dari pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka tenanglah hatinya, bahkan dia merangkul dan berkata dengan suara penuh kebanggaan.

   "Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas saja ilmu kepandaianmu demikian hebat, kekasihku,"

   Dan dia mencium Ciauw Si yang merasa girang akan pujian itu.

   Biarpun melakukan hubungan kelamin merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si sebelum dia menikah, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini. Sampai senja terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka, barulah mereka bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka meninggalkan taman itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.

   "Aku telah terlalu lama meninggalkan Cin-ling-pai,"

   Jawab Ciauw Si.

   "Dari sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran."

   Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!

   "Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku mencarimu dan meminangmu dari ibumu. Sementara itu, kalau engkau membutuhkan bantuanku, atau kalau hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai tunanganku atau sahabatkut dan memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung."

   Setelah berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang indah, kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!

   Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan mereka lalu memasuki ruangan di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang terjadi antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan. Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat lagi, mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.

   Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke lereng itu. Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu telah tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak. Kun Liong yang mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, lalu menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dulu melarikan diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.

   "Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan ribuan orang banyaknya?"

   Bantah Kun Liong.

   "Tidak, kalian berdua harus pergi lebih dulu, apalagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk menggunakan tenaga melakukan pertempuran."

   "Apa yang dikatakan oleh Liong-ko sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu lagi,"

   Sambung Bun Houw.

   "Apalagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali tidak pernah terkandung dalam hati kita untuk menentang pemerintah, apalagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan diri lebih dulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat kesempatan, kamipun tentu akan melarikan diri."

   "Akan tetapi ke mana kami harus pergi?"

   Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih benemangat itu membantah. In Hong yang di dalam hatinya juga tidak setuju, namun karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tidak mungkin baginya untuk dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.

   "Kau ajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya,"

   Kata Kun Liong tergesa-gesa karena suara bising kini makin mendekat.

   "Jangan lupa, hati-hatilah agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita tidak sampai terbawa-bawa."

   Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara,

   Berlawanan dengan pasukan yang naik ke bukit dari selatan. Biarpun sedang mengandung, namun karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya, tanpa pengerahan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san. Akan tetapi ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat itu! Dalam waktu cepat sekali telah muncul puluhan orang perajurit, bahkan agaknya tidak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira sudah bergerak meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar wanita itu!

   Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita biarpun dalam keadaan sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para perajurit itu tersenyum dan menyeringai girang ketika menerima perintah yang dianggapnya amat ringan dan menyenangkan itu. Mereka seperti segerombolan serigala yang hendak berebut dulu menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama
(Lanjut ke Jilid 36)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jilid 36
menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu menggerakkan kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah terlempar dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit berdiri lagi!

   Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa dua orang wanita ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian tinggi! Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah pertempuran yang hebat karena betapapun juga, dua orang itu tidak mau menyerah begitu saja. Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak berani mengerahkan tenaga sin-kang terlalu kuat. Andaikata tidak demikian, tentu amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apalagi ada Cia Giok Keng yang membantunya. Kini, mereka dikepung rapat dan terdesak oleh serangan bertubi-tubi, biarpun tidak mudah pula bagi para perajurit itu untuk dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.

   "In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!"

   Kata Cia Giok Keng.

   "Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!"

   In Hong berkata. Tiba-tiba Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara lantang dan melengking tinggi,

   "Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus mempertahankan diri!"

   Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini telah mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu telah mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam. Memang kedua orang nyonya ini telah menerima pesan berkali-kali dari suami-suami mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, maka tidak boleh membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasan. Maka ketika dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri. Menghadapi ancaman itu, tentu saja para perajurit tidak mau mundur, bahkan mereka kinipun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita itu dengan ketat.

   "Lebih baik kalian menyerah saja daripada harus menghadapi kekerasan!"

   Bentak seorang perwira.

   "Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu,"

   In Hong yang sudah marah itupun membentak. Empat orang perajurit menyeringai dan dengan tombak di tangan mereka menubruk ke arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka itu menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh Yap In Hong tadi. Gegerlah para perajurit dan mereka itu segera menerjang dengan senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu. Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar kepungan.

   "Ibu, jangan takut, aku datang membantumu!"

   "Ciauw Si...!"

   Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan ketika dia mengenal suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu. Dan kepungan itu mulai bobol dan rusak oleh mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini marah sekali melihat ibunya terkepung, dan dia melempar-lemparkan para perajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja! Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibunya, dan biarpun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, namun nyonya ini sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya. Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para perajurit yang tadinya memang sudah gentar menghadapi dua orang nyonya yang benar-benar lihai itu menjadi kalang kabut.

   "Ibu... bibi... lari...!"

   Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan itu. Mereka lalu melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama puterinya di belakang sambil menahan para perajurit yang mengejar mereka. Dengan menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para perajurit. Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka dikurung oleh banyak sekali perajurit.

   Mereka tidak mau membunuh, hanya merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah dan memang mereka sengaja mengamuk untuk menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran kepada isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam dan seorang wanita cantik yang berdiri di belakang pasukan dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai! Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi marah, akan tetapi juga terkejut dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru.

   "Bun Houw, lari...!"

   Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya dan mereka berdua melarikan diri ke barat.

   Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa heran melihat bahwa dua orang wanita isteri dua orang pendekar tidak nampak. Tak mungkin dua orang wanita itu bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi. Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk melakukan pengejaran. Dia maklum akan kelihaian dua orang pendekar itu, maka biarpun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri tanpa bantuan pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio menyangka bahwa tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak gurunya untuk melakukan pengejaran.

   Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan untuk memancing mereka itu mengejar agar isteri-isteri mereka sempat melarikan diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-isteri mereka itu kini sedang menghadapi pengeroyokan para perajurit yang oleh Kim Hong Liu-nio memang sudah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling bukit itu! Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tidak berlari terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka menanti datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya itu, setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang berwibawa.

   "Berhenti kalian! Sebagai perajurit-perajurit kerajaan, apakan kalian lupa bahwa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu membantu pemerintah menghadapi para pemberontak? Mendiang ayahku, Cia Keng Hong, bahkan adalah sahabat baik mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan kami pasti pada suatu hari akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!"

   Melihat sikap pendekar itu yang amat gagah dan mendengar ucapan itu, para perajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-ling-pai, kelihatan gentar, dan mereka benar saja berhenti bergerak hanya berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu. Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing sudah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!

   Dua orang wanita itu cepat menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena hatinya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong. Kun Liong yang sudah maklum akan kelihaian nenek bermuka hitam ini, begitu melihat si nenek menangkis pukulannya dengan tangan kiri, sengala dia mengadukan lengannya dan seketika dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Memang ilmu ini tidak boleh sembarangan dipergunakan, namun menghadapi seorang tokoh besar selihai nenek ini, dia tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakannya.

   "Dukk!"

   Dua lengan bertemu dan menempel ketat karena Kun Liong sudah menggunakan tenaga menyedot.

   "Iihhh-heh-heh-heh!"

   Hek-hiat Mo-li terkekeh dan tiba-tiba Kun Liong merasa betapa kini tenaga yang seketika tadi membanjir dari nenek itu telah berhenti sama sekali dan sebaliknya jari-jari tangan berkuku panjang yang hitam dan mengeluarkan bau busuk telah menyerang dengan gerakan menggores ke arah nadi pergelangan tangannya! Inilah serangan berbahaya sekali dan terpaksa dia menyimpan tenaga Thi-khi-i-beng dan menarik kembali lengannya!

   Ternyata Ilmu Thi-khi-i-beng telah dapat dipunahkan secara demikian mudah dan licik oleh nenek itu, yaitu dengan menyimpan sin-kang dan menyerang tempat berbahaya yang berdekatan dengan bagian tubuh yang menempel! Dan memang selama ini, nenek itu telah mempelajari semua ilmu-ilmu para musuhnya yang lihai untuk mencari jalan menghadapi ilmu-ilmu itu, termasuk Ilmu Thi-khi-i-beng yang ditakuti! Setelah tahu bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan dapat memenangkannya melawan nenek ini, Yap Kun Liong lalu bersilat dengan gaya yang aneh sekali dan inilah ilmu silat aneh yang didapatkannya dengan mengambil inti sari kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong! Terdengar nenek itu berkali-kali berseru "ah"

   Dan "oh"

   Karena heran dan bingungnya menghadapi ilmu silat aneh ini yang memang tidak pernah dikenal di dunia kang-ouw, merupakan ilmu silat tunggal dari Kun Liong.

   Namun, nenek itupun hebat bukan main. Biarpun semua serangannya gagal menghadapi perlawanan Kun Liong, namun diapun selalu dapat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan ampuh pendekar itu. Keanehan ilmu sitat Kun Liong memang kadang-kadang menghasilkan satu dua kali pukulan, namun semua pukulan yang mengandung hawa sin-kang amat kuat itu tidak melukai tubuhnya yang dilindungi kekebalan yang luar biasa. Sementara itu, pertandingan antara Cia Bun Houw melawan Kim Hong Liu-nio juga amat seru dan mati-matian. Akan tetapi, jelaslah bahwa tingkat Cia Bun Houw masih lebih tinggi, terutama dalam kekuatan sin-kang. Pendekar ini maklum bahwa lawannya amat lihai dan mahir ilmu silat bermacam-macam, sehingga kalau hanya mengandalkan ilmu silat,

   Agaknya akan sukar baginya untuk memperoleh kemenangan. Maka, Bun Houw lebih mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat dan memang benarlah, begitu dia mengerahkan seluruh tenaganya, Kim Hong Liu-nio tidak kuat menghadapinya dan hanya main mundur terus, sama sekali tidak berani mengadu lengan. Kalau dilanjutkan pertempuran dua lawan dua itu, agaknya sudah dapat dipastikan bahwa Kim Hong Liu-nio akan roboh lebih dulu, dan kalau sudah demikian, tentu Hek-hiat Mo-li yang agaknya tidak akan mungkin dapat mengalahkan Yap Kun Liong itupun akan celaka kalau dikeroyok dua! Kim Hong Liu-nio dapat melihat kenyataan ini, maka dia lalu berteriak memerintahkan pasukan untuk ikut mengeroyok! Majulah seratus lebih perajurit itu mengepung dan mengeroyok Kun Liong dan Bun Houw.

   "Bun Houw, mari kita pergi!"

   Yap Kun Liong berseru nyaring karena mereka maklum bahwa dikeroyok demikian banyak orang amat berbahaya, apalagi karena mereka tidak ingin membunuh para perajurit itu. Keduanya lalu mengirim serangan yang dahsyat ke arah dua orang wanita itu,

   Memaksa mereka itu mundur dan menggunakan kesempatan itu untuk meloncat tinggi ke atas, melampaui kepala para pengeroyoknya dan mereka terus berloncatan pergi dari tempat itu memasuki hutan. Pasukan itu mengejar sambil berteriak-teriak, namun sekali ini dua orang pendekar itu memang sengaja hendak melarikan diri, maka tentu saja dengan ilmu berlari cepat, pasukan itu tidak mungkin dapat menyusul mereka, sedangkan guru dan murid yang kalau mau dapat menyusul itupun merasa jerih untuk menghadapi mereka berdua saja. Dengan jalan memutari hutan itu, akhirnya dua orang pendekar inipun melakukan perjalanan secepatnya untuk menyusul isteri-isteri mereka menuju ke kota pelabuhan Yen-tai, tempat tinggal Souw Kwi Beng dan isterinya, Yap Mei Lan, puteri dari pendekar Yap Kun Liong.

   "Suheng, aku sutemu Sin Liong datang menghadap!"

   Sudah tiga kali Sin Liong berteriak sambil berdiri di depan guha-guha besar itu bersama Han Houw, dan belum juga ada jawaban. Seperti telah dijanjikannya, Sin Liong mengajak Ceng Han Houw mendaki puncak Bukit Tai-yun-san di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tiba di depan guha-guha puncak itu yang menjadi tempat tinggal suhengnya atau lebih tepat gurunya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Namun, sampai tiga kali dia berteriak, suhengnya itu tidak pernah menjawab atau muncul.

   "Jangan-jangan suhengmu itu tidak berada di sini, sedang pergi,"

   Kata Han Houw dengan suara bernada kecewa.

   "Dia pasti ada, Houw-ko, tadi aku melihat bayangannya berkelebat ketika kita tiba di puncak."

   "Kalau begitu, mengapa dia tidak keluar?"

   Han Houw bertanya heran, tidak enak dan juga kagum bagaimana Sin Liong dapat melihat berkelebatnya bayangan itu sedangkan dia tidak. Sin Liong kembali menghadap ke guha, mengerahkan khi-kang dan berseru dengan amat nyaring, sampai gemanya terdengar dari empat penjuru,

   "Suheng Ouwyang Bu Sek! Aku Sin Liong datang untuk bicara dengan suheng, urusan penting sekali!"

   Setelah gema suara itu lenyap, tiba-tiba terdengar suara dari... atas! Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan memandang ke atas, akan tetapi tidak ada apa-apa di atas, biarpun dia berani bersumpah, bahwa suara itu memang terdengar dari atas, seolah-olah turun dari langit! Itulah ilmu mengirim suara dari jauh yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga dengan kekuatan khi-kang pemilik ilmu itu dapat mengirim suaranya dari manapun.

   "Sute, mau apa engkau bawa-bawa orang asing ke sini?"

   Biarpun suara itu datangnya dari atas, namun Sin Liong tahu bahwa suhengnya itu memang bersembunyi di dalam guha di depannya. Maka dia menjura ke arah guha itu dan berkata,

   "Suheng yang baik, dia ini bukanlah seorang asing, melainkan kakak angkatku bernama Ceng Han Houw! Keluarlah, suheng, dan mari kita bicara dengan baik."

   "Kalau aku tidak mau keluar kau mau apa?"

   Sin Liong tidak merasa heran dengan anehnya watak suhengnya itu. Diapun tahu bagaimana harus menanggulangi watak aneh itu, maka dengan suara dingin dia berkata,

   "Aku tidak mau apa-apa, hanya aku tahu bahwa suheng Ouwyang Bu Sek bukanlah orang yang berwatak bong-im-pwe-gi (orang tidak ingat budi)!"

   Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu di depan dua orang muda itu telah berdiri seorang kakek yang membuat Han Houw terkejut bukan main. Kakek itu cebol dengan tubuh seperti kanak-kanak, akan tetapi kepalanya besar sekali botak dan wajahnya yang sama sekali bukan kanak-kanak lagi, melainkan wajah seorang kakek tua renta yang amat lucu. Pakaiannya sederhana dan kedua kakinya telanjang. Dengan sepasang matanya yang agak menjuling itu dia menghadapi Sin Liong sambil bertolak pinggang dan berkata penuh teguran,

   "Kalau engkau hendak mengatakan aku bong-im-pwe-gi, sungguh engkau terlalu sekali, sute! Heh, satu kali engkau menyelamatkan aku dari tangan Sam-lo, apakah selamanya aku harus ingat budi itu terus?"

   "Maaf, suheng, bukan maksudku begitu. Akan tetapi aku sungguh ingin bertemu dan bicara denganmu,"

   Kata Sin Liong sungguh-sungguh. Memang ucapannya tadi hanya dipergunakan untuk memancing keluar kakek cebol yang berwatak aneh ini, dan dia telah berhasil.

   "Ho-ho, sejak dulu engkau pintar bicara. Mau apa kau ingin bertemu dengan aku? Ha-ha, bocah nakal, jangan kau bilang bahwa engkau merasa rindu kepada kakek buruk macam aku ini!"

   Ouwyang Bu Sek tertawa bergelak dan mulut yang terbuka lebar itu sudah tidak ada giginya sama sekali.

   "Tidak, suheng, aku tidak rindu kepadamu,"

   Jawab Sin Liong sejujurnya karena akan percuma saja membohongi suhengnya ini.

   "Akan tetapi aku datang karena aku perlu sekali memperkenalkan kakak angkatku Ceng Han Houw ini kepada suheng."

   Kini kakek itu menghadapi Han Houw, bertolak pinggang dan matanya yang menjuling itu memandang penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda remaja yang tampan dan gagah sekali, yang berdiri sambil menjura kepadanya, yang mempunyai sepasang mata amat tajam dan dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa pemuda remaja ini tentu memiliki kepandaian yang lumayan.

   "Hemmm, aku tidak suka kepadanya, dia terlalu tampan... hemm, dan dia she Ceng lagi, seperti she bangsawan istana raja! Mau apa kau bawa dia berjumpa denganku?"

   "Suheng, karena dia ini adalah kakak angkatku, maka dengan sendirinya diapun terhitung sutemu sendiri. Houw-ko ingin sekali belajar ilmu yang tinggi di bawah pimpinan suheng."

   "Wah, aku tidak mau menerima murid, apalagi setampan ini!"

   "Bukan murid suheng, melainkan sutemu! Dia ingin belajar ilmu dari suhu kita."

   "Ah, mana bisa itu?, Sute, kenapa kau ceritakan tentang suhu...?"

   "Ingat, suheng, dia ini kakak angkatku, bukan orang lain. Dan percayalah, dia ini seorang yang bercita-cita besar, lebih besar daripada cita-citaku. Dia ingin menjadi orang terpandai di kolong langit, ingin menjadi jagoan nomor satu!"

   "Uwah, mana bisa? Orang yang halus seperti ini mana tahan uji? Mana tahan derita? Aku tidak mau...!"

   Semenjak tadi Han Houw diam saja bukan karena dia tidak bisa bicara, melainkan karena dia mengikuti setiap gerak-gerik kakek itu dan mendengarkan setiap omongan, dan pangeran yang amat cerdik ini sudah dapat menduga akan kelemahan dari kakek aneh ini, maka kini dialah yang berkata,

   "Locianpwe, menilai orang lain jangan melihat keadaan luarnya saja. Melihat keadaan luar locianpwe ini, siapa orangnya yang akan dapat menilai bahwa locianpwe memiliki ilmu kepandaian hebat? Demikian pula dengan aku, biarpun aku kelihatan begini, jangan dikira bahwa aku tidak tahan uji! Dan adikku Sin Liong ini sudah berjanji akan membawaku kepada locianpwe untuk diterima sebagai murid atau sute, terserah. Kalau sampai hal itu tidak terlaksana, apakah bukan berarti bahwa locianpwe menjadi suheng dari orang yang tidak dapat memegang janji?"

   Sejenak kakek itu tertegun, kemudian membanting kakinya yang kecil.

   "Wah-wah, kakak angkatmu ini malah lebih pintar lagi bicaranya daripada engkau, sute! Dan lagaknya seperti dia ini seorang bangsawan tinggi saja! Apa artinya bagiku menjadi guru atau suheng dari seorang bangsawan kecil?"

   Han Houw sudah dapat menduga isi hati kakek ini yang ternyata diam-diam merupakan seorang yang agaknya amat mengagungkan kedudukan tinggi, maka tanpa meragu lagi dia berkata,

   "Locianwe, harap jangan memandang rendah kepadaku! Aku memang seorang bangsawan tinggi karena aku adalah seorang pangeran, adik Kaisar yang sekarang ini!"

   Benar saja. Kakek itu undur dua langkah dan memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda tampan itu, kemudian menoleh kepada Sin Liong dengan mata mengandung penuh pertanyaan. Sin Liong mengangguk dan berkata,

   "Memang benar apa yang dikatakannya itu, suheng."

   Sejenak kakek itu melongo, kemudian dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Han Houw, suaranya kasar seolah-olah dia tidak tahu bahwa pemuda ini seorang pangeran!

   "Hei, apa kamu bisa berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah, kaki di atas dan kedua lengan bersedakap?"

   Han Houw tersenyum mengejek. Matanya yang cerdik dapat menangkap kepura-puraan kakek itu yang agaknya tidak menghargai kedudukannya akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek itu amat terkesan, dan kini hendak mengujinya.

   "Apa sih sukarnya begitu saja?"

   Katanya dan dia memilih sebuah batu halus di depan guha, kemudian sekali menggerakkan kakinya, dia sudah jungkir balik, dengan kepala yang bertopi itu di atas batu, dan kakinya di atas, kedua lengannya bersedakap.

   "Hemm, jangan turunkan kaki sebelum kuperintahkan!"

   Kata Ouwyang Bu Sek, kemudian dia menggandeng tangan Sin Liong.

   "Hayo sute, aku mau bicara denganmu!"

   Keduanya lalu memasuki guha dan tidak nampak lagi, juga tidak terdengar suara mereka. Namun Han Houw yang berkemauan keras untuk memperoleh ilmu-ilmu tinggi sehingga akan terpenuhi cita-citanya menjadi jagoan nomor satu di dunia, tetap dalam keadaan jungkir balik, bahkan memejamkan matanya untuk memusatkan perhatian dan mematikan semua panca inderanya! Ouwyang Bu Sek mengajak Sin Liong ke dalam guha dan di sini dengan suara berbisik agar jangan sampai terdengar oleh Han Houw, kakek cebol ini berkata kepada Sin Liong,

   "Hayo ceritakan siapa dia sebetulnya dan mengapa engkau bersusah payah membujukku untuk menerimanya sebagai murid, sute!"

   Walaupun kadang-kadang dia merasa tidak cocok dengan watak Han Houw yang curang dan kejam, namun sesungguhnya Sin Liong merasa suka sekali kepada pangeran itu, apalagi mengingat bahwa mereka telah bersumpah mengangkat saudara. Maka sedikitpun juga dia tidak ingin menjerumuskan Han Houw ke dalam malapetaka dan sekarangpun dia maslh ingin melindunginya, biarpun apa yang pernah dilakukan oleh Han Houw terhadap Bi Cu untuk memaksanya. Oleh karena itulah ketika ditanya oleh suhengnya ini, dia masih hendak menutupi pemaksaan yang dilakukan oleh Han Houw dengan cara mengancam Bi Cu tempo hari.

   

Dewi Maut Eps 8 Dewi Maut Eps 39 Dewi Maut Eps 9

Cari Blog Ini