Pendekar Lembah Naga 39
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 39
"Kami telah saling bersumpah mengangkat saudara, suheng, dan seperti telah diceritakannya tadi, dia adalah adik tiri seayah dengan Sri Baginda Kaisar yang sekarang. Dia amat disayang oleh Kaisar dan memiliki kedudukan tinggi sekali di istana. Dia bercita-cita tinggi, ingin memiliki ilmu silat yang paling lihai, ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia."
Wajah kakek itu berseri.
"Engkau tidak membohongi aku, bukan sute? Aku sudah tua sekali, aku sudah tidak kuat lagi mengajarkan ilmu-ilmuku kepada seorang murld, engkaupun tahu akan hal ini, mengapa engkau memaksa dia berguru kepadaku di sini?"
"Aku bersumpah bahwa apa yang kuceritakan kepadamu tidak bohong, suheng. Dan akupun tidak mengharapkan engkau berpayah-payah mengajarnya sendiri. Bagaimana kalau suheng mengajarkan ilmu-ilmu dari suhu kepadanya? Dia sudah kuceritakan tentang suhu Bu Beng Hud-couw, dan dia ingin sekali menjadi murid beliau."
Kakek itu nampak terkejut.
"Hemm, ah, kau lancang, sute. Tidak mudah menjadi murid suhu, harus kulihat dulu orang itu..."
"Terserah kepada suheng, aku hanya telah berjanji membawanya ke sini dan mempertemukannya dengan suheng dan agar suheng menerimanya."
"Nanti dulu..., bagaimana wataknya? Apakah dia seorang yang mengenal budi?"
Sin Liong berpikir sejenak lalu tanpa ragu-ragu ia mengangguk. Dia mengenal watak pangeran itu. Memang Han Houw mengenal budi, sungguhpun agaknya juga tidak akan mudah melupakan kesalahan orang kepadanya. Pendeknya, pendendam dan pembayar budi yang kuat!
"Jangan khawatir, suheng. Dia seorang pangeran yang mengerti akan kedudukannya, dan dia tidak akan melupakan orang yang telah menolongnya."
Memang benar dugaan Sin Liong ini. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa biarpun Han Houw suka membalas budi yang dilimpahkan kepadanya, namun dia lebih pendendam dan takkan pernah melupakan kesalahan orang kepadanya.
Watak seperti ini merupakan watak umum dari manusia! Agaknya kita akan cepat-cepat menolak dan membantah kalau kita dikatakan berwatak seperti Pangeran Ceng Han Houw itu! Akan tetapi maukah kita membuka mata memandang diri sendiri dengan sejujurnya? Bukankah kita ini merupakan orang-orang yang ingin membalas budi orang lain namun di samping itu ingin pula membalas perbuatan orang lain terhadap kita yang kita anggap jahat dan merugikan? Kita condong untuk membalas kebaikan orang dengan kebaikan yang lebih besar lagi, menghadapi keramahan orang dengan keramahan yang lebih besar lagi, namun kitapun ingin membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan yang lebih merugikan lagi! Kalau kita diberi sejengkal kita ingin membalas sedepa, kalau kita dicubit kita ingin balas memukul.
Tidakkah semua ini digerakkan oleh si aku yang ingin di atas selalu? Karena aku lebih dibaiki orang, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih baik lagi dari dia, dari siapapun juga. Pendeknya, agar dilihat bahwa akulah yang terbaik! Sebaliknya kalau si aku diganggu, aku pula yang ingin membalas dengan gangguan yang lebih kejam lagi agar hati yang mendendam, hati ialah si aku itu pula, menjadi puas. Si aku ingin selalu menang, ingin selalu serba lebih, tidak mau kalah baik, tidak pula mau kalah berani, biasanya si aku tidak mau menyebut lebih kejam, melainkan lebih berani! Inilah sebabnya mengapa di antara suami isteri, di antara saudara, di antara sahabat baik, sering kali terjadi pertentangan dan percekcokan. Seribu satu kali kebaikan dari isteri, suami, saudara atau sahabat akan lenyap tanpa bekas oleh adanya satu kali saja kesalahan!
Pikiran ini, si aku ini, selalu mengejar kesenangan, maka apa yang menyenangkan aku, itulah baik, sebaliknya apa yang tidak menyenangkan aku, itu adalah buruk! Kalau setiap perbuatan didasari atas penilaian baik dan buruk yang pada hakekatnya adalah menyenangkan atau tidak menyenangkan aku, maka perbuatan yang berpusat pada diri sendiri itu sudah pasti akan menimbulkan pertentangan! Ini sudah jelas! Setelah kita membuka mata memandang dengan waspada dan kita dapat melihat semua ini, melihat berarti mengerti, mengerti berarti bertindak, apakah kita tidak dapat bebas dari penilaian baik buruk yang menimbulkan tindakan yang mengandung pertentangan ini? Setelah dia merasa yakin akan keadaan Ceng Han Houw, Ouwyang Bu Sek lalu mengajak Sin Liong keluar.
"Kau boleh pergi sekarang, sute, kalau engkau mau meninggalkan bocah itu di sini, terserah. Akan tetapi kalau ternyata dia tidak ada gunanya, dia akan kulemparkan ke dalam jurang!"
Kata kakek itu dengan lantang karena memang disengaja agar dapat didengar oleh Han Houw yang ternyata masih berdiri dengan jungkir balik di atas batu yang rata dan licin itu.
"Didik dia baik-baik, suheng, ingat, dia itu kakak angkatku. Katakan kepada Houw-ko bahwa kelak kami akan dapat saling jumpa lagi. Selamat tinggal, suheng."
"Selamat jalan, sute."
Han Houw mendengar ini semua akan tetapi dia diam saja, tidak membuka kedua matanya. Dia maklum bahwa kakek cebol itu sedang mengujinya, maka diapun ingin memperlihatkan bahwa dia adalah seorang calon murid yang baik!
Bagi seorang yang belum pernah berlatih ilmu silat tinggi, berdiri berjungkir balik seperti itu tentu saja merupakan siksaan, bahkan tidak mungkin dapat bertahan sampai lama. Akan tetapi, Han Houw adalah murid Hek-hiat Mo-li, sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, sehingga berdiri jungkir balik seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak saja baginya. Dia mendengar semua percakapan antara adik angkatnya dan kakek itu setelah mereka keluar dari dalam guha, dan mendengar langkah kaki Sin Liong pergi dari situ. Kemudian dia mendengar kakek itu pergi pula meninggalkan tempat itu sehingga keadaan di sekeliling tempat itu sunyi sekali. Han Houw masih tetap berdiri jungkir balik. Sejam, dua jam, tiga, empat, lima jam! Celaka, pikirnya. Kalau hanya berjungkir balik seperti itu sampai beberapa jam saja dia masih kuat,
Akan tetapi kalau dilanjutkan tanpa ada ketentuan kapan kembalinya kakek itu, benar-benar merupakan siksaan hebat. Celaka! Dia merasa serba salah! Kalau terus berjungkir balik seperti itu, setelah lewat lima jam, kepalanya mulai pening dan terutama sekali lehernya mulai terasa pegal-pegal dan lelah. Akan tetapi kalau menyudahi jungkir balik itu dan menurunkan kaki, tentu akan kesalahan oleh kakek cebol tadi. Ini merupakan ujian! Bukankah kakek cebol tadi mengatakan bahwa dia tidak boleh menurunkan kedua kakinya sebelum diperintah oleh si kakek itu? Dan sekarang kakek itu tidak pernah muncul! Agaknya hendak menyiksanya atau mempermainkan, atau menjebaknya. Kalau dia menurunkan kaki, tentu si kakek itu akan muncul dan menyatakan dia tidak memenuhi syarat sebagai murid! Celaka, kakek cebol itu sungguh sadis!
Han Houw mempertahankan diri, memejamkan mata dan menutup panca inderanya untuk melakukan ujian itu sekuatnya. Kembali waktu merayap lewat dengan amat melelahkan. Hari sudah menjadi gelap! Biarpun dia tidak membuka mata, namun dia dapat merasakan perbedaan antara terang dan gelap dari balik pelupuk matanya. Hari sudah menjadi gelap dan kakek itu masih juga belum datang membebaskannya! Bukan main hebatnya penderitaan yang dirasakan Han Houw pada saat-saat itu. Dan malam terus merayap tanpa ada perubahan pada dirinya. Dia merasa betapa kepalanya sudah menjadi besar, sebesar gantang, sebesar kepala kakek cebol itu! Bermacam warna menari-nari di depan matanya. Kedua pundak dan lehernya seperti sudah berubah menjadi batu, kaku dan tidak dapat merasakan apa-apa lagi!
Celaka, akan matikah dia? Namun, Han Houw adalah seorang pemuda yang keras hati dan penuh semangat, apalagi dalam mengejar ilmu yang dicita-citakannya ini. Dia berkeras tidak akan menyerah sebelum tubuhnya yang menyerah dan roboh dengan sendirinya! Maka dikeraskanlah hatinya dan dia terus berjungkir balik seperti itu sampai semalam suntuk lewat! Menjelang pagi, dengan hati penuh dendam Han Houw sudah membayangkan kakek itu sebagai iblis jahat yang sengaja menyiksanya. Berbagai umpat dan caci dan kutuk memenuhi benaknya, dilontarkan kepada penyiksanya. Namun mulutnya tetap terkatup dan kedua matanya terpejam. Setelah matanya yang terpejam kembali melihat cahaya di luar pelupuk matanya, telinganya mendengar langkah kaki dan tahulah dia bahwa kaki telanjang kakek botak cebol itulah yang mendekatinya lalu terdengar suara kakek itu mengomel.
"Masih bertahan juga? Hemm, menjemukan benar anak ini? Aku masih belum memerintahkanmu menurunkan kaki, akan tetapi coba sekarang kautaati perintahku. Nah, kautahan pernapasanmu setelah menyedot sebanyak mungkin hawa. Nah, dorongkan hawa itu ke pusar, kemudian tarik naik ke kepala, ya... ya... teruskan lagi...!"
"Brukkkk!"
Tubuh Han Houw terguling seperti sebatang balok, kepalanya terasa nyeri bukan main, terputar-putar rasanya dan matanya berkunang-kunang, seluruh tubuhnya bagian atas nyeri semua!
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh, engkau kena kuakali! Ha-ha, bagaimana rasanya? Sakit? Hayo katakan, apakah engkau masih ingin belajar dari aku? Akan kuajarkan lain ilmu yang lebih menyakitkan lagi! Hayo katakan, masih terus ingin belajar?"
Han Houw memejamkan kedua matanya, berusaha mengusir kepeningan yang membuat kepalanya seperti dipukuli palu besar, dan dadanya sesak. Namun dia mempertahankan, bahkan menekan semua ini, lalu dia bangkit duduk dan menjawab,
"Aku masih ingin belajar dari locianpwe, biar sampai matipun aku tidak gentar!"
Diam-diam Ouwyang Bu Sek merasa heran dan juga girang. Tadinya dia tidak percaya bahwa seorang pangeran akan dapat bertahan menghadapi siksaan seperti itu. Akan tetapi ternyata anak ini keras hati, tidak kalah dibandingkan dengan Sin Liong!
"Engkau benar-bener ingin belajar?"
Tanyanya, mulai merasa kalah.
"Benar, locianpwe."
"Dan engkau mau membayarku dengan selaksa tail perak?"
"Hal itu mudah dilaksanakan."
"Bagaimana kalau membayarku dengan kedudukan yang tinggi di kota raja?"
"Kedudukan yang tinggi sudah sepantasnya bagi locianpwe yang berilmu tinggi. Kalau dikehendaki, tentu dapat kulaksanakan pula."
Tiba-tiba kakek itu tertawa dan merasa sudah cukup menguji. Memang dia telah menguji pangeran ini dan andaikata pangeran itu tidak memuaskan hatinya, bukan hal tidak mungkin kalau dia melaksanakan kata-katanya di depan Sin Liong kemarin, yaitu melemparkan pemuda ini ke dalam jurang! Akan tetapi, sikap Han Houw yang demikian keras hati, tahan uji, dan juga janji-janji yang diberikan oleh pangeran ini kepadanya, membuat hatinya puas sekali.
Dia membandingkan pemuda ini dengan Sin Liong dan menganggap bahwa pangeran ini malah lebih baik, lebih berguna baginya, daripada sutenya itu! Kakek ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa terdapat perbedaan besar sekali antara Sin Liong dan Han Houw. Sin Liong memiliki kesederhanaan wajar dan juga memiliki kejujuran, sebaliknya, pangeran ini angkuh dan tidak pernah mau kalah oleh siapapun juga, di samping itu, juga di sudut hatinya terkandung kekejaman dan kebuasan, namun semua itu ditutup oleh sikapnya yang ramah dan ini membuktikan betapa cerdik dan berbahaya dia. Di lubuk hatinya, Han Houw merasa sakit hati dan benci sekali kepada kakek ini yang bukan hanya telah mempermainkannya, bahkan telah menyakitinya dan me-nyiksanya. Namung kebenciannya itu sedikitpun tidak nampak pada wajahnya yang tampan!
"Heh-heh-heh, baik, baik! Engkau akan menjadi muridku, pangeran. Ha-ha-ha!"
Sambil berkata demikian tangannya bergerak dan Han Houw merasa betapa leher dan punggungnya tertotok dan kesehatannya pulih kembali, peningnya lenyap, bahkan dia merasakan sesuatu kenyamanan yang aneh pada tubuhnya.
"Tubuhku terasa nyaman sekali, locianpwe!"
"Tentu saja, heh-heh. Apa kau kira jungkir balik hampir sehari semalam itu tidak ada gunanya?"
Han Houw merasa tidak puas ketika kakek itu menyatakan bahwa dia akan menjadi muridnya. Bukan itulah yang dikehendakinya. Dia harus dapat menjadi murid guru mereka, yaitu Bu Beng Hud-couw! Akan tetapi Han Houw amat cerdik, maka dia tidak menyatakan hal ini secara berterang, takut kalau-kalau kakek itu menjadi tidak senang hatinya.
"Locianpwe, aku adalah seorang pangeran dan kakak dari Liong-te, akan tetapi ilmu silatku kalah jauh dibandingkan dengan dia. Mana mungkin aku dapat memenuhi cita-citaku sebagai jagoan silat nomor satu di dunia ini kalau oleh adik angkatku sendiri saja aku masih kalah lihai!"
"Ha-ha-ha! Heh-heh! Tentu saja engkau tidak menang melawan sute, sedangkan aku sendiripun tidak akan mampu mengalahkannya!"
Han Houw mengerutkan alisnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya dan seperti bicara kepada diri sendiri,
"Aihhh, pantas... pantas... Liong-te kadang-kadang besar kepala dan menyombongkan kepandaiannya! Kiranya dia demikian lihai sehingga locianpwe sendiri yang menjadi suhengnya masih kalah lihai olehnya! Sungguh penasaran dan sukar dipercaya bagaimana seorang suheng yang menurut Liong-te bahkan telah membimbingnya dapat dikalahkan oleh sute sendiri yang dibimbingnya ini!"
"Aha, mana kau tahu, pangeran? Benar aku yang telah membimbingnya, akan tetapi kalau aku menjadi murid suhu hanya berhasil menafsirkan isi kitab-kitab suhu saja, sebaliknya sute telah melatih ilmu-ilmu yang amat sukar itu."
"Maksud locianpwe, gurunya dan guru locianpwe yang bernama Bu Beng Hud-couw?"
"Ha, engkau sudah tahu?"
"Liong-te pernah menceritakan kepadaku, bahkan Liong-te yang merasa paling pandai itu menyombongkan diri mengatakan bahwa setelah dia mempelajari semua kitab dari Bu Beng Hud-couw, jangankan hanya locianpwe yang menjadi suhengnya, biar Bu Beng Hud-couw sendiri tidak akan mampu menandinginya!"
"Omong kosong! Sombong dia!"
Kakek itu membentak marah dan diam-diam Han Houw merasa girang bahwa dia mulai berhasil membakar hati kakek aneh ini.
"Dan buktinya locianpwe mengaku sendiri tidak mampu menandinginya!"
"Memang benar karena aku tidak mempelajari ilmu-ilmu itu, akan tetapi akulah yang membimbingnya, dan mana mungkin dia dapat menandingi suhu? Berani benar dia bicara seperti itu!"
"Jalan satu-satunya bagi locianpwe adalah mempelajari sendiri kitab-kitab itu kemudian menunjukkan bahwa locianpwe sebagai suhengnya tidak benar kalah oleh sutenya!"
Kakek itu menarik napas panjang, lalu duduk di atas tanah, kelihatan makin pendek dan sepasang matanya makin menjuling, wajahnya kelihatan berduka.
"Tidak mungkin... aku telah terlalu tua untuk mempelajari..."
"Kalau begitu, Liong-te akan tetap menyombongkan diri ke mana-mana, mengabarkan kepada seluruh dunia kang-ouw bahwa suhengnya yang sakti, yang amat terkenal bernama Ouwyang Bu Sek itu, juga suhunya yang maha sakti Bu Beng Hud-couw tidak akan mampu menandinginya."
"Tidak boleh... ini sama sekali tidak boleh dan harus dicegah!"
Kakek yang sudah panas hatinya itu kini meloncat dan berjingkrak seperti cacing terkena abu panas, mukanya kemerahan dan dia sudah menjadi marah sekali.
"Sebaiknya dilaporkan saja kepada locianpwe Bu Beng Hud-couw."
Han Houw memancing karena dia ingin sekali dapat bertemu dengan manusia dewa yang ilmu-ilmunya telah dipelajari oleh adik angkatnya itu.
"Tidak bisa... tidak mungkin... beliau tidak mungkin mau mengurus keramaian dunia... ah, tidak mungkin itu."
"Kalau begitu masih ada lain jalan untuk menundukkan kesombongan Liong-te dan mencuci bersih nama baik locianpwe dan nama baik Bu Beng Hud-couw."
"Eh? Kau ada jalan, pangeran? Bagaimana?"
"Biarlah aku yang mempelajari ilmu-ilmu dari locianpwe Bu Beng Hud-couw, dan akulah yang akan mewakili locianpwe dan Bu Beng Hud-couw untuk mengalahkan dia!"
Wajah kakek itu berseri, akan tetapi hanya sebentar.
"Hemm, kitab-kitab itu sudah kubakar..., sungguhpun masih ada kitab-kitab yang belum pernah dipelajari orang, akan tetapi... ah, kurasa tidaklah mudah mempelajari kitab-kitab itu... dan sute Sin Liong memang lihai sekali..."
"Ilmu apakah yang telah dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw?"
"Hanya tiga belas jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, akan tetapi ilmu ini hebat bukan main dan sukar dikalahkan."
"Bukankah locianpwe yang membimbingnya? Tentu locianpwe dapat mengajarkan kepadaku, dan aku akan berlatih sebaik mungkin agar dapat mengatasi Liong-te."
Kembali kakek itu menggeleng kepalanya.
"Tidak mungkin... sudah kubakar kitab-kitab itu dan aku tidak hafal semua isinya, hanya sebagian saja dan tentu tidak cukup untuk dilatih sempurna dan tidak akan dapat mengalahkan dia."
Akan tetapi Han Houw tidak putus asa. Dia tahu bahwa kakek di depannya ini lihai bukan main, mungkin lebih lihai daripada sucinya atau subonya, akan tetapi kalau dia hanya menerima bimbingan dari kakek ini tentu tidak akan dapat mengalahkan Sin Liong! Dia harus mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!
"Locianpwe, bagaimana kalau aku mempelajari kitab-kitab yang lain, itu?"
"Wah, sukar sekali... sukar sekali... baru menafsirkan isinya saja aku sendiri sudah pening. Tulisan-tulisan kuno itu sukar sekali dan aku..."
"Harap locianpwe tidak memandang rendah kepadaku. Semenjak kecil aku hidup di istana yang penuh dengan simpanan tulisan-tulisan kuno dan aku sudah banyak mempelajari isinya. Barangkali aku dapat membantu locianpwe, kemudian aku melatih ilmu-ilmu itu di bawah bimbingan locianpwe."
Kakek itu berseru girang.
"Benarkah? Wah, kalau begitu engkau lebih hebat dari Sin Liong, pangeran! Hayo, kita melakukan upacara pengangkatan guru dan engkau menjadi suteku pula, jangan banyak membuang waktu!"
Bukan main girangnya hati Han Houw. Dia telah berhasil! Maka dengan taat dia lalu mengikuti kakek itu memasuki sebuah guha besar yang gelap. Guha ini berbeda dengan guha di mana dahulu kakek itu membawa Sin Liong masuk. Memang, dia selalu memindah-mindahkan kitab-kitab pusaka yang disembunyikannya,
"Berlututlah, sute, dan ikuti kata-kataku."
Han Houw berlutut di samping kakek itu, menghadap ke dalam guha. Dia mencoba untuk menembus kegelapan itu dengan matanya, namun dia tidak melihat apa-apa, hanya melihat dinding batu yang gelap. Namun, tiba-tiba dia merasa bulu tengkuknya meremang dan dia merasa seram, seolah-olah ada hawa aneh berada di dalam guha itu, dan cepat-cepat diapun mengikuti kakak seperguruan yang aneh ini memberi hormat dengan berlutut delapan kali dan menirukan kata-kata sumpah yang diucapkan oleh Ouwyang Bu Sek.
"Teecu (murid) bersumpah untuk mempelaiari ilmu-ilmu dari kitab-kitab pusaka suhu Bu Beng Hud-couw dengan tekun dan mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menjunjung tinggi nama suhu, dan tidak akan menurunkan kepada siapapun tanpa ijin dari suhu."
Demikianlah Han Houw mengucapkan sumpah tanpa dia mengerti isinya. Apa artinya "menjunjung tinggi nama suhu"
Itu? Dan kalau dia tidak akan pernah bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, bagaimana mungkin dia bisa memperolch ijin suhu itu kalau hendak menurunkan ilmu-ilmu itu kepada orang lain? Akan tetapi dia tidak perduli akan ini semua karena hatinya berdebar girang karena usahanya sudah hampir berhasil. Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah peti hitam setelah dia melumuri tangan, muka dan leher juga kakinya, pendeknya semua bagian tubuh yang nampak, juga tubub Han Houw yang tidak tertutup pakaian, dengan bubuk putih,
"Racun yang dioleskan pada peti ini dapat membunuh seketika kalau tersentuh tangan yang tidak memakai obat penawar ini, pangeran,"
Kata kakek itu dan Han Houw bergidik ngeri. Diam-diam dia memperhatikan bahwa biarpun dia telah bersumpah menjadi murid Bu Beng Hud-couw, berarti dia telah menjadi sute dari kakek ini, Ouwyang Bu Sek masih tetap menyebutnya "pangeran", hal ini berarti bahwa kakek ini tetap menghargainya dan tentu mempunyai pamrih dalam cara sebutan yang menjilat itu! Ouwyang Bu Sek membuka tutup peti dan muncullah seekor ular merah. Han Houw mengenal jenis ular yang amat berbisa. Ular macam ini jarang ada, dan di daerah utara memang kadang-kadang muncul ular seperti ini, namun kemunculannya tentu selalu menggemparkan karena banyaklah manusia atau binatang lain yang jauh lebih besar, mati berserakan di mana ular itu muncul!
"Kim-coa-ko, tenanglah, aku hendak mengambil tiga kitab terakhir itu."
Kata Ouwyang Bu Sek dan ular itu setelah "berdiri"
Dan menggerak-gerakkan kepalanya, lalu melingkar lagi seperti tidur. Ouwyang Bu Sek mengambil tiga buah kitab kuno yang lapuk dari dalam peti, kemudian dia menutupkan kembali petinya. Peti itu telah diberinya lubang kecil di belakangnya sehingga ular itu sewaktu-waktu dapat keluar kalau lapar, untuk mencari makanan. Akan tetapi, biarpun peti itu sudah kosong, dia tidak mau membuangnya, membiarkan peti itu di situ agar kelak kalau ada orang yang hendak mencuri kitab, hanya akan menemukan peti kosong yang mengandung racun, ditambah lagi penjaganya yang berbahaya itu! Mereka lalu keluar membawa tiga buah kitab itu,
"Pangeran, tiga buah kitab inilah yang masih belum selesai kuterjemahkan. Kalau engkau mampu membantuku, kemudian kau latih isinya, hemm, engkau tentu akan mendapatkan ilmu aneh yang tidak kalah oleh Hok-mo Cap-sha-ciang yang dikuasai oleh sute Sin Liong."
Han Houw menyembunyikan kegirangan hatinya.
"Akan kucoba, suheng. Akan tetapi, apakah hanya ini sisa kitab dari suhu? Bukankah peti itu besar sekali dan baru sebuah kitab saja yang diambil untuk Liong-te?"
"Bukan hanya sebuah, melainkan sute Sin Liong juga mempelajari sampai tiga buah kitab. Sedangkan kitab-kitab lain... ah, yang tiga ini saja sudah cukup, pangeran. Terlalu banyak, kita tidak akan mempunyai waktu, selain melatihnya, juga harus mentafsirkannya. Ini saja kalau sudah kau kuasai dengan baik, agaknya akan sukar engkau mencari orang yang akan mampu menandingimu."
"Akan tetapi, tentu masih ada kitab-kitab lain itu, bukan suheng? Kita adalah saudara seperguruan, tentu suheng percaya kepadaku, bukan?"
"Tentu saja! Ada kitab-kitab itu, kusimpan baik-baik agar jangan sampai diambil oleh orang yang tidak berhak. Jangan khawatir, kalau memang kelak engkau masih ada waktu, engkau dapat saja menambah ilmumu dari kitab-kitab yang lain itu, pangeran."
Han Houw tidak berani mendesak lagi, takut kalau-kalau kakek itu curiga dan menjadi tidak suka kepadanya. Dia membuka-buka lembaran kitab-kitab itu dan mulai hari itu, bersama Ouwyang Bu Sek, Han Houw mulai membantu subengnya itu menyelesalkan penterjemahan. Dan memang Han Houw tidak membobong atau membual ketika dia mengatakan bahwa dia sanggup membantu tadi. Bahasa yang dipergunakan dalam kitab itu adalah bahasa kuno, dan bahasa suku pedalaman di utara masih dekat dengan bahasa ini sehingga Han Houw yang sejak kecil banyak mempelajari bahasa-bahasaku di utara, benar saja dapat membantu banyak sehingga menggirangkan hati Ouwyang Bu Sek. Mulailah Pangeran Ceng Han Houw mempelajari ilmu-ilmu silat aneh-aneh dari tiga buah kitab itu di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek.
Pangeran ini amat tekun. Memang dia keras hati dan besar keinginannya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, di samping memang dia berbakat baik sehingga makin sukalah Ouwyang Bu Sek kepada pangeran ini. Hampir tidak ada waktu terluang begitu saja oleh Han Houw, selalu diisinya dengan berlatih silat menurut kitab itu atau berlatih sin-kang menurut petunjuk kitab pula. Secara kebetulan sekali, di dalam kitab itu terdapat pelajaran semacam yoga dari India yang mengharuskan dia berjungkir balik seperti yang dilakukannya pada hari pertama ketika diuji oleh Ouwyang Bu Sek, maka kini sering kali pemuda bangsawan ini berdiri dengan kaki di atas kepala di bawah, kadang-kadang dia sanggup berlatih seperti ini sampai tiga hari tiga malam! Kemajuan yang diperolehnya pesat sekali.
Harap-harap cemas memenuhi hati Lie Seng ketika pemuda itu memasuki hutan itu. Sudah diperhitungkannya benar-benar, bahkan semenjak hari itu setahun yang lalu, dia boleh dibilang setiap saat menghitung hari. Dia tidak akan salah hitung. Hari itu adalah genap setahun dari janjinya dengan Sun Eng untuk saling berjumpa di hutan itu! Tidak akan keliru hitungannya, akan tetapi bagaimana kalau wanita itu lupa akan hari itu, keliru hitung, atau lebih celaka lagi kalau... telah lupa kepadanya? Ah, tidak mungkin! Dia yakin akan cinta kasih dalam hati Sun Eng terhadap dirinya. Dan dia lebih yakin lagi akan cinta kasih dalam hatinya terhadap gadis itu. Dia sadar bahwa Sun Eng bukanlah seorang gadis lagi, melainkan seorang wanita yang sudah banyak melakukan penyeleweng dalam hidupnya sehingga sudah mengalami banyak penderitaan batin.
Kenyataan ini bukan membuat muak atau membenci, sebaliknya malah, makin diingat akan semua penderitaan yang dialami gadis itu, makin besar rasa belas kasih dalam hatinya terhadap Sun Eng, dan belas kasih ini agaknya memperdalam cintanya. Dia harus melindungi Sun Eng, harus menunturinya dan menunjukkan bahwa hidup bukanlah seburuk yang pernah dialaminya, bahwa tidak semua pria yang mendekatinya hanya mengaku cinta semata-mata untuk menikmati tubuhnya belaka! Pagi hari itu cerah, bahkan sinar matahari pagi yang berkilauan berhasil menerobos masuk ke dalam hutan, melalui celah-celah daun pohon. Pagi yang cerah, secerah hati yang penuh harapan itu, penuh keyakinan dan penuh cinta! Dengan langkah ringan Lie Seng menuju ke tempat di mana setahun yang lalu dia bertemu dan mencurahkan kasih sayang dengan Sun Eng,
Kemudian membuat janji untuk saling bertemu pula di situ setahun kemudian. Ini adalah kehendak Sun Eng, gadis yang merasa rendah diri itu, yang masih juga belum percaya betul bahwa orang seperti Lie Seng dapat mencinta gadis yang pernah menyeleweng seperti Sun Eng! Ah, kerendahan hati ini amat mengharukan hati Lie Seng. Itu saja sudah merupakan tanda betapa Sun Eng telah menyesali semua perbuatannya dan orang yang telah menyesali semua perbuatannya jauh lebih baik daripada orang yang selalu membanggakan perbuatannya sebagai orang yang bersih! Sun Eng minta waktu setahun untuk menguji perasaan kasih sayang di antara mereka, pertama karena merasa rendah diri, ke dua mungkin untuk menguji Lie Seng setelah berulang kali dia dikecewakan oleh kaum pria.
Akan tetapi kecerahan pagi itu tetap saja tidak dapat mengusir bayang-bayang hitam gelap yang diciptakan oleh pohonpohon yang rindang daunnya. Bayang-bayang panjang yang rebah ke barat. Bayangan-bayangan gelap berupa kecemasan juga mengganggu kegembiraan hati Lie Seng. Dia cemas dan gelisah membayangkan bagaimana kalau Sun Eng sampai tidak datang! Ke mana dia harus mencari gadis itu? Dia cemas sekali membayangkan ini dan kakinya yang melangkah terasa amat berat. Akhirnya tibalah dia di depan pohon. Dia tidak pernah melupakan pohon itu dan huruf-huruf yang setahun lalu diukirnya pada batang pohon itu masih ada! Akan tetapi, Sun Eng tidak ada! Dia memandang ke sekeliling, lalu duduk di atas akar pohon itu.
Mungkin dia datang terlalu pagi! Dan hatinya mulai cemas. Mengapa dia begitu bodoh ketika dulu mereka saling janji? Mengapa yang dijanjikan hanya harinya saja, dan jamnya tidak dijanjikan? Bagaimana kalau Sun Eng baru akan datang pada sore hari nanti? Tidak apa! Dia akan menanti, biar sampai sore, sampai malam sekalipun! Dia sudah bertahan menanti selama setahun, dan apa artinya ditambah sehari atau dua hari? Lie Seng duduk termenung di bawah pohon itu. Dia merenungi perjalanan hidupnya, terutama sekali tentang cintanya dengan Sun Eng. Usianya kini sudah dua puluh tujuh tahun, sudah cukup dewasa. Namun, selama ini belum pernah dia jatuh cinta kepada seorang wanita. Hatinya selalu merasa dingin terhadap wanita, dan dia seolah-olah merasa ngeri kalau memikirkan pernikahan.
Mungkin karena dia melihat begitu banyak kepahitan terjadi dalam kehidupan rumah tangga, banyak peristiwa menyedihkan yang terjadi akibat cinta dan pernikahan. Dia melihat atau mendengar tentang kehidupan paman Yap Kun Liong, tentang kehidupan ibunya sendiri yang kini menjadi isteri paman Yap Kun Liong, melihat akibat cinta kasih dari pamannya yang lain, adik kandung ibunya, yaitu Cia Bun Houw. Banyak sudah dia mendengar tentang kegagalan cinta dan rumah tangga dan mungkin hal-hal inilah yang mendatangkan kesan mendalam sehingga dia merasa ngeri untuk jatuh cinta dan menikah. Akan tetapi sungguh luar biasa, begitu dia bertemu dengan Sun Eng seketika dia jatuh cinta! Bahkan setelah mendengar penuturan gadis itu tentang riwayat Sun Eng yang tidak harum, cintanya bahkan makin mendalam!
Bagi orang yang sedang menantikan sesuatu, waktu berjalan melebihi lambatnya seekor siput merayap. Terlalu lama waktu merayap, seakan-akan tidak pernah maju! Memang demikianlah anehnya waktu. Kalau dilupakan, dia meluncur seperti pesatnya anak panah dilepas dari busur, sebaiknya kalau diperhatikan, dia merayap amat lambat! Tentu saja bukan sang waktu yang bertingkah seperti ini, melainkan pikiran! Pikiran selalu mgng-inginkan hal-hal yang lain daripada apa yang ada, sehingga apa yang ada itu selalu nampak tidak menyenangkan, selalu berlawanan dengan apa yang dikehendaki agar waktu segera berlalu dan dia dapat bertemu dengan yang dinantikannya itu secepat mungkin, dan tentu saja, kenyataan yang ada amat berlawanan dengan keinginannya sehingga terasa amat menyiksa. Konflik batin memang selalu menyiksa diri!
Lie Seng merasa amat tersiksa. Sampai siang dia menanti, waktu merayap terus dan yang dinanti-nantinya belum juga muncul! Dia sampai lupa akan waktu, tidak sadar bahwa hari telah siang, hanya dia merasakan betapa lamanya sudah dia menanti. Serasa sudah bertahun-tahun! Waktu dari pagi sampai siang itu dirasakannya malah lebih menyiksa, lebih lama daripada waktu setahun yang telah lalu! Namun, dia masih terus menanti di bawah pohon itu. Bayang-bayang pohon yang tadinya panjang rebah ke barat itu kini menjadi semakin pendek, sampai kemudian hanya berada di bawah pohon, tanda bahwa matahari telah berada di atas benar. Perlahan-lahan, bayangan pohon itu menggeser ke timur dan mataharipun mulai turun ke barat. Sebentar lagi, senjapun tibalah! Lie Seng tak sabar lagi. Jangan-jangan Sun Eng lupa, atau salah hitung! Mungkin baru besok dia datang!
Jangan-jangan... tiba-tiba Lie Seng menjadi pucat dan cepat dia menggoyang kepalanya membantahnya sendiri. Tidak, tidak ada apa-apa yang buruk terjadi atas diri wanita yang dikasihinya itu. Atau mungkin sengaja tidak mau datang? Bermacam bayangan pikiran inilah yang menyiksa batin Lie Seng, membuatnya semakin gelisah dan akhirnya dia tidak kuat bertahan lagi. Dia bangkit berdiri, dan mulailah dia berjalan-jalan, mula-mula hanya di bawah pohon, mengelingi batang pohon, kemudian makin menjauh seolah-olah dia hendak mencari Sun Eng diantara semak-semak dan pohon-pohon. Tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis di sebelah kiri. Cepat Lie Seng meloncat ke arah suara itu dan bukan main kagetnya ketika dia melihat seorang wanita duduk di atas rumput di balik semak-semak sambil menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya, terisak-isak.
"Eng-moi...!"
Dia meloncat, menubruk dan merangkul. Akan tetapi Sun Eng terus menangis, bahkan kini mengguguk dalam rangkulan pemuda itu.
"Eng-moi, ada apakah? Apa yang terjadi? Kenapa kau di sini dan bersembunyi, dan menangis?"
Akan tetapi Sun Eng tak mampu menjawab, tangisnya mengguguk membuatnya tidak mungkin bicara, hanya kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu dan dia menyusupkan muka di dada yang bidang itu. Lie Seng mengelus rambut itu, membiarkan Sun Eng menangis karena diapun maklum bahwa dalam keadaan seperti itu tak mungkin bagi gadis itu untuk bicara. Akhirnya Sun Eng mulai dapat menguasai hatinya, tangisnya mereda. Lie Seng mengangkat muka yang basah itu, lalu menggunakan saputangan mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian dia mencium dahi yang halus putih itu dengan sepenuh hatinya. Hati yang lega seperti bunga kering tertimpa tetesan embun setelah dia bertemu dengan orang yang dinanti-nantinya sejak pagi tadi dengan gelisah.
"Nah, sekarang hentikanlah tangismu dan ceritakan mengapa engkau bersembunyi di sini dan mengapa engkau menangis?"
"Aku... aku tidak berani keluar..."
Jawabnya di sela isak.
"Eh, kenapa? Sejak kapan engkau berada di sini, Eng-moi?"
"Sejak kemarin pagi!"
"Hahh?"
Lie Seng terkejut sekali.
"Akan tetapi... salahkah hitunganku? Setahun sejak dahulu itu adalah hari ini! Salahkah aku...?"
"Tidak, memang hari ini, koko. Akan tetapi aku... aku tidak dapat menahan lagi, aku ingin cepat-cepat ke sini..."
"Lalu mengapa engkau bersembunyi di sini? Apakah engkau tidak melihat aku datang pagi tadi di bawah pohon kita itu?"
Gadis itu mengangguk dan sesenggukan.
"Aku... aku melihatmu... aku takut untuk keluar, ah, kau ampunkan aku, koko..."
Lie Seng memandang dengan mata terbelalak dan mulut tersenyum.
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Betapa anehnya engkau ini, Sun Eng! Engkau datang lebih pagi sehari karena engkau ingin cepat-cepat ke sini, bertemu dengan aku, kemudian setelah aku datang engkau malah sembunyi! Apa artinya ini?"
"Entah, koko, aku... selama setahun ini... setiap hari aku rindu kepadamu, ingin sekali aku cepat-cepat bertemu denganmu..."
"Eng-moi kekasihku..., percayalah bahwa akupun demikian..."
Lie Seng mendekap kepala gadis itu penuh kasih sayang. Sejenak mereka berdekapan tanpa mengeluarkan kata-kata, demikian ketat mereka saling dekap sampai keduanya dapat saling merasakan denyut jantung masing-masing.
"Akan tetapi... begitu melihatmu... ah, aku takut, koko. Engkau demikian mencintaku, engkau memenuhi janji, engkau datang dan melihat betapa engkau menanti di sana dengan wajah berseri, wajah yang kurindukan selama ini... aku makin merasa betapa aku terlalu rendah untukmu, koko, bahwa engkau tidak patut menjadi..."
Sun Eng tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulutnya sudah ditutup oleh bibir Lie Seng yang menciumnya dan mata pemuda ini menjadi basah. Sun Eng meronta lembut, akan tetapi kemudian dia merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu dan membalas ciuman itu dengan penuh penyerahan dan kasih sayang, juga dengan air mata bercucuran! Akhirnya mereka memisahkan muka mereka, saling pandang melalui air mata, dan Lie Seng mendekap lagi, berbisik di dekat telinga gadis itu.
"Eng-moi, jangan kauulangi lagi ucapan seperti itu. Aku cinta padamu, engkau adalah seorang wanita yang paling mulia di dunia ini untukku! Jangan kau selalu merendahkan diri, kita lupakan saja segala hal yang telah lalu, maukah engkau?"
Sun Eng mengangguk, mengangguk berkali-kali di atas pundak
(Lanjut ke Jilid 37)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 37
pemuda yang mendekapnya itu, air matanya bercucuran membasahi pundak Lie Seng. Hampir dia tidak percaya bahwa hidupnya menjadi begini bahagia, bahwa ada pria yang dapat mencintanya seperti ini! Hampir dia tidak percaya bahwa semua ini bukan mimpi belaka!
"Koko..."
"Ya...?"
"Aku bersumpah..."
"Tak perlu bersumpah..."
"Aku bersumpah bahwa aku akan setia selama hidupku kepadamu, bahwa baru sekali ini aku jatuh cinta dalam arti yang sedalam-dalamnya kepada seorang pria, yaitu engkau, dan hidupku selanjutnya hanyalah untukmu, koko, untuk membahagiakanmu, mengawanimu, membantumu..."
"Cukup, moi-moi, aku percaya padamu, kita saling mencinta, mengapa engkau harus bersumpah seperti itu?"
"Karena aku berhutang budi kepadamu, koko."
"Ah, menyelamatkanmu ketika engkau terluka merupakan kewajiban, tidak layak disebut budi..."
"Bukan itu, koko. Pertolongan seperti itu memang sudah wajar di antara orang-orang kang-ouw, apalagi seorang pendekar sepertimu. Akan tetapi maksudku budi yang lebih mulia lagi, yaitu bahwa... engkau telah sudi mencintaku, koko..."
"Hushh...! Aku cinta padamu dan engkau cinta padaku, mana ada hutang budi segala? Kalau engkau hutang budi, akupun hutang budi kepadamu. Nah, kita saling hutang, sudah lunas, bukan?"
"Tidak, belum lunas, sampai matipun belum lunas, kita harus saling membayar selama kita hidup."
"Kau benar..."
Mereka kembali saling pandang dan sekali ini, atas kehendak berdua karena dorongan hati yang penuh gelora asmara, muka mereka saling mendekat sampai bibir mereka saling bertemu dalam kecup cium yang mesra dan dengan sepenuh perasaan kasih mereka. Dunia seakan-akan berhenti berputar dan mereka berdua seperti tenggelam dalam lautan madu asmara, mabuk dan lupa segala, seolah-olah di dunia ini hanya ada mereka berdua dan cinta kasih mereka. Akhirnya, karena senja mulai gelap, Lie Seng menarik kekasihnya bangkit berdiri, menggandeng tangannya dan berkata,
"Mari, Eng-moi, mari kita sahkan ikatan jodoh kita."
"Mau... mau kau bawa ke mana aku ini...?"
Sun Eng bertanya khawatir, namun hatinya ikhlas mau diajak ke manapun oleh kekasihnya.
"Kepada keluargaku! Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka sebagai calon isteriku agar kita memperoleh doa restu mereka."
Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi pucat sekali.
"Tapi... suhu dan subo..."
Lie Seng mencium kening di antara kedua mata yang menakutkan itu.
"Eng-moi, setelah engkau menjadi calon jodohku, setelah aku mencintamu dengan sepenuh jiwaku, apalagi yang engkau khawatirkan? Katakanlah bahwa engkau pernah bersalah dalam pandangan paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, akan tetapi semua itu adalah hal yang telah lalu, dan sekarang setelah kita saling mencinta dan telah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri, tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh mencelamu! Siapa yang mencelamu akan berhadapan dengan aku, Eng-moi, karena engkau dan aku tidak akan terpisahkan lagi selama masih hidup!"
"Ah, koko..."
Sun Eng merangkul dan sesenggukan, merasa terharu sekali akan tetapi juga bahagia. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka keluar dari hutan yang mulai gelap itu. Dalam perjalanan, Sun Eng menyatakan kekhawatirannya karena ibu dari kekasihnya itu termasuk seorang di antara mereka dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah.
"Ke mana kita harus mencari ibumu?"
"Ibu dan ayah tiriku, juga paman Cia Bun Houw dan isterinya, telah menyembunyikan diri di Bwee-hoa-san. Aku pernah pergi ke sana, akan tptapi aku belum bicara tentang dirimu, karena kupikir belum tiba saatnya sebelum ada ketentuan antara kita seperti yang kita janjikan akan diandalkan dalam pertemuan kita hari ini. Akan tetapi, kurasa amat berbahaya kalau kita ke sana. Tempat itu harus dirahasiakan, dan mengunjungi mereka di sana amat berbahaya, apalagi kita berdua telah dikenal pula oleh fihak musuh."
"Siapakah fihak musuh itu, koko? Dan kenapa suhu dan subo ditangkap dan dituduh pemberontak?"
"Hemm, ini adalah fitnah, merupakan siasat dari musuh keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai. Sudah kuselidiki dan ternyata yang melakukan siasat ini adalah musuh-musuh lama dari keluarga Cin-ling-pai."
"Siapakah mereka?"
"Hek-hiat Mo-li dari utara. Dia pernah sakit hati terhadap keluarga Cin-ling-pai, terutama kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, juga kepada mendiang Tio Sun yang telah dapat terbunuh. Pula, Hek-hiat Mo-li dibantu oleh muridnya yang lihai, bernama Kim Hong Liu-nio. Bahkan kematian kong-kong Cia Keng Hong juga setelah dia diserang oleh guru dan murid itu sehingga mengalami luka."
"Ah, jahat benar mereka. Bagaimana kalau kita langsung mencari mereka dan membasmi guru dan murid itu? Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku, koko!"
Kata Sun Eng dengan sikap gagah. Lie Seng tersenyum pahit,
"Aih, Eng-moi, gampang saja engkau bicara. Kepandaian Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio itu amat tinggi, dan agaknya yang akan dapat menanggulangi mereka itu hanyalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali seperti paman Yap Kun Liong. Kalau hanya kita berdua, walaupun aku tidak takut, namun melawan mereka sama halnya dengan membunuh diri tanpa guna. Tidak, kita harus lebih dulu menyelesaikan urusan kita di depan keluargaku, dan mengingat bahwa pernah ada sesuatu yang kurang enak antara engkau dan paman Bun Houw serta bibi In Hong, maka sebaiknya kalau kita pergi menemui suciku dan minta dia yang menjadi penengah agar lebih mudah bagiku untuk menghadapi mereka tanpa ada kesalahpahaman antara keluarga."
"Sucimu? Siapakah dia itu, koko?"
"Dia adalah suci Yap Mei Lan, puteri dari paman Yap Kun Liong. Dia telah menikah setahun yang lalu dengan Souw Kwi Beng dan kini tinggal di Yen-tai. Dia itu suciku, akan tetapi juga dapat disebut saudara tiri, karena ayah kandungnya, Yap Kun Liong, kini telah menjadi suami dari ibu kandungku. Nah, dengan perantaraan dia, maka agaknya akan lebih mudah menyelesaikan urusan kita di depan ibu. Yang penting bagiku adalah ibu kandungku. Kalau beliau sudah setuju dengan perjodohan antara kita, orang lain perduli apa? Kalau setuju syu-kur, kalau tidakpun tidak apa-apa!"
Bukan main besar dan lapang rasa hati Sun Eng mendengar ucapan kekasihnya ini dan dia menaruh kepercayaan penuh, menyerahkan jiwa raganya ke tangan pria yang amat dicintanya dan dikaguminya ini. Mereka bermalam di dalam sebuah rumah penginapan kecil dalam dusun di depan, dan diam-diam Lie Seng makin kagum ketika melihat kekasihnya itu berkeras minta agar mereka menggunakan dua buah kamar. Biarpun dengan latar belakang riwayat seperti itu, ternyata kini Sun Eng benar-benar telah insyaf dan tidak mau menjadi budak nafsu berahi, pandai menjaga diri dan pandai pula memasang batas-batas di antara mereka, biarpun dia sudah pasrah dan rela kepada Lie Seng yang dicintanya.
"Percayalah, koko, aku berkeras melakukan ini demi engkau. Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pria yang merusak kepercayaan kita masing-masing. Pelanggaran yang terjadi karena tidak kuat menahan nafsu berahinya menunjukkan tipisnya cinta."
Demikian katanya dan Lie Seng merasa terharu sekali, berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan menjamah kekasihnya, sebelum mereka menikah dengan resmi! Pada suatu hari mereka memasuki kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung. Mereka bermalam di kota ini, berbelanja dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju ke timur, ke kota Yen-tai yang berada di tepi Lautan Po-hai. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota Cin-an, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan ketika mereka menoleh, nampik pasukan besar menunggang kuda keluar dari pintu gerbang itu, dipimpin oleh seorang panglima tua yang gagah didampingi oleh seorang kakek tinggi besar dan seorang kakek pendek kecil yang juga masing-masing menunggang seekor kuda yang besar.
Lie Seng dan Sun Eng cepat minggir dan memalingkan muka. Mereka sudah dikenal, biarpun hanya sepintas lalu, oleh pasukan yang dahulu menangkap dua pasang suami isteri pendekar, maka Lie Seng kini tidak ingin dikenal dan memalingkan muka. Akan tetapi, tiba-tiba pasukan itu berhenti di dekat mereka, bahkan panglima dan dua orang kakek itu sudah meloncat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka! Berdebar jantung Lie Seng. Dia memberi isyarat dengan kerling mata kepada Sun Eng agar kekasihnya itu bersiap-siap namun agar jangan membuka mulut dan membiarkan dia yang bicara kalau datang pertanyaan. Dan ketika dia akhirnya terpaksa membalikkan tubuhnya karena komandan pasukan dan dua orang kakek itu telah berdiri dekat,
Lie Seng terkejut sekali, kekejutan yang ditekannya dan tidak diperlihatkan pada wajahnya. Dia mengenal komandan itu, seorang komandan tua, seorang panglima pasukan pengawal Kaisar, pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan pengawal baju sulam emas, dan komandan itu bernama Lee Cin, seorang komandan yang gagah perkasa dan lihai, juga dulu sering bekerja sama dengan keluarga Cin-ling-pai! Komandan itu kini sudah tua, sedikitnya tentu enam puluh lima tahun usianya, namun masih nampak gagah dan gerak-geriknya halus dan sabar. Lie Seng pura-pura tidak mengenalnya dan dia hanya berdiri dengan hormat, seolah-olah tidak tahu atau tidak mengerti bahwa mereka itu berhenti untuk menemuinya! Akhirnya, setelah memandang dengan tajam beberapa saat lamanya, terdengar komandan itu berkata dengan suara halus,
"Harap ji-wi (anda berdua) suka menyerah saja untuk kami tangkap!"
Barulah Lie Seng tahu bahwa memang dia dan Sun Eng yang diincar, maka dia mengangkat muka, tidak pura-pura lagi walaupun dia tidak mau memperkenalkan diri.
"Apakah kesalahan kami berdua maka hendak ditangkap? Kami tidak merasa melakukan kejahatan apapun!"
Komadan Lee Cin tersenyum getir,
"Lie Seng taihiap, jangan mengira bahwa kamipun senang menerima tugas ini. Taihiap adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa, dan ibu kandung taihiap, Cia Giok Keng, merupakan seorang di antara para buronan. Semenjak taihiap berdua muncul di Cin-an, gerak-gerik ji-wi telah diawasi."
"Tapi... tapi kami berdua tidak melakukan pelanggaran apa-apa!"
Bantah Lie Seng.
"Biarlah hal itu pengadilan kelak yang akan memutuskan. Kami hanya mentaati perintah dan amat tidak baik kalau taihiap menambah dosa keluarga dengan membangkang pula. Menyerahlah ji-wi!"
Bujuk Lee Cin yang benar-benar merasa canggung sekali bahwa dia kini harus mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai, padahal semenjak dahulu keluarga itu amat berjasa kepada kerajaan dan sering kali dia bekerja sama menghadapi pemberontak dengan para pendekar Cin-ling-pai itu (baca cerita Dewi Maut).
"Baik, aku menyerah, akan tetapi nona ini tidak ada sangkut-pautnya, maka kuminta agar dia dibebaskan!"
"Koko, tidak...! Aku tidak mau kita saling berpisah!"
Teriak Sun Eng dengan mata terbelalak.
"Perintah yang diberikan kepada kami adalah menangkap kalian berdua tidak dapat ditawar-tawar lagi!"
Kata pula Lee Cin yang mulai hilang sabar karena sebetulnya dia amat tidak menyukai tugas ini, akan tetapi dia tadi telah bersikap terlalu manis terhadap orang-orang yang dianggap pemberontak ini, sehingga dia merasa tidak enak dan malu kepada dua orang kakek itu. Dua orang kakek ini adalah dua orang tokoh dari selatan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Ceng Han Houw untuk membantu kerajaan menangkap para pemberontak buronan.
Mereka ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dua orang "bengcu"
Atau pemimpin kaum kang-ouw di selatan yang bernama Hai-liong Phang Tek yang tinggi besar dan Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek. Karena membawa surat pribadi dari Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dua orang kakek ini diterima dengan hormat oleh komandan di kota raja, dan kini dibantukan kepada Panglima Lee Cin yang diserahi tugas menangkap para pemberontak buronan membantu Kim Hong Liu-nio. Panglima ini selain merupakan kakak kandung dari mendiang Panglima Lee Siang yang tewas oleh para pemberontak, juga dianggap mengenal baik wajah-wajah para keluarga pemberontak, maka dianggap tepat untuk memimpin pasukan membantu Kim Hong Liu-nio, kini ditemani oleh dua orang kakek lihai itu.
Dan memang Lee Cin mengenal mereka semua bahkan Lie Seng yang jarang dijumpainya karena pemuda ini lama pergi menjadi murid Kok Beng Lama, dikenalnya, apalagi setelah dia mendengar bahwa adik kandungnya itu tewas di tangan seorang pemuda lihai yang diduganya tentu Lie Seng adanya. Lie Seng merasa bimbang. Dia tidak takut ditangkap, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Sun Eng! Tiba-tiba kakek pendek kecil yang tubuh bagian atasnya tertutup jubah perajurit lebar akan tetapi di balik baju yang tidak dikancingkan ini ternyata telanjang sama sekali, kakinya juga telanjang, terkekeh aneh dan kedua tangannya menyambar ke arah beberapa orang perajurit, tahu-tahu dia telah merampas empat batang tombak yang dilemparkannya ke depan.
"Cep-cep-cep-cep!"
Empat batang tombak itu meluncur seperti anak panah ke arah Lie Seng dan Sun Eng, akan tetapi ternyata tidak menyerang tubuh mereka, melainkan menancap sampai lenyap setenganya di empat penjuru, mengurung dua orang muda itu! Benar-benar demonstrasi yang mengejutkan, membayangkan kekuatan sin-kang yang hebat dan juga kepandaian tinggi karena empat batang tombak itu dilontarkan berbareng akan tetapi mengenai sasaran empat macam sekaligus! Panglima Lee Cin berkata, suaranya berwibawa,
"Sebaiknya ji-wi menyerah saja. Kami tahu bahwa taihiap seorang yang lihai sekali, akan tetapi kami sudah siap-siap dan dua orang locianpwe inipun memiliki kepandaian tinggi. Daripada kami harus..."
"Eng-moi, larilah, biar kutahan mereka!"
Tiba-tiba Lie Seng berteriak dan dia sudah menerjang ke depan, menangkap dua orang perajurit dan melemparkan mereka ke arah dua orang kakek tinggi besar dan pendek kecil itu. Dua orang kakek ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh dua orang perajurit malang itu terlempar dan terbanting tanpa bangkit kembali!
"Mati hidup di sampingmu, koko!"
Teriak Sun Eng pula dan dengan sigapnya diapun menerjang ke depan merobohkan dua orang perajurit lain dengan pukulan dan tendangan kakinya. Gegerlah para perajurit mengeroyok, akan tetapi Lee Cin berseru menyuruh mereka mundur.
"Biarkan ji-wi locianpwe menangkap mereka!"
Teriaknya dan ini merupakan permintaan pula kepada dua orang kakek itu untuk membantu. Dengan lagak angkuh, Hai-liong-ong Phang Tek menghadapi Lie Seng, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun cengar-cengir menghadapi Sun Eng.
"Nona manis, mari kita main-main sejenak!"
Sun Eng marah sekali. Dia tidak mengenal si kecil pendek ini, dan melihat bahwa tubuh kakek ini seperti tubuh kanak-kanak saja, dia agak memandang rendah. Tubuhnya menerjang ke depan dan tubuh itu menjadi bayangan merah karena pakaiannya yang berwarna merah, didahului oleh sinar pedangnya yang membuat ke leher, seolah-olah dengan satu sabetan saja dia hendak membuntungi leher kecil dari Kim-liong-ong Phang Sun!
"Cringgg!"
Sun Eng terkejut dan meloncat mundur, pedangnya telah terlepas ketika bertemu dengan gelang di lengan kiri kakek itu!
"Awas, Eng-moi!"
Lie Seng yang belum bergebrak dengan lawan, kini meloncat ke kiri dan dia masih sempat menangkis pukulan tangan kakek pendek yang menampar ke arah kepala Sun Eng.
"Dukk!"
Akibat benturan kedua lengan ini, Lie Seng terhuyung akan tetapi Kim-liong-ong juga terpental ke belakang!
"Eh, kau boleh juga...!"
Kakek kecil pendek ini berseru.
"Serahkan dia padaku, Sun-te, kau tangkap saja nona itu!"
Setelah berkata demikian, Hai-liong-ong Phang Tek sudah melompat ke depan dan menyerang Lie Seng dengan tongkatnya yang diputar secara hebat. Memang tenaga kakek ini besar sekali maka tongkat yang diputar itu mengeluarkan suara angin mengerikan dan nampak gulungan sinar tongkat seperti seekor naga bermain-main. Melihat itu, Lie Seng terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi yang dikhawatirkannya Sun Eng yang terpaksa harus menghadapi kakek kecil pendek yang lihai itu dengan tangan kosong. Tanpa dia menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan-serangan tongkat lawan, menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, akan tetapi dia terus melirih ke arah kekasihnya yang benar saja, telah dipermainkan oleh Kim-liong-ong Phang Sun.
Kakek kecil pendek ini sengaja tidak mau cepat merobohkan gadis itu, akan tetapi menghujankan serangan-serangan berbahaya yang mengerikan menusuk mata, mencengkeram buah dada, menotok jalan darah maut dan lain-lain serangan mengerikan yang selalu ditahannya dan tidak dilanjutkan setelah mendekati sasaran! Repotlah Sun Eng harus mempertahankan diri dan akhirnya dengan langkah-langkah Thai-kek-sin-kun yang lihai barulah dia dapat selalu mengelak dan mempertahankan diri walaupun sama sekali tidak sempat lagi membalas karena memang tingkat kepandaiannya jauh di bawah kalau dibandingkan dengan orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini. Selagi dua orang muda ini terdesak dan terhimpit, tiba-tiba terdengar teriakan tinggi melengking dan nampak berkelebat bayangan orang didahului segulung sinar putih diputar cepat!
"Tahan! Atas nama Pangerang Ceng Han Houw, mundurlah kalian!"
Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun menoleh dan terkejutlah mereka ketika mengenal nona muda yang pernah membantu dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang tempo hari!
"Eh, kau mau apa? Mengantar nyawa?"
"Hemm, nyawa kalian yang berada di tanganku!"
Bentak Lie Ciauw Si, dara itu.
"Si-moi...!"
Lie Seng berseru kaget dan girang melihat adiknya, akan tetapi Ciauw Si menghampiri Panglima Lee Cin.
"Ciangkun, apakah engkau komandan pasukan ini?"
"Benar, nona. Siapakah nona, dan... eh, bukankah nona ini nona Lie Ciauw Si cucu ketua Cin-ling-pai...?"
Kini dia mengenalnya dan merasa heran.
"Benar, dan demi nama Pangeran Ceng Han Houw, kuperintahkan engkau membawa pasukanmu dan dua orang tua bangka ini mundur, dan jangan mengganggu kepada kakakku! Lihat, siapakah berani menentang aku yang telah memperoleh kekuasaan dari Pangeran Ceng Han Houw?"
Sambil berkata demikian, Ciauw Si memindahkan pedang Pek-kang-kiam ke tangan kirinya, lalu dia mengangkat tangan kanan, memperlihatkan cincin yang melingkari jari tengah tangan kanannya. Cincin bermata biru itu adalah cincin tanda kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw yang diperolehnya dari Kaisar sendiri dan semua pejabat tinggi tentu saja mengenal cincin ini! Maka Lee Cin lalu memberi hormat sambil menjura.
"Maafkan kami, kami mentaati perintah,"
Katanya lalu dia memberi aba-aba kepada para perajurit untuk mundur. Semua perajurit, biarpun terheran-heran, tentu saja tidak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee Cin. Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, ialah Phang Tek dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat penasaran berkata,
Dewi Maut Eps 21 Dewi Maut Eps 13 Petualang Asmara Eps 44