Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 44


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 44



"Ini... ini... saya belum pernah berpikir tentang perjodohan, lo-enghiong, dan pula... tentu saya harus bertanya dulu kepada paman saya sebelum memberi keputusan..."

   Katanya gagap. Piauwsu itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Sikap pemuda ini jelas menunjukkan bahwa pemuda ini masih hijau dan polos, masih seorang jejaka tulen sehingga hatinya menjadi semakin suka.

   "Tentu saja, sicu. Aku akan mendatangi pamanmu itu sewaktu-waktu untuk minta persetujuannya. Dalam waktu dekat aku akan mengunjungi dusun Pek-jun untuk bicara dengan pamanmu kalau saja engkau sendiri sudah setuju. Kecuali kalau sicu menolak karena anak kami memang buruk rupa dan bodoh..."

   "Ah, tidak, tidak demikian, lo-enghiong. Puterimu adalah seorang gadis yang cantik dan baik... akan tetapi harap lo-enghiong tidak tergesa-gesa karena terus terang saja, keluarga kami sedang mengalami persoalan yang menyedihkan. Paman saya sedang dalam duka karena kehilangan kedua orang puterinya, bahkan saya sekarang inipun sedang dalam tugas untuk mencari jejak kedua orang adik misan saya itu. Sudah setengah tahun saya meninggalkan rumah dan belum juga berhasil. Saya telah menemukan jejak mereka ke daerah ini, akan tetapi belum juga berhasil menemukan kedua orang adik misan saya itu."

   "Ahh!"

   Ciook-piauwsu nampak terkejut.

   "Kalau saya boleh tahu, apakah yang terjadi, sicu? Siapa tahu saya dapat membantumu."

   Dengan singkat Beng Sin menceritakan peristiwa yang menimpa diri dua piauw-moinya (adik perempuan misan) itu. Dia sudah percaya kepada piauwsu ini yang dianggap sebagai guru sendiri. Tentu saja dia tidak bercerita terlalu banyak, hanya menceritakan bahwa dua orang gadis kembar itu melarikan diri karena tidak mau dijadikan selir pangeran dan sekarang dia harus mencari mereka sampai dapat. Mendengar cerita ini, Ciook-piauwsu terheran-heran.

   "Diangkat selir oleh pangeran adik Kaisar! Itu merupakan kehormatan yang amat tinggi! Kenapa mereka melarikan diri... eh, kau bilang mereka itu adalah saudara kembar? Ahh, betapa kebetulan sekali!"

   Tiba-tiba piauwsu itu berkata dengan wajah berseri.

   "Aku... aku tahu di mana adanya mereka! Ah, kenapa tidak sejak dulu engkau menceritakan padaku, sicu? Mari, mari kau ikut aku!"

   Bukan main kagetnya Beng Sin mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa piauwsu ini justeru tahu tentang Lan Lan dan Lin Lin!

   "Benarkan engkau tahu, lo-enghiong? Di mana mereka?"

   "Agaknya tidak salah lagi! Majikanku, yaitu ketua atau pemilik Hek-eng-piauwkiok memungut sepasang gadis yatim piatu sebagai anak-anak angkatnya! Agaknya mereka itulah adik-adikmu itu! Tak salah lagi. Merekapun pandai ilmu silat. Majikanku melihat mereka ketika mereka dibajak di Sungai Huang-ho dan majikanku menolong mereka, lalu membawa mereka pulang dan mereka diambil anak angkat!"

   Bergegas mereka pergi ke rumah ketua Hek-eng-piauwkiok yang bernama Ciang Lok, seorang piauwsu kawakan yang tidak mempunyai keturunan dan yang pada beberapa bulan yang lalu telah mengangkat dua orang gadis kembar menjadi anak-anak angkatnya. Setelah tiba di situ, mereka disambut oleh Ciang Lok sendiri. Begitu bertemu, Ciook-piauwsu cepat memberi hormat dan berkata.

   "Ciang-twako, di mana adanya dua orang anak angkatmu itu? Kalau tidak salah, mereka itu adalah adik-adik piauw dari Tee-sicu ini yang mencari-carinya!"

   Mendengar itu, Ciang Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu memandang kepada pemuda gendut itu sejenak, kemudian tanpa menjawab pertanyaan pembantunya itu dia lalu bertanya kepada Beng Sin,

   "Apakah engkau mengenal seorang pemuda bernama Kwan Siong Bu?"

   "Tentu saja!"

   Beng Sin menjawab.

   "Dia adalah kakak misanku pula, juga masih kakak misan dari kedua orang adik Lan dan Lin, sepasang gadis kembar yang saya cari, itu!"

   Piauwsu berusia lima puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk, dan kembali menarik napas panjang.

   "Harap kalian suka duduk dan dengarkan ceritaku. Agaknya kedatanganmu terlambat, orang muda."

   Tentu saja Beng Sin kaget sekali. Dia lalu cepat duduk bersama Ciook-piauwsu dan dengan hati tegang dia bertanya,

   "Terlambat bagaimana, lo-enghiong?"

   "Baru tiga hari yang lalu datang seorang pemuda yang bernama Kwan Siong Bu itu, dan ternyata dua orang anak angkatku itu mengenalnya sebagai kakak misan. Kemudian mereka berpamit karena dua orang anak angkatku itu terpaksa harus pulang ke dusun Pek-jun di utara bersama piauw-ko (kakak misan) mereka. Tentu saja aku, biarpun dengan hati amat berat, tidak berhak untuk melarang mereka."

   Wajah Beng Sin berseri.

   "Ah, saya girang mendengar hal ini, lo-enghiong. Syukurlah kalau mereka sudah pulang bersama Kwan-twako. Dan saya sebagai kakak misannya menghaturkan beribu terima kasih kepada lo-enghiong yang telah menolong mereka, bahkan bersikap baik kepada mereka, menampung dan memelihara mereka selama ini!"

   Beng Sin lalu bangkit berdiri dan memberi hormat. Tuan rumah itu balas menghormat.

   "Hemm, engkau baik sekali sicu, jauh lebih baik daripada kakak misanmu itu yang kelihatan angkuh. Sebaiknya kalau sicu cepat menyusul mereka, karena hatiku akan merasa lebih tenang kalau sicu sendiri yang mengantar mereka pulang."

   Beng Sin bergegas pamit dan kembali bersama Ciook-piauwsu. Dia lalu mengemasi pakaiannya dan berangkat hari itu juga setelah berjanji kepada Ciook-piauwsu untuk membicarakan hal usul perjodohan itu kepada pamannya. Juga dalam kesempatan ini Beng Sin berpamit kepada nyonya Ciook dan kepada Siu Lan yang nampak berduka, akan tetapi dia melihat betapa dara ini makin cantik saja! Dengan menunggang kuda pemberian Ciook-piauwsu, Beng Sin melakukan perjalanan cepat menuju pulang ke utara.

   Di sepanjang jalan dia mencari keterangan dan mendapat petunjuk bahwa memang benar dua orang gadis kembar itu ditemani oteh Kwan Siong Bu melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata mereka melakukan perjalanan cepat berkuda pula sehingga dia yang tertinggal selama tiga hari itu sukar untuk dapat menyusul mereka. Akhirnya, setelah melakukan perjalanan cepat, akhirnya Beng Sin tiba juga di pekarangan rumah pamannya di dusun Pek-jung. Dia melompat turun dari kudanya yang mandi keringat, membiarkan seorang pelayan merawat kuda itu, dan dia sendiri sudah berlari memasuki rumah pamannya. Rumah itu sunyi saja! Hanya ada pelayan-pelayan yang memandangnya dengan kaget karena tuan muda yang baru datang ini kelihatan tergesa-gesa dan begitu tegang,

   "Di mana tuan besar? Di mana kedua orang siocia?"

   Berkali-kali dia bertanya dan para pelayan hanya menggeleng kepala. Beng Sin tidak sabar lagi dan berlari mencari ke seluruh kamar di rumah itu. Akhirnya dia melihat Siong Bu seorang diri di dalam lian-bu-thia (ruangan belajar silat) yang luas, agaknya habis berlatih silat karena pedang telanjang masih di tangannya dan mukanya berkeringat. Dia sedang mengusap peluhnya dan tersenyum lebar ketika melihat masuknya Beng Sin.

   "Ha, kau baru datang Sin-te (adik Sin)? Ha-ha, aku lebih berhasil menemukan Lan-moi dan Lin-moi dan membawa mereka pulang tiga hari yang lalu. Kau tahu di mana mereka itu? Ha, betapa bodohnya kita, mencari ke timur dan ke barat, padahal mereka itu pergi..."

   "Aku sudah tahu, Bu-ko. Aku baru saja datang dari Su-couw, bahkan aku lebih dulu dari engkau tiba di Su-couw, hanya tidak kebetulan... ah, sudahlah. Engkau telah berhasil menemukan mereka dan membawanya kembali ke sini, itu yang penting. Tapi di mana mereka sekarang? Dan di mana paman?"

   Kembali Siong Bu tertawa dan pemuda ini nampak girang bukan main.

   "Duduklah, Sin-te, duduklah di sini. Kita bernasib baik sekarang! Ah, kita akan bisa menjadi orang-orang penting di istana! Pendeknya, kita dapat menjadi pembesar tanpa melalui ujian apapun, dan Pangeran Ceng Han Houw tentu akan menolong kita. Paman juga girang bukah main, dan kemarin paman sendiri pergi ke kota raja untuk menemui pangeran!"

   Berubah wajah Beng Sin, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar tegang.

   "Apa...? Apa maksudmu, Bu-ko? Di mana Lan-moi dan Lin-moi?"

   Melihat ini, Siong Bu memandang dengan heran.

   "Tentu saja mereka berada di istana Pangeran Ceng Han Houw! Masa engkau masih harus bertanya lagi, Sin-te? Kita disuruh mencari untuk membawa mereka pulang dan untuk diserahkan kepada pangeran, karena kalau tidak, kita sekeluarga tentu akan celaka. Dan begitu berhasil, aku kebetulan bertemu pangeran sebelum tiba di rumah, maka tentu saja menjadi lebih mudah bagiku untuk menyerahkan mereka kepada pangeran dan beliau girang sekali, langsung membawa mereka ke istana dan menjanjikan kepadaku bahwa keluarga kita akan memperoleh kedudukan tinggi! Bukan hanya kemuliaan di istana atau di kota raja, Sin-te, bahkan lebih lagi! Diam-diam pangeran menjanjikan sesuatu yang lebih hebat lagi!"

   Pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum dan wajahnya berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali. Beng Sin diam-diam merasa terkejut, marah akan tetapi juga heran. Dia tahu bahwa kakak misannya ini mencinta Kui Lan, akan tetapi mengapa sekarang begitu girang menyerahkan dara yang dicintanya itu kepada pangeran? Dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan suara dingin dia bertanya,

   "Hemmm, sesuatu apakah yang dijanjikannya itu?"

   Dalam kegembiraannya, Siok Bu tidak mendengar betapa suara adik misannya itu dingin sekali dan sinar mata yang biasanya jenaka itu berapi-api. Sambil tersenyum dia menjawab,

   "Ah, hal ini hanya kuberi tahu kepadamu, Sin-te, tentu pamam tidak kuberi tahu karena ini merupakan rahasia kita berdua. Apa yang dijanjikan oleh pangeran itu? Beliau berkata bahwa kelak, kalau dia tidak membutuhkan lagi dia akan menghadiahkan Lan-moi dan Lin-moi kepadaku! Ha-ha, tentu saja Lin-moi akan kuserahkan kepadamu, Sin-te!"

   "Plakkk!"

   "Hei, gilakah engkau?"

   Siong Bu meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya dan menggosok-gosok pipinya yang tadi ditampar oleh Beng Sin dengan keras sekali itu. Ujung bibirnya berdarah. Dia dapat ditampar karena dia tidak pernah menyangka sama sekali bahwa adik misan yang sejak kecil takut dan taat kepadanya itu tiba-tiba menyerangnya seperti itu.

   "Bu-ko, sungguh hatimu busuk dan kotor sekali!"

   Beng Sin membentak marah.

   Memang sejak kecil dia mengenal Siong Bu sebagai seorang yang nakal, disangkanya bahwa Siong Bu yang amat mencinta Kui Lan itu akan melindungi dara itu. Siapa kira, dengan keji sekali Siong Bu malah menyerahkan dua orang dara kembar itu kepada pangeran dan merasa girang akan memperoleh hadiah kedudukan, bahkan begitu tak tahu malu untuk bergirang hati oleh janji pangeran bahwa kalau kelak pangeran sudah bosan, dara kembar itu akan dihadiahkan kepadanya! Memang sejak kecil dia takut dan menurut kepada Siong Bu karena memang dia merasa kalah. Akan tetapi sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa, apalagi demi membela Kui Lan dan terutama Kui Lin yang dicintanya, dia tidak akan takut melawan Siong Bu. Apalagi Siong Bu, siapapun akan dilawannya demi untuk membela dara kembar itu.

   "Sin-te, apakah engkau sudah gila? Kau berani menamparku?"

   Siong Bu memandang marah.

   "Bu-ko, hatimu busuk! Kusangka engkau menyayang Lan-moi dan Lin-moi, kukira engkau mencari mereka untuk melindungi, akan tetapi siapa kira, engkau malah menyerahkan mereka kepada pangeran, seperti mendorong masuk dua ekor domba ke kandang serigala! Engkau layak ditampar, bahkan patut dibunuh karena engkau jahat!"

   "Keparat! Jadi engkau bukan hanya berani menentangku, bahkan engkau hendak menjadi pemberotak menentang pangeran? Jahanam busuk, aku harus membunuhmu!"

   Bentak Siong Bu sambil memegang sarung pedang dengan tangan kiri dan pedang di tangan kanannya digerakkan di depan mukanya.

   "Hemm, boleh kau coba! Akulah yang akan menamatkan riwayatmu karena engkau busuk dan hina, dan aku harus membalaskan penghinaan yang kau timpakan atas diri Lan-moi dan Lin-moi!"

   "Beng Sin, tutup mulutmu yang kotor! Kubunuh engkau!"

   Bentak Siong Bu makin marah. Beng Sin melintangkan golok di depan dada, tangan kirinya memegang punggung golok besar itu dan dengan tenang berseru,

   "Majulah, manusia busuk!"

   Pada saat itu, terdengar teriakan dari pintu!

   "Tahan! Jangan berkelahi!"

   Suara itu adalah suara Kui Hok Boan yang muncul di pintu dan terkejut melihat dua orang pemuda itu saling berhadapan dengan senjata di tangan, dan kelihatannya bukan seperti sedang berlatih silat seperti biasa karena wajah mereka tegang dan kelihatan marah. Akan tetapi, begitu melihat munculnya pamannya yang dianggapnya tentu cocok dengan dia mengenai urusan Lan Lan dan Lin Lin, Siong Bu sudah menubruk maju dan berkata,

   "Paman, bocah ini hendak memberontak!"

   Dan pedangnya sudah menyambar-nyambar ganas. Beng Sin cepat mengelak dan menangkis dengan penuh kewaspadaan karena diapun maklum betapa kakak misan atau juga suhengnya ini pandai sekali bermain pedang.

   "Jangan berkelahi!"

   Bentak pula Kui Hok Boan akan tetapi dua orang muda itu sudah begitu marah, dan terutama sekali Beng Sin sudah membenci sekali karena tahu betapa dua orang dara itu seolah-olah disuguhkan begitu saja oleh Siong Bu kepada pangeran itu dan dia dapat membayangkan betapa sengsara dan sedihnya hati dua orang dara kembar itu dan bahwa keadaan mereka sukar ditolong lagi karena sudah berada dalam cengkeraman pangeran itu. Maka segala kedukaan, penyesalan dan kemarahannya dia timpakan kepada Siong Bu yang dianggap sebagai biang keladinya.

   Siong Bu yang merasa bahwa pamannya tentu membenarkannya juga menyerang dengan ganas sekali dan biarpun pamannya sudah berteriak agar mereka jangan berkelahi, dia masih terus menyerang dan tidak mau mengalah, apalagi karena di fihak Beng Sin juga sudah terus menyerangnya dengan nekat. Kui Hok Boan sendiri sejenak termangu-mangu, tak tahu harus berbuat apa. Dia baru saja kembali dari kota raja dan bertemu dengan Pangeran Ceng Han How, diterima sebagai tamu terhormat dan diberi janji-janji muluk oleh sang pangeran. Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan dua orang anaknya. Biarpun dia sudah mohon kepada pangeran itu untuk bertemu dengan mereka, akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tidak mengijinkannya dan hanya berkata bahwa dua orang puterinya itu telah berada di bagian keputren dan tidak bisa sembarangan begitu saja keluar dari istana.

   "Harap engkau tidak khawatir, mereka akan baik-baik saja, hidup dalam kemuliaan dan kemewahan,"

   Kata Ceng Han Houw sambil tersenyum, kemudian Kui Hok Boan dipersilakan untuk bermalam di dalam istana. Biarpun dia memperoleh kamar yang amat mewah dan indah, namun Kui Hok Boan merasa gelisah. Sebagai seorang ayah, betapapun juga dia mengkhawatirkan keadaan dua orang puteri yang dicintanya.

   Semenjak Lan Lan dan Lin Lin minggat, selama berbulan-bulan lamanya dia berduka sekali dan setelah kini dua orang puterinya itu ditemukan oleh Siong Bu, Dia belum sempat bertemu karena mereka telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw oleh Siong Bu. Dia merasa rindu sekaii dan ingin melihat wajah dua orang puterinya, akan tetapi tidak ada kesempatan baginya. Diam-diam dia mulai menyesal. Biarpun dia akan mendapatkan hadiah dan mendapat kedudukan, apa artinya kalau dia tidak dapat lagi bertemu dengan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka itu benar-benar hidup berbahagia? Karena itu, biarpun dia mendapat pelayanan sebagai tamu agung, Kui Hok Boan merasa tidak betah tinggal di istana dan pada keesokan harinya dia sudah berpamit dan pulang ke rumahnya di dusun Pek-jun.

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua orang keponakan itu sedang saling berhadapan kemudian berkelahi mati-matian. Hatinya terlalu pedih, terlalu risau untuk dapat bertindak cepat sehingga dia hanya berteriak-teriak melarang mereka berkelahi, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa, bahkan sama sekali tidak turun tangan melerai mereka. Tiba-tiba Kui Hok Boan terbelalak kaget melihat Beng Sin menjatuhkan diri bergulingan di lantai. Itulah jurus-jurus Trenggiling dari Go-bi-pai aseli yang tidak sempat dia pelajari! Heran bukan main hatinya. Dari mana Beng Sin dapat mainkan jurus-jurus yang berbahaya dan lihai ini? Juga Siong Bu terkejut sekali dan beberapa kali pedangnya masih mampu melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba tangannya yang memegang pedang kena tendangan dari bawah sehingga pedangnya terlepas dan pada saat itu, golok Beng Sin menyambar.

   "Cappp!"

   "Ughhh!"

   Siong Bu menjerit dan darah bercucuran dari perutnya yang robek.

   "Heiiiii...!"

   Kui Hok Boan juga berseru dan meloncat ke depan, menendang tangan Beng Sin yang memegang golok, Beng Sin yang berdiri terbelalak memandang kepada kakak misannya yang roboh sambil mendekap perut yang terobek itu, tidak mengelak dan goloknya terlepas ketika tangannya ditendang oleh pamannya.

   "Siong Bu...!"

   Kui Hok Boan menubruk pemuda yang berkelojotan itu. Siong Bu merintih-rintih, kedua tangan mendekap perut menahan isi perut yang mau keluar.

   "Paman... aduhhh... mati aku, paman..."

   Dia merintih dan menangis.

   "Siong Bu... ah, Siong Bu, anakku...! Ah, Beng Sin, apa yang kau lakukan ini? Apa yang telah kalian lakukan ini?"

   Hok Boan menjerit-jerit dan memukul-mukul tanah dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya merangkul leher Siong Bu.

   "Kalian adalah saudara-saudara seayah, kalian adalah anak-anakku sendiri berlainan ibu, dan sekarang kalian saling serang, saling bunuh! Ya Tuhan...!"

   Beng Sin terbelalak dan wajahnya menjadi pucat sekali. Diapun berlutut dan memandang ayahnya dengan bingung.

   "Paman... ayahku... bagaimana ini...?"

   Dia tergagap.

   "Siong Bu, ibumu adalah mendiang Kwan Siang Li, seorang janda... dan akulah ayah kandungmu... dan kau Beng Sin, ibumu yang kini menjadi nikouw bernama Tee Cui Hwa, dan akulah ayah kandungmu pula... dan kau sekarang membunuh saudara tirimu, seayah...!"

   Kui Hok Boan tak dapat menahan diri lagi, menangis terisak-isak karena Siong Bu mulai lemas dan kepala pemuda itu terkulai. Beng Sin memegang tangan yang lemas itu.

   "Bu-ko, maafkan aku... aku tidak tahu, bahwa... kita... kita masih seayah..."

   Katanya seperti berbisik. Siong Bu membuka matanya, tersenyum. Agaknya kini rasa nyeri sudah meninggalkannya.

   "Aku... aku... yang salah...!"

   Dia memejamkan matanya dan napasnya putus! Kui Hok Boan menangis dan menjambak-jambak rambutnya. Kini Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada ayahnya itu dengan sepasang mata berapi-api. Setelah kini dia mendengar bahwa paman atau juga gurunya ini ternyata adalah ayah kandungnya sendiri,

   Hatinya merasa makin sedih dan menyesal. Ayah macam apa yang dimilikinya ini? Anak-anak sendiri, dia dan Siong Bu tidak diakui sebagai anak, dirahasiakan! Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin, dara kembar yang menjadi puteri kandungnya sendiri, juga secara keji telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Dan teringat dia betapa penakut dan pengecut sikap ayahnya ini ketika muncul musuh-musuh yang tangguh, yaitu Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw. Kini, mengingat akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, melihat pula akibatnya yang membuat dia sampai membunuh Siong Bu, yang ternyata malah saudaranya sendiri, saudara seayah, Beng Sin merasa menyesal dan semua penyesalan itu ditimpakannya kepada ayahnya yang kini terisak-isak di tempat itu seperti seorang anak kecil yang tidak diberi permen!

   "Kau... kau manusia busuk, manusia tak berperasaan, engkau telah menjual puteri sendiri kepada pangeran! Engkau manusia terkutuk!"

   Setelah berkata demikian, Beng Sin memungut goloknya dan lari meninggalkan tempat itu, tidak memperdulikan suara ayahnya yang berteriak-teriak memanggilnya.

   "Beng Sin...! Beng Sin anakku, kembalilah...!"

   Hok Boan bangkit berdiri, hendak lari mengejar, akan tetapi teringat kepada Siong Bu, lalu kembali dan menjatuhkan diri berlutut lagi, lalu menangis, meratapi nasibnya yang buruk. Dua orang puterinya diambil pangeran, Siong Bu tewas, dan Beng Sin melarikan diri!

   Dia ditinggal seorang diri saja di dunia ini! Para pelayan yang mendengar ribut-ribut dan datang ke lian-bu-thia itu terkejut dan segera mundur kembali dengan ngeri melihat majikan mereka meratapi mayat tuan muda yang mandi darah! Betapa sebagian besar dari kita ini selalu bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita selalu menyesali nasib, menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk kepada sang "nasib". Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka mata untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari segala "nasib"

   Berada pada diri kita sendiri? Kitalah sumber segala penyakit, kitalah sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru dapat nampak kalau kita memandang diri sendiri setiap saat tanpa membenarkan atau menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa pamrih!

   Segala peristiwa yang terjadi adalah serangkaian yang sambung-menyambung, seperti lingkaran setan dan semua pendapat dan penilaian merupakan hasil pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran membentuk sang aku yang selalu ingin senang, ingin enak, ingin baik, ingin benar! Kita membenci seseorang. Mengapa! Demikian pikiran bekerja. Karena orang itu jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahiriah maupun batiniah. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan aku, maka aku membencinya. Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai dengan dasar untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menimbulkan scrangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya dan sebagainya, pendeknya untuk melampiaskan dendam dan kebencian kita terhadap orang itu.

   Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi? Tidak sama sekali tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat lain yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya, kita merasa menyesal karena kita ingat, baik melalui orang lain ataupun diri sendiri, bahwa kebencian adalah tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita kepada diri sendiri. Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang pula dengan penilaian pikiran. Ada kalanya pikiran menganggap bahwa kebencian ini tidak baik, dan harus disingkirkan, dilenyapkan.

   Di lain saat pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri, menganggap bahwa kebencian kita itu tepat dan benar karena memang orang itu jahat dan layak dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang, yang menilai ini, juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai ini tidak ada bedanya dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang menilai kebencian baik atau buruk inipun adalah sang kebencian itu sendiri, tiada bedanya dengan si pikiran itulah. Dengan demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini dan menjadi itu, namun kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan tetap ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran sendiri yang menilai-nilai.

   Dapatkah kita memandang tanpa penilaian? Baik memandang kepada orang yang kita lalu nilai sebagai jahat itu, maupun memandang kepada kebencian kita yang kita nilai pula sebagai benar atau salah itu? Kalau kita dapat memandang tanpa ada sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang menilai, melainkan memandang dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa ada yang waspada atau sadar, karena kalau ada berarti akan timbul pula penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya kebencian itupun akan kehilangan tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan. Kita sadar bahwa ada kebencian dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai, tidak membenarkan atau menyalahkan, kita pandang saja! Kita dalam hal ini, adalah sang pikiran itu, dan kebencian adalah sang pikiran itu pula. Biarkan pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan.

   Kui Hok Boan terguncang batinnya oleh semua peristiwa itu, terhimpit oleh penyesalan, kedukaan, ketakutan dan akhirnya semua pelayan melihat orang yang dianggap pandai, baik dalam kesusasteraan maupun dalam ilmu silat, juga kaya raya ini, menangis dan tertawa, menjambak-jambak rambut sendiri dan bersikap seperti orang yang miring otaknya atau gila! Dengan muka merah karena marah, Beng Sin terus lari meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan banyak hal memenuhi pikirannya. Kui Lin ternyata adalah adiknya sendiri, adik tiri seayah! Dia merasa heran sekali mengapa Kui Hok Boan, paman yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu merahasiakan bahwa dia dan Siong Bu adalah anak anak kandungnya sendiri.

   Tentu ada rahasia di balik semua ini! Dan dia harus dapat mengetahui rahasia itu. Dia harus dapat bertemu dengan ibu kandungnya. Bukankah ibu kandungnya telah menjadi nikouw? Pernah Kui Hok Boan yang ketika itu sebagai pamannya, menjawab pertanyaan tentang ibunya, yaitu bahwa ibunya kini telah menjadi nikouw dalam Kelenteng Kwan-im-bio di tepi Sungai Fen-ho di kaki Pegunungan Lu-liang-san, di luar sebuah dusun bernama Kwan-si-men. Dia akan mencari ibunya, untuk bertanya tentang riwayat ibunya agar tabu siapa sebetulnya Kui Hok Boan yang mengaku sebagai ayah kandungnya itu! Dan setelah itu, barang kali, dia akan pergi ke selatan, mencari keluarga Ciook yang telah berlaku baik kepadanya dan yang mengusulkan perjodohan antara dia dan Ciook Siu Lan.

   Pemuda gendut yang pergi tanpa membawa pakaian, hanya membawa golok dan sisa bekal uang yang masih ada padanya, melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san yang terletak di barat daya. Perjalanan yang amat sukar, melalui daerah-daerah yang liar, pegunungan dan hutan-hutan lebat, namun pemuda yang sudah merasa bahwa kini dia hidup seorang diri itu dengan tabah menempuh segala kesukaran itu, mengandalkan golok besarnya, melanjutkan perjalanannya tanpa mengenal lelah. Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, akhirnya dia sampai juga di daerah kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pegunungan itu nampak dengan puncak-puncaknya yang menjulang tinggi menembus awan, nampak seperti raksasa tidur yang angker dan menyeramkan. Senja itu indah sekali. Matahari telah bersembunyi di balik puncak Lu-liang-san, akan tetapi cahayanya masih membakar langit di barat,

   Menciptakan warna-warna yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena indahnya. Ada warna merah yang aneh, merah bercampur kuning dan biru, dan di bagian agak ke utara nampak awan bergumpal-gumpal dengan bentuk-bentuk yang beraneka macam, bentuk-bentuk yang luar biasa anehnya dan yang tak mungkin ada yang sama. Awan-awan itu bergerak perlahan dan setiap saat berubah bentuk, akan tetapi di sisi agak ke selatan nampak lautan hitam dari awan yang kokoh dan tak pernah bergerak nampaknya, seolah-olah selamanya takkan berubah. Puncak-puncak gunung mulai kelihatan kehitaman dan pohon-pohon juga kelihatannya mulai tenang dan siap untuk mengundurkan diri ke dalam kegelapan malam di mana mereka akan beristirahat dalam kegelapan dan kesunyian.

   Melihat keadaan di sekeillingnya pada saat itu, yang menciptakan ketenangan dan keheningan, sejenak Beng Sin lupa akan diri sendiri, lupa bahwa dia ada dan merasa betapa dia telah dilebur menjadi satu dengan segala yang nampak itu. Akan tetapi, begitu pikirannya masuk memecahkan keheningan itu, lenyaplah keheningan dan datanglah iba diri karena dia merasa betapa dia hidup seorang diri dan betapa dia terpencil dan sunyi seperti sebatang pohon pek di kejauhan yang tumbuh terpencil di tepi sebuah jurang. Maka datanglah kedukaan. Tak lama kemudian, ketika kegelapan mulai menyelubungi bumi, pemuda itu sudah duduk bersandar pada sebatang pohon. Didekatnya bernyala api unggun dan dia termenung memandang api yang bergerak-gerak,

   Satu-satunya yang nampak hidup di saat itu, dengan lidah-lidah api merah kekuningan yang seperti menari-nari dengan gembira. Akan tetapi, api yang indah bercahaya itupun akhirnya akan padam dan lenyap, yang tinggal hanyalah abu dan asap yang kemudianpun akan menghilang tanpa bekas. Pada keesokan harinya, Beng Sin mulai mencari keterangan. Akan tetapi para petani dan penghuni gunung yang ditemuinya, tidak seorangpun di antara mereka yang mengenal nama dusun Kwan-si-men atau Kuil Kwan-im-bio. Mereka hanya tahu di mana letaknya Sungai Fen-ho dan akhirnya Beng Sin mencari sungai ini. Setelah bertemu dengan sungai ini, dia mulai menyusuri sungai itu karena dia yakin bahwa dengan cara ini akhirnya dia akan bertemu dengan dusun yang dimaksudkan karena bukankah dusun itu terletak di tepi Sungai Fen-ho, di kaki Pegunungan Lu-liang-san?

   Perhitungannya itu ternyata tepat karena beberapa hari kemudian, dari seorang nelayan, dia mendengar bahwa dusun Kwan-si-men terletak di depan, hanya belasan li lagi jauhnya dan bahwa memang di luar dusun itu terdapat sebuah kuil yaitu kuil di mana dipuja Dewi Kwan Im maka dinamakan Kwan-im-bio. Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Beng Sin dan dia mempercepat langkahnya menuju ke dusun itu. Kuil itu kecil saja, merupakan beberapa buah bangunan kecil dengan bangunan pusat di depan, yang dipergunakan sebagai tempat sembahyang. Halamannya cukup luas dan melihat halaman yang bersih itu menunjukkan bahwa kuil itu terurus baik-baik dan setiap hari halaman itu tentu disapu. Dari jauh sudah terdengar suara ketukan kayu yang mengiringi suara wanita berdoa. Setelah dekat orang akan melihat asap hio mengepul, dan makin dekat lagi orang akan mencium bau harum dupa.

   Biarpun para pengurus Kwan-im-bio adalah wanita-wanita yang telah menjadi nikouw, namun pengunjungnya tidak terbatas golongan wanita saja. Oleh karena itu, munculnya Beng Sin di kuil itu tidak membuat heran para nikouw yang melayani para pengunjung yang hendak bersembahyang. Hanya keadaan pakaian dan sikap pemuda itulah yang mendatangkan rasa heran. Biasanya, para pengunjung kuil itu hanya terdiri dari orang-orang dusun, petani-petani yang minta berkah agar hasil sawah ladang mereka baik, dan para nelayan yang juga minta berkah agar hasil penangkapan ikan mereka baik. Ada juga orang kota yang kadang-kadang datang, yaitu mereka yang mendengar berita dari bibir ke bibir bahwa kuil itu terkenal murah hati dan suka memenuhi atau mengabulkan doa-doa dan permintaan mereka yang datang bersembayang.

   Akan tetapi pemuda ini selain jelas bukan petani atau pemuda nelayan, melainkan orang kota yang agaknya datang dari jauh, melihat pakaiannya yang agak kotor dan dapat diduga bahwa pemuda ini seorang ahli silat, melihat dari golok besar mengerikan tergantung di punggung. Para nikouw itu adalah orang-orang yang hidup dengan bersih, yang menjauhi segala macam kekerasan, apalagi yang mereka puja adalah Dewi Kwan Im yang terkenal sebagai Dewi Welas Asih, maka tentu saja melihat seorang pemuda gendut yang membawa-bawa golok besar yang berkilauan saking tajamnya itu, mereka merasa ngeri! Seorang nikouw tua cepat maju menghampiri dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan jari-jari terbuka dan dimiringkan.

   "Omitohud..., agaknya sicu mempunyai kepentingan sehingga jauh-jauh datang mengunjungi kuil ini. Apakah sicu hendak bersembahyang kepada Hud-couw?"

   Beng Sin cepat memberi hormat dan berkata sejujurnya,

   "Maaf kalau saya mengganggu, akan tetapi kedatangan saya bukan untuk bersembahyang, melainkan untuk mencari seorang nikouw..."

   Wajah halus nikouw itu kelihatan meragu dan pandang matanya penuh selidik, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata,

   "Harap sicu maafkan. Para nikouw di sini adalah orang-orang yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai, berarti sudah tidak mempunyai keluarga dan handai-taulan lagi, seluruh hidupnya telah diserahkan untuk mengabdi kepada Kwan Im Hud-couw dan kepada prikemanusiaan, tidak terikat lagi oleh ikatan keluarga atau sahabat."

   "Saya tahu, akan tetapi yang saya cari adalah... ibu kandung saya sendiri yang menjadi nikouw di sini..."

   Kembali nikouw tua itu menarik napas panjang.

   "Yang dimaksud keluarga juga termasuk anak, sicu, maka semua nikouw yang berada di sini sudah tidak ada ikatan lagi dengan dunia, tidak ada ikatan dengan keluarga, termasuk anak. Maka, kalau sicu bukan bermaksud untuk sembahyang, pinni mohon agar sicu suka meninggalkan kuil ini dan harap jangan mengganggu ketenteraman kehidupan para nikouw."

   Beng Sin mengerutkan alisnya. Dia sudah melakukan perjalanan jauh dan susah payah akan tetapi setelah tiba di tempat yang dicarinya, dia disuruh pergi begitu saja tanpa diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya, bahkan untuk sekedar mendapat keterangan apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati!

   "Hemm, beginikah yang dinamakan prikemanusiaan dan mengabdi prikemanusiaan?"

   Dia berkata penasaran.

   "Agaknya para pendeta hanya mementingkan diri para pendeta sendiri, akan tetapi sama sekali tidak memperdulikan perasaan hati orang-orang biasa! Apakah suthai tidak merasakan betapa rindu hati seorang anak terhadap ibu kandungnya? Apakah suthai hendak membiarkan seorang anak menjadi kecewa dan berduka karena tidak diperbolehkan berjumpa dengan ibu kandungnya yang selamanya belum pernah dikenalnya karena sejak kecil telah dipisahkan? Bukankah itu merupakan perbuatan yang amat kejam, bertentang dengan sifat welas asih dari Kwan Im Hud-couw sendiri?"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nikouw tua itu menarik napas panjang.

   "Ahhh, sicu tidak tahu tentang belas kasih! Belas kasih adalah cinta kasih, dan cinta kasih tidak lagi membeda-bedakan antara anak atau orang lain, tidak lagi mementingkan diri pribagi, tidak ada lagi iba diri. Kami para nikouw memandang semua orang seperti anak sendiri, seperti diri sendiri, dan pemisah-misahan antara anak dan orang lain itu hanya mendatangkan ikatan belaka dan mengembalikan kami kepada asal semula, yaitu dunia yang penuh dengan ikatan-ikatan. Harap sicu me-maklumi keadaan kami dan sudilah sicu meninggalkan kami, dan tidak lagi menganggap bahwa ada ibu kandung di tempat ini. Tempat ini tiada bedanya dengan tanah kuburan dan yang tinggal hanya namanya saja. Cukuplah, sicu, semoga Hud-couw memberkahimu."

   Setelah berkata demikian, nikouw itu menjura dan pergi meninggalkan Beng Sin yang masih berdiri termangu-mangu di tempat itu. Akhirnya dia tahu bahwa berdebatpun tidak akan ada gunanya, dan untuk memaksapun selain dia tidak berani dan tidak mau, juga apa hasilnya? Dia tidak akan dapat mengetahui yang mana ibu kandungnya.

   Dia tidak mungkin dapat bertemu dengan ibu kandungnya kecuali kalau ibu itu sendiri yang memperkenalkan diri. Dengan kedua kaki lemas Beng Sin keluar dari kuil itu dan akhirnya dia menjatuhkan diri di bawah pohon tak jauh dari kuil. Baru sekarang terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya lemas dan lelah sekali. Tadinya dia masih penuh semangat dan bayangan kegembiraan bertemu dengan ibu kandungnya membuat dia lupa akan segala kesengsaraan perjalanan jauh itu. Akan tetapi setelah kini dia kehilangan harapan dan semangat, lemaslah dia dan terasalah semua kelelahannya. Mengingat akan semua itu, kalau saja dia tidak memiliki kekerasan hati ingin rasanya dia menangis! Selagi dia duduk dengan muka pucat dan berulang kali menarik napas panjang, hatinya penuh kekecewaan dan kedukaan, tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya,

   "Sicu, bukankah engkau she Tee bernama Beng Sin?"

   Beng Sin terkejut dan melompat berdiri, lalu membalikkan tubuhnya. Dilihatnya seorang nikouw yang agak gemuk berdiri di depannya, seorang nikouw yang usianya kurang lebih tiga puluh lima lebih, masih nampak muda karena wajahnya terang dan bibirnya selalu mengandung senyuman biarpun sepasang matanya lembut sekali. Sejenak mereka berdua berdiri berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian. Jantung Beng Sin berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia ragu-ragu dan dengan lirih dia bertanya sambil menjura.

   "Benar sekali, bagaimana suthai mengetahuinya?"

   "Tentu saja aku tahu, karena wajahmu dan tubuhmu persis sekali, seperti kembar saja kalau dibandingkan dengan pamanmu yang tiada,"

   Jawab nikouw itu. Beng Sin menatap wajah nikouw itu, melihat betapa bibir dan pelupuk mata nikouw itu gemetar, biarpun pandang matanya tetap lunak dan lembut.

   "Suthai... siapakah...?"

   "Pinni Thian Sin Nikouw, seorang anggauta kuil ini..."

   "Suthai... suthai mengenal Tee Cu Hwa yang saya cari-cari...?"

   Beng Sin bertanya dan sepasang matanya menatap tajam. Nikouw itu mengangguk dan matanya berkejap dua kali, alisnya agak berkerut.

   "Tee Cui Hwa telah mati, tidak ada lagi di dunia ini... apa yang kau kehendaki?"

   Beng Sin tidak terkejut mendengar in akan tetapi dia menatap wajah itu makin tajam, wajah yang mendatangkan rasa anch dalam hatinya, seolah-olah dia selama hidupnya pernah mengenal wajah ini.

   "Saya... saya hanya ingin mengetahui apakah benar saya adalah anak kandung dari Kui Hok Boan, dan agaknya hanya ibu kandung saya yang dapat menceritakannya kepada saya. Maka saya harap ibu... saya harap suthai sudi membebaskan saya dari kegelisahan dan keraguan ini, sudi menceritakan kepada saya tentang riwayat ibu kandung saya dan juga ayah kandung saya!"

   Sepasang mata itu terpejam rapat-rapat seolah-olah hendak mencegah mengalirnya air mata dan menekan perasaan haru yang menghimpit, akan tetapi ketika kedua mata itu dibuka, biarpun tidak ada air mata mengalir tetap saja kedua mata itu basah.

   "Benar, Kui Hok Boan adalah ayah kandungmu. Akan tetapi perlukah sicu mengetahui riwayat yang tidak baik itu? Perlukah segala kekotoran dibongkar kembali? Tidak ada manfaatnya bagimu, sicu."

   "Tidak, saya harus mengetahuinya! Lebih tidak baik lagi kalau kekotoran itu dirahasiakan dan ditutup-tutupi karena saya telah mencium baunya yang busuk! Demi Tuhan, demi segala dewa, demi Kwan Im Pouwsat, harap suthai suka menaruh kasihan kepada saya, seorang yang ayah bundanya masih hidup dan segar-bugar, akan tetapi yang merasa telah menjadi yatim piatu, karena baik ayahnya maupun ibunya sudah lama sekali tidak memperdulikan lagi kepada saya!"

   "Sicu! Jangan kau keluarkan kata-kata seperti itu,"

   Nikouw itu menunduk, dan dengan halus dia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua titik air mata yang turun dari kedua matanya.

   "Sicu tidak tahu betapa mendiang Tee Cui Hwa menderita dengan hebat, menderita lahir batin, jauh lebih hebat daripada perasaan yang sicu derita sekarang ini."

   "Akan tetapi saya sebagai anak kandung ibu dan ayah, berhak sepenuhnya untuk mengetahui riwayat mereka, suthai!"

   Beng Sin mendesak.

   "Baiklah, baiklah, mari kita masuk ke ruangan tamu di kuil, nanti pinni ceritakan semua kepadamu, sicu."

   Setelah berkata demikian, nikouw itu lalu berjalan menuju ke kuil dengan kepala tunduk, diikuti oleh Beng Sin dari belakang. Nikouw yang mengaku bernama Thian Sin Nikouw itu memasuki ruangan tamu kuil dari pintu samping, kemudian dia duduk sambil mempersilakan pemuda itu duduk di depannya. Sejenak mereka yang duduk saling berhadapan itu saling pandang dan akhirnya nikouw itu menarik napas panjang.

   "Omitohud... sama sekali bukan maksud pinni untuk membongkar kebusukan orang, akan tetapi memang benar seperti ucapan sicu tadi, sebagai putera mereka, sicu berhak mendengar dan mengetahui kesemuanya itu."

   Dia berhenti sejenak, memejamkan mata seolah-olah sedang berdoa mohon pengampunan kepada Dewi Kwan Im Pouwsat yang dipujanya atas kelancangannya membongkar kebusukan orang.

   Kemudian dia membuka matanya yang menjadi jernih dan tenang, lalu berceritalah dia dengan suara datar dan halus tanpa disertai ketegangan atau keharuan hati, seolah-olah hanya mulutnya saja yang bergerak akan tetapi hatinya tidak ikut bicara. Belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, gadis Tee Cui Hwa yang berusia tujuh belas tahun hidup berdua saja dengan Tee Kang, yaitu kakaknya yang berusia dua puluh lima tahun. Kakak beradik ini sudah yatim piatu, dan mereka hanya hidup berdua saja dari hasil pekerjaan Tee Kang sebagai seorang penjaga keamanan sebuah rumah judi yang besar. Tee Kang adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat lumayan,

   Maka dia dapat bekerja sebagai penjaga keamanan rumah perjudian itu. Biarpun hidup sederhana, namun kakak beradik ini tidak kekurangan dan mereka hidup saling menyayangi karena hanya berdua saja mereka di dunia ini. Pada suatu hari, Tee Kang pulang membawa seorang tamu. Tamu ini adalah sahabatnya yang bernama Kui Hok Boan, seorang pemuda yang tampan dan menarik sekali, pandai dalam ilmu sastera dan ilmu silat, akan tetapi pemuda ini juga menjadi langganan setia dari rumah perjudian itu sehingga kenal dengan Tee Kang. Tee Kang yang diam-diam hendak mencarikan jodoh untuk adik perempuannya, tertarik melihat teman ini dan dia membayangkan betapa akan bahagianya adiknya dan dia kalau Kui Hok Boan yang disebut Kui-siucai ini dapat berjodoh dengan Cui Hwa! Setelah Kui Hok Boan bertemu dengan Cui Hwa,

   Pemuda tampan ini segera tertarik, bukan oleh kecantikan Cui Hwa karena sesungguhnya gadis itu bukan tergolong gadis yang terlalu cantik sungguhpun wajahnya bersih dan tubuhnya montok. Akan tetapi memang Kui-siucai adalah seorang pemuda mata keranjang dan hidung belang, hanya semua watak ini tertutup oleh sikapnya yang halus sebagai sasterawan sehingga Tee Kang terkelabui dan mengira bahwa pemuda itu adalah seorang yang baik budi! Melihat seorang gadis bagi Kui Hok Boan tiada bedanya dengan melihat seekor daging segar bagi seekor serigala kelaparan, maka tentu saja dia diam-diam sudah mengilar! Hubungannya dengan Tee Kang menjadi makin erat sehingga akhirnya kadang-kadang Kui Hok Boan sampai bermalam di rumah kakak beradik itu. Pada suatu sore, ketika Tee Kang pulang dari tempat kerjanya, dia terkejut melihat adiknya menangis di dalam kamarnya.

   Ketika ditanya, Tee Cui Hwa mengaku bahwa siang tadi, ketika Tee Kang sedang bekerja, Kui Hok Boan datang dan memaksanya menuruti kehendaknya. Dia menolak, karena mereka belum menikah, akan tetapi Kui Hok Boan memaksa dan dengan kejam telah memperkosanya! Mendengar ini, Tee Kang menjadi marah bukan main. Memang benar dia ingin sekali agar adiknya menjadi isteri Kui Hok Boan, akan tetapi tidak secara dipaksa dan diperkosa! Maka dia cepat pergi lagi mencari Kui Hok Boan dan setelah bertemu, dia minta pertanggungan jawab Kui Hok Boan untuk segera mengawini adiknya. Akan tetapi, Kui Hok Boan menolak, bahkan menantangnya. Tee Kang menjadi marah sekali dan mereka lalu berkelahi. Akan tetapi akhirnya Tee Kang roboh dan tewas di tangan Kui Hok Boan yang lebih lihai. Nikouw itu menghentikan ceritanya dan memejamkan kedua matanya.

   "Demikianlah, sicu, pamanmu itu tewas di tangan pria yang jahat itu..."

   "Dan ibuku? Apa jadinya dengan dia?"

   Beng Sin mendesak, mukanya menjadi merah karena diam-diam dia marah sekali kepada Kui Hok Boan.

   "Dia telah kehilangan satu-satunya orang yang dapat dijadikan pelindungnya, satu-satunya keluarganya di dunia ini. Orang she Kui itu lalu datang dan memaksanya ikut pergi, memperkosanya dan mempermainkan sesuka hati sampai dia mengandung, lalu ditinggal pergi..."

   "Keparat jahanam Kui Hok Boan!"

   Beng Sin berseru sambil mengepal tinjunya.

   "Omitohud... semoga Pouwsat menerangi batinmu, sicu. Tidak boleh memaki dan mengutuk orang yang menjadi ayah kandungmu sendiri."

   "Lalu bagaimapa dengan ibuku, suthai?"

   "Dia melahirkan engkau, sicu... kemudian setelah menitipkan atau memberikanmu kepada sebuah keluarga dusun yang baik hati, dia lalu masuk menjadi nikouw..."

   "Dan orang bernama Kui Hok Boan itu lalu mengambilku dan mengakuinya sebagai keponakannya!"

   Nikouw itu mengangguk.

   "Pinni mendengar bahwa sicu telah diambilnya dan tadinya hati pinni ikut merasa gembira karena agaknya ayah kandung itu ingat kepada anaknya sendiri..."

   "Tapi dia tetap jahat! Dan ibu... ibuku adalah engkau, suthai...! Ibu...!"

   Beng Sin lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki nikouw itu. Nikouw itu bangkit berdiri, memejamkan mata dan merangkap kedua tangan di depan dada.

   "Tidak...! Ibumu, Tee Cui Hwa telah mati bagimu dan bagi dunia, sicu. Pinni adalah Thian Sin Nikouw..."

   "Ibu... tidak kasihankah engkau kepadaku, anakmu?"

   Beng Sin meratap, masih berlutut.

   "Pinni kasihan kepadamu seperti kepada semua orang yang menderita, sicu. Pouwsat tidak memilih-milih orang dalam belas kasihan beliau! Ibumu telah mati dan pinni adalah seorang nikouw..."

   Nikouw itu menyentuh kedua pundak Beng Sin, sejenak kedua tangannya menyentuh mesra dan jari-jari tangan itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian seperti ada tenaga baru yang menghilangkan getaran itu, lalu dia membangkitkan Beng Sin.

   "Bangkitlah dan jangan menuruti hati yang lemah, sicu."

   Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada nikouw itu dengan mata basah.

   "Baiklah, suthai, akan tetapi tentu suthai sudi untuk menggantikan kedudukan ibuku dan memberi kepastian dan pendapat suthai tentang perjodohanku."

   "Perjodohan? Sicu hendak menikah? Ah, baik sekali itu, tentu saja pinni merasa bersyukur dan akan pinni doakan selalu kepada Pouwsat agar hidupmu penuh dengan kebahagiaan, sicu, tidak seperti kehidupan ibumu dahulu!"

   Beng Sin lalu menceritakan tentang usul yang diajukan keluarga Ciook kepadanya, dan menceritakan pula semua peristiwa yang terjadi di dalam keluarga Kui Hok Bean, betapa dia hendak membela dua orang gadis kembar yang ternyata masih adik-adik tirinya sendiri seayah itu, dan betapa dalam perkelahian dia telah membunuh kakak tirinya. Nikouw itu mendengarkan dengan alis berkerut. Kemudian dia berkata setelah pemuda itu menghabiskan ceritanya,

   "Sicu, biarlah pinni mewakili ibumu dan menasihatimu. Sebaiknya engkau jangan kembali lagi kepada ayah kandungmu yang ternyata sampai sekarang masih belum juga insaf dari kesesatannya itu. Sebaiknya, mulai sekarang sicu tidak mendekatinya agar tidak timbul segala urusan yang tidak baik dan pergilah engkau kepada keluarga Ciook itu, terimalah usul mereka untuk menjodohkan sicu dengan gadis she Ciook itu. Pinni akan selalu berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu, sicu. Nah, sekarang terpaksa pinni mempersilahkan sicu pergi."

   Beng Sin merasa girang sekali mendengar betapa nikouw ini, yang dia yakin adalah ibu kandungnya, telah menyetujui perjodohannya, dia merasa girang dan terharu sekali, maka dia lalu kembali menjatuhkan diri berlutut,

   "Ibu... suthai... terima kasih atas segala nasihatmu... kelak pada suatu hari... aku akan mengajak isteriku untuk datang menghadap ibu...!"

   Sejenak nikouw itu berdiri seperti patung, dua matanya menjadi basah dan cepat-cepat dia mengusapnya dnegan ujung lengan bajunya, lalu dia tersenyum,

   "Bangkitlah, Beng Sin! Pouwsat akan selalu melindungimu, nak. Dan selamat jalan, doa restuku selalu menyertaimu!"

   Dan dia lalu membalikkan tubuh, mengucapkan doa sambil pergi dari ruangan tamu itu. Beng Sin juga bangkit berdiri lalu melangkah keluar dari kuil, hatinya kini terasa lapang. Dia dapat memaklumi akan sikap ibu kandungnya. Dapat dia membayangkan betapa sengsara ibu kandungnya ketika diperkosa oleh Kui Hok Boan, dipermainkan bahkan dipisahkan dari kakak kandungnya yang terbunuh, kemudian, setelah mengandung lalu ditinggalkan oleh pria yang jahat itu.

   Dan pria itu adalah ayah kandungnya sendiri! Betapa benci hatinya terhadap orang itu, ingin dia kembali ke dusun Pek-jun dan membunuh Kui Hok Boan, atau terbunuh olehnya! Akan tetapi dia teringat akan semua kata-kata nikouw itu, ibu kandungnya, dan semua kebenciannya itupun dilupakannya. Memang tidak benar kalau dia akan memusuhi, apalagi membunuh ayah kandungnya sendiri. Kalau begitu, maka dia akan menjadi seorang manusia durhaka dan keji, bahkan mungkin lebih keji daripada ayah kandungnya itu sendiri! Maka, memang tepat nasihat ibunya, lebih baik dia tidak lagi mendekati manusia itu, dan menerima saja usul Ciook-piauwsu yang gagah dan baik budi itu untuk menjadi suami Ciook Sui Lan yang manis dan halus budi pula. Maka berangkatlah Beng Sin langsung menuju ke Su-couw dan dia melihat cahaya hidup baru membentang luas di depannya.

   Apakah sesungguhnya yang terjadi pada diri Kui Lan dan Kui Lin, dua orang dara kembar puteri dari Kui Hok Boan itu? Seperti telah kita ketahui, dua orang dara kembar yang tidak sudi dijadikan selir pangeran seperti yang telah dijanjikan oleh ayah mereka kepada Pangeran Ceng Han Houw, diam-diam melarikan diri dan mereka pergi ke selatan, tidak tahu harus pergi ke mana, pokoknya meninggalkan ayah mereka yang membuat mereka merasa penasaran itu. Hampir mereka tidak percaya betapa ayah mereka itu seolah-olah hendak menjual mereka kepada pangeran yang sombong itu!

   Sukar mereka dapat menerima kenyataan betapa ayah mereka itu mempuhyai watak yang demikian pengecut dan palsu! Begitu kejam dan jahatnya pula telah membius Sin Liong dan Bi Cu untuk menyerahkan mereka kepada pangeran yang mengejar-ngejar Sin Liong! Padahal, Sin Liong adalah saudara mereka, anak ibu kandung mereka pula! Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan dua orang gadis remaja yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan sejauh itu, tanpa tujuan pula. Untung mereka sejak kecil telah mempelajari ilmu silat sehingga mereka memiliki tubuh yang kuat dan tahan menderita, di samping ini mereka membawa semua perhiasan mereka sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal untuk keperluan makan dan lain-lain di sepanjang perjalanan.

   Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu senja Lan Lan dan Lin Lin tiba di tepi Sungai Hoang-ho. Ketika melihat sebuah perahu besar, mereka berseru memanggil tukang perahu untuk ikut menyeberang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu itu adalah milik bajak sungai! Maka ketika mereka ikut dalam perahu itu dan perahu sudah bergerak ke tengah, mereka berdua dikurung bajak! Terjadilah perkelahian seru dan andaikata pada saat itu tidak sedang lewat perahu yang ditumpangi oleh Ciang Lok atau Ciang-piauwsu, ketua dari Hek-eng-piauwkiok, entah bagaimana nasib sepasang dara kembar itu. Ciang-piauwsu menyelamatkannya dan para bajak itu takut dan segan terhadap piauwsu ini, maka mereka melepaskan Lan Lan dan Lin Lin. Ciang-piauwsu yang merasa kagum kepada dua orang dara kembar,

   Juga karena dia sendiri tidak mempunyai anak, ketika mendengar bahwa dua orang dara itu terlunta-lunta tanpa keluarga, segera mengajak mereka ke Su-couw dan mereka berdua itu dianggapnya anak sendiri. Isterinyapun suka sekali kepada Lan Lan dan Lin Lin. Seperti telah diceritakan, dua bulan setelah mereka itu tinggal di rumah Ciang-piauwsu, pada suatu hari muncullah Kwan Siong Bu yang dapat menemukan jejak mereka setelah pemuda ini juga dihadang bajak sungai, menundukkan bajak dan mendengar keterangan dari bajak bahwa dua orang dara kembar itu pergi ikut Ciang-piauwsu di kota Su-couw. Kedatangan Siong Bu disambut oleh Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira. Apalagi ketika dua orang gadis itu mendengar dari Siong Bu bahwa ayah mereka telah berubah pendirian, menyuruh Siong Bu mencari dan mengajak mereka pulang.

   Siong Bu bercerita bahwa ayah mereka merasa menyesal dan kini hendak mengajak dua orang puterinya itu untuk pindah secara diam-diam agar jauh dari jangkauan Pangeran Ceng Han Houw. Lan Lan dan Lin Lin girang sekali dan mereka berhasil terbujuk dan ikut pergi bersama Siong Bu. Tentu saja pemuda yang cerdik ini telah membohong. Dia tahu bahwa kalau dia berterus terang, dua orang dara itu tidak akan mau ikut pulang, dan diapun tidak mungkin dapat memaksa mereka. Setelah berhasil membujuk dua orang dara kembar itu, mereka bertiga lalu diberi tiga ekor kuda yang baik oleh Ciang-piauwsu dan berangkatlah mereka meninggalkan kota Su-couw menuju ke kota raja, diantar dengan pandang mata duka oleh Ciang Lok dan isterinya yang merasa seperti kehilangan anak sendiri. Setelah tiba di kota sebelah selatan kota raja, mereka bertiga bermalam dalam sebuah rumah penginapan.

   Lan Lan dan Lin Lin menggunakan sebuah kamar dan Siong Bu berada di kamar lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siong Bu untuk keluar dan kebetulan sekali dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw baru tiba dari selatan dan berada di kota itu. Maka cepat-cepat dia menemui pangeran ini dan memberi tahu tentang dua orang dara kembar yang baru saja dapat digiringnya kembali untuk diserahkan kepada sang pangeran! Pada waktu itu, memang Han Houw baru saja kembali dari selatan. Tadinya dia merasa heran dan tidak mengenal pemuda yang mohon menghadap padanya di gedung pembesar setempat, akan tetapi ketika Siong Bu memperkenalkan diri sebagai keponakan Kui Hok Boan, dia segera teringat. Alis tebal pangeran ini berkerut karena dia ternyata sudah lupa lagi bahwa dia mempunyai urusan dengan keluarga Kui itu.

   "Hemm, Kwan Siong Bu, sekarang aku ingat, engkau adalah keponakan orang she Kui itu. Dan ada perlu apakah engkau mengganggu waktuku?"

   Melihat sikap angkuh dan ucapan yang mengandung nada tidak senang ini, Siong Bu menjadi ketakutan. Dia cepat memberi hormat sambil berkata,

   "Harap paduka maafkan kalau hamba mengganggu, kedatangan hamba ini adalah untuk menyerahkan kedua orang adik misan hamba yaitu Lan-moi dan Lin-moi, dua orang dara kembar itu."

   "Dua orang gadis kembar? Ahhh...! Benar! Mereka yang manis-manis itu!"

   Wajah pangeran itu berseri dan hati Siong Bu seketika merasa lega.

   

Dewi Maut Eps 5 Dewi Maut Eps 44 Petualang Asmara Eps 44

Cari Blog Ini