Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 46


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 46



"Kami menghaturkan terima kasih bahwa paduka telah memegang janji,"

   Kata Kui Lan.

   "Terima kasih bahwa kami benar-benar telah ditemukan dengan Liong-koko,"

   Sambung pula Kui Lin. Pangeran Ceng Han Houw hanya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum. Akan tetapi Sin Liong yang mengenal senyum itu, senyum yang mempunyai daya pikat dan daya tarik yang banyak menjatuhkan hati wanita, dan dia tahu pula orang macam apa adanya kakak angkatnya yang tampan ini, pemikat dan pemuda mata keranjang yang tentu akan merusak hati wanita-wanita yang jatuh hati kepadanya, sudah melangkah maju dan memegang tangan dua orang adiknya.

   "Lan-moi dan Lin-moi, hayo kita pergi sekarang dari sini!"

   Dan dia lalu menarik mereka bangkit.

   "Akan tetapi, Liong-ko... pangeran telah memberi kereta itu kepada kami..."

   Kui Lan membantah karena merasa tidak enak kalau harus meninggalkan kereta pemberian itu begitu saja!

   "Sudahlah, mari kita pergi... ayahmu menanti-nanti kalian,"

   Kata pula Sin Liong dan dia menarik dua orang adik tirinya itu cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi kepada Han Houw yang hanya memandang sambil tersenyum lebar. Setelah tiga orang itu lenyap di balik pohon-pohon, sang pangeran lalu masuk ke dalam kereta dan memerintahkan orang-orangnya untuk membawanya kembali ke istana. Seorang pengawal menunggangi kuda pangeran itu dan mengawal di belakang kereta yang dijalankan dengan cepat menuju ke utara. Sementara itu, sambil berjalan menuju ke dusun tempat tinggal keluarga Kui, Sin Liong bertanya apa yang telah terjadi dengan kedua orang dara kembar itu. Mereka itu secara bergilir lalu bercerita tentang pengalaman mereka. Betapa mereka berdua melarikan diri ketika ayahnya menerima pinangan pangeran dan hendak dijadikan selir pangeran itu.

   "Kami melarikan diri ke selatan, tadinya hendak mencarimu, Liong-koko, akan tetapi tidak berhasil. Kami terlunta-lunta dan hampir celaka, tapi ditolong oleh Ciang-piauwsu di Su-couw."

   Dan selanjutnya Kui Lin menceritakan tentang keadaan mereka selama berbulan-bulan tinggal di Su-couw, sampai kemudian muncul Kwan Siong Bu secara tidak disangka di Su-couw dan mengajak mereka pulang ke dusun Pek-jun.

   "Tidak disangka, Kwan Siong Bu itu seorang manusia yang berhati keji,"

   Kui Lin berkata dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengingat betapa dahulu dia merasa tertarik kepada kakak misan ini yang disangka mencintainya.

   "Kiranya dia telah menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw dan dia menyerahkan kita kepada pangeran itu!"

   Kini Kui Lan yang bercerita tentang pengalaman mereka schingga mereka terjatuh ke tangan Pangeran Ceng Han Houw dan mengalami siksaan tidak diberi makan minum dan betapa mereka dibujuk-bujuk oleh sang pangeran untuk suka menjadi selir-selirnya. Sin Liong mengepal tinjunya.

   "Hemm, memang sejak dahulu Siong Bu mempunyai watak yang kurang baik! Akan tetapi pangeran itu... setelah apa yang dia lakukan terhadap kalian, mengapa tadi kulihat kalian bersikap demikian hormat dan bahkan berterima kasih kepadanya?"

   Ucapan terakhir ini terdengar penuh rasa penasaran. Pangeran itu telah bersikap buruk, tidak saja terhadap dirinya, bahkan telah menyiksa dua orang adiknya ini, menawan mereka, membuat mereka kelaparan bahkan digoda secara hebat agar mereka itu menderita dan mau menyerahkan diri akan tetapi dua orang dara ini malah menghormatinya dan berterima kasih!

   "Ah, engkau tidak tahu, Liong-ko! Pangeran itu ternyata baik sekali dan semua perlakuan yang dia perbuat di istana terhadap kami itu hanyalah ujian belaka!"

   Kui Lin berseru.

   "Hemm... ujian bagaimana maksudmu?"

   "Begini, Liong-ko,"

   Kata Kui Lan.

   "Baru kemarin pangeran itu membebaskan kami dari belenggu, bahkan membawa obat untuk mengobati luka-luka kecil di kaki dan tangan kami karena belenggu itu, membawakan makanan dan minuman, lalu dia minta maaf kepada kami, menyatakan bahwa semua itu hanya merupakan ujian belaka darinya untuk mengetahui watak dan sifat kami. Katanya, sebagai adik-adikmu, kami berdua haruslah merupakan dua orang wanita yang gagah dan tidak menyerah terhadap bujukan dan siksaan, maka dia sengaja menguji kami dan kami lulus! Dia menyatakan kekagumannya dan memberi kami pakaian, lalu mengantar kami dengan kereta..."

   "Sudahlah, kalian tidak tahu betapa jahat sesungguhnya dia itu! Yang penting, kalian sudah terbebas, maka kita harus cepat pulang, ayah kalian amat membutuhkan kalian berdua..."

   "Ayah? Ah, dia hendak menjerumuskan kami!"

   Kata Kui Lan.

   "Apa yang terjadi dengan ayah?"

   Tanya Kui Lin.

   "Terjadi banyak sekali hal dalam keluarga kalian semenjak kalian ditangkap oleh pangeran. Banyak sekali hal! Pertama-tama, harap kalian tidak kaget, menurut apa yang kudengar dari ayahmu, Siong Bu dan Beng Sin adalah saudara-saudara tiri kalian, seayah berlainan ibu."

   "Ahhh!"

   "Ihh...?"

   "Dan sekarang Siong Bu telah tewas, terbunuh oleh Beng Sin sendiri."

   Dua orang dara itu melongo, mata mereka terbelalak memandang Sin Liong.

   "Dan... dan... ayah kalian sakit berat... aku tak dapat menceritakan, baik kalian lihat sendiri."

   Dua orang dara kembar itu betapapun juga tentu saja menjadi terkejut bukan main mendengar bahwa ayah mereka sakit berat. Memang perbuatan ayah mereka amat menyakitkan hati mereka, akan tetapi betapapun juga rasa kasihan dan sayang dalam hati mereka terhadap ayah kandung masih ada, maka kini mereka segera mempercepat jalan mereka, setengah berlari-lari menuju ke dusun Pek-jun. Kalau di waktu malamnya rumah kosong itu nampak menyeramkan sekali, kini di waktu siang tempat itu nampak amat menyedihkan. Melihat keadaan rumah mereka, begitu tiba di halaman Lan Lan dan Lin Lin tertegun, lalu mereka berlari-lari memasuki rumah kosong itu. Mereka makin terkejut dan khawatir sekali ketika melihat bahwa keadaan dalam rumah itupun sama saja, kosong tidak ada secuwilpun perabot rumah yang dulu amat mewah dan lengkap!

   "Apa yang telah terjadi?"

   Teriak Kui Lan.

   "Di mana ayah?"

   Kui Lin berseru. Tiba-tiba mereka terkejut mendengar suara tangis orang. Cepat
(Lanjut ke Jilid 43)

   Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 43
mereka berlari ke kamar ayah mereka, mendorong pintu dan keduanya berdiri dengan muka pucat sekali, memandang kepada ayah mereka yang berpakaian seperti jembel itu menangis tersedu-sedu di atas lantai kamar yang kosong itu.

   "Ayaaahhh...!"

   Jerit ini keluar berbareng dari dua mulut dara kembar itu dan mereka lalu menubruk ayah mereka. Kui Hok Boan mengangkat muka dan melihat dua orang anaknya, tangisnya makin menghebat. Dia merangkul dua orang anaknya itu sambil menangis.

   "Ya Tuhan... Lan Lan dan Lin Lin... kalian hidup lagi...? Ahh... ampun... ampunkan ayahmu ini... ampunkan ayahmu ini...!"

   Dan orang tua itu lalu terkulai lemas dan roboh pingsan, pertama karena memang tubuhnya tidak terawat selama beberapa lama ini, dan keduanya karena batinnya terguncang melihat dua orang puterinya. Sin Liong lalu membantu Hok Boan dengan pengerahan sin-kang sehingga orang tua itu siuman kembali.

   Agaknya pertemuan dengan dua orang puterinya membuat dia sadar kembali dan menangislah orang tua ini. Kemudian, Lan Lan dan Lin Lin mencari keterangan kepada pada tetangga dan berceritalah para tetangga bahwa setelah menguburkan jenazah Siong Bu, Kui Hok Boan menjadi berubah ingatannya. Dia membagi-bagikan seluruh barangnya kepada para tetangga dan siapa saja yang mau sampai rumah itu kosong sama sekali. Kini, para tetangga yang baik hati mengembalikan barang-barang yang pernah diterimanya dari Kui Hok Boan. Akan tetapi, atas usul Sin Liong, dua orang dara itu hanya menerima kembali barang-barang berharga dan uang, den meninggalkan atau memberikan semua perabot-perabot rumah kepada para tetangga, kemudian pemuda itu mengajak mereka berunding.

   "Sebaiknya, kalian jangan tetap tinggal di tempat ini,"

   Katanya.

   "Karena aku masib belum yakin benar bahwa Ceng Hen Houw akan memegang janji dan tidak akan mengganggu kalian. Sebaiknya kalian membawa ayah kalian pergi mengungsi dari tempat ini."

   "Ke mana kami harus pergi...?"

   Kui Lan bertanya khawatir.

   "Menurut penuturan kalian tadi, Ciang-piauwsu di Su-couw itu adalah orang yang baik sekali,"

   Kata Sin Liong.

   "Bagaimana kalau kalian membawa ayah ke sana? Dengan uang dan benda-benda berharga yang kalian bawa, ayah kalian memiliki modal yang cukup besar untuk memulai dengan kehidupan baru di sana."

   Setelah dibujuk oleh Sin Liong, akhirnya dua orang adik kembar itu setuju den mereka lalu membawa ayah mereka yang kini keadaannya seperti seorang manusia tanpa semangat itu untuk melarikan diri ke selatan. Sin Liong merasa tidak tega kepada dua orang adik tirinya itu, maka diapun lalu mengawal sampai mereka tiba di Su-couw.

   Dan, tepat seperti dugaan Sin Liong, Ciang-piauwsu menerima dua orang dara kembar itu dengan riang gembira. Dia dan isterinya memang sudah menganggap Lan Lan dan Lin Lin sebagai anak mereka sendiri, maka tentu saja mereka menerima dua orang dara kembar itu dengan gembira dan keluarga Ciang-piauwsu ini bahkan menerima Kui Hok Boan sebagai saudara angkat. Setelah melihat betapa dua orang adik tirinya memperoleh tempat yang aman, Sin Liong lalu berpamit dan mulailah dia pergi mencari Bi Cu. Ke manakah Sin Liong harus mencari Bi Cu? Apa yang terjadi dengan dara itu semenjak dia berpisah dari Sin Liong? Seperti telah kita ketahui Bi Cu tadinya tertawan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya setelah Sin Liong memberikan janjinya untuk membawa pangeran itu kepada suhengnya sehingga pangeran itu akhirnya diterima menjadi murid Bu Beng Hud-couw,

   Maka Bi Cu dibebaskan oleh sang pangeran. Tentu saja diam-diam pangeran ini meninggalkan pesan kepada orang-orangnya agar mengamat-amati dara itu karena betapapun juga, Bi Cu adalah murid mendiang Hwa-i Kai-pang, dan karenanya dianggap sebagai musuh pemerintah pula. Semenjak berpisah dari Sin Liong, Bi Cu merasa betapa hidupnya menjadi lain sama sekali. Kalau tadinya sebagai Kim-gan Yan-cu, pemimpin para pengemis muda, biasa hidup lincah dan gembira, kini dia merasa betapa hidupnya sunyi dan tidak ada kegembiraan lagi. Dia tidak berani kembali ke kota raja setelah dia dianggap pemberontak pula. Kini, dia terlunta-lunta, mencoba untuk mencari-cari Sin Liong, berkelana dengan hati duka ke barat dan ke selatan.

   Semenjak berpisah dari Sin Liong, terasa lagi kesengsaran yang menindih hatinya semenjak dia masih kecil, bahkan kini makin parah kedukaan melukai hatinya. Semenjak kecil, Bi Cu merindukan kasih sayang orang tuanya. Sejak kecil dia telah kematian ibu kandungnya, kemudian oleh ayah kandungnya dia diberikan kepada orang lain! Hal inilah, setelah dia agak besar mulai mengerti, yang mencabik-cabik perasaan hatinya, kedukaan yang pertama kali terasa olehnya. Dia merasa dikesampingkan, bahkan merasa dibuang, merasa diremehkan sekali oleh orang yang menjadi ayah kandungnya sendiri, satu-satunya orang tuanya, setelah ibu kandungnya meninggal! Ayah kandungnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi darah dagingnya, telah menyingkirkan ia karena hendak menikah dengan wanita lain setelah ibunya meninggal!

   Hatinya terasa perih, bukan karena ayahnya menikah dengan wanita lain, melainkan karena dia merasa telah dibuang oleh ayahnya! Kadang-kadang, dia merasa penasaran, dia merasa kesepian dan marah, sehingga ada kalanya, timbul perasaan benci kepada ayah kandungnya. Dalam keadaan seperti itu, kadang-kadang dia merasa betapa dunia ini merupakan tempat yang gelap pekat, sempit dan tidak menyenangkan. Apalagi setelah kehidupannya mulai terhibur karena kebaikan Na-piauwsu, kemudian piauwsu ini tewas oleh musuh-musuhnya di depan matanya. Dia merasa seolah-olah dunia kiamat. Satu-satunya pengganti orang tuanya, Na-piauwsu yang demikian baik kepadanya, telah tewas dalam keadaan menyedihkan, dan putera piauwsu itu, Na Tiong Pek, agaknya hendak memaksa hasrat hatinya, hendak memperisterinya di luar kehendak hatinya.

   Dalam keadaan seperti itu, dia terlunta-lunta dan akhirnya dia memperoleh penerangan jiwa lagi ketika dia menjadi murid Hwa-i Sin-kai, ketua Hwa-i Kai-pang yang juga amat baik kepadanya dan kemudian dia masih dapat hidup gembira ketika gurunya ini meninggal dunia dan dia memimpin para pengemis muda. Akan tetapi, sedikit sinar terang inipun padam dan dia menjadi buronan pemerintah! Namun, hidupnya mengalami perubahan besar, kegembiraan mulai memenuhi batinnya ketika dia bertemu dengan Sin Liong, dan ternyata kebahagiaan bersama Sin Liong inipun direnggut orang dari tangannya! Dia kini terpisah dari pemuda itu, dan dia hidup terlunta-lunta, seorang diri saja di dunia ini, kesepian, dan kekeringan! Mau rasanya dia mati saja daripada hidup dalam penderitaan batin tiada hentinya itu.

   Dia haus akan cinta kasih, dan sikap Sin Liong membayangkan cinta kasih yang dapat memenuhi hatinya, sebagai pengganti cinta kasih ayah bundanya. Namun, kini dia tidak tahu apakah Sin Liong masih hidup dan dapat menyelamatkan diri dari tangan pangeran yang amat dibencinya itu. Bi Cu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon besar dan tak tertahankan lagi dia menangis. Air matanya bercucuran tak dapat ditahannya, dan diapun tidak berusaha menahannya. Dia merasa amat lelah, lelah lahir batin. Kakinya lelah karena sehari penuh dia berjalan kaki, seluruh tubuh lelah karena sehari itu tak pernah ada makanan memasuki perutnya dan diapun tidak ada nafsu makan sama sekali. Batinnya juga lelah, karena digerogoti kesepian dan kerinduan akan kasih sayang. Dia merasa pada saat itu betapa sia-sia hidupnya, betapa kosong tiada artinya sama sekali. Bi Cu menangis mengguguk.

   Air matanya bercucuran, ujung hidungnya menjadi merah dan dia tersedu-sedu. Iba diri makin menggerogoti hatinya, iba diri yang datang dari pikiran membayangkan kesengsaraan yang dideritanya, menciptakan tangan maut yang mencengkeram hatinya dan meremas-remas hatinya sehingga berdarah! Bukan hanya Bi Cu yang mendambakan cinta kasih, merindukan kasih sayang dilimpahkan kepadanya. Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua menghendaki agar semua orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan cinta kasih! Dari manakah datangnya kehausan ini? Mengapa kita dahaga akan cinta kasih orang lain terhadap diri kita. Kita tidak pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting daripada segala keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan : apakah KITA suka atau mencinta kepada SEMUA orang?

   Sesungguhnya di sinilah letak sumber daripada segalanya. Tanpa adanya cinta kasih dalam batin kita sendiri terhadap semua orang dan segala sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta kasih lain orang! Akan tetapi apabila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak lagi akan kehausan. Karena batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu dahaga akan cinta kasih terhadap diri kita, seperti sumur kering merindukan air. Kalau su-mur itu penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya yang berlimpah-limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA! Sungguh sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih dalam diri kita terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita selalu mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada maka kita merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya.

   Kita baru dapat bicara tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih daripada kebencian, iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada di dalam batin, jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan kalau semua itu sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa kita tidak MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan kita TIDAK MENGHARAPKAN APA-APA LAGI! Hati yang penuh cinta kasih tidak mengharapkan apa-apa lagi, seperti cawan yang penuh anggur tidak menghendaki apa-apa lagi. Tidak ada lagi rasa takut, tidak ada lagi rasa khawatir tidak akan dicinta orang, tidak ada lagi rasa takut akan dibenci orang. Yang takut tidak dicinta, yang takut dibenci, adalah si aku, yaitu pikiran yang mengaung-ngaungkan si aku, yang memupuk iba diri.

   Akan tetapi, kalau hati penuh dengan cinta kasih, tidak ada lagi si aku yang ingin ini dan itu. Bi Cu masih menangis sesenggukan. Tangisnya mulai mereda, hanya tinggal isak-isak pelepas ganjalan hati. Suka maupun duka ada batasnya. Permainan pikiran selalu terbatas. Penghamburan tenaga sakti berupa senang dan susah mendatangkan kelelahan dan biasanya orang akan merasa lelah dan lemah setelah penumpahan rasa duka maupun suka ini. Demikian pula dengan Bi Cu. Setelah air matanya dikuras, seolah-olah hendak mencuci bersih hal-hal yang mengganjal hatinya, dia merasa lelah dan dia rebah di atas rumput, berbantal kedua lengannya, merenung dan melamun menatap langit. Dengan pesona yang aneh matanya mengamati dan mengikuti gerakan awan-awan putih berarak di langit biru, seperti sekumpulan domba-domba yang bulunya tebal dan lunak.

   Ketika ada segumpal awan memanjang dan khayalnya membentuk gumpalan awan itu sebagai seorang anak laki-laki penggembala domba-domba itu, teringatlah dia kembali kepada Sin Liong dan dia mengeluh lirih. Dia tidak tahu betapa dalam waktu beberapa menit tadi dia mengamati awan berarak, pikirannya kosong sama sekali, maka semua duka lenyap tanpa bekas dan pada saat itulah dia berada dalam keadaan kosong dan bersih! Namun, begitu pikirannya teringat kembali, bekerja kembali, diapun dilontarkan kembali ke dunia penuh pertentangan antara suka dan duka ini. Bentuk itu mengingatkan dia kepada Sin Liong dan dia termenung. Semenjak dia bertemu kembali dengan Sin Liong, dia merasakan sesuatu yang hanya dapat dirasakan olehnya sendiri saja. Dia tidak tahu apakah adanya perasaan itu. Cinta kasihkah? Atau apa?

   Yang jelas, dia selalu terbayang-bayang kepada Sin Liong, wajahnya, gerak-geriknya, bahkan pakaiannya, dan suaranya seperti selalu bergema di dalam telinganya. Dan semua ini menimbulkan kerinduan yang amat sangat, kerinduan terhadap Sin Liong. Dia tahu bahwa Sin Liong telah mengorbankan diri untuknya, dia tahu bahwa pemuda itu telah menolongnya bebas dari tangan pangeran yang dibencinya itu. Akan tetapi dia tidak tahu apakah adanya urusan antara Sin Liong dan pangeran itu. Teringat akan pengorbanan pemuda itu, dia menjadi semakin rindu kepadanya. Terbayang betapa gembiranya ketika dia melakukan perjalanan di samping Sin Liong, bahkan teringat betapa mesranya ketika mereka bersama-sama menghadapi maut, ketika mereka hanyut dalam arus air dan menghadapi maut di ujung anak-anak panah yang dilepas oleh para perajurit.

   Bayangan Sin Liong ini mendatangkan keharuan, kerinduan, akan tetapi juga membangkitkan semangatnya kembali. Aku harus mencarinya, aku harus menemukannya, demikian pikiran yang mendatangkan semangat itu. Aku tidak boleh mati sebelum bertemu kembali dengan Sin Liong! Dara itupun bangkit berdiri dan memandang ke depan. Di atas lereng bukit berdiri di depan nampak genteng-genteng rumah dusun. Dia harus mencapai dusun itu sebelum gelap menyelubungi bumi. Perutnya lapar dan di mana ada genteng rumah, tentu ada manusia dan di mana ada orang tentu ada makanan. Diapun lalu berlari ke depan, menuju ke dusun di lereng bukit itu. Sampai berbulan lamanya Bi Cu berkelana ke barat, berputar-putar kemudian ke selatan.

   Di setiap tempat yang dilaluinya, dia selalu mencari keterangan tentang Sin Liong, akan tetapi agaknya orang di dunia ini tidak ada yang mengenal nama Sin Liong dan dia tidak pernah menemukan jejaknya. Bi Cu sama sekali tidak tahu betapa ketika dia memasuki dusun itu dan langsung menuju ke sebuah kedai makanan, ada beberapa pasang mata memandangnya dengan penuh perhatian. Beberapa pasang mata ini makin lama makin bertambah banyak dan belasan orang itu mengintainya dari jauh. Bahkan mereka selalu membayanginya ketika dia sehabis makan mondok di rumah sekeluarga petani yang ramah. Malam itu Bi Cu tidur dengan nyenyaknya setelah perutnya diisi. Dia merasa tenaganya pulih kembali dan dia mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi mulai lagi dengan pencariannya. Dia akan mencari Sin Liong sampai jumpa, biar ke ujung dunia sekalipun!

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bi Cu sudah sarapan di warung makanan dan karena dia hendak pergi melintasi bukit-bukit di depan, maka dia memesan roti kering untuk bekal di jalan, kalau-kalau dia tidak akan bertemu dengan dusun hari itu. Kemudian Bi Cu berangkat meninggalkan dusun itu, sama sekali tidak tahu betapa tak lama setelah dia pergi, ada lima belas orang perajurit menunggang kuda membalapkan kuda keluar dari dusun itu dan melakukan pengejaran kepadanya. Bi Cu masih belum sadar akan datangnya bahaya ketika dia mendengar derap kaki kuda di sebelah belakangnya. Dia hanya menduga ada serombongan orang berkuda hendak lewat, maka dia cepat minggir di tepi jalan dan menundukkan mukanya agar jangan terlihat oleh rombongan itu.

   Dia sudah sering kali mengalami hal-hal tidak enak kalau memperlihatkan muka dan bertemu dengan kaum pria di tempat sunyi. Hanya karena mengandalkan kepandaian silatnya maka selama ini dia dapat menghindarkan segala bencana yang mungkin datang dari pria-pria hidung belang atau mata keranjang. Akan tetapi ketika rombongan berkuda itu lewat, dia terkejut melihat bahwa mereka itu berpakaian seragam, dan baru dia tahu akan bahaya ketika mereka berturut-turut berloncatan turun dari atas kuda dan sudah mengepungnya dengan wajah bengis! Tahulah dia bahwa para perajurit ini telah mengenalnya dan tentu hendak menangkapnya! Seorang di antara mereka berpakaian komandan, sambil tersenyum lebar melangkah maju. Pria ini usianya tiga puluh tahun lebih, kumisnya tebal dan matanya lebar. Sambil tersenyum mengejek komandan itu berkata.

   "Kim-gan Yan-cu, susah payah kami mencari-carimu, kiranya engkau berada di sini. Ha-ha, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

   Disebut nama julukannya, timbul semangat dalam diri Bi Cu. Ketika dia masih menjadi pemimpin para pengemis, hidupnya penuh petualangan dan dia tidak pernah takut terhadap apapun juga. Berkelahi merupakan "pekerjaan"

   Sehari-hari, maka kini begitu dia disebut Kim-gan Yan-cu, semangatnya terbangun dan biarpun dia dikepung oleh lima belas orang perajurit, dia bersikap tenang saja dan memanggul buntalan terisi pakaian dan bekal roti kering.

   "Hemm, kalian ini perajurit-perajurit kerajaan, apakah tidak malu mengganggu seorang wanita di tengah jalan sunyi dalam hutan? Kalian mau apakah?"

   "Ha-ha-ha, tak perlu kau berpura-pura lagi, Kim-gan Yan-cu. Engkau adalah seorang pemberontak, dan kami adalah perajurit-perajurit kerajaan maka kalau kami bertemu dengan seorang pemberontak, lalu mau apa? Tentu saja hendak menangkap dan meringkusmu untuk kami bawa ke kota raja dan dijebloskan ke dalam penjara!"

   Kata komandan itu.

   "Biarkan aku menangkapnya!"

   "Aku saja!"

   "Aku saja!"

   Di antara empat belas orang perajurit itu beramai-ramai hendak berebut. Mereka tentu saja tidak berani bertindak lebih sebelum memperoleh ijin komandan mereka, pula mereka tahu bahwa dara ini pernah berurusan langsung dengan Pangeran Ceng Han Houw, maka tentu saja mereka tidak berani mencoba untuk melakukan hal yang berlebihan. Namun, kalau diperbolehkan menangkap, setidaknya mereka memperoleh kesempatan untuk sekedar merangkul, meraba dan mencolek tubuh dara remaja yang sedang mekarnya ini! Melihat kegairahan anak buahnya, komandan itu tersenyum.

   "Kalian semua boleh maju dan coba tangkap dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka. Ingat, dia itu seorang buronan yang penting dan beliau telah memesan khusus kepadaku agar berusaha menangkapnya tanpa mengganggunya!"

   Empat belas orang perajurit itu bersorak dan tiba-tiba mereka itu saling bergerak berlumba untuk lebih dulu meraba tubuh Bi Cu yang memang mulai dewasa seperti buah meranum atau bunga, sedang terbuka kuncupnya. Seorang perajurit tinggi kurus menubruk dari depan. Akan tetapi Bi Cu sudah menggerakkan kakinya.

   "Dukkk! Waaahhh!"

   Orang itu terjengkang karena perutnya kena ditendang ujung sepatu Bi Cu. Orang ke dua dari kiri juga disambar tendangan, tepat mengenai lututnya sehingga orang itu jatuh berlutut.

   "Wah, A-piauw, begitu hebatkah engkau tergila-gila kepadanya sampai berlutut?"

   Komandan itu mengejek anak buahnya ini. Maka terjadilah perkelahian yang ribut dan Bi Cu mengamuk dengan pukulan-pukulan, tamparan dan tendangan-tendangan. Akan tetapi para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang bertubuh kuat dan karena jumlahnya banyak, dia kewalahan juga. Tiba-tiba, selagi dia menghadapi lawan yang mendesak dari depan, seorang perajurit berhasil me-nubruk dan menyikapnya dari belakang dan kedua tangan dengan jari-jari yang panjang itu mencengkeram ke arah dadanya! Bi Cu menjerit lirih.

   "Heh-heh, lihat, aku berhasil menangkapnya!"

   Seru perajurit itu sambil tertawa-tawa.

   "Ngekk!"

   Tiba-tiba dia meringis dan kedua tangannya yang nakal itu terlepas dari pegangannya karena hidungnya pecah dan berdarah ketika dibantam oleh siku kanan Bi Cu.

   "Desss... auuuughh...!"

   Kini dia terhuyung lalu roboh terjengkang, kedua tangan memegangi bawah pusarnya karena tadi dengan kemarahan meluap-luap Bi Cu telah menyepakkan kakinya ke belakang,

   Seperti seekor kuda betina yang diganggu dari belakang. Tumit sepatu dengan tepat mengenai anggauta tubuh bawah pusar sehingga laki-laki itu kini mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih. Hanya mereka yang pernah merasakannya sajalah yang mampu menggambarkan betapa nyeri, kiut-miut rasanya kalau bagian itu kena tendang! Bi Cu sudah marah sekali. Kini dia bukan sekedar membela diri, melainkan balas menyerang untuk membunuh! Dia seperti seekor harimau betina yang sudah tersudut dan menjadi buas dan liar! Kedua tangannya menampar dengan pemgerahan seluruh tenaga, dan ketika ada seorang perajurit menjerit kesakitan dan sebuah biji matanya copot kena ditusuk jari tangan Bi Cu, kaget dan marahlah komandan pasukan kecil itu.

   "Robohkan dia!"

   Bentaknya dan kini para perajurit yang juga marah melihat betapa seorang teman mereka cedera demikian parah, lalu mendesak maju dan mulai menyerang dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, tidak seperti tadi yang hanya sekedar ingin menangkap dan meraba saja! Dan mulailah Bi Cu kewalahan! Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai tubuhnya, membuat dia terhuyung-huyung. Namun dia sama sekali tidak mau menyerah, bahkan mengamuk seperti seekor harimau memukul, mencakar, kalau perlu menggigit!

   "Hantam perempuan liar ini! Baru kita ringkus!"

   Bentak lagi komandan yang juga pernah kebagian tendangan kaki Bi Cu yang mengenai betisnya dan menimbulkan kenyerian yang cukup membuat dia semakin marah. Para perajurit itu, seperti sekumpulan serigala mengeroyok seekor harimau betina, kini menubruk dari empat jurusan, menampar, menjambak dan akhirnya robohlah Bi Cu karena kakinya kena ditangkap dan ditarik. Begitu dia roboh, para perajurit itu bersorak dan mereka berlumba untuk menubruk dan meringkus Bi Cu.

   "Siancai...! Aniing-anjing pemerintah lalim menghina rakyat lagi!"

   Suara ini tiba-tiba saja terdengar, disusul teriakan dua orang perajurit yang terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pecah karena ada tongkat butut yang menyambar dan menghantam kepala dua orang itu secara cepat sekali. Tongkat itu berada di tangan seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, berpakaian jubah pendeta berwarna putih kumal dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas, seperti seorang tosu yang baru saja keluar dari tempat pertapaannya. Melihat robohnya dua orang teman mereka yang tewas dengan kepala pecah itu, semua perajurit terkejut bukan main dan mereka segera mengurung pertapa itu, meninggalkan Bi Cu yang masih rebah. Bi Cu bangkit duduk, mengelus-elus kaki kirinya yang terasa nyeri sekali terkena tendangan keras dari si komandan, dan dengan heran dia memandang kepada kakek yang tak dikenalnya itu.

   "Pertapa jahat!"

   Komandan itu membentak dan menundingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu.

   "Berani engkau membunuh dua orang perajurit kerajaan?"

   "Huh, siapa yang tidak berani? Kalau bisa aku akan membunuh seluruh perajurit kerajaan yang lalim dan menindas rakyat!"

   Jawab pendeta itu.

   "Kakek pemberontak!"

   Komandan itu berteriak lalu dia memberi aba-aba.

   "Tangkap atau bunuh dia!"

   Komandan itu sendiri kini mencabut pedangnya, dan semua anak buahnya juga mencabut golok masing-masing. Ketika mereka mengeroyok Bi Cu tadi, tidak seorangpun di antara mereka yang mempergunakan senjata, karena mereka hendak menangkap Bi Cu hidup-hidup, pula mereka agak memandang ringan kepada dara muda remaja itu. Akan tetapi sekarang, melihat betapa kakek itu telah membunuh dua orang kawan mereka, tentu saja mereka menjadi marah dan sinar kejam dalam mata semua perajurit itu.

   "Ha-ha-ha, marilah kuantar nyawa kalian ke neraka!"

   Kakek itu tertawa dan si komandan sudah menerjang dengan pedangnya, diikuti oleh anak buahnya.

   Tiba-tiba terdengar suara angin bercuitan dan tongkat itu lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyambar semua perajurit yang telah menyerang. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan disusul robohnya para perajurit itu seorang demi seorang! Golok beterbangan dan akhirnya, dalam waktu yang amat singkat, seluruh perajurit termasuk komandannya telah roboh dan tewas karena semua roboh dengan kepala pecah! Melihat ini, diam-diam Bi Cu terkejut dan juga merasa ngeri sekali. Dia hanya duduk dan terbelalak memandang kepada kakek yang kini berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang dan kakek itu tertawa menyeramkan. Betapapun, karena mengingat bahwa kakek yang kejam dan menyeramkan ini telah menyelamatkanya, Bi Cu lalu bangkit dan terpincang-pincang menghampiri kakek itu sambil berkata,

   "Terima kasih atas pertolongan locianpwe."

   Kakek itu sudah berhenti tertawa, lalu membersihkan ujung tongkatnya yang berlumuran darah itu pada baju yang menutupi tubuh seorang di antara para korbannya yang terdekat. Kemudian dia menunduk dan memandang kepada dara remaja itu, berkata lirih,

   "Anak yang baik, kau angkatlah mukamu dan pandang aku."

   Biarpun merasa serem, Bi Cu mengangkat muka memandang. Kakek itu sudah tua namun mulutnya yang selalu tersenyum itu membayangkan ketampanan, dan terutama sekali sepasang matanya mencorong menakutkan. Bi Cu terkejut dan ingin mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia tidak sanggup! Sinar matanya seperti melekat atau tertangkap oleh sinar mata kakek itu, membuat dia tidak mampu menggerakkan mata untuk mengalihkan pandangan! Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Bagus, engkau seorang perawan remaja yang cantik manis, berdarah bersih dan bertulang baik. Engkau patut menjadi muridku. Siapakah namamu?"

   Dengan suara gemetar dan yang keluar seolah-olah di luar kehendaknya, Bi Cu menjawab,

   "Nama saya adalah Bhe Bi Cu..."

   "Bagus! Nah Bi Cu, mulai sekarang engkau kuambil sebagai muridku."

   Di dalam batinnya Bi Cu menolak, akan tetapi anehnya, dia tidak kuasa untuk menolaknya! Dia sudah ditolong, diselamatkan nyawanya, bagaimana mungkin dia menolak kehendak kakek sakti ini yang hendak mengangkatnya sebagai murid? Selain dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, juga dia tidak akan berani! Dia lebih aneh lagi, seperti digerakkan oleh tenaga yang tidak nampak, dia lalu memberi hormat dan berkata,

   "Suhu...!"

   Bi Cu merasa heran sendiri mengapa dia melakukan hal ini.

   Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ha-ha-ha, bagus sekali, Bi Cu. Engkau akan hidup senang menjadi murid Kim Hwa Cinjin! Hayo, kau ikutlah bersamaku."

   Kakek itu tertawa girang dan Bi Cu bangkit berdiri dengan taat. Dia telah terlanjur mengangkat kakek ini sebagai guru, kakek yang namanya Kim Hwa Cinjin! Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar, ketua dari perkumpulan Pek-lian-kauw di selatan!

   Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau Kim Hwa Cinjin membunuh semua perajurit kerajaan itu, bukan semata-mata untuk menyelamatkan Bi Cu. Dan Bi Cu juga sama sekali tidak tahu bahwa Kim Hwa Cinjin dahulu di waktu mudanya adalah seorang penjahat cabul yang amat ditakuti semua wanita. Lebih lagi dia tidak pernah mimpi bahwa biarpun pada lahirnya dia diambil murid, namun istilah mengambil murid dari ketua Pek-lian-kauw ini mengandung maksud yang lebih buruk lagi, bahkan maksud yang amat keji terhadap diri Bi Cu. Tanpa disadarinya, dara remaja ini terjatuh ke dalam tangan ketua Pek-lian-kauw yang telah mempergunakan kekuatan sihirnya membuat dara itu tunduk dan kehilangan kekuatan dan kemauan untuk menolak ketika diambil sebagai murid.

   Seperti telah kita kenal cerita ini bagian depan, juga dalam cerita Dewi Maut, Kim Hwa Cinjin dahulunya adalah seorang jai-hwa-cat. Setelah usianya menjadi amat lanjut, kecabulannya berubah dan kini dia mencari kenikmatan dengan menonton kecabulan berlangsung, bukan melakukannya sendiri. Sudah biasa bagi tokoh ini untuk menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para muridnya yang dianggap berjasa, dan diam-diam dia mengintai bagaimana para muridnya itu menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi Cu sebagai seorang dara remaja yang cantik manis dan bertulang baik, dia tertarik sekali. Kalau dara seperti ini meniadi muridnya dan dihadiahkan kepada para murid terbaik, kelak kalau sampai dara ini melahirkan keturunan,

   Maka keturunan itu tentu dapat diharapkan menjadi anggauta Pek-lian-kauw yang hebat! Inilah yang terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid. Baik itu dinamakan kecabulan, kemaksiatan, yang menjurus kepada perbuatan kejahatan, maupun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus kepada persaingan dan perebutan kedudukan sampai kepada perang, sampaipun kepada pengejaran terhadap apa yang dianggap murni dan agung, seperti daya upaya untuk menjadi orang baik, orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu mempunyai dasar dan sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri sendiri! Mengejar dan memperebutkan uang, kedudukan, wanita, nama besar, kehormatan dan sebagainya itu dapat mendatangkan kesenangan!

   Demikian pula, orang mengejar kedamaian di alam fana maupun baka karena mengganggap bahwa kedamaian itu menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misalnya kebahagiaan. Karena menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan mendatangkan kebahagiaan, maka terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua tindakan itu didasari oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih! Kita lupa bahwa segala sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan konflik dan pertentangan. Pamrih adalah pementingan diri pribadi, dan pementingan diri pribadi inilah yang menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri maupun konflik dengan orang lain. Orang yang mengejar-ngejar uang akan menyamakan diri dengan uang itu dan uang dianggap lebih penting daripada apa saja.

   Sama pula dengan pengejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi bukan si kedudukan, si uang, si kehormatan, si keluarga, si bangsa, yang penting, melainkan si aku! Maka terjadilah demikian : Yang dibela mati-matian adalah uangku, kedudukanku, kehormatanku, keluargaku, bangsaku, agamaku dan selanjutnya yang berpusat kepada si aku. Uang orang lain, kehormatan orang lain, bangsa orang lain, agama orang lain, sama sekali tidak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan? Dapatkah kita hidup tanpa pamrih ini, tanpa adanya si aku yang mendorong segala perbuatan kita menjadi tindakan pementingan si aku? Hanya kalau sudah begini, maka uang, kedudukan, kehormatan, keluarga, bangsa, agama dan lain-lain memiliki arti dan nilai yang sama sekali berbeda!

   Orang semacam Kim Hwa Cinjin semenjak kecil telah menjadi budak daripada nafsu-nafsunya sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat berbentuk seribu satu macam, tercipta dari keadaan lingkungan, tradisi, pendidikan, kebiasaan dan sebagainya. Sampai setua itu, Kim Hwa Cinjin masih saja diperhamba oleh akunya yang selalu mendambakan kesenangan. Sifat kesenangan sama saja, hanya bentuknya berubah menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-pengejaran kesenangan inilah timbullah segala macam maksiat, kejahatan dan kekacauan di dunia ini! Bi Cu yang berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke tempat jagal. Dia menurut saja diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang membuat dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata,

   "Suhu...!"

   "Eh, ada apakah, Bi Cu yang manis?"

   Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu.

   "Teecu... teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin Liong..."

   "Sin Liong? Siapa itu?"

   "Dia... dia seorang sahabatku yang amat baik..."

   "Hemm, engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut semua perintahku."

   "Tapi, suhu..."

   "Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kau lihatlah ini!"

   Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting. Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, kemudian dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.

   "Hiyaaat!"

   Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar.

   "Blaaarrr...!"

   Batu besar itu pecah berkeping-keping.

   "Dan kau lihat pukulan api dari tanganku ini!"

   Katanya pula menghampiri sebatang pohon. Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengar suara keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh takluk dan kagum.

   "Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu?"

   "Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali."

   "Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku."

   "Baik suhu, teecu akan taat."

   Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia lalu mengajak dara itu melanjutkan perjalanan menulu ke sarang Pek-lian-kauw, sebulan lagi, Pek-lian-kauw akan mengadakan pesta ulang tahun, dan dalam pada itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa.

   Sambil melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu, tak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya! Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia telah menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu dara itu Bi Cu. Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki bukit itu.

   Biarpun dia sudah ketinggalan hampir sebulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu. Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya ketika dia mendengar keterangan seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah pegunungan itu termasuk wilayah yang dikuasai secara diam-diam oleh perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan. Mendengar disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa khawatir. Bi Cu telah tiba di wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara itu melewati daerah ini. Maka timbullah kecurigaannya dan dia harus lebih dulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw.

   Kalau di sana tidak terdapat Bi Cu, baru dia akan meninggalkan tempat itu karena dia sendiri tidak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka, pikirnya. Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran sekali. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seolah-olah di sana diadakan pesta, di mana orang bergembira ria? Melihat betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan di dekat puncak itu. Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia tiba di padang rumput yang penuh dengan rumput tebal dan subur.

   Rumput itu sampai setinggi lututnya dan Sin Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput itu. Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, terdengar suara berdesir dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut sekali, maklum bahwa ada penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di udara sampai tiga kali. Benar saja, dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kanan dan kiri. Agaknya empat batang tombak itu digerakkan oleh alat rahasia ketika tali halus tadi tersangkut kakinya! Sin Liong lalu melompat turun lagi ke depan kurang lebih empat meter dari tempat di mana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang melucurkan tombak-tombak itu.

   "Blussss...!"

   Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rumput, tiba-tiba dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Kiranya di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumpun, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya terjeblos. Dia melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah!

   Kalau orang hanya memiliki kepandaian gin-kang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah meluncur turun dan di bawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang siap mencaplok dan menggigitnya. Sin Liong memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan gin-kangnya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas ujung tombak mengerahkan sin-kang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tidak melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu! Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar,

   Waspada memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorangpun manusia, tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian baiknya dan amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia melangkah terus, kini dengan hati-hati agar tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia lalu meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu. Akhirnya dia keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan tibalah dia di sebuah taman penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar dari pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan tidak nampak seorangpun di luar tembok.

   "Syet-syet-syetttt...!"

   Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di depan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar.

   "Hemm, beginikah caranya Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan perangkap-perangkap dan anak panah?"

   Tanyanya dengan suara melengking nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh. Hening sejenak setelah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tak lama lagi banyak bayangan orang melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang turun berturut-turut nampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh perhatian dan kecurigaan.

   "Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu datang ke tempat kami?"

   Tanya seorang di antara mereka, pendeta yang pertama melayang turun tadi. Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lalu menjawab tenang,

   "Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat,"

   Jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri. Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan orang baru ini berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu bukan musuh dan bermaksud baik, boleh diterima sebagai tamu, karena pada hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya. Pendeta pembicara itu lalu tersenyum.

   "Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam dan berkenalan dengan para pimpinan kami."

   Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak mengundang umum karena mereka selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Undangan itupun baru akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa hari lamanya, dan pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka tanpa ada seorangpun tamu dari luar.

   Akan tetapi pada hari itu, seluruh anggauta, baik yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaanpun tidaklah begitu ketat seperti biasanya, sehingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggauta Pek-lian-kauw. Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup luas. Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah dan suasananya cukup meriah, dan di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana para anggauta bagian musik sedang memeriahkan suasana dengan permainan musik dan nyanyian serta tarian. Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan,

   Akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pemuda itu disambut sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk dan masuk ke dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cinjin sendiri bersama para tokoh Pek-lian-kauw, para murid terkasih dan semua orang memandang kepada pemuda yang melangkah masuk dengan tenang itu. Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan dan sikap kakek yang memiliki sepasang mata tajam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang menyambutnya dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw maka dia lalu berhenti di depan Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata,

   "Harap kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu."

   Ketika masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu di situ, maka dia merasa agak lega dan dia bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw. Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk.

   "Hemm, dari pelaporan kami mendengar bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami merasa kagum bahwa seorang pemuda seperti sicu telah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?"

   "Nama saya Sin Liong,"

   Jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan), dan kiranya ketua Pek-lian-kauw itupun tidak bertanya tentang itu tanda bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanya untuk membalas sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang penting!

   "Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya tertarik dan memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk."

   Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Tiba-tiba terdengar suarai merdu di sebelah kanan kakek itu,

   "Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?"

   Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah seorang di antara sekelompok wanita-wanita muda yang duduk di dekat kakek itu.

   Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah cantik dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. Dan memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihias burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan. Di antara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan senyumnya amat manis. Ketika Sin Liong memandang kepadanya, wanita itupun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong cepat menundukkan mukanya kembali.

   "Ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun dan biarlah kuturuti permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah, kau layanilah sicu ini!"

   Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya,

   Lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ, dia tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya. Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong. Ketika wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari saputangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa makin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum. Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di depannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak kalau sudah kosong menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.

   Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justeru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki. Karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.

   "Ini adalah ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami mempergunakan tempat ini sebagai pusat dan tidak pernah mengalami gangguan. Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena kehadiranmu..."

   

Petualang Asmara Eps 51 Petualang Asmara Eps 47 Petualang Asmara Eps 44

Cari Blog Ini