Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 50


Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 50



"Suruh dia menanti di ruangan baca di dalam."

   Pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di sebelah dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapapun tidak boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting.

   "Pangeran, bolehkah hamba ikut?"

   Tiba-tiba Sun Eng berbisik. Pangeran menoleh dan sudah siap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi ketika dia melihat sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, dia tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang dengan rasa iri tersembunyi oleh para selir.

   "Hanya engkau saia yang boleh, aku percaya kepadamu,"

   Bisik pangeran itu yang segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju ke kamar baca itu. Tiga orang yang duduk di dalam kamar yang luas dan diterangi lampu-lampu besar itu segera bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Ceng Man Houw. Pangeran itu segera menggerakkan tangannya menyuruh mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya.

   "Duduklah dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian,"

   Katanya tenang. Tiga orang itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang kepada Sun Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran tersenyum ketika melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia berkata,

   "Jangan kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang paling kupercaya di sini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu."

   Sun Eng menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya karena dia merasa tegang bukan main saat itu. Dia tidak mengenal tiga orang ini dan tadi dia memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka adelah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok -menyeramkan. Dia tidak tahu bahwa orang ini adalah seorang tokoh selatan yang amat terkenal,

   Karena dia adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo yang amat ditakuti orang. Adapun orang ke dua dan ke tiga adalah orang asing, mungkin orang Mongol, dan pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang cerdik. Seorang di antara mereka, yang usianya kurang dari lima puluh tahun, setelah membungkuk-bungkuk dengan hormat lalu bicara singkat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran. Dan sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, sambil tersenyum-senyum, agaknya menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu. Orang ke dua yang usianya enam puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar mata orang ke dua ini seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul.

   "Nah, sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya."

   Kembali orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu menyerahkan sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi karena tidak mengerti bahasa mereka, dia termangu-mangu. Girang hatinya ketika dia melihat pangeran membuka peti itu dan mengeluarkan gulungan kertas yang merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat itu lalu tertawa.

   "Ha-ha-ha, ayahanda Raja Sabutai masih suka mempergunakan peraturan kuno, mengirim surat secara resmi! Syukur bahwa di utara telah diadakan persiapan. Nah, Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu di utara sudah siap. Maka kita harus cepat mempersiapkan diri juga. Apakah engkau telah menghubungi fihak Pek-lian-kauw yang telah kutundukkan?"

   Dengan sikap hormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk.

   "Sudah, pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh Pek-lian-kauw sudah siap untuk membantu paduka."

   "Bagus! Kalau begitu tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu perlu lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor satu. Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka. Kau boleh atur pertemuan besar itu..."

   "Baik, pangeran."

   Melihat selirnya yang tercinta kelihatan kesal karena agaknya tidak tertarik, Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata,

   "Eng-moi, kau lebih baik pergi mengaso dulu. Eh, baiknya kotak ini kaubawa dan kausimpan dulu baik-baik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan penting dengan para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau tentu tidak tertarik."

   Sun Eng menyembunyikan debar jantungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan sikap manis dan berkata,

   "Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan mempersiapkan segala untuk menyenangkan paduka..."

   Di dalam ucapan ini terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lirih.

   "Ah, agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai pagi. Kau mengasolah, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah..."

   Dia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil memperlihatkan sikap tersipu-sipu. Memang selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang pangeran berada di dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru berbulan madu saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa kotak hitam terukir indah itu. Setelah tiba di dalam kamamya, cepat Sun Eng mengeluarkan alat tulis dan kertas kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun sebuah surat laporan kepada Kaisar!

   Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran Ceng Han Houw, betapa pangeran ini mengadakan persekutuan dengan Raja Sabutai dan dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk siap membantu apabila Raja Sabutai mengadakan serbuan! Dan betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakarinya selengkapnya dalam pelaporan itu, tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena fitnah. Semua ini didengarnya dari penuturan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah selesai membuat surat itu, Sun Eng berganti pakaian ringkas yang disimpannya secara sembunyi, kemudian dia meninggalkan gedung besar itu melalui jendela dan terus berloncatan di atas genteng. Berubahlah selir yang biasanya amat manja dan lemah lembut penuh daya tarik kewanitaan itu, kini berubah menjadi bayangan yang amat gesit dan ringan.

   Selama menjadi selir terkasih Pangeran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu dalam belaiannya Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat tinggi yang dianggap musuh oleh sang pangeran, karena pejabat itu merupakan pembesar-pembesar yang amat setia kepada Kaisar. Oleh karena itu bayangan hitam yang berkelebatan di malam hari ber-lompatan di atas genteng-genteng itu kini menuju ke sebuah gedung besar, tempat tinggal dari Menteri Liang, seorang menteri tua yang terkenal amat setia kepada pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya hanya sebagai menteri bagian kebudayaan maka kejujuran dan keadilannya tidak dapat berbuat banyak terhadap para menteri durna yang lain. Kedudukannya tidak mengijinkan dia mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat dengan Kaisar. Para pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang besar menteri itu,

   "Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan negara."

   Mendengar ini, para pengawal itu segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar ini tidak pernah takut menghadapi apapun juga, maka mendengar betapa malam-malam begitu ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw ingin menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera menyuruh para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi keamanan dirinya sendiri, dia memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Dengan jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu diiringkan oleh belasan orang pengawal yang memegang tombak. Setelah dia bertemu dengan pembesar tua yang berwibawa itu, dia cepat menjatuhkan diri berlutut.

   "Hamba adalah seorang selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw..."

   "Ahhh...!"

   Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh selidik.

   "Hamba sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng Han Houw, dan inilah hasil penyelidikan hamba harap paduka sudi melaporkan kepada Sri Baginda Kaisar untuk menyelamatkan kerajaan."

   Dengan singkat namun jelas Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat dari Raja Sabutai itu, dan menambahkan.

   "Semua fitnah yang dijatuhkan kepada keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam pelaporan. Sekarang hamba mohon diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus cepat melarikan diri."

   Melihat wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain kuning, menteri itu tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal menerimanya dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat bertanya.

   "Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona melakukan semua ini?"

   "Hamba adalah seorang yang berhutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka hamba sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat tinggal, taijin,"

   Dan dengan mempergunakan gin-kangnya, Sun Eng sudah melompat dan lenyap dari tempat itu.

   Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga membuat menteri itu terkejut. Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar dia memberi tanda dengan tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal membuka buntalan itu. Di lain saat Liang-taijin telah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam dengan mata terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan dibacanya. Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai mengatur rencana pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang sebetulnya putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng Hwa yang sekarang! Dengan jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua pelaporan yang ditulis secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng.

   Maka dia lalu menyimpan baik-baik semua benda itu dan memerintahkan para pengawal untuk melakukan penjagaan yang seketatnya dan diam-diam dia menyuruh panggil para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada Kaisar dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah menyebabkan keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga gagah yang dianggap pemberontak. Malam itu juga para pembesar ini mengadakan perundingan dan memeriksa surat-surat itu. Akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran Hung Chih, yaitu seorang pangeran kakak tiri dari Kaisar sendiri yang terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi penasihat dari Kaisar. Malam itu juga Pangeran Hung Chih menerima berita itu berikut bukti-buktinya,

   Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap Kaisar dan melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun Eng. Kaisar terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi dengan bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk menanggulangi persoalan itu degan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam menghadapi Ceng Han Houw, menggunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi perang saudara. Apalagi kalau diingat bahwa di samping Ceng Han Houw adalah seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sendiri, juga Kim Hong Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng Tung.

   "Akan tetapi, bagaimanapun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan mereka yang hendak memberontak, siapapun juga harus ditumpas secara halus maupun, kalau perlu kasar!"

   Demikianlah Pangeran Hung Chih yang sudah memperoleh kekuasaan penuh secara tertulis dari Kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan mengatur rencana dan siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus. Sun Eng merasa lega sekali setelah dia menyerahkan semua benda itu kepada Menteri Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil baik.

   Menteri Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang amat penting bagi keamanan kerajaan itu kepada Kaisar. Tugasnya telah selesai dan dia telah melakukan sesuatu demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu saja, bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan! Akan tetapi di samping perasaan bangga bahwa dia telah mampu mengangkat namanya, memberi isi kepada namanya sehingga dia tidak akan terlalu rendah dalam pandangan keluarga Cin-ling-pai, ada perasaan duka yang mendalam kalau dia teringat betapa untuk semua hasil itu, dia telah menyerahkan diri menjadi permainan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua yang dilakukannya itu, apakah dia ada harga lagi untuk melanjutkan hubungannya dengan Lie Seng? Ah, rasanya untuk bertemu muka sajapun dia tidak sanggup lagi! Mengingat hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran.

   Dia merasa betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga daripada sebelum dia membuat jasa terhadap keluarga Cin-ling-pai! Memang dia telah melakukan sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng karena memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang dipergunakannya untuk mencapai tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor! Padahal, tujuannya adalah untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu tercapai, akan tetapi dia tidak merasa bangga, tidak merasa bahagia, sebaliknya malah, tercapainya tujuan itu membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi daripada sebelumnya. Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu menurut jalan pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian.

   Pada dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa iba diri, timbul dari rasa sayang diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri. Sebaliknya, dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia tidak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah di-lakukannya. Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri "disulap"

   Menjadi perbuatan "baik"

   Demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang dilakukannya adalah suci. Karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, dan semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguhpun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatan seolah-olah demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain,

   Maka mata menjadi buta tidak melihat lagi yang terpenting daripada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memperoleh sesuatu. Dan kalau cara yang dipergunakan tidak benar, mana mungkin akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar. Hanya kalau batin tidak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu melahirkan tindakan yang benar.

   Dan tindakan benar adalah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindakan itu. Akan tetapi Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap bahwa dia telah berkorban diri demi orang lain demi orang yang dicintanya, dan dia buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang ditempuhnya itu adalah cara yang kotor bagi seorang wanita. Dia hendak mencuci kekotoran yang dianggapnya me-nempel pada dirinya dengan melumuri badan dengan kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin. Dan akibatnya kini dia menyesal, kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk bertemu dengan Lie Seng, walaupun dia telah "berjasa"

   Terhadap Cin-ling-pai, bahkan terhadap kerajaan!

   Dengan isak tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu gerbang untuk melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Dia terlalu memandang rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika di dekat pintu gerbang tiba-tiba muncul beberapa orang dari tempat gelap dan di antara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri! Seketika pucat wajah Sun Eng, apalagi karena dia mengenakan pakaian hitam, wajah yang putih halus itu kelihatan sepucat kapur matanya terbelalak dan mulutnya setengah ternganga tanpa dapat mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah tampan yang kini tersenyum dingin itu.

   "Bukankah engkau ini Eng-moi? Ah, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi! Sejak kapan engkau berganti pakaian seperti ini berkeliaran di tengah malam dan gerakanmu demikian gesit?"

   Tentu saja Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tak mampu menjawab dan ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar dan tergagap.

   "Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan mencari angin..."

   Jawaban itu tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai mencari jalan keluar maklum bahwa dia telah tersudut. Dia melihat bahwa pangeran itu muncul bersama kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah mengepung tempat itu.

   "Jalan-jalan makan angin...? Hemm, Eng-moi, mari kita pulang dan bicara baik-baik di rumah...!"

   Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri.

   "Tidak... hamba... hamba ingin jalan-jalan dulu...!"

   Karena takutnya Sun Eng bingung untuk menjawab dan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke kiri untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah berada di depannya. Sun Eng maklum bahwa tidak ada jalan lain baginya. Jalan halus sudah tidak mungkin dilakukannya, maka satu-satunya jalan hanyalah mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan.

   "Minggir!"

   Bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat ke arah dada lawan. Sebagai murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja wanita ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pukulannya yang dilakukan dalam keadaan ter-jepit itu amat dahsyatnya. Terkejut juga Pangeran Ceng Han Houw melihat pukulan itu,

   Tak disangkanya bahwa selirnya yang terkasih ini memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya. Ngeri dia memikirkan betapa dia bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu dan kalau wanita itu menghendaki, di waktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan wanita itu, tentu dapat dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya! Hai-liong-ong Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, masih jauh lebih tinggi daripada tingkat Sun Eng, maka menghadapi pukulan dahsyat itu dia tidak gentar. Karena kakek ini tadinya mengenal sang pangeran, maka biarpun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi pengkhianat, namun diapun masih belum berani lancang tangan melukai wanita yang menjadi selir terkasih junjungannya. Oleh karena itu, menghadapi serangan Sun Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya.

   "Dukk!"

   Sun Eng terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali. Ternyata kakek ini memiliki tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat menguasai keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya telah ditangkap oleh Han Houw. Sun Eng meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanannya maka dia membalik dan dengan nekat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher pangeran itu dengan maksud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul. Oleh karena itu, pukulan itupun hebat sekali ditujukan ke arah jalan darah di leher dan dia mengerahkan seluruh tenaganya.

   "Plakk!"

   Kembali pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh pangeran itu.

   "Hemm, engkau hendak membunuhku, ya?"

   Bentak Han Houw dengan marah dan dia mengerahkan tenaga. Pegangan pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi kuat sekali dan Sun Eng merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung rasanya dan dia menyeringai. Agaknya melihat wajah yang biasanya amat manis memikat dan yang biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han Houw merasa kasihan juga dan dia mengendurkan pegangannya, kemudian sekali totok dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk mencari kotak hitam akan tetapi ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa.

   "Di mana kotak itu? Di mana surat itu?"

   Desisnya marah.

   "Hamba... hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar..."

   Sun Eng menjawab sedapatnya saja. Han Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya mendorong tubuh wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling roboh.

   "Bawa dia!"

   Bentak Han Houw dengan suara bernada kesal dan diapun lalu pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan para pengawal yang menggotong Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu. Pada waktu itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Kalau tadi dia menjadi gugup adalah karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu.

   Rasa kaget membuat dia gugup sekali. Akan tetapi sekarang, setelah dia tahu benar bahwa tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang. Sebaiknya begini, pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran kalau usahanya itu tidak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan pelaporannya kepada Kaisar dan kalau Kaisar tidak mengambil tindakan terhadap pangeran ini dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan. Setelah tiba di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di dalam kamarnya. Han Houw lalu menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di atas bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng, kadang-kadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan marah.

   "Sun Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu, betapa aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!"

   Dia mengepal tinju.

   "Sepatutnya kita tidak perlu banyak bicara lagi dan aku harus membunuhmu! Ketika engkau rebah di jalan dahulu itu, ternyata semua itu hanyalah siasatmu untuk dapat menyelundup ke sini dan memperoleh kepercayaanku belaka! Sungguh aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kau serahkan seluruhnya kepadaku, hanya untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu, siapakah engkau sesungguhnya?"

   Han Houw membentak dan memandang tajam. Sun Eng diam saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat dikenalnya itu. Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu rayu dengan pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di langit-langit itu ketika dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan cintanya. Sekarangpun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih itu.

   "Baiklah, agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut,"

   Kata Ceng Han Houw.

   "Akan tetapi semua itupun tidak ada gunanya dan aku tidak perduli. Yang penting, hayo kaukatakan di mana
(Lanjut ke Jilid 47)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 47
engkau menyembunyikan kotak surat itu. Kalau engkau menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan membebaskanmu, demi mengingat hubungan kita yang lalu dan mengingat betapa engkau sudah banyak mendatangkan kesenangan padaku."

   Akan tetapi Sun Eng tetap membisu bahkan menengokpun tidak kepada pangeran itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup parah.

   Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak mencintanya, melainkan hanya mempermainkannya, benar-benar merupakan pukulan bagi harga dirinya. Dia tadinya mengira bahwa semua wanita tentu akan tergila-gila kepadanya den dengan senang hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu dia pernah merasa terpukul oleh penolakan gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini bahkan hanya mempermainkannya untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai seorang pria hidung belang biasa saja yang lemah terhadap wanita! Tiba-tiba pangeran itu merubah sikapnya. Dia menghampiri Sun Eng yang masih terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga wajahnya menyentuh wajah Sun Eng.

   "Eng-moi... mungkinkah tidak ada sedikitpun perasaan cinta di hatimu terhadap aku? Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi di antara kita selama ini? Aku tahu benar, andaikata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih untukku, setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin dapat menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku..."

   Suara pangeran itu merayu dan bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, lalu diciuminya bibir wanita itu dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng dan biasanya selalu wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan tetapi, sekali ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak menjawab, dan mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah. Akhirnya terdengar bibir itu berbisik,

   "Bunuhlah aku... bunuhlah..."

   "Engkau minta mati?"

   Suara sang pangeran masih lembut.

   "Akan kuturuti, engkau minta apapun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sampingku, akan kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Di manakan engkau menyimpannya?"

   Akan tetapi Sun Eng menggeleng kepala keras-keras.

   "Tidak akan kuberikan, biar aku dibunuh sekalipun!"

   Wajah yang tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan kemarahan.

   "Perempuan rendah dan palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu memusuhi aku! Kalau begitu, biar kaurasakan siksa neraka lebih dulu, hendak kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu kepadaku!"

   Setelah berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat kedua lengan Sun Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati,

   Juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula direnggutnya kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil halus dan putih kemerahan itu menjadi telanjang. Sun Eng tetap tenang saja, bahkan ketika pangeran itu membalikkan tububnya menelungkup kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia mampu menggeletakkan tubuhnya lagi dia tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia mendengar suara pangeran itu di belakangnya, tidak tahu apa yang sedang dilakukan. Akan tetapi nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah obor kecil yang sudah dinyalakan ke dekat muka Sun Eng.

   "Sun Eng, kau lihat baik-baik apa yang kupegang ini? Aku tidak ingin bahkan merasa benci untuk menyiksamu, akan tetapi kalau tetap membandel dan tidak mau mengembalikan suratku itu terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!"

   Akan tetapi Sun Eng yang sudah mengerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi itu sudah nekat.

   "Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat itu akan bisa kaudapatkan kembali!"

   Suaranya penuh tantangan bahkan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pangeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya.

   "Keparat!"

   Ceng Han Houw membentak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak kaki kanan Sun Eng. Tubuh Sun Eng tersentak kaget, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka, akan tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul dan tak dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanannya yang menderita nyeri luar biasa itu.

   "Masih belum mau mengaku?"

   Pangeran itu menarik obornya. Akan tetapi rasa nyeri masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepala. Keringat yang besar-besar keluar dari muka dan leher Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala, memukul-mukulkan kaki kanan ke atas pembaringan.

   "Sun Eng, kalau kaki kirimu juga kubakar, engkau takkan dapat bertahan nyerinya. Bakaran ke dua lebih nyeri lagi maka sebaiknya engkau mengaku dan mengembalikan surat itu. Tidak akan ada faedahnya engkau berkeras kepala, pula surat itu tidak ada gunanya bagimu."

   Dalam menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan dengan memukul musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata,

   "Bagiku tidak ada gunanya, akan tetapi bagi Sri Baginda Kaisar berguna sekali!"

   "Apa?"

   Wajah Han Houw menjadi pucat sekali.

   "Kau... kau tentu tidak akan memberikan surat itu kepada Kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum sempat menyerahkan surat itu kepada... eh, kepada siapa surat itu kauserahkan tadi? Hayo kau mengaku! Di mana surat itu?"

   Suara pangeran itu gemetar dan diam-diam Sun Eng tersenyum. Pangeran itu ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa menggigit bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya dengan api obor.

   "Aaahhh...!"

   Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya terbuka karena dia tidak dapat menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya terbelalak dan biarpun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai menjerit-jerit namun dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah dan mukanya penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras.

   "Mengakulah! Siapa menerima surat itu?"

   Han Houw menghardik dan orang yang merasa gelisah ketakutan ini menjadi makin bengis. Akan tetapi Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras.

   Rasa nyeri amat menusuk, dan setelah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki kanan dan kiri dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan dan terkulai pingsan. Han Houw menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua kakinya dan berjalan hilir-mudik dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan dia kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan yang muncul untuk memanggil para pembantunya. Muncullah Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol yang masih berada di situ. Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang rebah menelungkup dalam keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran.

   "Celaka...!"

   Ceng Han Houw mengeluh.

   "Perempuan rendah itu tidak mau mengaku, akan tetapi dia membayangkan bahwa surat itu hendak disampaikan kepada Kaisar!"

   "Ahhh...!"

   
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiga orang inipun menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan bingung.

   "Saat ini tentu belum sampai ke tangan Kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang dapat menyampaikan surat itu kepada Kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok... ah, kita harus tahu di mana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!"

   Han Houw menuding ke arah kedua kaki wanita itu.

   "Maka, kalian kupanggil untuk merundingkan urusan ini. Bagaimana baiknya?"

   "Satu-satunya jalan, dia harus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak malam ini juga dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan Kaisar!"

   Kata orang Mongol yang lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun mengandung kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang hitam dan lebat sekali, kasar seperti kawat-kawat baja. Ada sesuatu pada sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam bukan main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguhpun dia sendiri bukanlah orang yang baik atau tidak kejam.

   "Dia keras kepala dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku,"

   Kata Han Houw dengan sikap kehabisan akal.

   "Paduka serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!"

   Kata orang Mongol itu.

   "Baiklah. Memang itu jalan yang terutama sekali. Kalau engkau bisa menundukkannya dan memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia sampai mampus!"

   Kata sang pangeran penuh geram.

   "Lebih baik jangan sampai dia mati dulu, mungkin dia masih berguna untuk kita, pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan dan bersikap teliti,"

   Hai-liong-ong memperhatikan.

   "Pendapat itu benar, pangeran,"

   Sambung orang Mongol yang lebih tua.

   "Wanita itu adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita memperoleh kembali surat itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh. Boleh disiksa dan dipaksa mengaku, akan tetapi jangan sampai mati."

   Ceng Han Houw mengangguk-angguk.

   "Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia telah mempermainkan aku, menipuku, bahkan mengkhianatiku dan membuat aku terancam bahaya begini hebat. Kaubawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia mengaku!"

   Katanya kepada orang Mongol brewok itu.

   "Harap paduka jangan khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita bandel!"

   Orang Mongol itu tersenyum lebar, lalu menghampiri pembaringan dan memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika dia mencium bau sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat di balik baju dan yang nampak membusung karena kedua lengan wanita itu ditelikung ke belakang punggung. Lalu dia melangkah dari dalam kamar itu sambil tersenyum dingin penuh kekejaman. Han Houw kini berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek.

   "Sebaliknya kalau Gaulana tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, paduka malain ini juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu terjatuh ke tangan Kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara sambil melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada di sini. Hamba akan mengawal paduka."

   Hai-liong-ong Phang Tek menggeleng kepala.

   "Hamba tidak setuju dengan usul itu, Pangeran. Andaikata benar surat itu ke tangan Kaisar, paduka tidak perlu gentar atau tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa pamit itu bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka sudah mengaku salah. Hamba kira, Sri Baginda Kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan seorang wanita rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu Sri Baginda Kaisar akan lebih mempercayai paduka dan andaikata pula Kaisar menaruh curiga, tentu beliau akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan ceroboh, mengingat bahwa paduka adalah satidara tiri!"

   Han Houw mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini.

   "Akan tetapi, bagaimana kalau beliau memanggilku dan memeriksaku, bertanya tentang surat dari ayahanda Sabutai itu?"

   Akhirnya dia bimbang lagi dan suaranya membayangkan kegelisahan.

   "Harap paduka tidak khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan. Misalnya, menyangkal bahwa surat itu adalah surat aseli dari ayahanda paduka Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu aseli? Paduka dapat mengatakan bahwa paduka mempunyai banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk mengadu domba."

   "Ah, bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau sungguh bijaksana, Phang-enghiong!"

   Sebutan itu menjadi bersifat menghormat dan wajah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu berseri.

   "Bukan hanya itu saja, pangeran. Andaikata Kaisar menaruh curiga, masih banyak waktu bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw yang membantu paduka, maka apa sukarnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara? Dengan demikian baik atau buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang berkhianat itu, tetap saja gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!"

   "Bagus! Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasihat negara kalau gerakanku berhasil!"

   Teriak sang pangeran dengan girang. Mereka lalu berunding terus dengan asyik sambil makan minum karena kini sang pangeran tidak segelisah tadi setelah menerima petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihat dari Hai-liong-ong Si Raja Naga Laut itu. Sementara itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan tetapi jauh di belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai cara, dengan bujukan dan pura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku di mana surat itu disembunyikan atau kepada siapa diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak dijawab oleh Sun Eng yang sudah sadar.

   "Nona, engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik,"

   Demikian Gaulanu mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku berlogat asing.

   "dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan oleh pangeran, untuk menyiksa, bahkan membunuhmu kalau engkau tidak mau mengaku. Kenapa engkau berkeras kepala, nona? Mengakulah dan aku bersumpah untuk menyelamatkanmu."

   "Aku tidak tahu...!"

   Sun Eng berkata singkat.

   "Nona, kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran agar engkau seka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona."

   "Tutup mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!"

   Sun Eng menantang marah. Habislah kesabaran Gaulanu dan dia menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu nampak menyeramkan sekali.

   "Perempuan tak tahu diri! Tahukah engkau, siksaan apa yang paling hebat bagi seorang wanita? Engkau pernah diperkosa? Ya? Pernah? Nah, aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku kalau engkau tidak mau mengaku!"

   Sun Eng memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Dan dia memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan, juga perkosaan. Bukankah dia sudah membiarkan dirinya diperkosa berkali-kali oleh pangeran itu? Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia akan diapakan juga, akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng!

   "Aku tak perduli!"

   Bentaknya. Wajah brewokan itu menyeringai.

   "Ha, kau kira hanya diperkosa satu kali saja? Hemm, kau tidak tahu laki-laki apa Gaulanu ini. Aku akan memperkosamu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan kalau aku kewalahan, akan kupanggilkan pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai engkau mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!"

   Akan tetapi Sun Eng sudah nekat, sudah menganggap dirinya mati dan dia memejamkan matanya tanpa mau menjawab lagi.

   "Brettttt...!"

   Sun Eng hanya memejamkan mata lebih keras lagi ketika merasa betapa bajunya dirobek-robek, kemudian celananya juga. Tubuhnya hanya menggeliat sedikit ketika dia merasa betapa tangan dan muka brewok itu menjelajahi tubuhnya dengan belaian yang amat kasar. Selanjutnya, dengan seluruh kekuatan yang ada, Sun Eng mematikan perasaannya dan dia rebah terlentang dengan mata terpejam dan lemas seperti telah menjadi mayat! Dia tidak merasa apa-apa lagi. Entah berapa lamanya orang Mongol kasar itu mempermainkan tubuhnya. Dia tidak tahu, dia tidak perduli lagi, yang dipermainkan seolah-olah bukan tubuhnya lagi, perasaannya sudah mati dan dia matikan pada saat itu. Dia bahkan seperti dalam keadaan terlupa apa yang sudah terjadi atas dirinya, sampai tiba-tiba pipinya ditampar keras, membuatnya sadar dan pipinya terasa panas.

   "Plakkk!"

   Tamparan ini disambung sumpah serapah dari mulut Gaulanu.

   "Phuh, perempuan hina, perempuan rendah, mayat hidup! Lebih baik bercinta dengan mayat daripada dengan perempuan macammu!"

   Dia melompat turun dari pembaringan, mengenakan pakaian lalu meninggalkan kamar itu sambil berkata.

   "Lihat saja sampai di mana engkau dapat bertahan! Biarpun engkau seperti mayat, akan tetapi mayat yang cantik dan tentu banyak di antara mereka yang suka, ha-ha!"

   Gaulanu keluar dari dalam kamar akan tetapi tidak lama terdengar langkah orang. Sun Eng tidak mau menengok melainkan memejamkan mata dan mematikan rasa. Dia memang sudah tahu apa yang akan terjadi dan benar saja. Ada tangan-tangan dan muka seperti serigala kelaparan menggerayanginya dan melakukan hal-hal yang sama sekali tidak dirasakannya lagi. Bahkan dia tidak melihat siapa orangnya. Hal ini berulang-ulang terus. Tubuhnya sakit-sakit, lelah bukan main, lemas dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi! Ketika air yang disiramkan ke kepalanya membuat Sun Eng siuman, dia mendengar suara Gaulanu memaki-maki,

   "Bedebah! Iblis betina! Benar-benar tidak mau mengaku. Biarkan dia begitu dan ikat pula kakinya, hanya lepaskan ikatan kakinya kalau masih ada pengawal yang mau... ha-ha-ha, perempuan seperti dia tidak akan mati kalau hanya ditiduri! Tapi jaga, jangan sampai dia terlepas, dan... awas pula, jangan sampai dia mati. Pangeran menghendaki dia hidup!"

   Gaulanu meninggalkan kamar itu dan kini Sun Eng menjadi permainan tangan-tangan jahil dan cabul, akan tetapi kembali dia sudah terlelap ke dalam keadaan tidak sadar. Malam makin larut dan suasana menjadi sunyi sekali. Kesunyian yang mengerikan kalau orang melihat keadaan dalam kamar di mana Sun Eng seperti seekor domba yang direjang oleh banyak serigala buas! Bahkan lebih buas daripada serigala, karena binatang buas apapun juga di dunia ini membunuh mangsanya untuk dimakan, karena kebutuhan perut dan kebutuhan hidup, juga membunuh tanpa ada rasa benci. Sebaliknya, manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan. Tengah malam telah lewat.

   Di dalam kamar tahanan itu Sun Eng masih terlentang di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya kini sudah tidak ada lagi pengawal yang bergairah untuk memperkosanya. Mungkin juga belasan orang pengawal yang bertugas jaga itu sudah mendapatkan giliran semua. Kini mereka makan minum dan menggunakan perut dan dada Sun Eng sebagai tempat menaruh mangkok dan cawan arak! Kadang-kadang mereka memaksa mulut Sun Eng untuk dijejali daging atau dituangi arak, sampai Sun Eng terbatuk-batuk. Muka wanita yang cantik itu sudah matang biru bekas tamparan, bekas gigitan dan belaian-belaian kasar. Para pengawal makan minum sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau. Tentu saja Sun Eng yang menjadi sumber dan bahan gurauan mereka yang kotor. Sun Eng tidak mendengar semua itu, dia dalam keadaan hampir tidak sadar.

   Yang terasa olehnya hanya rasa nyeri yang luar biasa, yang datang bertalu-talu bersama detaknya jantung, bersama denyutnya darah. Tiap denyut darah mendatangkan rasa nyeri yang menusuk-nusuk. Akan tetapi dia tidak mau mengeluh, bahkan makin dicurahkan perhatiannya kepada denyut darah yang bertalu-talu dan membawa perasaan nyeri yang sukar dilukiskan itu, rasa nyeri itu secara anehpun tidak terasa lagi olehnya. Yang ada hanya rasa nyaman! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini kalau tidak dirasakannya sendiri. Itulah peraaaan tubuh yang mati? Nyaman dan tidak ada rasa apa-apa, seperti nikmatnya keheningan? Pangeran Ceng Han Houw yang menerima laporan dari Gaulanu bahwa Sun Eng tetap tidak mau mengaku biarpun telah diperkosa secara bergantian, penderitaan yang tiada taranya bagi seorang wanita.

   "Dia itu iblis, bukan manusia, pangeran! Kalau manusia, tentu dia sudah menyerah dan mengaku! Kalau tidak ingat akan pesan paduka agar jangan dia sampai mati, tentu akan hamba bunuh dia. Dia itu iblis, sungguh!"

   Han Houw merasa heran mengapa ada perasaan marah dan tidak sedap dalam hatinya mendengar betapa Sun Eng diperkosa bergantian dan dalam keadaan terhina dan setengah mati. Akan tetapi juga ada perasaan kagum terhadap wanita itu. Seorang wanita yang selain cantik manis, pandai sekali dalam seni bermain cinta, seorang wanita yang penuh keberanian, cerdik bukan main, dan masih ditambah lagi berhati baja dan amat setia, entah kepada siapa kesetiaannya itu ditujukan. Sayang, sungguh sayang sekali, bukan kepada dia ditujukannya kesetiaan dan cintanya itu. Mendapatkan cinta kasih seorang wanita seperti itu sungguh beruntung sekali! Dengan hati kesal dia menggerakkan tangan.

   "Sudahlah, engkau harus mengepalai penjagaan malam ini agar jangan sampai dia lolos. Dan ini, kauminumkan kepadanya! Paksakan agar dia menghabiskan sebotol ini."

   Gaulanu menerima botol kecil berisi cairan biru itu sambil tersenyum menyeringai.

   "Dia akan mati seketika, pangeran? Mengapa tidak menggunakan ini saja?"

   Dia mengacungkan tinjunya. Sepasang mata pangeran itu menyambar dan Gaulanu cepat membungkuk.

   "Mohon maaf, mohon ampun... bukan maksud hamba main-main..."

   "Aku tahu,"

   Kata pangeran itu kesal.

   "Engkau heran mengapa aku bersusah payah menggunakan racun untuk membunuhnya. Akan tetapi racun ini baru membunuhnya dalam waktu tiga hari, dan pukulanmu akan mematikan seketika. Mengerti sekarang?"

   Gaulanu mengangguk-angguk lalu mengundurkan diri.

   Dengan kesal Han Houw lalu menyuruh kedua orang pembantunya yang lain meninggalkannya, lalu memanggil semua selir yang lain dan diapun melupakan kekecewaan hatinya terhadap Sun Eng dengan membenamkan diri ke dalam peluk rayu para selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Tiga bayangan yang gerakannya gesit dan cepat laksana bayangan setan saja berkelebatan di sekitar istana Pangeran Ceng Han How. Istana itu terjaga ketat oleh para pengawal, namun gerakan tiga sosok tubuh itu benar-benar hebat luar biasa, sukar diikuti oleh pandangan mata sehingga tiga sosok bayangan itu berhasil memasuki taman bunga, di samping istana tanpa diketahui seorangpun pengawal. Hal ini tidaklah mengherankan karena tiga sosok bayangan itu adalah bayangan dari tiga orang pendekar sakti,

   Terutama sekali dua orang di antara mereka, pasangan pria dan wanita yang tampan dan cantik, adalah sepasang suami isteri pendekar yang untuk jaman itu sukar ditemui tandingannya. Mereka itu adalah Lie Seng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong! Seperti kita ketahui, Lie Seng menjadi gelisah sekali ketika kekasihnya, atau isterinya yang belum dikawininya secara sah, Sun Eng, pergi meninggalkannya tanpa pamit, hanya meninggalkan surat yang amat menggelisahkannya karena kekasihnya itu hendak mendekati Pangeran Ceng Han Houw dan kalau perlu membunuhnya! Lie Seng tahu betapa lihainya pangeran itu dan tahu pula bahwa kekasihnya itu sengaja hendak berkorban diri untuk menolong keluarga Cin-ling-pai dan hatinya menjadi semakin gelisah ketika dia mencari-cari kekasihnya itu tanpa hasil.

   Dia mencari sampai ke kota raja, akan tetapi tidak mendengar di mana adanya Sun Eng. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Sun Eng pergi bersama pangeran itu, dan dia sendiri telah lebih dulu ke kota raja sehingga ketika dia melakukan penyelidikan ke istana Pangeran Ceng Han Houw, pangeran itu tidak ada, demikian pula tidak ada didengarnya keterangan tentang kekasihnya. Dalam keadaan bingung ini Lie Seng lalu kembali ke selatan dan dia mencari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dua orang guru dari Sun Eng untuk membantunya. Juga untuk minta pertanggungan jawab mereka karena dia anggap bahwa mereka itulah yang menjadi sebab sehingga terjadinya semua ini! Kalau mereka tidak mempengaruhi ibunya sehingga tidak menyetujui dia berjodoh dengan Sun Eng,

   Tentu sekarang Sun Eng telah menjadi isterinya dengan sah dan tidak akan terjadi Sun Eng melakukan perbuatan nekat seperti itu! Akhirnya dia dapat menemukan suami isteri pendekar sakti ini, juga ibu kandungnya dan Yap Kun Liong, di Bun-cou. Dia sudah menduga bahwa empat orang yang menjadi buronan itu tentu bersembunyi di Bun-cou, tempat di mana dulu Cia Bun Houw dan Yap In Hong bersembunyi, di mana mereka mengambil Sun Eng sebagai murid pula. Ketika Lie Seng memperlihatkan surat peninggalan Sun Eng, semua pendekar itu merasa terkejut dan juga terharu. Demikian besar cinta kasih Sun Eng kepada Lie Seng sehingga untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng kini melakukan perbuatan nekat yang amat berbahaya dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong keluarga Cin-ling-pai.

   "Saya tahu bahwa dia melakukan ini karena merasa rendah diri, karena menjadi isteri saya tanpa persetujuan keluarga, juga tidak secara sah! Dan dia kini hendak mengorbankan dirinya demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai! Paman Bun Houw, bagaimanakah kalau sudah begini? Apakah saya harus turun tangan sendiri di kota raja tanpa ada bantuan sedikitpun dari paman berdua bibi yang menjadi guru-guru dari Sun Eng, bahkan yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas kejadian ini?"

   Cia Bun Houw saling pandang dengan isterinya. Mereka memang menyadari bahwa mereka berdua telah mencegah keponakan ini menikah dengan Sun Eng. Akan tetapi hal itu mereka lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sun Eng memang tidak pantas menjadi isteri keponakan mereka itu. Di dalam hati mereka kini tidak lagi membenci Sun Eng, bahkan merasa kasihan. Maka, mendengar penuturan Lie Seng, mereka merasa tidak enak sekali.

   "Lie Seng, biarlah aku menemanimu untuk pergi mencari Sun Eng di kota raja, dan kalau memang benar dia di sana dan terancam bahaya, kita berdua akan menyelamatkannya,"

   Kata Bun Houw dengan tenang.

   "Akupun akan ikut pergi,"

   Kata In Hong, juga dengan tenang. Nyonya yang usianya sudah tiga puluh lima tahun ini merasa tidak enak sekali. Watak pendekarnya bangkit maka diapun merasa betapa dia ikut mendesak bekas muridnya itu terdorong rasa bencinya, dan kini, mendengar betapa bekas muridnya itu melakukan tindakan nekat demi menolong dia sekeluarga dengan taruhan nyawa, dia harus ikut pula bertindak dan tidak mungkin dia mendiamkannya saja. Karena itulah maka dia serta merta, tanpa keraguan lagi, menyatakan keinginannya hendak ikut pergi.

   Mendengar penurutan puteranya tentang gadis yang ditolaknya untuk menjadi mantunya itu, sejak tadi Cia Giok Keng, ibu Lie Seng, termenung dan tidak dapat berkata apapun. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Dia memang merasa terharu mendengar gadis itu dengan nekat melakukan usaha untuk menyelamatkan mereka berempat, seolah-olah memasuki gua harimau, dan dia merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi, di lain sudut hatinya, tetap terdapat perasaan tidak rela kalau puteranya itu berjodoh dengan wanita yang pernah melakukan penyelewengan seperti yang didengarnya dari adiknya dan adik iparnya. Dia terlalu mencintai puteranya untuk membiarkan puteranya menikah dengan seorang wanita yang rendah budi dan hina! Seperti itulah macamnya "cinta"

   Yang berada dalam batin kita! Kita menganggap bahwa perasaan semacam itu adalah cinta kasih yang murni,

   Cinta terhadap anak diwujudkan dengan keinginan melihat anak itu berbahagia SESUAI dengan keinginan kita! Kita selalu hendak mengatur kehidupan anak kita menurut selera kita, menurut pendapat kita, menurut pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita akan berbahagia kalau dia itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak melakukan itu. Semenjak anak kita masih kecil, kita ingin mengaturnya, membentuknya seperti kita membentuk boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, cerdik, pintar, tahu aturan, pendiam dan sebagainya lagi, pendeknya kita ingin melihat anak kila menjadi "anak tauladan"

   Seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan.

   Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama sekali bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta kita kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri! Kita ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak kita begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali! Sama sekali kita tidak perduli apakah anak itupun senang bersikap yang kita gariskan itu. Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas, ingin bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka hatinya, bersama kawan-kawan sebaya.

   

Petualang Asmara Eps 38 Petualang Asmara Eps 32 Dewi Maut Eps 21

Cari Blog Ini