Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 36


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 36



"Desss... plakkk...!"

   Tubuh nenek itu kembali terjengkang dan bergulingan sampai jauh akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In Hong terkulai lemas dam dia roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu sama sekali tidak menangkis melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak In Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi karena kuku jari tangan nenek itu beracun dan kuku itu menggurat pundak dekat leher, maka In Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun.

   "Heh-he-he-heh!"

   Nenek itu meloncat dekat.

   "Dessss!"

   Tubub dara itu ditendangnya sampai terguling-guling.

   "Cukup, Mo-li!"

   Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar tubuh In Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu ke dalam kamar lalu menutupkan pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih memejamkan matanya karena kepalanya pening.

   "Racun itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu selama tiga hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalas kematian Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar! Biarlah dalam tiga hari ini kauingat baik-baik agar engkau pertimbangkan permintaan kami untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!"

   Setelah berkata demikian, Pek-hiat Mo-ko mengajak tiga orang kawannya untuk melanjutkan makan minum.

   "Kita harus bersiap-siap,"

   Kata Pek-hiat Mo-ko.

   "Sudah kurang lebih setengah bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis ini mempunyai hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya putera ketua Cin-ling-pai, maka tidak mustahil kalau sekarang mereka itu sudah mulai menuju ke sini."

   "Tidak hanya di sini kita harus bersiap-siap,"

   Sambung Hek-hiat Mo-li.

   "Akan tetapi jalan menuju ke lembah ini hanya melalui Padang Bangkai, maka sebaiknya kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk berjaga-jaga pula dan cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang Bangkai dan menuju ke sini.

   "Keadaan sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang pandai,"

   Kata Hek I Slankouw.

   "Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku."

   "Ha-ha-ha, baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau membantu kami dengan sungguh-sungguh."

   "Dan ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu kauserahkan gadis keparat itu kepadaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai sembahyang di depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!"

   Kata nenek berpakaian hitam ini gemas.

   "Ha-ha, jangan khawatir. Setelah kami selesai dengan dia pasti akan kuserahkan kepalanya kepadamu,"

   Jawab Pek-hiat Mo-ko.

   "Dan pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-ling-pai untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku,"

   Kata Bouw Thaisu. Hek I Slankouw lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan tak lama kemudian terdengarlah suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya bayangan merah. Seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali.

   Gadis ini adalah murid Hek I Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang sampai berusia dua puluh lima tahun belum juga menikah karena gurunya menghendaki agar dia menikah dengan seorang laki-laki pilihan, seorang pangeran atau setidaknya putera seorang Pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan! Tentu saja sukar sekali mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah pemuda yang jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan biarpun di dalam hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun keinginan ini selalu ditahannya karena selain malu, diapun takut kepada gurunya yang dalam hal ini amat galak!

   "Subo!"

   Kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan gagah, dan sepasang pedang yang bersarung dan bergagang indah terukir itu tergantung di punggung, gagangnya nampak di kanan kiri pundaknya, menambah kegagahannya. Pakaiannya sederhana namun terbuat dari sutera merah dan menempel ketat mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang siap untuk dipetik. Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw Thaisu mengerutkan alisnya sambil berkata,

   "Siankouw, apakah bijaksana mengutus muridmu ini ke Padang Bangkai? Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya."

   "Hemm,"

   Hek I Slankouw mendongkol.

   "Dia mencari mampus kalau berani mengganggu muridku, pula, Si Kwi dapat menjaga diri sendiri."

   Lalu nenek berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya.

   "Eh, Si Kwi, beranikah engkau diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, majikan-majikan Padang Bangkai?"

   Gadis itu yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang berjuluk Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu suka menggoda wanita muda, menjadi merah mukanya dan dia meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang terisi senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab.

   "Tentu saja teecu berani, subo."

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir, anak baik!"

   Kata Hek-hiat Mo-li.

   "Kalau si pemabok gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu dia akan mundur teratur!"

   "Liong Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan kami pergi ke Padang Bangkai!"

   Kata Pek-hiat Mo-ko.

   "Temuilah suami isteri mabok itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka mereka harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan yang tangguh mampu melewati Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di sini!"

   "Baik, locianpwe,"

   Jawab Si Kwi dan nona ini melirik ke dalam kamar tahanan, melihat betapa dara yang ditawan itu duduk bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang siulian (samadhi). Dara murid Hek I Siankouw ini bukanlah orang jahat, dan sesungguhnya, Hek I Siankouw sendiripun dahulunya adalah seorang tokouw yaitu pendeta wanita Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan menjauhkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi, dia bersama Hwa Hwa Cinjin terjebak dalam perangkap nafsu berahi dan mereka itu, seorang pendeta wanita dan seorang pertapa pria, mengadakan hubungan gelap dan selanjutnya menjadi kekasih.

   Karena Hwa Hwa Cinjin adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoat-su yang terbunuh oleh The Hoo, maka diapun terkena bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan juga musuh Toat-beng Hoat-su. Ke manapun Hwa Hwa Cinjin pergi, apalagi menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I Siankouw ikut dengan meninggalkan muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin kekasihnya sejak muda itu tewas oleh In Hong, tentu saja Hek I Siankouw menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama dengan dua orang kakek nenek guru Sabutai itu sambil mengajak muridnya. Sungguhpun wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun Liong Si Kwi tidak pernah terlibat dalam kejahatan,

   Bahkan dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu saja dia tidak menganggap bahwa subonya itu jahat, pula dia tidak menganggap bahwa orang-orang yang kini dibantu subonya itu jahat, karena dianggapnya mereka, seperti juga subonya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam dianggapnya bukanlah perbuatan jahat. Kini melihat betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, juga kelihatan tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi justeru gadis di dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supeknya, yaitu Hwa Hwa Cinjin, demikian menurut keterangan subonya, maka dia memandang ke arah In Hong dengan sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena gurunya itupun menjadi pengganti orang tuanya.

   "Subo, kenapa tidak dibunuhnya saja dia itu?"

   "Justeru dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang lain, Si Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan kita,"

   Jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam.

   "Sekarang berangkatlah, muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah orang-orang setengah gila!"

   Gadis itu mengangguk, memberi hormat lalu meloncat dengan cepat sekali, lenyap dari tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk.

   "Gin-kang murldmu itu pinto lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!"

   "Memang betul, Thaisu. Si Kwi menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa Hwa Cinjin sehingga gin-kangnya menjadi matang dan lumayan. Karena gin-kangnya itulah maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya dan dia dijuluki orang Ang-yan-cu (Si Walet Merah),"

   Jawab Hek I Siankouw dengan bangga.

   Tempat In Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa bangunan yang kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja Sabutai dahulu bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia. Kini, oleh Raja Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang gurunya. Memang tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga amat baik untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu. Tempat itu berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki Pegunungan Khing-an-san.

   Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat di tikungan sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga dari atas lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga. Lembah Naga terletak di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat banyak tempat-tempat yang amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tak bertepi, diseling gurun-gurun pasir yang tandus. Jalan menuju ke Lembah Naga itu kalau didatangi dari barat, timur dan selatan, hanya ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak ada jalan lain yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali melalui Padang Bangkai ini.

   Mengapa dinamakan Padang Bangkai? Sebetulnya padang itu adalah padang rumput yang luas, akan tetapi keadaannya demikian aneh dan banyak sekali binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang manusia yang melakukan perjalanan lewat tempat itu dan tersesat, berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai! Memang amat berbahaya sekali. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah itu, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, Baik di musim panas maupun di musim semi tetap saja hijau segar itu, merupakan tempat maut yang mengerikan.

   Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjerumus, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun demikian tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Ada pula bagian yang rumputnya berwarna aneh kebiruan dan ternyata rumput di bagian ini mengandung racun yang berbahaya.

   Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka lalu terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan alang-alang setinggi orang dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara alang-alang tinggi ini berlika-liku, bercabang-cabang dan semua sama bentuknya, yaitu lorong setapak yang di kanan kiri diapit-apit oleh alang-alang tinggi! Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini, maka amat berbahaya, belum lagi binatang-binatang buas yeng menghuni di dalam rumpun alang-alang lebat itu. Dan jalan umum yang melalui Padang Bangkai ini terhenti oleh sebuah dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah rumah.

   Dusun ini dikelilingi oleh sungai yang memang sengaja dibuat, yaitu air dari Sungai Luan-ho yang dialirkan di sekeliling dusun itu sehingga kalau orang hendak melanjutkan perjalanan, mau tidak mau orang itu harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang terdapat di situ, melewati dusun itu dan menyeberang lagi di sungai yang berada di belakang dusun, karena kalau tidak mengambil jalan melalui dusun itu, orang harus mengambil jalan melalui padang rumput maut yang bawahnya lumpur itu, yang penuh di kanan kiri dusun menghadang jalan! Untuk mengelilingi dusun dengan perahupun tentu saja bisa, jadi tanpa melalui dusun, akan tetapi di situ tidak ada sebuahpun perahu, dan andaikata ada orang luar yang membuat perahu dan menggunakan jalan air di sekeliling dusun, tentu sebelum sampai di tempat tujuan perahunya sudah akan digulingkan oleh anak buah Padang Bangkai!

   Sebetulnya tempat inipun dahulu dibuat oleh orang-orang Mongol atas perintah Raja Sabutai yang dipergunakan sebagai semacam gerbang maut untuk menghalang musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Akan tetapi karena tempat ini berbahaya sekali, setelah Sabutai meninggalkan tempat itu untuk menghimpun bala tentara yang besar, tempat itu tidak ada yang mau mempergunakannya dan ditinggalkan terlantar. Baru pada beberapa tahun yang lalu, dua orang aneh datang ke tempat itu, kemudian menjadi penghuni di situ, bahkan mereka lalu mengumpulkan anak buah mereka yang jumlahnya ada belasan orang, yang menjadi murid, anak buah, juga melayani segala kebutuhan mereka. Siapakah dua orang aneh yang berani tinggal di tempat yang berbahaya itu? Mereka bukanlah orang-orang biasa tentu saja, melainkan orang-orang yang berkepandaian tinggi.

   Mereka merupakan sepasang suami isteri yang aneh dan tidak lumrah suami isteri biasa, melainkan lebih tepat kalau dinamakan sekutu yang kadang-kadang saling memperlihatkan kekuasaan dan memang kepandaian mereka adalah seimbang. Yang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar dan wajahnya yang membayangkan kekasaran dan keberanian itu selalu berwarna merah, matanya lebar dan jarang sekali orang melihat dia terlepas dari guci arak. Dialah yang dijuluki orang Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah), seorang yang memiliki tenaga besar dan dapat membunuh orang dengan kejam, mencekik leher orang dengan tangan kiri dan selagi orang itu berkelojotan, tangan kanannya membawa guci arak ke mulutnya untuk diminum mengglogok!

   Isterinya berusia empat puluhan tahun, wajahnya cukup cantik dan karena dia pesolek dan sikapnya agak genit, maka dia masih menarik. Tubuh yang terawat itu masih ramping dan padat, dan melihat sikapnya, orang mengira dia seorang wanita yang baik hati karena sikapnya lemah dan manis budi. Akan tetapi, sebetulnya, di balik senyumnya yang manis itu bersembunyi hati yang amat kejam, yang merasa gembira kalau melihat orang atau lawan tersiksa! Dia ahli racun, dan jarum-jarumnya yang beracun amat terkenal karena dia memiliki bermacam-macam jarum yang mengandung racun-racun bermacam-macam ular sehingga kalau mengenai tubuh lawan, juga menimbulkan siksaan bermacam-macam pula. Inilah wanita yang dijuluki Coa-tok Sian-li (Si Dewi Racun Ular)!

   Ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li meninggalkan Raja Sabutai yang mengecewakan hati mereka karena raja yang menjadi murid mereka itu tidak melanjutkan serangan ke selatan bahkan berdamai dengan Kaisar, dan terutama sekali menyuguhkan isterinya kepada Kaisar, kedua orang kakek dan nenek ini lalu tinggal di Lembah Naga yang diberikan kepada mereka oleh Sabutai. Dan Raja Sabutai juga memberikan seratus orang pengawal kepada dua orang gurunya ini yang dipilih sendiri oleh kakek dan nenek itu. Seratus orang inilah yang kini menjadi anak buah mereka di Lembah Naga! Akan tetapi ketika dua orang kakek dan nenek ini mendengar bahwa Padang Bangkai kini mempunyai majikan baru, mereka lalu datang ke tempat itu untuk menuntut bahwa tempat itu termasuk wilayah Lembah Naga.

   Tentu saja suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tidak mengenal kakek dan nenek berasal dari Sailan ini memandang rendah dan menyerang mereka, akan tetapi keduanya terkejut karena dengan amat mudahnya suami isteri itu dihajar jatuh bangun oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko sampai mereka minta-minta ampun! Kakek dan nenek itu melihat betapa kepandaian mereka berdua itu lumayan, dan karena untuk menghadapi para pembesar Beng-tiauw yang mempunyai banyak orang pandai itu merekapun membutuhkan kawan, maka mereka tidak membunuh suami isteri itu bahkan ditarik menjadi sekutunya! Padang Bangkai diberikan kepada mereka sebagai tempat tinggal akan tetapi mereka harus menjaga agar jangan ada musuh yang dapat mendekati Lembah Naga tanpa diketahui.

   Demikianlah sedikit keterangan tentang Lembah Naga dan Padang Bangkai, dan pada suatu hari, kini matahari telah naik tinggi, serombongan orang yang jumlahnya tiga puluh enam orang kelihatan berjalan dari selatan menuju ke Padang Bangkai! Mereka itu terdiri dari tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, dipimpin oleh seorang wanita yang berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan gagah. Dua puluh sembilan wanita lain yang menjadi anak buahnya juga rata-rata memiliki gerakan yang gagah dan usia mereka itu paling tinggi empat puluh tahun dan paling muda tiga puluh tahun.

   Kesemuanya membawa sebatang pedang di pinggang mereka, kecuali wanita yang menjadi pemimpin dan yang berpakaian serba hijau itu, yang selain membawa sebatang pedang panjang, di pinggangnya terselip pula sepasang pedang pendek. Adapun enam orang laki-laki itu agaknya menjadi semacam pelayan, karena enam orang inilah yang membawa buntalan-buntalan mereka dan berjalan di tengah-tengah, dan sungguhpun mereka juga terdiri dari orang-orang muda berusia paling tinggi tiga puluh tahun dan bertubuh tegap dan gerakannya gesit, namun sikap mereka terhadap para wanita itu jelas memperlihatkan bahwa mereka itu kalah pengaruh! Siapakah mereka ini yang begitu berani mati mendatangi tempat berbahaya ini? Mereka itu bukan lain adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang dan hal ini jelas dapat dilihat dari hiasan rambut wanita-wanita itu yang berbentuk burung Hong!

   Mereka adalah anak buah Yo Bi Kiok yang telah tewas. Seperti telah kita ketahui, Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw (Telaga Setan) dan menjadikan tempat itu sebagai markas mereka dan menawan sebagian dari anak buah Ui-hong-pang yang dipimpin oleh Kiang Ti yang dibunuh oleh Yo Bi Kiok. Kemudian perkumpulan itu ditinggalkan oleh Yo Bi Kiok dan ketika Yo Bi Kiok membantu Sabutai, ketua ini membawa sebagian besar anak buahnya untuk membantu. Setelah Yo Bi Kiok tewas, anak buahnya itu tersebar tidak karuan, ada yang menjadi isteri para perwira Sabutai, ada pula yang tewas atau melarikan diri. Akan tetapi, ada pula beberapa orang di antara mereka yang berhasil kembali ke Telaga Setan dan menceritakan kepada kawan-kawan mereka tentang kematian
(Lanjut ke Jilid 35)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35
ketua mereka!

   Kini jumlah mereka tinggal tiga puluh orang dan belasan orang laki-laki yang selama ini menjadi semacam pelayan yang melayani segala keperluan mereka, dari keperluan makan sampal keperluan sex! Adapun yang menjadi pemimpin mereka, setelah Yo Bi Kiok tewas dan Yap In Hong murid ketua mereka itu tidak di situ, adalah Bhe Kiat Bwee. Di permulaan cerita ini telah diceritakah tentang Bhe Kiat Bwe ini. Dia adalah seorang kekasih mendiang Kiang Ti yang tercinta, yaitu ketua dari Ui-hong-pang yang tadinya bersarang di Telaga Setan dan kemudian terbunuh oleh Yo Bi Kiok. Bhe Kiat Bwee ini seorang wanita cantik yang dipermainkan oleh Kiang Ti sebagai benda permainan indah yang menyenangkan dan menjadi pemuas nafsu berahi belaka. Oleh karena itu, Bhe Kiat Bwee amat membenci Kiang Ti, bahkan karena semenjak muda dia diperkosa dan dipermainkan oleh ketua Ui-hong-pang itu, timbul rasa bencinya terhadap pria pada umumnya.

   Oleh karena itu, ketika Ui-hong-pang dihancurkan oleh Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang, diapun lalu menjadi anggauta Giok-hong-pang, bahkan dia dapat menjilat dan menyenangkan hati ketua Giok-hong-pang sehingga diam-diam Bhe Kiat Bwee menerima ilmu-ilmu silat tinggi dari Yo Bi Kiok! Ketua Giok-hong-pang ini, yang merasa kasihan melihat Bhe Kiat Bwee yang seperti juga dia, hidupnya dirusak oleh seorang pria, hanya bedanya Bhe Kiat Bwee dirusak kehormatarmya dan dijadikan benda permainan sedangkan dia dirusak hatinya oleh cinta tak terbalas, bahkan meninggalkan sebuan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepada pelayan pribadinya itu ketika dia meninggalkan Giok-hong-pang. Oleh karena inilah, maka dengan cepat Bhe Kiat Bwee berobah menjadi seorang yang tinggi kepandaian silatnya, paling tinggi di antara para anggauta Giok-hong-pang!

   Setelah semua anggauta Giok-hong-pang yang masih ada melihat bahwa pelayan pribadi ketua mereka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi bahkan mewarisi ilmu permainan sepasang pedang pendek dari ketua mereka, tentu saja mereka dengan senang hati menerima Bhe Kiat Bwee menjadi wakil ketua dan pemimpin mereka. Bhe Kiat Bwee yang amat mencinta ketua Giok-hong-pang, ketika mendengar akan kematian Yo Bi Kiok, menjerit dan menangis dengan sedih sekali. Dia lalu mengatur upacara sembahyang untuk menyembahyangi roh dari ketua mereka, kemudian dia mengumpulkan seluruh sisa anggauta Giok-hong-pang yang berjumlah tiga puluh orang dengan dia itu untuk pergi menyusul Yap In Hong, murid ketua mereka yang kabarnya berada di kota raja dan menjadi seorang puteri istana! Akan tetapi, di kota raja mereka mendengar bahwa baru beberapa hari ini puteri Yap In Hong itu telah diculik oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

   Marahlah Bhe Kiat Bwee dan dengan anak buah bekas pengikut Yo Bi Kiok sebagai petunjuk jalan, berangkatlah dia dan rombongannya itu menyusul ke utara untuk menolong Yap In Hong. Tiga orang pengikut Yo Bi Kiok yang berhasil lolos dari kematian dan yang pernah membantu Raja Sabutai, tahu siapa adanya kakek dan nenek iblis itu, dan merekapun tahu bahwa mereka itu tentu berada di Lembah Naga. Maka ke sanalah mereka menyusul, tiga puluh orang wanita Giok-hong-pang yang penuh dendam, ditemani oleh enam orang pria dari Telaga Setan yang mereka jadikan pembawa barang perbekalan dan pelayan. Menjelang sore rombongan itu tiba di batas wilayah Padang Bangkai dan mereka menghadapi padang yang amat luas, dan dari situ mereka dapat melihat bangunan rumah-rumah di dusun seberang padang yang luas itu.

   "Kita malam ini harus dapat tiba di dusun depan itu,"

   Kata Bhe Kiat Bwee sambil menudingkan telunjuknya ke depan.

   "Kita bermalam di sana dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga."

   Teman-temannya mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah mendengar tentang tempat ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya dahulu membantu Raja Sabutai, berkata.

   "Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee) suka berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang Bangkai. Lihat di sana itu, bukankah itu kerangka manusia? Dan di sana itu terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini menyeramkan sekali dan tentu berbahaya."

   Bhe Kiat Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk.

   "Biarpun berbahaya, kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali. Persiapkan tali panjang yang kita bawa!"

   Segulung tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para laki-laki itu dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya.

   Kemudian dia memimpin teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan agar mereka semua bersikap hati-hati dan jangan sembrono. Tak lama kemudian, ketika melalui jalan setapak yang di kanan kirinya penuh dengan rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe Kiat Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara teman mereka yang menginjak rumput hijau itu telah amblas disedot oleh lumpur di bawah rumput. Wanita ini menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin hebat dia meronta, makin cepat tubuhnya disedot ke bawah! Seorang temannya cepat hendak menolongnya, dengan tangan terulur dia menghampiri dan diapun menjerit karena kaki kanannya juga tersedot dan ditarik oleh lumpur di bawah rumput yang diinjaknya.

   "Kalian diam...! Jangan bergerak sedikitpun! Yang lain semua mundur! Jangan menginjak rumput hijau itu!"

   Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian dia sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu. Mereka yang sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu. Kiat Bwee lalu menarik, akan tetapi betapapun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan teman-temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai, tetap saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar!

   "Satu demi satu!"

   Kiat Bwee tidak kehilangan akal.

   "Kalian berdua jangan bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian tenggelam!"

   Dua orang yang sudah ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee membuat sebuah jeratan di ujung tali lalu dilemparkannya ke arah orang kedua yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat dan jeratan yang berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat pinggangnya. Wanita itupun memegangi tali seperti gila, karena dia maklum bahwa di situlah nyawanya tergantung. Tiba-tiba terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-jerit, matanya terbelalak dan teriakannya makin mengerikan.

   "Jangan bergerak!"

   Kiat Bwee berseru keras dan marah, akan tetapi wanita itu makin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya kepalanyapun terbenam, tinggal kedua lengan yang masih meronta dan jari-jari tangannya yang mencengkeram-cengkeram ke udara. Itupun tidak lama karena segera kedua tangan itupun lenyap ditelan rumput-rumput hijau. Semua orang masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan itu, dan tiba-tiba wanita kedua itupun menjerit-jerit,

   "Aduuhhh... augghh... aihhhh, lekas... lekas... tolong aku...!"

   Dia mulai pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini sudah mengikat pinggang wanita itu. Teman-temannya membantu. Dengan pengerahan tenaga, mereka dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena amat sukar mencabut tubuh itu, apalagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit seperti orang gila. Akhirnya wanita itu yang meronta-ronta seperti gila akhirnya mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka lebih mudahlah bagi Kiat Bwee dan teman-temannya untuk membetotnya keluar dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu. Pakaian wanita itu, dari dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur kehitaman dan ketika dia sudah ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan pingsan, teman-temannya cepat membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan ditukar pakaian kering dan bersih.

   Aaihhhhh...!"

   "Hiiiiihhhhh...!"

   Jeritan-jeritan mengerikan terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan baju wanita itu, karena ternyata di bawah pakaian itu kelihatan banyak binatang yang seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! Dari dada sampai ke kaki, di situ menempel ratusan ekor binatang seperti lintah, warnanya kehijauan dan agak merah karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih halus itu. Pantas saja wanita itu menjerit-jerit,

   Kiranya selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur tadi, dia dikeroyok ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan memasuki pakaiannya untuk dapat langsung menggigit kulit dan daging, mengisap darah langsung dari bagian-bagian yang lunak! Biarpun dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan ngeri akhirnya Kiat Bwee dan teman-temannya dapat mencabuti semua lintah itu dari tubuh teman mereka, namun wanita itu tidak dapat hidup lama, bahkan tidak sadar lagi dari pingsannya, tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata lintah-lintah itu bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan racun yang saking banyaknya menjadi berbahaya dan mematikan juga! Terpaksa mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang di tanah keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu berkata,

   "Kita maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela nona In Hong, kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus makin berhati-hati."

   Mereka kini menggunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga tidak sampai terjebak seperti dua orang temen mereka tadi. Ketika mereka menghadapi padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata,

   "Jalan kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi kalian siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan musuh."

   Rombongan yang sudah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap melalui jalan kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama mereka berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka, sampai akhirnya rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan mereka sehingga mereka tidak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun alang-alang!

   Kiat Bwee mengeluarkan sehelai saputangan merah dan dicabik-cabiknya saputangan ini menjadi potongan-potongan kecil-kecil dan setiap sepuluh langkah dia melemparkan sepotong cabikan saputangan merah ke atas tanah yang mereka lewati. Memang wanita ini cerdik sekali. Dia tahu bahwa lorong di antara rumpun alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan, maka dia sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada lorong yang sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka kembali. Dan dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua "dinding"

   Alang-alang itu mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok!

   Dan di luar pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai! Banyak pasang mata pria yang terbelalak dan dengan mulut menyeringai dan mengilar, para anak buah Padang Bangkai memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki tubuh padat berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang melihat masuknya lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka! Rombongan wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung ketika jalan kecil itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah semula! Dan selagi mereka kebingungan, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang itu menyerang mereka dengan ganas!

   "Awas, mundur...!"

   Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang pedang pendek yang sejak tadi dipegangnya untuk membabat putus dua ekor ular yang menyerangnya. Akan tetapi anak buahnya yang terkejut itu menjadi panik dan terjadilah pengeroyokan ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara mereka terkena gigitan pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh berkelojotan karena ular-ular itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya!

   "Mundur...!"

   Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak, akan tetapi kembali dua orang memekik dan roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata adalah dua di antara enam orang laki-laki yang membawakan perbekalan mereka. Terpaksa beberapa orang wanita anggauta Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu dan mereka terus mundur meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran kemarahan ular-ular itu.

   Untung bagi mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan potongan-potongan kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka hanya dapat mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka tidak dapat menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh Kiat Bwee. Tentu saja mereka tidak mampu menemukan benda-benda itu kembali karena benda-benda itu telah dibersihkan oleh anggauta Padang Bangkai! Dan dengan sendirinya rombongan wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput alang-alang itu. Terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah lima ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena binatang-binatang itu sudah kelaparan agaknya.

   Kiat Bwee dan anak buahnya terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri dan balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian antara rombongan wanita yang sudah mulai ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas, dan akhirnya lima ekor harimau buas itu menggeletak mati, akan tetapi di fihak rombongan itupun ada delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran dan gigitan harimau buas itu, belum dihitung beberapa orang yang terluka! Kemudian terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring dan di dalam kegelapan malam itu, dari kanan kiri menyambar jala-jala hitam yang amat kuat, meringkus tiga belas orang wanita dan dua orang laki-laki yang masih mengadakan perlawanan itu.

   Mereka roboh dan meronta-ronta seperti sekelompok ikan kena jaring, namun segera muncul belasan orang laki-laki tinggi besar dan mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka satu demi satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan. Ketika Kiat Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki tangan mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi. Di depan mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka ini bukan lain adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li!

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap mulutnya yang berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu, kemudian pandang matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee.

   "Inikah pemimpinnya?"

   Terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya yang berdiri di situ, anak buahnya yang wajahnya serem-serem dan bertubuh besar-besar dan yang berdiri menyeringai dengan wajah girang. Mereka ini terdiri dari lima belas orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai.

   "Benar, twako!"

   Jawab seorang di antara mereka. Mereka semua menyebut twako kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak tertua, akan tetapi anehnya, terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau nyonya besar! Hal ini saja menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang kasar yang tidak memperdulikan segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya yang ingin dihormat sebagai nyonya besar!

   "Ha-ha-ha! Eh, perempuan manis, mengapa engkau dan teman-temanmu berani memasuki Padang Bangkai? Siapakah kalian?"

   Bhe Kiat Bwee menjawab berani,

   "Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan kami hendak mencari nona kami, Yap In Hong."

   "Hemm, suamiku, kau memang tolol. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang? Mereka adalah anak buah musuh, perlu apa ditanya lagi?"

   Coa-tok Sian-li berkata, suaranya halus dan ramah sungguhpun kata-katanya kasar terhadap suaminya.

   "Ha-ha-ha, kau benar, isteriku! Kau memang selalu benar. Hei, kau yang menjadi pemimpin, siapa namamu?"

   "Namaku Bhe Kiat Bwee."

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nama yang manis! Ha-ha-ha! Dan dua orang laki-laki ini siapa?"

   "Dia adalah pelayan kami."

   "Pelayan? Pelayan saja? Wah, kenapai pelayan-pelayan dibawa ke sini, tidak dibunuh saja?"

   Ang-bin Ciu-kwi membentak kepada anak buahnya.

   "Membunuh mereka sekarangpun belum terlambat, twako."

   Kata seorang anak buahnya yang bermata merah dan dia sudah menggerakkan tangan, memukul ke arah kepala seorang di antara dua pelayan Giok-hong-pang itu.

   "Plakk! Aduuuuhhh...!"

   Orang itu berseru kesakitan dan meloncat mundur, memegangi tangannya yang tadi bertemu dengan tangan halus Coa-tok Sian-li, ketika nyonya itu menangkisnya. Memang kelihatan aneh sekali betapa tangan besar berbulu yang nampak kuat itu menjadi terpental dan pemilik tangan itu berteriak kesakitan ketika tangan itu bertemu dengan tangan kecil berkulit putih halus dari Coa-tok Sian-li.

   "Manusia lancang! Berani kau hendak turun tangan di depanku?"

   Nyonya itu membentak, akan tetapi pandang matanya masib berseri dan mulutnya masih tersenyum.

   "Ampunkan saya, twanio..."

   Laki-laki bermata merah itu menjura dengan ketakutan.

   "Bawa mereka ke kamarku, bebaskan dari belenggu dan beri makan secukupnya, suruh mereka mandi yang bersih!"

   Kata pula nyonya itu dan si mata merah mengangguk-angguk, kemudian bersama seorang kawan lain dia membawa pergi dua orang laki-laki yang ditawan itu.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak.

   "Engkau sungguh masih bernafsu besar, isteriku. Sekaligus mengambil dua orang untuk melayanimu! Wah, jangan biarkan aku ketinggalan untuk menikmati tontonan itu. Ha-ha, kau membikin aku menjadi iri, isteriku! Perempuan inipun kelihatannya boleh juga!"

   Dia lalu menggerakkan tangan ke depan.

   "Breeeetttt...!"

   Sekali dia merenggutkan dengan tangannya yang kuat, robeklah bagian depan pakaian yang menempel di tubuh Bhe Kiat Bwee, pakaian luar dan dalam, seperti kertas saja rapuhya di tangan si muka merah itu dan bagian depan tubuh wanita itu nampak seluruhnya.

   "Ha-ha-ha, benar dugaanku. Boleh juga! He, bawa dia ke kamarku!"

   Perintahnya dan kembali seorang anak buahnya membawa Kiat Bwee pergi dari situ.

   "Mereka ini adalah musuh-musuh kita,"

   Kata pula Coa-tok Sian-li.

   "Boleh kalian miliki bersama untuk semalam ini. Akan tetapi, besok pagi-pagi mereka itu semua harus sudah bersih, harus kalian lemparkan ke padang rumput hijau. Nah, bawa mereka pergi!"

   Para anak buah itu bersorak girang dan seperti harimau-harimau kelaparan mereka menubruk wanita-wanita Giok-hong-pang yang seperti domba-domba terikat tak berdaya itu. Terdengar jerit dan rintih di antara mereka, diseling gelak tawa para anak buah Padang Bangkai ketika mereka membawa pergi wanita-wanita itu dari situ.

   Malam penuh kemaksiatan berlangsung di dusun kecil terpencil itu, di dalam beberapa buah rumah itu, di mana semua anak buah Padang Bangkai berpesta pora memuaskan nafsu mereka secara buas sekali! Dua belas orang wanita anggauta Giok-hong-pang itu diperkosa bergantian, di antara daging dan arak, mereka dipermainkan dan kebuasan yang dilakukan oleh manusia-manusia itu jauh lebih mengerikan daripada kebuasan binatang liar manapun juga! Sukar untuk melukiskan keadaan di tempat pesta itu, di mana terdengar rintihan dan keluhan, tangis yang diseling suara tertawa seperti iblis-iblis bangkit dari neraka. Makin hebat wanita-wanita itu merintih dan menangis, makin menggila lagi tingkah polah anak buah Padang Bangkai, makin keras pula mereka tertawa-tawa seolah-olah suara tangis dan rintihan itu terdengar oleh mereka sebagai suara nyanyian yang membangkitkan gairah birahi.

   Orang yang menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di ruangan besar itu tentu akan merasa muak, ngeri dan juga sedih menyaksikan tingkah polah manusia yang demikian ganas dan buas, demikian penuh dengan kejahatan yang mengerikan. Akan tetapi, kalau dia pergi meninggalkan tempat itu dan melihat apa yang berlangsung di dalam sebuah kamar lain, kamar besar yang cukup indah dan lengkap, dia akan merasa lebih muak lagi. Di dalam kamar ini, suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li juga sedang berpesta, sama saja dengan anak buah mereka, pesta penuh nafsu berahi yang menjijikkan di mana suami isteri itu membawa tawanan-tawanan mereka berkumpul di dalam satu kamar dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka secara terbuka!

   Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah menggunakan arak yang dicampur racun dan yang diminumkan secara paksa kepada Bhe Kiat Bwee dan dua orang laki-laki pelayan Giok-hong-pang sehingga wanita dan dua orang laki-laki itu menjadi seperti gila diamuk nafsu berahi mereka, dalam keadaan setengah sadar mereka itu memenuhi segala keinginan suami isteri itu melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan biasa tentu membuat mereka malu bukan main. Namun, mereka telah terbius oleh racun sehingga mereka dapat melakukan apapun juga untuk melampiaskan dorongan mujijat yang membangkitkan gairah nafsu berahi mereka. Menjelang pagi, Coa-tok Sian-li yang telah merasa puas dan kekenyangan oleh pelayanan dua orang laki-laki muda yang dibikin kuat oleh arak beracun,

   Lalu menyeret mereka pergi keluar kamar dan tak lama kemudian terdengar bunyi gerengan menyeramkan dari empat ekor anjing kelaparan, yaitu anjing-anjing hutan yang dipelihara oleh nyonya ini di dalam kerangkeng, diseling teriakan-teriakan menyayat hati dari dua orang pria itu yang tubuhnya dirobek-robek oleh empat ekor anjing hutan itu, sampai akhirnya teriakan-teriakan itu makin lemah dan akhirnya berhenti sama sekali dan yang terdengar hanya suara anjing makan daging dan tulang, menjilat-jilat darah segar dan Coa-tok Sian-li yang tadi berdiri di luar kerangkeng dan menonton dengan mata berkilat-kilat, kini meninggalkan tempat itu dengan senyum penuh kepuasan. Dia lalu memasuki kamarnya sendiri, dalam keadaan masih setengah telanjang dia melempar tubuhnya ke atas kasur dan tak lama kemudian terdengar wanita ini mendengkur dengan enaknya!

   Pagi-pagi sekali, sesosok bayangan berkelebat di antara pohon-pohon menuju ke Padang Bangkai. Bayangan ini adalah Liong Si Kwi, gadis manis murid Hek I Siankouw yang diutus untuk menghubungi majikan Padang Bangkai. Karena dia telah mengenal jalan, dan telah diberi tahu akan rahasia dan keganasan tempat-tempat itu, maka dia mengambil jalan yang aman dan sama sekali tidak mau mendekat padang rumput hijau dan lain bagian yang berbahaya, melainkan dia hendak langsung mengambil jalan lorong kecil yang diapit-apit rumput alang-alang itu. Akan tetapi tiba-tiba Si Kwi menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia mendengar suara orang-orang tertawa-tawa di antara suara rintihan-rintihan wanita! Tak lama kemudian, dari balik rumpun alang-alang muncul lima belas orang laki-laki tinggi besar yang dikenalnya sebagai anak buah Padang Bangkai. Mereka itu tertawa-tawa dan menyeret-nyeret tubuh dua belas orang wanita yang kesemuanya telanjang bulat, menangis dan merintih-rintih dalam keadaan menyedihkan sekali.

   "Ha-ha-ha, sayang. Kita cuma diberi waktu semalam saja!"

   "Semalampun sudah cukup, A-ban! Kalau kita berpesta seperti semalam selama tiga malam saja engkau akan mati lemas, ha-ha-ha!"

   "Akupun sudah puas!"

   "Dan mereka ini bisa menjemukan!"

   Si Kwi yang mengintai, memandang dengan mata terbelalak. Jantungnya berdebar dan dadanya terasa panas dan tidak enak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak boleh mencampuri urusan mereka! Kemudian, dia melihat betapa wanita-wanita telanjang bulat itu oleh para anak buah Padang Bangkai dilemparkan ke arah padang rumput hijau yang dia tahu adalah tempat berbahaya sekali! Hampir saja dia menjerit untuk mencegah, akan tetapi dia sadar dan mendekap mulutnya sendiri. Hanya matanya saja yang terbelalak memandang ketika wanata-wanita itu dilemparkan dan jatuh ke atas rumput hijau segar itu. Akan tetap segera terdengar mereka menjerit-jerit karena tubuh mereka begitu terbanting terus saja tenggelam sampai ke pinggang!

   "Aughhhh... tolooongggg...!"

   "Aduhhh... lepaskan aku...!"

   Mereka menjerit-jerit dan memohon-mohon, akan tetapi makin hebat mereka itu meronta, tubuh mereka amblas makin dalam. Lima belas orang anggauta Padang Bangkai itu menonton sambil tertawa-tawa, seolah-olah penglihatan itu merupakan tontonan yang amat menyenangkan dan menegangkan hati mereka. Bahkan mereka mulai bertaruh siapa di antara wanita-wanita itu yang paling tahan lama! Si Kwi hampir tidak dapat menahan hatinya mengintai dan melihat itu semua.

   Mulai tampak wanita-wanita itu terbelalak dan melolong-lolong. Tentu mulai digigiti lintah-lintah beracun, pikirnya karena dia telah memperoleh keterangan tentang tempat-tempat berbahaya itu dan dia bergidik membayangkan betapa tubuh telanjang itu diserang oleh ratusan ekor lintah. Wanita-wanita itu makin hebat meronta-ronta, ketakutan dan kengerian yang amat hebat terlukis di wajah mereka dan mulai ada yang kehilangan suaranya, karena perlahan-lahan, kepalanya mulai terbenam pula, hanya kedua tangan mereka yang menegang dan mencengkeram. Tentu saja pemandangan ini membuat kawan-kawan wanita lainnya menjadi makin ketakutan. Suara jeritan-jeritan itu makin berkurang dan akhirnya, wanita terakhir yang melihat betapa semua temannya lenyap dari merasakan seluruh tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dibakar, tiba-tiba tertawa bergelak.

   Melihat wajah yang cantik itu tertawa seperti itu, dengan matanya menjadi liar, Si Kwi bergidik dan maklumlah dia bahwa wanita itu menjadi gila saking takutnya! Sambil tertawa-tawa laki-laki yang dalam pertaruhan memilih wanita ini, sibuk menerima uang pembayaran dari kawan-kawannya dan suara ketawa menyeramkan dari wanita itupun lenyap ketika mulutnya mulai terbenam, hanya kelihatan matanya saja yang masih liar melirik ke kanan kiri dan akhirnya pemandangan yang mengerikan inipun lenyap. Tidak ada bekasnya lagi dari dua belas orang wanita itu dan rumput-rumput di situ tetap hijau segar seolah-olah mendapat rabuk dari mayat dua belas orang wanita itu. Si Kwi bergidik dan dia lalu keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan dengan tenang tanpa memperdulikan lima belas orang itu.

   "Heiii... masih ada satu...!"

   Tiba-tiba Si mata merah berteriak dan mereka semua lalu berloncatan mengejar dan mengurung Si Kwi.

   "Ah, bukan! Dia bukan teman mereka."

   "Dia ini masih muda. Hemm, manisnya!"

   Bermacam-macam komentar mereka sambil mengepung Si Kwi dan menilai-nilai, seperti sekumpulan srigala mengepung seekor domba gemuk, akan tetapi tidak menyerangnya karena mereka masih kekenyangan oleh pesta semalam! Selain itu, juga karena mereka menduga bahwa gadis ini bukanlah teman dari orang-orang Giok-hong-pang, mereka tidak mau lancang bertindak sembarangan. Kalau mereka semalam berani memperebutkan dan mempermainkan wanita-wanita itu adalah karena majikan mereka yang memberi ijin! Kini mereka menghadapi Si Kwi sebagai seorang baru, seorang musuh baru yang berani memasuki wilayah Padang Bangkai tanpa ijin.

   "Hei, nona! Siapakah engkau?"

   Tanya si mata merah yang agaknya selalu menjadi pemimpin di antara anak buah Padang Bangkai itu. Si Kwi memandang mereka dengan sinar mata jijik dan tidak suka.

   "Siapa adanya aku tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian manusia-manusia iblis!"

   Jawabnya. Mereka membelalakkan mata, saling pandang dan tertawa.

   Ha-ha-ha, si manis ini galak sekali!"

   "Tunggu aku menjinakkan dia!"

   "Tangkap saja dulu dan laporkan ke dalam!"

   "Biar aku yang menangkap, akan kuhukum dia dengan satu kali ciuman!"

   Si mata merah yang melihat sikap Si Kwi begitu menantang, menjadi curiga dan dia mengangkat tangannya. Semua temannya diam dan si mata merah kini melangkah maju menghadapi Si Kwi.

   "Nona, engkau telah memasuki wilayah kami, maka harus mengaku siapa nama dan mau apa engkau melanggar wilayah kami."

   "Minggirlah kalian! Aku hendak bertemu dengan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!"

   Kata Si Kwi.

   "Wah-wah, bocah ini kurang ajar sekali!"

   Terdengar teriakan, dan mereka kini mengurung makin rapat.

   "Tunggu...! Biar kita coba dulu sampai di mana kelihaiannya maka dia ingin bertemu dengan twako dan toanio tanpa mengindahkan kita sama sekali."

   "Biarlah aku mencobanya!"

   "Aku saja!"

   "Biar kutangkap dia untukmu!"

   Mereka seperti berebut dan akhirnya, dua orang tinggi besar telah menubruk ke arah Si Kwi dari depan dan belakang, agaknya mereka itu sudah ingin sekali untuk menubruk, memeluk dan mendekap gadis manis itu untuk menangkapnya. Akan tetapi, Liong Si Kwi memang sudah bersiap-siap untuk ini dan kebetulan sekali, dia dapat melampiaskan kebenciannya terhadap laki-laki yang dianggapnya sebagai manusia-manusia iblis ini. Begitu melihat ada dua orang menyergapnya dari depan belakang, dia cepat mengubah kedudukan kakinya dengan miringkan tubuh sehingga mereka berdua itu kini bukan menyergap dari depan belakang, melainkan dari kanan kiri. Kedua tangannya bergerak secepat kilat, dengan dua jari tangan kanan kiri dia mendahului mereka, menotok ke arah ulu hati mereka.

   "Hukk! Hukk!"

   Dua orang laki-laki tinggi besar itu terkejut dan napas mereka seolah-olah terhenti, dan pada saat itu, kedua tangan Si Kwi sudah menangkap rambut mereka dengan jambakan kuat dan sekali dara itu membentak dengan suara nyaring sekali, tubuh mereka telah terlempar ke arah rumput hijau!

   "Bress! Bress!"

   Karena mereka tidak berdaya dan tubuh mereka yang berat terbanting, maka seketika mereka telah amblas ke dalam lumpur maut itu sampai ke dada!

   "Tolonggg...! Tolooonggg...!"

   Mereka berteriak dengan mata terbelalak ketakutan, dan karena mereka sudah mengenal tempat maut ini, mereka sama sekali tidak berani bergerak, hanya mata mereka yang terbelalak dan melirik ke sana-sini. Tentu saja teman-temannya menjadi terkejut dan cepat mereka itu mengeluarkan tali panjang, lalu melontarkan ujung-ujung tali ke arah mereka, dan tiga belas orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik keluar dua orang teman yang sial itu.

   "Aduhh... aduhhh... cepat... mereka mengeroyokku, perempuan-perempuan itu...!"

   Yang seorang berteriak-teriak ketakutan, merasa seolah-olah tubuhnya yang terbenam itu dicubiti dan digigiti oleh wanita-wanita Giok-hong-pang yang menjadi korban keganasan mereka tadi.

   "Auwwww... aduhhh... mati aku...!"

   Orang kedua tiba-tiba menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. Akhirnya, dengan susah payah mereka dapat menarik dua orang itu ke tempat aman. Cepat mereka membersihkan lintah-lintah beracun yang menempel di tubuh mereka dan memberi obat penawarnya. Dan mereka tertawa geli ketika melihat bahwa yang mengaduh-aduh dan sambat mati tadi ternyata ditempeli seekor lintah besar pada anggauta rahasianya!

   "Eh, mana dia?"

   "Iblis betina itu telah pergi!"

   "Itu lihat...! Dia menuju ke sarang kita!"

   "Kejar...!"

   Tiga belas orang itu meninggalkan dua orang teman mereka yang sudah terhindar dari bahaya maut untuk mengejar bayangan Si Kwi yang sudah berlari cepat memasuki padang alang-alang yang sudah dikenalnya dari petunjuk gurunya pula, memang jalan kecil yang datang dari utara Padang Bangkai tidaklah begitu ruwet dan berbahaya, kecuali melalui satu padang rumput hijau yang merupakan tempat maut itu dan sedikit pada alang-alang yang tidak begitu luas dan tidak ada mengandung jebakan-jebakan yang mengerikan. Yang berbahaya adalah jalan yang ditempuh oleh rombongan Giok-hong-pang kemarin, yaitu dari selatan, akan tetapi jalan inipun sudah diketahui oleh Si Kwi karena memang gurunya sudah mengenal daerah berbahaya ini dan telah menceritakan kepada muridnya.

   Pagi hari itu, Ang-bin Ciu-kwi sedang duduk di beranda depan bersama isterinya. Sepagi itu dia sudah minum arak dan Bhe Kiat Bwee yang setengah telanjang itu masih belum dilepaskannya, wanita yang belum sadar benar karena terus dilolohi arak dan racun itu dipangkunya dan dibelainya. Seperti orang gila, Kiat Bwee terkekeh dan melayani belaian Ang-bin Ciu-kwi, sedangkan Coa-tok Sian-li melihat dengan muka membayangkan kejemuan hatinya.

   Tiba-tiba mereka melihat Si Kwi yang berlari cepat mendatangi dari jauh dikejar oleh anak buah mereka. Dengan tenang saja kedua orang ini memandang, dan Ang-bin Ciu-kwi masih memangku dan merangkul pinggang Kiat Bwee ketika Si Kwi tiba di depan mereka, gadis itu memandang dengan alis berkerut. Suami isteri itu tentu lupa lagi kepadanya, dan biarpun dia pernah melihat suami isteri ini, akan tetapi hanya sebentar saja tanpa diperkenalkan, yaitu ketika suami isteri ini datang menghadap Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga. Setelah dia tadi menyaksikan kebuasan anak buah Padang Bangkai yang membunuh wanita-wanita itu, dan kini melihat Ang-bin Ciu-kwi memangku seorang wanita setengah telanjang pula dan mempermainkannya, hati Si Kwi menjadi muak dan panas sehingga sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

   

Petualang Asmara Eps 35 Pedang Kayu Harum Eps 43 Petualang Asmara Eps 34

Cari Blog Ini