Pendekar Sadis 1
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Pagi yang amat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga amat indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa keriangan dan kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara maupun yang berjalan dan merayap di atas bumi. Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit,
Embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan dan kesunyian dan keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi, melainkan hanya sementara saja. Demikian pula sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan. Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Kalau kita sudah menilai bahwa yang siang itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya, kalau kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin bahwa kita akan menemukan keindahan dalam kegelapan dan kesunyian malam itu!
Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua mahluk, kecuali manusia! Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu menonjolkan keakuannya. Manusia terlalu mudah mengeluh, juga terlampau mudah mabuk. Di waktu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan, manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini, dan di waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi mabuk dan lupa diri! Di dalam hutan di lereng bukit pada pagi hari itu pemandangannya amatlah indahnya. Dari ujung daun-daun dan rumput sampai kepada awan, semua seolah-olah tersenyum gembira bersama cahaya matahari pagi yang lembut dan menghidupkan. Akan tetapi, seorang wanita yang berjalan mendaki lereng bukit itu, yang memanggul tubuh seorang pria, berjalan sambil menangis sedih!
Sungguh, di manapun juga di dunia ini, selalu terdapat manusia yang merasa sengsara dan tenggelam dalam kedukaan. Wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, paling banyak dua puluh empat tahun usianya, berwajah serius dan gagah. Biarpun dia memanggul tubuh seorang pria di pundaknya, namun langkahnya yang tegap dan ringan itu jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, juga terkenal sekali, bukan hanya karena kelihaiannya sendiri melainkan karena dia adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal. Wanita ini bernama Lie Ciauw Si, cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan dialah satu-satunya cucu Cin-ling-pai yang menerima penggemblengan langsung dari mendiang kakeknya, yaitu mendiang Cia Keng Hong, pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu.
Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya karena dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, biarpun harus diakui bahwa dia tidak atau belum menguasai ilmu-ilmu tinggi itu secara sempurna seperti kakeknya. Tubuh pria yang dipanggulnya itu seperti sudah mati saja, lemas dan wajahnya pucat seperti mayat, di ujung bibirnya nampak darah, napasnya tinggal satu-satu. Siapakah pria itu? Dia pun masih muda, bahkan masih amat muda, kurang lebih dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, amat tampan dan pakaiannya amat mewah, seperti pakaian pria-pria bangsawan. Pria ini adalah suami Lie Ciauw Si! Dia adalah seorang Pangeran, bahkan Pangeran dari dua kerajaan. Dia adalah putera kandung dari Puteri Khamila yang menjadi isteri Raja Sabutai, seorang raja liar di utara daerah Mongol, maka tentu saja dia adalah seorang Pangeran kerajaan utara ini.
Akan tetapi, ayah kandungnya bukanlah Raja Sabutai, melainkan mendiang Kaisar Ceng Tung, Kaisar Kerajaan Beng-tiauw dan hal ini selain diketahui oleh Raja Sabutai, juga diakui oleh mendiang Kaisar itu sebelum meninggal dunia sehingga secara resmi dia pun menjadi seorang Pangeran dari Kerajaan Beng-tiauw. Namanya adalah Pangeran Oguthai, yaitu sebagai Pangeran utara, atau Ceng Han Houw, sebagai Pangeran Kerajaan Beng-tiauw. Ceng Han Houw ini adalah seorang Pangeran muda yang semenjak kecil suka bertualang dan suka sekali mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari orang-orang sakti sehingga dalam hal ilmu silat, dia bahkan lebih lihai dibandingkan dengan isterinya yang lihai itu! Kepandaiannya yang hebat membuat Pangeran ini menjadi tinggi hati dan sombong,
Di samping ambisinya yang amat besar untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, bahkan kaiau mungkin untuk merampas tahta Kerajam Beng-tiauw. Sikap inilah yang telah menjatuhkannya! Di bawah Pimpinan Pangeran Hung Chih, yang dianggap sebagai Pangeran Mahkota, para pendekar yang sakti telah bergerak menentangnya dan akhirnya Pangeran ini roboh dan terluka secara hebat sekali ketika terjadi pertempuran. Juga semua pengikutnya, pasukannya, telah dihancurkan sehingga semua usahanya itu mengalami kehancuran dan kegagalan. Pangeran Ceng Han Houw sudah kehilangan segala-galanya, kecuali isterinya yang amat setia dan amat mencintanya itu. Isterinya inilah yang membawa tubuhnya yang terluka parah itu, membawanya lari meninggalkan gelanggang pertempuran di mana suaminya mengalami kegagalan,
Melarikannya siang malam sampai pada pagi hari itu, dengan tubuh amat letih, pendekar wanita Lie Ciauw Si tiba di lereng bukit itu sambil menangis. Hampir dia tidak kuat melangkah lagi, namun dipaksanya karena dia harus dapat membawa suaminya yang sudah lebih mendekati mati daripada hidup itu sampai ke puncak. Dia mendengar bahwa di puncak bukit itu tinggal seorang pertapa yang pandai sekali mengobati orang, maka harapan satu-satunya hanyalah membawa suaminya menghadap pertapa itu. Semua peristiwa di atas telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga. Dia telah melakukan perjalanan dua hari dua malam, hanya berhenti untuk memberi minum, atau lebih tepat memasukkan air ke dalam perut suaminya, karena suaminya itu hampir terus-menerus dalam keadaan tidak sadar.
Dia sendiri selama itu hanya minum sedikit air saja! Maka, ketika dia mendaki lereng bukit ini, kedua kakinya sudah gemetar dan dia harus menggigit bibir dengan air mata menetes-netes untuk menguatkan dirinya. Betapapun juga, berkat kepandaiannya yang tinggi, langkahnya masib nampak ringan ketika dia terus mendaki ke atas, ke arah sebuah pondok di puncak yang sudah kelihatan dari bawah. Melihat pondok kecil itu, Ciauw Si merasa seperti melihat cahaya yang penuh harapan, tenaganya timbul kembali dan setengah berlari dia berloncatan naik ke atas puncak. Pondok itu kecil sederhana dan pintunya terbuka! Maka Ciauw Si yang sudah merasa betapa matanya berkunang dan kepalanya pening, melangkah masuk. Samar-samar dia melihat seorang kakek duduk bersila di dalam pondok. Dia cepat melangkah maju dan sempat berkata lirih,
"...mohon... mohon Locianpwe sudi... menolong suami saya..."
Dan tergulinglah isteri setia ini bersama suami yang dipanggulnya, roboh ke depan kaki pria tua yang duduk bersila itu.
"Siancai..., siancai...! Jarang di dunia ini ditemui wanita seperti dia ini...."
Kakek itu berkata lembut, lalu turun dari atas pembaringan dan dengan tidak mudah karena dia sudah tua dan tenaganya sudah lemah, dia mengangkat suami isteri itu seorang demi seorang dan merebahkan mereka di atas pembaringan kayu sederhana. Dia berdiri menggeleng kepala dan menarik napas panjang memandang kepada suami isteri yang tampan dan cantik lagi muda itu, yang keduanya dalam keadaan pingsan dan kelihatan amat menderita. Kemudian, dia menggulung lengan bajunya, mendekati Han Houw dan dengan teliti sekali dia memeriksa denyut nadi dan detak jantung pria muda itu. Wajah yang keriput itu nampak terkejut sekali.
"Aihhh... kacau dan remuk keadaan dalam tubuh orang muda ini! Hemm... tak tahu aku apakah aku akan dapat mengobati... sungguh hebat, mengapa kekerasan saja yang timbul dari penumpukan kepandaian?"
Setelah memeriksa dengan teliti dan berkali-kali dia menggeleng kepala, dia lalu memeriksa keadaan Ciauw Si dan mengangguk-angguk.
"Terlampau lelah, terlampau duka dan gelisah, menderita kelaparan dan kehausan. Sungguh wanita luar biasa, penuh kasih sayang dan kesetiaan..."
Karena maklum benar bahwa keadaan Ciauw Si tidak apa-apa sebaliknya keadaan Han Houw amat berbahaya, kakek itu cepat-cepat mengambil akar yang masih segar, lalu mengirisnya tipis-tipis dan menggodoknya dalam periuk, mencampurinya dengan beberapa macam daun dan bubukan buah kering. Sambil mengipasi api arang, dia bersenandung mengikuti irama kipas yang dia gerak-gerakkan. Siapakah kakek ini? Kakek ini adalah seorang sasterawan ahli obat yang sudah lama bertapa di puncak bukit sunyi itu, menjauhkan dunia ramai dan hanya tekun memperdalam ilmunya untuk mengobati.
Hanya di waktu timbul wabah yang menyerang dusun-dusun atau kota-kota, kakek ini keluar dari tempat pertapaannya untuk memerangi wabah itu. Selain ini, juga setiap kali ada orang sakit datang kepadanya, dia selalu mengobatinya dan ternyata obatnya amat manjur sehingga sebentar saja namanya terkenal di seluruh daerah perbatasan dekat Tembok Besar itu. Karena dia tidak pernah mau mengakui namanya, maka dia segera diberi julukan Yok-sian (Dewa Obat) yang diterimanya dengan senyum saja. Setelah godokan obat itu masak, dia lalu mendinginkannya di atas cawan dan dengan hati-hati dia lalu memasukkan obat itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut Han Houw yang dalam keadaan setengah sadar meneguk obat itu dengan susah payah. Tak lama kemudian Ciauw Si sadar dari pingsannya, mengeluh dan membuka mata. Melihat kakek itu sedang menyuapi obat kepada suaminya, dia cepat bangkit duduk.
"Mengasolah dulu, anak yang baik, engkau perlu mengaso dan makan..."
"Tidak, Locianpwe, saya tidak apa-apa..."
Ciauw Si memaksa diri turun dari pembaringan. Pada saat itu, Yok-sian sudah selesai memindahkan air obat itu ke dalam perut Han Houw dan dia memandang kepada Ciauw Si sambil tersenyum ramah.
"Engkau kuat bukan main, akan tetapi sebaiknya engkau mengisi perutmu dengan bubur. Aku masih mempunyai bubur, di meja itu..."
Ciauw Si sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu.
"Locianpwe, harap jangan memusingkan diri saya, akan tetapi... bagaimanakah dengan dia...?"
Dia menoleh ke arah suaminya yang masih rebah terlentang dengan muka pucat seperti mayat. Kakek itu memegang kedua pundak Ciauw Si dengan sikap halus dan mengangkatnya bangun.
"Jangan begitu, duduklah, Nyonya muda, dan mari kita bicara dengan tenang."
Ucapan yang halus dan serius itu membuat Ciauw Si tidak berani membantah dan dia pun lalu bangkit dan duduk di atas bangku berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja kecil penuh rempah-rempah dan obat-obatan.
"Harap Locianpwe katakan, bagaimana dia?"
Dia bertanya, sinar matanya penuh permohonan, mukanya yang pucat dan penuh kekhawatiran itu menyedihkan sekali.
"Engkau adalah seorang wanita gagah, maka kurasa engkau pun akan berhati tabah dan tidak lemah. Terus terang saja, keadaannya amat parah, luka-lukanya di dalam tubuh amat hebat. Akan tetapi, tentu saja aku tidak berani mendahului kehendak Tuhan, tidak berani menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkannya atau tidak. Betapapun juga, aku hendak mencobanya."
"Ah, terima kasih, Locianpwe, terima kasih..."
Suara Clauw Si mengandung isak keharuan karena pengharapannya timbul kembali.
"Hanya Locianpwe yang dapat saya harapkan... hanya Locianpwe yang dapat menyembuhkannya..."
"Apamukah dia itu?"
"Dia suami saya, Locianpwe... sudah dua hari dua malam..."
"Dan kau terus-menerus memanggulnya selama itu? Ah, engkau harus makan dulu, nah, kau makanlah bubur ini, kemudian istirahatiah. Masih banyak waktu bagi kita untuk bicara."
Setelah mengatakan demikian, kakek itu lalu keluar dari pondok untuk mencari daun-daun obat segar yang diperlukan untuk mengobati orang yang terluka parah itu, diam-diam dia menduga-duga apa yang telah terjadi dengan orang itu dan siapa adanya suami isteri muda belia yang kelihatan bukan orang-orang sembarangan itu. Diam-diam hatinya khawatir. Kakek ini lebih suka menolong dan berhubungan dengan penduduk dusun yang sederhana daripada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw yang memiliki kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai dan saling membunuh itu, kebiasaan yang membuat dia merasa jijik sekali. Sementara itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus sehat agar dia dapat merawat suaminya setelah kini timbul harapan di dalam hatinya.
Setelah tiba di sini, melihat Hen Houw, dia hampir putus harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Hen Houw di sampingnya? Dia sudah terbuang dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau anak durhaka! Terbayanglah dia betapa keluarga Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah menentang Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiripun menentang. Dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka melihat dia menjadi isteri Han Houw! Dan setelah dia merasa dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han Houw seoranglah yang dia miliki. Dan dia amat mencinta Pangeran itu, lepas dari soal apakah suaminya itu memberontak atau tidak, jahat atau tidak.
Harapan untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si dan mulailah dia makan bubur dengan sekedar sayur asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya segera berangsur lenyap, tenaganya pulih kembali setelah dia mekan bubur dan minum air teh. Kemudian dia mencuci mangkok piring dan membersihkan meja dan ruangan pondok itu. Dilihatnya suaminya masih tidur nyenyak, agaknya karena pengaruh obat yang telah diminumkan oleh kakek tadi, maka hatinya terasa lapang dan dia menanti kembalinya kakek ahli obat itu. Setelah matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun dan akar obat. Ciauw Si menyongsongnya dan membantunya membawa rempah-rempah itu masuk pondok.
"Engkau sudah makan?"
Ciauw Si mengangguk.
"Terima kasih Locianpwe."
Ketika Kakek itu memasuki pondok dan melihat pondoknya bersih dan rapi, dia tersenyum girang, lalu dia langsung memeriksa keadaan Han Houw,
"Kau taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan ini ke atas tambir dan jemur di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh beruntung baginya bahwa tidak ada hawa beracun mengeram dalam tubuhnya..."
"Saya... saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe..."
Kakek itu memandangnya dengan heran.
"Apa maksudmu? Mengeluarkannya bagaimana?"
"Dengan pengerahan sin-kang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya..."
"Ah, engkau selihai itu? Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau mempergunakan kekuatan dalam untuk mencoba mengobatinya!"
"Mengapa, Locianpwe?"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Terus terang saja, keadaannya amat parah, entah mengapa keadaannya sampai seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan penyembuhan bahkan akan membahayakan, karena dia sudah kehilangan tenaga untuk menerima pengobatan seperti itu. Pengobatan harus dilakukan dengan wajar, sedikit demi sedikit, mengandalkan kemanjuran obat dan perawatan alam yang sewajarnya. Entah berapa lama engkau harus merawatnya, dan dengan cara demikian barulah dapat diharapkan dia sembuh."
"Baik, baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe,"
Kata Ciauw Si dengan hati khawatir karena dia sendiri maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat disembuhkan.
"Sekarang ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu sehingga keadaannya sampai sedemikian rupa?"
Sejenak Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia lalu mengambil keputusan untuk menceritakan keadaan dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah seorang luar biasa dan yang diharapkannya akan dapat menghidupkan kembali suaminya, maka sebagai seorang penolong besar tentu saja dia harus menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada kakek ini.
"Locianpwe, saya adalah seorang anak yang durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu kandung dan keluarga karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie Ciauw Si dan ibu kandung saya adalah puteri dari mendiang ketua Cin-ling-pai..."
"Ahhh...! Kiranya begitu? Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang budiman itu. Pengakuanmu sebagai anak durhaka menandakan bahwa engkau tidaklah demikian, anak baik, lanjutkan ceritamu."
"Saya telah saling mencinta dengan suami saya ini dan... kami menikah di luar persetujuan keluarga saya. Suami saya seorang yang bercita-cita terlalu besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran, dia roboh oleh seorang sakti lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang gagalnya cita-citanya itu, saya tidak peduli akan hal itu... dan terus terang saja, saya sendiri tidak setuju dengan semua yang telah dilakukannya, akan tetapi... Locianpwe, saya... saya cinta padanya..."
Dan Ciauw Si menunduk, menahan air matanya. Dalam keadaan biasa, memang seolah-olah pantang bagi wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu mudah menjatuhkan air mata. Sejenak sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kagum kepada kepala yang menunduk itu, juga terkandung perasaan iba yang besar.
"Bahagialah dia yang telah mendapatkan cinta kasih seorang wanita sepertimu cinta yang tanpa kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara mengobatinya, obat-obat apa yang harus kau berikan setiap hari karena terus terang saja, engkau akan harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun baru dia akan dapat sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi masa yang amat sulit, anak yang baik, akan tetapi itu juga merupakan suatu ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu."
Demikianlah, kakek itu lalu membuat ramu-ramuan obat-obatan dan dia mengajarkan kepada Ciauw Si tentang obat-obat itu, di mana mencarinya. Dan memang kepandaian kakek itu hebat sekali.
Setelah menerima pengobatan selama kurang lebih sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya dan bahaya yang mengancam nyawanya telah lewat, dia telah tertolong sungguhpun keadaan tubuhnya masih amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari pembaringan. Bekas Pangeran ini merasa amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis mengguguk ketika mendengar akan penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali semua sepak terjangnya untuk mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan mengalami kesengsaraan sebagai akibat daripada pengejaran cita-citanya itu, nampak jelas olehnya betapa bodohnya dia, betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya semua cita-cita yang dijangkaunya.
Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tidak akan maju! Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu? Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran,
Atau keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan!
Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatangkan kesenangan sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambisi itu saja.
Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya? Kalau kita mau meneliti diri sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan kepada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata "kemajuan"
Bagi kita bukan lain adalah uang dan kedudukan! Majukah seseorang kalau dia sudah memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang? Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang? Kalau kita menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya ternyata akan berbunyi : TIDAK! Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang.
Kita tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu. Dan apakah artinya semua "kemajuan"
Lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih antar manusia dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya. Semua "kemajuan"
Yang serba hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling menghancurkan, saling membunuh. Mari kita sama-sama membuka mata melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik.
Lihatlah kelicikan-kelicikan dalam perdagangan. Lihatlah perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah negara ini berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati dan membusungkan dada mengatakan bahwa kita manusia ini telah "maju"? Betapa menyedihkan! Setelah Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia lalu mencari sebuah rumah di dalam sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan sisa perhiasan yang menempel di tubuhnya, cukuplah baginya untuk membeli sebidang tanah dengan rumah yang sederhana, dan di situlah dia merawat suaminya sambil mempergunakan tenaga petani mengusahakan tanahnya, cukup untuk keperluan sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh ketekunan.
Ciauw Si amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, biarpun dia hidup sederhana, berpakaian wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun wanita muda ini nampak segar dan kedua pipinya kemerahan seperti buah tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu bening berseri, murah senyum. Di sini, dia tidak pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan hidup penuh tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang hanya memiliki sedikit kebutuhan hidup mereka secara wajar. Han Houw semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tahu bahwa ada beberapa bagian tubuhnya yang rusak sehingga dia tidak akan mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sin-kang seperti dahulu.
Kepandaian, yaitu ilmu silatnya, memang masih ada, akan tetapi apa artinya kalau sin-kangnya sudah lenyap dan tinggal sedikit tenaga dalam yang tidak ada artinya itu? Maka, dalam keadaan masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan, dia mulai mencatatkan ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang didapatnya dari pelajaran kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Dia menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong-sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu menghimpun tenaga, dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia dan kalau orang lain yang membaca kitab itu, maka dia takkan mungkin mengerti semua isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu akan rahasianya, maka orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya sendiri!
Dengan tekun, sama tekunnya dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan kitab itu. Diapun, seperti isterinya, dapat mulai merasakan ketenteraman hidup, ketenangan batin tinggal di tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran hawa gunung dan sinar matahari. Yok-sian kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang berkunjung ke puncak dan ke pondok kakek itu untuk minta nasihat tentang pengobatan suaminya. Mereka menjadi sahabat-sahabat baik dan Yok-sian diam-diam kagum akan pengetahuan bekas Pangeran itu yang cukup luas, karena memang Han Houw banyak mempelajari kitab-kitab sejarah dan kesusastraan. Ketika Han Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek ini juga memiliki keahlian untuk meramal, dia tertawa.
"Ah, kalau begitu, tolonglah engkau lihatkan garis nasibku, Locianpwe,"
Katanya sambil bangkit duduk dan menyeret kedua kakinya yang masih setengah lumpuh itu agar dia dapat duduk di pembaringan. Yok-sian tertawa juga melihat kegembiraan wajah tampan dari Pangeran muda itu.
"Aihh, ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng saja, Pangeran. Perlu apa mengetahui keadaan yang belum tiba?"
"Aku pun hanya iseng-iseng mau tahu saja Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe mempelajari ilmu meramal kalau tidak mau melihat garis nasib orang?"
Kata Han Houw sambil menyodorkan tangan kirinya. Pada saat itu, Ciauw Si masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk iseng-iseng melihat garis tangan suaminya dan dia pun duduk di samping Han Houw dengan sikap gembira. Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa garis-garis tangah Pangeran itu dan tak lama kemudian dia pun mengerutkan sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya nampak serius ketika dia berkata,
"Pangeran, dari garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran akan sembuh dan selamat dari bahaya maut ini." Suami isteri itu saling pandang dengan gembira dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar,
"Ah, tanpa melihat garis tangan sekalipun Locianpwe tentu tahu bahwa aku sudah terbebas dari bahaya. Bukankah Locianpwe yang telah mengobati dan menyelamatkan diriku?"
"Ah, jangan mencela dan memandang rendah!"
Ciauw Si menegur suaminya.
"Locianpwe, harap teruskan membaca garis nasibnya."
Kakek itu terus menyusuri garis-garis telapak tangan Han How, kemudian, tanpa mempedulikan teguran Pangeran itu tadi, dia berkata lagi,
"Pangeran akan mempunyai keturunan, seorang putera..."
Han Houw menoleh kepada isterinya dan mereka saling pandang dengan penuh arti. Sejak Han Houw terluka, kedua kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan lumpuh sehingga dia tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai seorang putera?
"Tapi... tapi..."
Katanya ragu.
"Ini hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tidak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut garis nasib, jelas bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan tetapi yang terlebih penting lagi..."
Kakek itu mengerutkan alisnya dan meneliti garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekaii sehingga Han Houw dan Ciauw Si ikut pula merasa tegang.
"Ada apakah, Locianpwe?"
Tanya Ciauw Si khawatir.
"Inilah kebaikannya ilmu meramal,"
Akhirnya kakek itu berkata.
"manusia dapat berhati-hati menghadapi bintang gelap. Saya melihat bintang gelap sekali dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar mengancam kalau Pangeran mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan agar Pangeran dan isteri mengasingkan diri dan hidup tenteram di sini, jangan sekali-kali mendekati keluarga."
"Yang Locianpwe maksudkan, keluarga... yang mana?"
Ciauw Si bertanya khawatir sedangkan Han Houw hanya tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini.
"Tidak dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu datang melalui keluarga. Maka sebaiknya kalau ji-wi (kalian) tinggal tenteram saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu dan hubungan keluarga."
Ramalan yang dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Clauw Si. Akan tetapi Han Houw tidak mempedulikannya, sungguhpun untuk waktu itu dia sama sekali tidak berkeinginan untuk berhubungan dengan keluarganya. Keluarga mana yang akan dihubunginya? Ayah kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya, kaisar dan para pangeran di Kerajaan Beng tentu semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan pemberontak. Sedangkan ayah tirinya, Raja Sabutai, tentu juga marah kepadanya karena kegagalannya. Di samping itu, dia merasa malu untuk berjumpa dengan siapapun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini. Demikianlah, dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik manis itu merawat suaminya.
Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, kesehatan Han Houw makin membaik dan kedua kakinyapun mulai dapat digerakkan! Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati kebenaran karena Han Houw yang tadinya mengira akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat berjalan dan setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia telah sembuh sama sekali! Dia telah sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami normal, dan dapat berjalan, bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguhpun tenaga sin-kangnya telah banyak hilang sehingga biarpun dia dapat mainkan kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu saja dia telah kehilangan kelihaiannya. Bahkan dengan sisa tenaga sin-kang yang tidak berapa kuat itu, dia tidak lagi mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dipelajarinya dahulu dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw.
Tentu saja Pangeran ini menjadi kecewa dan berduka, akan tetapi isterinya yang mencintanya itu menghiburnya dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta di tempat yang sunyi itu. Beberapa bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan kenyataan bahwa Ciauw Si mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian terbuktilah ramalan Yok-sian dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil! Akan tetapi, kegembiraan bagi suami isteri itu disuramkan dengan peristiwa kematian Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari seratus tahun itu meninggal dunia dalam keadaan tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka Han Houw dan Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai penolong mereka,
Lalu merawat dan mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun mereka. Anak laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu merasa amat berbahagia dan mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan bahwa dia amat cerdik di samping memiliki wajah yang sangat tampan sekali. Dengan adanya Thian Sin, suami isteri itu merasa terhibur dan agaknya mereka sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, sudah cukup berbahagia hidup bertiga di dusun itu, mempunyai para tetangga orang-orang dusun yang amat jujur dan bersahaja hidupnya, hidup sehat dekat dengan alam, jauh dari keributan karena ulah manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan,
Memperebutkan uang, kedudukan dan nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu mereka. Bertahun-tahun lewat dengan cepatnya tanpa terasa dan tahu-tahu delapan tahun telah lewat sejak Thian Sin terlahir ke dalam dunia. Setelah berusia delapan tahun, makin nampak betapa anak ini memiliki wajah yang amat tampan, wajah yang sedemikian eloknya sehingga nampak manis seperti wajah seorang anak perempuan! Akan tetapi wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak kecil tentu saja dia telah digembleng oleh ayahnya sendiri. Biarpun dia sendiri sudah kehilangan sin-kangnya, namun tentu saja Han Houw tahu bagaimana caranya mendidik dan melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang amat disayangnya.
Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak itu semenjak anak itu berusia lima tahun. Bukan hanya ilmu silat bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca karena ayah bundanya menghendaki agar putera mereka kelak bukan hanya menjadi seorang ahli silat, akan tetapi juga seorang ahli dalam kesusastraan, patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan keluarga Cin-ling-pai! Han Houw dan Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu telah mendengar penuturan orang tuanya bahwa ayahnya sebetulnya adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw, seorang pangeran kerajaan besar dari Kaisar Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya adalah Permaisuri Khamila di utara. Dan ibunya adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah perkumpulan silat yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan.
Penuturan ini tentu saja menanamkan sesuatu dalam batin Thian Sin, dan semenjak mendengar tentang keturunan ini, dia merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi dalam hal keturunan dan derajat daripada semua anak di dalam dusun itu. Dia tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti menyimpan suatu rahasia yang membuatnya merasa amat bangga! Dari ibunya, Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap seorang pendekar besar yang selalu harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang lemah tertindas dan harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak sewenang-wenang, harus pula selalu merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong. Pada suatu hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki halaman rumah itu.
Seorang hwesio yang berpakaian sederhana berwarna kuning, memegang tongkat dan sebuah mangkok butut. Hwesio itu masih belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya, berwajah tegap dan nampak kuat, wajahnya tampan dan bundar, sepasang matanya mengeluarkan sinar ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak dibuat-buat. Melihat hwesio itu memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin bangkit dan memandang tajam. Dia adalah seorang anak yang sejak lahir berada di dalam dusun, namun pengetahuannya telah cukup banyak berkat bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang dikehendaki oleh pendeta itu. Apalagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat hwesio-hwesio berkelana yang singgah di dusun untuk minta diberi makanan sekedarnya untuk penyambung hidup.
"Losuhu, apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan kebetulan lewat di tempat ini?"
Tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan pandang matanya tajam. Hwesio itu tertarik sekali. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang cerdik luar biasa, maka dia tersenyum ramah dan memandang penuh kagum.
"Benar, dugaanmu, sahabat kecil."
"Dan apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?"
Dia memandang ke arah mangkok kosong di tangan kanan hwesio itu.
"Sekali lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa rumah ini adalah rumah paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka pinceng singgah dengan harapan untuk mendapatkan sekedar makanan kalau ada makanan lebih di dalam rumah ini."
"Tentu saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu kepada ibu untuk menyediakan makanan."
"Omitohud... sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, kalau engkau suka mengisi mangkokku ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng,"
Dia lalu menyerahkan mangkok putih itu kepada Thian Sin. Anak itu menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi mangkok itu ada tulisan cat hitam yang berbunyi LIE. Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk membawa mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur.
"Anak baik... Anak baik..."
Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga heran bagaimana di dalam sebuah dusun sederhana seperti itu dia dapat bertemu dengan seorang anak laki-laki yang demikian cerdik dan pandai membawa diri seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa sukanya kepada anak itu. Sementara itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam dapur, dia cepat berkata,
"Ibu...! Ibu...! Di luar ada seorang hwesio minta sedekah makanan!"
Ciauw Si tersenyum. Nyonya yang usianya telah tiga puluh tiga tahun lebih itu masih nampak muda dan cantik segar, berkat kehidupan bersih di pegunungan dan berkat keadaan batin yang tenteram dan bahagia. Dia tersenyum memandang puteranya penuh kasih sayang.
"Aihh, Sin-cu (Anak Sin), kenapa engkau ribut-ribut? Apa anehnya sih dengan kedatangan seorang hwesio minta sedekah? Engkau kelihatan tegang dan terengah-engah. Tenanglah, menghadapi apa pun juga, apalagi hanya seorang hwesio minta sumbangan."
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi dia bukan hwesio biasa, ibu. Dia masih muda dan kelihatan gagah. Aku percaya bahwa dia tentu seorang hwesio yang lihai! Dan ibu lihat mangkok ini, lihat huruf apa yang tertulis di sini!"
Dia memperilhatkan mangkok putih itu kepada ibunya. Ciauw Si masih tersenyum ketika menerima mangkok itu, akan tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap, dan mukanya berubah penuh keheranan ketika dia membaca huruf LIE yang tertulis pada mangkok itu.
"Dia she Lie? Ataukah kebetulan saja mangkok ini pemberian orang she Lie?"
Ciauw Si termangu-mangu, akan tetapi dia lalu mengisi mangkok itu sepenuhnya dengan nasi dan beberapa macam masakan sayur tanpa daging. Ketika Thian Sin membawa mangkok yang sudah terisi makanan itu keluar, Ciauw Si tak dapat menahan keinginan tahunya dan dia mengikuti dari belakang. Hwesio itu bangkit berdiri sambil tersenyum ramah ketika dia melihat Thian Sin datang membawa mangkoknya yang telah terisi, akan tetapi ketika dia melihat nyonya muda yang berjalan di belakang anak itu, dia memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. Demikian pula, ketika Ciauw Si melihat wajah hwesio itu, wajahnya seketika berubah pucat dan matanya terbelalak. Sejenak mereka berdua berdiri bengong saling pandang, kemudian wajah hwesio itu tersenyum kembali, agaknya hanya sedetik saja dia terangsang oleh rasa kaget.
"Omitohud... semoga Sang Buddha memberkahi kita semua... bukankah engkau... Ciauw Si, adikku...?"
"Seng-koko...!"
Ciauw Si menjerit dan menangis, lari menghampiri lalu menubruk kedua kaki hwesio itu sambil sesenggukan.
"Seng-ko... bagaimana... bagaimana engkau bisa menjadi begini...?"
Ciauw Si menangis sesenggukan sambil mengangkat muka memandang.
"Kehendak Tuhan... kehendak Tuhanpun jadilah..."
Kata hwesio itu yang kemudian berdoa.
"Berkah Sang Buddha Yang Maha Murah sajalah yang mempertemukan kita hari ini, Si-moi. Dan anak itu... dia puteramu...?"
Thian Sin juga menjadi bengong dan melihat ibunya menubruk kaki hwesio itu sambil menangis dan menyebut Seng-koko, dia cepat menaruh mangkok itu di atas meja dan lari menghampiri, ikut berlutut di dekat ibunya.
"Ibu apakah dia ini Toapek (Uwa) Lie Seng? Kenapa dia seorang hwesio?"
Anak itu sudah bertanya dengan heran. Dia pernah mendengar cerita ibunya tentang kakak ibunya yang bernama Lie Seng, seorang pendekar perkasa.
"Benar, anakku, dia ini adalah Toapekmu. Seng-ko, ini adalah Ceng Thian Sin, anakku..."
"Ceng...?"
Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio itu bertanya. Tentu saja dia merasa terheran-heran. karena selama ini dia mengasingkan diri dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, tekun mempelajari agama sehingga dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan adiknya ini. Hwesio itu yang dahulu bernama Lie Seng, seorang pendekar yang lihai, murid dari mendiang Kok Beng Lama yang sakti. Lie Seng ini adalah kakak dari Lie Ciauw Si, Cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Dibandingkan dengan adik kandungnya itu, keadaannya lebih menyedihkan lagi, peristiwa yang menimpa kehidupannya membuat dia putus asa dan memaksa dia masuk menjadi seorang hwesio!
Seperti juga adiknya, dia saling mencinta dengan seorang dara yang tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai. Tidak dapat menyalahkan sikap keluarga Cin-ling-pai memang karena dara yang dicintanya itu, yang bernama Sun Eng, adalah seorang gadis yang pernah melakukan penyelewengan besar, pernah menyerahkan diri begitu saja kepada pria-pria bangsawan dan hartawan yang hidung belang. Biarpun kemudian antara dua orang muda ini terjalin cinta kasih yang murni, yang tidak mau mengingat lagi hal-hal yang lampau, namun keluarga Cin-ling-pai tidak setuju dan akibatnya Lie Seng pergi berdua bersama Sun Eng dan hidup sebagai suami isteri tanpa restu dari orang tuanya! Kemudian, Sun Eng yang merasa rendah diri itu melakukan pengorbanan demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai yang difitnah dan menjadi buronan pemerintah.
Sun Eng merayu dan berhasil memikat hati Pangeran Ceng Han Houw yang ketika itu masih mempunyai kekuasaan besar. Akan tetapi kemudian perbuatan Sun Eng ini diketahui oleh Han Houw dan akibatnya Sun Eng tewas dalam keadaan tersiksa oleh anak buah Pangeran Ceng Han Houw! Lie Seng hampir gila melihat wanita yang dicintanya itu seolah-olah membunuh diri demi keluarga Cin-ling-pai, hatinya penuh sesal dan duka. Kemudian muncul seorang hwesio tua yang berhasil mendatangkan penerangan dalam hatinya dan dia pun lalu meninggalkan dunia ramai, ikut bersama hwesio tua itu mempelajari kebatinan dan agama di dalam kuil dengan masuk menjadi hwesio pula. Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga dan sejak memasuki Kuil Thian-to-tang di bukit kecil sebelah selatan kota raja, dia tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia.
Saking tekunnya mempelajari agama, setelah hwesio tua yang menyadarkannya itu meninggal dunia, dialah yang dipilih menjadi ketua Kuil Thian-to-tang itu dan berjuluk Hong San Hwesio. Seperti kebiasaan para hwesio lainnya, Hong San Hwesio sering kali mengadakan perjalanan berkelana, menyebarkan pelajaran agama mendatangkan penerangan kepada banyak orang, di samping itu juga tekun berprihatin dan makan hanya dari hasil pemberian dan kasih sayang orang-orang lain saja. Maka pada hari itu dia tiba di dusun tempat tinggal adik kandungnya juga tanpa sengaja dan hanya kebetulan belaka. Mendengar pertanyaan kakaknya yang terkejut mendengar bahwa anaknya memiliki she Ceng, Ciauw Si lalu bangkit, menggandeng tangan kakaknya diajak duduk di ruangan tamu.
"Mari kita duduk dan bicara dengan leluasa, koko." Lie Seng atau lebih tepat kita sebut Hong San Hwesio sudah memperoleh kembali ketenangannya ketika dia duduk berhadapan dengan Ciauw Si yang merangkul puteranya. Dia menatap wajah adiknya dan melihat wajah adiknya yang cantik segar dan menyinarkan cahaya kebahagiaan itu, diam-diam dia memuji syukur dan merasa ikut berbahagia.
"Seng-ko, bagaimana tiba-tiba engkau menjadi hwesio? Kukira engkau telah... di mana adanya Sun Eng?"
Mulut itu masih tersenyum dan memang kini peristiwa yang dulu pernah membuat hatinya berdarah itu kini tidak lagi membekas.
"Dia telah bebas dari kesengsaraan, dia telah meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan dan kesengsaraan ini."
Jawabnya lembut.
"Ahhh...!"
Ciauw Si terbelalak dan menatap wajah kakaknya penuh rasa iba.
"Dan... sejak itu... engkau lalu menjadi hwesio?"
"Ya, sejak aku sadar melihat betapa hidup ini penuh dengan kepalsuan, dendam, kebencian, permusuhan, maka aku mengalihkan langkah hidup menyusuri lorong yang bersih dan diterangi oleh sinar cinta kasih. Dan engkau sendiri, bagaimana tahu-tahu bisa tinggal di sini, Si-moi? Aku girang sekali melihat bahwa engkau hidup berbahagia."
Adik itu memandang kepada kakaknya dan melihat bahwa kakaknya tersenyum dengan wajah berseri itu, dia pun tidak lagi merasa berduka dan kini wajahnya malah berseri.
"Memang aku hidup berbahagia, koko! Lihat, ini keponakanmu, Thian Sin. Aku hidup tenteram dan bahagia di sini, jauh daripada segala macam kekerasan dan permusuhan."
Hong Sian Hwesio meraih pundak anak itu dan memangkunya sambil mengelus kepalanya.
"Anak baik... anakmu ini baik sekali..."
Dia memuji dan berdoa untuk memberkahi anak itu. Thian Sin hanya tersenyum dan memandang kepada wajah Toapek-nya dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakak ibunya yang dikabarkan seorang pendekar perkasa itu kini telah menjadi seorang hwesio!
"Si-moi, anakmu ini she Ceng, apakah engkau menjadi..."
"Ceng Han Houw adalah suamiku, koko."
Jawab Ciauw Si cepat sambil menatap wajah kakaknya. Dia tidak akan heran kalau melihat wajah itu terkejut, akan tetapi kini dia malah agak heran akan tetapi juga lega melihat betapa wajah kakaknya itu tetap biasa dan tenang saja, sungguhpun ada sinar keheranan pada pandang mata yang lembut itu.
"Ya, aku telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Sin ini adalah anak kita. Dan... koko... perjodohan antara kami juga tiada bedanya dengan perjodohanmu dengan Sun Eng, aku mengalami penderitaan batin yang hebat, hampir saja aku tidak kuat menanggungnya, koko. Akan tetapi semua itu telah berlalu dan kini kami hidup bahagia, sungguhpun putus dengan keluarga."
Kemudian Ciauw Si lalu menceritakaan semua pengalamannya kepada kakaknya, dengan singkat namun cukup jelas. Diceritakannya betapa dia membantu usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw karena dianggapnya suaminya itu benar dan kaisar yang lalim dan telah memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Kemudian betapa fihak Cing-ling-pai malah membantu pemerintah menumpas gerakan suaminya dan sebagai akibatnya, suaminya menderita luka-luka parah dan hampir saja suaminya tewas kalau tidak bertemu dengan mendiang Yok-sian dan mengalami perawatan secara teliti selama dua tahun.
"Pengalaman yang amat pahit, koko, akan tetapi kami sudah melupakan itu semua, kami anggap sebagai mimpi buruk saja dan kini kami hidup bertiga penuh bahagia di tempat sunyi ini."
Hong San Hwesio mengangguk-angguk dan masih tersenyum. Memang hebat sekali perubahan yang terjadi dalam batin hwesio ini. Adik kandungnya kini telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw, padahal Pangeran itulah yang menyebabkan kematian kekasihnya secara demikian menyedihkan. Akan tetapi, mendengar semua itu, batinnya tenang saja dan sedikit pun tidak timbul kemarahan atau kebencian terhadap Pangeran Ceng Han Houw!
"Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa segala-galanya berakhir dengan baik, Si-moi. Sekarang, di mana adanya suamimu?"
"Dia sedang mencangkul di sawah tadi."
Kata Ciauw Si. Hong San Hwesio tertawa. Seorang Pangeran yang demikian tinggi kedudukannya dahulu, kini mencangkul di sawah. Betapa aneh dan lucu kedengarannya.
"Itu ayah pulang...!"
Thian Sin turun dari atas pangkuan Toapek-nya dan menuding keluar, menyambut ayahnya yang datang memanggul cangkul.
"Eh, ada tamu? Siapa tamunya? Seorang hwesio...?"
Ceng Han Houw yang kini sama sekali tidak kelihatan seperti seorang pangeran melainkan seperti seorang petani yang tampan dan gagah itu bertanya sambil memandang ke dalam dengan heran. Ketika dia memasuki ruangan depan, Hong San Hwesio bangkit berdiri dan merangkap kedua tangannya memberi hormat.
"Selamat bertemu, Pangeran,"
Katanya hormat.
"Eh, siapakah... suhu...?"
Ceng Han Houw membalas penghormatan itu, agak terkejut disebut pangeran oleh hwesio itu.
"Dia ini adalah kakakku Lie Seng,"
Ciauw Si yang merasa gembira dengan pertemuan ini setelah keharuan mereda, cepat memperkenalkan.
"Lie Seng...?"
Ceng Han Houw terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak keheranan.
"Pendekar Cin-ling-pai itu...?"
"Omitohud... bukan pendekar melainkan seorang hwesio yang mengemis sedekah,"
Kata Hong San Hwesio sambil menjura. Tiba-tiba Ceng Han Houw tertawa bergelak, suara ketawa yang bebas dan wajar saking gelinya.
"Ha-ha-ha-ha, betapa dunia ini telah berubah banyak! Pendekar Cin-ling-pai Lie Seng yang gagah perkasa kini telah menjadi seorang hwesio peminta-minta sedekah! Dan aku, seorang pangeran, lihat, kini menjadi petani miskin sederhana. Ha-ha-ha-ha!"
Mereka saling pandang dan melihat betapa pangeran itu bicara sewajarnya dan sejujurnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda mengejek, Hong San Hwesio juga tertawa sehingga suasana pertemuan itu menjadi semakin gembira.
"Mari, duduklah, Lie-toako... eh, apakah aku harus menyebut suhu? Bagaimana ini?"
Tanya Han Houw bingung.
"Biar dia menjadi hwesio seratus kalipun, dia tetap kakakku Lie Seng. Di dunia ini aku hanya mempunyai seorang kakak, apakah itu pun akan diambil dariku? Tidak, engkau panggil saja dia Toako."
"Bolehkah itu, Lie-toako?"
Tanya Han Houw. Hong San Hwesio tersenyum.
"Apakah artinya nama? Pinceng boleh disebut apapun, dan karena engkau adalah Moihu-ku (adik iparku) maka tentu saja engkau boleh menyebut pinceng Toako."
Tentu saja Ciauw Si melarang kakaknya makan makanan dari mangkok tadi dan sebagai gantinya dia lalu mengeluarkan masakan-masakan tanpa daging, kemudian mereka makan bersama sambil bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan. Thian Sin kelihatan amat sayang kepada Pekhu-nya, demikian pula Lie Seng juga sayang sekali kepada Thian Sin yang dipujinya sebagai seorang anak yang bertulang baik sekali. Sehabis makan, mereka duduk di ruangan depan.
"Koko, engkau harus bermalam di sini, tinggal di sini barang seminggu!"
Kata Ciauw Si dengan suara menuntut.
"Ya, tinggallah di sini, Toako, dan anggap saja seperti di rumah sendiri."
Kata Han Houw.
"Terima kasih, aku akan tinggal di sini barang beberapa hari sebelum melanjutkan perjalananku. Kalian tentu tahu bahwa seorang hwesio memiliki tugas untuk menyebarkan pelajaran agama dan memberi penerangan kepada yang sedang kegelapan. Selain itu, Kuil Thian-to-tang masih membutuhkan bimbinganku."
Hong San Hwesio menolak halus. Akhirnya Ciauw Si terpaksa mengalah dan tidak dapat memaksa kakaknya untuk tinggal terlalu lama di situ dan mereka berjanji bahwa kakak itu akan tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya.
"Seng-koko, engkau belum menceritakan tadi tentang bagaimana matinya Sun Eng,"
Tiba-tiba Ciauw Si bertanya.
"Sun Eng siapa...?"
Ceng Han Houw bertanya, suaranya lirih dan dia menahan perasaan kagetnya, lalu memandang kepada Hong San Hwesio. Hwesio ini menarik napas panjang, kemudian balas memandang kepada wajah pangeran itu, akan tetapi pandang matanya tetap lembut dan tenang.
"Si-moi, dia sudah mati, sudah terbebas daripada kekejaman dunia, kiranya tidak perlu dibicarakan lagi. Dia tewas dalam usahanya yang amat baik, dan pinceng sudah lupa lagi bagaimana dia mati."
Jantung dalam dada Han Houw berdebar keras sekali. Dia yakin bahwa kakak kandung isterinya ini tahu apa yang telah terjadi dengan diri Sun Eng, siapa pula yang menyebabkan kematian wanita itu, akan tetapi pendekar yang telah menjadi hwesio ini benar-benar tidak menaruh dendam, bahkan tidak nampak sedikit pun rasa penasaran dalam pandang matanya!
"Sun Eng itu... masih apakah dengan Lie-toako?"
Dia memberanikan diri bertanya kepada isterinya. Dengan suara terharu Ciauw Si berkata.
"Dia adalah isterinya yang amat dicintai Seng-koko dan amat mencintanya, keduanya saling mencinta bahkan Seng-ko tidak mempedulikan larangan semua keluarganya. Seperti keadaan kita..."
Pendekar Lembah Naga Eps 45 Pendekar Lembah Naga Eps 50 Pendekar Lembah Naga Eps 52