Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 20


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



"Plakk!"

   Thian Sin melompat untuk mengurangi tenaga tamparan itu, dan kakek itupun berseru heran ketika tamparannya itu merasa betapa kulit punggung itu lemas dan lunak seperti karet. Tahulah dia bahwa punggung itu terlindung oleh tenaga sin-kang yang amat kuatnya dan sama sekali tidak terluka oleh pukulannya tadi. Dia menjadi semakin kagum, tahulah dia bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang yang disohorkan dunia kang-ouw itu ternyata tidak kosong belaka. Thian Sin merasa penasaran. Memang benar dia belum kalah, akan tetapi karena dia telah terkena satu kali tamparan, maka berarti dia yang terdesak. Kini dia maju dan menyerang lagi dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Begitu dia mulai mainkan ilmu silat yang amat indah dan juga amat kuat ini kakek itu sudah berseru kagum.

   "Wah, inilah Thai-kek Sin-kun! Bukan main!"

   Dan diapun mencoba untuk membobolkan benteng pertahanan ilmu silat itu dengan serangan-serangan huncwenya, sambil mencoba untuk mengacaukan garis pertahanan lawan dengan lengan kirinya yang dapat mulur itu. Namun, pertahanan Thian Sin amat kuatnya sehingga ke manapun juga huncwe dan tangan kiri itu menyerang,

   Dia selalu sudah dapat menyambutnya dengan tangkisan kuat ataupun dengan elakan yang indah. Kedua lengannya berani menangkis huncwe itu karena dilindungi tenaga Thian-te Sin-ciang. Beberapa kali kakek itu memuji. Biarpun dia telah mengerahkan tenaganya, namun belum juga dia mampu merobohkan lawan. Memang, dia tidak sepenuhnya mainkan huncwenya, melainkan huncwenya itu hanya lebih banyak menggertak saja dan dia menyerang dengan tangan kirinya. Hal ini adalah karena dia merasa malu kalau harus merobohkan lawan dengan huncwenya, padahal pemuda itu juga bertangan kosong. Memang hal ini juga yang dimaklumi oleh Thian Sin. Setiap kali kakek ini menggunakan huncwenya, dia memandang silau oleh hamburan api yang muncrat ke sana-sini,

   Dan gerakan huncwe itu memang aneh bukan main, bahkan kalau kakek itu mau, agaknya pertahanan Thai-kek Sin-kun juga tidak mampu mempertahankan dirinya. Akan tetapi kakek itu selalu menahan huncwenya dan melanjutkan dengan serangan tangan kiri yang cukup aneh dan ampuh itu. Setelah lewat lima puluh jurus, kakek itu kini menggerakkan huncwenya dengan aneh. Huncwe itu diputar-putar, menjadi gulungan sinar api yang menyilaukan mata. Terpaksa Thian Sin mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi huncwe ini dan kembali dia kecurian! Lengan kiri kakek itu memanjang dan menghantamnya dari belakang, kini bukan ditujukan ke punggung, melainkan ke tengkuknya! Tentu saja hal ini amat berbahaya, maka pada saat terakhir, Thian Sin sudah mengerahkan Thi-khi-i-beng.

   "Plakkk! Aughhhhh...!"

   Kakek itu mengeluarkan teriakan kaget, lalu disambungnya.

   "Wah, ini Thi-khi-i-beng, ya?"

   Dan huncwenya menyambar, lalu ada rasa panas pada tengkuk Thian Sin sehingga sesaat tenaga Thi-khi-i-beng membuyar dan kakek itupun sudah dapat menarik kembali tangan kirinya! Kiranya kakek itu mampu memunahkan Thi-khi-i-beng dengan bantuan api huncwenya!

   "Ha-ha, hebat sekali kau , Ceng Thian Sin! Semuda ini sudah banyak ilmunya yang hebat-hebat! Tapi jangan harap kau akan dapat menangkan aku, orang muda. Keluarkan pedangmu di balik jubah itu, dan mari hadapi huncweku dengan senjata!"

   Kembali Thian Sin terkejut. Bukas saja kakek ini berhasil memunahkan Thi-khi-i-beng, akan tetapi juga tahu akan pedangnya dan menantangnya menggunakan pedang. Apa artinya dia menggunakan pedang kalau Thian-te Sin-ciang, Thi-khi-i-beng dan Thai-kek Sin-kun saja tidak mampu mengalahkan kakek ini? Dan kakek itu agaknya belum mengeluarkan ilmu huncwenya yang sungguh-sungguh! Mengertilah Thian Sin bahwa dia memang masih kalah oleh kakek ini, maka dia menekan rasa penasaran di dalam hatinya dan dia berkata dengan suara ramah dan merendah,

   "Saya datang bukan dengan maksud memusuhi locianpwe, mengapa saya harus mempergunakan pedang?"

   Kakek itu tertawa bergelak,

   "Ha-ha-ha-ha, kata-katamu memang enak didengar. Akan tetapi aku sudah mendengar betapa ganasnya engkau menggunakan pedangmu ketika engkau mengamuk di Lok-yang dan Su-couw. Nah, orang muda, engkau berpedang dan aku memegang huncwe, kita lihat siapa lebih unggul!"

   "Ayah, agaknya dia tidak berani kalau-kalau pedangnya akan melukai dirinya sendiri, ha-ha!"

   Siangkoan Wi Hong tertawa, sengaja membakar hati Thian Sin. Thian Sin sudah siap dengan siasatnya dan menekan semua kemarahan dan kebencian, akan tetapi ternyata dia masih belum kuat dan mendengar ejekan ini, tangan kanannya bergerak dan nampaklah sinar perak ketika Gin-hwa-kiam tercabut. Melihat pedang yang tipis dan pendek ini, Pak-san-kui tertawa.

   "Ha-ha-ha, kiranya pedang seorang wanita! Eh, Ceng Thian Sin, apakah pedang itu pedang tanda mata dari seorang kekasihmu?"

   "Harap locianpwe jangan menghina!"

   Thian Sin berteriak, menahan diri agar tidak memaki kakek itu.

   "Ini adalah pedang pemberian nenekku! Nah, sambutlah!"

   Diapun lalu menggerakkan pedang itu dan karena dia tidak mempelajari ilmu pedang khusus, maka diapun lalu mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kalau dimainkan dengan pedang dapat menjadi Thai-kek Sin-kiam. Cukup hebat gerakannya dan begitu pedang diputar nampak gulungan sinar perak.

   "Hemm!"

   Kakek itu mendengus dan nampak kecewa, lalu menggerakkan huncwenya dan begitu huncwe bergerak, terkejutlah Thian Sin.

   Sudah diduganya memang bahwa senjata huncwe ini adalah keistimewaan kakek itu, akan tetapi tak pernah disangkanya demikian hebat huncwe itu. Baru belasan gebrakan saja dia sudah tidak mampu balas menyerang. Gerakan huncwe itu merupakan gulungan api! Dan selain cepat, juga amat aneh sehingga sukar diikuti. Dia mempertahankan dengan memutar pedang melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba, setelah lewat dua puluh jurus, terdengar suara keras sekali dan pedangnya terpental, hampir terlepas dari pegangan tangannya, kemudian huncwe itu sudah datang dekat sekali dengan mukanya, seperti hendak membakarnya, maka dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan baru dapat menghindarkan diri. Kakek itu tertawa.

   "Orang muda she Ceng, jangan kau terlalu pelit! Yang kau keluarkan sejak tadi adalah ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai. Mengapa engkau tidak mengeluarkan ilmu peninggalan ayah kandungmu? Jangan dikira aku tidak tahu. Aku sudah mendengar bahwa Ceng Han Houw pernah merajai dunia persilatan karena dia memiliki ilmu silat jungkir balik yang amat lihai. Hayo, kau keluarkantah ilmu itu dan kita bertanding sungguh-sungguh!"

   Thian Sin kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa kakek ini tahu pula akan hal itu.

   "Sayang, aku baru saja meninggalkan Lembah Naga dan belum sempat mempelajari ilmu-ilmu itu. Tunggulah setahun lagi, kalau aku sudah melatih ilmu-ilmu itu, aku akan mencarimu dan kita bertanding lagi, locianpwe."

   "Ha-ha-ha, siapa mau kau bohongi? Kalau kudesak engkau, tentu engkau terpaksa akan mengeluarkan ilmu simpanan itu untuk kulihat!"

   Setelah berkata demikian, kembali huncwe maut itu bergerak dengan kecepatan kilat. Thian Sin memutar pedang melindungi dirinya dan berusaha melawan sekuat tenaga. Namun, dia hanya dapat bertahan sampai tiga puluh jurus saja dan tiba-tiba kembali terdengar suara keras. Kini huncwe atau gulungan sinar api itu berputar-putar dan pedangnya seperti "terlibat"

   Dan ikut berputar, kemudian, tiba-tiba saja pedangnya terlepas dan huncwe itu menyambar.

   Dia mengelak untuk disambut tangan kiri dan dia cepat mengerahkan Thi-khi-i-beng, akan tetapi terasa panas pada punggungnya dan Thi-khi-i-beng itu membuyar, lalu dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi punggungnya yang dicengkeram tangan kiri lawan. Akan tetapi, jari-jari tangan itu meremas dan memutar sedemikian rupa sehingga otot-ototnya terkena remasan dan tiba-tiba saja Thian Sin roboh dengan lemas. Kakek itu tertawa dan dengan marah Thian Sin berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali dia menggerakkan tubuhnya, dia menahan rasa nyeri yang amat sangat di punggungnya dan roboh lagi. Punggungnya itu seolah-olah patah tulangnya dan dengan punggung seperti itu, maka tentu saja dia tidak mampu menggerakkan lagi tangan kakinya karena setiap gerakan kaki tangan sudah tentu mengandalkan kekuatan dari punggung.

   "Ayah, kenapa tidak dibunuh saja orang ini?"

   Tiba-tiba Siangkoan Wi Hong berkata sambil meloncat maju dengan yang-kim yang berbahaya itu di tangannya. Thian Sin maklum bahwa sekali pukul saja, dia sudah tidak berdaya menghindar dan nyawanya akan melayang. Akan tetapi dia kini rebah terlentang dengan sinar mata terbelalak penuh keberanian, seolah-olah dengan sinar matanya itu dia menantang maut!

   "Ha-ha, jangan dibunuh. Aku sudah berjanji bahwa dia masuk ke sini dalam keadaan hidup, maka keluarnya dari sinipun dalam keadaan hidup. Akan tetapi hidup yang bagaimana? Ha-ha-ha, ingin aku melihat bagaimana wajah Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu itu kalau dapat melihat puteranya yang tampan gagah, berubah menjadi seorang manusia tapadaksa yang tidak berguna sama sekali."

   Thian Sin merasa ngeri juga membayangkan ancaman ini. Tentu kakek itu akan membuatnya sebagai seorang manusia dengan cacad yang membuat dia selama hidupnya tidak berguna. Itu lebih hebat daripada kalau dia dibunuh! Maka diapun cepat mempergunakan akal.

   "Pak-san-kui, kalau ayahku masih hidup, atau kalau aku sudah mempelajari ilmu-ilmu dari ayahku, aku yakin engkau tidak akan berani bersikap seperti ini!"

   Pak-san-kui memandang kepadanya dan mengangguk-angguk.

   "Mungkin sekali, akan tetapi sayang, ayahmu telah tidak ada lagi dan engkau ternyata hanya merupakan murid Cin-ling-pai yang baik sekali, sama sekali tidak mewarisi kepandaian ayahmu. Dan engkau sudah membuat Phoa-taijin menjadi manusia yang hidup tidak matipun tidak, maka akupun hendak membikin engkau seperti dia."

   "Orang macam Phoa-taijin itu tidak dibunuhpun masih untung! Apa gunanya orang seperti dia yang begitu ceroboh? Menggunakan perampok-perampok tolol untuk menjalankan siasat, kemudian membasmi keluarga Ciu. Tahukah locianpwe siapa Ciu Khai Sun? Dia tokoh besar Siauw-lim-pai dan apa artinya itu? Artinya bahwa gerakan sekutu locianpwe itu akan mendapat tentangan yang besar dan kuat. Kalau Phoa-taijin cerdik, tentu dia mempergunakan orang-orang yang lebih lihai agar usaha merampok itu berhasil baik, dan juga tidak nanti membunuh orang Siauw-lim-pai! Locianpwe, aku adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, karena itu aku membunuh sebanyak mungkin pasukan pemerintah. Apakah kenyataan ini tidak cukup membuka mata bahwa aku adalah seorang sekutu locianpwe yang cukup baik, bahkan jauh lebih baik daripada orang she Phoa yang tolol itu?"

   Kakek itu mendengarkan dengan alis berkerut, akan tetapi wajahnya mulai berubah dan sinar matanya berseri.

   "Dan andaikata benar omonganmu, dan aku menjadikan engkau sekutu, lalu apa gunanya engkau bagiku?"

   "Locianpwe, mendiang ayahku adalah seorang jagoan nomor satu di dunia. Tentu locianpwe sudah mendengar akan ilmu-ilmu yang dimilikinya, ilmu-ilmu hebat dan mujijat Hok-lion Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan ilmu dengan jungkir balik yang disebut Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Balikkan Bumi)."

   Wajah kakek itu makin berseri dan dia mengangguk.

   "Hanya dongeng saja! Buktinya, putera tunggalnyapun tidak mampu mainkan dua ilmu itu!"

   "Sudah kukatakan bahwa karena selama ini aku ikut di Lembah Naga dan mempelajari ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka aku tidak sempat mempelajarinya. Akan tetapi kalau locianpwe berminat, bebaskanlah dulu aku dan kita dapat bicara."

   "Ayah, hati-hati terhadap anak ini, dia pandai bicara pula,"

   Kata Siangkoan Wi Hong. Akan tetapi kakek itu yang haus akan kepandaian silat yang hebat tidak peduli dan dia sudah menggerakkan tangan, menotok ke beberapa bagian punggung Thian Sin. Pemuda ini dapat bergerak kembali lalu bangkit berdiri dan menjura.

   "Locianpwe telah mengambil keputusan yang tepat sekali dan menguntungkan kedua fihak."

   "Ceng Thian Sin, jelas untung bagi fihakmu, akan tetapi aku tidak melihat apa keuntungannya bagi ayah!"

   Kata Siangkoan Wi Hong.

   "Siangkoan-twako, engkau tahu bahwa aku bukan seorang laki-laki yang suka membohong. Aku tidak takut mati, tadi aku hanya menawarkan kerja sama yang baik dan menguntungkan kedua fihak. Aku mempunyai kitab-kitab ayahku itu dan kutawarkan kepada Siangkoan locianpwe."

   "Di mana kitab-kitab itu?"

   Tanya Pak-san-kui dengan girang.

   "Nanti dulu, locianpwe. Locianpwe tentu akan dapat mempelajari ilmu-ilmu ayahku itu, hal ini kutanggung dengan taruhan nyawa. Akan tetapi apa imbalannya? Seorang gagah bukan memberi ilmu dengan cuma-cuma, juga tidak menerima ilmu secara cuma-cuma pula."

   "Hemm, apa yang kau kehendaki? Aku sudah membebaskanmu!"

   "Ah, itu bukan imbalan namanya. Di antara kita tidak ada permusuhan, bahkan mengingat akan keadaanku yang tentu dianggap pemberontak oleh pemerintah, kita ini mempunyai persamaan, bukan? Sungguhpun locianpwe bekerja di dalam selimut dan aku di luar selimut."

   "Ha-ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Nah, apa yang kau minta sebagai penukar ilmu-ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw?"

   "Locianpwe, di antara ilmu-ilmu locianpwe, yang amat menarik dan mengagumkan hatiku adalah ilmu huncwe dari locianpwe tadi. Maka, aku mau menukar kedua ilmu peninggalan ayahku dengan ilmu huncwe dari locianpwe."

   "Ha-ha-ha, engkau memang cerdik bukan main! Selama hidupku, belum pernah ada orang yang mampu menandingi ilmu huncweku ini, dan sekarang engkau ingin mempelajarinya. Ha-ha-ha, baiklah, kita tukar dua ilmu itu!"

   "Ayah...!"

   Siangkoan Wi Hong berseru kaget. Dia sendiri sebagai putera datuk itu belum diberi pelajaran ilmu itu yang menurut ayahnya tidaklah mudah dan selain harus memiliki bakat yang amat baik, juga membutuhkan waktu yang amat lama sekali dan di samping itu harus menjadi ahli mengisap asap tembakau pula! Padahal Siangkoan Wi Hong tidak suka mengisap pipa tembakau, oleh karena itu selama ini dia belum pernah mempelajari ilmu simpanan ayahnya itu.

   "Aku sudah berjanji!"

   Ayahnya memotong.

   "Dan kita masing-masing mempelajari ilmu-ilmu itu selama enam bulan. Setujukah engkau, Ceng Thian Sin?"

   "Baik, locianpwe. Enam bulan sudah cukup bagiku!"

   Pemuda itu lalu menanggalkan jubahnya, tidak melihat betapa Siangkoan Wi Hong tersenyum-senyum karena pemuda ini sudah dapat menangkap siasat ayahnya. Menurut ayahnya, untuk dapat mempelajari ilmu huncwe itu secara sempurna,

   Seorang yang berbakat baik sekalipun membutuhkan waktu sedikitnya tiga tahun! Dan kini ayahnya berjanji akan mengajarkan ilmu itu selama setengah tahun saja. Mana mungkin Thian Sin akan dapat menguasainya dalam waktu setengah tahun? Sebaliknya, ayahnya adalah seorang yang bakatnya luar biasa sekali dalam ilmu silat. Ilmu silat apapun, setelah dilatihnya dua tiga kali saja tentu sudah dapat ditangkap sarinya dan dapat dikuasainya! Sekali ini, Thian Sin kena batunya dan bertemu dengan seorang datuk yang selain lihai juga amat cerdik. Akan tetapi, ayah dan anak ini sama sekali tidak menduga bahwa Thian Sin memiliki kecerdikan yang akan mengejutkan mereka. Biarpun selama ini, sejak kecilnya, Thian Sin dididik oleh orang-orang yang mengutamakan kebajikan dan menjauhi kepalsuan dan kejahatan,

   Namun dasarnya dia memiliki kecerdikan yang luar biasa dan kalau dia menghendaki, dia mampu menciptakan siasat dan muslihat yang amat cerdik. Dia menerima janji enam bulan itu dengan hati girang, karena dia merasa yakin bahwa kitab-kitab peninggalan ayahnya itu tidak akan dapat dipelajari oleh siapapun kecuali oleh dia yang tahu akan kuncinya. Bahkan, makin lama dipelajari orang begitu saja, orang itu akan tersesat semakin jauh. Sedangkan bagi dia, sama sekali dia tidak ingin belajar mainkan huncwe itu, melainkan dia ingin mengenal inti gerakannya, mengenal kekuatannya dan juga bagian-bagiannya yang lemah sehingga dia akan lebih mampu menghadapinya kelak! Thian Sin kini merobek pinggiran jubahnya, dan ternyata dua buah kitab tipis digulungnya dan disembunyikannya di dalam atau di balik jahitan jubah itu, di antara dua kain jubah dirangkapkan.

   "Nah, inilah kitab-kitab peninggalan ayah, locianpwe. Mulai hari ini, locianpwe boleh mempelajarinya bersama aku, karena aku sendiri juga belum sempat mempelajarinya, dan di samping itu harap locianpwe mulai memberi petunjuk kepadaku tentang ilmu huncwe itu."

   Sambil membuka-buka dua buah kitab penuh tulisan tangan dan lukisan tangan dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang cukup jelas itu, Pak-san-kui berseri-seri wajahnya dan mengangguk-angguk.

   "Tentu saja, anak yang baik, aku akan mengajarkan ilmu huncwe kepadamu."

   Dia merasa girang sekali karena sedikit keraguannya bahwa kitab itu palsu lenyap oleh pernyataan Thian Sin yang mempelajarinya juga bersamanya. Agaknya pemuda yang gagah perkasa ini amat jujur, suatu sifat yang amat buruk dan lemah dari kaum pendekar, berbeda dengan mereka dari golongan hitam yang selalu mengutamakan kecerdikan! Demikianlah, mulai hari itu, Thian Sin diterima di dalam gedung besar indah itu sebagai seorang tamu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang tadinya menaruh curiga, setelah melihat betapa penukaran ilmu sungguh sama sekali tidak merugikan ayahnya bahkan menguntungkan,

   Kini kembali tertarik lagi kepada Thian Sin dan menganggapnya sebagai seorang sahabat baik. Malah dia sering mengajak Thian Sin berlatih untuk memperdalam ilmu silatnya, karena dia tahu bahwa pemuda itu memang pandai bukan main. Ayahnya sendiri dengan terus terang mengatakan bahwa andaikata ayahnya tidak memiliki ilmu huncwe yang lihai itu, kirahya akan sukar untuk mengalahkan pemuda ini! Setiap hari Pak-san-kui dan Thian Sin mempelajari ilmu-ilmu dari kitab peninggalan Ceng Han Houw, mula-mula Ilmu Hok-liong Sin-ciang, ilmu ini adalah ilmu silat yang gerakannya aneh sekali, dan dengan lahapnya, Pak-san-kui menghafalkan jurus-jurus ilmu silat ini yang hanya terdiri dari delapan belas jurus saja, akan tetapi di dalam delapan belas jurus ini terkandung bermacam gerakan yang amat lihai kalau dipakai menyerang.

   Yang dirahasiakan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya diketahui kuncinya oleh Thian Sin dalam ilmu Hok-liong Sin-ciang ini adalah bagian yang melindungi tubuh di waktu menyerang. Memang serangan itu sama kuat dan lihainya, hanya bedanya, ilmu yang aseli memiliki bagian yang melindungi tubuh sendiri di waktu menyerang, dan karena bagian ini dirahasiakan, maka yang dipelajari oleh Pak-san-kui hanyalah bagian yang menyerang saja dan tanpa disadarinya, tentu saja selagi melakukan serangan ini maka ada bagian tubuh yang terbuka dan tidak terlindung. Saking girangnya melihat betapa hebatnya jurus serangan itu, Pak-san-kui tidak tahu bahwa serangan itu mengandung kelemahan yang hebat pula! Hanya dalam waktu sebulan saja dia telah dapat menghafal delapan belas jurus itu dan merasa sudah sempurna, tinggal melatihnya saja.

   Juga Thian Sin memiliki bakat yang sama besarnya dengan Pak-san-kui, bahkan dia tidak kalah cerdiknya. Diam-diam dia menggunakan kunci latihan itu dan dia dapat melakukan gerakan yang lebih sempurna, karena mencakup segi perlindungan diri. Perbedaannya terletak pada letak kaki atau tangan di waktu menyerang. Sebagai contohnya, pada jurus ke empat kaki kanan menerjang dari samping dengan menyilang. Di waktu menendang ini, menurut kitab itu, lengan kiri diangkat sebagai keseimbangan tubuh, padahal menurut kuncinya, yang diangkat adalah lengan kanan sehigga lengan kiri dapat diturunkan dan menjaga selangkangan yang terbuka dan pada detik tendangan dilakukan tentu saja terbuka dan tidak terlindung. Akan tetapi di waktu dia melakukan latihan di depan Pak-san-kui, tentu saja Thian Sin tidak memperlihatkan hal ini.

   Dan kalau Pak-san-kui kelihatan girang karena sudah menguasai semua jurus, Thian Sin sengaja memperlihatkan bahwa dia belum menguasai sepenuhnya dan di sinilah letak kecerdikan pemuda itu! Pada bulan ke dua, karena dia sendiri merasa sudah dapat menguasai Hok-liong Sin-ciang, Pak-san-kui lalu mengajak Thian Sin untuk mulai dengan pelajaran dari kitab ke dua, yaitu ilmu Hok-te Sin-kun! Ilmu ini jauh lebih rumit karena mengandung ilmu bersamadhi yang aneh, yaitu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas! Thian Sin menurut saja, biarpun dia sendiri belum dapat melatih ilmu Hok-liong Sin-ciang dengan baik. Maka, pada bulan ke dua, mulailah mereka berdua melatih diri dengan siulian menurut kitab pelajaran Hok-te Sin-kun, yaitu jungkir balik. Dan sementara itu, hampir setiap hari Pak-san-kui mengajarkan ilmu silat huncwe itu,

   Karena memang maksudnya bukan ingin mempelajari bagaimana untuk dapat bermain ilmu silat itu, melainkan untuk mencari kelemahan-kelemahannya. Dan kakek itu adalah seorang datuk, tentu saja diapun tidak mau menyembunyikan ilmunya, bahkan dia bermain silat huncwe secepatnya sehingga akan sukarlah bagi Thian Sin untuk mempelajarinya. Dan pemuda ini memang dapat melihat betapa hebat dan tangguhnya ilmu silat ini, di samping gerakan-gerakannya yang aneh. Akan tetapi dia mulai dapat melihat bahwa pada dasarnya, ilmu silat itu adalah ilmu silat pedang yang hebat. Huncwe yang panjangnya sampai tiga kaki itu digerakkan seperti pedang, jadi pada hakikatnya tidak berbeda dengan ilmu silat yang-kim yang dimainkan oleh Siangkoan Wi Hong. Ilmu silat yang-kim itu pada dasarnya juga ilmu pedang yang disesuaikan dengan yang-kim.

   Ini pun merupakan ilmu pedang yang disesuaikan dengan huncwe sehingga tusukan pedang menjadi totokan huncwe. Hanya hebatnya, ditambah lagi dengan penggunaan panasnya huncwe dan api yang keluar dari mulut huncwe, juga asap yang dapat dipergunakan untuk menyerang lawan. Kunci-kunci yang terdapat dalam ilmu Hok-te Sin-kun ini lebih hebat lagi. Memang dilihat begitu saja, cara Thian Sin bersamadhi tidak ada bedanya dengan yang dilakukan Pak-san-kui dalam melakukan latihan menurut kitab itu. Akan tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan yang amat besar. Berjungkir-balik dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, dengan punggung tegak lurus, merupakan kedudukan tubuh yang baik sekali untuk membantu gerakan perjalanan darah ke dalam otak,

   Juga untuk "menurunkan"

   Hawa murni dari bawah pusar ke otak melalui punggung. Akan tetapi, perjalanan darah ini harus berjalanan dengan sewajarnya, dibantu dengan pernapasan yang panjang dan tanpa paksaan sama sekali, dengan pikiran yang kosong dan membiarkan hawa yang panas dari pusar itu perlahan-lahan menjalar turun sampai ke ubun-ubun kepala. Akan tetapi, kalau demikian adanya pelajaran yang sebenarnya, yang kuncinya sudah dipegang oleh Thian Sin, kalau menurut kitab yang menyesatkan itu, si pelatih diharuskan menekan tenaga dari tiantan itu turun dan menembus jalan darah secara paksa. Mula-mula Pak-san-kui memang merasa girang sekali karena setelah berlatih seperti itu, dia merasa betapa hawa sakti itu dapat digerakkannya jauh lebih mudah daripada kalau dia bersamadhi sambil duduk bersila.

   Akan tetapi, setelah dia berlatih selama seminggu, dia merasa agak pening pada kepalanya dan setelah berlatih, maka pandang matanya berkunang-kunang. Sedangkan pada Thian Sin, tidak nampak tanda apa-apa. Akan tetapi dia menghibur diri dan menganggap bahwa ini adalah tanda bahwa latihannya berhasil! Lalu dia mulai berlatih dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun itu, yaitu bersilat dengan kepala di bawah, menggunakan kedua kaki sebagai penyerang utama dan kedua tangan sebagai penyerang pembantu. Dan karena memang kakek ini sudah memiliki dasar ilmu silat yang tinggi, maka gerakan-gerakan itu tidaklah sukar baginya. Sebaliknya, diam-diam Thian Sin juga mempelajari ilmu silat ini menurut catatan yang sebenarnya, yaitu menurut petunjuk dalam kitab yang sudah diubahnya menurut kunci yang telah dipelajarinya sejak kecil dan dia mulai merasakan hasilnya.

   Tubuhnya menjadi semakin ringan, tenaga sin-kang di tubuhnya terasa mengalir dengan cepat dan amat kuat di seluruh tubuhnya, akan tetapi hal ini tidak dia nyatakan sehingga kakek itu sendiripun tidak mengetahuinya. Lewat empat bulan lebih, hampir lima bulan. Thian Sin sudah merasa yakin bahwa dia telah mempelajari dengan teliti dan melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu silat huncwe dari Pak-san-kui dan dia menganggap bahwa waktunya telah tiba baginya untuk memperlihatkan diri dengan sesungguhnya dan mengalahkan kakek itu! Dia sudah tinggal cukup lama di situ dan sudah memperoleh tambahan ilmu dengan mempelajari ilmu huncwe yang walaupun tidak dapat dikuasainya sepenuhnya namun telah dipelajarinya gerak-geraknya dan kelemahan-kelemahannya itu.

   Di samping itu, diapun telah mempelajari dua ilmu peninggalan ayahnya, biarpun belum sempurna benar, akan tetapi jelas jauh lebih baik daripada Pak-san-kui sendiri yang memperoleh ilmu-ilmu itu dengan cara yang terbalik bahkan tersesat! Dan dia akan memperlihatkan kemenangan atau keunggulannya itu kepada Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong! Maka dia memilih saat ketika putera dan murid-murid kepala Pak-san-kui itu pada suatu sore nonton latihan-latihan mereka dan memang dia sudah mempersiapkan segala-galanya. Maka ketika Pak-san-kui yang tadinya bercakap-cakap dengan murid-murid kepalanya setelah menerima laporan tentang segala tugas yang dilakukan oleh murid kepala ini yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, Pak-san-kui lalu berkata,

   "Thian Sin, mari kita berlatih. Diam-diam telah hampir lima bulan engkau di sini dan mari kau perilhatkan apa yang telah kau peroleh selama ini!"

   Kakek itu tertawa dan melirik ke arah puteranya. Diam-diam Thian Sin tergetar. Dalam lirikan itu dia seperti melihat sesuatu dan tentu ada apa-apanya di balik ajakan berlatih ini! Apakah di dalam hati kakek itu juga terdapat keinginan yang sama dengan keinginannya sendiri, yaitu hendak menjatuhkan dalam latihan itu?

   "Baik, locianpwe!"

   Katanya dan dia mengangkat tempat air minumnya, lalu minum beberapa teguk air jernih itu, baru dia meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia itu. Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong segera mengatur tempat duduk, menyingkirkan meja di pinggir dan mereka sendiri lalu duduk nonton karena merekapun ingin sekali mellhat apa yang selama ini dilatih oleh pemuda itu dan Pak-san-kui.

   "Mari kita lebih dulu berlatih ilmu Hok-liong Sin-ciang!"

   Kata kakek itu dengan gembira sambil menyelipkan huncwenya di ikat pinggangnya. Biarpun tembakau di huncwenya masih belum padam, akan tetapi karena tidak dihisap maka asapnya hanya sedikit saja.

   Dia sudah siap dengan kuda-kuda dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang menurut petunjuk dalam kitab, wajahnya gembira sekali karena dia yakin bahwa dalam ilmu silat baru ini dia tentu dapat mengalahkan Thian Sin yang dia lihat belum sempurna benar gerakannya, maslh kaku. Juga dia tahu bahwa perhatian pemuda itu terhadap Hok-liong Sin-ciang harus dibagi perhatiannya untuk mempelajari ilmu huncwe yang belum ada sepersepuluhnya dipelajari oleh pemuda itu, bahkan boleh dibilang pemuda itu belum mempelajari apa-apa selama ini kecuali hanya nonton saja dia bermain silat dengan huncwenya. Dan dia tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat dikatakan licik karena dia telah mainkan semua jurus simpanannya yang ada dengan huncwenya, tentu saja terlalu cepat dan tidak mungkin dapat ditangkap semua oleh pemuda itu!

   Thian Sin hanya mengangguk dan diapun cepat menyerang dengan jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang yang dilatihnya bersama dengan kakek itu. Pak-san-kui mengelak dan membalas serangan itu dengan gerakan yang sama anehnya, bahkan dari tangannya keluar hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan saking kerasnya. Namun, Thian Sin dapat menangkis dan balas menyerang. Mereka saling serang dengan jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang itu dan keduanya ternyata sama tangguhnya. Akan tetapi, Thian Sin segera dapat melihat lowongan-lowongan pada setiap kali kakek itu menyerang. Dia melihat betapa kedudukan kaki atau tangan kakek itu terbalik, maka ketika dia melihat kakek itu menggunakan jurus ke sebelas untuk menyerangnya, dengan pukulan tangan kiri dari samping dibarengi pukulan tangan kanan dari atas, padahal seharusnya dari bawah, dia melihat lowongan dan sambil mengelak, kakinya menyambar ke arah lambung yang "terbuka".

   "Plak! Plak! Aihhh...!"

   Pak-san-kui terhuyung ke belakang, dan biarpun dia tadi dalam gugupnya masih mampu menangkis, namun kedudukannya terguncang dan dia terhuyung ke belakang. Wajah kakek itu menjadi merah karena jelas nampak oleh siapapun juga bahwa dalam hal ilmu baru itu dia kalah oleh pemuda ini!

   "Hyaaaaattt...!"

   Tiba-tiba dia sudah berjungkir balik dan mainkan ilmu kedua, yaitu Hok-te Sin-kun.

   Tanpa mengeluarkan kata apapun Thian Sin juga menggerakkan tubuhnya berjungkir balik dan mainkan Hok-te Sin-kun. Kini terjadilah pertandingan yang membuat Siangkoan Wi Hong dan tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong menjadi bengong dan terheran-heran bercampur kagum. Dua orang itu telah saling serang mempergunakan sepasang kaki yang dibantu sepasang tangan, dan sambaran kaki mereka itu mendatangkan angin yang amat dahsyat! Itu adalah ilmu yang amat hebat. Mereka semua tidak tahu betapa wajah kakek itu menjadi pucat, sedangkan wajah Thian Sin merah dan nampak berseri, sepasang matanya nampak mencorong. Ini tandanya bahwa tenaga yang dipergunakan oleh Pak-san-kui adalah tenaga yang terbalik dan salah! Setelah saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba kedua kaki mereka beradu.

   "Desss...!"

   Dan akibatnya tubuh Pak-san-kui terdorong dan tentu dia sudah jatuh terbanting kalau dia tidak cepat meloncat bangun. Mukanya pucat sekali dan dia menyeringai karena merasa betapa kepalanya berdenyut pening. Itulah akibatnya karena dia terlampau banyak menggunakan tenaga terbalik yang memukul dirinya sendiri itu! Sebagai seorang ahil silat kelas tinggi, seketika maklumlah kakek ini bahwa selama ini dia tertipu! Kalau tidak tertipu, tidak mungkin dia kalah dalam kedua ilmu itu oleh Thian Sin! Dan pula, pertemuan kaki tadi memberi tahu padanya bahwa dia telah salah mempergunakan tenaga, padahal semua itu menurut petunjuk kitab. Tahulah dia bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia berkata.

   "Thian Sin, sekarang ini mari kita lihat kemajuanmu mempelajari ilmu huncwe!"

   Setelah berkata demikian, dia sudah maju menyerang dengan huncwenya! Thian Sin terkejut sekali, maklum bahwa agaknya kakek ini sudah curiga, buktinya begitu menyerang terus saja menggunakan jurus-jurus maut terampuh dari huncwenya!

   Dia cepat mengelak ke sana-sini, dan karena dia sudah memperhatikan dengan teliti ketika dia mempelajari ilmu ini, dia mengenal setiap gerakan dan tahu akan inti kekuatan huncwe itu. Dia membalas dengan serangan-serangan Thian-te Sin-ciang karena hanya ilmu inilah yang membuat tubuhnya kebal dan tamparannya cukup kuat untuk membuyarkan serangan huncwe. Agaknya kakek itu juga maklum hal ini dan tidak lagi mengherankan mengapa pemuda itu kini mainkan ilmu silat itu, dan tahulah dia bahwa memang saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh pemuda itu untuk melawannya mati-matian. Maka diapun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, sekali ini mengambil keputusan untuk membunuh pemuda ini yang dianggap amat berbahaya baginya.

   "Cringgg...!"

   Tiba-tiba nampak sinar perak berkelebat dan Thian Sin telah menangkis huncwe itu. Kini, tiba-tiba huncwe itu diputar sedemikian rupa oleh Pak-san-kui dan nampaklah gulungan sinar api! Ternyata kakek itu telah mempergunakan jurus-jurus yang paling ampuh, yaitu dengan bantuan api huncwenya yang tangguh, dan kini dari mulutnya bahkan menyambar asap hitam yang baunya amat keras! Thian Sin sudah maklum akan hal ini, dan dia sudah menanti-nanti, bahkan bersiap untuk menghadapi jurus ini.

   Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan dengan suara aneh dan dari mulutnya itu menyambar air ke arah kepala huncwe. Itulah air yang tadi diminumnya sebelum dia mulai menghadapi Pak-san-kui! Air itulah yang dipergunakannya untuk menghadapi api huncwe lawan. Dia tahu, dan hal ini telah dipelajarinya selama berbulan-bulan, bahwa satu-satunya kelemahan huncwe itu adalah terhadap air! Dan begitu kepala huncwe tersiram air, terdengar suara "Cessss"

   Dan apinya tentu saja menjadi padam nampak asap hitam yang baunya keras bukan main dan pada saat itu Thian Sin sudah berjungkir balik, pedangnya dilemparkan dari bawah ke arah perut lawan, ditusul kedua tangannya menotok ke arah kaki dan kakinya sendiri menyerang ke depan dengan amat cepatnya! Itupun merupakan serangan gabungan yang sudah dipelajari dan diperhitungkan selama berbulan-bulan ini.

   "Tringg...!"

   Pedang itu tertangkis huncwe dan Si Kakek meloncat menghindarkan totokan pada kakinya, akan tetapi dia disambut oleh tendangan kaki.

   "Blukkk!"

   Kedua kaki Thian Sin menendang dada dengan amat kerasnya dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar dan terbanting, dan diapun roboh pingsan! Siangkoan Wi Hong dan tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong berteriak marah dan segera menyerang dengan senjata mereka, pemuda itu menggunakan yang-kim untuk menyerang dan dua orang kakek itu menggunakan pedang mereka.

   Sementara itu, Thian Sin yang mengerahkan tenaga ketika merobohkah kakek tadi, merasa tubuhnya tergetar hebat dan napasnya agak terengah. Perlawanan tenaga kakek itu sungguh amat hebat dan dia tahu bahwa kalau dia harus melayani empat orang itu, dia bisa celaka, apalagi kalau para penjaga nanti datang mengeroyok, maka dia segera menyambar pedangnya dan menangkis terus meloncat keluar. Gerakannya cepat sekali dan biarpun empat orang itu berteriak-teriak sambil mengejar, namun Thian Sin sudah dapat melarikan diri keluar rumah dan terus lari dengan cepat. Sementara itu, malam telah tiba dan kegelapan menolong pemuda itu dapat menyelamatkan diri dari para pengejarnya. Hatinya lega bukan main. Biarpun dia sangsi apakah dia berhasil membunuh kakek itu,

   Namun setidaknya dia telah merobohkannya dan dia yakin bahwa kalau dia sudah matangan Hok-liong Sian-ciang dan Hok-te Sin-kun dengan sempurna, setelah dia tahu akan kelemahan-kelemahan ilmu huncwe maut itu, dia tidak takut lagi terhadap datuk utara itu! Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong tidak melanjutkan pengejaran, karena mereka sendiripun masih terlalu kaget melihat betapa Pak-san-kui dapat dirobohkan pemuda itu dan hal ini cukup membuat mereka berhati-hati untuk mengejar pemuda selihai itu, yang menghilang di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Mereka lalu kembali untuk cepat menolong Pak-san-kui. Kakek itu masih pingsang akan tetapi setelah memeriksanya, hati Siangkoan Wi Hong agak tenang karena ayahnya tidak tewas, melainkan pingsan dan terluka cukup parah, antara lain dua buah tulang iganya retak-retak!

   Tentu saja setelah siuman, kakek itu menyumpah-nyumpah dan berjanji akan mencari pemuda yang telah merobohkannya itu, yang dianggapnya amat curang. Tahulah kini kakek itu bahwa lawannya sungguh seorang pemuda yang selain lihai, juga amat cerdik seperti setan sehingga "tukar menukar"

   Ilmu itu hanya tipu muslihat saja. Dia memperoleh ilmu yang palsu, sedangkan pemuda itu berhasil mencari kelemahan-kelemahan huncwenya sehingga dia dapat dirobohkan. Setelah pengalaman pahit itu, Pak-san-kui menyempurnakan ilmu huncwenya bahkan kini diapun menggembleng puteranya dengan ilmu huncwe maut, juga dua ilmu dari Thian Sin itu mereka selidiki bersama, mereka cari bagiannya yang berguna dan oleh Pak-san-kui ilmu-ilmu itu dikembangkan dan dicampur dengan ciptaannya sendiri.

   Setelah berhasil merobohkan Pak-san-kui, hati Thian Sin terasa agak terhibur juga. Bukan hanya karena dia merasa dapat mengungguli seorang di antara datuk-datuk sesat yang pada waktu itu sedang merajai dunia persilatan, akan tetapi terutama sekali karena sedikit banyak dia telah dapat membalaskan kematian keluarga Ciu. Dia akan berusaha terus membasmi semua penjahat di dunia ini dengan mati-matian untuk membalaskan semua sakit hati yang bertumpuk di dalam hatinya, akan tetapi sebelum dia memulai usaha itu, dia harus yakin lebih dulu bahwa dia dapat mengalahkan semua penjahat, dan untuk mengukur hal itu, tiada jalan lain kecuali mengukur kepandaiannya melawan empat datuk kaum sesat! Dan sekarang,

   Dia harus dapat mencari See-thian-ong! Dia harus dapat mengalahkan See-thian-ong pula, sebelum dia mulai dengan usahanya membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi! Siapakah See-thian-ong (Raja Wilayah Barat) itu? Dia adalah seorang kakek yang usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa berkulit agak kehitaman. Dia memang gagah perkasa, kelihatan menyeramkan seperti tokoh Thio Hwi dalam cerita sejarah Sam Kok dan wataknya juga sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Din seorang yang kasar, kalau bicara tanpa tedeng aling-aling, terbuka, jujur dan juga wataknya keras, akan tetapi kadang-kadang dia dapat juga bersikap lembut. Hat ini adalah karena dia dulunya seorang bekas pendeta Lama, yaitu pendeta budhis dari Tibet.

   Karena dia melakukan pelanggaran berat, dia dikeluarkan dari Tibet dan dengan mengandalkan kepandaiannya, dia merantau ke timur dan memperdalam ilmu silatnya di sepanjang perjalanan, bahkan lalu berganti agama dan menganut Agama To yang menjurus ke arah ilmu gaib. Dia malah mempelajari ilmu sihir dari para pertapa di sepaniang perjalanan sehingga ketika akhirnya dia tiba di daerah Telaga Ching-hai, dia berkeliaran di sekitar telaga itu dan segera terkenal sebagai seorang yang amat ahli dalam ilmu silat maupun dalam ilmu sihir. Satu demi satu jago silat dijatuhkannya dan akhirnya tidak ada seorangpun ahli silat, baik golongan bersih maupun kotor, yang mampu mengalahkannya dalam waktu satu tahun, selama dia berkellaran di daerah Telaga Ching-hai di Propinsi Ching-hai itu.

   Akhirnya, namanya makin terkenal dan diapun disebut orang sebagai See-thian-ong, nama julukan yang terus dipakainya dan setiap kali memperkenalkan diri, diapun menggunakan nama itulah! Tidak ada seorangpun yang tahu siapa nama sebenarnya, dan dia hanya merupakan seorang kakek raksasa berpakaian seperti tosu yang amat lihai. Akhirnya, beberapa tahun belakangan ini See-thian-ong telah menetap di kota Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai, bahkan rumahnya bukanlah di dalam kota, melainkan dia bagian luar kota Si-ning, dekat telaga dan merupakan daerah yang cukup sunyi. Dan karena dia amat lihai, tentu saja di antara para penjahat yang takluk kepadanya lalu mengangkatnya menjadi guru. Akan tetapi, dalam hal memilih murid See-thian-ong amat teliti. Kalau tidak berbakat, dia tidak mau mengajarkan ilmu silat kepada sembarang orang,

   Dan biarpun akhirnya dia menerima tidak kurang dari lima puluh orang sebagai anggautanya atau pembantunya dan yang disebut juga murid-muridnya, namun dia tidak pernah mau mengajar mereka sendiri dan hanya menyerahkan kepada murid-muridnya yang harus mengajar para anggauta atau pembantu itu. Dan di antara murid-muridnya yang termasuk pilihan, pertama-tama adalah So Cian Ling, dara cantik manis pesolek yang lihai itu dan ke dua yang merupakan murid kepala dan bertugas mewakili See-thian-ong dalam segala hal, adalah Ciang Gu Sik yang berusia tiga puluh lima tahun itu. Akan tetapi, See-thian-ong mempunyai watak yang mata keranjang atau suka kepada wanita muda dan cantik! Dia tidak pernah menikah, akan tetapi banyak simpanannya wanita cantik. Bahkan muridnya sendiri, So Cian Ling, adalah seorang di antara kekasihnya!

   Akan tetapi karena wanita ini juga menjadi muridnya, maka jaranglah dia menyuruh murid ini melayaninya, apalagi karena sebagai pengganti dirinya, So Cian Ling telah banyak mencarikan gadis-gadis cantik untuk gurunya yang tak pernah mengenal puas itu. Seperti juga para datuk lainnya, kehidupan See-thian-ong terjamin oleh para tokoh kaum sesat yang setiap bulan memberi sumbangan kepadanya. Kalau tidak memberi sumbangan kepada See-thian-ong, jangan harap mereka itu dapat membuka praktek pekerjaan mereka, baik pekerjaan itu merupakan pencurian, pencopetan, perampokan, perjudian, pelacuran dan sebagainya lagi. Pendeknya, nama See-thian-ong merupakan semacam "pelindung"

   Agar mereka dapat bekerja dengan tenang. Karena sumbangan ini datang dari boleh dibilang seluruh penjahat di daerah Propinsi Chiang-hai,

   Maka penghasilan kakek raksasa ini tentu saja amat besar dan membuatnya hidup sebagai seorang yang cukup kaya raya, sungguhpun dia, berbeda dengan murid-muridnya, selalu nampak berpakaian dan bersikap sederhana. See-thian-ong amat terkenal, sungguhpun jarang dia memperlihatkan ilmu kepandaiannya, kalau tidak amat perlu. Murid-muridnya sudah cukup untuk "membereskan"

   Setiap fihak yang berani menentangnya. Dan kalau sekali waktu dia mengeluarkan kepandaiannya, maka akibatnya amat mengerikan! Dalam ilmu silat, di antara ilmu-ilmu silat tinggi yang rata-rata amat ganas, dia memiliki ilmu yang amat aneh, yaitu tubuhnya dapat menggembung seperti bola karet ditiup dan kalau tubuhnya sudah menggembung seperti itu, penuh dengan hawa, maka jangankan hanya pukulan dan tendangan, bahkan senjata-senjata tajam tidak akan mampu melukai tubuhnya!

   Selain ini, juga dia ahli menggunakan senjata toya, tongkat atau sepotong kayu sekalipun. Di samping semua ilmu silatnya, juga dia pandai bermain sihir dan dapat menguasai lawan hanya dengan pandang mata atau bentakan suaranya yang berpengaruh! Pendeknya, See-thian-ong merupakan tokoh yang amat ditakuti orang karena lawan yang berani menentangnya tentu akan roboh atau tewas dalam keadaan mengerikan. Dan kini, tokoh macam itulah yang hendak ditentang oleh Thian Sin! Dengan hati penuh keberanian, pemuda ini tiba di telaga besar Ching-hai. Dia berlaku hati-hati sekali dan lebih dulu menyelidiki di mana tempat tinggal datuk itu dan orang macam apa adanya. Dia bermalam di sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah dia mencoba untuk mengajak pelayan rumah makan penginapan untuk bicara tentang See-thian-ong.

   "Twako, aku adalah seorang pelancong dari utara yang tertarik akan berita tentang keindahan Telaga Ching-hai,"

   Dia memulai ketika terbuka kesempatan bicara dengan pelayan itu.

   
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, kongcu tidak salah kalau memilih tempat ini untuk berpesiar. Pada musim semi seperti ini, Telaga Ching-hai menjadi pusat tempat pelesir dari penduduk di seluruh penjuru di propinsi ini dan terutama penduduk kota Si-ning setiap hari memenuhi telaga. Kongcu dapat berperahu, mengajak penyanyi dan tukang musik, atau kongcu dapat bermain judi kalau kongcu suka, dan ada perahu..."

   Dia berbisik.

   "yang menyediakan gadis-gadis cantik..." Thian Sin tertawa berlagak seperti seorang kongcu tukang pelesir.

   "Aih, menyenangkan sekali! Akan tetapi aku juga mendengar berita yang menakutkan, tentang orang yang bernama See-thian-ong..."

   Wajah pelayan itu berubah pucat.

   "Ssst, jangan kongcu sebut-sebut itu. Akan tetapi sesungguhnya tidak menakutkan, asal kongcu tidak menyebutnya dan tidak melakukan sesuatu yang mendatangkan keributan. Nama itu bahkan merupakan jaminan keamanan di mana-mana. Karena nama itulah maka di mana-mana tidak ada yang berani melakukan kejahatan. Sudah, kongcu tidak perlu bicara tentang itu..."

   Melihat sikap pelayan itu, Thian Sin tidak mau mendesak karena maklum bahwa selain pelayan itu tidak akan berani bicara, juga mungkin saja dia dicurigai dan orang yang takut seperti pelayan ini bukan tidak mungkin untuk mencari muka dan melaporkan! Dia mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri ke telaga. Mustahil dia tidak akan dapat menemukan tempat tinggal tokoh itu, pikirnya. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi dan dia sudah mandi dan bertukar pakaian bersih, sebagai seorang kongcu atau seorang pelajar yang halus sikapnya dan amat tampan wajahnya, pergilah Thian Sin berjalan-jalan menuju ke telaga. Benar saja, biarpun matahari baru saja naik, di situ sudah terdapat banyak orang yang berdatangan untuk pesiar.

   Telaga itu besar sekali dan airnya jernih, berkilauan seperti cermin menampung sinar matahari pagi yang masih membuat jalan kemerahan panjang di atas air yang belum begitu bergerak karena tukang-tukang perahu masih sedang sibuk menawarkan perahunya di tepi telaga. Orang-orang yang pesiar agaknya masih lebih senang berjalan-jalan di sepanjang telaga, menikmati pemandangan yang indah, baik pemandangan tumbuh-tumbuhan, bunga maupun pemandangan lain, yaitu para pelancong itu sendiri, terutama gadis-gadisnya. Thian Sin memilih sebuah perahu yang agak butut dan pemiliknya, tukang perahu tua yang kurus, agaknya enggan berebut penumpang dengan rekan-rekannya, maka pemilik perahu itu hanya jongkok di dekat perahu bututnya, menanti datangnya rejeki. Dan rejeki itupun datang ketika Thian Sin menghampirinya.

   "Paman yang baik, maukah engkau mengantarku naik perahu berputar-putar di telaga?"

   Wajah yang keruh itu seketika berseri. Rejeki besar datang!

   "Tentu saja, kongcu. Perahuku ini biarpun tua, akan tetapi tidak ada yang bocor dan dapat meluncur cepat sekali."

   Thian Sin tersenyum.

   "Aku sedang melancong dan melihat-lihat, bukan ingin berlumba, paman. Tidak perlu cepat-cepat!"

   Setelah tawar-menawar harga sewa perahu, akhirnya Thian Sin naik perahu itu, duduk di atas papan yang lebih dulu digosok sampai bersih oleh tukang perahu itu, dan meluncurlah perahu ke tengah telaga, dipandang oleh rekan-rekan tukang perahu dengan heran mengapa ada kongcu yang memilih perahu butut itu! Di atas telaga itu masih sunyi. Namun, sebuah perahu tunggal di atas telaga yang amat luas itu merupakan pemandangan yang amat indah, mempunyai pesona tersendiri dan tentu akan menjadi obyek yang menggairahkan bagi seorang pelukis atau seprang penyair. Matahari yang masih cukup rendah itu bersinar dari depan, membuat bayangan orang dan perahu mengikuti perahu itu dengan lembut dan perjalanan perahu hanya mengakibatkan permukaan telaga terusik sedikit saja.

   "Paman, coba bawa perahu ke sebelah kanan sana yang penuh pohon-pohon."

   "Tapi di sana sunyi sekali, kongcu."

   "Biarlah, aku justeru suka akan kesunyian."

   Tukang perahu itu mendayung perahunya perlahan-lahan menuju ke kanan, menjauhi pantai yang ramai itu, ke pantai yang penuh dengan pohon-pohon karena bagian itu merupakan sebuah hutan yang masih liar. Setelah mereka berada jauh dari keramaian orang, Thian Sin mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang menjadi tujuan utamanya naik perahu milik tukang perahu tua ini.

   "Paman, di sini sunyi, tidak ada orang yang mendengarkan kita, maukah paman memberi keterangan kepadaku tentang sesuatu?"

   Kakek yang usianya sudah ada enam puluh tahun itu menatap wajah Thian Sin yang muda dari tampan, lalu bertanya sambil tersenyum,

   "Keterangan tentang apakah, kongcu? Tentu saja saya mau menjelaskan kalau saya tahu, mengapa mesti mencari tempat sunyi?"

   "Karena setiap orang yang kutanya agaknya tidak ada yang berani menjawab sejujurnya, paman. Aku adalah seorang pelancong yang datang jauh dari utara dan aku mendengar hal ini menjadi tertarik sekali dan rasanya tidak akan puas sebelum memperoleh keterangan yang memuaskan."

   "Tentang apakah, kongcu?"

   "Tentang orang yang bernama See-thian-ong..."

   "Ahh...!"

   Kakek itu menjadi pucat wajahnya dan segera menoleh ke kiri kanan dan belakang.

   "Tidak ada seorangpun manusia di sini, paman. Paman adalah seorang tua yang miskin, siapa yang mau menyusahkanmu? Karena itulah maka aku memilih dan menyewa perahumu, dan kuharap paman suka memberi keterangan kepadaku, untuk itu aku mau untuk menambah biaya sewa perahu."

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Kongcu benar, tidak ada orang lain di sini, dan aku sudah tua dan miskin. Takut apa? Nah, kongcu hendak tanya tentang apa?"

   "Siapakah sebenarnya See-thian-ong itu dan mengapa semua orang takut membicarakannya?"

   "Dia adalah seorang tokoh besar di daerah ini, kongcu, dia menguasai semua orang, dan semua orang agaknya tunduk kepadanya, atau setidaknya kepada anak buahnya karena dia sendiri jarang nampak di luar. Kabarnya dia memiliki kepandaian seperti dewa, bahkan pandai sihir sehingga semua orang takut. Katanya baru dibicarakan saja dia sudah dapat mengetahuinya, akan tetapi aku tidak membicarakan keburukan maka biarlah kalau didengar juga."

   "Hemm, di manakah rumahnya, paman?"

   "Rumahnya tak jauh dari telaga, di sebelah barat telaga, di bagian yang sunyi, yang nampak merah-merah dari sini itu."

   Kakek itu menunjuk ke kiri.

   "Di sana dia memiliki sebuah rumah besar, dan di sanalah anak buahnya yang puluhan orang banyaknya berkumpul, mereka semua ahli-ahli silat yang lihai, demikian kata orang."

   "Semua anak buahnya yang puluhan itu tinggal di sana?"

   "Ya, di rumah-rumah yang dibangun di sekeliling rumah induk tempat tinggal See-thian-ong, merupakan sebuah perkampungan tersendiri. Pernah aku mengirim kayu bakar ke sana. Rumah-rumah yang indah dan mewah, kongcu."

   "Dan keluarganya?"

   "Dia hanya hidup bersama para pembantunya dan kabarnya... dia mempunyai belasan orang selir karena katanya, dia tidak pernah beristeri, tidak mempunyai anak..."

   "Hemm, begitukah?"

   Thian Sin merasa girang sekali karena dia telah memperoleh keterangan secukupnya. Setelah melihat banyak perahu-perahu mulai bergerak ke tengah, dan karena semua keterangan yang dikehendakinya sudah didapatkan maka dia lalu menyuruh tukang perahu mendayung kembali perahunya ke tepi yang ramai itu. Kini banyak perahu berseliweran dan mulailah terdengar suara musik di antara perahu-perahu itu,

   Ada suara orang bernyanyi, suara tertawa dan banyak di antaranya nampak perahu-perahu yang indah, dihias dan ditumpangi oleh gadis-gadis cantik yang melambai-lambaikan tangan ke arah pria-pria muda yang berkendaraan sendirian. Mereka itu terkekeh genit, dan ada pula di antara mereka yang bernyanyi-nyanyi menurutkan irama yang-kim yang dimainkan oleh temannya. Suasana di tempat itu sungguh meriah sekali dan perahu-perahu berseliweran, terutama sekali di sekeliling perahu-perahu pelesiran yang ditumpangi wanita-wanita penghibur itu. Karena si tukang perahu tua menduga bahwa tentu saja penyewa perahunya suka mendekati perahu itu, diapun mendayung perahunya mendekat. Dan begitu melihat Thian Sin yang amat tampan, muda dan sendirian pula di atas perahunya, riuh rendah wanita-wanita itu melambai kepadanya.

   "Kongcu yang tampan... mengapa sendirian saja..."

   "Aihh... kongcu seorang manusia ataukah dewa yang baru turun dari kahyangan?"

   "Mari, kongcu... mari kami layani kongcu bersenang-senang... dengan kongcu, tidak usah bayarpun tidak mengapa..."

   "Aduh gantengnya..."

   Bermacam-macam teriakan mereka disertai lambaian tangan, saputangan dan lontaran kerling dan senyum memikat ke arah Thian Sin, dibarengi gelak tawa genit. Melihat ini, beberapa orang muda dalam perahu-perahu yang berdekatan menjadi iri hati. Ada sebuah perahu bercat merah yang ditumpangi empat orang muda lalu didayung oleh empat pasang tangan, didayung laju menabrak perahu yang dinaiki Thian Sin.

   "Eh... eh... jangan nabrak...!"

   Tukang perahu tua berterian ketakutan.

   Perahu merah itu jauh lebih besar dan didayung oleh empat orang, maka sekali kena ditabrak tentu perahunya akan pecah, atau setidaknya tentu akan terguling bersama penumpangnya. Bagi dia sendiri bukan soal besar kalau hanya terguling di telaga, akan tetapi kongcu yang menjadi penumpangnya itu! Melihat ini, Thian Sin yang tidak tahu sebabnya mengapa perahu yang lebih besar itu hendak menabrak, mengira bahwa mereka itu tidak sengaja, maka diapun cepat merampas dayung dari tangan kakek tukang perahu dan menodongkan dayungnya ke luar perahu, hendak menyambut perahu besar itu dengan dayung. Tukang perahu tua itu terkejut sekali. Mana mungkin tangan kuat menahan perahu besar yang meluncur cepat itu. Selain tidak kuat, dayung itu bisa patah
(Lanjut ke Jilid 20)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20
dan lengan tangan yang memegangnya dapat patah!

   "Jangan, kongcu...!"

   Teriaknya. Akan tetapi perahu itu sudah datang dan dengan tenang, cepat namun perlahan saja Thian Sin mendorongkan dayungnya, mengenai moncong perahu besar dan... perahu besar itu meluncur lewat perahu kecil, hanya selisih beberapa senti saja akan tetapi tidak menabrak. Melihat ini, tukang perahu yang tadinya sudah pucat itu menarik napas panjang dan mengira bahwa hal itu kebetulan saja.

   "Aduhh... kita selamat..."

   Katanya.

   "Paman, mereka itu kenapa sih? Lihat, mereka datang lagi!"

   Tukang perahu itu menengok dan mukanya menjadi pucat lagi.

   "Celaka, agaknya mereka itu iri kepada kongcu karena ulah perempuan-perempuan itu dan mereka menjadi marah, sengaja hendak menggulingkan perahu kita."

   Bergegas tukang perahu itu mendayung perahunya hendak pergi dari situ.

   "Jangan melarikan diri, paman. Biarkan mereka datang."

   Kata Thian Sin yang menjadi marah setelah dia tahu bahwa empat orang muda itu memang sengaja hendak menggulingkan perahunya. Kakek itu tertegun, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, dia menjadi ketakutan. Sementara itu, laripun tiada gunanya karena perahu merah itu datang dengan cepat sekali, kini meluncur dan hendak menabrak perahu kecil itu dari belakang. Sedangkan para pelancong lain yang berada di perahu masing-masing menonton dengan hati tertarik dan ada di antaranya yang bersorak-sorak seperti menonton pertunjukan yang amat menyenangkan.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 12 Pendekar Lembah Naga Eps 31 Pendekar Lembah Naga Eps 25

Cari Blog Ini