Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 5


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Enci Lan, apa kau sudah menjadi gila? Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, memalukan dan amat merendahkan aku!"

   "Tenanglah, adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkan masak-masak karena aku bukan hanya sekedar mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini sudah kupikirkan semenjak peristiwa itu terjadi dan merupakan satu-satunya jalan bagiku untuk dapat hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu bahwa dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan salah dalam hatiku terhadapmu sama sekali tidak mungkin kulenyapkan selamanya. Betapapun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, tidak akan terjadi hal itu dan kehidupanmu masih akan tetap bahagia, bukan? Nah, perasaan salahku terhadapmu ini tidak akan dapat terhapus kecuali... kecuali kalau engkau sudi mempertimbangkan usulku."

   "Gila! Gila dan memalukan, Enci Lan!"

   "Sama sekali tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik kalau hidup sendiri, engkau masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang baik. Dan engkau adalah adikku, adik kembarku dan di antara kita seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan? Dan kalau engkau sebagai janda muda, cantik, berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha menggodamu. Kita tidak tahu bagaimana kalau sampai engkau terpikat oleh seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah kukenal benar, dia laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang budiman dan setia. Kita... kita berdua akan berbahagia di sampingnya, Lin-moi."

   "Memalukan sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu."

   "Serahkan saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tidak pernah berani mendekatinya, tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan menghapus perasaan itu adalah kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan dia tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku."

   "Enci, usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apalagi aku sendiri, tanganku sendiri yang bersamamu membunub suamiku, kalau kemudian aku menjadi... eh, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti bahwa aku seolah-olah sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan orang lain?"

   "Ah, peduli apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagaimana duduk persoalannya dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikirain semacam itu. Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan setelah setahun engkau berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena kalau tidak..."

   "Kalau tidak, mengapa, Enci?"

   "Kalau engkau tidak mau... aku bukan bermaksud mengancam, atau memaksamu, melainkan agar kuketahui saja bahwa aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami selamanya dan dengan demikian menghapus rasa salah dalam hatiku."

   "Enci Lan...!"

   "Aku bersungguh-sungguh, adikku, dan kalau engkau mau mempertimbapgkan dengan hati tenang, engkau akan mengerti mengapa aku mengajukan usul ini."

   "Enci, kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku... berilah aku waktu untuk mempertimbangkan, aku bingung, Enci..."

   "Baiklah, kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan suamiku."

   Semenjak percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu setiap hari nampak termenung dan kadang-kadang dia menangis seorang diri di kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah Ciu Khai Sun pulang dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini.

   "Lan-moi, isteriku sayang, kenapa engkau selalu menjauhkan diri? Aku... aku rindu padamu, Lan-moi..."

   Kata Ciu Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya yang duduk di tepi pembaringan. Akan tetapi Kui Lan mengelak dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di tepi pembaringan dan saling pandang. Khai Sun dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air mata.

   "Aku... rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu... aku akan selalu merasa kotor dan hina..."

   "Aihh, Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta? Dan aku sudah mengatakan kepadamu berkali-kali bahwa aku sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap tidak pernah terjadi padamu dan..."

   "Aku mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap saja di dasar hatiku akan selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali kalau..."

   "Kecuali apa, isteriku?"

   "Kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi..."

   "Aahhh...! Sudah gilakah engkau?"

   Seperti juga Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak. Kui Lan menggeleng kepalanya.

   "Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan masak-masak dan hanya jalan itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi, maka kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tidak mungkin lagi aku dapat melayanimu dengan hati bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan menyiksa batinku."

   "Akan tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu terlaksana? Bukankah itu malah berarti engkau akan meremehkan dan menghina adikmu sendiri yang sudah tertimpa malapetaka itu?"

   Kembali Kui Lan menggeleng kepalanya.

   "Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak memungkinkan aku dapat bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan ke dua, aku akan selalu merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya dapat terhapus jika engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi sebagai isterimu di samping aku."

   "Tapi... tapi..."

   "Hanya itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali tanpa ada ganjalan hati."

   "Tapi... Lin-i..."

   "Hal ini telah kubicarakan dengan Lin-moi. Lin-moi telah menjadi seorang janda, muda, cantik dan berharta. Diapun memerlukan seorang suami sebagai pelindung, dan satu-satunya orang yang pantas menjadi suaminya adalah engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki aku dapat hidup seperti biasa kembali, bahkan kalau menghendaki aku dapat melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini."

   "Tapi, kau kira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi? Harus menikah lagi dengan wanita lain sedangkan aku amat mencintamu, setia kepadamu..."

   "Aku tahu, akan tetapi Lin?moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan jiwaku. Kami adalah saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat juga mencinta Lin-moi. Hanya inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua."

   Dengan lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, kedua tangannya menutupi muka. Dia bingung sekali dan menarik napas berulang kali.

   "Ahhh, betapa akan malu rasanya dalam hatiku terhadap mendiang Na Tiong Pek! Seolah-olah aku mempergunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri! Isteriku, berilah aku waktu... aku harus memikirkan hal ini secara mendalam..."

   "Baiklah, dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu tahun setelah Lin-moi terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian berjanji setuju, rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor, suamiku."

   Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang dipermainkan oleh nasib sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan mendiang Na Tiong Pek.

   Dan waktu telah berlalu dengan cepatnya sehingga sembilan tahun telah lewat ketika Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu dan anak mereka Cia Han Tiong turun meninggalkan Istana Lembah Naga dan hendak mulai dengan perjalanan mereka ke selatan untuk mengunjungi Cin-ling-pai kemudian hendak menengok Kui Lan dan Kui Lin di Su-couw dan untuk melanjutkan mengantar putera mereka kepada Hong San Hwesio. Marilah kita kembali mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri dan puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, akan tetapi juga Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah, selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama dan jauh, merasa gembira bukan main.

   Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka kini mereka dapat pergi bertiga, Tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan. Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan mereka untuk menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan. Ketika mereka menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, namun dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani "biasa"

   Karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali.

   Cia Sin Liong adalah seorang pendekar besar di jaman itu, dan namanya sebagai Pendekar Lembah Naga amat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena semenjak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Maka, kalau ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu! Akan tetapi justeru keadaan mereka seperti petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu dapat dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka dapat melakukan perjalanan dengan aman!

   Karena kalau orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian. Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan seenaknya dan kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san! Pegunungan Cin-ling-san ini sebetulnya hanya merupakan satu di antara banyak gunung-gunung yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Akan tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu. Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti. Pada waktu itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi,
(Lanjut ke Jilid 05)

   Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
Adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi bernama Yap In Hong. Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan seperti orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya pria umur sekian kalau tidak perutnya menggendut terlalu banyak makan gajih dan daging tentu menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran! Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekasnya sebagai seorang wanita cantik, tubuhnya masing ramping dan padat kuat, sungguhpun rambutnya mulai terhias uban. Namun sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam!

   Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, suami isteri pendekar sakti ini biarpun semenjak muda telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru setelah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun. Baru pada pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera! Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang.

   Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi (baca cerita Dewi Maut dan Pendekar Lembah Naga), yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu dan menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya dart puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai. Setelah mereka bertiga tiba di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai,

   Banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah nampak tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada. Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tidak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka mempunyai banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar menjadi terkenal kembali. Begitu keluarga ini tiba di pintu gerbang, mereka telah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh tegap-tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu.

   "Selamat datang di Cin-ling-pai,"

   Kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas jaga di pagi hari itu.

   "Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?"

   Pertanyaan itu singkat dan tegas, akan tetapi diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah. Melihat sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya seperti ini!

   "Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai,"

   Jawab Sin Liong dengan ramah pula. Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu memandang penuh perhatian kepada Sin Liong, sambil berkata.

   "Maaf, ketua kami tidak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan dulu siapa adanya saudara dan dari mana...?" Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata.

   "Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami datang dari jauh, dari luar Tembok Besar..."

   "Kami datang dari Lembah Naga!"

   Sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu.

   "Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kong-kongku!"

   Kata pula Han Tiong yang juga tidak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu. Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu.

   "Ah,... apakah... Taihiap ini Cia Sin Liong...?"

   Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata,

   "Benar, itulah namaku."

   "Maaf... maaf... kami tidak mengenal... silakan masuk..."

   Kata mereka dan beberapa orang di antara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati ini. Semua murid memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong,

   Putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga. Tak pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biarpun gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap amat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka. Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlari keluar untuk menyambut dan melihat.

   Cia Bun Houw yang telah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong, dan putera mereka! Cia Kong Liang yang telah berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai membuka jalan dan berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut. Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang biarpun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut.

   "Ayah...!"

   Sin Liong lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong. Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula.

   "Engkau tentu adikku Kong Liang! Ah, engkau sudah besar, tegap dan gagah!"

   Kata Sin Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya.

   "Inikah putera kalian?"

   Yap In Hong berkata ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya.

   "Ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus... sudah besar dan sehat pula!"

   Kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini. Sambil tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai. Ketika Cia Bun Houw mendengar penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang kini telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, dia mengangguk-angguk.

   "Memang tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Aah, memang benar engkau, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, karena ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, memang keponakanku Hong San Hwesio itu boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Aaah, aku girang sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh amat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam."

   "Benarkah itu, Ayah? Saya sudah terlalu lama bersembunyi saja, tidak lagi mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw."

   Ayahnya menarik napas panjang.

   "Aku sendiripun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan semua anak murid Cin-ling-pai kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat. Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, sungguh membuat aku merasa khawatir sekali.

   "Apakah ada tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?"

   Tanya Sin Liong, sedangkan Han Tiong sejak tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Adapun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In Hong. Pendekar sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang.

   "Banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru di dunia kang-ouw. Hanya nama mereka saja yang baru akan tetapi sesungguhnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah lama menjadi orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di empat penjuru malah bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang seolah-olah merupakan raja-raja kecil di dalam dunia hitam."

   "Apakah mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?"

   "Aku tidak mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar mereka itu berpengaruh sekali dan selain mempunyai banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit! Betapapun juga, aku selalu memperingatkan anak murid Cin-ling-pai untuk tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti bahwa kami takut, hanya aku tidak suka kalau sampai terjadi permusuhan dan keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja."

   Diam-diam Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang dahulu merupakan pendekar yang amat sakti dan selalu menentang kejahatan ini mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti gejolak kemarahan saja. Cia Bun Houw lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti yang pernah didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang sesungguhnya. Yang menjadi datuk di sebelah barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai. Menurut kabar, kepandaian See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya memiliki ilmu silat yang luar biasa akan tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga, amat ditakuti dan di dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi raja kecil kaum sesat.

   Kemudian, di sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si. Di sebelah timur ada seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di sepanjang pantai timur, dia dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan terkenal sekali dengm ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air. Tokoh ini tinggal di tepi pentai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung. Adapun tokoh selatan, setelah tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia, kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan) yang tinggal di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan. Itulah mereka yang kini merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan kabarnya mereka itu memiliki kepandaian yang hebat, menilliki keistimewaan masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

   "Ahh...! Kalau begitu mereka itu berbahaya sekali!"

   Kata Sin Liong terkejut.

   "Yang lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan mempengaruhi para pembesar di wilayah masing-masing. Ahhh, aku telah terlalu tua untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka tidak mengganggu kita, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?"

   Sin Liong tidak berkata apa-apa. Memang dia dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya itu. Betapa banyaknya sudah penderitaan dan bahaya yang dialami dan dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di dalam dunia kang-ouw, apalagi kalau berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan kehidupan yang penuh dengan kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka.

   Akan tetapi, diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati amat tertarik, bahkan dia mencatat di dalam hatinya nama-nama dan tempat tinggal para tokoh atau kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi. Kong Liang, yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu, nampak lebih tenang dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk itu, maka dia tidak begitu tertarik seperti Han Tiong. Bahkan dia lalu mengajak keponakannya itu untuk keluar dan mereka bermain di taman bunga di mana terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat. Di tempat ini, dua orang anak laki-laki itu lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang telah mereka pelajari dari ayah masing-masing. Kemudian, sesuai dengan watak yang ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya saling memuji dan merendahkan diri sendiri.

   Cia Sin Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka bertiga meninggalkan Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di Ho-nan karena setahunya, Kui lan yang menikah dengan Ciu Khai Sun tinggal di Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, sedangkan Kui Lin yang menikah dengan Na Tieng Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan ketika masih kecil menjadi sahabat baiknya. Akan tetapi, ketika keluarga ini tiba di Su-couw mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan suaminya yang sudah pindah dari situ, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat mengejutkan dari Si Gendut ini.

   "Apa? Na Tiong Pek tewas terbunuh orang?"

   Sin Liong mengulang berita itu dengan mata terbelalak kaget.

   "Siapa yang membunuhnya? Bagaimana terjadinya dan kapan?"

   Kui Beng Sin yang biasanya gembira itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak berduka.

   "Sudah lama sekali terjadinya, sudah ada kurang lebih sembilan tahun yang lalu."

   Beng Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari Su-couw ke Kun-ting untuk membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh kemajuan dan hidup dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi malapetaka itu.

   "Aku sendiri tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak tahu siapa yang telah datang malam-malam ke rumah Na Tiong Pek dan membunuhnya itu."

   Lalu diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki sebuah kamar di rumah Na Tiong Pek di mana Kui Lan menginap karena suaminya sedang pergi mengawal barang berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan menyerang penjahat itu dan kemudian datang Na Tiong Pek dan Kui Lin mengeroyok. Akan tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan dua orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri.

   "Kalau Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya,"

   Kata Sin Liong.

   "Merekapun mengatakan bahwa mereka tidak kenal orang itu, yang katanya memakai kedok hitam, apalagi cuaca dalam kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarangpun mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek itu."

   Sin Liong mengerutkan alisnya.

   "Tidak mengherankan kalau Tiong Pek, sebagai seorang piauwsu, mempunyai banyak musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh penasaran kalau sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan sekarang, bagaimana dengan Lin-moi setelah ditinggal mati suaminya?"

   Tanya Sin Liong dan hatinya merasa kasihan sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan ayah itu. Tiba-tiba sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar untuk menjawab karena di situ terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong, maka dia lalu berkata kepada Sin Liong.

   "Mari kita masuk sebentar. Sin Liong, ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja."

   Mendengar ini, Sin Liong merasa heran, akan tetapi dia mengangguk dan setelah menoleh kepada isterinya dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan mereka.

   "Beng Sin, apakah yang hendak kau katakan kepadaku? Engkau bersikap demikian rahasia."

   Beng Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Memang bukan hal yang menyenangkan untuk menceritakan hal ini, Sin Liong. Akan tetapi engkau sebagai saudara seibu memang berhak untuk mendengar sejelasnya. Dengarlah baik-baik. Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi ikut bersama Lan-moi dan suaminya yang melanjutkan usaha piauwkiok itu. Setahun semenjak kematian Tiong Pek, mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa yang terjadi? Lin-moi... ah, dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya."

   "Ahhh...!"

   Sin Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut. Terdapat keraguan di dalam hatinya, dan dia tidak segera dapat mengambil kesimpulan apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin telah menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang berhak untuk menikah lagi, sungguhpun hal seperti itu oleh umum pada waktu itu dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa menjadi isteri Khai Sun? Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri?

   "Hemm, lalu bagaimanakah kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?"

   Tanya Sin Liong. Beng Sin menghela napas dan menggeleng kepala.

   "Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi. Semenjak aku mendengar tentang hal itu, aku merasa... eh, segan dan sungkan untuk mengunjungi mereka, dan... agaknya karena itu pula mereka meninggalkan Kun-ting dan pindah ke Lok-yang."

   "Kalau begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang,"

   Kata Sin Liong. Dan memang begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota besar itu dan tidak sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Hui-eng-piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu.

   Karena Sin Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin, tentu akan mendatangkan suasana tidak enak, maka dia menyewa kamar di sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian setelah memperoleh persetujuan Bi Cu yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkann isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Hui-eng-piauwkiok. Dari jauh sudah nampak papan nama Hui-eng-piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor yang cukup megah, sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu. Dari seorang piauwsu penjaga dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu, maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi itu. Sebuah rumah yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan bunga-bunga indah.

   Akan tetapi dia tidak memperhatikan ini semua karena pandang matanya tertuju ke arah beranda depan rumah itu di mana dia melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama dua orang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin! Tidak kelihatan orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami dengan dua orang isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, ada kemarahan terhadap mereka, terutama terhadap Kui Lin! Ketika dia memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan menuju ke beranda itu, mereka bertiga menengok dan menghentikan percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu. Dan setelah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri.

   "Liong-ko...!"

   Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah meloncat dari tempat duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan kanan Sin Liong sedangkan Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang kepada kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata telah bercucuran di atas pipi mereka.

   "Liong-koko, betapa rinduku kepadamu!"

   Kata Kui Lin.

   Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagaimanakah tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?"

   Tanya Kui Lan. Sementara itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata.

   "Cia-Taihiap, sungguh aku merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!"

   Sejak dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang amat menghormat Sin Liong dan amat kagum akan kepandaian Sin Liong, oleh karena itu, biarpun Sin Liong adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya Taihiap (Pendekar Besar). Akan tetapi Sin Liong hanya mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya dingin sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya memandang mereka, terutama kepada Kul Lin dengan alis berkerut. Karena pernah hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka tentu saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini. Melihat sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat mengerti, maka Kui Lan lalu menarik tangan Sin Liong dan berkata,

   "Liong-ko, silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan urusan penting sekali."

   "Duduklah, koko,"

   Kata pula Kui Lin.

   "Cia-Taihiap, silakan duduk,"

   Ciu Khai Sun juga menyambung. Biarpun dengan hati enggan, akhirnya Sin Liong duduk pula.

   "Aku telah mencari kalian ke Su-couw dan bertemu dengan Beng Sin..."

   Dia berkata, suaranya dingin. Khai Sun dan dua orang isterinya saling bertukar pandang, kemudian Kui Lin berkata,

   "Liong-koko, engkau mendengar dari Sin-ko tentang diriku, bukan? Apa yang kau dengar darinya?"

   Sin Liong kini memandang kepada adiknya ini dengan sinar mata bengis dan penuh teguran, kemudian berkata,

   "Aku hanya mendengar tentang seorang isteri yang suaminya mati terbunuh orang, kemudian si isteri itu tidak mencari pembunuh suaminya melainkan menikah lagi dengan suami encinya. Benarkah ini?"

   Melihat sikap yang bengis itu, Kui Lin menutupi mukanya dan terisak. Hal ini membuat Sin Liong menjadi semakin penasaran dan dia menggebrak meja.

   "Brakk! Lin-moi, benarkah ini? Ciu Khai Sun dan Lan-moi, apa artinya semua ini?"

   Pendekar itu bangkit berdiri, mukanya merah dan sepasang matanya mencorong menakutkan. Kui Lan menjadi ketakutan dan dia pun menangis sambil merangkul adiknya. Dua orang wanita kembar itu yang maklum akan kemarahan kakak mereka menangis dan seperti hendak saling melindungi.

   "Ciu Khai Sun, apa artinya ini? Engkau, yang memiliki kepandaian tinggi, melihat suami adik iparmu dibunuh orang, mengapa tidak mencari pembunuh itu sampai dapat melainkan mengambil adik ipar itu menjadi isterimu? Apakah perbuatan macam itu patut dilakukan oleh seorang pendekar?"

   Pertanyaan ini penuh teguran dan penyesalan, dan kini pandang mata pendekar itu diarahkan kepada Ciu Khai Sun penuh kemarahan. Akan tetapi tokoh muda Siauw-lim-pai itu tetap tenang saja. Dia pun bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi tegap itu berdiri tegak, sepasang matanya menentang pandang mata Sin Liong dengan tabah, lalu dia menjura dan berkata,

   "Cia-Taihiap, biar akan kau bunuh sekalipun diriku ini, aku tidak akan mau bicara tentang hal ini. Silakan Taihiap bertanya kepada mereka sendiri."

   Melihat sikap ini, diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Jelaslah bahwa dari sikapnya, murid Siauw-lim-pai ini tidak mempunyai simpanan perasaan bersalah sama sekali! Dia tahu betapa Ciu Khai Sun amat kagum dan menghormatnya, maka kalau murid Siauw-lim-pai itu menyimpan perasaan bersalah, tentu tidak seperti itu sikapnya!

   "Liong-ko, jangan kau salahkan suami kami, dia sama sekali tidak bersalah dalam hal ini..."

   Kata Kui Lan.

   "Akulah yang bersalah, Liong-ko."

   Kata Kui Lin.

   "Tidak! Sama sekali tidak, Lin-moi juga sama sekali tidak bersalah. Satu-satunya orang yang bersalah dalam urusan ini adalah Na Tiong Pek!"

   Mendengar kata-kata Kui Lan itu, Sin Liong menjadi semakin kaget dan heran. Dia mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kui Lan dengan tajam, kemudian menoleh kepada Kui Lin. Dua orang wanita itu kini tidak menangis lagi, melainkan membalas pandangannya dengan tabah pandang mata orang-orang yang sama sekali tidak bersalah!

   "Apa pula ini? Na Tiong Pek dibunuh orang, kalian malah hendak menyalahkan dia yang sudah mati? Bukannya mencari siapa pembunuhnya, malah..."

   "Tidak perlu lagi dicari pembunuhnya, karena kami berdualah pembunuhnya!"

   Tiba-tiba Kui Lin menjawab dan jawaban ini membuat Sin Liong terbelalak dan dia memandang wajah dua orang adiknya itu dengan muka berubah agak pucat, kemudian menjadi merah sekali.

   "Kalian... kalian sudah gila...?"

   Tanyanya gagap.

   "Tidak, Liong-ko. Bukan kami yang gila melainkan Na Tiong Pek! Pada suatu malam dia membius Enci Lan dengan asap bius, kemudian dia menodai Enci Lan! Nah, kami berdua mengeroyoknya dan membunuhnya!"

   "Ohhh...!"

   Sin Liong merasa lemas saking kagetnya mendengar ini dan dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Terbayang olehnya ketika masih remaja, Na Tiong Pek pernah mengganggu Bi Cu dan hendak memaksa Bi Cu untuk dicium sehingga pernah dia turun tangan dan menghajar Na Tiong Pek. Sejak remaja pria itu memang berwatak mata keranjang dan kiranya watak itu masih terus berkembang sehingga dia tidak segan-segan untuk memperkosa kakak iparnya sendiri!

   "Mengertikah engkau sekarang, Liong-ko?"

   Kui Lan kini melanjutkan keterangan adiknya.

   "Aku telah ternoda, walaupun itu terjadi di luar kesadaranku, namun hampir saja aku membunuh diri kalau suamiku tidak begitu bijaksana untuk memaafkan dan melupakan semua itu. Tentu saja kepada orang lain kami tidak mau menceritakan aib itu, dan kami mengatakan saja bahwa Tiong Pek tewas oleh penjahat yang tidak dikenal. Kemudian, akulah yang membujuk-bujuk Lin-moi untuk menjadi isteri suamiku, agar kami bertiga tidak berpisah lagi, dan kami bertiga hidup rukun dan bahagia. Salahkan itu, Liong-ko? Apakah engkau lebih suka melihat Lin-moi menjadi janda kembang, digoda dan dihina oleh setiap orang pria mata keranjang? Adakah yang lebih tepat daripada suamiku untuk menjadi suaminya seperti sekarang ini?"

   Sin Liong tidak mampu menjawab dan pada saat itu masuklah dua orang anak berlari-lari dari belakang, diikuti oleh dua orang pengasuh wanita tua. Dua orang itu berusia kurang lebih lima enam tahun, yang laki-laki berusia enam tahun dan yang perempuan lima tahun. Wajah mereka begitu serupa seperti dua anak kembar saja dan mirip dengan Kui Lan dan Kui Lin! Anak laki-laki itu sudah lagi menghampiri Kui Lan, dan merangkul pangkuan wanita ini sedangkan anak perempuan itu lari merangkul Kui Lin. Mereka tertawa-tawa dan agaknya mereka memang berlumba lari untuk menghampiri ibu mereka. Melihat ini, Sin Liong mengerti bahwa tentu anak laki-laki itu putera Kui Lan dan anak perempuan itu puteri Kui Lin.

   "Mereka anak-anak kalian...?"

   Akhirnya dia dapat bertanya dan semua kekakuan, semua kemarahan lenyap sudah dari suaranya. Melihat sikap Sin Liong yang sudah tidak marah lagi, Khai Sun menjawab sambil tersenyum.

   "Yang tua melahirkan yang muda, yang muda melahirkan yang tua."

   Tentu saja jawaban ini sengaja diucapkan seperti itu agar tidak diketahui oleh dua orang anak itu, akan tetapi Sin Liong mengerti maksudnya. Kiranya tadi dia salah sangka, anak laki-laki yang merangkul Kui Lan itu adalah putera Kui Lin, sedangkan anak perempuan yang lebih muda dan merangkul Kui Lin itu justeru puteri Kui Lan!

   "Hayo kalian memberi hormat kepada pamanmu! Ini adalah Paman Cia Sin Liong!"

   Kata dua orang wanita kembar itu kepada anak-anak mereka dan kini wajah mereka berseri gembira sungguhpun masih ada bekas air mata pada pipi mereka.

   "Paman, saya Ciu Bun Hong memberi hormat!"

   Kata anak lakl-laki itu dengan sikap gagah.

   "Paman, saya Ciu Lian Hong memberi hormat!"

   Sambung anak perempuan itu dengan gaya lucu dan manja. Sin Liong meraih keduanya dan merangkul mereka.

   "Anak-anak yang baik..."

   Katanya terharu. Baru dia sadar bahwa kemarahannya tadi sebetulnya tiada gunanya sama sekali. Bukan hanya bahwa kenyataannya dua orang adiknya itu sama sekali tidak dapat disalahkan, demikian pula Ciu Khai Sun tak dapat dipersalahkan, juga apa gunanya ribut-ribut? Mereka berdua telah hidup dengan rukun dan sejahtera di samping tokoh Siauw-lim-pai itu, dan masing-masing telah mempunyai seorang anak. Karena mereka masih akan bicara tentang banyak hal, maka Kui Lan dan Kui Lin lalu menyuruh dua orang anak itu bermain-main di luar. Mereka menjura dan keluar, dan masih terdengar oleh Sin Liong suara mereka.

   "Aku yang lebih dulu menyentuh ibu Lan!"

   Kata anak laki-laki itu.

   "Tidak, aku yang lebih dulu merangkul ibu Lin!"

   Bantah adiknya. Sin Liong tersenyum kagum. Agaknya bagi kedua orang anak itu, mereka masing-masing mempunyai dua orang ibu yang sama-sama mereka sayang. Betapa bahagianya mempunyai dua orang ibu seperti Kui Lan dan Kui Lin ini agaknya sedikitpun tidak mempunyai rasa cemburu atau iri, dan seakan-akan mereka itu bersatu hati membagi kebahagiaan berdua!

   "Liong-ko, kenapa engkau pergi tidak bersama isterimu?"

   Kui Lin bertanya.

   "Mereka, isteri dan anakku, datang bersamaku dan menanti di losmen."

   "Ah? Kenapa di losmen? Kenapa tidak diajak ke sini?"

   Kui Lin menegur. Wajah Sin Liong menjadi merah.

   "Karena tadinya... eh, kupikir... tidak enaklah dengan adanya urusan... tapi sekarang tentu saja mereka akan kuajak ke sini. Biar kuambil mereka."

   Keluarga Ciu merasa girang sekali mendengar bahwa Sin Liong datang bersama Bi Cu dan seorang putera mereka, maka ketika Sin Liong meninggalkan rumah itu untuk menjemput anak isterinya, Kui Lan dan Kui Lin sibuk mempersiapkan segala-galanya untuk menyambut tamu-tamu itu. Dengan hati lapang melihat keadaan adik-adiknya itu, Sin Liong bergegas menuju ke losmen di mana anak isterinya menunggu. Dia ingin cepat-cepat menceritakan berita baik tentang adik-adiknya itu kepada Bi Cu. Akan tetapi apa yang dihadapinya ketika dia tiba di losmen? Anak isterinya sudah tidak ada di situ! Dan sebagai gantinya, pengurus losmen menemuinya dengan wajah pucat dan membayangkan kekhawatiran hebat. Pengurus losmen itu menyerahkan sebuah sampul surat kepadanya, sampul panjang yang ditulis dengan huruf-huruf merah!

   PAK-SAW-KUI MENGUNDANG PENDEKAR LEMBAH NAGA UNTUK DATANG BERKUNJUNG!

   Sin Liong terbelalak memandang sampul itu dan teringatlah dia akan percakapannya dengan ayah kandungnya yang menceritakan tentang munculnya datuk-datuk kaum sesat, di antaranya adalah yang berjuluk Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang kabarnya merupakan datuk kaum sesat di daerah utara itu! Dan kini datuk itu mengundangnya untuk berkunjung! Akan tetapi apa yang terjadi dengan anak isterinya? Dengan sikap tetap tenang dia memandang kepada pengurus losmen itu dan suaranya berwibawa ketika dia bertanya.

   "Ke mana perginya isteri dan puteraku? Apa yang terjadi dengan mereka? Hayo ceritakan yang sebenarnya!"

   Pengurus losmen itu nampak ketakutan. Dia berkali-kali menjura dengan hormat.

   "Maafkan kami semua, sicu..."

   Kemudian dengan suara terputus-putus pengurus losmen itu menceritakan apa yang telah terjadi selagi Sin Liong tidak berada di situ. Bi Cu dan puteranya, Han Tiong, yang ditinggal di losmen oleh Sin Liong sedang duduk di serambi depan losmen itu, melihat-lihat ke arah jalan raya yang cukup sibuk itu. Kemudian datang serombongan orang, laki-laki yang kelihatan kasar dan melihat sinar mata mereka yang kurang ajar, Bi Cu lalu mengajak puteranya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Tak lama kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dan karena hatinya tertarik, Bi Cu lalu mendengarkan dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit. Suara keras membentak-bentak pengurus losmen.

   "Hayo cepat periksa dalam buku tamu, apakah ada tamu yang bernama Cia Sin Liong?"

   Tentu saja mendengar ini Bi Cu terkejut dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dia mendengar suara pengurus losmen itu tergagap-gagap,

   "Ada... ada... tapi dia sedang keluar."

   "Ke mana? Hayo katakan ke mana!"

   "Tidak... tidak tahu..."

   "Plak! Plak!"

   Terdengar dua kali suara tamparan yang disusul mengaduhnya pengurus losmen itu.

   "Sungguh mati, dia keluar tanpa memberitahu ke mana... ampunkan saya... ampunkan saya..."

   "Hemm, kalau tidak berterus terang, mana bisa ada ampun?"

   Bentak suara kasar tadi. Mendengar ini, Bi Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dibukanya daun pintu dan diapun melangkah lebar menuju ke ruangan depan di mana terjadinya keributan itu. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar mencengkeram punggung baju pengurus losmen dengan sikap mengancam, sedangkan para pelayan dan tamu di situ bahkan menjauhkan diri dengan sikap ketakutan. Beberapa orang lain yang agaknya menjadi teman-teman Si Tinggi Besar itu memandang dengan mulut menyeringai seolah-olah menghadapi tontonan yang menyenangkan.

   "Aku adalah isteri Cia Sin Liong! Siapa mencari suamiku?"

   Bentak Bi Cu sambil melangkah maju. Saking marahnya, nyonya ini tidak tahu bahwa puteranya juga berada di belakangnya, karena tadi Han Tiong mengikuti ibunya. Orang tinggi besar itu cepat memutar tubuhnya sambil melempar tubuh pengurus losmen itu ke sudut. Orang tinggi besar itu memiliki wajah yang menyeramkan, wajah orang kasar dengan kumis tebal melintang dan muka penuh brewok sehingga yang nampak hanyalah sepasang mata bulat besar menonjol keluar, hidung pesek dan gigi besar-besar nampak ketika dia menyeringai.

   "Bagus! Kebetulan sekali, jadi engkau adalah isterinya?"

   "Hemm, engkau orang kasar mangapa mencari suamiku?"

   Bentak Bi Cu yang sudah marah sekali melihat orang ini bersikap kasar terhadap pengurus losmen, bahkan telah menampar sampai muka orang itu matang biru.

   "Ehem, suamimu yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?"

   Tanya orang kasar itu dengan sikap yang amat memanaskan hati Bi Cu, sementara itu sedikitnya delapan orang teman Si Kasar itu telah mengurungnya, dan baru dia melihat bahwa Han Tiong juga berada di situ.

   "Han Tiong, mundurlah!"

   Bi Cu berkata kepada puteranya, akan tetapi sudah tidak ada jalan keluar lagi karena tempat itu telah terkurung.

   "Suamiku benar adalah Pendekar Lembah Naga, kalian mau apa?"

   Bi Cu membentak.

   "Ha-ha-ha, tuan besar kami mengundang Pendekar Lembah Naga, akan tetapi Sang Pendekar tidak ada, yang ada hanya isterinya yang cantik dan anaknya, maka biarlah kami mengundang isterinya dan anaknya, agar Sang Pendekar dapat menyusulnya! Marilah, nyonya manis, engkau ikut bersamaku menghadap tuan besar!"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu mengulur tangan hendak mencengkeram, akan tetapi sengaja dia mencengkeram ke arah dada Bi Cu, disambut suara tertawa ha-ha-he-he oleh para temannya.

   "Keparat jahanam kau !"

   Bi Cu mengelak dan dari samping tangannya menampar ke arah muka yang menyeringai lebar itu. Mungkin karena tamparan Bi Cu terlalu cepat atau memang laki-laki itu memandang rendah, akan tetapi tahu-tahu telapak tangan Bi Cu sudah tepat mengenai pipi orang itu!

   "Plakkk!"

   Orang itu terkejut, terhuyung dan mengusap pipinya yang seketika menjadi bengkak. Matanya melotot dan dia meludah, ludah bercampur darah, karena bibirnya pecah.

   "Serbu! Tangkap!"

   Bentaknya marah dan kini dia sungguh-sungguh menyerang dengan pukulan yang keras ke arah Bi Cu. Namun nyonya ini dengan mudah saja mengelak dan kakinya menyambar. Untung Si Kasar masih cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan itu luput, kalau mengenai pusarnya tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Dan mengamuklah Bi Cu, dikeroyok oleh sembilan orang-orang kasar. Akan tetapi tiba-tiba Han Tiong berteriak,

   "Lepaskan aku!"

   Bi Cu terkejut dan menengok. Kiranya Han Tiong telah disergap dari belakang dan ditangkap orang, dan kini sebatang golok ditempelkan di leher anak itu. Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia menyerbu ke arah puteranya.

   "Mundur! Kalau engkau melawan terus, anak ini akan kami sembelih lebih dulu!"

   Bentak orang yang menangkap Han Tiong.

   "Hemm, apa maksud kalian?"

   Bentak Bi Cu, sedikit pun tidak takut sungguhpun diam-diam dia mengkhawatirkan puteranya.

   "Sedikit saja kau ganggu dia, kalian akan menyesal dilahirkan di dunia. Akan kukeluarkan semua isi perut kalian, kuhancurkan kepala kalian sampai lumat!"

   Si Tinggi besar dan teman-temannya merasa jerih juga menghadapi ancaman wanita yang perkasa itu, yang suaranya terdengar nyaring penuh dengan kesungguhan. Mereka percaya bahwa wanita seperti itu, dengan sinar mata seperti itu, tentu akan sungguh-sungguh berusaha memenuhi ancamannya kalau mereka sampai berani mengganggu puteranya.

   "Toanio, kami adalah utusan tuan besar kami untuk mengundang Pendekar Lembah Naga. Untuk memastikan bahwa dia akan datang berkunjung, maka kami mengundang toanio dan kongcu ini untuk ikut bersama dengan kami, baik secara halus maupun kasar. Boleh toanio pilih. Kalau toanio berdua mau ikut dengan baik-baik, kamipun tidak berani bersikap kasar."

   Bi Cu berpikir sebentar. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena di situ ada Han Tiong, tentu saja dia tidak boleh bertindak sembrono. Kalau sampai terjadi kekerasan, bukan tak boleh jadi kalau puteranya akan celaka. Padahal, suaminya sedang tidak berada di situ dan hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri saja amat berbahayalah bagi puteranya. Sebaliknya, kalau dia menurut dan membiarkan dia dan puteranya dibawa, tentu nanti Sin Liong akan dapat membebaskan mereka.

   "Baik, kami ikut asal tidak dilakukan kekerasan!"

   Katanya dengan tegas dan diapun lalu menghampiri puteranya. Sambil menggandeng tangan Han Tiong, dia lalu keluar diiringkan oleh sembilan orang laki-laki itu dan ternyata di luar telah menanti sebuah kereta. Bi Cu dan puteranya dipersilakan naik kereta yang lalu dibalapkan, diikuti oleh mereka yang menunggang kuda, keluar dari pekarangan losmen, ke jalan raya. Demikianlah keterangan yang diperoleh Sin Liong dari pengurus losmen yang masih biru-biru mukanya. Mendengar penuturan ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada tulisan di atas sampul. Tidak terdapat surat di dalam sampulnya, hanya tulisan tinta merah yang merupakan undangan menyolok dari penulis surat yang menamakan dirinya Pak-san-kui (Setan Gunung Utara) itu.

   "Di manakah rumah Pak-san-kui ini?"

   Tanyanya kepada pengurus losmen. Pengurus losmen itu menggeleng kepala.

   "Saya tidak tahu, sicu, bahkan semua orang di sini yang kutanyai tidak ada yang tahu. Sepanjang pengetahuan kami, di kota ini tidak ada jagoan yang berjuluk Pak-san-kui itu. Dan orang-orang tadipun agaknya orang-orang dari luar kota, suara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang dari utara."

   Hati Sin Liong mulai merasa heran dan bercampur gelisah. Menurut penuturan ayahnya, Pak-san-kui adalah seorang datuk besar di daerah utara dan bertempat tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si. Kenapa kini anak buahnya berada di Lok-yang dan bagaimana pula mengenal dia dan tahu bahwa dia berada di situ, dan mengirim undangan dengan cara yang kasar seperti itu? Dia teringat kepada Ciu Khai Sun.

   Ah, tentu suami Kui Lan dan Kui Lin itu akan dapat memecahkan teka-teki ini, dan memberi tahu ke mana dia akan dapat mencari dan menemukan isteri dan puteranya. Dia tahu bahwa Bi Cu tentu terpaksa menyerah demi keselamatan Han Tiong dan juga karena isterinya yakin bahwa dia tentu akan menyusul dan menyelamatkan mereka. Dan dia pasti akan dapat membuktikan kebenaran keyakinan hati isterinya! Setelah memasuki kamar dan mengambil buntalan pakaian mereka, dengan cepat Sin Liong lalu meninggalkan losmen dan kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Khai Sun dan dua orang isterinya menyambut dengan gembira, akan tetapi mergka memandang heran dan kecewa ketika melihat betapa Sin Liong datang sendirian saja tanpa isteri dan puteranya. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hati mereka ketika melihat wajah Sin Liong yang nampak muram.

   "Liong-koko, mana dia? Mana isterimu dan puteramu?"

   Tanya Kui Lin.

   "Mari kita bicara di dalam,"

   Kata Sin Liong yang masih bersikap tenang, namun pada wajahhya jelas membayangkan kegelisahan. Dengan hati penuh kekhawatiran dan ketegangan, Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bersama Sin Liong masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, Sin Liong menceritakan kepada mereka tentang apa yang terjadi menimpa isteri dan puteranya di losmen itu.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 41 Dewi Maut Eps 43 Pendekar Lembah Naga Eps 44

Cari Blog Ini