Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 6


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Inilah sampul undangan itu,"

   Katanya sebagai penutup dan memperlihatkan sampul dengan tulisan merah itu kepada mereka.

   "Sungguh kurang ajar!"

   Seru Kui Lan.

   "Mengundang dengan cara demikian, orang macam apa dia itu?"

   Seru Kui Lin. Kedua orang nyonya ini tentu saja merasa marah sekali. Akan tetapi, seperti juga sikap Sin Liong, Ciu Khai Sun menghadapi persoalan ini dengan tenang. Dia mengamati sampul itu dan alisnya berkerut.

   "Hemm... Pak-san-kui..."

   "Engkau mengenalnya, Moi-hu (adik ipar)?"

   Tanya Sin Liong sambil menatap wajah adik ipar yang lebih tua empat lima tahun darinya itu. Ciu Khai Sun menggeleng kepala.

   "Aku tidak pernah bertemu dengan dia akan tetapi namanya amat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah utara. Dia tidak penah mencampuri urusan kang-ouw dan tidak pernah mengganggu pekerjaanku, dan dia terkenal angkuh, merasa bahwa dia memiliki tingkat yang tinggi sekali. Pengaruhnya amat besar, kekayaannya juga besar sekali. Dia bergerak di kalangan atas, di antara pembesar-pembesar tinggi, bahkan pengaruhnya terasa sampai di kota raja. Akan tetapi kabarnya dia lihai bukan main dan terkenal sebagai datuk daerah utara. Sungguh mengherankan sekali. Dia tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si, bagaimana kini dia dapat bergerak sampai ke sini, dan bagaimana dia tahu pula bahwa engkau berada di sini?"

   "Tai-goan tidak dekat dari sini, agaknya tidak mungkin kalau dia mengirim orang-orang itu dari sana. Dia sudah pasti berada di dekat kota ini atau bahkan mungkin di dalam kota,"

   Kata Sin Liong.

   "Ah, benar! Aku ingat sekarang! Di kota ini terdapat seorang pembesar kejaksaan yang baru saja datang, pindahan dari Tai-goan. Mengingat bahwa Pak-san-kui itu terkenal mempunyai hubungan baik dengan para pembesar, sangat boleh jadi sekali kalau dia datang berkunjung kepada Ciong-taijin itu dan kini berada di kota ini. Akan tetapi entah bagaimana dia dapat tahu bahwa engkau berada di kota ini, Cia-Taihiap?"

   "Hal itu dapat kuselidiki, sekarang tolong katakan di mana adanya gedung Ciong-taijin itu? Aku akan menyelidiki ke sana."

   "Mari kuantar, Taihiap. Aku akan membantumu!"

   "Jangan, Moi-hu. Engkau adalah orang yang tinggal di kota ini, amat tidak baik kalau sampai engkau tersangkut, apalagi menentang seorang pembesar kota. kau tunggu saja di sini, aku pasti akan dapat membebaskan anak isteriku."

   Karena alasan ini memang tepat, Khai Sun tidak berani memaksa dan dia lalu memberi tahu di mana letak rumah tempat tinggal pembesar itu. Setelah menerima penjelasan, Sin Liong lalu berangkat untuk menyelidiki, diantarkan oleh pandangan mata penuh kekhawatiran dan pesanan agar berhati-hati dari Kui Lan dan Kui Lin. Sin Liong memasuki pintu gerbang depan gedung besar itu dengan hati tabah. Dia tahu bahwa dia memasuki pekarangan seorang pembesar yang berkuasa, akan tetapi karena hal ini menyangkut keselamatan anak isterinya, jangankan hanya gedung pembesar kejaksaan, biarpun istana kaisar sekalipun akan dimasuki kalau perlu! Beberapa orang perajurit penjaga segera maju menghadangnya dan seorang di antara mereka menegurnya,

   "Hai, siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?" Dengan sikap gagah Sin Liong berkata,

   "Aku datang untuk bertemu dengan Pak-san-kui! Katakanlah kepada Pak-san-kui bahwa Pendekar Lembah Naga sudah datang memenuhi undangannya!"

   Enam orang perajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari Ciong-taijin, maka karena mereka pun datang dari Tai-goan, tentu saja mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan merekapun tahu bahwa datuk itu kini menjadi tamu majikan mereka. Biarpun hanya kabar angin dan tidak secara langsung, mereka mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga, maka mendengar pengakuan Sin Liong mereka menjadi terkejut.

   "Tunggulah... tunggulah kami melapor..."

   Kata mereka dan seorang di antara mereka segera lari masuk ke dalam. Sin Liong menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu rumah gedung itu. Apakah anak isterinya berada di dalam gedung itu? Masih dalam keadaan selamat.? Tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu dan menghampirinya dengan lagak memandang rendah dan tertawa-tawa. Seorang di antara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari atas sampai ke bawah, seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan pakaian sederhana dan tubuhnya yang sedang.

   "Engkaukah yang bernama Cia Sin Liong?"

   Tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang pembesar tinggi bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk di tempat tinggi bertanya kepada orang yang berjongkok jauh di bawahnya. Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya tersenyum saja melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa melihat tingkah seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di istana, pernah menjadi adik angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini.

   Akan tetapi diapun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan pembesar, semacam pengawal atau tukang pukul, dan biasanya memang para tukang pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak daripada si pembesar itu sendiri! Memang demikianlah keadaan kita manusia dalam dunia ini. Kita selain ingin merasa lebih tinggi daripada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat, lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu? Kita selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan gambaran inilah maka kita bersikap angkuh kepada orang lain yang kita anggap lebih rendah.

   Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang sedemikian tingginya karena kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti para pembantu pembesar itu. Kenyataannya sehari-hari, mereka itu menjadi bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah daripada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu. Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala macam "paling"

   Lagi. Dan semua ini tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain.

   Gambaran diri ini pasti timbul kalau tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau kita mau membuka mata dan waspada setiap saat akan diri sendiri, menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala kekotoran itulah! Penglihatan yang jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran sehingga kitapun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri kita. Sin Liong tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk itu. Dia mengangguk dan berkata.

   "Benar, aku bernama Cia Sin Liong."

   "Hemmmm..."

   Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya.

   "Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?"

   Sin Liong tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban.

   "Bagus, tuan besar kami memanggilmu, mari kau ikuti kami untuk menghadap beliau!"

   Setelah berkata demikian, Si Cambang Bauk itu dengan empat orang temannya, lalu melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas punggung kuda mereka yang sudah tersedia di situ, dan melarikan kuda mereka keluar.

   "Pendekar Lembah Naga, mari kau ikuti kami! Pendekar Lembah Naga? Ha-ha-ha!"

   Si Cambang Bauk tertawa bergelak. Sin Liong maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya dan mungkin juga mencobanya, dan tentu semua itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan mereka,

   Maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar membayangi lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka itu menuju ke barat, ke tepi kota di mana terdapat sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar. Mereka sengaja membalapkan kuda dan beberapa kali mereka menengok ke belakang, tertawa bergelak karena tidak lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka menyeberang jembatan lalu membelok ke kiri di mana terdapat sebuah taman bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman, lalu menuntun kuda mereka memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah taman itu. Mereka menengok ke belakang dan tidak melihat Sin Liong maka mereka tertawa makin keras.

   Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah ketika mereka melihat seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan mereka mengenal pria tu bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan bahkan dua di antara mereka menggosok-gogok mata mereka karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pria itu tadi mereka tinggalkan dan mereka membalapkan kuda, tidak nampak pria itu menyusul atau melanggar mereka, bagaimana tahu-tahu pria itu telah mendahului mereka dan berada di tempat itu? Apakah dia seperti siluman yang pandai menghilang? Tentu saja tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong mempergunakan gin-kang, berlari cepat seperti terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk mendahului mereka jauh sebelum mereka tiba di jembatan itu.

   "Nah, di mana adanya Pak-san-kui?"

   Tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya.

   "Ada... ada..., mari silakan masuk..."

   Kata Si Cambang Bauk kini sikapnya agak berbeda dan agak merendah karena dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong belaka. Demikianlah ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu bermuka-muka dan menjilat-jilat kalau bertemu dengan orang yang dianggapnya lebih berkuasa,

   Lebih pandai dan lebih daripada gambaran dirinya sendiri, akan tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang dianggapnya lebih rendah daripada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah seorang penindas pula. Dapatkah kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan penindas bawahan? Tentu dapat kalau kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat. Dengan diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si Cambang Bauk saja yang mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah terdengar suara orang-orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam pondok itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si Cambang Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat,

   "Lo-ya, Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!"

   Sin Liong yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega bukan main ketika dia melihat isterinya dan puteranya berada di antara beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang bundar yang berada di tengah ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas. Isterinya duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia, dan puteranya juga duduk dengan anteng, akan tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia.

   "Ayah! Aku tahu ayah pasti datang menyusul kami!"

   Sin Liong melihat seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung, pakaiannya seperti seorang hartawan, memegang sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap, sikapnya ramah, kuncirnya tebal dan panjang, kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas, memandang kepadanya sambil tersenyum lebar. Orang yang duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, dapat dikenal dari pakaiannya,

   Dan dia sudah berusia lima puluhan tahun dengan sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi berbeda sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan tegang, sebentar memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian ke arah si hartawan itu. Selain dua orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk di situ tiga orang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat dan sikap mereka amat hormat dan pendiam, sesuai dengan sikap orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Belasan orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari pakaian mereka, berdiri di sekitar tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya ayahnya, si hartawan itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu, telah lama aku mendengar nama besarmu, sekarang gembira sekali dapat bertemu. Silakan duduk..."

   Dia menunjuk ke arah bangku di dekat Bi Cu yang memang agaknya sudah dipersiapkan dan Sin Liong lalu memasuki ruangan itu dengan sikap tenang, kemudian diapun duduk di atas bangku yang telah
(Lanjut ke Jilid 06)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
dipersiapkan untuknya itu. Sejenak dia bertukar pandang dengan isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak isterinya, hanya isterinya minta kepadanya agar berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-katapun, hanya dengan saling bertukar pandang, dia sudah dapat mengetahui isi hati isterinya yang tercinta.

   "Apakah wan-gwe (tuan kaya) yang mengundangku ke sini?"

   Tanya Sin Liong sambil mengeluarkan sampul itu, meletakkannya di atas meja di hadapannya.

   Melihat sikap pendekar yang begitu tenang, sama sekali tidak memberi hormat kepadanya dan kepada si pembesar, dan mendengar pendekar itu menyebutnya wan-gwe, kakek hartawan itu tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema di dalam ruangan itu, dan ruangan itu seolah-olah tergetar hebat. Diam-diam Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khi-kang yang kuat sekali! Teringatlah dia akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki kepandaian yang tinggi, kabarnya tidak kalah tinggi dibandingkan kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan diapun mengerti Mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan betapa bahaya mengancam di tempat itu.

   "Ha-ha-ha, sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke sini. Aku disebut orang Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Telah lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena engkau telah menjadi orang kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga engkau tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga bukan termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat datang berkunjung ke Lembah Naga, sungguhpun di antara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali."

   Sin Liong memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata,

   "Apa yang locianpwe maksudkan?"

   Wajah tua yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali mendengar pendekar itu mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe melainkan locianpwe (sebutan untuk golongan tua yang gagah perkasa), karena sebutan itu menandakan bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam persilatan! Dia tidak tahu bahwa sebutan yang dipergunakan oleh Sin Liong itu bukanlah penjilatan, melainkan karena memang sudah menjadi watak Sin Liong untuk bersikap rendah hati.

   "Ingatkah sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?"

   Ketika dia melihat wajah Sin Liong berubah mendengar nama itu, dia tertawa.

   "Ya, Hek-hiat Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan memang salahnya sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li itu masih terhitung bibi guru luar dariku, sungguhpun di antara kami tidak pernah ada hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku merasa kagum kepadamu, Cia-sicu dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal kepandaianmu. Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku. Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa sicu turun gunung, keluar dari Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul itu, tentu saja aku mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan setelah tiba di sini, karena kebetulan sekali akupun sedang berada di Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu."

   Diam-dian Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan juga kasar, akan tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat dan orang inipun tidak luput daripada penyakit sombong dan congkak sekali. Betapapun juga, harus diakui bahwa orang ini amat lihai dan mempunyai pengaruh yang luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Kini tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya, tentu ada pula orangnya yang bekerja di losmen itu.

   "Locianpwe telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku, untuk kehormatan itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba di sini, apa yang locianpwe kehendaki?"

   "Ha-ha-ha, pertama-tama hanya ingin bertemu dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio dan kau anak yang baik, eh, siapa tadi namamu?"

   Tanya kakek itu kepada Han Tiong.

   "Namaku Cia Han Tiong,"

   Jawab anak itu.

   "Nah, marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin yang terhormat."

   Orang yang berpakaian pembesar itupun lalu berkata,

   "Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita berkumpul sebagai sahabat!"

   Diam-diam Sin Liong merasa heran sekali akan sikap orang. Apa artinya semua ini? Mula-mula dia diundang secara kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya, kemudian di sini diperlakukan dengan hormat!

   "Terima kasih,"

   Katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum bersama.

   "Sudah kukatakan bahwa biarpun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat pertalian perguruan, namun aku sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar patut menjadi sahabatku, Cia-sicu. Biarlah undangan ini dapat kau anggap sebagai tanda persahabatanku kepadamu."

   Hemm, tentu ada udang di balik batu, pikir Sin Liong.

   "Terima kasih. Locianpwe telah bersikap manis budi, kami mengucapkan terima kasih. Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku."

   "Cara aku mengundang anak isterimu, bukan? Ha-ha-ha!"

   Kembali Sin Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini dan dia harus berhati-hati terhadap orang ini yang memiliki kecerdikan.

   "Benar, locianpwe. Aku tidak mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara mengundang anak isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?"

   "Ha-ha-ha, tentu saja! Apa kau kira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa yang kuperintahkan?"

   "Hemm, kalau begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?"

   Tanya Sin Liong, hatinya dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang. Sebelum menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan seorang di acara para pepgawal yang berdiri di belakangnya cepat-cepat menyalakan api untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Setelah mengisap-isap dan tembakau itu mulai terbakar dan asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek ini menghembuskan asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong lalu berkata,

   "Semua itu dilakukan untuk mengujimu, sicu!"

   "Mengujiku?"

   "Ya, untuk mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya kudengar selama ini ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu amat mengagumkan, layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku."

   Setelah makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda dengan tangannya dan para pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat Pak-san-kui. Melihat ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan minum saja, dan karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapapun juga, maka dia pun cepat berkata,

   "Locianpwe, kami bertiga telah menerima kehormatan dan kebaikan locianpwe, mudah-mudahan lain waktu kami dapat membalas dan mengundang locianpwe ke Lembah Naga. Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini."

   Kakek itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan kiri ke atas, mengepulkan asap dari mulutnya.

   "Aha, Cia-sicu, orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam ilmu silat, tentu saja. Kini kiia telah saling jumpa, tanpa melihat ilmu silat sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap? Sicu, mereka bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, boleh dibilang mewakili aku dalam segala hal, juga untuk mengenal ilmu silat Sicu. Oleh karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan di antara kita dapat lebih matang."

   Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah tentu maksud tuan rumah dan tentu saja dia sedikitpun tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan siapapun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan tetapi, setelah bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan, maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk mengadu ilmu.

   "Locianpwe, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah berurusan dengan dunia persilatan dan tidak pernah bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku saja kalah,"

   Katanya sambil menjura. Melihat ini, Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han Tiong tidak pernah diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia dan Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali, kalau sekarang suaminya secara begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan sesuatu yang dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri? Dia sendiri tidak menghendaki puteranya menjadi jagoan yang mengandalkan ilmu silat mengangkat diri, akan tetapi dia lebih-lebih tidak menghendaki puteranya kelak menjadi seorang yang rendah diri dan penakut tentunya!

   "Locianpwe ini telah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak melayani permintaannya, bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?"

   Di dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan mengingatkan kepada Sin Liong, betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan yang disembunyikan dalam kata "kebaikan"

   Itu. Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya itu.

   "Pula sejak tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan rumah setelah diberi tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan,"

   Sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya.

   "Ha-ha-ha, Cia-sicu terlampau merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga mempunyai suami seperti Cia-sicu. Nah, kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada Cia-sicu!"

   Katanya sambil menggerakkan huncwenya dan tiga orang laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu dan yang sejak tadi memang sudah siap-siap, kini bangkit dari tempat duduk mereka, lalu memberi hormat kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali.

   "Teecu bertiga mentaati perintah suhu."

   Kata seorang di antara mereka dan ketiganya lalu menjura kepada Sin Liong.

   "Kami bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!"

   Sin Liong tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu, yang merasa menjadi orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya sendiri dan kini hanya mengutus murid-muridnya untuk maju, karena memang niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai di mana kepandaiannya. Aku tidak boleh terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Kalau dianggap terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu datuk sesat ini akan mencari jalan mengalahkannya, akan tetapi kalau sebaliknya tidak dianggap sebagai saingan berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit permusuhan. Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui.

   "Harap locianpwe tidak mentertawai kebodohanku. Sudah lama tidak pernah bertanding, rasanya kaku dan canggung."

   Dan diapun lalu menuju ke tengah ruangan yang telah dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya.

   "Hemm, kalian hendak maju berbareng?"

   Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu untuk memperlihatkan bahwa dia cukup jerih dan ragu.

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian, dan mereka hendak menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh tiga orang."

   Kata Pak-san-kui sambil mengepulkan asap huncwenya, sikapnya congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah kepada Sin Liong setelah melihat sikap pendekar itu. Bi Cu yang sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tak pernah mengenal takut, kini merasa penasaran sekali.

   Dia tahu bahwa suaminya sengaja bersikap demikian, dan inilah yang dia tidak mengerti dan membuatnya penasaran. Mengapa suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu agar mereka mengenal betul siapa adanya Pendekar Lembah Naga! Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu dengan alis berkerut. Sementara itu, tiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka hanya memakai pakaian ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru. Mereka kelihatan tegap dan kokoh kuat, dengan sikap yang pendiam membuat mereka berwibawa sekali. Setelah melemparkan jubah mereka ke sudut, lemparan yang disertai tenaga sin-kang teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk oleh tangan yang tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut,

   Ketiganya lalu menjura lagi kepada Sin Liong dan dengan loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka telah membentuk barisan segi tiga! Seorang berdiri di belakang Sin Liong, orang ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi tiga karena memang tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang khas, yaitu Sha-kak-tin itu. Sin Liong sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti Pak-san-kui yang dikabarkan memiliki kepandaian hebat itu, tentulah bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Dia menghadapi sesuatu yang amat sukar, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka ini, dan di lain fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya dapat menang dengan susah payah!

   "Cia-sicu, awas, kami mulai menyerang!"

   Bentak orang yang berada di sebelah kanan. Diam-diam Sin Liong kagum juga karena melihat sikap ini, ternyata bahwa murid-murid Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai kegagahan dan tidak curang,

   Tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung Ciong-taijin. Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka cepat dan serangan itu mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, sedangkan kedudukan mereka selalu menjadi pengepungan segi tiga lagi. Sin Liong mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja tidaklah bergerak terlalu cepat, cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya dilakukan dengan tenaga secukupnya saja untuk mengimbangi mereka. Dan biarpun harus diakuinya bahwa tiga orang ini memiliki kecepatan dan tenaga yang cukup hebat, namun kalau dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama sekali bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya.

   Pendekar Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han Houw yang sedemikian lihainya sekalipun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin Liong telah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari orang-orang yang berilmu tinggi. Dia telah "mengoper"

   Tenaga sin-kang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh dibilang dialah sekarang tokoh utamanya. Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu simpanan seperti Thi-khi-i-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat. Semua ini masih ditambah lagi dengan ilmu mujijat yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu.

   Akan tetapi, karena dia tidak ingin membangkitkan rasa penasaran di hati datuk sesat baru ini, Sin Liong sengaja hanya mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja untuk mempertahankan diri. Bahkan dia membiarkan ketiga orang pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga nampak dia terkurung dan terdesak hebat. Dia mengelak dan menangkis dan tubuhnya sampai berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang dari tiga jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat. Menyaksikan ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alisnya dan kembali dia merasa penasaran. Dia tentu saja mengenal suaminya dan tahu bahwa kalau suaminya menghendaki, tiga orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai dua puluh jurus, apalagi sampai mendesak suaminya seperti itu!

   Dia dapat menduga bahwa memang suaminya sengaja mengalah dan membiarkan dirinya didesak. Akan tetapi isteri yang amat mencinta suaminya ini tidak mau merusak siasat suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas. Sedangkan Han Tiong yang sejak kecil sudah mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biarpun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa amat khawatir karena dalam pandangannya, ayahnya terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang karena tiga orang lawannya menghujankan serangan bertubi-tubi! Maka tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Memang, dalam pandang orang lain kecuali Bi Cu yang sudah mengenal betul kelihaian suaminya, nampaknya Sin Liong terdetak hebat.

   Bahkan Pak-san-kui, datuk utara yang memiliki kepandaian tinggi itu juga dapat dikelabuhi. Demikian baiknya Sin Lioing menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tidak nampak berpura-pura. Hal ini adalah karena sudah sedemikian matang ilmu silat Sin Liong sehingga dia dapat mainkan gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan wajarnya sehingga seorang yang bermata tajam seperti Pak-san-kui, sungguhpun menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu! Kakek itu mengepul-ngepulkan asap huncwenya dan mengangguk-angguk, tersenyum girang. Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah Naga yang dipuji-puji orang sampai ke kota raja! Dia sendiri memang tidak bermaksud untuk memusuhi pendekar ini. Pertama, karena pendekar ini amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya,

   Hal itu akan merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik. Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar ini, karena siapa tahu kelak akan dapat diharapkan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh atau saingannya. Dia sudah memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak pendekar itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apalagi membunuhnya. Kini, melihat betapa tiga orang muridnya itu dapat mendesak Sin Liong, tentu saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa. Kalau yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan sahabat? Bantuannya tentu tidak berharga pula. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut.

   Biarpun tiga orang muridnya itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum juga mampu mengalahkan Sin Liong, bahkan kadang-kadang nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka! Hebat juga kalau begitu pendekar ini, pikirnya. Sementara itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Tiba-tiba terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan dan dia melakukan serangan yang hebat dan bertubi-tubl ke arah tiga orang lawannya, menubruk dengan nekat. Terjadi serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga orang pengeroyok itu terhuyung-huyung dengan muka pucat karena mereka telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong sedangkan pendekar ini sendiripun terguling roboh!

   "Ayah!"

   
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Han Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya, akan tetapi Sin Liong sudah bangkit berdiri lagi dan merangkul anaknya sambil meringis, memandang Pak-san-kui sambil tersenyum pahit.

   "Kepandaian murid-murid locianpwe amat hebat, aku mengaku kalah,"

   Katanya sambil menghampiri isterinya dan begitu bertemu pandang,

   Tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya kena pukulan dan tahulah pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas bahkan marah kepadanya! Pak-san-kui tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas tamparan dari Sin Liong. Melihat betapa tiga orang muridnya hanya terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia tersenyum kembali. Pendekar Lembah Naga itu menang sedikit dibanding tiga orang muridnya, akan tetapi masih jauh kalau harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu bahwa dia masih lebih lihai daripada pendekar yang disohorkan sampai ke istana kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan dalam diri Sin Liong kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya. Maka diapun cepat menjura.

   "Ah, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang akan mampu bertahan sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari tiga orang muridku, apalagi sampai mengalahkan mereka. Hebat. sicu hebat dan aku girang sekali telah mengundang sicu dan menjadi sahabat sicu!"

   Diam-diam Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia sahabat! Dia harus berhati-hati menghadapi kakek seperti ini. Kelak, kalau ada kesempatan, ingin dia menguji sampai di mana kehebatan kepandaian kakek ini.

   Sin Liong lalu minta diri, dan sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan bungkusan-bungkusan uang dan pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong menolak dengan halus dan setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor kuda itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang dan kemarahan orang. Maka berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun. keluarga Ciu Khai Sun menyambut dengan girang bukan main karena mereka semua sudah khawatir akan apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong. Kui Lan dan Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu dan sebaliknya, Bi Cu tadinya masih kurang senang kepada mereka karena kematian suhengnya, Na Tiong Pek dan menikahnya Kui Lin dengan Ciu Khai Sun. Akan tetapi, ketika meninggalkan taman itu,

   Sin Liong menceritakan semuanya dan Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga bersyukur bahwa kini dua orang kakak beradik kembar itu telah hidup rukun dan penuh cinta bersama suami mereka. Juga Sin Liong menceritakan alasannya mengapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi sehingga Bi Cu dapat mengerti, apalagi Han Tiong juga diperbolehkan mendengar sehingga anak itupun dapat mengerti bahwa ayahnya sama sekali tidak kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat memaklumi dan bahkan membenarkan ayahnya. Karena pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa hari kemudian dia telah meninggalkan Lok-yang dan mengajak anak isterinya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di sebelah utara kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja.

   "Omitohud... Thian Sin, mengapa pinceng melihat engkau demikian tekun mempelajari ilmu silat sampai jauh malam belum tidur?"

   Thian Sin yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah sinar bulan purnama malam itu, terkejut ketika melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu. Dia lalu menjatuhan diri berlutut di depan hwesio itu.

   "Paman, ayah dan ibu sendiri yang telah memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat celaka oleh perbuatan orang-orang jahat, maka aku ingin mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai celaka seperti yang dialami oleh ayah dan ibu."

   "Omitohud... pikiran yang sungguh menyeleweng daripada kebenaran. Hapus dan keringkan keringatmu dan masuklah ke pondok, mari kita bicara, anakku."

   Hwesio itu lalu melangkah pergi memasuki pondok. Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai kembali bajunya karena tadi ketika dia berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak basah oleh peluh. Tak lama kemudian dia telah duduk berhadapan dengan pamannya yang duduk bersila di alas papan sedangkan Thian Sin juga duduk bersila di atas lantai rendah yang dilapisi papan.

   "Dengarlah baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang mencelakakan orang dan betapapun tinggi kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi daripada dirinya. Setiap orang manusia itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, di samping kelebihan yang membuat dia menang atas diri lain orang terdapat kekurangan, yang akan menjatuhkannya. Celaka atau tidaknya seseorang, tersangkut atau tidaknya dia dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau kepandaian lainnya lagi. Kesemuanya itu tergantung dalam tangan si orang sendiri. Ilmu dapat saja menjadi alat, untuk bermusuhan, saling serang dan saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu anugerah bagi manusia. Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja ilmu silat adalah ilmu olah raga yang menyehatkan manusia lahir batin karena ilmu ini bukan hanya latihan jasmani belaka, melainkan ada hubungannya yang erat dengan latihan batin. Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia dapat melindungi dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat yang hendak membunuh dan menyakitinya, dan sebagainya. Selain itu dengan ilmu silat inipun manusia dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat dan sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah. Nah, sama sekaii jangan kau anggap bahwa ilmu silat harus setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Kalau engkau tidak ingin mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki ilmu silat sedikitpun tidak mengapa."

   "Tapi, paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar belaka? Seperti paman sendiri yang menjadi kakak dari ibu, paman memiliki ilmu silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang pendekar untuk menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman."

   "Omitohud... anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar mana penjahat! Yang menentukan kependekaran seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku hidupnya. Betapapun tinggi ilmu silatnya, kalau dia mempergunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk mengejar kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi seorang penjahat! Seorang pendekar adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap perbuatannya ditujukan untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah tertindas."

   "Kalau mendiang ayah... apakah dia seorang pendekar, paman?"

   Sepasang mata anak itu bersinar-sinar tertimpa cahaya lilin dan di dalam hatinya yang penuh belas kasih itu Hong San Hwesio mengeluh.

   "Mendiang ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah ditemukan tandingan di dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar kedudukan setinggi-tingginya sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak, ayahmu tidak dapat dinamakan seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau harus pandai belajar menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Akan tetapi, ayahmu itu mempunyai seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang pendekar besar dan sekarangpun dijuluki orang Pendekar Lembah Naga."

   Sepasang mata yang tadinya agak muram mendengar jawaban tentang ayahnya yang mengecewakan hatinya itu kini bersinar-sinar kembali.

   "Benarkan, paman? Ayah dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya adik angkat ayah itu?"

   "Namanya adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong, pendiri Cin-ling-pai..."

   "Ahhh...!"

   Thian Sin berseru heran.

   "Ibu telah bercerita tentang kakek buyut Cia Keng Hong, kakek luar dari ibu, dan ibu telah banyak bercerita tentang keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar kenamaan seperti paman kakek Cia Bun Houw yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak pernah bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu. Bukankah dia terhitung pamanku sendiri pula?"

   "Benar, dia adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu, diapun adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena pernah terjadi bentrok antara ayahmu dan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita tentang dia kepadamu."

   "Bentrok? Antara saudara misan dan saudara angkat?"

   "Omitohud... memang asap tak dapat dibungkus, rahasia tak perlu ditutup-tutup, dan sekali menceritakan yang satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan, yaitu melakukan pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justeru merupakan seorang pendekar sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara mereka..."

   "Dan agaknya... agaknya... dia tentu lebih lihai daripada ayah!"

   Kembali hwesio itu menarik napas panjang.

   "Begitulah, akan tetapi hanya sedikit selisihnya. Padahal, sesungguhnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa. Sayang ayahmu..."

   "Hemm, ayah memang orang lemah dan menyeleweng!"

   Tiba-tiba Thian Sin berkata, mengejutkan Hong San Hwesio, akan tetapi lalu anak itu berkata lagi.

   "Paman, aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!"

   "Hal itu bukan tidak mungkin. kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera dan isi kitab-kitab suci yang telah kuajarkan kepadamu, Thian Sin. Kelak, bukan tidak mungkin kau akan bertemu dengan dia."

   Semenjak hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu silat lebih tekun lagi. Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan dari Hong San Hwesio, maka setelah setengah tahun dia tinggal di situ, terjadi banyak perubahan pada diri anak itu.

   Dia menjadi anak yang pendiam, tak banyak bicara, dan tekun mempelajari kitab-kitab agama dan ilmu membaca dan menulis. Di waktu malam, sering kali dia meniup sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar merdu dan seperti mengandung rintihan sehingga diam-diam Hong San Hwesio kalau mendengar suara ini suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Thian Sin seperti biasa dengan rajin menyapu daun-daun pohon membersihkan halaman kelenteng, merasa segar setelah tadi berlatih samadhi lalu mandi air dingin. Maka dia menyapu sambil berdendang. Lagu-lagu banyak dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu saja kata-kata lagunya juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha, akan tetapi juga condong kepada Agama To.

   "Kata-kata bijasana tidak berbunga
kata-kata berbunga tidak bijaksana,
sang budiman tidak melawan
yang melawan tidak budiman,
sang arif bijaksana tidak terpelajar
yang terpelajar tidak arif bijaksana!"

   Suara yang bening itu dinyanyikan perlahan namun amat jelas terdengar satu-satu di pagi hari yang sunyi itu, disambut suaara burung yang berkicau dan berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon.

   "Bagus sekali...!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang memuji. Thian Sin cepat menengok dan dia melihat seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, bersikap sederhana pula, laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, mukanya bundar tampan, dan matanya tajam. Wajah yang ramah dan mulut yang tersenyum jenaka.

   "Nyanyianmu indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari To-tik-khing. Semuda engkau sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah engkau tahu pula artinya?"

   Thian Sin mengira bahwa orang ini tentu seorang tamu yang hendak sembahyang dan melihat wajah yang tampan dan bersih itu, diapun merasa suka. Dia tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio,

   "Omitohud, dapat mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung beo belaka? Aku mempelajari kata- kata nyayiannya, sambil mempelajari pula artinya."

   "Bagus sekali, anak baik. Nah, apa artinya kalimat pertama : Kata-kata bijaksana tidak berbunga dan kata-kata berbunga tidak bijaksana itu?"

   Thian Sin sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan pamannya, sedikit hanyak dia sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat suci jaman kuno. Dia mengerutkan alisnya dan wajahnya yang tampan sekali itu kelihatan seperti seorang ahli pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti seorang ahli sajak yang pandai.

   "Kata-kata yang baik dan dapat dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk dan merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tak dapat dipercaya kebenarannya."

   "Bagus, sekarang kalimat ke dua : Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak budiman?"

   Orang itu mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini.

   "Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, maka tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan."

   Orang itu nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu, sinar matanya memandang penuh kagum.

   "Anak yang amat baik... lanjutkan... lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi : Sang arif bijaksana tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?"

   Thian Sin terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya.

   "Wah, yang ini aku sendiri masih bingung dan sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau tahu bagaimana artinya, paman yang baik?"

   "Artinya amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka tidak membuat orang menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesatu yang baru dan karenanya arif bijaksana. Mengertikah engkau, sobat kecil?"

   Thian Sin menggeleng kepala.

   "Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti."

   "Bagus! Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?"

   "Namaku Thian Sin, she Ceng..."

   "She Ceng?"

   Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali.

   "Omitohud... selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu pekerjaan, baru mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat selesai dengan sempurna..."

   "Lie Seng Koko...!"

   Tiba-tiba orang itu maju dan memberi hormat kepada Hong San Hwesio yang baru muncul dan menegur Thian Sin.

   "Apa? Siapa...? Omitohud...!"

   Dia merangkapkan kedua tangan depan dada dan memandang kepada orang itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri.

   "Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang...!"

   "Pendekar Lembah Naga...!"

   Thian Sin berseru dan kini dia memandang kepada Sin Liong dengan mata terbelalak. Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu.

   "Benar, Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin Liong, dia ini adalah Ceng Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw..."

   Wajah Sin Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan "mendiang"

   Itu. Sejenak dia bertemu pandang dengan hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin dan memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya, hatinya terharu bukan main.

   "Thian Sin... anakku yang baik... keponakanku..."

   Demikian bisiknya.

   "Ayah, siapakah dia?"

   Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya. Kiranya dia sudah muncul bersama ibunya. Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari keterangan lebih dulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu. Mendengar suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia bangkit, kedua matanya basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya,

   "Lie Seng toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapekmu."

   Bi Cu dan Han Tiong cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil membalas penghormatan itu.

   "Omitohud... betapa menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih atas kunjungan kalian... mari silakah masuk, kita bicara di dalam."

   Dengan amat ramahnya Hong San Hwesio menggandeng tangan Han Tiong dan mempersilakan Sin Liong dan isterinya memasuki bangunan di sebelah kiri kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio termasuk Hong San Hwesio yang menjadi ketua di situ. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu berkata,

   "Engkaupun ikut masuk, Thian Sin. Marilah!"

   Biarpun agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang sejak lama dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah Thian Sin berseri dan diapun ikut masuk bersama-sama. Setelah mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak sabar Sin Liong lalu bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang telah terjadi dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin berada di situ. Hong San Hwesio menarik napas panjang.

   "Omitohud..., segala macam sebab di dunia ini berada di telapak tangan manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa manusia dapat berbuat apapun untuk menolaknya. Segala sesuatu telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa..." Kemudian diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri. Betapa suami isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu diserbu oleh pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya itu bersama suaminya yang melihat ancaman bahaya sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk mengantarkan Thian Sin ke kuilnya.

   "Demikianlah cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di sini."

   Hwesio itu mengakhiri penuturannya. Tidak karuan rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu.

   Tadinya, hatinya masih selalu menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai musuh, bahkan akhirnya, dia merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu amat keras dan ampuhnya. Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan itu. Ketika dia berniat mengunjungi Lie Seng, memang sudah ada niat di hatinya untuk menanyakan kepada kakak misan ini tentang keadaan Lie Ciauw Si dan tentang Ceng Han Houw yang disangkanya tentu telah tewas itu. Siapa kira, ternyata kakak angkatnya itu tidak tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang putera! Akan tetapi kegirangan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa kakak angkatnya itu akhirnya tewas pula, secara menyedihkan karena tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan dari kerajaan!

   

Pendekar Lembah Naga Eps 9 Pendekar Lembah Naga Eps 45 Pendekar Lembah Naga Eps 49

Cari Blog Ini