Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 51


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 51



Terjadi perang hebat di dalam batinnya, antara kebenciannya yang meluap terhadap Keng Hong dan kesadarannya akan kenyataan betapa dia telah mendatangkan malapetaka hebat kepada bekas sahabat itu. Dia tidak menyesal kalau Keng Hong terbunuh, bahkan dia ingin membunuhnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi kalau dia teringat betapa Biauw Eng terbawa-bawa, betapa anak perempuan mereka pun terancam bahaya maut, benar-benar hal ini membuat Cong San menjadi gelisah sekali. Betapa mungkin dia akan mencegah kalau Cui Im membunuh Biauw Eng dan anaknya? Dan ucapan-ucapan yang dikeluarkan Keng Hong dan Biauw Eng tadi! Bagaimana kalau cemburunya tidak berdasar kenyataan dan bahwa semua itu diperbuat dengan sengaja oleh Cui Im? Dia mengenal betapa keji dan liciknya wanita iblis itu.

   Akan tetapi, surat dapat dipalsu, dan mungkin tanda keperawanan Yan Cu benar hilang oleh tendangan Go-bi Thai-houw, akan tetapi pertemuan dekat telaga antara Keng Hong dan Yan Cu dahulu itu? Mana mungkin dipalsukan? Dia melihat sendiri, jelas Yan Cu yang dikenal dari pakaian dan bentuk tubuhnya. Dan Keng Hong pun dia kenal benar. Mereka berciuman, begitu mesra....... bayangan ini membuat darah Cong San mendidih lagi, membuat cemburunya seperti api disiram minyak, berkobar membuat sesak napasnya dan panas tubuhnya. Dia merasa panas dan keluar dari kamarnya, memasuki taman mencari hawa sejuk dan untuk menenangkan pikirannya. Dia harus minta agar Yan Cu dibebaskan sekarang juga. Setelah Keng Hong tertangkap, tidak perlu lagi isterinya ditawan. Dia akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Yan Cu. Kalau isterinya itu masih ingin melanjutkan hubungan suami isteri, dia akan memaafkan semua.

   Kalau ingin memutuskan, terserah. Dia akan melanjutkan hidup untuk puteranya yang dia titipkan di kuil Siauw-lim-si. Dia harus menemui Cui Im dan minta agar Yan Cu dibebaskan. Adapun Biauw Eng dan anaknya itu, setelah lewat tiga hari, akan dia tuntut kepada Cui Im agar dibebaskan pula. Kalau Cui Im memaksa hendak mengganggu mereka, atau bahkan membunuh mereka, dia akan membela dan mempertaruhkan nyawanya! Biauw Eng masih merupakan sahabatnya yang harus dia bela dengan taruhan nyawa! Keputusan hati ini membuat Cong San tidak merasa begitu menderita batinnya. Dia merasa terhibur bahwa sesungguhnya dia tidaklah jahat! Tidak, dia tidaklah kejam! Kalau dia bersekutu dengan Cui Im untuk menjebak dan menangkap Keng Hong, hal itu hanya dilakukannya untuk membalas dendam kepada Keng Hong.

   Dan dia tidak jahat karena memang manusia seperti Keng hong itu patut dibunuh! Perang di dalam hati Cong San ini sama sekali tidaklah aneh dan dapat diselidiki bahwa hal itu terjadi setiap hari, setiap saat bahkan setiap detik di dalam hati semua manusia! Tidak seorang pun manusia yang suka mengaku, baik dalam hatinya apalagi dalam mulutnya, bahwa dia melakukan sebuah perbuatan yang dianggap jahat oleh hukum masyarakat, dia tentu akan membela diri dan mencari alasan-alasan yang menguatkan keyakinannya bahwa dia tidak jahat, bahwa perbuatannya itu dilakukan karena terpaksa, dan lain-lain. Mata manusia ditujukan untuk memandang keluar sehingga tentu saja yang dilihatnya hanyalah kesalahan orang-orang lain yang berada di luar dirinya.

   Tak pernah sedetik pun mata manusia ditujukan ke dalam untuk mengenal dirinya, untuk melihat isi hati dan isi pikirannya, untuk menangkap basah kekotoran-kekotoran yang berkecamuk dalam dirinya, untuk mengenal kesalahan-kesalahan pada dirinya yang tidak berbeda, tidak lebih sedikit, daripada kesalahan-kesalahan orang lain yang dilihat oleh matanya. Kalau saja manusia suka melatih matanya untuk sewaktu-waktu ditujukan ke dalam! Tentu takkan seperti sekarang ini ketegangan dan permusuhan yang selalu memenuhi hubungan antara manusia. Akan tetepi kenyataannya tidak demikian. Semua mata ditujukan keluar selalu, untuk mencari dan menemukan kesalahan-kesalahan lain orang. Sayang!

   Seorang manusia yang suka melatih diri, menutup mata telinga terhadap hal-hal di luar dirinya, membuka telinga batin untuk mengenal sifat-sifat dirinya pribadi, orang demikian ini akan sadar bahwa dirinya tidaklah lebih baik atau lebih jahat daripada orang lain dan kesadaran ini akan menimbulkan perasaan senasib sependeritaan, akan menciptakan kasih sayang yang murni antar manusia, melenyapkan iri dan dengki, mengusir benci yang menjadi sumber daripada segala kesengsaraan dan penderitaan hidup. Kebencian membayangkan kegelapan neraka, sebaliknya cinta kasih menyinarkan cahaya sorga. Akan tetapi, memaksa diri melenyapkan benci, memaksa diri memelihara cinta, akan menimbulkan pertentangan dan persoalan baru yang akan berakhir dengan kegagalan. Mengubah benci dengan cinta tak dapat dipaksakan,

   Melainkan berlangsung sewajarnya melalui kesadaran yang lahir dari dalam, dan kesadaran ini akan didapat apabila manusia tekun membuka mata batin dan belajar mengenal diri pribadi dan membebaskan diri daripada belenggu keakuan yang akan mengaburkan pandangan mata batin sehingga yang ingin dikenal hanyalah kebaikan-kebaikan dirinya sendiri saja! Tiba-tiba Cong San menggerakkan kepalanya. Telinganya menangkap gerakan orang dan ketika dia melihat seorang laki-laki muda berjalan melenggang melalui lorong yang menghubungkan bangunan besar dengan belakang, hatinya berdebar penuh kaget. Cia Keng Hong! Bagaimana Keng Hong dapat lolos? Dan agaknya sedang menuju ke bangunan belakang di mana terdapat kamar tahanan Yan Cu! Ataukah Keng Hong berhasil meloloskan diri dan kini hendak mencari kamar Cui Im? Mungkin juga.

   Akan tetapi, dia lebih percaya bahwa tentu Keng Hong yang berhasil membebaskan diri itu pertama-tama hendak menolong kekasihnya, Yan Cu. Hatinya menjadi panas lagi dan dengan amat hati-hati karena maklum akan kelihaian Keng Hong, Cong San bergerak dari tempatnya dan membayangi dari belakang. Cong San mengintai dengan mata terbelalak penuh keheranan ketika melihat bayangan itu mengetuk pintu kamar Cui Im, mendapat jawaban halus dari dalam kemudian memasuki kamar. Dari penerangan di depan kamar itu dia mendapat kenyataan bahwa orang itu bukanlah Keng Hong, sungguhpun wajah dan bentuk badannya serupa benar dengan Keng Hong. Orang itu adalah seorang laki-laki muda tampan yang tersenyum dengan kilatan mata penuh gairah ketika memasuki kamar Cui Im!

   Kalau saja laki-laki itu tidak serupa benar dengan Keng Hong, tentu Cong San sudah pergi lagi, kembali ke kamarnya. Dia sudah cukup mengenal watak Cui Im, iblis betina yang cabul dan gila laki-laki dan tidaklah mengherankan kalau malam-malam Cui Im memasukan seorang laki-laki tampan. Akan tetapi, keadaan orang muda itu membuat jantung Cong San berdebar. Mengapa begitu serupa dengan Keng Hong? Dan orang itu yang memiliki gerakan bisa saja, bagaimana dapat memasuki tempat ini yang terjaga ketat oleh para pengawal? Hal ini hanya membuktikan bahwa laki-laki itu memang tinggal di dalam gedung, akan tetapi mengapa dia yang telah beberapa hari berada di situ tak pernah melihatnya! Melihat pakaian pemuda itu yang mewah seperti pakaian seorang bangsawan pelajar, tak mungkin dia itu seorang pengawal atau pegawai biasa!

   Bermacam-macam dugaan yang mendebarkan jantung membuat Cong San menyelinap, mendekati kamar itu dengan hati-hati sekali. Dia maklum betapa lihainya Cui Im, dan sedikit suara saja akan cukup membuat wanita iblis itu tahu bahwa ada orang di luar kamarnya. Dengan hati-hati sekali, tanpa mengeluarkan suara, dia berhasil mendekati jendela kamar dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya untuk menangkap suara di dalam kamar. Dia berhasil. Di samping suara orang bercumbu, dengus dan tawa penuh nafsu berahi, dia mendengarkan percakapan yang membuat matanya terbelalak, wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, dan dengan susah payah dia menekan perasaannya agar pernapasannya tidak menjadi sesak dan jangan sampai terdengar dari kamar itu.

   "Ihhhhh, kau seperti harimau kelaparan saja! Baru juga sepekan......... bukankah kukatakan bahwa kau harus menjauhkan diri dariku lebih dulu dan bersembunyi saja di kamarmu? Kalau sampai Cong San tahu........"

   "Aduh, Sianli! Dewiku, kekasihku, pujaan hatiku. Masa kau begitu tega? Hampir aku mati karena rindu padamu........ ahhhhh, kau begini cantik jelita, begini menggairahkan, begini harum.......! Engkau tentu dapat menghargai semua bantuanku, bukan? Ha-ha-ha, engkau benar-benar cerdik luar biasa. Si tolol Cong San itu benar-benar dapat tertipu! Ingin sekali sebelum kau membunuh Keng Hong, aku bertemu dengan orang yang hampir serupa dengan diriku itu. Apakah dia benar-benar seperti aku, Sianli?"

   "Ah, tentu saja kau lebih tampan!"

   Terdengar Cui Im cekikikan di antara suara ciuman.

   "Kenapa tidak segera kau bunuh saja dia yang amat berbahaya itu? Kalau sampai dia dapat lolos, akan sia-sia semualah segala usaha kita menipu Cong San dan memancing dia datang. Kau benar-benar pandai bersandiwara, dewiku. Ketika kau menyamar sebagai Yan Cu di dekat telaga itu....... ha-ha-ha, dan aku sebagai Keng Hong.........aihhh, benar-benar romantis ketika kita bercumbu. Sayang kau segara membawaku lari pergi, tidak melanjutkan........."

   "Hushhh, gila kau! Kalau Cong San melihat bahwa yang bercumbu itu adalah engkau dan aku, bukan Keng Hong dan Yan Cu, apa artinya semua siasat kita? Engkau pun hebat, pandai sekali engkau memalsu gaya tulisan orang. Benar-benar seorang siucai yang luar biasa!"

   Cong San berdiri menggigil di luar jendela kamar. Pandang matanya berkunang dan dia memejamkan matanya karena segala di depannya berputar. Seolah-olah kedua matanya dibuka orang, seolah-olah baru sekarang dia terbebas dari kebutan. Keng Hong dan Biauw Eng benar! Yan Cu tidak berdosa! Dan apa yang telah dia lakukan?

   "Ya Tuhan.....!!"

   Hatinya merintih dan air mata bercucuran di atas kedua pipinya yang pucat. Ia tetap memejamkan kedua matanya. Malu dia membuka matanya. Malu melihat dunia. Malu menghadapi kenyataan. Dan dia menghina isterinya, memakinya, menuduhnya melakukan perbuatan jinah dengan Keng Hong!

   Dia mencemarkan nama dan kehormatan isterinya yang tak berdosa, seolah-olah dia melumuri setangkai bunga seruni putih bersih dengan lumpur kotor, membenamkan bunga itu dalam kotoran dengan kedua tangannya yang kejam! Dan dia telah memaki dan menghina Keng Hong, pendekar sakti yang budiman itu, yang dalam keadaan terhina masih tidak mau mencelakakannya, tidak mau melawannya ketika diserang! Dan dia bersekutu dengan Cui Im, menipu Keng Hong menggunakan siasat busuk, menggunakan anaknya sebagai umpan! Dan dia mencelakakan Biauw Eng yang sama sekali tidak berdosa, seorang isteri yang setia dan mencinta suaminya, seperti Yan Cu! Dan dia kini menyeret pula Giok Keng, anak mereka yang masih bayi, ke dalam cengkeraman iblis betina Cui Im!

   "Ya Tuhan..... apakah yang telah kulakukan semua itu........??"

   Lamat-lamat telinga Cong San masih menangkap suara cumbu rayu yang kini amat menjijikan hatinya.

   "Dewiku, lebih baik Keng Hong segera kau bunuh. Akan tetapi isterinya........ dan Yan Cu, aduh mereka amat cantik, sungguh sayang kalau dibunuh begitu saja........."

   "Ihhhhh, dengan aku dalam pelukanmu kau masih sempat memikirkan perempuan lain?"

   "Aduhhh! Ahhh, jangan terlalu keras mencubit, sayang. Lihat, pahaku sampai biru. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sayang sekali......."

   "Sudah kuputuskan untuk menyerahkan mereka kepada para pengawal agar diperkosa beramai-ramai sampai mati!"

   "Wah, sayang sekali! Mengapa begitu? Sebelum diobral kepad tikus-tikus pengawal itu, lebih baik kalau dihadiahkan dahulu kepadaku untuk beberapa malam.........."

   "Biauw Eng sudah kujanjikan kepada Mo-kiam Siauw-ong........"

   "Dan Yan Cu? Dia cantik sekali. Aku mengintai dari jendela kamar tahanannya, hem.....biarpun tidak secantik engkau, aku mengilar dibuatnya, Sianli, kau berikanlah dia kepadaku lebih dulu sampai aku puas, baru......."

   "Sudahlah, nanti mudah diatur. Sekarang aku ingin kau mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatianmu untuk diriku seorang!"

   Cong San mengepal tinjunya sampai ujung-ujung kukunya membikin lecet telapak tangannya. Kalau di tidak dapat menekan hatinya dan mengerjakan otaknya, tentu dia sudah memecahkan jendela itu dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi dia menahan diri karena maklum bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu dia akan roboh di tangan Cui Im. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati Cong San. Dia terduduk di atas lantai bawah jendela dan tak bergerak seperti patung. Penyesalan yang amat hebat membuat seluruh tubuhnya kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, kadang-kadang lemas dan lumpuh dan ada kalanya tubuhnya menegang dilanda kemarahan. Menjelang pagi, dia mendengar suara laki-laki itu.

   "Tidurlah, Sianli. Aku akan kembali ke kamarku sebelum pergi. Ahhh, aku puas sekali, terobatilah rinduku, aku lelah dan mengantuk sekali aaahhhhh........."

   Laki-laki itu menguap dan terdengarlah langkah kakinya berat diseret meninggalkan kamar. Cong San tidak mendengar jawaban Cui Im. Tentu iblis betina itu telah tidur pulas. Dengan mata sipit karena kantuk dan kaki diseret karena lelah pemuda yang bukan lain adalah Coa Kun sampai di lorong yang menghubungkan bangunan belakang dengan bangunan besar, berjalan menuju ke kamarnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Cong San telah berdiri di depannya dengan mata menyinarkan maut dan rambut awut-awutan seperti orang gila! Coa Kun terkejut dan hendak berteriak, akan tetapi Cong San mendahuluinya, menotok jalan darah di dada membuat pemuda bangsawan itu lumpuh dan tak berdaya diseret ke dalam taman dan dibungkam mulutnya.

   "Manusia hina, hayo ceritakan apa yang telah kau lakukan dengan surat-surat palsu itu dan penyamaranmu sebagai Keng Hong!"

   Cong San mendesis dekat telinga pemuda itu dan mengendurkan bungkaman pada mulutnya. Menggigil seluruh tubuh Coa Kun seolah-olah dia mendadak diserang dingin yang luar biasa. Dengan gagap dia menjawab,

   "Ampun......., aku........ aku hanya melakukan perintah Cui Im....... aku.......... aku......... aku tidak tahu apa-apa.........."

   "Jawab! Apa yang terjadi dengan persuruh Keng Hong yang mengantarkan surat kepadaku?"

   "Dia.......... di....... dibunuh......... aku dipaksa memalsukan suratnya........."

   "Dan surat tulisan Yan Cu?"

   "Aku........ dipaksa menulis surat palsu........., mencontoh tulisan istrimu......... dari resep obat........"

   "Dan dekat telaga itu? Kau dan Cui Im menyamar sebagai Keng Hong dan isteriku? Jawab!"

   Coa Kun sudah terkencing-kencing ketakutan sampai celananya basah dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk.

   "Prokkkkk!!"

   Tangan Cong San menampar dan sekali pukul pecahlah kepala Coa Kun. Cong San masih belum puas dan menghujani tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu dengan pukulan dan tendangan sehingga remuk-remuk tulang tubuh pemuda bangsawan yang menjadi korban nafsu berahinya itu! Kemarahan menimbulkan kebencian hebat di hati Cong San, dan kebencian menimbulkan kekejaman mengerikan.

   "Hemmm, akhirnya kau tahu juga, manusia tolol!"

   Cong San membalik dan ketika dia memandang kepada Cui Im, matanya seperti mengeluarkan api dan napasnya seperti uap panas.

   "Iblis engkau.......! Iblis kejam......!"

   Hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Cong San. Kemarahan dan kebencian yang terdorong oleh penyesalannya mencekik leher. Dia menubruk maju, menyerang dengan sepasang Im-yang-pit di kedua tangannya. Tentu saja Cui Im dapat mengelak dengan mudah. Sambil berkelebat kekanan kiri menghindarkan sambaran kedua senjata di tangan Cong San, Cui Im mengejek,

   "Engkau tahu atau tidak, aku memang sudah mengambil keputusan untuk membunuhmu pula. kau kira hanya Keng Hong dan Biauw Eng saja yang kukehendaki nyawanya? Hi-hi-hik! Engkau dan Yan Cu juga termasuk hitungan! Kalian berempat adalah musuh-musuh besarku. Hi-hi-hik! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau telah berjasa dan membantuku, Hemmmmm.......... agaknya aku akan dapat mengampuni nyawamu asal engkau suka melayani aku. Engkau tampan, lebih menarik daripada Coa Kun yang telah kau bunuh itu. Bagaimana?"

   "Iblis cabul, perempuan hina!"

   Cong San menerjang lagi dan terpaksa Cui Im bersikap hati-hati karena biarpun dia memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi,

   Namun Cong San bukanlah seorang pendekar sembarangan, melainkan seorang pendekar perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Siauw-lim-pai. Betapapun juga, Cong San bukanlah lawan Cui Im. Dalam keadaan tenang saja Cong San masih kalah untuk dapat menandingi Cui Im. Apalagi dalam keadaan marah seperti itu. Kemarahan merupakan pantangan besar dalam setiap pekerjaan dan setiap perbuatan, karena kemarahan menimbulkan kelengahan dan menggelapkan akal. Di dalam kemarahannya yang meluap-luap itu, serangan Cong San lebih terdorong oleh nafsu membunuh daripada terkendalikan oleh akal, dan boleh jadi serangan-serangannya menjadi lebih berbahaya karena nekat, namun dia menjadi lengah dan tidak lagi mempedulikan segi penjagaan diri.

   Keributan itu menarik datangnya para pengawal dan keadaan menjadi geger ketika mereka melihat betapa Coa-kongcu telah menggeletak menjadi mayat sedangkan Yap Cong San yang tadinya menjadi tamu itu bertempur melawan Cui Im. Melihat datangnya banyak orang, Cui Im membatalkan niatnya mempermainkan Cong San dan ia mencabut pedang merahnya. Tampak sinar merah berkelebat menyilaukan mata tersorot obor-obor yang dibawa oleh para pengawal. Dengan mempermainkan pedangnya yang hebat, ditambah tenaga sinkangnya yang lebih kuat, dalam belasan jurus saja pedang di tangan Cui Im berhasil membabat patah kedua pit di tangan Cong san, kemudian tangan kiri Cui Im menotok dan robohlah Cong San! Para pengawal yang dipimpin Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang hendak menghujani tubuh Cong San dengan senjata, akan tetapi Cui Im membentak,

   "Jangan bunuh dulu! Ikat dia dan seret dalam kamar tahanan bersama dua orang tawanan! Juga Yan Cu seret ke sana, jadikan satu dalam kamar tahanan itu!"

   Tidak ada yang berani membantah dan tubuh Cong San segera diikat kuat-kuat dan diseret ke dalam kamar tahanan dalam keadaan pingsan. Cong San roboh pingsan bukan oleh totokan yang melumpuhkan kaki tangannya, melainkan oleh pukulan batin yang menimbulkan penyesalan yang menyesak dada. Dia tidak melihat betapa Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya,

   Kemudian suami isteri itu saling pandang dengan heran akan tetapi kemudian pandang mata mereka terhadap Cong San masih penuh dengan kemuakan. Juga Cong San tidak tahu betapa tak lama kemudian isterinya, Yan Cu, dalam keadaan terbelenggu erat-erat diseret pula ke dalam kamar itu. Yan Cu menangis ketika melihat Keng Hong dan Biauw Eng, juga suaminya, telah menjadi tawanan di situ. Cong San mengeluh lirih dan membuka matanya. Ia tidak dapat menggerakan kaki tangannya yang terbelenggu pada sebuah pilar di dalam ruangan besar itu. Disapukannya pandang matanya ke sekeliling dan matanya terbelalak memandang isterinya yang terbaring di atas sebuah dipan, juga kaki tangannya terbelenggu dan terpentang ke kanan kiri, setiap kaki dan tangan terikat pada empat buah kaki dipan dan tubuhnya dalam keadaan terlentang.

   "Isteriku.........!"

   Naik sedu sedan dari dadanya. Yan Cu menoleh. Hanya kepalanya saja yang dapat ia gerakan. Ia memandang suaminya dengan pandang mata penuh cinta kasih dan kedukaan, pandang mata yang lebih runcing daripada ujung sebatang pedang pusaka, yang langsung menusuk jantung Cong San.

   "Suamiku........"

   Yan Cu berkata lirih dan dalam sebutan ini terkandung semua perasaan hati yang mencinta yang menyediakan beribu kali maaf terhadap suaminya.

   "Yan Cu....... aku........ aku berdosa padamu...... aku........ aku........!"

   Cong San tak dapat melanjutkan kata-katanya dan air matanya bercucuran membuat matanya tak dapat melihat lagi.

   "Sudahlah, Koko. Syukur bahwa di saat terakhir engkau telah sadar. Kita bersama menghadapi kematian........ tidak ada apa-apa yang kusesalkan.........."

   "Yan Cu........!"

   Ucapan isterinya yang penuh maaf dan kerelaan itu seperti meremas hati Cong San.

   "Hanya menyesal sekali bahwa suheng dan isterinya terbawa-bawa........"

   Kata pula Yan Cu. Mendengar ini, baru sekarang Cong San melihat bahwa Biauw Eng juga berada dalam keadaan seperti isterinya, terlentang di atas sebuah dipan dan terbelenggu kaki tangannya yang terpentang. Keng Hong berdiri tak jauh dari situ, terikat pula kaki tangannya pada pilar, seperti dia. Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.

   "Keng Hong........ aku berdosa besar padamu. Aku minta ampun karena dosaku tak mungkin dapat diampuni. Terlalu besar, terlalu hina dan aku rela kalau isteriku, engkau dan isterimu mengutukku. Tak mungkin kalain dapat mengampuniku, juga tidak Tuhan sendiri! Aku sendiri tidak dapat mengampuni dosaku......"

   Cong San terisak-isak seperti seorang anak kecil.

   "Cong San, perbuatanmu terhadap aku tidak ada artinya bagiku. Engkau melakukannya dalam keadaan gila oleh cemburu. Aku dapat memahaminya, karena aku pun pernah menderita penyakit cemburu yang amat berbahaya itu. Akan tetapi yang amat menyakitkan hatiku adalah perbuatanmu terhadap Sumoi. Engkau benar-benar telah melakukan sikap yang amat keji dan kejam terhadap Sumoi. Engkau patut dihajar!"

   "Keng Hong....."

   Cong San mengguguk.

   "Kalau engkau dapat melepaskan diri..... kau..... aku bunuhlah aku........ aku akan rela........."

   "Cukup semua sikap dan ucapan kosong ini! Apa artinya penyesalan diri setelah terlambat? Kita semua mengalami kembali seperti dulu, berada dalam cengkeraman maut di tangan si iblis betina. Perlu apa banyak cakap lagi akan hal yang bukan-bukan? Heiii, Cui Im, lekas bunuh kami, tunggu apalagi?"

   Biauw Eng berteriak.
(Lanjut ke Jilid 47 - Tamat)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 47 (Tamat)
"Hi-hi-hik!"

   Cui Im tertawa dengan wajah berseri gembira sekali. Dia duduk di atas sebuah kursi dan di sampingnya duduk Go-bi Thai-houw yang hanya termenung, seolah-olah dia tidak melihat atau mendengar semua itu, atau sama sekali tidak mengacuhkannya, seperti semua itu merupakan pertunjukan yang tidak menarik sama sekali. Mo-kiam Siauw-ong juga duduk di sebelah kiri Cui Im dan tampak pula belasan orang pengawal tinggi besar menjaga di pintu.

   "Kalian ingin lekas mati agar segera terbebas dari siksaan lahir batin. Akan tetapi aku justeru menghendaki sebaliknya, agar kalian mati sedikit demi sedikit, agar kalian tersiksa lahir batin sehebat-hebatnya. Betapa benciku kepada kalian berempat!"

   "Bhe Cui Im, perempuan rendah! Engkau telah mempermainkan aku, engkau manusia terkutuk! Engkaulah yang membuat aku menjadi gila dan berdosa. Ahhh, biarpun aku sudah mati nanti, aku akan menjadi setan dan selamanya akan kukejar engkau!"

   Cong San berteriak dan meronta, namun tubuhnya yang tertotok lemas sedangkan tali-tali yang melibat tubuhnya amat kuat. Kembali Cui Im tertawa, kini memandang Keng Hong.

   "Keng Hong, manusia keras kepala. Sampai saat terakhir engkau tidak mau menyerahkan ilmu-ilmu itu kepadaku. Baiklah, sekarang engkau dan Cong San lihat dan dengar baik-baik betapa isteri kalian yang tercinta itu ditelanjangi, diperkosa berganti-ganti sampai mati! Lihat nanti betapa mereka menggeliat tersiksa, dengar betapa mereka merintih dan mengeluh, hi-hi-hik, dan saksikan nyawa mereka pergi sedikit demi sedikit dan tubuh mereka mengalami penghinaan yang paling hebat bagi seorang wanita!"

   "Cui Im! Yang terhina bukankah kami, melainkan engkau sendiri. Lakukanlah sesukamu terhadap tubuh kami. Apa sih tubuh ini? Hanya daging darah dan tulang, hanya tanah! Engkau bisa merusak dan mengotori tubuh kami, akan tetapi jangan harap untuk memperkosa dan mengotori jiwa kami, jangan harap untuk melenyapkan cinta kasih kami terhadap suami kami masing-masing! Engkaulah yang akan tersiksa, Cui Im, tersiksa oleh iri, karena di dalam hidupmu tiada cinta, kosong dan hanya penuh oleh kotoran menjijikkan, penuh nafsu berahi dan engkau lebih hina daripada binatang, lebih sengsara daripada iblis! Kami tidak akan sengsara, karena kami berempat paham bahwa segala penderitaan badan akan berakhir, namun cinta kasih kami takkan ikut berakhir. Tertawalah selagi engkau masih dapat tertawa, Cui Im, namun di balik tawamu itu hanyalah tangis kesengsaraan hati yang terselubung kepalsuan!"

   Biauw Eng berteriak dengan lantang. Mendengar ini, wajah Cui Im berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah karena apa yang diucapkan bekas sumoinya itu tepat sekali seperti apa yang ia rasakan.

   "Lekas mulai dengan siksaan!"

   Ia berseru kepada Mo-kiam Siauw-ong.

   "Hayo lakukan, siapa saja boleh lebih dulu, aku tidak peduli lagi!"

   Mo-kiam Siauw-ong menyeringai dan memberi tanda kepada seorang pembantunya, seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bermuka buruk sekali.

   Pengawal ini mengangguk gembira dan melangkah ke arah dipan di mana Yan Cu rebah dengan kaki tangan terpentang, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menghampiri Biauw Eng. Dua orang wanita itu sudah mematikan rasa mengosongkan hati dan pikiran, memejamkan mata dan tubuh mereka itu biarpun bernyawa, sama halnya dengan sebuah mayat belaka. Dalam saat terakhir mereka telah menerima petunjuk dari Keng Hong tentang ilmu yang berdasarkan sinkang tinggi ini dan apa pun yang akan terjadi dengan tubuh mereka, sedikit pun mereka tidak akan merasakan dengan hati dan pikiran! Dengan sikap tenang Keng Hong memandang isterinya, sikap untuk menyaksikan hal yang paling hebat, akan tetapi Cong San hampir pingsan, matanya terbelalak wajahnya pucat dan dia menggigit bibirnya sampai berdarah.

   "Cong San, tenanglah dan pandang baik-baik,"

   Tiba-tiba Keng Hong berkata.

   "Yang kau cinta adalah Gui Yan Cu, manusia wanita yang bernama Gui Yan Cu, bukan sekedar tubuhnya! Apapun yang akan terjadi atas tubuh Yan Cu, cintamu tidak akan berubah. Mengertikah engkau? Jangan pedulikan apa yang tampak oleh matamu, dan serahkan segalanya kepada Tuhan setelah kita sendiri tidak berdaya melakukan usaha."

   Namun Cong San yang masih dikuasai penyesalan atas dosanya, tidak mungkin dapat bersikap seperti Keng Hong.

   "Jangan.....! Cui Im, jangan.......! Siksalah aku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan ganggu dia.......!!!"

   Ia berteriak-teriak sekuat tenaga. Keng Hong hanya menggeleng-geleng kepala dan diam saja. Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu yang sudah menerima pesan dari Cui Im, kini mematuhi perintah. Mereka tidak menubruk kedua orang wanita itu dengan buas, melainkan sengaja hendak menyiksa batin Keng Hong dan Cong San. Dengan perlahan mereka merenggut baju luar Biauw Eng dan Yan Cu.

   "Brettttt! Brettttt!!"

   Baju luar kedua orang wanita itu robek dan terlepas sehingga tampaklah baju dalam mereka yang tipis, membayangkan dada ibu-ibu muda itu yang masih terlentang dengan mata terpejam tanpa bergerak sedikit pun. Cong San terisak, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Melihat sahabatnya seperti itu lebih mengganggu hati Keng Hong daripada menghadapi malapetaka yang menimpa dia dan isterinya.

   "Cong San, benar-benarkah engkau telah menjadi seorang pengecut dalam menghadapi kematian?"

   Suara Keng Hong menggetar penuh teguran dan suara ini berpengaruh sekali karena Cong San tiba-tiba menghentikan tangisnya, bahkan dia membelalakan mata memandang ke arah isterinya, merelakan semuanya biarpun hatinya seperti ditusuk-tusuk. Tanpa mengalihkan pandang dari isterinya, dia menjawab,

   "Kalau saja hatiku tidak penuh perasaan dosa yang begini menekan, mungkin tidak seberat ini penanggunganku, Keng Hong. Semua yang menimpa dia, yang menimpa kalian, karena aku!"

   Keng Hong tidak menjawab lagi karena dia pun maklum atau dapat menyelami sendiri ketika dia sadar daripada kesalahannya terhadap Biauw Eng dahulu.

   Namun, tentu saja dibandingkan dengan kesalahannya dahulu akibat cemburu pula, tidaklah sehebat kesalahan Cong San, tidak sejauh langkah-langkah yang diambil oleh Cong San yang diracuni cemburu! Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu, dengan ditonton penuh iri dan gairah oleh para pengawal lain yang harus menanti giliran, kini dengan mata berkilat sudah mengulur tangan lagi untuk melanjutkan pekerjaan mereka menelanjangi dua orang wanita muda yang cantik jelita itu. Tiba-tiba Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu berteriak kaget dan tubuh mereka terhuyung ke belakang, bahkan pengawal itu terus roboh sambil menjerit-jerit kesakitan, mengucek-ucek matanya, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menyumpah-nyumpah dan menggosok-gosok mukanya.

   Kiranya, biarpun kaki tangannya tak dapat bergerak sedikit pun, Biauw Eng dan Yan Cu tidaklah mau menyerahkan diri begitu saja kepada nasib. Memang mereka telah mematikan rasa, namun nalurinya sebagai seorang wanita yang hendak dinodai kehormatannya membuat mereka memberontak dan hendak melawan mati-matian sebelum saat terakhir. Inilah sebabnya maka mereka menggunakan usaha satu-satunya yang dapat mereka lakukan, yaitu meludah ke arah mata orang yang menghinanya. Dengan mengerahkan tenaga dalam ludah yang menyambar dari mulut mereka tak boleh dipandang ringan. Mo-kiam Siauw-ong dapat menyelamatkan matanya dan hanya mukanya yang terasa panas seperti tertusuk benda runcing, akan tetapi pengawal itu merasa sebelah matanya seperti ditusuk-tusuk dan bukan main nyerinya, membuat dia mengaduh-aduh.

   "Omitohud........, kesesatan sekejam ini dilakukan manusia, bagaimana pinceng dapat membiarkannya saja?"

   Semua orang menjadi terkejut ketika melihat di situ telah berdiri seorang hwesio tua yang entah kapan dan dari mana datangnnya, tahu-tahu telah berada di situ dan hwesio ini sudah melangkah maju mendekati Keng Hong.

   "Tiong Pek Hosiang.......!"

   Bhe Cui Im berteriak kaget sekali ketika mengenal hwesio tua itu.

   "Engkau sudah bukan ketua Siauw-lim-pai, mau apa engkau datang dan mencampuri urusan kami?"

   "Omitohud, Ang-kiam Bu-tek, berkali-kali engkau menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Pinceng datang dan mencampuri bukan karena kedudukan atau hubungan. Perbuatan yang dilakukan berdasarkan kedudukan, hubungan atau alasan lahir lainnya adalah perbuatan palsu. Pinceng datang dan menyaksikan perbuatan manusia yang kejam terhadap manusia lain, tak mungkin pinceng ikut mendiamkannya saja karena hal itu berarti pinceng ikut membantu perbuatan kejam. hentikanlah kesesatanmu, Ang-kiam Bu-tek, masih belum terlambat bagi semua manusia yang tersesat untuk menjadi sadar akan kesesatannya dan kembali ke jalan benar."

   "Heh-heh-heh, Ouwyang Tiong, kau manusia sombong! Tidak ingatkah engkau, betapa dahulu engkau telah mengganggu isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong? Dan engkau masih berani membuka mulut memaki orang lain tersesat?"

   Tiba-tiba Go-bi Thai-houw berteriak mengejek. Tiong pek Hosiang berpaling kepada nenek itu dan merangkap kedua tangannya ke depan dada.

   "Omitohud....... siapakah yang tidak ingat akan kesesatan yang pernah dilakukannya? Namun, penyesalan saja tidaklah cukup. Oh Hian Wi, kesesatan hanya dapat di atasi oleh kesadaran akan kesesatannya. Orang yang sedang sesat adalah orang yang sedang sakit, bukan badannya yang sakit melainkan batinnya. Pinceng tidak memaki, tidak membenci, hanya menaruh kasihan karena segala kesesatan hanya akan menimbulkan kesengsaran bagi dirinya sendiri.

   "Kalau begitu, mengapa kau menentang kami?"

   Cui Im menuntut.

   "Bukan pribadimu yang pinceng tentang, Ang-kiam Bu-tek, melainkan perbuatanmu yang sesat. Sudah menjadi kewajiban pinceng untuk mencegah perbuatan kejam dari siapa pun juga terhadap siapa pun juga tanpa memandang bulu."

   Sambil berkata demikian, kakek itu menghampiri Keng Hong.

   "Berhenti!!"

   Go-bi Thai-houw berteriak dan sekali ia menggerakkan tangannya, kebutan merah di tangannya tergetar dan belasan helai bulu kebutan itu meluncur seperti anak-anak panah kecil menyambar ke arah tubuh bekas ketua Siauw-lim-pai itu. Namun kakek ini dengan tenang menggunakan tangan kirinya yang berlengan baju lebar mengebut sehingga semua bulu kebutan itu runtuh, sedangkan tangan kanannya meraba ke arah tali pengikat kedua lengan Keng Hong, merenggutnya dengan pengerahan tenaga sakti sehingga putuslah tali yang kuat itu!

   "Locianpwe, terima kasih!"

   Kata Keng Hong yang cepat menggunakan kedua tangannya mematahkan semua tali yang membelit-belit tubuhnya, kemudian dia meloncat dengan cekatan, pertama-tama dia membebaskan ikatan isterinya, kemudian membebaskan Yan Cu.

   "Kakek yang bosan hidup!"

   Cui Im berseru nyaring dan menerjang Tiong Pek Hosiang dengan pedang merahnya. Kakek itu mengelak dan mengebutkan lengan bajunya, melangkah mundur. Pada saat itu, Go-bi Thai-houw sudah melayang dari kursinya, sepasang kebutannya menyambar-nyambar dengan serangan maut ke arah Tiong Pek Hosiang. Kakek ini tidak melawan, hanya mengelak sehingga dia terdesak oleh nenek itu dan Cui Im. Ujung kebutan biru yang menyambar ganas masih mengenai pundaknya, membuat kakek itu terhuyung, namun dia sama sekali tidak balas menyerang.

   "Mampuslah!"

   Go-bi Thai-houw berteriak dan kembali sepasang kebutannya menyambar.

   "Plakkk!"

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kursi di tangan Keng Hong hancur terpukul kebutan, akan tetapi Tiong Pek Hosiang terbebas dari bahaya maut. Kakek ini segera mundur dan menarik napas panjang sambil berkata,

   "Pinceng sudah bersumpah tidak akan bertanding lagi dengan siapa pun juga. Selamat tinggal, mudah-mudahan kalian berhasil, orang-orang muda yang berada di fihak benar. Pinceng menanti di Siauw-lim-si!"

   Tubuhnya berkelebat keluar. Beberapa orang pengawal berusaha menyerangnya, namun mereka itu terpental ke belakang karena seolah-olah ada hawa yang luar biasa melindungi tubuh kakek itu yang meloncat tenang keluar dari gedung itu.

   Keng Hong dan Biauw Eng sudah mengamuk, menandingi Go-bi Thai-houw dan Cui Im, sedangkan Yan Cu cepat menghampiri suaminya dan membebaskan tali-tali yang mengikat tubuh Cong San. Yap Cong San hanya dapat memandang isterinya dengan mata basah, kemudian setelah dia terlepas, dia pun mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau terluka dan dengan nekat dia membantu Keng Hong dan Biauw Eng menerjang Cui Im dan Go-bi Thai-houw. Yan Cu tidak mau ketinggalan dan begitu ia maju, sekali pukul saja ia telah merobohkan pengawal yang tadi hendak memperkosanya dengan kepala pecah. Biauw Eng juga menerjang Mo-kiam Siauw-ong yang amat dibencinya karena tadi Mo-kiam Siauw-ong telah menghinanya, merobek baju luarnya dan meraba-raba tubuhnya.

   Mo-kiam Siauw-ong melawan dengan nekat, memutar pedangnya. Namun Biauw Eng yang biarpun bertangan kosong itu sudah marah sekali. Sambaran pedang lawan itu ia terima dari samping dengan jepitan jari-jari tangan kanannya. Mo-kiam Siauw-ong terbelalak, hampir tak percaya bahwa wanita itu berani menerima pedangnya dengan jari tangannya, ia mengerahkan tenaga hendak menggerakan pedang agar tangan lawannya itu terbabat putus, namun pada detik itu juga dia juga mengeluarkan jerit melengking mengerikan karena jari tangan kiri Biauw Eng telah bergerak ke depan dan lima buah jari tangannya itu menembus kulit dada memasuki rongga dadanya sampai ke pergelangan tangan, bahkan jari-jari tangan itu terus mencengkeram jantungnya!

   Mo-kiam Siauw-ong roboh berkelojotan dan Biauw Eng dengan tangan kiri berlumuran darah amat mengerikan itu sudah mengamuk lagi, membuat giris hati para pengawal. Go-bi Thai-houw masih memandang rendah Keng Hong yang bertangan kosong. Dia menyerang dengan kebutannya dari kanan kiri, sedangkan Cui Im yang agak pucat mukanya karena tidak menyangka-nyangka bahwa keadaan akan menjadi demikian, kini menggunakan dua batang pedang. Di tangan kanannya terpegang pedang merahnya, sedangkan tangan kirinya memegang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong ketika orang muda itu tertawan. Sepasang pedang itu digerakkan dengan dahsyat, membentuk dua gulungan sinar hijau dan merah yang indah namun berbahaya sekali. Keng Hong maklum akan kelihaian dua orang wanita iblis itu, maka beberapa kali dia berteriak menyuruh Biauw Eng,

   Yan Cu dan Cong San mundur setiap kali tiga orang itu berusaha membantunya, namun, karena para pengawal telah roboh banyak sekali sedangkan sisanya hanya berani menonton dari pinggiran, tiga orang ini tidak mempedulikan larangan Keng Hong dan tetap saja membantu Keng Hong dengan senjata-senjata rampasan. Cong San membunuh banyak sekali pengawal, mengamuk seperti kerbau gila. Dia kini merampas sebuah golok besar. Sebagai murid Siauw-lim-pai tentu saja dia bukan hanya ahli menggunakan sepasang pit yang telah lenyap terampas musuh. Delapan belas macam senjata dapat dia pergunakan dengan mahir. Dengan golok rampasan itu dia lalu membantu Keng Hong, menerjang Cui Im dengan nekat. Golok besar di tangannya menjadi lingkaran sinar terang dan mengeluarkan bunyi bercuitan.

   "Trakkk...........!"

   "Cong San, mundur.........!"

   Keng Hong berteriak. Terlambat. Golok itu patah ketika bertemu dengan Siang-bhok-kiam, dan sinar merah dari pedang Cui Im menyambar ke arah leher Cong San. Murid Siauw-lim-pai ini cepat melempar diri ke samping, namun tetap saja ujung pedang merah menyerempet pundaknya sehingga terluka kulitnya dan berdarah. Cong San melempar diri ke belakang, terus ke atas lantai dan bergulingan. Ketika dia meloncat bangun, tangannya sudah menyambar sebatang pedang lain, pedang pengawal yang banyak berserakan di lantai, lalu dia maju lagi.

   Karena mengkhawatirkan suaminya, Yan Cu menyerbu ke depan, dibantu Biauw Eng dan kedua orang wanita ini sudah mengeroyok Cui Im. Biarpun dengan maju bersama mereka merupakan dua orang lawan yang tidak ringan bagi Cui Im, namun karena mereka hanya memegang senjata rampasan biasa saja, sedangkan Cui Im bersenjata pedang merah dan Siang-bhok-kiam, maka keduanya tidak dapat melawan dengan leluasa dan terpaksa menghindarkan bertemunya senjata mereka dengan sepasang pedang pusaka ampuh itu. Hal ini membuat mereka selalu terdesak. Keng Hong menghadapi Go-bi Thai-houw yang agaknya hendak memonopoli pendekar ini, selain dengan penasaran dia hendak mengalahkan Keng Hong yang bertangan kosong,

   Juga ia hendak mencegah orang muda itu membantu yang lain menghadapi Cui Im. Sepasang kebutannya merupakan sepasang tangan maut yang setiap saat siap merenggut nyawa Keng Hong, namun pemuda itu selalu dapat mengelak, bahkan pada saat di mana dia tidak sempat mengelak lagi, dorongan tangannya yang penuh tenaga sinkang masih dapat menyelamatkannya dan membuat sinar kebutan menyeleweng. Cong San sudah maju lagi dengan pedangnya. Bukan karena hendak membantu Biauw Eng dan Yan Cu kalau dia kini menyerang nekat ke arah Cui Im, melainkan terutama sekali karena kebenciannya terhadap Cui Im membuat matanya merah dan seluruh keinginannya hanya untuk membunuh orang yang telah menimbulkan malapetaka hebat kepada rumah tangganya itu.

   Dengan bantuan Cong San, kini Cui Im dikeroyok tiga dan mulailah keadaan mereka berimbang. Beberapa kali Biauw Eng melirik ke arah suaminya dan alisnya berkerut. Hatinya mulai khawatir. Ia maklum betapa lihainya Go-bi Thai-houw dengan sepasang kebutannya. Kalau suaminya memegang Siang-bhok-kiam, dia tentu tidak perlu khawatir lagi. Suaminya kehilangan pedang pusaka itu yang kini berada di tangan Cui Im, dan suaminya juga tidak dapat menggunakan Thi-khi-i-beng, ilmu mujijat yang menyedot tenaga sinkang lawan, karena selain Go-bi Thai-houw memiliki sinkang yang tinggi, juga nenek ini sudah tahu akan bahayanya ilmu itu sehingga senjata kebutannya tidak dapat dipergunakan Keng Hong sebagai jembatan untuk menyedot sinkang lawan yang lihai itu.

   Memang benar bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimiliki suaminya dapat membentuk gaya pertahanan yang amat kuat, namun akan sukarlah bagi suaminya untuk dapat mengalahkan lawannya. Kekhawatiran Biauw Eng ini agaknya dapat dilihat oleh Cui Im. Kekhawatiran yang banyak menurunkan daya serang Biauw Eng sebagai lawan terlihai di antara tiga orang pengeroyoknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cui Im dengan baiknya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang amat nyaring, menggetarkan jantung lawan dan tiba-tiba sinar pedang merah dan hijau itu berubah bentuk lingkaran yang menyambar dari kanan kiri, dalam arah yang berlawanan seolah-olah kedua pedang itu akan saling beradu! Hal ini mengejutkan dan mengacaukan tiga orang lawannya.

   "Siuuuuuttttt.......... sing-singgg........!!"

   Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San berteriak kaget dan meloncat mundur sampai beberapa meter jauhnya. Pedang mereka patah semua, bahkan sinar pedang merah dan hijau telah menyerempet tubuh mereka. Bahu kiri Biauw Eng berdarah, mengalir dari bajunya yang robek. Paha Yan Cu juga tergurat pedang, berdarah, sedangkan Cong San hampir saja celaka karena ujung pedang Siang-bhok-kiam telah menggurat punggungnya sampai sepanjang dua puluh sentimeter lebih! Pucatlah wajah tiga orang ini dan Cui Im tertawa terkekeh-kekeh sambil menggerakan kedua pedangnya.

   "Yan Cu, pinjamkan sabukmu!"

   Tiba-tiba Biauw Eng berteriak. Yan Cu mengerti bahwa Biauw Eng membutuhkan senjata yang cocok, maka tanpa ragu-ragu lagi ia melepaskan libatan sabuk suteranya yang berwarna merah muda. Melihat ini, Cui Im meloncat dan menusuk Yan Cu.

   "Trang-trakkk!"

   Pedang yang tinggal sepotong di tangan Cong San terbabat patah lagi, tinggal gagangnya saja sedangkan tubuhnya terpental mundur, akan tetapi dia telah dapat memberi kesempatan kepada isterinya melolos sabuk suteranya. Gagang pedang itu dia lontarkan ke arah muka Cui Im yang dapat dielakkan dengan mudah. Biauw Eng menerima sabuk sutera merah muda dan kini dia meloncat maju, didahului sinar merah muda yang panjang dari sabuk di tangannya. Yan Cu telah mengikat pinggangnya dengan robekan baju luarnya sendiri yang ia sambar dari dipan, kemudian ia memungut sebatang pedang. Cong San juga sudah mengambil sebatang pedang dari lantai.

   "Jangan serang! Lindungi saja aku!"

   Biauw Eng berteriak kepada kedua orang itu.

   Yan Cu dan Cong San membatalkan gerakan mereka, dan kini mereka mengikuti gerakan Biauw Eng dari kanan kiri, siap menjaga dan melindungi kalau-kalau Biauw Eng terancam oleh sepasang pedang Cui Im yang amat berbahaya itu. Dengan senjata yang jauh lebih cocok ini, biarpun tidak selemas sabuknya sendiri yang memang dibuat khusus untuk senjata, kini Biauw Eng seolah-olah merupakan seekor harimau yang diberi sayap! Tentu saja, biarpun selama ini dia telah digembleng oleh suaminya sendiri, dia masih belum dapat menandingi tingkat Cui Im yang selama ini juga memperdalam ilmunya di bawah asuhan Go-bi Thai-houw, namun dengan senjata sabuk ini Biauw Eng dapat melakukan perlawanan gigih, dapat pula membalas dengan totokan-totokan ujung sabuknya yang cukup berbahaya bagi Cui Im.

   "Biauw Eng, sekali ini kau akan mampus di tanganku!"

   Cui Im membentak dan sepasang pedangnya bergerak cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap terbungkus dua gulung sinar hijau dan merah.

   Biauw Eng juga menggerakkan sabuknya. Wanita ini maklum bahwa kalau suaminya tidak cepat menerima kembali Siang-bhok-kiam, keadaan mereka berempat akan berbahaya sekali. Tidak saja Cui Im dan Go-bi Thai-houw merupakan dua orang lawan yang amat berbahaya, juga ia melihat bahwa kini semua pasukan pengawal telah mengurung tempat itu. Tentu kepala daerah marah sekali menyaksikan kematian puteranya, Coa Kun, dan mantunya, Mo-kiam Siauw-ong dan akan menangkap atau membunuh empat orang itu. Dengan gerakan pergelangan tangannya yang terlatih, tiba-tiba sinar merah muda bergulung-gulung membentuk lingkaran lebar dan tahu-tahu ujung sabuknya yang menangkis sinar hijau Siang-bhok-kiam berhasil membelit pergelangan tangan dan pedang! Biauw Eng mengerahkan seluruh tenaganya.

   "Haiiiiittttt!!"

   Teriakannya melengking nyaring dan ia tidak mempedulikan sinar merah menyambar ke arahnya karena seluruh tenaga dan perhatiannya dipusatkan untuk merampas Siang-bhok-kiam!

   "Cring-cring........ krekk-krekkk!!"

   Dua batang pedang Yan Cu dan Cong San yang menangkis sinar merah itu patah semua, dan sinar merah masih membabat ke depan. Biauw Eng menjerit, leher dan pundaknya kena serempet sinar merah dan berdarah, juga Yan Cu dan Cong San terhuyung ke belakang, lengan kanan mereka berdarah, akan tetapi Biauw Eng berhasil merampas Siang-bhok-kiam dengan ujung sabuknya.

   "Hong-ko, terimalah Sing-bhok-kiam!"

   Biauw Eng berseru dan pedang di ujung sabuknya itu meluncur ke arah Keng Hong. Pendekar sakti ini gembira akan tetapi juga terkejut, menyaksikan isterinya terhuyung dan terluka. Ia cepat menyambar pedangnya dan memutar pedang untuk menghalau desakan Go-bi Thai-houw sambil menoleh ke arah istrinya dan dua orang kawannya. Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San cepat berloncatan ke belakang karena mereka telah menderita luka-luka. Biarpun tidak terlalu berat, namun banyak darah keluar dan terasa perih.

   Yan Cu dan Cong San sudah menyambar senjata dari lantai dan siap menghadapi terjangan Cui Im yang marah sekali. Biauw Eng sudah siap pula dengan sabuknya. Akan tetapi Cui Im yang melihat betapa Keng Hong telah mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam, menjadi marah dan khawatir. Tiga orang itu tidaklah terlalu berbahaya. Kalau Keng Hong dapat dirobohkan, tidak akan sukar baginya merobohkan tiga orang itu. Maka dengan kemarahan meluap ia melompat ke arah Keng Hong yang kini menghadapi Go-bi Thai-houw dengan Siang-bhok-kiam di tangannya. Begitu dia mainkan Siang-bhok-kiam, Go-bi Thai-houw terkejut bukan main. Hebat sekali sinar pedang itu dan mengeluarkan hawa mujijat di tangan Keng Hong. Dia menggerakan sepasang kebutannya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Keng Hong.

   "Cring-cringgg........!"

   Tangkisan Siang-bhok-kiam mengenai gagang kebutan dari baja, dan tampaklah banyak bulu-bulu kebutan merah dan biru membodol, beterbangan seperti kelopak-kelopak bunga tertiup angin.

   "Trangggg.........!!"

   Sinar pedang di tangan Cui Im yang datang menusuk, di terima oleh Siang-bhok-kiam dan kedua pedang itu saling melekat karena dialiri tenaga sinkang mereka.

   "Mampuslah!"

   Cui Im menggunakan tangan kirinya menampar ke arah dada Keng Hong, sedangkan pada saat itu, kebutan merah Go-bi Thai-houw yang tinggal separuh bulunya itu menotok ke arah mata Keng Hong! Keng Hong menggerakan tangan kiri, menyambar kebutan merah, mencengkeram bulunya, membetot dan langsung melontarkan bulu-bulu yang tercabut itu ke arah muka Go-bi Thai-houw, sedangkan dorongan telapak tangan Cui Im ke dadanya dia terima begitu saja.

   "Aihhhhhh........!!"

   Go-bi Thai-houw memekik dan terjengkang ke belakang, mukanya, mata dan hidungnya tertusuk bulu-bulu kebutannya sendiri. Ia berkelojotan di atas lantai, berusaha bangun dan jatuh lagi.

   "Ayaaaaa.........! Cui Im terkejut bukan main ketika tiba-tiba tangannya melekat pada dada Keng Hong dan merasa betapa sinkangnya membanjir keluar melalui tangannya ke dalam tubuh lawan.

   "Celaka.........!"

   Cui Im mengeluh dan berdaya sekuatnya untuk menarik kembali tangannya, namun makin keras ia berusaha, makin banyak sinkangnya molos keluar. Go-bi Thai-houw yang sudah sekarat karena bulu-bulu kebutan itu menusuk muka sampai ke dalam kepalanya, mendengar teriakan Cui Im tiba-tiba bangkit dan kebutan biru di tangannya menotok ke arah leher Keng Hong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga mujijat untuk mengalahkan Cui Im.

   "Cukkk....... ahhhh........!"

   Keng Hong terhuyung dan otomatis tangan Cui Im terlepas. Cui Im meloncat ke belakang, terpaksa meninggalkan pedangnya yang masih menempel di pedang Siang-bhok-kiam. Secepat kilat otaknya mencari akal untuk menyelamatkan diri karena dia melihat betapa dengan gerakan tangan kanannya, pedang merah rampasan itu meluncur lepas dari Siang-bhok-kiam dan menusuk leher Go-bi Thai-houw sampai tembus. Nenek iblis itu roboh dan tak bergerak lagi, kepalanya tidak menyentuh tanah karena ujung pedang merah menancap di lantai, mengganjal kepalanya dengan leher tertembus! Cui Im tidak menyerang lagi, melainkan meloncat cepat ke sebelah dalam gedung.

   "Anak kita........!!!"

   Biauw Eng menjerit. Dia cerdik dan maklum akan niat hati Cui Im, maka bagaikan seekor harimau terluka,

   Ia lupa akan luka-luka di tubuhnya dan melesat ke depan, mengejar. Keng Hong yang masih setengah lumpuh ketika mendengar teriakan isterinya ini, juga cepat melesat dan mengejar Cui Im. Cong San dan Yan Cu kini dikurung dan mengamuk dikeroyok banyak sekali pengawal. Pedang rampasan mereka bergerak dan membentuk dua gulungan sinar membuat setiap orang pengeroyok roboh jika terlalu dekat. Biarpun dengan hati penuh kegelisahan akan keselamatan anak mereka, Biauw Eng dan Keng Hong melakukan pengejaran secepat mungkin, sukarlah bagi mereka untuk dapat menyusul Cui Im karena mereka kurang mengenal jalan. Cui Im menyelinap dari ruangan ke ruangan lain, keluar masuk lorong dan kamar sehingga kedua orang yang membayanginya itu selalu tertinggal di belakang.

   "Cui Im, jangan ganggu anakku!"

   Biauw Eng menjerit.

   "Cui Im, demi Tuhan, bebaskan anak kami dan aku akan mengampunimu lagi!"

   Keng Hong juga berteriak. Setelah kini mereka semua bebas, tentu saja Keng Hong tidak menghendaki anaknya menjadi korban sendiri.

   "Hi-hi-hik, biar aku mati, hatiku akan puas kalau sudah menyembelih anak kalian!"

   Cui Im tertawa sambil terus berlari.

   "Ha-ha-heh-heh-heh, kalian terlambat!"

   Cui Im melompat masuk ke dalam sebuah kamar. Ketika Biauw Eng dan Keng Hong yang pucat mukanya itu menerjang masuk, kamar itu kosong dan Cui Im lenyap!

   "Cepat kejar dia......... ohhh........!"

   Biauw Eng terisak dan mereka menerobos masuk melalui pintu belakang kamar itu yang ternyata menembus ke sebuah ruangan lain. Tiba-tiba Keng Hong memegang tangan Biauw Eng dan memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Mereka berdiri di depan pintu sebuah kamar dan mendengar suara Cui Im dan dalam kamar itu menembus keluar.

   "Di mana dia? Di mana.........?"

   Terdengar jawaban seorang wanita dengan usuar gemetar,

   "Ampun, Toanio...... hwesio tua itu....... tadi merampasnya dan membawanya pergi............"

   "Apa........?!?"

   Dan aku membiarkan anak itu dibawa pergi?"

   "Ampunkan hamba....... hamba........... tidak tahu bagaimana, tahu-tahu anak itu melayang dari pondongan hamba dan........"

   Terdengar jerit mengerikan dan Keng Hong bersama Biauw Eng sudah menerjang pintu kamar itu sehingga roboh. Mereka melihat Cui Im berdiri membalikkan tubuh memandang mereka dan di situ menggeletak tubuh wanita pelayan dengan kepala pecah! Hati Keng Hong dan Biauw Eng lega bukan main. Mereka tahu bahwa tentu Tiong Pek Hosiang yang telah membawa pergi anak mereka!

   "Cui Im, iblis betina, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

   Biauw Eng membentak dan sabuk sutera merah muda di tangannya bergerak melayang ke atas lalu meluncur ke arah kepala Cui Im.

   "Kalian ampunkan aku......."

   Tiba-tiba Cui Im menangis.

   "aku.......... aku melakukan semua itu karena aku........ aku cinta kepadamu, Keng Hong.........!"

   Ucapan ini membuat Biauw Eng menjadi makin marah. Sabuknya menyambar turun dan ketika Cui Im mengangkat kedua tangannya menangkap ujung sabuk sutera, Keng Hong maklum bahwa bahaya besar mengancam isterinya. Ia cepat melontarkan Siang-bhok-kiam ke arah Cui Im dengan gerakan yang amat cepat. Pada saat itu, ujung sabuk sutera telah membelit kedua tangan Cui Im yang terangkat ke atas dan melesatnya Siang-bhok-kiam tak dapat dielakkan lagi oleh Cui Im yang tenaga sinkangnya sudah banyak berkurang, akibat terkena ilmu Thi-khi-i-beng dari Keng Hong tadi.

   "Cappppp...........!!!"

   Pedang Siang-bhok-kiam tepat menusuk ulu hati Cui Im, menembus ke belakang dan tenaga lontaran itu membuat tubuh Cui Im terlempar ke belakang sampai ujung pedang menancap di tembok kamar di mana tubuh itu terpaku! Keng Hong berdiri terbelalak, mukanya pucat sekali memandang ke arah Cui Im. wanita itu memandang kepada Keng Hong dan darah menetes dari dada dan mulutnya, akan tetapi ia masih sempat berkata,

   "Aku....... aku cinta padamu, Keng Hong.........!"

   Kepalanya terkulai dan nyawanya melayang. Biauw Eng melirik ke arah suaminya, melihat dua titik air mata menetes turun ke pipi suaminya, ia menggerakkan sabuk yang terlepas dari kedua tangan Cui Im, ujung sabuk menyambar ke depan, melibat gagang Siang-bhok-kiam kemudian mencabutnya. Siang-bhok-kiam dibawa melayang ke depan Keng Hong yang menerima dengan mata masih terus menatap tubuh Cui Im yang kini roboh terguling dan terlentang di atas lantai.

   "Mari kita membantu Yan Cu!"

   Biauw Eng berkata agak ketus dan barulah Keng Hong sadar, memandang isterinya. Ia melihat sinar mata berkilat dari isterinya, maka dia cepat berkata,

   "Maafkan aku, isteriku. Aku hanya teringat dia sebagai bekas sumoiku, pewaris kepandaian suhu........"

   Keduanya lalu melompat keluar dan menyerbu ke dalam ruangan di mana Yan Cu dan Cong San masih mengamuk.

   "Kita keluar dari sini! Cepat!!"

   Keng Hong berkata dan membuka jalan darah dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangannya.

   Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengikutinya dan sepak-terjang mereka yang hebat itu membuat para pengeroyok cerai-berai dan jerih. Tak lama kemudian, empat orang itu sudah lari ke luar dari kota, dikejar pasukan pengawal yang dipimpin oleh Coa-taijin sendiri. Akan tetapi, setibanya di luar tembok kota, tampak datang sebuah pasukan dari selatan. Coa-taijin terkejut ketika mengenal pembesar atasannya, maka cepat dia menyambut. Kiranya pasukan itu adalah pasukan seorang panglima dari kota raja yang datang untuk mengadili Coa-taijin karena menerima laporan Tiong Pek Hosiang bahwa kepala daerah Sun-ke-bun telah bersekutu dengan para bajak sungai, Coa-taijin menjadi tawanan dan dibawa ke kota raja dalam sebuah gerobak kerangkeng dan di sepanjang jalan disambut dan disoraki rakyat yang sudah lama tertindas pembesar lalim itu.

   

Si Bangau Merah Eps 24 Kisah Si Bangau Putih Eps 29 Si Bangau Merah Eps 5

Cari Blog Ini