Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 4


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Jelas bahwa yang datang mengacau hanya satu orang saja, namun orang itu memiliki kepandaian sedemikian tingginya sehingga mampu menggegerkan seluruh anggauta Cin-ling-pai yang dibikin kocar-kacir dan kacau-balau lari ke sana ke mari mencari-cari lawan yang sebentar-sebentar menghilang itu. Ketika untuk kelima kalinya orang itu meloncat dan menghilang, para anak buah Cin-ling-pai sudah menjadi panik dan bingung sekali. Mereka mencari-cari, akan tetapi sekali ini orang itu menghilang sampai lama. Dicari ke manapun tidak dapat ditemukan dan para anak murid Cin-ling-pai sudah mengira bahwa pengacau itu akhirnya melarikan diri karena gentar menghadapi pengeroyokan sedemikian banyak orang. Sementara itu, lima orang murid tingkat dua yang langsung menjadi murid-murid kepala di bawah asuhan Cap-it Ho-han,

   Diam-diam melakukan perondaan di atas genteng perumahan Cin-ling-pai di sekitar menara. Mereka ini adalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi di saat itu, dan mereka berlima telah mewarisi Ilmu Silat Tangan Kosong San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang dahsyat, maka merekapun tidak membawa senjata, karena keistimewaan mereka adalah gerakan kaki tangan mereka yang sudah tergembleng kuat dan terlatih baik. Mereka berlima berjaga di sekitar menara dan merasa aman karena menara itu telah dijaga ketat di sebelah dalamnya. Untuk naik ke puncak menara di mana tersimpan benda-benda pusaka milik ketua, orang harus melalui pasukan penjaga yang berlapis lima dan setiap penjagaan terdapat lima orang penjaga yang sudah terlatih.

   Setengah jam lewat dan biarpun semua anggauta masih mencari-cari, namun hati mereka telah menjadi lega karena jelas bahwa pengacau itu telah lenyap, agaknya telah melarikan diri keluar dari markas Cin-ling-pai. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras disusul suara ketawa menyeramkan tadi, suara si pengacau yang tadi selalu tertawa kalau hendak menghilang. Kiranya pengacau itu muncul lagi secara tiba-tiba, meloncat turun dari puncak menara dan lengan kanannya mengempit sebatang pedang dalam sarungnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang murid kepala Cap-it Ho-han itu ketika mengenal pedang Siang-bhok-kiam yang dikempit oleh lengan orang itu! Pedang pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai telah dicuri orang!

   "Pencuri hina...!"

   "Kembalikan Siang-bhok-pokiam!"

   Lima orang itu cepat berloncatan di atas genteng dan mengejar. Namun gerakan pencuri pedang itu hebat bukan main. Sukar sekali mendekatinya karena dia berloncatan dari genteng ke genteng lain seperti seekor burung terbang saja. Ketika seorang di antara lima jagoan Cin-ling-pai itu berhasil mendekati, dia langsung mengirim pukulannya yang ampuh, menggunakan jurus yang paling lihai dari San-in-kun-hoat, yaitu In-keng-hong-wi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan), tangan kanannya menonjok lurus ke depan disertai tenaga sin-kang yang ampuh.

   "Dukkk!"

   Pukulan itu dengan tepat mengenai bahu kanan orang itu, akan tetapi yang dipukul tertawa saja dan si pemukul merasakan betapa kepalan tangannya seperti memukul karet yang amat lunak namun kuat sekali sehingga tenaga pukulannya seperti tenggelam dan lenyap kekuatannya. Selagi dia berteriak kaget, pencuri itu telah tertawa panjang dan tubuhnya mencelat jauh ke depan.

   "Tangkap pencuri...!"

   "Dia mencuri Siang-bhok-pokiam!"

   Lima orang itu berteriak-teriak karena tidak dapat menyusul dan melihat pencuri itu telah tiba di rumah terakhir. Para anak murid yang mengejar dari bawah melihat pengacau itu mengempit pedang. Mendengar betapa pusaka keramat Cin-ling-pai dicuri, mereka menjadi marah sekali. Bagaikan hujan saja senjata-senjata rahasia menyambar ke arah tubuh pencuri itu ketika dia meloneat turun dari atas genteng. Semua orang terbelalak memandang betapa sekian banyaknya senjata rahasia dengan cepat mengenai tubuh orang itu, akan tetapi kesemuanya itu runtuh tak berbekas dan si pencuri masih tertawa-tawa.

   "Ha-ha-ha, katakan kepada Cia Keng Hong bahwa Lima Bayangan Dewa mengirim salam dan menitipkan nyawanya sampai tahun depan!"

   Setelah berkata demikian, orang itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

   "Pengecut, tinggalkan namamu!"

   Teriak seorang murid Cin-ling-pai dengan suara nyaring. Akan tetapi tiba-tiba orang yang berteriak ini roboh terjengkang, dan ketika teman-temannya memandang, ternyata dia telah tewas! Dan dari jauh terdengar suara tertawa.

   "Ha-ha-ha, tidak ada orang boleh hidup setelah memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok!"

   Tentu saja orang-orang Cin-ling-pai menjadi geger. Lima orang murid lihai yang digembleng oleh Cap-it Ho-han itu lalu bergegas meninggalkan Cin-ling-pai menuju ke Han-tiong untuk menyusul para suheng mereka dan melaporkan akan malapetaka yang menimpa markas Cin-ling-pai sehingga pedang pusaka Siang-bhok-kiam lenyap dicuri orang, bahkan seorang anak murid tewas oleh si pencuri yang lihai dan yang mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok itu.

   Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan sedih hati lima orang murid ini ketika mereka melihat tujuh orang suheng mereka itu tertimpa malapetaka yang lebih hebat dan mengerikan lagi di dalam rumah makan Koai-lo karena enam orang di antara mereka telah tewas dan Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han menderita luka-luka hebat sehingga nyawanya juga seolah-olah bergantung kepada sehelat rambut! Dengan penuh kedukaan mereka lalu mengangkut enam mayat dan Coa Seng Ki yang terluka parah itu ke Cin-ling-pai di mana mereka disambut oleh jerit-jerit tangisan yang memilukan dari semua anak murid Cin-ling-pai dan terutama sekali dari keluarga mereka yang tewas. Bermacam-macam sikap anggauta keluarga yang ditinggal mati oleh seseorang dalam keluarga itu.

   Namun pada umumnya, mereka itu berduka atau memperlihatkan wajah duka. Bermacam-macam pula rasa duka yang mendatangkan goresan muka yang sama itu. Ada yang berduka karena merasa iba kepada yang mati, akan tetapi sebagian besar adalah berduka karena merasa iba kepada dirinya sondiri yang tinggalkan oleh yang mati. Merasa betapa hidupnya kehilangan sesuatu, yang dicintainya, yang disandarinya, atau yang diharap-harapkannya. Merasa kehilangen ini yang mendatangkan duka. Ada pula yang tidak merasa apa-apa namun "demi kesopanan"

   Terpaksa menarik muka agar kelihatan berduka. Ada pula yang terbawa oleh suasana duka, karena tangis, seperti juga tawa, mudah sekali menular kepada orang lain. Sukar sekali menahan diri, terutama sekali kaum wanita,

   Untuk tidak mencucurkan air mata melihat banyak orang menangis tersedu-sedu, apalagi kalau disertai keluh-kesah dan ratapan, lebih sukar daripada menahan tawa kalau melihat banyak orang tertawa gembira. Yang hebat, lucu dan aneh, banyak pula keluarga yang kematian hendak menyatakan bahwa mereka benar-benar berkabung dengan "menyewa"

   Tukang menangis! "Tukang-tukang menangis"

   Ini dibayar dan tugasnya hanya untuk menangis sehebat mungkin, meratap dengan suara yang paling menyedihkan, untuk "memancing"

   Air mata para keluarga yang sudah hampir mengering. Memang suasana pada keluarga yang kematian amat menyedihkan. Apalagi pada pagi hari itu di ruangan depan dari rumah besar di Cin-ling-pai. Memang menyedihkan sekali melihat tujuh buah peti mati berjajar-jajar di ruangan itu,

   Dikelilingi dan dikerumuni oleh para sanak keluarga dan para anggauta Cin-ling-pai yang tiada hentinya menangis dan bergilir melakukan sembahyang di depan peti-peti mati itu. Tujuh buah peti mati itu terisi mayat-mayat enam orang anggauta Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai yang tewas karena berani memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian. Suasana di ruangan itu menjadi makin menyedihkan melihat para anggauta keluarga para korban yang memakai pakaian serba putih, topi putih dan muka pucat, mata sayu kemerahan dan pipi kotor bekas air mata dan debu. Ruangan yang luas itu menjadi serem karena asap hio yang bergulung-gulung dan bau dupa wangi yang dibakar semenjak malam tadi. Akan tetapi Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah. Biarpun sejak kemarin sampai malam tadi para keluarga korban tiada hentinya menangisi ayah, saudara dan suami mereka,

   Namun pagi ini mereka telah dapat menekan perasaan mereka sebagai orang-orang atau keluarga-keluarga orang gagah sehingga tidak lagi terdengar suara tangis. Mereka masih bersembahyang dan berkabung, namun wajah mereka semua membayangkan duka dan dendam bercampur menjadi satu, dengan tarikan muka keras membayangkan kemarahan hati terhadap fihak musuh yang telah menyebar kematian di antara tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Mereka tidak lagi mencucurkan air mata dan meratap, terutama sekali ini mereka paksakan kepada perasaan mereka sendiri untuk memperlihatkan sikap gagah kepada para penghuni dusun yang datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada para korban. Bukan hanya para penghuni dusun-dusun pegunungan di sekitar tempat itu,

   Juga dari kota Han-tiong datang tamu berduyun-duyun untuk bersembahyang dan tidak lupa memberi sumbangan kepada keluarga yang ditimpa duka nestapa itu. Sejak pagi sampai tengah hari, tiada hentinya para tamu datang, bersembahyang, memberi sumbangan dan mengucapkan kata-kata yang nadanya menghibur, memuji kegagahan Cap-it Ho-han dan mengutuk penjahat-penjahat yang melakukan pembunuhan keji, kemudian pergi lagi dengan perasaan lega seperti orang-orang yang telah melakukan sesuatu yang amat baik dan berharga. Bahkan komandan penjaga keamanan dari kota Han-tiong juga datang menyatakan duka cita dan dia mengatakan kepada para anggauta Cin-ling-pai bahwa dia akan mengerahkan pasukannya untuk mencari dan menangkap penjahat-penjahat yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu.

   Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai maklum bahwa ucapan komandan itu tidak dapat diandalkan dan harapan satu-satunya bagi mereka untuk dapat membalas dendam kematian ini hanyalah guru mereka, karena para penjahat itu adalah orang-orang lihai sedangkan para petugas keamanan itu biasanya, sebagian besar hanya galak-galak kalau menghadapi rakyat lemah yang tak mampu melawan dan yang dapat diharapkan menjadi sapi-sapi perahan. Setelah lewat tengah hari, makin berkuranglah tamu yang datang bersembahyang dan menjelang senja tidak ada lagi tamu yang datang. Dengan bergiliran, murid-murid Cin-ling-pai melakukan penjagaan karena yang lain harus beristirahat, akan tetapi tentu saja para keluarga korban tetap di dekat peti mati dalam keadaan berkabung.

   Setelah semua orang mengira bahwa tidak akan ada lagi tamu yang datang, tiba-tiba muncullah dua orang dari pintu depan. Mereka ini adalah orang-orang tua, yang seorang adalah wanita tua, nenek-nenek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dengan pakaian serba hitam dan kain kepala berwarna hitam pula, berjalan sambil menundukkan muka, sedangkan yang kedua adalah seorang kakek tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu (pendeta To) yang melangkah masuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan para penjaga pintu yang mempersilakan kedua orang ini terus memasuki ruangan di mana terdapat tujuh peti mati yang berjajar-jajar.

   Nenek itu menerima beberapa batang hio yang sudah dinyalakan oleh seorang murid Cin-ling-pai yang bertugas melayani mereka yang hendak bersembahyang, sedangkan kakek tosu itu dengan suaranya yang halus bertanya tentang mereka yang mati sehingga seorang murid Cin-ling-pai lain menceritakan bahwa yang tewas adalah enam orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai lainnya. Tosu itu mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang. Sementara itu, nenek tua yang berpakaian serba hitam sudah bersembahyang di depan peti mati itu, kemudian berhenti di depan peti mati pertama yang terisi mayat Sun Kiang. Di sini dia berdiri dan berkata lirih,

   "Sayang, sayang... sungguh penasaran sekali mengapa kalian mati di tangan orang lain...!"

   Semua anak murid Cin-ling-pai terkejut dan heran sekali mendengar ucapan aneh itu,

   Dan mereka makin heran ketika melihat betapa nenek itu kini menancap-nancapkan hio atau dupa biting itu ke atas peti mati yang terbuat dari kayu tebal dan keras. Sukar dipercaya betapa dupa biting yang rapuh itu dapat ditancapkan ke atas peti mati, seolah-olah papan peti mati yang keras itu hanya terbuat dari agar-agar saja! Dan perbuatan ini selain mendatangkan kekagetan dan keheranan, juga membuat para anak murid Cin-ling-pai menjadi marah sekali. Nenek itu mundur tiga langkah setelah menjura ke arah peti-peti mati, kemudian tosu itu melangkah mendekati peti-peti itu, tangan kanannya menepuk-nepuk setiap peti dan mulutnya berkata lirih namun cukup keras untuk terdengar oleh mereka yang berada di ruangan itu.

   "Memang sayang sekali, akan tetapi kalian mati di tangan Lima Bayangan Dewa sudah cukup twhormat, karena yang pantas mati di tangan pinto (aku) hanyalah ketua Cin-ling-pai..."

   Semua orang makin kaget, apalagi melihat betapa di setiap peti kini terdapat bekas telapak tangan kakek itu yang tadi menepuk-nepuk peti mati, tampak tanda telapak tangan menghitam di atas peti, melesak sedalam satu senti seperti diukir saja!

   Para anak murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang sudah lama mengenal ilmu silat maka mereka tentu saja mengerti bahwa tosu dan nenek yang agaknya seorang pertapa pula itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena jelas bahwa mereka itu menghina Cin-ling-pai dan bersikap memusuhi guru mereka, para murid itu sudah menjadi marah sekali dan siap untuk turun tangan mengeroyok! Akan tetapti dengan terjadinya peristiwa hebat itu membuat mereka seperti pasukan kehilangan komandan, merasa tidak berdaya dan bingung, sehingga kinipun mereka ragu-ragu dan menanti sampai seorang di antara mereka ada yang memulai. Tiba-tiba terdengar suara nyanyian dari luar, suaranya dekat sekali akan tetapi orangnya tidak nampak!

   "Sikap, nama, harta dan kedudukan
bukanlah ukuran jiwa seorang manusia,
semua itu hanya kulit belaka
yang tidak dapat menentukan nilai isi.

   Betapa banyaknya berkeliaran di dunia
hartawan yang jiwanya miskin
pembesar yang jiwanya kecil
dan pendeta yang menumpuk dosa!"

   Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut, saling pandang lalu membalikkan tubuhnya ke arah pintu depan. Kini tampak muncullah dua orang kakek lain, yang pertama amat menarik hati karena anehnya. Dia seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih,

   Pakaiannya kedodoran terlalu besar, dan warna pakaiannya amat menyolok mata! Celananya kotak-kotak, bajunya kembang-kembang, kepalanya yang berambut putih itu tertutup kopyah seperti yang biasanya dipakai seorang bayi, mukanya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar! Adapun orang kedua juga seorang kakek yang juga sudah tua, tentu sudah enam puluh tahun lebih, namun sikapnya masih gagah, tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana dan matanya sipit seperti dipejamkan. Dua orang kakek yang baru datang ini agaknya tidak memperdulikan tosu dan tokouw (pendeta wanita) itu, mereka langsung bersembahyang seperti biasa, kemudian menaruh hio di tempat dupa depan peti. Akan tetapi tiba-tiba kakek yang pakaiannya aneh itu tertawa, menuding ke arah hio-hio yang tertancap di atas peti mati pertama tadi sambil berkata,

   "Ehh, dupa-dupa jahat, mengapa kalian begitu kurang ajar, berada di tempat yang tidak semestinya? Hayo kalian turun dan berkumpul dengan teman-temanmu di bawah!"

   Ucapan ini sudah aneh, seperti ucapan seorang gila karena ditujukan kepada hio-hio itu. Akan tetapi kenyataannya lebih aneh lagi sehingga membuat semua orang melongo. Siapa yang tidak akan terkejut dan heran ketika mereka melihat betapa hio-hio yang tadi ditancapkan secara luar biasa oleh tokouw itu di atas peti mati yang keras, kini seolah-olah bernyawa dan hidup, mentaati perintah kakek berpakaian kembang-kembang, bergerak dan "berjalan"

   Turun dari peti mati lalu menancapkan diri sendiri di tempat hio bersama hio-hio yang lain! Sebelum orang-orang yang berada di situ habis keheranan mereka, kakek yang kedua itu, berjalan-jalan di antara peti-peti mati, berkata perlahan,

   "Hemm, mengapa buatan peti-peti ini demikian kasar sehingga masih ada telapak tangannya? Biar kuratakan."

   Diapun mengusap dengan tangannya di atas bekas telapak tangan tosu tadi sehingga lenyaplah bekas-bekas telapak tangan menghitam tadi sungguhpun tentu saja permukaan peti yang sudah rusak itu tidak dapat menjadi rata dan halus kembali. Tosu dan tokouw yang menyaksikan perbuatan dua orang kakek yang baru datang itu, terkejut dan maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang pandai. Tosu itu menjura dari jauh dan berkata,

   "Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang bernama Cia Keng Hong?"

   Kakek yang memakai baju kembang menjawab tertawa,
(Lanjut ke Jilid 04)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
"Pertanyaan aneh! Seorang tamu tidak mengenal tuan rumahnya. Betapa aneh! Kami berduapun hanya tamu, akan tetapi tentu saja kami mengenal Cia Keng Hong yang ternyata tidak berada di rumah."

   Tosu dan tokouw itu saling pandang. Mereka tidak ingin melibatkan diri dengan permusuhan terhadap orang-orang lain lagi yang begini lihai, sedangkan Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu saja sudah merupakan musuh yang amat tangguh.

   "Kami hanya membutuhkan Cia Keng Hong, bukan orang lain!"

   Setelah berkata demikian, tosu itu menjura lalu melangkah keluar, diikuti oleh tokouw tadi. Dua orang kakek itu hanya memandang dan tidak berkata apa-apa. Setelah mereka yakin bahwa dua orang itu telah pergi jauh, kakek tinggi kurus dan yang lebih muda itu menghela napas panjang dan berkata,

   "Sungguh berbahaya...!"

   Kakek berbaju kembang juga menghela napas.

   "Kita harus memetik buah dari pohon yang kita tanam sendiri, tak mungkin dapat dihindarkan lagi! Cinke (sebutan untuk besan) Cia Keng Hong di waktu mudanya menanam banyak sekali permusuhan sehingga sampai dia menjadi kakek-kakek sekalipun selalu masih ada musuh yang mencarinya! Sayang sekali..."

   Dia menggeleng-geleng kepala. Para murid Cin-ling-pai sekarang baru berani maju dan murid-murid tertua segera berlutut di depan dua orang kakek itu. Seorang di antara mereka berkata kepada kakek berbaju kembang,

   "Locianpwe, mengapa locianpwe tidak memberi hajaran kepada dua orang penjahat berpakaian pendeta tadi?"

   Kakek itu tertawa.

   "Ho-ho-ho, mudah saja bicara! Kalian kira aku dapat menang melawan mereka? Aha, kalau tidak dengan sedikit permainan hoatsut (sihir) dan berhasil membikin jerih mereka, agaknya kalian sudah harus menyediakan sebuah peti mati baru lagi untuk mayatku!"

   Para murid Cin-ling-pai itu mengenal kakek berbaju kembang ini karena kakek ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, seorang kakek aneh yang lihai dan ahli dalam ilmu hoatsut (sihir) yang selalu tertawa dan gembira, dan kakek ini sudah beberapa kali datang mengunjungi Cin-ling-pai karena dia adalah besan dari ketua Cin-ling-pai. Ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah Cia Giok Keng dan yang kedua adalah Cia Bun Houw yang kini sedang belajar memperdalam ilmu silatnya di Tibet.

   Anak pertama, seorang puteri yang bernama Cia Giok Keng telah menikah dengan murid yang sudah dianggap anak sendiri oleh Hong Khi Hoatsu, yaitu yang bernama Lie Kong Tek. Semua ini telah dituturkan dengan jelas di dalam cerita Petualang Asmara. Karena itu maka murid-murid Cin-ling-pai mengenal baik pendeta perantau berbaju kembang ini. Adapun kakek kedua yang lebih muda dari Hong Khi Hoatsu, yang dengan usapan tangannya dapat meratakan kembali permukaan peti-peti mati dari bekas telapak tangan tosu tadi, juga merupakan seorang tokoh besar dalam cerita Petualang Asmara. Namanya adalah Tio Hok Gwan, bekas pengawal dari Panglima Besar The Hoo. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan bertenaga besar sekali sehingga mendapat julukan Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati).

   Telah seringkali dia bekerja sama dengan Cia Keng Hong di waktu dahulu sehingga dia menjadi sahabat ketua Cin-ling-pai itu. Kakek ini sekarang telah pensiun, dia meninggalkan pekerjaannya sebagai pengawal beberapa tahun yang lalu semenjak Panglima Besar The Hoo meninggal dunia. Pengalaman orang she Tio ini hebat sekali, karena dia telah mengikuti perantauan Panglima The Hoo yang menjelajahi banyak negara aneh di seberang lautan, mengalami banyak pertempuran dan sudah menghadapi banyak sekali orang-orang yang memiliki kepandaian aneh dan hebat di bagian-bagian dunia lain di seberang lautan itu. Maka dia telah memiliki pandangan yang awas dan diapun maklum bahwa tingkat kepandaian tokouw dan tosu tadi amat tinggi dan andaikata terjadi bentrokan antara mereka dengan dia, dia tidak berani memastikan apakah dia akan keluar sebagai pemenang.

   Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati dan membiarkan dua orang itu pergi, sungguhpun dia maklum bahwa dua orang itu tentulah musuh-musuh dari sahabatnya, Cia Keng Hong. Sebagai besan dari ketua Cin-ling-pai,Hong Khi Hoatsu lalu dipersilakan duduk bersama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Kakek berbaju kembang itu lalu bertanya apa yang telah terjadi di Cin-ling-pai sampai lalu menceritakan tentang semua melapetaka yang terjadi dan menimpa perkumpulan itu. Terkejut juga hati kedua orang kakek itu mendengar bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri orang dan bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika mendengar bahwa pencuri pedang itu mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Tio Hok Gwan mengepal tinjunya.

   "Ahh, pantas...! Aku pernah mendengar nama Dewa Tua Berlengan Delapan itu! Dia adalah sute dari datuk kaum sesat Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia-Taihiap! Tentu dia datang mengacau Cin-ling-pai untuk membalas dendam kematian suhengnya. Akan tetapi, siapakah empat orang temannya yang bersama dia memakai nama Lima Bayangan Dewa itu?"

   Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para murid Cin-ling-pai yang tahu.

   "Yang mengetahui tentu hanya ketujuh orang suheng yang menjumpai mereka di restoran Koai-lo di Han-tiong, akan tetapi enam di antara mereka tewas dan yang seorang lagi luka parah..."

   Murid Cin-ling-pai menerangkan.

   "Di mana dia yang terluka itu? Biar kami memeriksanya,"

   Hong Khi Hoatsu berkata. Dengan hati girang dan penuh harapan, para murid Cin-ling-pai lalu mengantarkan Hong Khi Hoatsu dan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan ke dalam kamar di mana Coa Seng Ki rebah dalam keadaan empas-empis napasnya dan mukanya pucat kebiruan, matanya terpejam. Beberapa orang murid Cin-ling-pai menjaga di kamar itu dengan muka penuh kekhawatiran karena biarpun mereka sudah berusaha sedapatnya untuk mengobati korban ini,

   Tetap saja keadaan Coa Seng Ki tidak kelihatan menjadi baik. Mereka sudah menjadi putus asa dan mereka kini hanya menanti datangnya ketua mereka cepat-cepat dan mengharapkan Coa Sang Ki akan dapat bertahan sampai ketua mereka pulang. Orang termuda dari Cap-it Ho-han itu masih belum sadar, masih pingsan sejak dia rebah di ruang atas rumah makan Koai-lo sampai saat itu. Hong Khi Hoatsu dan Tio Hok Gwan bergantian memeriksa keadaan Coa Sang Ki, akan tetapi mereka berdua segera maklum bahwa keadaan orang itu sudah tidak ada harapan lagi, bahwa luka-luka yang diderita oleh orang itu amat hebat dan tidak dapat disembuhkan lagi karena di sebelah dalam tubuhnya sudah terluka parah selain darahnya sudah keracunan. Paling lama Coa Seng Ki hanya akan bertahan sampai dua tiga hari lagi saja.

   "Bagaimana pendapatmu, Hoatsu?"

   Tanya Tio Hok Gwan kepada temannya. Hong Khi Hoatsu menggeleng kepalanya.

   "Seperti telah kauketahui, dia tidak dapat disembuhkan lagi, luka-luka di sebelah dalam terlampau parah."

   Tio Hok Gwan menarik napas panjang.

   "Dan nama-nama empat orang di antara Lima Bayangan Dewa hanya dia yang mengetahui."

   Hong Khi Hoatsu mengerutkan alisnya.

   "Dengan kekuatan sihir mungkin aku dapat membuat dia sadar dan membantunya untuk menceritakan siapa adanya empat orang itu, akan tetapi pengerahan tenaga paksaan itu mungkin akan membuat luka-lukanya makin parah."

   Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan berpikir sejenak, lalu berkata,

   "Betapapun juga, dia tidak dapat disembuhkan dan nama-nama empat orang penjahat itu amat penting untuk diketahui. Kalau dia dibiarkan demikian sampai mati, tidak ada gunanya sama sekali. Kurasa Hoatsu tentu mengerti akan hal ini."

   Hong Khi Hoatsu mengangguk.

   "Memang akupun berpikir demikian. Eh, bagaimana pendapat kalian?"

   Tanyanya kepada para murid Cin-ling-pai yang menunggu di kamar itu. Mereka saling pandang. Mereka tadi telah mendengarkan percakapan antara dua orang kakek itu dan mengerti apa yang mereka maksudkan. Kemudian seorang di antara mereka berkata,

   "Karena Ketua tidak ada dan Cap-it Ho-han yang mewakili suhu juga tidak ada lagi, yang ada hanya Coa-suheng yang sakit ini, maka kami semuapun tidak dapat mengambil keputusan. Terserah kepada Ji-wi locianpwe saja yang kami percaya sepenuhnya."

   "Baik, dan kamipun bertanggung jawab penuh terhadap cinke (besan) atas peruatan kami ini. Nah, mundurlah kalian, biarlah aku mencoba untuk menyadarkan dia. Siapa namanya tadi?"

   Seorang murid memberitahukan nama si sakit kepada kakek aneh itu. Hong Khi Hoatsu lalu mendekati si sakit, mengurut-urut dan memijit-mijit kepala dan punggung orang sakit itu, kemudian dengan kedua tangan terbuka, menggetar dan digerak-gerakkan di atas kepala si sakit, terdengar dia berkata, suaranya penuh wibawa dan mengandung getaran amat kuat sehingga semua orang yang berada di situ merasa seram dan ikut tergetar batinnya, terbawa oleh pengaruh yang terkandung di dalam suara itu.

   "Coa Seng Ki...! Dengarkan baik-baik... dengar dan lakukan apa yang kuminta...! Aku mewakili suhumu, aku adalah besan suhumu, engkau harus taat kepadaku. Dengarkah engkau? Jawablah...!"

   Semua mata ditujukan ke arah wajah Coa Seng Ki yang pucat membiru, wajah yang diam tidak bergerak seperti mayat. Perlahan-lahan tampaklah cahaya kemerahan membayang pada wajah itu, mula pada lehernya, terus naik ke atas pipi sampai ke dahinya, lalu bulu mata itu menggetar, bibir itu bergerak-gerak!

   "Jawablah, Coa Seng Ki, jawablah... demi kesetiaan dan kebaktianmu kepada suhumu dan Cin-ling-pai, jawablah...!"

   Hong Khi Hoatsu berkata lagi, suaranya makin kuat dan kedua tangannya menggigil, mukanya penuh dengan keringat.

   Dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang membutuhkan penyaluran tenaga sakti dari dalam pusarnya dan dia harus menyatukan seluruh kemauannya untuk memaksa si sakit, seperti membangunkannya, seperti membangkitkan lagi orang yang sudah tiga seperempat mati ini untuk hidup kembali. Hal ini membutuhkan tenaga mujijat yang amat kuat sehingga kakek itu kelihatan berkeringat dan mukanya menjadi pucat, dari kepala yang tertutup kopyah itu mengepul uap putih. Diam-diam Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan memandang penuh kekhawatiran. Biarpun dia tidak mengenal ilmu hoatsut, akan tetapi dia maklum betapa kakek itu mengerahkan sin-kang sekuatnya, hal yang amat berbahaya, namun dia tidak berani membantu kalau-kalau malah mengacaukan usaha Hong Khi Hoatsu.

   "Jawablah, Coa Seng Ki...! Apakah engkau mendengarku?"

   Bibir yang bergerak-gerak dari si sakit itu kini bergerak makin lebar dan terdengar jawaban seperti bisikan,

   "...teecu (murid) mendengar..."

   "Bagus, Coa Seng Ki, sekarang jawablah baik-baik semua pertanyaanku ini. Amat penting bagi suhumu kelak untuk mengetahui siapakah adanya empat orang yang membunuh enam orang suhengmu di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. Siapakah Lima Bayangan Dewa itu?"

   Hening sejenak. Bibir pucat itu tergetar hebat, menggigil seperti orang sakit kedinginan, kemudian terdengar jawaban yang lemah dan gemetar, namun cukup dapat dimengerti,

   "...iblis-iblis itu... Liok-te Sin-mo Gu Lo It... Sin-cian Siauw-bin-sian Hok Hosiang... Hui-giakang Ciok Lee Kim... ahhhh..."

   Suara itu kini berobah menjadi seperti suara orang mengeluh dan mengerang.

   "Pertahankan, Coa Seng Ki. Siapa yang seorang lagi?"

   Dada itu turun naik, terengah-engah dan akhirnya bibir itu dapat juga mengeluarkan suara lagi,

   "...Toat... beng... kauw... Bu Sit... dan orang pertama adalah... adalah... Pat-pi.... uhhhhh...!"

   Kini kepala itu terkulai lemas dan Hong Khi Hoatsu menurunkan kedua tangannya, cepat memeriksa nadi tangan dan meraba dada. Dengan muka pucat dan tubuh basah kuyup oleh peluhnya sendiri dia menggeleng kepala dan memandang kepada Ban-kin-kwi.

   "Berakhirlah sudah..."

   Katanya. Tio Hok Gwan lalu menggunakan jari tangannya untuk menutupkan mata dan mulut yang agak terbuka itu dan terdengar isak tangis dari para anak murid Cin-ling-pai ketika mereka maklum bahwa Coa Seng Ki sudah menghembuskan napas terakhir!

   "Harap kalian tidak terlalu berduka."

   Hong Khi Hoatsu berkata setelah dia mengatur kembali pernapasannya.

   "Dia memang tidak dapat disembuhkan lagi dan kematiannya yang lebih cepat ini hanya mengurangi penderitaannya dan kalian harus berterima kasih kepadanya karena sebelum mati dia masih sempat meninggalkan nama para musuh besar itu."

   Dua orang kakek itu lalu keluar dari kamar, dan duduk di ruangan depan, sedangkan para anak murid segera mengurus jenazah Coa Seng Ki. Kini semua murid Cin-ling-pai tahu sudah siapa nama lima orang musuh besar itu, yang menamakan diri mereka Lima Bayangan Dewa. Karena biarpun orang pertama tidak sempat disebutkan namanya oleh Coa Seng Ki, namun mereka semua tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam.

   "Sayang bahwa Cia-Taihiap tidak berada di sini. Andaikata dia ada, tidak mungkin terjadi hal yang menyedihkan ini,"

   Tio Hok Gwan berkata.

   "Aku sudah terlalu tua, sudah malas untuk bertanding, akan tetapi mengingat akan malapetaka yang menimpa keluarga Cin-ling-pai, biarlah aku akan menyuruh puteraku untuk membantu, menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa itu dan membantu untuk menghadapi mereka. Aku akan pulang kembali ke kota raja, Hoatsu."

   Hong Khi Hoatsu mengangguk dan dia berkata,

   "Baiklah, Tio-Taihiap. Dan aku sendiri akan pergi mengunjungi murid dan mantuku di Sin-yang. Siapa tahu kalau-kalau lima iblis itu akan mengganggu mantuku sebagai puteri cinke Cia Keng Hong."

   Yang dimaksudkan oleh Hong Khi Hoatsu itu adalah Cia Giok Keng, puteri Cia Keng Hong yang kini telah menjadi isteri Lie Kong Tek muridnya, dan suami isteri itu tinggal di kota Sin-yang di kaki Pegunungan Tapie-san. Maka berangkatlah dua orang kakek itu meninggalkan Cin-ling-san, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan menuju ke utara untuk pergi ke kota raja di mana dia hidup bertiga dengan putera tunggalnya dan isterinya yang jauh lebih muda darinya karena dia memang menikah agak terlambat, hidup di kota raja sebagai seorang pensiunan pengawal yang terhormat dan terjamin. Sedangkan Hong Khi Hoatau menuju ke timur untuk mengunjungi Sin-yang, tempat tinggal muridnya. Mereka berangkat setelah lebih dulu menghadiri pemakaman delapan jenazah murid-murid Cin-ling-pai itu.

   Seluruh daerah Negara Tibet merupakan pegunungan yang sambung-menyambung, pegunungan yang tinggi dan luas sekali dengan Pegunungan Himalaya sebagai benteng yang panjang dan menjulang tinggi di perbatasan selatan. Ibu kota atau kota rajanya adalah Lhasa di mana terdapat istana kerajaan dan golongan yang paling berkuasa di sana adalah para pendeta Lama. Karena seperti lajimnya di dunia ini, yang berkuasa tentu memperoleh kedudukan tinggi dan mulia, maka tentu saja terjadi perebutan kekuasaan di antara para pendeta Lama sehingga terjadilah pemecahan dan terbentuklah golongan-golongan yang kadang-kadang saling bertentangan untuk memperoleh kekuasaan.

   Pada waktu itu, yang berkuasa di samping raja adalah para pendeta Lama golongan Jubah Kuning dan kedudukan mereka sedemikian kuatnya sehingga tidak ada golongan lain yang berani memberontak. Beberapa puluh li jauhnya dari Lhasa, di sebelah selatan, di mana sungai yang mengalir memasuki sungai besar Yalu-cangpo, terdapat sebuah kuil besar. Dahulu kuil ini menjadi pusat dari gerakan Lama Jubah Merah yang pernah memberontak akan tetapi berhasil dibasmi oleh pasukan Tibet yang dibantu oleh Pemerintah Beng (baca cerita Petualang Asmara). Kini para Lama Jubah Merah masih ada, namun mereka tidak lagi aktip dan hidup dengan penuh tenteram dan damai, bertani dan tekun hidup sebagat pertapa yang saleh.

   Ketua dari para Lama yang jumlahnya hanya tinggal dua puluh orang lebih ini adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa dan bernama Kok Beng Lama. Di dalam cerita Petualang Asmara telah diceritakan bahwa Kok Beng Lama ini adalah ayah kandung dari Pek Hong Ing isteri dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong. Usia pendeta Lama ini sudah delapan puluh tiga tahun namun tubuhnya masih sehat, kokoh kekar dan tinggi besar seperti raksasa. Karena ketuanya tidak mempunyai keinginan sesuatu, maka semua anggauta Lama Jubah Merah juga tidak menginginkan sesuatu kecuali hidup aman tenteram dan sehat di lembah pegunungan dekat sungai yang tanahnya subur itu. Melihat betapa Kok Beng Lama hanya tekun melatih ilmu kepada murid tunggalnya,

   Maka para Lama itupun terbawa-bawa, tekun melatih ilmu-ilmu mereka yang memang sudah tinggi sehingga kepandaian mereka menjadi makin masak. Murid tunggal dari Kok Beng Lama ini adalah Cia Bun Houw, putera dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Semenjak berusia lima belas tahun, tepat seperti telah dijanjikan oleh Cia Keng Hong dan isterinya, maka Bun Houw dikirim ke tempat sunyi ini untuk belajar ilmu dari Kok Beng Lama selama lima tahun. Perjanjian ini diadakan ketika Bun Houw diculik oleh para Lama yang dulu memberontak kepada Pemerintah Tibet (baca cerita Petualang Asmara). Dengan amat tekunnya pendeta itu menurunkan ilmu-ilmunya yang paling tinggi, hasil penggemblengan ayah bundanya yang sakti di Cin-ling-pai. Pemuda itupun amat suka akan ilmu silat,

   Maka diapun rajin sekali berlatih sehingga dengan mudahnya semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh gurunya dapat dia terima dan kuasai dengan mudahnya. Tanpa terasa, lima tahun telah hampir lewat selama Bun Houw hidup di tempat sunyi itu. Namun dia tidak merasa kesunyian karena dia diberi kebebasan secukupnya oleh gurunya, bahkan dia diperkenankan mengunjungi dusun-dusun di sekitar tempat itu sehingga dia dapat berhubungan dengan rakyat Tibet yang cara hidupnya aneh dan asing baginya. Berkat pergaulan ini, sebentar saja Bun Houw sudah pandai berbahasa Tibet dan setelah tinggal di situ selama lima tahun, dia telah mempunyai banyak kenalan dan sahabat. Kini Cia Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Karena ayahnya dan ibunya dahulu terkenal sebagai pria yang tampan dan wanita ang cantik sekali,

   Maka tidaklah mengerankan apabila pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang gagah dan wajah yang tampan pula. Dan berbeda dengan wata encinya, Cia Giok Keng, yang galak dan keras hati, sebaliknya watak pemuda in halus dan manis budi, romantis dan sama sekali tidak suka akan kekerasan! Agaknya watak ini terbina karena dia hidup selama lima tahun di tengah-tengah para Lama yang hidup penuh damai itu, dan pergaulannya dengan rakyat Tibet yang masih jujur, polos dan wajar sikapnya dalam cara hidupnya sehari-hari. Bun Houw suka akan segala yang indah-indah, dia dapat menikmati keindahan alam sampai berjam-jam tanpa bosan, melihat keindahan matahari terbit atau matahari terbenam, melihat keindahan kembang-kembang dan duduk termenung di pinggir sungai melihat air mengalir tiada hentinya sambil berdendang gembira

   Kegagahannya, ketampanannya, dan kemanisan budinya itu tentu saja membuat semua orang suka kepadanya, terutama sekali dara-dara Tibet yang berwatak polos dan wajar. Diam-diam banyak sekali dara Tibet yang jatuh cinta kepada Bun Houw. Akan tetapi Bun Houw bersikap manis kepada mereka semua, dan terutama sekali kepada seorang dara puteri ketua dusun yang bernama Yalima, seorang dara berusia lima belas tahun, cantik rupawan seperti setangkai bunga teratai ungu. Demikian cantik dan selelu gembira dara ini sehingga Bun Houw merasa suka sekali kepada Yalima, dan seringkali dua orang muda ini berjalan-jalan, bersendau-gurauan, bahkan Bun Houw berkenan mengajarkan ilmu silat sekedarnya kepada dara ini. Atas permintaan Bun Houw, dara Tibet ini menyebutnya koko (kakak) sedangkan dia sendiri menyebut moi-moi (adik) kepada dara itu.

   Mereka masing-masing saling mengajar Bahasa Han dan Tibet, dan berkat bantuan dara inilah maka Bun Houw pandai bicara dalam Bahasa Tibet dengan lancar sedangkan Yalima, biarpun dapat juga mengerti Bahasa Han, namun dia hanya dapat mengucapkan kata-kata Han dengan kaku dan lucu. Tidak pernah ada sepatahpun kata cinta keluar dari mulut kedua orang muda ini, namun tidak saling berjumpa dua tiga hari saja mereka merasa tersiksa dan rindu! Pada suatu senja, ketika Bun Houw sudah lelah berlatih ilmu pedang dan duduk beristirahat seorang diri di tempat yang disukainya, yaitu di sebuah puncak dari mana dia dapat menyaksikan matahari terbenam, pemuda ini termenung dan tenggelam ke dalam keindahan pemandangan alam yang dihadapinya. Jauh di balik puncak-puncak gunung di barat,

   Matahari terbenam meninggalkan cahaya merah, kuning, biru yang luar biasa indahnya. Gumpalan-gumpalan mega dan awan yang biasanya berwarna kehitaman dan putih, kini terbakar oleh cahaya matahari itu menimbulkan percampuran warna sehingga terciptalah segala macam warna di dunia ini, terlukiskan di langit yang biru muda. Gumpalan-gumpalan awan itu menciptakan bermacam bentuk yang berubah-ubah dan bergerak perlahan, hampir tidak dapat diikuti pandangan mata sehingga bentuk-bentuk itu tahu-tahu berobah. Warna yang tidak menyilaukan mata, sedap dipandang dan amat berkesan di dalam hati. Keindahan yang baru, yang tidak ada hubungannya dengan keindahan matahari terbenam di waktu kemarin atau yang sudah-sudah karena memang tidak pernah sama. Keindahan yang hidup, tidak mati seperti lukisan tangan manusia.

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Koko...!"

   Suara itu dikenalnya seketika. Siapa lagi yang memiliki suara merdu jernih seperti itu, yang menyebut kata "koko"

   Dengan tekanan suara dan nada seperti itu kalau bukan Yalima? Suara yang merupakan keindahan baru bagi telinga, dan ketika dia menoleh dan memandang, agaknya keindahan alam di waktu matahari terbenam itu masih kalah indahnya oleh dara yang kini berdiri di depannya. Akan tetapi, mendadak Bun Houw meloncat bangun dan memandang dengan kaget dan heran. Wajah yang biasanya segar, dengan sepasang pipi merah muda, sepasang mata bersinar-sinar, bibir merah basah yang tersenyum manja penuh tantangan terhadap kehidupan, kini tampak layu dan tidak bersinar lagi, biarpun masih seindah matahari terbenam!

   "Moi-moi! Ada apakah...?"

   Tanyanya sambil meloncat mendekat dan memegang tangan yang halus kulitnya akan tetapi agak kasar telapak tangannya karena setiap hari harus bekerja berat itu.

   Mendengar pertanyaan orang yang selalu dikenangnya ini, tiba-tiba Yalima menangis sesenggukan dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw! Sejenak Bun Houw menengadah dan memejamkan matanya. Aneh rasanya! Baru sekali ini dia begitu dekat dengan Yalima, biarpun hampir setiap hari mereka bercanda. Dara ini merangkul pinggangnya dan mendekapkan muka pada dadanya, terisak menangis dengan penuh kesedihan. Bun Houw menekan jantungnya yang berdebar tegang, kini kekhawatiran menguasai hatinya dan melupakan ketegangan yang aneh itu. Tangannya mengusap rambut yang hitam halus dan amat panjang, dikuncir menjadi dua itu. Diusapnya rambut di kepala yang berbau harum bunga itu.

   "Aih, moi-moi, tenangkanlah hatimu dan ceritakan apa yang terjadi maka engkau yang belum pernah kulihat menangis menjadi begini berduka. Ceritakanlah dan aku pasti akan menolongmu."

   Mendengar ucapan ini, Yalima melepaskan rangkulan kedua lengannya pada pinggang pemuda itu dan melangkah mundur. Mukanya menjadi merah sekali, matanya juga agak merah dan air mata membasahi kedua pipinya, juga baju dalam Bun Houw menjadi basah. Sepasang alis kecil hitam melengkung indah seperti dilukis itu agak berkerut, akan tetapi terkilas di pandang matanya sikap yang agak canggung dan malu, agaknya baru teringat olehnya betapa tadi dia memeluk pemuda itu dan mendekap begitu erat. Bun Houw menuntun tangan dara itu duduk di atas batu-batu licin bersih yang sering mereka pergunakan sebagai bangku-bangku di waktu mereka bercakap-cakap dan bersendau gurau di situ. Bun Houw mengeluarkan sehelai saputangan bersih dan kering dari sakunya karena dara itu memegang saputangan yang sudah basah semua.

   "Keringkanlah air matamu dan hidungmu!"

   Katanya tersenyum menghibur. Yalima menerima saputangan itu, menyusut air matanya, juga hidungnya karena di waktu menangis tadi, bukan hanya matanya yang mengeluarkan air, melainkan juga hidungnya. Tanpa malu-malu karena memang mereka sudah akrab, Yalima menyusut hidungnya yang kecil mancung, kemudian dia mengembalikan saputangan yang menjadi basah itu akan tetapi sebelum Bun Houw menerimanya, dia sudah menariknya kembali dan berkata, suaranya agak parau karena tangis.

   "Biar kucuci dulu!"

   "Ahh, mengapa pula kau ini? Tidak usah dicuci juga tidak apa!"

   Bun Houw mengambil kembali saputangannya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.

   "Terima kasih..."

   Dara itu berkata, menyedot hidungnya dan menahan isak.

   "Moi-moi, apakah yang terjadi? Kau mengejutkan hatiku benar."

   "Koko, benarkah engkau akan menolongku?"

   "Tentu saja!"

   Gadis cilik itu menggelengkan kepalanya dengan muka sedih.

   "Tidak mungkin, koko. Kau tidak akan bisa menolongku."

   "Ceritakanlah dulu apa persoalannya, jangan kau mudah putus harapan."

   Dara itu memandang wajah Bun Houw, lalu tiba-tiba dia memegang tangan pemuda itu, dikepalnya tangan kanan pemuda itu dengan jari-jari kedua tangannya yang kecil, diguncangnya dan didekapnya sekuat tenaganya ketika dia berkata,

   "Koko, kautolonglah aku, tolonglah aku! Ayah hendak membawaku ke Lhasa!"

   Bun Houw memandang aneh.

   "Ah, mengapa engkau minta tolong? Bukankah sudah sering engkau diajak ayahmu ke Lhasa?"

   "Akan tetapi sekali ini untuk selamanya, koko. Aku tidak akan kembali kesini lagi."

   "Eh? Mengapa begitu?"

   "Aku... aku... akan dihaturkan kepada seorang pangeran..."

   Gadis itu kembali terisak dan memandang Bun Houw dengan mata basah.

   "Koko, kautolonglah aku... akan tetapi... bagaimana mungkin... ahh, bagaimana baiknya, koko?"

   Bun Houw memegang kedua pundak dara itu sambil temenyum.

   "Engkau ini aneh sekali, moi-moi. Setiap orang wanita di daerah ini tentu akan menceritakan berita ini sambil tertawa-tawa penuh bahagia. Bukankah setiap wanita, terutama setiap orang gadisnya di daerah ini selalu mengharapkan agar dapat dihaturkan kepada seorang pangeran yang berkuasa di Lhasa? Kau akan berganti pakaian indah setiap hari, tidak usah bekerja di sawah dan bekerja berat, berenang di atas uang dan perhiasan, terhormat dan senang..."

   "Aku tidak mau! Aku tidak suka!"

   "Hemm, kau lebih suka tetap menjadi seorang petani miskin di sini...?"

   "Biar! Aku lebih suka menjadi petani miskin di sini!"

   "Dan... kelak menikah dengan seorang petani miskin pula, selama hidup menderita kurang makan dan pakaian?"

   "Tidak! Ayahku kepala dusun, dia sudah cukup..."

   "Tetap saja kelak engkau akan menikah dengan seorang petani..."

   "Tidak! Aku tidak sudi menikah dengan petani!"

   "Habis, dapat pangeran tidak mau, petani tidak mau..."

   "Pendeknya aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini, tidak mau pergi meninggalkan engkau, koko!"

   Bun Houw tersentak kaget, sejenak termenung memandang langit yang sudah mulai gelap, cahaya kemerahan sudah mulai menipis. Dara itu terisak lagi.

   "Moi-moi, bagaimana... aku dapat menolongmu?"

   "Hu-hu-huuuk... aku sudah tahu... kau tak dapat menolongku... hu-huuh!"

   Yalima menangis lagi.

   "Tenang dan dengarlah, moi-moi. Aku akan berusaha. Besok aku akan menemui ayahmu dan membujuknya. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, mengapa ayahmu yang telah menjadi kepala dusun, yang tidak kekurangan sesuatu, hendak mempersembahkan engkau kepada seorang pangeran?"

   Yalima menyusuti air matanya dan menghentikan tangisnya, kemudian setelah berulang kali menghela napas dia berkata,

   "Seperti telah kauketahui, koko, aku mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ayah ingin agar kedua orang kakakku berhasil memperoleh kedudukan baik kelak di Lhasa dan jalan satu-satunya hanyalah memasukkan mereka bekerja membantu seorang pangeran yang berpengaruh. Untuk mengambil hati pangeran itu, uang tidak ada gunanya karena kekayaan ayah hanya sedikit dan pangeran itu tidak membutuhkan uang. Maka ayah lalu mengambil keputusan untuk mempersembahkan aku kepadanya. Pangeran itu amat berpengaruh sehingga kalau aku dapat berada di sana tentu semua keluarga akan terangkat dan terutama kedua orang kakakku akan mudah memperoleh kedudukan yang baik. Pangeran itu kabarnya tua sekali, akan tetapi kedudukannya tinggi. Aku tidak suka, koko, sungguh mati, aku tidak suka!"

   Bun Houw menarik napas panjang.

   "Moi-moi, ingatkah engkau bahwa kita pernah membicarakan nasib wanita di sini? Di sini, bahkan juga di negeriku sana, wanita seperti barang dagangan saja, tidak seperti manusia. Wanita tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib dirinya sendiri, hanya menurut saja kepada orang tua untuk diberikan atau dijual kepada siapapun juga. Jelas bahwa demi kemakmuran keluargamu, engkau hendak dikorbankan, dijual dengan cara halus kepada pangeran itu oleh ayahmu. Dan tentu ayahmu menganggap hal itu wajar dan baik saja, karena kebiasaan itu telah berjalan ratusan tahun. Kaulah yang aneh dan dianggap salah kalau kau menolak, hal itu dianggap sebagai suatu pemberontakan terhadap kebiasaan yang sudah turun-menurun dan dianggap tidak berbakti terhadap orang tua."

   "Akan tetapi aku tidak suka meninggalkan... engkau, koko!"

   Bun Houw menggigit bibirnya, hatinya terguncang tanpa dia tahu mengapa. Ucapan itu seperti menusuk hatinya.

   "Moi-moi, aku akan menemui ayahmu besok pagi. Sekarang pulanglah agar engkau tidak dicari dan dimarahi ayahmu. Biasanya dia sangat suka dan hormat kepadaku, siapa tahu dia akan mendengar bujukanku dan merobah niatnya itu."

   "Ah, terima kasih, koko! Malam ini aku tidak akan tidur, aku akan bersembahyang semalan suntuk agar ayah suka menurut kata-katamu."

   Setelah berkata demikian, dara itu bangkit berdiri, melepaskan tangan Bun Houw perlahan-lahan dan ragu-ragu seolah-olab dia merasa sayang melepaskannya, kemudian dia barlari dari situ dengan lincahnya.

   Sampai lama Bun Houw mengikuti bayangan dara itu menurunt puncak. Setelah bayangan itu menghilang di balik batu besar, barulah dia bangkit berdiri dan dengan gerakan cepat sekali dia berlompatan dan berlari-lari pulang ke kuil. Hatinya terasa tidak enak sekali sehingga malam itu dia tidak bisa makan dan setelah berada di dalam kamarnya dia tidak dapat tidur nyenyak. Sepanjang malam dia gelisah dan kalau dapat pulas terganggu oleh mimpi buruk tentang Yalima. Hatinya gelisah dan penuh penasaran mengingat betapa Yalima akan diberikan sebagai sebuah benda berharga kepada seorang pangeran tua. Terbayang olehnya betapa dara muda itu dengan penuh kengerian harus menyerahkan diri dijadikan barang permainan seorang pangeran tua! Betapa mengerikan!

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah keluar dari kuil dan berlatih silat pedang di belakang kuil. Hatinya penuh dengan rasa penasaran yang mendekati kemarahan. Bayangan betapa Yalima menangis dan meronta-ronta dalam pelukan seorang pangeran tua, merintih dan minta tolong kepadanya, membuat Bun Houw seperti diamuk api yang panas hatinya. Dia bersilat pedang dengan amat ganasnya. Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung amat panjang dan lebarnya, menimbulkan angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan memekakkan telinga, dan daun-daun pohon tergetar bahkan ujungnya berhamburan ke bawah seperti dibabat senjata tajam ketika pedang itu bergerak dengan sinarnya ke atas.

   Berkali-kali Bun Houw meneriakkan bentakan-bentakan nyaring seolah-olah dia sedang merobohkan semua orang yang sedang memaksa Yalima menuju ke pelukan pangeran tua. Akan tetapi, betapapun kemarahan menguasai dirinya, dia tidak melupakan ilmu pedang yang diajarkan oleh gurunya, bahkan dengan semangat meluap-luap dia mencoba mainkan jurus simpanan yang amat sukar dilatih, yaitu jurus rahasia yang oleh suhunya dinamakan jurus Hong-tian-lo-te (Angin dan Kilat Mengacau Bumi). Tiba-tiba terdengar bunyi berdesing, pedang itu melayang ke udara dan pada saat itu, kedua tangan Bun Houw terkepal, dengan tenaga sin-kang yang dahsyat kepalan kirinya menghantam ke arah pohon besar dan kepalan tangan kanannya melayang ke arah batu di tempat itu.

   "Krakkk...! Pyarrrr...!"

   Pohon itu tumbang dan batu pecah berhamburan, sedangkan pedang itu sudah melayang turun kembali, cepat disambar oleh tangan kanan pemuda itu dan empat kali pedang berkelebat maka sisa batang pohon terbabat putus dua kali dan sisa batu juga pecah dua kali oleh pedang itu! Mata Bun Houw terbelalak dan mukanya agak pucat, terkejut bukan main dia menyaksikan akibat latihannya mainkan jurus ampuh itu. Bukan saja jurus itu dapat dia mainkan dengan baik, juga sesaat tadi dia lupa sama sekali, lupa diri sehingga dia merusak pohon dan batu yang sama sekali tidak bersalah, bahkan yang merupakan penghias tempat itu. Dengan mata kosong dia memandang bekas tempat pohon dan batu besar dan merasa malu kepada diri sendiri. Dia mengerti bahwa kebingungan dan kemarahan membuat dia lupa diri dan bertindak seperti orang gila.

   "Omitohud... mengerikan sekali engkau mainkan Hong-tian-lo-te!"

   Bun Houw membalikkan tubuhnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama.

   "Harap suhu sudi memaafkan teecu. Teecu telah berhasil melatih Hong-tian-lo-te, akan tetapi teecu telah merusakkan batu dan pohon ini."

   "Siancai... engkau pinceng (aku) lihat seperti sedang kemasukan setan. Muridku, ayo cepat katakan kepada gurumu, mengapa engkau tiba-tiba berubah menjadi pemarah seperti ini!"

   Bun Houw tidak sanggup mengelabui pandang mata gurunya yang biarpun tua masih amat tajam itu, dan iapun berpendapat bahwa mungkin gurunya dapat memberi jalan yang baik bagaimana agar Yalima tidak sampai dipaksa menjadi selir pangeran tua di Lhasa.

   "Memang teecu sedang merasa penasaran sekali, suhu, mendengar cerita seorang sahabat teecu bernama Yalima puteri kepala dusun di bawah puncak. Dia hendak dipersembahkan kepada seorang pangeran tua di Lhasa, padahal anak itu tidak mau dan dia kemarin telah menemui teecu dan sambil menangis minta tolong kepada teecu. Karena merasa tidak sanggup menolongnya, maka teecu menjadi penuh penasaran sehingga ketika berlatih tadi tanpa disadari teecu telah melampiaskan kemarahan dan rasa penasaran teecu..."

   "Terhadap sebatang pohon dan sebongkah batu yang tidak berdosa. Ha-ha-ha! Betapa lucunya! Coba ceritakan dengan jelas kepada pinceng."

   Bun Houw lalu menceritakan kepada suhunya tentang diri Yalima dengan suara penuh semangat. Gurunya mendengarkan sambil tersenyum. Setelah Bun Houw selesai bercerita, dia bertanya,

   "Lalu, apa yang hendak kaulakukan untuk menolong gadis itu?"

   "Teecu hendak menjumpai ayahnya yang telah teecu kenal dengan baik dan teecu hendak membujuknya agar dia mengurungkan niatnya itu."

   Kembali Kok Beng Lama tertawa bergelak, kemudian dia meninggalkan muridnya setelah berpesar agar muridnya melanjutkan latihannya pagi hari itu, setelah selesai latihan baru boleh pergi. Bun Houw lalu berlatih penuh semangat dan latihan yang sungguh-sungguh ini membuat tubuhnya lelah dan tidak memberi kesempatan kepada pikirannya untuk membayangkan hal yang amat tidak disukanya, yaitu bayangan Yalima dalam pelukan pangeran tua!

   Setelah selesai berlatih, barulah dia bertukar pakaian sehabis mandi bersih, lalu dia meninggalkan kuil, turun dari puncak menuju ke dusun tempat tinggal Yalima dan langaung mendatangi rumah kepala dusun yang merupakan rumah terbesar di dusun itu. Kepala dusun menyambutnya dengan ramah dan mempersilakannya duduk di ruangan dalam, Bun Houw sudah amat dikenal di dusun itu, dan sudah beberapa kali dia datang di rumah kepala dusun ini untuk bercakap-cakap. Ketika dia duduk, dia melihat Yalima dengan muka masih pucat namun mata bersinar penuh harapan berkelebat di ruangan belakang, memandang kepadanya. Keraguan hatinya lenyap dan ketika tuan rumah menanyakan keperluannya datang di rumah itu, dengan suara tenang Bun Houw berkata,

   "Harap paman memaafkan saya. Kedatangan saya ini ada hubungannya dengan berita yang saya dengar bahwa paman hendak mempersembahkan adik Yalima kepada seorang pangeran tua di Lhasa, benarkah berita itu?"

   "Wahai orang muda! Urusan ayah dengan anak perempuannya sebetulnya adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Akan tetapi karena engkau adalah orang Han, maka biarlah tidak mengapa, apalagi memang engkau adalah murid tunggal yang mulia Kok Beng Lama dan sahabat baik puteriku. Memang benar berita itu, Cia-kongcu (tuan muda Cia)."

   "Maaf, paman. Akan tetapi, Yalima tidak suka dipersembahkan kepada pangeran tua itu, mengapa harus demikian?"

   Orang tua itu menarik napas panjang.

   "Ahh, kongcu tidak mengerti keadaan kami di sini. Satu-satunya harapan bagi rakyat Tibet untuk dapat hidup terpandang dan kecukupan hanyalah apabila bisa memperoleh kedudukan di Lhasa dan jalan satu-satunya untuk itu hanya melalui orang-orang yang mempunyai pengaruh seperti para pangeran. Saya hanya seorang kepala dusun yang miskin dan tidak ada cara lain untuk dapat mendekati seorang pangeran kecuali melalui anak perempuanku yang kebetulan terlahir cantik menarik. Hanya itulah modal kami, kongcu. Kalau kami melakukan persembahan itu, yang kuyakin akan diterima karena Yalima amat cantik menarik, maka kami sekeluarga akan hidup bahagia. Yalima akan menjadi seorang wanita bangsawan yang terhormat dan kaya raya, orang tuanya juga akan terangkat derajatnya sedangkan dua orang kakaknya akan memperoleh kedudukan mulia di sana."

   

Petualang Asmara Eps 32 Pedang Kayu Harum Eps 51 Pedang Kayu Harum Eps 50

Cari Blog Ini