Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 26


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



"Orang ini kepandaiannya juga hebat, Sri Baginda. Akan tetapi hamba mohon agar Paduka bersikap waspada. Orang seperti dia ini sama sekali tidak boleh dipercaya secara bulat-bulat,"

   Kata The Ho perlahan secara kaisar. Kaisar tersenyum.

   "Anjing yang betapa galak pun kalau pandai mempergunakannya, dapat menjadi penjaga yang setia, Ciangkun."

   The Ho menganguk-angguk dan dia pun tidak merasa gelisah karena orang pandai ini sudah mengenal kebijaksanaan junjungannya. Sementara itu, dua orang yang bertanding itu masih terus saling menyerang dengan seru, akan tetapi kini terjadi perubahan.

   Siauw Lek kelihatan mulai mendesak dengan pukulan-pukulan ampuh yang bertubi-tubi sehingga Theng Kiu tidak mampu lagi membalas. Sebetulnya Theng Kiu tidaklah terdesak, dan memang dia sengaja main mundur dan bersikap seolah-olah terdesak. Hal ini sengaja dia lakukan untuk membuat lawan lengah. Ia hendak mempergunkan ilmu gulatnya untuk menangkan pertandingan ini. Andaikata dia menghadapi lawan lain, tentu sudah dia keluarkan sejak tadi untuk mencapai kemenangan. Akan tetapi dia maklum bahwa Siauw Lek adalah lawan yang amat tangguh dan senjatanya yang paling ampuh dalam pertandingan tangan kosong hanya ilmu gulatnya. Kalau dia keluarkan sembarangan dan diketahui lawan, agaknya lawan akan bersikap hati-hati sehingga sukar ditangkap. Maka dia sengaja bersikap terdesak untuk menyergap lawan secara tiba-tiba selagi lawan lengah.

   Pada saat Siauw Lek mengiri pukulan dengan lengan kanan dengan kuat dan cepat sekali ke arah dada Theng Kiu, pengawal berambut putih itu menggerakkan tangan menangkis, akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah tadi, tangkisannya kurang tenaga sehingga kepalan tangan Siauw Lek masih meleset dan menuju dadanya. Agaknya Theng Kiu waspada sehingga mengirangkan hati Siauw Lek yang merasa bahwa pukulannya tentu akan mengenai sasaran. Duagaannya memang tepat, kepalan tangannya menyentuh dada lawan akan tetapi tangan yang menangkisnya tadi kini tahu-tahu telah mencekal pergelangan tangannya dan tubuh lawan secara tiba-tiba merendah, membungkuk dan Siauw Lek merasa tubuhnya terlempar tinggi di udara!

   Hebat sekali serangan balasan Theng Kiu ini, yang menggunakan cara melontarkan yang istimewa, yaitu meminjam tenaga pukulan Siauw Lek dan mempergunakan tubuhnya sebagai pengganjel lengan Siauw Lek yang ditangkap sebagai pengayun maka terlontarlah tubuh Siauw Lek sampai tinggi dan jauh. Kalau bukan Siauw Lek yang sudah memiliki ginkang tinggi, berbahayalah lawan yang dilontarkan seperti ini, karena kalau terbanting dengan kepala lebih dulu tentu akan tewas seketika. Akan tetapi Siauw Lek tidak kehilangan akal. Sungguhpun tubuhnya melayang ke atas di luar kehendaknya sehingga untuk sesaat dia kehilangan keseimbangan tubuhnya, namun di udara dia sudah dapat menggerakkan tubuh dengan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Mencuat) dan di udara itu tubuhnya berpoksai (bersalto) tiga kali sehingga ketika tubuhnya melayang turun kembali,

   Dia sudah dapat menguasai tubuhnya dan turun dengan arah terkendali, yaitu turun menukik ke arah lawan sabil mengirim pukulan dengan kedua tangan seperti gerakan seekor garuda menyambar kelinci! Gerakan Theng Kiu ketika menangkap dan melontarkan lawan tadi memang hebat, akan tetapi gerakan Siauw Lek itu lebih indah sehingga terdengar seruan-seruan memuji. Adapun Theng Kiu yang menjadi penasaran, sudah menggeser tubuh ke belakang sehingga serangan Siauw Lek luput dan mereka kembali saling berhadapan. Siauw Lek tersenyum dan maklumlah kini dia bahwa "simpanan"

   Lawannya adalah ilu melontarkan tubuh lawan yang menjadi sebagian daripada ilu gulat utara. Siauw Lek bukanlah seorang pemuda hijau. Dia sudah mengalami banyak pertempuran dan dia banyak tahu akan ilmu silat ini,

   Maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk mengalahkan lawan ini dengan mencari titik kelemahan ilmu gulat! Ia tahu bahwa seorang ahli gulat, amat takut terlalu lama menangkap seorang ahli silat, takut akan pukulannya, maka begitu menangkap tentu akan dilontarkan atau di banting. Sebaliknya, seorang ahli silat biasanya bersikap hati-hati kalau melawan seorang ahli gulat, dan selalu bertanding dengan jarak jauh karena maklum akan lihainya ilmu gulat yang bukan lain adalah ilmu mencengkeram dan menangkap semacam Eng-jiauw-kang dan Kin-na-hoat. Setelah membuat perhitungan dan mencari akal, kembali Siauw Lek menerjang maju dengan pukulan-pukulan berat. Sekali lagi dia tertangkap, bahkan kini kedua lengannya yang ditangkap dengan beberapa kali tekukan tubuh, Siauw Lek telah diangkat dan sekali ini dia dibanting ke atas lantai.

   "Bruuukkkkk!"

   Debu mengebul ketika tubuh Siauw Lek terbanting ke atas lantai saking kerasnya bantingan, akan tetapi tubuh Siauw Lek sudah mencelat bangun kembali, sebaliknya, tubuh Theng Kiu terguling dan tidak dapat bangun karena pada saat dia dibanting dan dilepaskan oleh cekalan tangan lawan, Siauw Lek sudah secepat kilat menggerakkan tangan mengirim pukulan sinkang yang tepat mengenai lambung Theng Kiu. Biarpun tidak sangat tepat dan keras kenanya karena posisi Siauw Lek yang sedang dibanting itu, namun karena pukulan itu mengandung sinkang dan yang terkena adalah bagian tubuh yang lemah, cukup untuk merobohkan Theng Kiu yang perutnya menjadi nyeri dan napasnya sesak! Melihat keadaan lawannya, Siauw Lek cepat menghampiri dan dengan beberapa kali totokan dan pijatan, akhirnya Theng Kiu tidak begitu menderita. Keduanya lalu berlutut di depan kaisar dan Theng Kiu berkata,

   "Hamba mengaku kalah dalam bertanding tangan kosong dengan saudara Siauw Lek, Sri Baginda."

   Kaisar mengangguk-angguk dan The Ho tai-caiangkun berkata,

   "Mereka berdua lebih lihai daripada pengawal kepala, pangkat apakah yang akan Paduka berikan kepada mereka, Sri Baginda?"

   Kaisar tersenyum memandang panglima tinggi yang dahulunya merupakan sahabat seperjuangan itu, dan berkata lirih,

   "Aku telah mempunyai lima orang pengawal rahasia yang terdiri dari orang-orang sakti, kalau kini ditambah dua orang lagi, bukankah lebih baik, The ciangkun? Mereka hidup mewah dan bebas, akan tetapi bertugas untuk secara rahasia mengawal kaisar dengan taruhan nyawa mereka. Ingin mengenal mereka?"

   Tanpa menanti jawaban panglima itu tahu pasti akan menyetujuinya, kaisar sudah memasukkan sebuah benda kecil ke mulutnya dan meniup. Terdengarlah suara melengking tinggi dan beberapa detik kemudian, baru saja kaisar menyimpan kembali benda yang ternyata semacam peluit kecil itu ke dalam saku, dari jendela, pintu, dan atas genteng melayang turun lima bayangan orang yang gerakannya cepat laksana burung-burung menyambar dan tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri lima orang laki-laki tua yang memandang kaisar, kemudian memandang ke kanan kiri penuh kewaspadaan dan persiapan.

   Cui Im memandang penuh perhatian dan dengan kaget dia mengenal bahwa seorang di antara lima orang kakek itu bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong, kakek tinggi besar yang berkulit hitam arang, matanya kelihatan putih dan telinganya lebar seperti telinga gajah, di pinggangnya tergantung senjata rantai dengan kedua ujungnya terdapat tengkorak! Akan tetapi Siauw Lek lebih kaget lagi karena dia mengenal lima orang itu yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh kang-ouw, datuk-datuk dunia hitam atau golongan sesat. Yang seorang jelas adlah Pak-san Kwi-ong, tokoh nomor satu dari utara, akan tetapi yang empat orang juga merupakan tokoh-tokoh besar yang telah lama menjagoi perbatasan utara dari barat ke timur, merupakan "iblis-iblis"

   Sepanjang Tembok Besar. Yang pertama bernama Gu Coan Kok yang terkenal dengan julukan Iblis Cebol, tingginya tidak ada satu setengah meter, akan tetapi senjatanya adalah sebatang tongkatnya yang panjangnya lebih dari ukuran tubuhnya!

   Orang ke dua adalah seorang yang tubuhnya tinggi besar, lebih tinggi dari Pak-san Kwi-ong sendiri, akan tetapi punggungnya bongkok, senjatanya istimewa karena senjata ini tak pernah dapat dia lepaskan, yaitu cakar baja yang telah tertanam di ujung jari tangannya, menggantikan sepuluh kuku jari yang semuanya berbisa. Dia ini adalah Hok Ku, seorang keturunan suku bangsa Kerait dan berjuluk Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Suku bangsa Kerait adalah suku bangsa di utara yang dahulu pernah mengalami masa jaya di samping suku bangsa Nalman, bahkan sebelum suku bangsa mongol menjadi besar. Mongol pernah tunduk kepada bangsa Kerait. Orang ke tiga bermuka putih seperti mayat, tinggi kurus dan kedua tangannya memegang pisau kecil runcing dan taja mengkilap.

   Dia inilah Kemutani, seorang perankan bangsa Mongol dan Han, dan biarpun senjatanya hanya pisau-pisau kecil, akan tetapi justeru senjata sederhana inilah yang membuat namanya terkenal karena selain dia seorang ahli dalam bersilat menggunakan sepasang pisau ini, juga pisau-pisau itu dapat dia lontarkan dari jarak dekat atau jauh dengan cepat dan tepat sehingga dia mendapat julukan Hui-to (Si Pisau Terbang). Orang ke empat bertubuh bulat bundar seperti bola saking gendut dan pendeknya, kedua kakinya pendek dan besar seperti kaki gajah, tubuhnya merupakan bulatan besar seperti gentong dan kepalanya merupakan bulatan kecil seperti bola. Biarpun bentuk tubuhnya lucu, akan tetapi sepak terjang Couw Seng yang berjuluk Thai-lek Sin-mo ( Iblis Sakti Bertenaga Besar) ini sama sekali tidak lucu, apalagi bagi lawannya karena dia benar-benar lihai sekali dan sukar dikalahkan.

   "Ha-ha-ha, kalian berlima jangan kaget. Kami memanggil kalian bukan karena ada ancaman bahaya, melainkan hendak kami perkenankan dengan dua orang pengawal rahasia yang baru sebagai rekan-rekan kalian. Mereka berdua itulah pengawal-pengawal yang baru."

   Kaisar berkata sambil menuding ke arah Cui Im dan Siauw Lek. Mendengar ucapan kaisar ini barulah sikap lima orang pengawal rahasia itu tidak tegang dan mereka tersenyum-senyum, bahkan lalu menjura penuh hormat kepada kaisar.

   Hanya lima orang pengawal rahasia inilah yang dibebaskan daripada kebiasan menghormat kaisar sambil berlutut karena mereka itu setiap detik harus waspada dan menjaga kaisar secara diam-diam dan rahasia, berbeda dengan para pengawal pribadi yang seolah-olah menjadi kaki tangan kaisar, ke manapun kaisar bergerak selalu harus menjaga di samping kaisar. Adapun liam orang pengawal rahasia ini seperti bayangan kaisar, kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak, namun selalu siap untuk membela kaisar pada saat-saat diperlukan. Maka begitu kaisar meniup peluit sebagai tanda rahasia panggilan, lima orang pengawal ini muncul secara tiba-tiba. Secara bergiliran, mereka berlima ini melakukan penjagaan siang malam. Setelah lima orang ini merasa yakin bahwa keselamatan kaisar tidak terancam, mereka memandang ke arah dua orang yang disebut pengawal baru oleh kaisar itu dan terdengarlah seruan-seruan,

   "Kim-lian jai-hwa-ong....!"

   "Eh, Tok-sian-li, engkaukah ini?? Benarkah bahwa Lam-hai Sin-ni telah kau...."

   "Pak-san Kwi-ong, perlukah kita harus membongkar-bongkar keburukan masing-masing di hadapan yang mulia Sri Baginda Kaisar?"

   Cui Im membentak marah sambil menudingkan telunjuknya kepada kakek tinggi besar berkulit hitam itu.

   "Urusan pribadi tidak ada sangkut-pautnya dengan pengabdian kita kepada Sri Baginda. Atau, kalau engkau dan empat orang kawanmu ini merasa terlalu tinggi untuk bekerja sejajar dengan aku, dan merasa terlalu pandai, hemmm.... aku Ang-kiam Bu-tek akan mampu membuktikan bahwa aku dapat merobohkan kalian seorang demi seorang atau bahkan sekaligus!"

   Siauw Lek juga berkata tersenyum,

   "Kalau Sri Baginda ynag mulia menghendaki, aku pun sanggup menghadapi mereka seorang lawan seorang!"

   Kaisar malah tertawa girang mendengar ini, akan tetapi dia lalu mengangkat tangan berkata,

   "Pak-san Kwi-ong, dengar baik-baik perkataan kami. Kami telah menguji Ang-kiam Bu-tek dan Siauw Lek dan kami memutuskan untuk mengangkat mereka berdua ini menjadi pengawal rahasia di samping kalian berlima. Karena itu, perintahku pertama kepada kalian bertujuh adalah agar kalian jangan membuat ribut sendiri dengan urusan pribadi kalian yang tak ingin kudengar. Nah, Pak-san Kwi-ong, ajaklah mereka berdua ini yang sekarang menjadi rekan-rekanmu ke dalam dan boleh kalian bercakap-cakap di sana, jangan datang kalau tidak kupanggil!"

   Lima orang pengawal rahasia itu membungkuk, demikian pula Cui Im dan Siauw Lek yang sudah cepat dapat menyesuaikan diri, kemudian kedua orang baru ini berlalu mengikuti lima orang pengawal rahasia, tidak canggung-canggung lagi dan gerakan mereka bertujuh amat cepat tanpa mengeluarkan suara seolah-olah pribadi kaisar dilindungi oleh tujuh setan. Setelah mereka bertujuh pergi, kaisar tertawa dan melanjutkan perundingannya dengan Laksamana The Ho dan Ma Huan, membicarakan rencana kaisar untuk mengirim barisan di bawah pimpinan The Ho ke selatan, memjelajah negeri-negeri di seberang lautan. Adapun di sebelah dalam istana, di tempat rahasia, Cui Im berkata kepada Pak-san Kwi-ong yang oleh kaisar disebut Pak-san-kwi (Setan Pegunungan Utara) dan dihilangkan "ong"

   Atau rajanya.

   "Kwi-ong, kita harus mentaati perintah kaisar dan ingatlah engkau bahwa aku bukanlah Ang-kiam Tok-sian-li murid Lam-hai Sin-ni seperti dulu lagi. Aku adalah Ang-kiam Bu-tek, pewaris harta peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan tentang kepandaianku, ingat saja bahwa Lam-hai sin-ni juga roboh dan tewas di tanganku. Kalau kalian berlima menghendaki kerja sama dengan aku untuk mengawasi kaisar, baik sekali. Akan tetapi kalau kalian berlima hendak bertengkar dan menentangku, aku akan membunuh kalian dengan bantuan Kim-lian Jai-hwa-ong dan terpaksa kita semua tidak akan dapat mempertahankan kedudukan kita di sini. Mana yang kau pilih?"

   Pak-san Kwi-ong yang dianggap paling sakti di antara teman-temannya, tertawa dan berkata,

   "Ang-kiam, sebelum engkau muncul aku sudah menjadi pengawal, tentu saja aku akan selalu mentaati perintah kaisar. Sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku takut kepadamu, akan tetapi selama engkau diterima oleh kaisar sebagai pengawal rahasia, engkau akan kuanggpap sebagai rekan dan kawan, demikian pula Jai-hwa-ong ini."

   Demikianlah, mulai saat itu, Cui Im dan Siauw Lek menjadi pengawal-pengawal rahasia kaisar yang berarti bahwa mereka merupakan dua orang di antara pengawal-pengawal yang paling tinggi kedudukannya, merupakan jagoan-jagoan istana yang disegani dan ditakuti orang lain, kecuali kaisar sendiri.

   Bahkan pembesar-pembesar istana yang berpangkat tinggi sekalipun segan terhadap pengawal-pengawal rahasia ini karena mereka semua maklum bahwa apabila ada orang yang tidak setia kepada kaisar, apalagi yang berniat memberontak, tentu akan didatangi oleh pengawal-pengawal rahasia yang sakti ini dan menerima hukuman! Adanya tujuh orang pengawal rahasia yang kesemuanya terdiri dari bekas-bekas tokoh besar kaum sesat, membuktikan bahwa Kaisar Yung Lo memang pandai mempergunakan orang dan memanfaatkan kepandaian mereka, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Dan segera terkenal di seluruh dunia kang-ouw bahwa tujuh orang tokoh besar itu menghambakan diri di istana, maka hal ini sudah cukup membuat gentar hati setiap orang yang berniat memberontak.

   Biauw Eng bersama Lai Sek tiba di kota raja, sesuai dengan permintaan Lai Sek yang mengajak Biauw Eng mengunjungi sahabatnya yang menjadi orang berpangkat di kota raja untuk minta bantuan sahabatnya agar mereka berdua dapat menjadi suami isteri dan dapat bekerja di kota raja, hidup dengan tenteram. Atas petunjuk Lai Sek yang sudah tak dapat melihat lagi itu, dengan mudah Biauw Eng menemukan sahabat yang dicari. Sahabat Lai Sek ini ternyata telah menduduki pangkat tinggi, mendapat pangkat mengepalai pembangunan istana-istana di kota raja. Pangkat ini amat tinggi dan juga menjadi sumber korupsi karena semenjak jaman itu pun, pembangunan atau usaha pemerintah apa saja yang ada hubungannya dengan keuangan, baik penerimaan maupun pengeluaran uang, selalu menjadi sumber perbuatan korupsi.

   Ang Joan Ti, sahabat Sim Lai Sek itu, kini disebut orang Ang-taijin (pembesar Ang) dan menjadi bahan penjilatan dari lidah banyak orang yang menginginkan rejeki dalam usaha pembangunan besar-besaran di kota raja. Dahulu Ang Joan Ti adalah seorang sahabat ayah Sim Lai Sek, dan masih menjadi pelajar kesusastraan yang tekun dari kota Liok-keng. Setelah dia menjdi pembesar yang selalu naik pengkat berkat ketekunan dan kecerdikannya, mulailah terjadi perubahan besar pada pribadi dan watak Ang Joan Ti. Dahulu, sebagai seorang pelajar miskin yang semenjak kecil selalu menderita kekurangan, Joan Ti berwatak sederhana, tidak banyak keinginan kecuali memperdalam pelajarannya dan kelak dapat menduduki pangkat sebagaimana dicita-citakan semua orang pada waktu itu.

   Memang, pada waktu itu, hidup yang terhormat, kaya raya atau setidaknya layak, hanya dapat dicapai oleh orang yang menjadi pegawai pemerimtah. Kecuali beberapa orang tuan tanah dan pedagang yang sudah terlahir kaya, maka seluruh rakyat yang tidak menjadi pegawai pemerintah hanyalah petani-petani miskin. Setelah Joan Ti lulus ujian dan mendapat pangkat, yang mula-mula kecil di kota raja namun berkat kecerdikannya makin meningkat sampai sekarang ini. Ang Joan Ti menjadi mabuk kekayaan, mabuk kemuliaan dan mabuk kemewahan. Karena disanjung banyak orang dan pejabat rendahan yang menjilat-jilatnya agar kebagian rejeki, diangkat-angkat dan dipuji-puji, timbullah sifat sombong pada diri bekas orang dusun miskin yang tadinya amat sederhana dan rendah hati ini.

   Puji-pujian membuat dia seperti sebuah balon melayang-layang ke atas tiada puas dan batas, tidak sadar bahwa sewaktu-waktu dapat meletus dan lenyap. Kedudukan yang mulia, kemewahan yang berlebihan membuat dia terikat lebih kuat kepada kesenangan dunia, membuat dia lupa bahwa kesenangan dunia tidak ada yang bertahan lama. Yang paling cepat menjerumuskan Joan Ti sehingga menjadi berubah batinnya terutama sekali adalah pejabat bawahannya. Dalam usaha mereka menjilat dan menyenangkan hati Ang-taijin ini, bermacam-macamlah akal mereka untuk dipergunakan sebagai sogokan atau suapan. Karena pembesar ini sendiri sudah kaya raya sehingga penyuapan-penyuapan berupa harta benda takkan mengguncangkan hatinya, maka mulailah mereka itu mempergunakan alat lain, dan di antaranya adalah wanita-wanita cantik!

   Di waktu mudanya, Joan Ti bukan tergolong seorang yang mata keranjang atau gila wanita, akan tetapi semenjak dia "dilolohi"

   Wanita-wanita cantik oleh para penjilatnya, maka hal ini merupakan kesenanagn baru yang segera mencengkeramnya. Nafsu harus dikekang, kalau dituruti akan menjadi binal seperti kuda liar, dan akan menyeret manusia ke dalam jurang. Mula-mula Ang-taijin hanya menerima penyuapan berupa gadis cantik ini sebagai iseng-iseng belaka, akan tetapi dia lupa bahwa segala maksiat di dunia ini dimulai dengan iseng-iseng seperti juga api dimulai dengna bunga api yang akan menyala menjadi kebakaran besar. Iseng-iseng yang makin lama akan menjadi "hobby,"

   Akan menjadi ketagihan dan pada waktu itu, Ang-taijin terkenal sebagai seorang yang haus akan wanita cantik!

   Dan bagi seorang berkedudukan seperti dia, cadangan untuk korbannya tidak pernah surut, para penjilatnya dengan senang hati akan selalu menyediakan cadangan baru! Ang-taijin tinggal menunjuk saja kalau melihat wanita cantik dan para penjilat serta kaki tangannya akan berusaha sekuat tenaga, secara halus maupun kasar, untuk mendapatkan wanita cantik itu, baik dia bersuami atau masih gadis. Dan seorang yang sudah menjadi hamba nafsu berahi tidak lagi memiliki perasaan cinta kasih yang murni. Rasa cinta kasihnya sudah hambar dan setiap orang wanita yang berhasil didapatkan, dalam waktu satu dua bulan saja sudah membosankan baginya dan harus diganti yang baru. Wanita bagi seorang penghamba nafsu seperti Ang Joan Ti tiada lebih hanya sebagai benda yang akan membosankan setelah dipakai dan perlu diganti yang baru.

   Dalam keadaan seperti itulah Ang Joan Ti menerima kunjungan Sim Lai Sek dan Biauw Eng di gedungnya yang megah. Pria berusia empat puluh tahun lebih ini tadinya menerima Lai Sek denga kening berkerut, tidak senang hatinya harus bertemu dengan putera kawan sekampung, mengingatkan dia akan keadaannya dahulu yang miskin dan rendah. Akan tetapi begitu melihat Biauw Eng, kemuraman wajahnya sirna seketika, terganti seri dan senyum, kerling mata menyambar penuh gairah karena harus dia akui bahwa selama petualangannya dengan banyak sekali wanita belum pernah dia bertenu dengan seorang yang secantik Biauw Eng, apalagi tampak menonjol kecantikan asli gadis berpakaian sederhana ini, pakaian yang menutupi bentuk tubuh yang padat dan membayangkan kehangatan dan kekuatan!

   "Aihhh, kiranya Sim Lai Sek! Hampir aku tidak mengenalmu, Hiante! Karena mata... Eh, mengapa matamu....?"

   Sim Lai Sek tersenyum setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat,

   "saya tidak lagi dapat melihat Paman Ang, akan tetapi saya masih ingat akan suara Paman. Mata saya menjadi buta karena serangan penyakit.... dan karena keadaan saya inilah maka saya sengaja datang menghadap Paman dengan harapan, sudilah Paman mengingat akan hubungan antara Paman dan mendiang orang tuaku, untuk menolong saya."

   Di dalam hatinya Ang-taijin memaki, bukan hanya karena kedatangan orang yang tidak diharapkan dan tidak akan mendatangkan untung baginya ini, akan tetapi juga karena sikap pemuda buta ini kepadanya seperti sikap keluarga sekampung, sikap yang sudah terlupa olehnya karena setiap hari semua orang yang berhadapan dengannya bersikap sebagai orang bawahan terhadap atasannya! Pemuda buta ini agaknya lupa bahwa dia bukan lagi Ang Joan Ti si sastrawan miskin, melainkan Ang-taijin yang terhormat, berkuasa dan kaya raya! Akan tetapi, sambil mengerling ke wajah manis Biauw Eng yang menundukkan muka, dia tersenyum dan berkata, suaranya penuh keramahan,

   "Sim-hiante, mengapa engkau begini sungkan? Kita seperti keluarga sendiri, dan setelah sekarang aku menjadi seorang pembesar, tentu saja aku akan membantu engkau dan... Eh, siapakah adik ini?"

   Suaranya terdengar mesra sekali ketika dia menyebut "siauw moi."

   Menyebut adik padahal Biauw Eng lebih patut menjadi anaknya. Biauw Eng adalah seorang dara remaja yang belum banyak pengalamannya menghadapi pria dengan akal bulus mereka merayu wanita, akan tetapi perasaan kewanitaannya mebisikkan bahwa laki-laki ini tidaklah sejujur seperti yang hendak diperlihatkannya, maka diam-diam dia merasa tidak suka akan tetapi demi Lai Sek, ia diam saja.

   "Maaf, Paman Ang, saya lupa meperkenalkan. Dia ini adalah Sie Biauw Eng, tunangan saya."

   "Tun... Tunanganmu...?"

   Ang-taijin tidak dapat menahan seruannya karena dia benar-benar merasa kaget dan heran.

   "Benar, Paman. Dia adalah calon isteri saya."

   "Ah, kionghi (selamat), Sim-hiante! Engkau beruntung sekali mendapatkan seorang calon isteri yang begini cantik jelita!"

   Lai Sek tersenyum, hatinya girang sekali dan dia menoleh ke arah Biauw Eng sambil berkata,

   "Eng-moi, haturkan terima kasih kepada Paman Ang."

   Biauw Eng menjura kepada pembesar itu dan berkata lirih,

   "Saya mengucapkan terima kasih atas pujian Ang-taijin."

   "Ah, nona muda yang baik, di antara orang sendiri, perlu apa sungkan-sungkan? Nah, Sim-hiante, aku akan merasa girang sekali kalau dapat menolong engkau dan adik ini. Bantuan apakah yang kauperlukan?"

   Biarpun mulutnya bicara kepada Lai Sek, akan tetapi pandang mata pembesar itu tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh Biauw Eng yang makin dipandang makin menggairahkan hatinya dan membangkitkan nafsunya itu.

   "Kami berdua mohon pertolongan Paman agar kami berdua dapat membagun rumah tangga di kota raja, dan bisa mendapatkan sekedar usaha untuk menyambung hidup, terutama sekali agar Paman sudi mewakilli kedua orang tua kami yang sudah tidak ada untuk menikahkan kami."

   "Eh, jadi kalian belum menikah, jadi..... eh, belum.... belum berhubungan sebagai suami isteri?"

   Tanya pembesar itu dengan hati girang sekali sungguhpun mata jalangnya sebagai seorang laki-laki yang banyak pengalamannya tentang wanita dapat menduga bahwa Biauw Eng adalah seorang yang masih gadis. Pertanyaan ini membuat wajah Lai Sek menjadi merah saking malu dan wajah Biauw Eng merah karena marah. Akan tetapi gadis ini tetap menunduk dan diam saja, menekan perasaan marahnya. Adapun Lai Sek lalu menjawab malu,

   "Belum, Paman. Kami belum menikah..."

   "Bagus! Memang begitulah seharusnya sebagai seorang calon suami yang baik. Jangan khawatir, Lai Sek, aku akan membantu kalian. Akan kusuruh carikan sebuah rumah yang layak untuk kalian tinggal sebagai suami isteri, dan tentang pekerjaan nanti kita pikirkan perlahan-lahan. Sekarang lebih baik kalian tinggal lebih dulu di sini untuk beristirahat sambil menanti didapatkannya rumah. Tentu saja kalau sudah mendapatkan rumah, baru aku akan mewakili orang tuamu merayakan pernikahan kalian."

   "Ah, Paman Ang baik sekali! Sudah kusangka Paman akan menolong kami! Terima kasih, Paman!"

   Lai Sek menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi pembesar itu segera membangunkan pemuda buta ini sambil mengerling ke arah Biauw Eng. Biauw Eng mengangkat mukanya dan bertemulah pandang mata mereka. Ang-taijin terkejut dan kagum menyaksikan pandang mata yang demikian tajam seperti ujung pedang, demikian indah seperti mata burung hong.

   Sedangkan Biauw Eng merasa makin yakin hatinya bahwa di balik segala keramahan dan pelepasan budi pembesar ini terkandung maksud yang hina dan keji terhadap dirinya. Tentu saja ia tidak menjadi gentar dan mengingat betapa pembesar ini merupakan ancaman bagi dirinya, ia tersenyum dingin. Orang macam itu mau bisa berbuat apakah terhadap dirinya? Hati Ang-taijin berdebar saking girangnya melihat gadis cantik jelita itu tersenyum. Ia menganggap bahwa senyum itu merupakan "janji"

   Dan "kode"

   Dari si gadis bahwa dia telah dapat menangkap hasrat hati si pembesar dan sudah siap melayaninya! Dengan hati girang Ang-taijin lalu memanggil pelayan yang tidak ada yang hadir karena maklum bahwa Ang-taijin sedang bicara dengan tamu urusan pribadi. Dua orang pelayan wanita datang berlari dan Ang-taijin segera berkata,

   "Antarkan Sim-kongcu dan Sie-siocia ke dalam. Berikan sebuah kamar tamu untuk Sim-kongcu, dan ajak Sie-siocia bermalam di sebuah di antara kamar merah!"

   "Baik, Taijin,"

   Jawab dua orang wanita pelayan itu sambil tersenyum maklum mendengar bahwa gadis cantik itu diberi sebuah kamar merah! Di bagian dalam gedung itu terdapat tidak kurang dari sepuluh buah kamar-kamar yang indah dan kecil mungil berwarna merah. Di dalam kamar-kamar inilah Ang-taijin menerima wanita-wanita suguhan yang siap untuk melayaninya. Sebagai seorang pembosan, penghuni kamar-kamar merah ini sering kali berganti orang, hanya sebuah kamar yang besar yang tidak pernah berganti penghuni, yaitu kamar Ang-hujin (nyonya Ang) yang jarang pula menerima kunjungan Ang-taijin, apalagi di waktu malam. Namun nyonya Ang sudah kebal akan kebiasaan suaminya, maka tidak lagi merasa cemburu atau marah, bahkan menganggap kebiasaan suainya itu adalah "biasa"

   Bagi seorang pembesar.

   Dengan hati tidak enak namun tabah, Biauw Eng menggandeng tangan Lai Sek dan mengantarkan pemuda ini sampai ke kamar yang disediakan untuknya, dan baru meninggalkan pemuda ini setelah pelayan meyakinkan hatinya bahwa seorang pelayan yang khusus disediakan untuk melayani segala keperluan pemuda buta itu. Ia pun lalu mengikuti pelayan dan diam-diam ia kagum sekalli menyaksikan kamar merah yang disediakan untuknya. Untuk beberapa hari lamanya, baik Lai Sek maupun Biauw Eng mendapatkan pelayanan istimewa sehingga setiap kali mereka bertemu, Lai Sek tentu memuji-muji kebaikan hati pamannya. Akan tetapi diam-diam hati Biauw Eng tetap tidak enak dan dia mendesak agar Lai Sek suka bersama dia keluar saja dari gedung itu dan mencari tempat sendiri.

   "Ah, mana boleh, Moi-moi? Paman Ang telah begitu baik terhadap kita. Biarlah kita bersabar sampai dia mendapatkan rumah untuk kita."

   Apa yang dikhawatirkan Biauw Eng terjadi pada malam kelima semenjak dia tinggal di situ.

   Malam itu selagi ia merebahkan diri di atas dipan yang mewah, dengan tilam sutera merah muda, rebah termenung memikirkan nasibnya, dan terutama sekali membayangkan wajah Keng Hong, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang. Ia cepat melompat dengan sigap terbawa oleh reaksi tubuhnya sebagai seorang ahli silat yang selalu siap siaga dan waspada lahir batin. Akan tetapi ia segera bersikap biasa untuk menyembunyikan kepandaiannya, berjalan perlahan menuju pintu dan membukakan daun pintu. Ia terheran melihat bahwa yang datang adalah Ang Joan Ti yang berpakaian indah, diikuti oleh empat orang pelayan wanita yang tersenyum-senyum dan masing-masing membawa nampan yang terisi masakan-masakan yang masih panas mengepul dan berbau sedap.

   "Taijin mau ..... apakah....? Biauw Eng bertanya, menindas perasaan dan pura-pura tidak mengerti sungguh pun dari senyum dan pandang mata pembesar itu ia dapat menduga maksud kedatangan orang ini. Akan tetapi Ang Taijin hanya tersenyum, bahkan menoleh pada para pelayan dan berkata,

   "Cepat atur di atas meja dan segera pergi meninggalkan kami!!"

   Biarpun suara pembesar itu setengah membentak, yang dibentak tersenyum-senyum dan mengatur makanan di atas meja dalam kamar, kemudian sambil membungkuk-bungkuk dan tertawa-tawa genit mengerling ke arah Biauw Eng, mereka meninggalkan kamar dan menutup daun pintunya.

   "Nah, baru sekarang aku dapat menjawab pertanyaanmu tadi, Siauw-moi. Aku sengaja datang membawa hidangan ini karena aku tahu betapa engkau kesepian. Aku merasa kasihan kepadamu, maka aku ingin mengajakmu makan bersama sambil minum arak wangi untuk menghilangkan kesepian dan kekesalan hatimu. Marilah duduk, Manis, dan kusuguhkan arak untukmu!"

   "Taijin, ini tidak boleh, tidak layak. Harap Taijin suka keluar dari kamar ini dan jangan menggangguku. Bagaimana Taijin boleh memasuki kamarku seperti ini? Aku adalah calon isteri Sim Lai Sek!"

   "Heh heh heh, aku tidak akan mengganggumu menjadi isterinya, Manis. Akan kunikahkan engkau dengan si buta itu, ehemmm......hanya untuk di luarnya saja bukan? Padahal sesungguhnya, ahhhh......kita lebih cocok, dan semenjak aku melihatmu, aku sudah suka sekali kepadamu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, Sie Biauw Eng yang jelita. Engkau akan hidup mewah, apa pun yang kau minta akan kuberikan, asal engkau suka melayani aku. Marilah....!"

   Pembesar itu mendekat akan tetapi Sie Biauw Eng melangkah mundur.

   "Jangan Taijin, aku adalah tunangan Sim Lai Sek dan dia masih hidup, bagaimanan aku sudi berbuat serong? Aku bukan perempuan macam itu! Pergilah Taijin sebelum aku kehabisan kesabaranku."

   Ang Taijin tertawa.

   "Ihhh, pakai malu-malu kucing segala? Aku pun tahu kau lebih suka kepadaku daripada pemuda buta yang tak dapat menghargai kecantikanmu dengan matanya......!"

   "Cukup!!"

   Biauw Eng membentak dan saking marahnya ia menusuk kan jari-jari tangannya ke permukaan meja.

   "Plongggg!!"

   Jari-jari tangan sebanyak lima buah yang kecil mungil itu amblas menusuk meja sampai tembus ke bawahnya. Ketika diangkat, tampak lima buah lubang kecil bekas tusukan jari. Melihat ini, seketika wajah Ang Taijin menjadi pucat.

   "Taijin aku dapat mengusai jari tanganku, akan tetapi kalau kesabaranku hilang dan aku tidak dapat menguasai hatiku, jangan-jangan bukan meja yang kutusuk bolong, melainkan kepala orang,. Pergilah!"

   "Aihhh.....kiranya engkau pandai silat. Hemm..tentu saja, Lai Sek juga seorang ahli silat. Baiklah aku tidak akan mengganggumu kalau engkau tidak suka melayani orang lain karena Lai Sek masih hidup. Akan tetapi katakanlah Nona Biauw Eng yang manis, andaikata di sana tidak ada Lai Sek, engkau tentu suka menyambut cinta kasihku, bukan? Agaknya pembesar ini masih tercengang karena belum pernah ada wanita menolak cintanya dan agaknya bagi laki-laki ini merupakan suatu hal yang mustahil kalau ada wanita yang tidak suka menjadi kekasih pembesar Ang. Biauw Eng sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya, maka untuk membuat pembesar itu cepat pergi, ia berkata,

   "Kalau begitu lain lagi, Nah, pergilah dan jangan pernah berani lagi memasuki kamar ini!"

   Pembesar itu menghela napas dan pergi meninggalkan kamar Biauw Eng. Setelah pembesar itu pergi, barulah Biauw Eng teringat akan keselamatan Lai Sek dan teringat akan ucapan Ang Taijin, ia cepat meniup padam lilin di atas meja, kemudia meloncat keluar melalui jendela kamarnya dan membayangi Ang Taijin yang memasuki ruangan tangah. Di ruangan ini, Ang Taijin bicara perlahan dengan seorang laki-laki berhidung bengkok yang agaknya menjadi penasehatnya. Biauw Eng cepat menghampiri, bersembunyi dan mengintai.

   "Akan tetapi dia pandai silat dan bayangkan, sekali tusuk dengan jari tangan ia mampu melubangi meja! Kalau tusukan itu mengenai kepala, celaka! Mana bisa aku memaksa denga kekerasan?"

   Terdengar suara pembesar itu penuh penyesalan.

   "Mengapa mengkhawatirkan dia? Ilmu silat seorang gadis cantik itu saja apa artinya? Malam ini juga akan kupanggil Sin-chio Ngo-houw (Lima Harimau Bertombak Sakti) yang menjaga di luar istana untuk mengawal paduka dan kalau perlu menghadapinya,"

   "Akan tetapi bagaimana agar dia mau? Aku paling tidak suka mendapatkan wanita dengan kekerasan. Lebih menyenangkan kalau dia menyerahkan diri dengan suka rela dan suka hati, hemmm......!"

   "Begini, Taijin....."

   Si Hidung Bengkok itu lalu mendekatkan mulut ke telinga pembesar itu, berbisik-bisik sehingga Biauw Eng tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya, sedangkan pembesar itu mengerutkan kening, kadang-kadang menggeleng, kadang-kadang cemberut, akan tetapi kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum. Biauw Eng tidak peduli lagi. Paling-paling mereka itu mengatur siasat untuk menundukkannya dan hal ini ia anggap remeh karena apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, ia tidak khawatir dan merasa yakin akan dapat melindungi dirinya sendiri. Akan tetapi ia mengkhawatirkan keadaan Lai Sek.

   Biarpun pemuda itu juga bukan orang lemah akan tetapi karena kedua matanya buta tentu saja tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan baik. Ia lalu meloncat pergi tanpa meninggalkan suara, mendatangi kamar Lai Sek dan mengintai dari atas. Ketika ia melihat Lai Sek sedang tidur pulas dan dalam keadaan selamat, baru ia lega dan kembali ke kamarnya. Melihat hidangan yang masih panas dan ternyata merupakan masakan-masakan yang lezat, ia tersenyum, menyambar sumpit dan makan beberapa potong daging dan sayur, dipilih yang enak-enak sambil kadang-kadang tersenyum mengenangkan sikap Ang Taijin yang dianggapnya seorang badut yang menggelikan dan juga menyebalkan. Boleh jadi Biauw Eng seorang gadis gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dalam hal pengalaman menghadapi tipu muslihat dan kejahatan hati manusia, ia masih hijau.

   Ia tidak mengira bahwa hati laki-laki yang sudah tergila-gila pada seorang wanita dapat menelurkan perbuatan-perbuatan maksiat yang amat keji, tidak pantang melakukan perbuatan apa pun untuk mencapai dorongan nafsu berahinya. Tiga malam berturut-turut setelah kejadian itu, Biauw Eng tidak pernah diganggu dan ia sudah merasa lega, mengira Ang Taijin tentu jerih oleh ancamannya, maka ia pun tidak menyatakan sesuatu kepada Lai Sek untuk mencegah terjadinya keributan. Akan tetapi pada suatu pagi di hari keempatnya ia terbangun, ia kaget sekali mendengar jerit tangis wanita disusul tangis melolong-lolong. Ia meloncat turun dan tiba-tiba daun pintunya dibukadari luar oleh pelayan yang biasa melayaninya. Pelayan itu pun menangis dan serta merta menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.

   "Celaka, Siocia..... celaka...... ah, mengerikan sekali....!"

   "Apa yang terjadi?"

   Biauw Eng bertanya, masih tenang.

   "Sim-kongcu.....dia.....dia membunuh diri di kamarnya....!"

   Tiba-tiba tubuh Biauw Eng berkelebat dari tempat itu, dan ketika pelayan itu mengangkat muka, gadis itu telah lenyap. Cepat sekali Biauw Eng tiba di tempat Lai Sek dan di situ ia melihat pelayan wanita yang biasa melayani Lai Sek menangis di atas lantai.

   Kamar itu penuh orang, ada tiga orang pelayan wanita, dua orang pelayan pria yang dilihat Biauw Eng malam itu, bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang memegang tombak. Mereka semua memandangnya ketika ia memasuki kamar Lai Sek. Biauw Eng tidak mempedulikan semua orang, langsung ia berlutut di dekat tubuh Lai Sek yang telah menggeletak tanpa nyawa di atas lantai. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang, pedang milik Lai Sek, yang kini menembus perutnya sampai ke punggung, sedangkan tangan kiri pemuda itu mencengkeram sehelai kertas. Dengan muka pucat Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar telah tewas. Ia segera mengambil kertas bertulis dari genggaman tangan kiri Lai Sek, merapikan dan membacanya. Surat itu ditujukan kepadanya dan ia mengenal tulisan Lai Sek.

   Eng-moi,

   Aku maklum bahwa seorang pemuda tak berharga seperti aku hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan hidupmu. Seorang gadis sepertimu berhak untuk hidup mulia sebagai seorang puteri terhormat, di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu. Maka, aku mengalah dan lebih baik aku pergi selamanya.

   Selamat tinggal, Sim Lai Sek

   "Ah, Twako....!"

   Biauw Eng tidak dapat menahan keharuan dan kedukaan hatinya. Ia menangis dan memeluki tubuh Lai Sek yang telah menjadi mayat itu. Ketika ia menangis dan wajahnya dekat sekali dengan leher pemuda yang telah tewas itu karena ia merebahkan mukanya di dada Lai Sek, pandang matanya tertarik oleh dua titik menghitam di dekat tenggorokan. Ia mengusap air matanya dan mengangkat dagu mayat itu.

   Jelas kini tampak dua titik menghitam sebesar ujung jari tangan. Ia menyentuhnya dan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Ia tahu bahwa pemuda itu bukan tewas oleh pedang, melainkan tewas atau sedikitnya roboh oleh totokan dua buah jari tangan yang mengandung hawa beracun! Cepat ia memeriksa luka di perut yang masih tertancap pedang. Tidak terdapat darah pada luka itu. Hal ini hanya berarti bahwa pedang itu ditusukkan ke perut setelah pemuda ini tewas! Karena hatinya masih ragu-ragu, ia membuka surat itu kembali dan membacanya melalui air matanya, membacanya kembali dengan penuh perhatian. Sudah dua tiga kali ia melihat tulisan tangan Lai Sek dan gaya tulisan, bentuk huruf-huruf surat ini memang benar seperti tulisan Lai Sek. Akan tetapi..... tiba-tiba wajahnya berubah. Tulisan yang berbunyi

   "Di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu"

   Amat menarik perhatiannya. Lai Sek mengerti bahwa satu-satunya orang yang ia cinta adalah Keng Hong! Dan Keng Hong adalah seorang sebatangkara yang miskin. Mengapa Lai Sek menyatakan bahwa orang yang dicintanya dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya?

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aduh...., Siauw-moi.... ah, kasihan sekali Lai Sek....! Ah, bagaimana bisa terjadi malapetaka ini...?"

   Ucapan yang keluar dari mulut Ang-taijin yang baru tiba ini mengingatkan Biauw Eng akan segala sikap dan ucapan pembesar ini ketika hendak menggodanya beberapa malam yang lalu. Gadis ini menekan kemarahannya dan cepat ia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya, memandang pembesar itu dengan mata basah akan tetapi sambil mengacungkan surat di tangannya ia bertanya cepat,

   "Taijin, aku ... Aku tidak mengerti.... apa maksud tulisannya ini? Siapa yang dia maksudkan dan mengapa dia mengalah?"

   "Masa engkau tidak mengerti, Siauw-moi? Dia maksudkan aku, dan tentu dia mengalah karena merasa takkan mampu membahagiakan engkau.... maka, sudahlah jangan berduka, Siauw-moi, di sini ada aku yang...."

   Tiba-tiba pembesar itu menghentikan kata-katanya ketika melihat wajah yang cantik itu mmenjadi beringas, sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar seperti berapi.

   "Bagaimana engkau bisa mengetahui isi suratnya??"

   Biauw Eng membentak, suaranya melengking penuh kemarahan meluap-luap.

   "Aku... Aku sudah membacanya...."

   Ang-taijin yang menjadi gugup menjawab tanpa dia sadari.

   "Engkau baru datang bagaimana bisa mebacanya? Surat ini palsu! Tentu engkau dan kaki tanganmu yang menulisnya dan Sim Lai Sek tidak mati karena membunuh diri, melainkan mati terbunuh oleh totokan di lehernya. Tentu engkau.. pembesar jahanam berhati palsu dan keji, engkau yang mengatur semua ini, keparat!"

   Sambil berkata demikian, tangan Biauw Eng bergerak ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram baju pembesar itu di bagian dadanya.

   "Jangan.... eh, tolooongg..!"

   Laki-laki hidung bengkok yang berdiri di dekat pembesar Ang, cepat menengahi dan berkata,

   "Nona, bersabarlah.... dan jangan kurang ajar terhadap Ang-taijin...."

   "Engkau tukang mengatur siasat yang menjijikan!"

   Tangan kirinya menyambar dan ia sudah menjambak rambut si hidung bengkok, kemudian dengan kemarahan membakar dada dan kepala, gadis ini menggerakkan kedua tangannya.

   "Prokkk!"

   Dua buah kepala milik Ang Joan Ti dan si hidung bengkok bertemu keras sekali, beradu dahi dan ternyata kepala si hidung bengkok lebih keras karena kalau kepala Ang Joan Ti pecah dan pembesar yang celaka oleh nafsunya sendiri itu tewas seketika. Si hidung bengkok hanya menjadi pening dan matanya menjuling saja. Melihat ini, Biauw Eng mengayun tubuh si hidung bengkok, membantingnya ke atas lantai dan terdengar suara keras ketika kepala si hidung bengkok ini pecah berantakan, berbeda dengan kepala Ang Joan Ti yang retak-retak saja.

   "Perempuan keji! Pembunuh! Tangkap...!"

   Teriakan-teriakan ini terdengar ramai dan keaaan di situ menjadi geger. Pelayan-pelayan perempuan menjerit dan melarikan diri, adapun lima orang tinggi besar bertombak yang berada di dalam kamar itu, segera menerjang maju dengan tombak mereka.

   Biauw Eng yang sudah menjadi mata gelap saking duka dan marahnya melihat nasib Lai Sek, cepat melemparkan mayat Ang-taijin ke arah lima orang pengeroyoknya. Lima orang itu adalah Sin-chio Ngo-houw, lima orang pengawal luar istana yang oleh si hidung bengkok sengaja di undang untuk menghadapi Biauw Eng. Akan tetapi sungguh di luar persangkaan mereka bahwa gadis itu memiliki kepandaian sedemikian hebat sehingga gerakannya luar biasa cepatnya dan lima orang pengawal itu tidak sempat lagi mencegah pembunuhan yang dilakukan Biauw Eng atas diri Ang-taijin dan penasihatnya. Kini lima orang pengawal itu menjadi marah sekali. Melihat gadis itu dengan ganasnya membunuh Ang-taijin dan melemparkan mayatnya kepada mereka, seorang di antara mereka menerima mayat dengan kedua tangan sedangkan empat orang kawannya segera menerjang Biauw Eng dengan tombak mereka.

   "Sim-twako, aku akan membalaskan kematianmu?"

   Biauw Eng berseru, mencabut pedang yang menancap di perut mayat Lai Sek, kemudian sambil bercucuran air mata gadis ini mengamuk, menghadapi pengeroyokan lima orang Sin-chio Ngo-houw yang sudah mengurungnya. Adapun para pelayan sudah menyingkir dengan ketakutan dari kamar itu. Pertandingan terjadi dengan seru di dalam kamar maut itu di mana menggeletak tiga buah mayat. Dalam deretan tingkat para pengawal istana, pengawal pribadi rahasia tentu saja menduduki tingkat pertama, kemudian para pengawal pribadi kaisar menduduki tingkat ke dua. Adapun tingkat ke tiga diduduki oleh para pengawal dalam istana dan pengawal luar istana, seperti Sin-chio Ngo-houw, adalah pengawal tingkat empat. Mereka ini sudah termasuk ahli-ahli silat kelas tinggi bagi ahli silat umumnya. Akan tetapi dibandingkan dengan Biauw Eng, tentu saja mereka masih kalah jauh.

   Gadis yang menjadi amat berduka dan marah ini menggerakkan pedang Lai Sek dengan cepat, ganas dan kuat sekali sehingga biarpun lima orang pengawal itu mengeroyoknya dengan tombak mereka yang terkenal ampuh, tetap saja dalam belasan jurus Biauw Eng telah merobohkan tiga orang di antara Sin-ciio Ngo-houw sehingga jumlah mayat di dalam kamar itu bertambah menjadi enam! Akan tetapi tiba-tiba keadaan di luar gedung itu menjadi berisik sekali dan ternyata bahwa sepasukan penjaga keamanan telah menyerbu. Kota raja menjadi geger ketika mendengar bahwa seorang gadis telah mengamuk di dalam rumah gedung pembesar Ang, bahkan membunuh pembesar Ang dan banyak pembantunya. Melihat betapa pasukan pengawal menyerbu, Biauw Eng menjadi makin marah, akan tetapi suaranya terdengar dingin menyeramkan ketika ia berkata,

   "Puaskanlah hatimu, Sim-twako. Nyawamu akan mendapat tebusan banyak sekali nyawa musuh!"

   Setelah berkata demikian, Biauw Eng menubruk maju dan pedangnya bergerak cepat, merobohkan dua orang sisa Sin-chio Ngo-houw dan mendesak mundur pasukan pengawal yang sudah tiba di depan pintu kamar itu. Biauw Eng maklum bahwa untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang, amatlah berbahaya kalau dia terus bertahan di dalam kamar yang sempit itu. Maka ia menerjang keluar dan di bawah teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan hujan senjata para pengeroyok, Biauw Eng mengamuk di ruangan tengah yang luas. Apa yang dikatakan Biauw eng kepada mayat Sim Lai Sek sebelum ia meninggalkan kamar maut itu terjadilah. Biauw Eng mengamuk dengan pedang itu dan para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya itu roboh seperti rumput di babat. Mereka, para penjaga keamanan, berteriak-teriak dan mengurung,

   Akan tetapi mereka ini seperti sekumpulan laron menerjang api, siapa yang berani mendekati Biauw Eng tentu roboh disambar sinar pedang gadis ini. Ruangan yang kuas dan biasanya bersih itu kini menjadi tempat menyeramkan, banjir darah di lantai dan di dinding, sedangkan mayat berserakan, bertumpuk, ada yang masih berkelojotan, lebih dari dua pulah orang banyaknya! Melihat betapa pasukan pengeroyok makin banyak, Biauw Eng maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, pula dia tidak biasa mainkan pedang yang berat. Maka ia lalu melolos sabuk suteranya, meninggalkan pedang yang menancap di dada seorang pengeroyok dan begitu sinar sabuknya yang bergulung-gulung putih mengamuk, para pengeroyok mundur dan menjauh. Jangkauan sabuk sutera yang lebih panjang daripada pedang itu membuat para pengeroyok ngeri.

   Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk meloncat dan lari keluar dari gedung dengan maksud untuk melarikan diri. Tidak perlu lagi ia mengamuk, kematian Lai Sek sudah cukup dibalas dan kalau terlambat ia tentu akan celaka, tidak mungkin kuat menghadapi pengeroyokan pasukan keamanan yang amat besar jumlahnya dan yang makin banyak berdatangan itu. Sabuk sutera di tangan Biauw Eng memang merupakan senjatanya yang khusus dan kalau tadi ketika memegang pedang Biauw Eng dapat diumpamakan seekor harimau marah, kini memegang sabuk suteranya dia seperti harimau yang tumbuh sayap! Dengan membuka jalan berdarah ia berhasil keluar sambil terus mengamuk sampai di luar gedung, di mana telah menanti banyak penjaga keamanan yang terus mengurungnya.

   Namun Biauw Eng mengamuk terus, kini tidak lagi mengamuk untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya karena kematian Lai Sek, melainkan mengamuk untuk menyelematkan diri. Sabuk sutera putih itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung melindungi tubuhnya sehingga senjata para pengeroyoknya tidak ada yang dapat menyentuhnya, bahkan sekali-kali kalau ada pengeroyok yang kurang hati-hati, senjatanya akan terlibat ujung sabuk dan terampas, dilemparkan sampai jauh. Para pengeroyok berteriak-teriak saling menganjurkan kawan, dan biarpun mereka tidak mampu merobohkan Biauw Eng, sedikitnya mereka berhasil mengurung rapat sehingga sukarlah bagi Biauw Eng untuk dapat meloloskan diri. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring suara wanita,

   "Semua mundur! Biarkan aku menangkap dia!"

   Para pengeroyok menengok dan ketika melihat bahwa yang membentak adalah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki tampan, keduanya menunggang kuda, dan sama sekali tidak mereka kenal, para pengeroyok tidak mau ambil peduli. Akan tetapi tiba-tiba seorang perwira pengawal luar istana yang mengenal dua orang ini cepat memberi aba-aba,

   "Semua pasukan mundur!"

   Aba-aba ini tentu saja ditaati oleh semua pengeroyok yang menjadi terheran-heran dan terbukalah jalan yang lebar sehingga Biauw Eng kini berhadapan dengan dua orang penunggang kuda itu. Wajah Biauw Eng menjadi merah, matanya mengeluarkan sinar berapi saking marah dan bencinya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Bhe Cui Im dan laki-laki itu adalah Siauw Lek! Tujuh orang pengawal rahasia kaisar mengatur penjagaan secara bergiliran maka terbukalah kesempatan bagi Cui Im dan Siauw Lek di waktu bebas tugas untuk berjalan-jalan. Pagi hari itu mereka berdua juga sedang bebas tugas,

   Maka dengan menunggang kuda mereka jalan-jalan di kota raja dan kebetulan sekali mereka mendengar berita akan mengamuknya seorang gadis di gedung pembesar Ang. Karena mereka ingin menonjolkan jasa, cepat mereka mendatangi tempat itu dan ketika mereka melihat bahwa yang mengamuk adalah Biauw Eng, Cui Im terkejut dan cepat menyuruh para pengeroyok mundur. Biauw Eng berdiri dengan sabuk sutera di tangan, maklum bahwa ia berada dalam cengkeraman bahaya maut, akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Dan sesunguhnya, apa sih artinya kematian baginya? Dia tadinya telah merupakan seorang yang hampir mati, hanya karena kenekatan dan pembelaan Sim Lai Sek yang mencintanya dan yang mengorbankan matanya maka ia masih hidup sampai sekarang.

   Dia adalah seorang manusia yang seolah-olah hidup kembali dari kematian, hidup untuk kedua kalinya yang sedianya akan ia lewatkan untuk membalas budi Lai Sek. Hidupnya yang pertama telah lenyap dan mati bersama.... nama Keng Hong. Hidupnya yang kedua pun kini tidak ada artinya lagi setelah Lai Sek mati. Mengapa ia takut menghadapi kematian? Hatinya menjadi dingin sekali dan ia menghadap Cui Im dengan senyum dingin yang membuat Cui Im meremang bulu tengkukunya. Melihat bekas sumoinya itu dalam keadaan seperti itu, pakaianya banyak yang robek dalam pertempuran tadi, rambutnya kusut dan mukanya membayangkan kedukaan besar, melihat mulut yang tersenyum dingin, tiba-tiba Cui Im teringat akan perhubungan antara mereka di waktu kecil. Tanpa turun dari kudanya ia berkata,

   "Biauw Eng, engkau telah terlalu banyak menderita. Biarlah mengingat hubungan lama, aku akan mengampunimu asal engkau suka menyerah. Aku yang akan mengusahakan agar perkaramu di sini diperiksa dan engkau akan mendapat hukuman ringan."

   Makin dingin senyum Biauw Eng ketika bibirnya merekah makin lebar.

   "Bhe Cui Im, aku tidak butuh pengampunanmu, dan kalau engkau hendak membunuhku, coba majulah. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah takut kepadamu, perempuan durhaka, murtad dan khianat. Kalau aku tidak dapat membunuhmu saat ini, lebih baik aku mati di tanganmu!"

   Wajah Cui Im menjadi merah sekali.

   "Perempuan rendah! Tak tahu kebaikan orang! Mampuslah!"

   Tiba-tiba tubuhnya mencelat dari atas kuda dan berubah menjadi sinar merah karena dalam kemarahannya, Cui Im mencabut pedang merahnya dan sabil meloncat itu, ia menerjang dan menyerang dengan pedangnya dengan gerakan yang hebat dan dahsyat luar biasa! Silau juga mata Biuaw Eng menyaksikan gulungan sinar pedang yang menerjangnya itu. Kedukaan karena kematian Lai Sek ditambah pertandingan ketika ia dikeroyok mebuat tubuhnya lemah dan lemas. Akan tetapi semangatnya bangkit ketika ia melihat Cui Im, musuh besar yang membunuh ibunya. Biarpun ia maklum bahwa dia bukan tandingan Cui Im yang sekarang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, namun ia tidak gentar dan cepat sabuk suteranya bergerak mengeluarkan suara meledak ketika ia menyambut terjangan Cui Im.

   "Cring.... Brettttt!"

   Biauw Eng terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika pertemuan sabuknya dengan sinar merah membuat sabuknya terbabat putus ujungnya!

   "Hi-hi-hik, Biauw Eng, bersiaplah untuk mampus!"

   Cui Im mengejek dan menyerang lagi, pedangnya yang berubah gulungan sinar merah itu mengeluarkan suara berdesing-desing. Cui Im sengaja mengerahkan tenaga dan kepandaiannya setiap kali Biauw Eng menangkis, sabuknya menjadi putus. Sampai enam kali sabuknya terbabat putus sehingga tinggal satu kaki panjangnya.

   Ia terpaksa membuang sabuknya itu dan tangan kirinya bergerak melepas senjata rahasia bola-bola putih berduri. Akan tetapi Cui Im tertawa dan dengan mudahnya ia membabat dengan pedangnya sambil mendesak. Bola-bola itu terpukul runtuh dan sinar pedang terus mengejar Biauw Eng. Melihat datangnya tusukan ke dadanya, Biauw Eng berlaku nekat dan hendak mengadu nyawa. Biar ia mati asal ia dapat membawa serta nyawa Cui Im! Ia sengaja bergerak lambat dan tiba-tiba ia mendoyongkan tubuh ke kiri, mengepit pedang lawan di bawah ketiak kanan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut Cui Im! Gerakan tiba-tiba ini biarpun membahayakan dirinya sendiri akan tetapi sekali tangannya berhasil mencengkeram perut, tentu perut itu akan pecah!

   "Setan!"

   Cui Im mendengus kaget, terpaksa menjatuhkan tubuh ke kiri, melepaskan gagang pedangnya dan rabutnya menyambar ke depan menotok ke arah leher Biauw Eng! Gadis ini miringkan tubuh, akan tetapi ujung rambut masih menampar pundaknya, membuat ia terhuyung ke belakang. Akan tetapi Biauw Eng sudah melepaskan kempitan pedang merah dan kini ia menyambar gagang pedang itu.

   Pada detik berikutnya, tangannya yang memegang pedang itu ditendang Cui Im dengan cara menendang yang sama sekali tidak tersangka-sangka. Tubuh Biauw Eng yang masih terhuyung itu kehilangan keseimbangan, pedang rampasannya mencelat dan ia pun terguling. Sambil tertawa-tawa Cui Im yang berkepandaian luar biasa itu telah menyambar kembali pedangnya, kemudian dengan langkah perkahan dan pedang ditodongkan ia menghampiri Biauw Eng yang masih nanar oleh tamparan rambut Cui Im. Sinar merah berkelabat cepat sekali, membuat sinar kilat di depan mata Biauw Eng yang sukar mengikuti ke mana pedang hendak menyerang dan gadis ini yang merasa tak mungkin dapat menyelamatkan diri, hanya memandang sambil tersenyum dingin penuh ejekan. Pedang merah menusuk ke arah dada Biauw Eng secepat kilat!

   

Si Bangau Merah Eps 1 Si Bangau Merah Eps 24 Pusaka Pulau Es Eps 16

Cari Blog Ini