Pedang Kayu Harum 4
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Kami melihat betapa asap mengebul dari puncak Kiam-kok-san. Kami tidak suka mengganggu seorang murid yang berkabung atas kematian gurunya, maka kami hanya menunggu. Akan tetapi, alangkah banyaknya orang yang telah menanti-nantimu, Keng Hong. Wanita jahat ini adalah orang terakhir dari kaum sesat yang menunggumu turun gunung dan yang sudah siap menurunkan tangan jahat kepadamu."
"Bohong! Tosu bau tak pernah mandi! Siapa yang hendak turun tangan jahat terhadap pemuda itu? Aku hanya ingin menonton keramaian, kemudian tersesat di sini dan kalian menggunakan pengeroyokan menangkap aku! Cih, tak tahu malu! Segerombolan kakek tua bangka mengeroyok seorang gadis! Kau kira aku tidak tahu? Kalian hanya berpura-pura menjadi pendeta, padahal menggunakan kesempatan untuk meraba-raba dan membelai-belai tubuhku dengan alasan hendak menangkap seorang penjahat!"
Hebat sekali penghinaan ini. Banyak di antara para tosu Kun-lun-pai menjadi merah sekali mukanya, entah merah karena malu ataukah karena marah. Akan tetapi yang jelas, banyak di antara mereka yang melotot marah dan memandang wanita cantik itu penuh kebencian. Namun Kiang Tojin dan Thian Seng Cinjin hanya tersenyum, sedikitpun tidak terpengaruh oleh ucapan-ucapan menghina itu.
Kiang Tojin hanya membalikkan tubuhnya dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke depan dengan jari telunjuk menuding ke arah wanita yang terikat di pohon itu. Jarak di antara mereka ada tiga meter, akan tetapi terdengar angin bercuit dan.... tubuh wanita itu menjadi lemas dan ia tak dapat mengeluarkan suara lagi karena ia telah terkena totokan yang dilakukan dari jarak jauh! Hanya matanya saja yang memandang dengan mendelik penuh kemarahan. Diam-diam Keng Hong terkejut dan kagum sekali. Juga merasa betapa ketekunannya selama lima tahun ini sesungguhnya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tosu yang menjadi penolongnya ini. Sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu silatnya masih kalah jauh sekali oleh Kiang Tojin, dan agaknya kalau harus melawan tosu ini, belum tentu dia sanggup bertahan sampai lima jurus!
"Keng Hong, ketahuilah bahwa kaum sesat dan orang-orang gagah yang menaruh dendam kepada gurumu selalu mengincarmu untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam dan rahasia penyimpanan kitab-kitab gurumu. Kami para tosu Kun-lun-pai sama sekali bukanlah orang-orang serakah dan tidak menghendaki apa-apa, baik dari Sin-jiu Kiam-ong atau dirimu. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau datang ke Kun-lun-pai tidak membawa apa-apa, maka kepergianmu dari sini pun tidak boleh membawa apa-apa! Kalau Siang-bhok-kiam berada bersamamu, harus kau tinggalkan pedang itu kepada pinto. Demikian pula, segala benda lain yang kau bawa, kitab-kitab atau apa saja, harus ditinggalkan. Hal ini bukan sekali-kali karena pinto ingin memilikinya, melainkan pertama, benda-benda itu hanya akan mendatangkan malapetaka padamu, dan daripada jatuh ke tangan kaum sesat sehingga mereka menjadi lebih lihai, lebih baik kami simpan atau kami hancurkan di Kun-lun-san!"
Keng Hong mengerutkan keningnya,
"Akan tetapi, pedang yang saya bawa ini adalah pemberian suhu, bukan hasil mencuri milik Kun-lun-pai!"
Kiang Tojin tersenyum dan mengangguk-ngangguk,
"Betul, akan tetapi Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di Kiam-kok-san, karena itu semua peninggalannya harus ditinggalkan di Kiam-kok-san pula. Biarpun engkau muridnya, tak boleh engkau membawanya pergi dari Kun-lun-san."
"Kalau saya menolak?"
Kiang Tojin mengerutkan alisnya dan mengangkat mukanya.
"Keng Hong, tak tahukah engkau bahwa peraturan kami ini demi keselamatanmu sendiri? kalau engkau menolak, berarti engkau lupa akan budi dan pinto terpaksa menggunakan kekerasan!"
Keng Hong dapat menyelami maksud hati Kiang Tojin dan dia makin kagum dan tunduk kepada tosu Kun-lun-pai yang bijaksana dan cerdik ini. Akan tetapi untuk mengalah begitu saja dia merasa enggan. Apalagi tidak ada kesempatan yang lebih baik daripada berlatih melawan Kiang Tojin yang tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Biarpun dia berlatih dengan penolongnya yang berilmu tinggi ini.
"Maafkan saya, Totiang. Sebelum menyerahkan pedang ingin sekali saya menerima petunjuk Totiang dalam hal ilmu silat."
Kiang Tojin tertawa,
"Ha-ha-ha, memang sejak dahulu engkau keras hati. Baiklah, Keng Hong. Kau boleh menyerangku, pinto juga ingin melihat sampai di mana hasilmu berguru kepada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Mulailah!"
Biarpun belum pernah mempergunakan kepandaian yang dipelajarainya selama lima tahun itu untuk bertanding dalam pertempuran sungguh-sungguh,
Namun Keng Hong sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi. Juga dia selalu ingat akan semua nasihat dan petunjuk suhunya. Ia ingat akan nasehat gurunya bahwa bagi seorang yang sudah tinggi ilmu silatnya, lebih baik di serang lebih dahulu daripada menyerang, karena lawan yang menyerang itu otomatis akan membuka bagian yang kosong sehingga mudah "dimasuki"
Dalam serangan balasan yang dilakukan otomatis pula. Karena dia tahu bahwa Kiang Tojin adalah lawan yang amat berat, maka setelah berseru keras dia maju memukul dengan gerakan perlahan dan hati-hati, hanya menggunakan seperempat bagian perhatiannya saja untuk menyerang, yang tiga perempatnya bagian dia cadangkan untuk penjagaan diri agar begitu lawannya membalas, dia dapat menghindar dengan elakan atau tangkisan.
"Wuuuttt!"
Pukulan tangan kanannya menyambar, mendatangkan angin yang kuat.
"Bagus.....!"
Kiang Tojin berseru, kagum melihat kenyataan betapa kuat pukulan Keng Hong sehingga tidak mengecewakan menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong karena dia sendiri tidak akan sanggup melatih seorang murid selama lima tahun sudah memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun diam-diam dia kecewa menyaksikan gerakan-gerakan itu yang amat sederhana, padahal dia tadinya mengira bahwa ilmu silat yang diturunkan kakek raja pedang itu kepada muridnya tentu hebat.
Melihat pukulannya hanya dielakkan Kiang Tojin dan ternyata tosu itu sama sekali tidak membalasnya, bahkan jelas menanti serangan selanjutnya, tahulah Keng Hong bahwa tosu penolongnya ini benar-benar hanya ingin mengujinya. Pujian yang keluar dari mulut Kiang Tojin itu membuat telinganya merah. Sudah jelas bahwa dia memukul dengan gerakan sederhana saja, bahkan dengan tenaga yang hanya seperempatnya, bagaimana bisa di sebut bagus? Apakah tosu penolongnya ini mengejeknya? Biarlah, kalau aku kalah biar kalah, roboh di tangan tosu yang menjadi tokoh kedua Kun-lun-pai ini, apalagi yang menjadi penolongnya, tidaklah amat memalukan. Maka dia berkata.
"Totiang, maafkan kelancanganku!"
Seruan ini dia tutup dengan gerakan menyerang. Kini Keng Hong tidak mau diejek untuk kedua kalinya. Ia mengerahkan sinkang dari pusarnya. Hawa panas meluncur cepat ke arah kedua lengannya dan dia mempergunakan ginkangnya. Tubuhnya melesat bagaikan kilat menyambar ke arah Kiang Tojin dan sekaligus dia memukulkan kedua tangannya dalam serangan berantai.
Harus diketahui bahwa dalam silat tangan kosong, Keng Hong belum dapat dikatakan lihai. Ia hanya digembleng dengan pengertian dan gerakan dasar-dasar ilmu silat saja. Setiap gerakan tangan dan geseran kaki memang dapat dia lakukan dengan mahir,
Namun rangkaian ilmu silat belum banyak dia pelajari karena waktunya tidak mengijinkan. Dari suhunya dia hanya baru dapat memetik ilmu silat tangan kosong yang oleh gurunya dinamai San-in-kun-hoat (ilmu silat awan gunung) yang diambil dari keadaan di puncak Kiam-kok-san. Ilmu silat ini merupakan gerakan-gerakan inti ilmu silat tinggi, namun diatur amat sederhana sehingga hanya terdiri dari delapan buah jurus serangan saja! Dalam serangan ke dua ini Keng Hong yang tidak mau diejek itu telah mempergunakan jurus yang disebut Siang-in-twi-an (Sepasang Awan Mendorong Gunung). Kedua kakinya masih di udara ketika dia melompat, namun siap melakukan tendangan susulan sebagai perkembangan jurus ini, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan secara bergantian sambil mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya.
"Siuuuuttt....!"
"Siancai...!"
Kiang Tojin terkejut bukan kepalang.
Melihat tenaga pada serangan pertama tadi, dia sudah kagum, akan tetapi serangan kedua ini benar-benar membuat dia kaget karena serangan ini bukan merupakan serangan main-main dari seorang pemuda yang baru lima tahun belajar ilmu silat! Serangan ini lebih pantas kalau dilakukan seorang tokoh persilatan yang sudah melatih diri selama puluhan tahun! Tenaga pukulan itu dapat dia ukur dari angin yang menyambar dan biarpun Kiang Tojin sendiri tidak berani menerima pukulan sehebat itu. Cepat tosu itu meloncat ke samping dan memutar tubuh sambil mengangkat tangan karena melihat kedudukan tubuh Keng Hong di udara itu dia maklum bahwa pemuda ini akan melanjutkan jurus itu dengan tendangan. Dugaannya memang tepat dan baik dorongan tangan maupun tendangan Keng Hong banyak mengenai angin belaka, dan hanya berhasil membuat pakaian tosu itu berkibar.
Ketika serangan kedua ini gagal, Keng Hong yang khawatir kalau-kalau menerima serangan balasan, lalu menggunakan ginkangnya dan di udara tubuhnya sudah berjungkir balik di barengi seruannya yang keras sekali. Tubuhnya berputaran di udara dan membalik, lalu meluncur turun dan langsung menyerang untuk ketiga kalinya ke arah Kiang Tojin yang masih berdiri terbelalak. Gaya serangan tadi saja sudah membayangkan ilmu silat yang luar biasa, apalagi tenaganya yang membuat kulit tubuhnya terasa pedas dan dingin sekali, kini menyaksikan ginkang sehebat itu tosu ini melongo. Namun pada detik berikutnya, tubuh pemuda ini sudah meluncur dan menyerangnya dari atas seperti seekor burung garuda menyambar. Sekali ini Keng Hong menggunakan jurus ke delapan atau jurus terakhir dari ilmu silat San-in-kun-hoat, yaitu jurus yang disebut In-keng-hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan).
Jurus inilah yang paling sukar dimainkan, karena keempat kaki tangan melakukan serangan dari atas secara bertubi-tubi. Keng Hong yang ingin memperlihatkan apa yang telah dia pelajari dari suhunya agar tidak dipandang rendah, telah menggerakkan kedua kakinya susul-menyusul menendang ke arah dada dan perut, disusul dengan hantaman tangan kiri yang terkepal ke arah leher dan akhirnya dengan jari terbuka ke arah ubun-ubun kepala lawannya! Benar-benar serangan yang amat hebat, cepat dan mengandung tenaga mijizat karena pada saat itu dia mempergunakan seluruh hawa sinkang di tubuhnya yang dia lancarkan melalui kedua tangan dan kakinya! Dengan pukulan seperti inilah ketika dia marah-marah kepada diri sendiri di puncak batu pedang, dia telah menggempur batu menonjol sehingga batu setinggi orang itu telah hancur lebur.
"Hayaaaa....!"
Kiang Tojin benar-benar kaget sekali sekarang. Ia maklum bahwa sedikit pun dia tidak boleh memandang ringan serangan ini dan dia pun maklum bahwa serangan ini terlalu dahsyat dan berbahaya. Maka dia mengerahkan perhatian dan tenaganya.
Tendangan kedua kaki mengarah perut dan dadanya dia hindarkan dengan elakan cepat, demikian pula pukulan ke arah lehernya. Akan tetapi tamparan ke ubun-ubunnya sedemikian cepat dan hebatnya sehingga amat berbahaya kalau dielakkan karena terkena sedikit saja bagian kepalanya tentu akan mendatangkan bencana hebat, maka dia mengerahkan tenaganya, miringkan kepala dan tubuh kemudian secepat kilat dia menangkis tamparan itu sambil terus menangkap tangan Keng Hong yang terbuka. Kiang Tojin adalah seorang tokoh besar yang telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, juga memiliki tenaga sinkang yang sukar di cari bandingnya. Maka amatlah mengherankan kalau kini menghadapi seorang muda yang baru belajar selama lima tahun dia terpaksa harus berhati-hati dan mengerahkan tenaganya.
"Plakk....! Aihhhh.....!"
Kiang Tojin berseru kaget sekali. Ketika dia menangkis tamparan Keng Hong dengan Telapak tangannya, dia merasa seolah-olah lengannya tertindih tenaga yang amat kuat dan beratnya hampir tak kuat dia menahannya, yang membuat seluruh lengan sampai setengah dada terasa ngilu! Sebagai seorang yang sakti, tentu saja dia terkejut namun tidak kehilangan akal. Cepat dia memutar telapak tangannya bergerak, tubuh Keng Hong terbanting ke bawah. Namun karena pemuda itu memiliki ginkang yang luar biasa, dia terbanting dalam keadaan berdiri sungguhpun bantingan itu membuat dia berdiri setengah berlutut dengan tangan masih menempel dengan tangan Kiang Tojin yang menangkapnya.
"Heeeiiiitttt....!"
Kembali Kiang Tojin memekik kaget dan megerahkan tenaga sinkang untuk melepaskan pegangannya. Namun sungguh aneh sekali, dia tidak dapat melepaskan pegangannya pada tangan Keng Hong! Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika dia merasa betapa makin dia mengerahkan sinkang, maka hawa sakti itu seolah-olah air dituangkan ke dalam laut, amblas dan hanyut tanpa bekas, bahkan kini tak dapat lagi dia menahan sinkangnya yang terus mengalir keluar melalui lengannya dan tersedot masuk ke dalam tubuh Keng Hong melalui tangan!
"Iiiiihhhh...., ehhhh....!"
Kiang Tojin menjadi pucat, matanya terbelalak dan dia meronta-ronta hendak melepaskan pegangannya. Sia-sia belaka, karena seperti ada tenaga mijizat yang membuat tangannya lekat dan diapun tak dapat menahan sinkangnya yang menerobos keluar! Tentu saja Kiang Tojin tidak mengerti bahwa kalau tadi dia hampir kalah kuat oleh Keng Hong, adalah karena pemuda itu telah menerima pengoperan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong dalam saat terakhir sehingga dapat dikatakan bahwa yang dia lawan bukan sinkang asli Keng Hong, melainkan sama dengan melawan Sin-jiu Kiam-ong! Dan kini, baik dia sendiri maupun Keng Hong tidak mengerti betapa ada tenaga "menyedot"
Luar biasa pada diri Keng Hong sehingga hawa sakti dari tubuh tosu itu mengalir keluar dan pindah ke dalam tubuh pemuda itu!
Ketika Keng Hong merasa betapa hawa panas mengalir dari tangan tosu itu dan menerobos memasuki tubuhnya melalui tangannya tanpa dapat dicegah lagi, dia tahu apa yang telah terjadi dan dia menjadi terkejut sekali. Mula-mula dia mengira bahwa seperti apa yang telah dilakukan mendiang suhunya,
Tosu penolongnya inipun hendak mengoperkan sinkang kepadanya, akan tetapi ketika melihat wajah tosu itu menjadi pucat, sikapnya yang gugup dan betapa tosu itu dengan sia-sia hendak melepaskan pegangan, dia menjadi kaget bukan main. Tanpa dia ketahui sendiri, dalam dirinya telah timbul semacam "penyakit"
Yang dia sendiri tidak mampu obati, yaitu telah timbul semacam daya sedot yang hebat dan yang tak dikuasainya. Hal ini terjadi diluar di luar kehendaknya dan dia tidak tahu bahwa ketika Sin-jiu Kiam-ong memaksakan sinkangnya berpindah ke tubuh muridnya, paksaan yang tidak wajar ini telah mengacau hawa sakti di tubuh Keng Hong dan telah merusak susunannya sehingga menimbulkan kekuatan daya sedot yang amat luar biasa ini. Dalam bingungnya, Keng Hong juga membetot-betot tangannya dan mulutnya berkata gagap/
"Totiang..... lepaskan......, lepaskan tanganku.....!"
Selagi mereka berkutetan, masing-masing ingin melepaskan tangan yang saling melekat, beberapa orang tosu yang menjadi sute dari Kiang Tojin, menjadi marah. Mereka ini juga merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi melihat betapa suheng (kakak seperguruan) mereka menjadi makin pucat dan tampak gugup dan bingung, mereka itu sebanyak empat orang telah melangkah maju menghampiri Keng Hong. Seorang di antara mereka berseru marah.
"Bocah jahat, lepaskan!"
Empat buah lengan yang kuat dan mengandung penuh tenaga lweekang menyentuh tubuh Keng Hong. Dua orang memegang tangannya, dua orang lagi memegang kedua pundaknya. Keng Hong tidak melawan dan dia masih dalam keadaan setengah berlutut. Namun begitu empat buah tangan itu menyentuh Keng Hong, terdengar seruan-seruan kaget, bukan hanya empat orang tosu itu yang berseru kaget, bahkan Keng Hong juga mengeluh dan berteriak,
"Lepaskan......!"
Ternyata bahwa kini empat orang tosu itu tak dapat melepaskan lagi tangan mereka yang menempel tubuh Keng Hong dan seperti tempat air bocor, sinkang di tubuh mereka juga mengalir dan disedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu!
"Bocah berilmu iblis!"
Seorang di antara tosu itu memaki dan dia memukul dengan tangan lain ke punggung Keng Hong. Akan tetapi hanya terdengar suara.
"Plakkk!"
Dan kini tangannya yang sebelah lagi itu pun melekat dan makin hebatlah tosu ini tersedot tenaganya sehingga dia menjadi pucat dan lemas seketika!
Keliru kalau mengira bahwa Keng Hong merasa senang menerima terobosan hawa sakti yang berkelimpahan memasuki tubuhnya ini. Tubuhnya menjadi makin panas, tidak karuan rasanya, seolah-olah sebuah bola karet yang terisi angin, tubuhnya terasa seperti akan meledak, dadanya penuh hawa, pusarnya penuh hawa yang menekan-nekan dan memberontak hendak keluar, kepalanya pening sekali dan mukanya menjadi merah seperti udang rebus! Ia merasa tersiksa sekali, apalagi karena dia maklum bahwa lima orang tosu itu bisa tewas kalau mereka tidak lekas-lekas dapat melepaskan tangan mereka dari tubuhnya. Namun dia sendiri tidak tahu bagaimana caranya agar dapat terlepas dari mereka! Kalau tadinya dia masih dapat berteriak-teriak minta mereka melepaskan tangan sambil meronta-ronta, kini dia hanya dapat mengeluarkan suara.
"Ah-Ah-Uh-Uh"
Seperti orang gagu. Keadaan Kiang Tojin dan empat orang tosu itu lebih menderita lagi. Mereka merasa betapa tenaga sinkang mereka makin lama makin menipis, tersedot secara ajaib tanpa mereka dapat mencegahnya. Tubuh mereka menjadi lemas, kepala menjadi pening dan pikiran tak dapat dipergunakan dengan baik lagi, membuat mereka menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
"Siancai.... siancai....!"
Seruan ini keluar dari mulut Thian Seng Cinjin, seruan yang halus dan tahu-tahu tubuh kakek ini sudah melayang dekat, kemudian dia menggerakkan kedua tangan setelah menancapkan tongkat di atas tanah. Dengan kedua tangannya dia memegang kedua pangkal lengan Keng Hong,
Lalu merenggut dan menghentak keras. Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa menariknya dan tenaga ini yang jauh lebih kuat daripada tenaga kelima tosu yang membocor ke dalam tubuhnya, telah menghentikan hubungan atau aliran hawa sakti itu, melepaskan kedua lengannya dan tahu-tahu tubuhnya terlempar sampai sepuluh meter lebih jauh sampai bergulingan. Keng Hong meloncat bangun, loncatannya amat ringannya dan dia berteriak kaget karena tubuhnya itu mencelat jauh lebih tinggi daripada yang dikehendakinya. Tubuhnya terasa seperti penuh dengan hawa yang membuatnya ringan sekali, akan tetapi juga berat di sebelah dalam. Hawa yang memenuhi tubuhnya minta keluar, membuat mulutnya menghembuskan suara mendesis seperti orang yang mulutnya kepedasan!
"Aaahhhh... minggir..... aaahhhhh.... minggir semua.....!"
Pekiknya dengan suara menggereng seperti seekor harimau, kemudian tubuhnya sudah melesat ke depan, menuju ke arah pohon-pohon besar. Para tosu yang menyaksikan keadaannya ini menjadi kaget, heran dan juga gentar sehingga otomatis mereka itu minggir dan menjauhkan diri. Keng Hong yang hanya merasa bahwa dia harus menyalurkan semua hawa sakti yang memenuhi tubuhnya, harus mengeluarkan tenaga yang membuat dadanya dan kepalanya seperti akan meledak, terus saja menggunakan kedua kaki tangannya untuk menghajar pohon-pohon yang tumbuh di depannya. Ia memukul, menendang dan mendorong. Dengan ngawur saja dia lalu mainkan keseluruhan delapan jurus dari ilmu silat San-in-kun-hoat dan setelah selesai, dan terdengar suara-suara hebat
"Dessss, Kraaak-Kraaaaak.... Bruuuuk!"
Berkali-kali maka dia telah merobohkan delapan belas batang pohon besar yang menjadi tumbang, batangnya remuk dan kini malang melintang seperti diamuk topan! Setelah menjadi tumbang, batangnya remuk dan kini malang melintang seperti diamuk topan!
Setelah mengeluarkan sebagian hawa sinkang yang mendesak-desak di tubuhnya itu melalui pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang merobohkan belasan batang pohon, barulah Keng Hong merasa tubuhnya tidak tersiksa lagi, dadanya dan kepalanya tidak seperti mau meledak, napasnya tidak sesak dan dia seperti baru timbul dari keadaan seorang yang hampir tenggelam ke dalam air yang amat dalam tanpa dapat berenang! Ia kini menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningan lalu memandang ke depan. Ia melihat betapa Kiang Tojin dan empat orang sutenya telah duduk bersila mengatur pernapasan dan mengumpulkan tenaga dengan wajah pucat. Teringatlah dia akan semua peristiwa akibat gara-garanya, maka cepat dia menghampiri Kiang Tojin dan menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh penyesalan.
"Saya mohon ampun dari Totiang sekalian...!"
Suaranya pilu dan tak terasa lagi pemuda ini menangis sesenggukan!
"Siancai...., engkau bocah telah mewarisi ilmu iblis Sin-jiu Kiam-ong, masih baik tidak mewarisi wataknya yang ugal-ugalan. Hatimu masih bersih....!"
Thian Seng Cinjin memuji sambil mengelus jenggotnya yang putih. Tosu tua ini maklum bahwa kalau hati anak muda itu mengandung kekejaman, dia akan kehilangan beberapa orang murid. Tentu malapetaka besar akan timbul kalau saja pemuda itu menyalurkan hawa sinkang yang hebat itu bukan kepada pohon-pohon, melainkan kepada manusia. Kiang Tojin membuka matanya, mulutnya tersenyum sabar namun pandang matanya penuh kengerian dan juga kekaguman.
"Keng hong, engkau telah mewarisi ilmu yang hebat dan mengerikan...."
"Totiang, saya bersumpah bahwa semua itu terjadi di luar kehendak saya. Kini saya mohon kepada Totiang sudilah Totiang melenyapkan daya sedot yang mencelakakan orang tanpa saya kehendaki ini. Tolonglah, Totiang...!"
Pemuda ini merasa tersiksa sekali batinnya dan dia menganggap ilmu kepandaian aneh yang berada di dalam dirinya, daya sedot yang ajaib itu, tak lain hanya sebagai sebuah penyakit hebat yang menyeramkan dan menjijikkan!
"Keng Hong, tingkat kepandaianku masih belum sampai ke situ, tidak mungkin aku melenyapkan ilmu iblis itu. Entah kalau suhu, barangkali bisa kalau engkau suka memohon kepada suhu."
Keng Hong sudah menoleh dan hendak mohon kepada ketua Kun-lun-pai, akan tetapi Thian Seng Cinjin sudah mengangkat tangannya dan berkata, suaranya halus namun penuh wibawa.
"Ada semacam ilmu hitam yang disebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Hawa Pindahkan Nyawa) yang cara kerjanya juga menyedot kekuatan tubuh lawan. Namun pinto rasa untuk masa kini tidak ada lagi yang memiliki ilmu yang mujizat itu. Kini secara aneh ilmu itu dimiliki olehmu, Keng Hong. Entah Sin-jiu Kiam-ong sengaja atau tidak menurunkan ilmu itu kepadamu. Melihat betapa kau sendiri tidak sadar akan ilmu itu, agaknya dia pun tidak menurunkannya kepadamu dan telah terjadi keanehan yang amat ajaib. Engkau bukan anak murid Kun-lun-pai, tidak berhak bagi Kun-lun-pai untuk melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu. Pula, melenyapkan ilmu itu dari tubuhmu berarti membahayakan nyawamu dan nyawa dia yang mengusahakannya. Ilmu tetap ilmu, baik buruknya atau putih hitamnya tergantung dia yang mempergunakannya. Biarpun Thi-ki-i-beng kelihatannya ganas dan keji, namun kalau engkau dapat menguasainya dan mempergunakan untuk kebaikan, perlu apa dilenyapkan?"
Setelah berkata demikian, kakek ini merenung dan memejamkan mata,
(Lanjut ke Jilid 04)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
mulutnya berkomat-kamit seperti orang membaca doa.
"Bagaimana, Kiang-Totiang....!?"
Keng Hong kini menujukan pertanyaannya kepada penolongnya. Kiang Tojin tersenyum dan menghela nafas.
"Tepat seprti yang dikatakan suhu, engkau bukan murid Kun-lun-pai dan kami tidak berhak mencampuri urusan ilmu silatmu. Sekarang, kau pun terpaksa harus meninggalkan pula pedangmu kepada kami."
Keng Hong menarik nafas panjang. Tosu-tosu ini terlalu angkuh, pikirnya. Kalau ketuanya tahu akan cara melenyapkan "penyakit"
Yang berada dalam tubuhnya, mengapa tidak mau menolongnya? Anak ini memiliki keangkuhan dan tidak sudi merengek-rengek merendahkan diri. Ia lalu mencabut pedang kayu dari pinggangnya, meletakkannya di depan kaki Kiang Tojin sambil berkata.
"Saya tidak mempunyai niat buruk, mengapa membawa-bawa pedang? Kalau Kun-lun-pai merasa bahwa pedang itu hak mereka, biarlah saya tinggalkan. Selain Pedang ini, saya hanya mempunyai pakaian yang saya pakai ini. Apakah ini pun harus ditinggalkan pula?"
Kiang Tojin memandang dengan sinar mata sedih, lalu menggeleng-geleng kepala.
"Sungguh sayang, Keng Hong. Saat ini hatimu dipenuhi oleh kemarahan dan dendam. engkau masih belum mengerti akan maksud baik kami. Akan tetapi biarlah. Kelak engkau akan mengerti sendiri mengapa kami minta kau meninggalkan Siang-bhok-kiam kepada kami."
"Eh, bocah tolol! Namamu Keng Hong tadi, ya? Kenapa kau begitu tolol menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada para tosu bau itu? Jangan berikan! Kau ditipu, mereka itu menginginkan pedang pusaka itu. Ambil lagi dan lekas pergi! Dengan kepandaianmu yang mujizat seperti Iblis mereka takkan dapat memaksamu!"
Teriakan ini adalah teriakan wanita cantik yang diikat pada pohon. Kiranya totokan Kiang Tojin yang dilakukan dari jarak jauh tadi tidak lama membuatnya gagu. Hal ini saja membuktikan bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan pula, melainkan sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.
"Cukup kiranya, Keng Hong. Kami menerima pedang Siang-bhok-kiam dan akan menyimpannya baik-baik. Engkau boleh pergi dengan hati lapang dan ingatlah, engkau tidak boleh datang ke wilayah kami ini tanpa seijin kami. Kalau ada keperluan yang memaksamu datang ke wilayah ini, engkau harus datang lebih dahulu ke Kun-lun-pai dan menghadap suhu untuk minta ijin."
Keng Hong mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia menjawab bahwa dia tidak sudi datang ke situ dan tidak akan mengganggu Kun-lun-pai selamanya. Akan tetapi dia melirik ke arah wanita itu dan berkata.
"Maaf, Totiang. Sebelum saya pergi, ada sebuah permintaan saya, harap Totiang sudi mengabulkannya."
"Permintaan apa? sekiranya patut dan dapat pinto lakukan tentu akan pinto kabulkan permintaanmu."
"Saya mohon kepada Totiang sekalian sudilah kiranya membebaskan wanita itu!"
Terdengar seruan-seruan kaget dari mulut para tosu, dan hanya Kiang Tojin yang tampak tenang, sedangkan Thian Seng Cinjin tidak peduli, masih berdiri seperti orang termenung dengan kedua mata dipejamkan.
"Keng Hong ada hubungan apakah engkau dengan wanita itu maka minta supaya dia dibebaskan?"
"Tanpa alasan apa-apa, Totiang dan hanya dilandasi perasaan yang sama seperti perasaan mendiang suhu ketika menolong Kun-lun-pai yang diserbu oleh kaum sesat!"
"Apa? Apa maksudmu?"
Kiang Tojin memandang heran.
"Totiang, menurut cerita suhu, suhu menolong Kun-lun-pai juga hanya dilandasi perasaan kasihan melihat pihak yang ditindas dan diancam. Suhu pun tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Kun-lun-pai, namun suhu tetap menolongnya. saya pun tidak mempunyai hubungan dengan wanita ini, akan tetapi melihat dia terancam bahaya di sini, perasaan saya yang mendorong saya untuk menolongnya."
"Ah, akan tetapi hal itu jauh sekali bedanya, Keng Hong. Gurumu membantu kami melawan golongan hitam, kaum sesat dan orang jahat. sebaliknya, harus kau ketahui bahwa wanita itu bukan orang baik-baik, bahkan kedatangannya mempunyai niat buruk terhadapmu, untuk merampas Siang-bhok-kiam..."
"Bohong! Tosu tua bangka bau! Bohong....!"
Wanita itu memaki. Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya.
"Agaknya Totiang tidak dapat mengenal watak suhu. Saya percaya bahwa suhu bukan mendasarkan pertolongannya atas baik dan buruk, karena menurut wejangan suhu, bagi suhu dan saya, baik dan buruk itu tidak ada, yang ada hanyalah pendapat orang yang selalu tidak adil karena menurutkan kepentingan diri pribadi."
"Eh, apa maksudmu?"
"Pandangan baik dan buruk oleh pendapat manusia adalah miring dan berat sebelah, Totiang dipengaruhi oleh nafsu pribadi demi kepentingan diri sendiri. Kalau seseorang melihat orang lain menguntungkan dia, bersikap manusia, menyenangkan hatinya, maka serta-merta dia akan menganggap orang itu baik! Sebaliknya kalau dia melihat orang lain merugikannya, memusuhinya dan tidak menyenangkan hatinya, maka tanpa ragu-ragu lagi akan dianggapnya orang itu jahat! Karena itu, saya seperti suhu tidak percaya akan pandangan orang tentang baik dan jahat dan saya menolong wanita ini hanya terdorong perasaan ingin menolong, kasihan melihat dia terancam bencana di sini. Bagaimana, Totiang? Saya telah memenuhi permintaan Kun-lun-pai untuk meninggalkan pedang, apakah Kun-lun-pai demikian pelit untuk menolak permintaanku yang sama sekali terdorong keinginan menguntungkan diri sendiri ini?"
Dengan kalimat terakhir ini terkandung ejekan bahwa Kun-lun-pai minta pedangnya dengan dasar ingin untung sendiri! Kiang Tojin tercengang.
"Pendapat keliru...., wawasan yang menyeleweng...."
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Thian Seng Cinjin yang halus,
"Bocah ini kelak lebih menggegerkan daripada Sin-jiu Kiam-ong. Bebaskanlah wanita itu dan lekas suruh anak ini pergi, lebih cepat lebih baik!"
Kiang Tojin memberi tanda dan dua orang tosu menghampiri wanita itu hendak melepaskan ikatannya, akan tetapi sekali bergerak, wanita itu ternyata telah meloloskan tangan kakinya dari ikatan tanpa mematahkan ikatan itu. Dia meloncat dan memandang ke arah Keng Hong dengan senyum mengejek.
"Bocah Tolol! Cih, tolol dan goblok, dasar anak dusun!"
Setelah berkata demikian, wanita itu membanting-banting kaki kanannya lalu berkelebat cepat pergi meninggalkan tempat itu. Keng Hong tidak peduli, lalu berlutut menghaturkan terima kasih kepada para tokoh Kun-lun-pai, kemudian berdiri dan pergi meninggalkan pegunungan Kun-lun-pai dengan wajah berseri. Dia setengah memaksa diri untuk bergembira, berjanji dalam hatinya untuk menempuh hidup dengan cara gurunya, yaitu tetap bergembira, tidak memusingkan masa depan. Dia akan hidup seperti gurunya, yaitu menghadapi bayangan masa depan yang bagaimanapun selalu gembira dan dengan tekad: Bagaimana nanti sajalah!
"Heii, tolol! berhenti dulu!"
Keng Hong menghentikan langkahnya. Ia telah jauh meninggalkan Kun-lun-san dan kini berada di sebuah hutan yang tidak lagi menjadi daerah Kun-lun-san. Tanpa menoleh dia sudah mengenal suara itu, suara yang nyaring merdu dan galak, suara wanita cantik jelita yang telah dibebaskan oleh para tosu Kun-lun-pai.
"Kau mau apakah?"
Tanyanya sambil berdiri tegak tanpa menoleh.
"Waduh sombongnya! Orang tolol masih bisa bersikap sombong ya?"
"Aku tidak merasa sombong, sungguh pun mungkin kau benar bahwa aku tolol,"
Jawabnya sabar sambil tersenyum. Gembira! Harus menghadapi segala sesuatu dengan gembira, betapa pun pahitnya dan menyakitkan hati maki-makian itu.
"Walah-walah, malah senyum-senyum! Kau bicara tanpa melihat aku, bukan kah itu sikap sombong, sikap orang berkepala angin, memandang orang lain seperti rumput saja? kalau tidak sombong, lihat lah kesini. Benci aku melihat orang diajak bicara kok menengok pun tidak!"
Keng Hong tertawa. Betapa pun galaknya, ucapan orang itu dia anggap jenaka dan lucu, juga segar menyenangkan hatinya. Ia lalu membalikkan tubuhnya dan melihat penegurnya itu duduk di atas rumput hijau di bawah sebatang pohon sambil makan daging paha besar seekor ayam hutan. Daging itu masih mengepul panas, juga api unggun untuk membakar daging itu masih menyala.
"Nah, aku sudah memandangmu sekarang. Kau mau bicara apakah?"
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, memang sombong dan angkuh! Apakah karena engkau telah minta tosu-tosu bau itu membebaskan aku lalu engkau boleh bersikap angkuh seperti ini?"
"Eh....., adik yang baik....."
"Cih! aku bukan adikmu!"
"Cici yang baik...."
"Siapa sudi menjadi kakak perempuanmu?"
Keng Hong merasa bohwat (kehabisan akal).
"Habis, harus kusebut apa?"
"Panggil aku nona!"
"Wah, nona.....?"
"Habis, aku masih gadis, kalau tidak disebut nona, masa engkau hendak menyebut aku nyonya besar?"
Gadis itu merengut, bibirnya yang merah itu berlepotan minyak gajih paha ayam, mukanya coreng moreng terkena hangus, kelihatan makin cantik dan lucu sehingga kembali Keng Hong tertawa.
"Baiklah, Nona. Engkau memaki aku sombong dan angkuh berkali-kali, karena aku tidak mau menengok. Setelah aku menengok, kau masih memaki aku angkuh. Habis aku kau suruh bagaimana supaya tidak kau maki angkuh?"
"Aku mau bicara denganmu, duduklah disini dan jangan berdiri pringas-pringis seperti monyet mencium ikan asin!"
Keng Hong mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal. Selamanya baru sekali ini dia bicara dengan gadis, apalagi gadis yang begini lincah.
Ia tertarik sekali, akan tetapi juga merasa canggung. Kemudian teringat dia akan watak suhunya, maka dia lalu tersenyum lebar dan melangkah menghampiri gadis itu, menjatuhkan diri duduk di atas rumput di hadapan gadis itu. Dalam beberapa detik, pandang matanya yang tajam sudah meneliti gadis yang duduk makan paha ayam panggang di hadapannya itu. Wajah yang berkulit halus kemerahan, cantik jelita dengan bentuk tubuh bulat telur. Rambut hitam gemuk yang kacau tak tersisir, menutup sebagian pipi kirinya karena kepala itu agak dimiringkan ke kanan. Alis yang panjang kecil dan hitam. Sepasang mata yang jeli, lebar dan jernih sekali, dengan kerling yang amat tajam, mata yang aneh karena dia seperti dapat melihat bayangan gembira, berani, menantang dan merenung di dalamnya.
Hidung kecil mancung di atas sepasang bibir yang dianggapnya merupakan bibir terindah yang pernah dilihatnya. Penuh dan berkulit halus seolah-olah sepasang bibir itu dapat mudah pecah, warnanya kemerahan dan basah berminyak. Dagunya kecil agak meruncing menambah kemanisan. Pakaiannya terbuat dari sutera halus dan mewah, namun potongannya ketat sehingga membayangkan dada yang penuh menonjol, pinggang kecil dan pinggul yang lebar. Kulit yang mengintai dari balik leher baju, dari lengan, tampak halus dan putih sekali. Beginikah wanita cantik yang suka disebut-sebut suhunya dan diumpamakan setangkai bunga yang harum? Dia kini dapat merasakan persamaannya. Memang seperti bunga sehingga membuat hati ini kepingin menyentuh, kepingin mencium, kepingin memandang dan menikmati keindahannya.
"Mungkin aku seperti monyet, akan tetapi saat ini aku tidak mencium bau ikan asin, melainkan mencium bau sedap gurih daging panggang!"
"Kau kepingin?"
Gadis itu menghentikan gigitannya dan mulutnya yang penuh dengan daging itu mengunyah perlahan, matanya mengerling Keng Hong. Pemuda remaja ini memandang mulut yang mengunyah itu, dan tak terasa lagi dia menelan ludah dan perutnya mendadak berkeruyuk. Dia mengangguk dan kembali menelan ludah.
"Kalau kepingin, ambillah. Tunggu apalagi? Jangan malu-malu kucing, kalau kepingin mengapa tidak ambil dan makan sejak tadi?"
"Ah, tapi daging itu punyamu...."
"Siapa bilang punyaku? Ayam itu berkeliaran di hutan, entah punya siapa!"
"Tapi kau yang menangkap dan memanggangnya...."
"Sudahlah! cerewet bener sih engkau ini! ambil saja dan ganyang, habis perkara. Bicara saja mana bisa kenyang?"
Biarpun ditegur, Keng Hong menjadi geli dan tertawa. Gadis ini benar-benar menimbulkan rasa gembira di hatinya. Cocok benar dengan watak suhunya.
Bagaimana kalau suhunya yang bertemu dengan gadis seperti ini? Ia lalu menyambar daging ayam panggang, merobek bagian dada lalu mulai makan daging itu. Benar lezat sekali, gurih dan manis, lagi hangat dan perutnya memang amat lapar. Setelah habis semua makan, gadis itu mengeluarkan seguci air dingin dan minum dengan cara menggelogoknya dari mulut guci. air memasuki mulut yang kecil itu, ada yang tumpah membasahi pipi dan tercecer memasuki celah-celah bajunya di leher. Setelah itu, dia menurunkan guci dan menyerahkannya kepada Keng Hong. Pemuda yang mulai mengenal watak polos dan terbuka gadis itu, menerima guci akan tetapi dia merasa ragu-ragu juga untuk menggelogok air itu begitu saja. Bibir guci itu masih berlepotan minyak gajih, tentu ketika bibir guci tadi bertemu dengan bibir si gadis.
"Mana cawannya? Kupinjam sebentar untuk minum!"
"Tidak punya cawan!"
"Habis bagaimana minumnya?"
"Tuang saja, seperti aku "
"Tapi... tapi... bekasmu...."
Gadis itu meloncat bangun, lalu bertolak pinggang dan membungkuk memandang Keng Hong dengan mata terbelalak.
"Kau.... kau menghina aku, ya? Tolol kurang ajar!"
Keng Hong juga membelalakkan matanya, bukan karena marah melainkan karena heran. Ia benar-benar merasa tolol berhadapan dengan nona ini.
"Menghina...? Aku.... aku tidak.... eh, apa sih maksudmu?"
"Kau jijik ya minum secara menggelogok seperti aku? Kau tidak sudi ya karena bibir guci itu berbekas mulutku? Kau kira aku ini penderita sakit paru-paru atau batuk kering? kau jijik?"
"Wah-wah-wah, harap jangan salah paham dan mengamuk tidak karuan. Bukan....bukan begitu, hanya....aku tadi khawatir kau tidak suka...."
"Tidak suka apa? kau benar-benar laki-laki cerewet. Sudah tolol, cerewet lagi! Sialan bertemu laki-laki sepertimu!"
Keng Hong tidak mempedulikannya lagi. Celaka, pikirnya. Kalau dilayani wanita ini, bisa habis dia di maki-maki. Ia lalu tidak mau mendengarkan lebih jauh melainkan menuangkan air ke dalam mulutnya, tidak peduli bibirnya bertemu dengan bekas bibir wanita itu. Air yang jernih dan sejuk.
"Terima Kasih,"
Katanya sambil mengembalikan guci air.
"Kenapa sedikit amat minumnya? Apakah kau takut minuman ini kucampuri racun?"
Sambil berkata demikian, gadis itu kembali minum dengan cara menempelkan bibirnya pada bibir guci tanpa memilih-milih lagi. Heran sekali hati Keng Hong, mengapa menyaksikan bibir wanita itu menjepit bibir guci yang tadi diminumnya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Namun dia merasa mendongkol juga mendengar ucapan itu. Benar-benar wanita yang wataknya mau menang sendiri saja. Masa apa yang dia kerjakan selalu disalahkan? Tidak mau minum salah, sekarang sudah minum masih di sangka yang bukan-bukan. Ia menjadi gemas dan andaikata wanita ini adik perempuannya, tentu sudah dia jewer telinganya!
"Aku tidak takut kau beri racun,"
Jawabnya jengkel, dan dia lalu membuang muka sambil melanjutkan.
"Sebetulnya, kau menghentikan perjalananku ada urusan apakah?"
Sampai lama gadis itu tidak berkata-kata, melainkan memandang wajah Keng Hong penuh perhatian. Pemuda itu tahu akan hal ini karena dia mengerling dari sudut matanya. Melihat gadis itu memperhatikannya, kembali dia mengalihkan pandang matanya. Kemudian terdengar gadis itu bertanya.
"Namamu siapa tadi? Dan berapa usiamu?"
"Cia Keng Hong.... Kalau tidak salah usiaku tujuh belas tahun."
"Hemmm..., dan engkau murid Sin-jiu Kiam-ong? Heran benar aku....."
"Mengapa heran?"
"Seorang tokoh sakti seperti Sin-jiu Kiam-ong mengapa mempunyai seorang murid tolol seperti engkau?"
Makin panas rasa perut Keng Hong. Terlalu benar perempuan ini, pikirnya.
"Kalau sudah tahu aku tolol, kenapa engkau menghentikan aku?"
Sampai lama wanita itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar dia tertawa merdu, cekikikan.
"Eh, kau marah?"
Hemmm, benar-benar tukang menggelitik hati orang, pikir Keng Hong. Gemas dia. Kalau tidak ingat bahwa dia itu wanita tentu sudah ditamparnya. Ia tidak menjawab, hanya menggeleng kepalanya.
"Ah, kau marah. Bilang saja kau marah. Ingin aku melihat bagaimana kalau kau marah!"
Digoda terus-menerus, Keng Hong menjadi merah mukanya dan dia memandang dengan niat untuk balas memaki. akan tetapi melihat mata yang bening indah itu, mulut yang manis tersenyum, dia menjadi tidak tega untuk memaki, maka dia menundukkan muka lagi.
"Kau memang tolol. Kalau tidak tolol, tentu tidak kau berikan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau itu."
"Itu hak mereka dan aku tidak mau membantah permintaan mereka. Mereka adalah tosu-tosu yang bijaksana dan baik, patut dipatuhi permintaan mereka. Pula, menggunakan kekerasan menentang, tak mungkin. Mereka amat lihai, terutama sekali Kiang Tojin dan ketua Kun-lun-pai."
"Kau penakut dan bodoh! Heran aku mengapa Sin-jiu Kiam-ong mempunyai murid seperti engkau! Padahal menurut pendengaranku Sin-jiu Kiam-ong gagah perkasa tidak mengenal takut terhadap siapapun juga dan amat cerdik."
Keng Hong menarik nafas panjang. Gurunya memang seorang yang selalu gembira dan tidak pernah mengenal takut.
"Terserah wawasanmu. Aku tidak takut terhadap siapapun juga, dan tentang kebodohan..... hemmmm, tentu saja aku tidak secerdik suhu."
Sunyi yang agak lama. Keng Hong menunduk karena teringat akan suhunya dan mulailah hilang kegembiraannya. Dalam hari-hari pertama semenjak dia sendirian di dunia ini, sudah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Kalau begini terus nasibnya, bertemu seseorang wanita saja selalu mengejek dan memakinya, mana mungkin dia dapat meniru watak suhunya yang menghadapi segala sesuatu dengan gembira. Betapa mungkin dapat bergembira rasa hati ini kalau seorang wanita cantik jelita mencemoohkan dan memaki-makinya?
"Keng Hong...."
Pemuda itu terkejut. Benarkah wanita itu memanggilnya? Suaranya begitu halus dan dipanggil secara tiba-tiba setelah lama berdiam diri, dia terkejut juga.
"Hemmmm.....?"
Ia menengok dan makin gugup melihat betapa sepasang mata itu memandangnya tajam-tajam dan mulut itu tersenyum manis akan tetapi hanya sebentar saja karena segera bibir yang merah itu cemberut lagi.
"Kau memanggilku?"
"Kau laki-laki canggung benar...."
"Sudahlah, Nona. Kalau engkau menghentikan aku hanya untuk mencela, untuk apa....."
"Engkau marah?"
"Tidak"
"Engkau memang canggung, tidak seperti gurumu yang khabarnya..... ah, apakah kau tidak ingin tahu siapa aku, siapa namaku dan mengapa aku datang ke Kun-lun-pai?"
Baru Keng Hong teringat dan dia merasa bahwa dia memang kurang perhatian,
"Siapakah nama Nona?"
Gadis itu menahan kekehnya. Sikap Keng Hong benar-benar canggung dan gugup sehingga kelihatan lucu.
"Namaku Bhe Cui Im. Bagus tidak namaku?"
"Bagus.... bagus...."
Jawab Keng Hong cepat-cepat dengan pandang mata mendesak agar nona itu terus bercerita.
"Hi-hi-hik, kau ternyata pandai juga memuji...."
"Eh...., aku..... ah, teruskanlah, Nona."
"Aku mendengar akan keramaian yang khabarnya akan terjadi di puncak Kun-lun-san yang disebut Kiam-kok-san, bahwa kabarnya tokoh-tokoh besar hitam dan putih hendak menjemput turunnya murid Sin-jiu Kiam-ong yang mewarisi Siang-bhok-kiam yang amat diinginkan seluruh tokoh Kang-ouw."
"Termasuk engkau sendiri, nona."
"Tentu saja! Apa kau kira aku ini anak kecil yang suka menonton keramaian begitu saja? Dan aku malah berhasil sekali, lebih berhasil daripada mereka yang menggunakan kekerasan. Mereka itu semua terusir oleh tosu-tosu bau Kun-lun-pai, belasan orang gagah di dunia Kang-ouw, sama sekali tidak berhasil, melihatnya pun tidak! aku sengaja membiarkan diriku tertangkap oleh tosu-tosu bau itu. Memang harus diakui bahwa kalau aku melawan, tidak akan mampu mengalahkan tosu-tosu yang demikian banyak, apalagi tosu she Kiang dan gurunya itu amat lihai. aku sengaja menjadi tawanan dan akalku berhasil memancing kau datang karena jeritan-jeritanku. akan tetapi siapa kira, karena ketololanmu, kau serahkan pedang itu begitu saja!"
Mulai lagi maki-makian! Kini mengertilah Keng Hong mengapa gadis ini telah dapat meloloskan diri dari ikatan kaki tangannya sebelum dilepaskan. Kiranya gadis itu memang sengaja membiarkan dirinya ditawan. Benar-benar seorang gadis yang cerdik sekali, dan juga penuh keberanian.
"Untuk apakah engkau menginginkan pedang Siang-bhok-kiam, nona?"
"Eh-eh-eh, masih bertanya untuk apa lagi? Tentu saja untuk mendapatkan rahasianya. Keng Hong, katakanlah terus terang, apakah engkau sudah mendapatkan pula rahasia penyimpanan kitab-kitab pusaka yang terdapat di pedang itu?"
Pandang mata itu penuh gairah, agaknya bernafsu sekali gadis ini untuk mendapatkan kitab-kitab pusaka simpanan Sin-jiu Kiam-ong. Keng Hong menggeleng kepalanya.
"Belum dan agaknya tidak akan dapat kutemukan. Aku pun tidak ingin kembali ke Kun-lun-san. Nona, mengapakah mereka itu semua memperebutkan rahasia itu? Sampai mati-matian dan saling bermusuhan?"
Gadis itu menggerakkan alisnya dan memandang pemuda ini dengan heran.
"Engkau benar-benar masih hijau! Sudahlah, yang penting sekali ini ceritakan kepadaku ilmu apa saja yang kau pelajari dari Sin-jiu Kiam-ong? Tadi kulihat engkau menggunakan ilmu yang mijizat, kau pandai menyedot sinkang orang lain, bahkan Kiang Tojin yang begitu lihai hampir mampus ditanganmu. Ilmu apakah itu? Sukarkah kau menceritakannya kepadaku?"
Tiba-tiba saja sikap gadis ini manis sekali, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum. Keng Hong hanya bisa menggeleng kepalanya, kemudian melihat wajah cantik itu menjadi murung dia cepat berkata,
"Sungguh mati, aku sendiri tidak mengerti. Aku sendiri membenci penyakit yang ada pada tubuhku ini. Aku tidak mempelajari apa-apa kecuali dasar-dasar ilmu silat dan beberapa pukulan dan permainan pedang. Kalau dibandingkan dengan orang lain, tentu tidak ada artinya ."
"Hemmm, engkau pandai merendahkan diri dan bersikap sungkan, alangkah jauh bedanya dengan gambaran tentang gurumu!"
Akan tetapi kegalakkan ini segera berubah lagi, kini gadis itu tersenyum manis, dan membuka tutup guci hendak diminumnya. Akan tetapi dia mengerutkan kening dan berkata seorang diri.
"Ah, air ini kurang sedap!"
Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya dan ketika dibuka, ternyata berisi daun-daun dan kembang-kembang kering. Dituangkannya sebungkus daun dan kembang kering ini ke dalam guci airnya, lalu dikocoknya guci itu sambil memandang Keng Hong. Ditatap sepasang mata seperti itu, Keng Hong menjadi tak enak hati kalau berdiam diri saja maka dia bertanya.
"Apakah yang kau masukkan dalam air minum itu?"
"Daun wangi dan kembang harum, pengganti teh yang amat lezat dan sedap!"
Jawab gadis itu sambil menggelogok air dari guci seperti tadi. Tercium bau yang harum keluar dari mulut guci. Gadis itu selesai minum lalu menyerahkan gucinya kepada Keng Hong sambil berkata,
"Kau minumlah."
Keng Hong menggeleng kepala.
"Aku tidak haus."
"Eh, biarpun tidak haus, air ini sekarang menjadi minuman enak. Coba cium, tidak harumkah?"
Gadis itu mendekatkan mukanya dan membuka mulutnya, menghembuskan nafas ke arah muka Keng Hong. Pemuda itu terkejut dan mukanya terasa panas sekali, jantungnya berdebar tegang. Ia merasa canggung dan juga jengah.
"Apakah kau takut kalau air ini kucampuri racun?"
Untuk mencegah gadis itu melakukan hal-hal aneh yang lebih hebat lagi, tanpa banyak cakap Keng Hong lalu menerima guci air dan menggelogoknya. Memang harum dan terasa agak manis, akan tetapi mulut dan lidahnya yang terlatih tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak asing baginya. Racun! Racun yang amat kuat dan jahat! Namun dia cepat dapat menekan perasaannya, tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, bahkan lalu terus menuangkan air beracun itu sampai habis pindah ke dalam perutnya! Ketika dia menurunkan guci kosong dan berkata.
"Lezat sekali!"
Gadis itu memandangnya dengan sepasang mata bersinar-sinar.
Sambil tersenyum-senyum gadis itu kini mengambil sesuatu dan karena yang diambilnya itu agaknya berada di saku dalam dari bajunya, ia lalu membuka dua kancing baju bagian atas. Cara ia membuka kancing secara terang-terangan begitu saja di depan Keng Hong, dengan gaya memikat dan manis sekali. Keng Hong terbelalak, lebih heran daripada kaget dan jengah, melihat betapa bagian atas baju itu terbuka memperlihatkan pakaian dalam yang berwarna merah muda dan sebagian dada yang memanjat. Gadis itu merogoh ke balik baju yang menutup dada dan mengeluarkan sebuah bungkusan merah. Ketika dibuka, ternyata bungkusan itu berisi belasan butir pil merah. Ia mengambil dua butir dan segera menelannya. Ia lalu mengembalikan bungkusan itu ke balik bajunya, kemudian seperti terlupa dan tidak mengancingkan kembali baju bagian atasnya terbuka itu. Keng Hong terpaksa menundukkan muka agar jangan melihat tonjolan dada yang berkulit putih halus itu.
"Keng Hong, lihatlah kepadaku!"
Terpaksa pemuda itu mengangkat mukanya memandang, mengusir ketegangan dan kebingungan hatinya. Gadis ini jelas berusaha hendak meracunnya. Apakah maksudnya? Mengapa hendak membunuhnya? Ia tahu bahwa racun itu dapat membunuh seorang lawan yang betapapun kuatnya.
"Lihatlah baik-baik, Keng Hong. Tidak indahkah rambutku? Tidak cantikkah wajahku? Cantik sekali, bukan?"
Gadis itu tersenyum-senyum dan mengerlingkan matanya, bergaya dan menggerak-gerakkan mukanya agar dapat terpandang oleh pemuda itu dari depan, kiri dan kanan.
"Hemmmm, begitulah...."
Jawab Keng Hong yang masih mencari-cari sebab perbuatan gadis itu. Ia kini dapat menduga bahwa pil merah tadi adalah obat pemunah racun karena si gadis tadi pun minum air beracun.
"Lihat baik-baik, pandanglah...... tidak halus dan putih bersihkah kulitku, Keng Hong?"
Suaranya kini amat halus merdu, penuh nada merayu dan tangannya sengaja menyingkap baju atasnya agar belahan dada tampak makin nyata. Keng Hong menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang dan cepat dia menekan dengan kekuatan batinnya. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami hal seperti ini, dalam mimpi pun belum! Gadis yang bernama Bhe Cui Im itu kini bangkit berdiri, gerakannya lemah gemulai, leher, pinggang dan lututnya melenggak-lenggok mengingatkan Keng Hong akan gerakan tubuh seekor ular.
"Pandanglah baik-baik, orang muda remaja! Tidak indahkah bentuk tubuhku? Lihat dadaku, pinggangku, pinggulku...."
"Hemmmm, begitulah....!"
Hanya demikian Keng Hong dapat berkata karena kerongkongannya tiba-tiba seperti menjadi kering kembali, seperti orang kehausan.
"Aku masih muda, cantik jelita, bertubuh menggiurkan! aku seorang gadis yang amat menarik hati, bukan?"
"Hemmm, begitulah!"
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Cui Im menghentikan gayanya dan dengan kasar dia duduk di depan Keng Hong. Senyum manis kerling mata tajam kini lenyap dan gadis itu mengerutkan keningnya dengan bayangan hati kesal.
"Begitulah! Begitulah! Begitulah! Tidak bisa berkata lainkah, hai orang dungu? Sin-jiu Kiam-ong kabarnya merupakan pria tukang merayu wanita nomor satu di dunia, ahli merayu dan mencumbu wanita. Apakah gurumu yang.... terkutuk itu tidak mengajarkan kepandaian merayu wanita kepadamu, heh, bocah tolol?"
Keng Hong tersenyum. Kini dia mulai mengenal wanita ini. Wanita yang cantik jelita, namun wanita yang amat berbahaya, seperti seekor ular berbisa. Timbul pula kegembiraannya karena terhadap seorang wanita seperti ini, dia tidak perlu bersikap canggung, malu-malu atau takut-takut. Ia menggelengkan kepala dan tersenyum mengejek.
"Kau sudah mau mampus, tahukah? Kau calon bangkai makanan cacing! Hendak aku lihat ke mana perginya wajahmu yang tampan itu kalau sudah digerogoti cacing nanti. Kau tahu bahwa engkau telah minum racun? di dalam air tadi, tolol, terdapat racun yang mematikan. Racun bunga Siang-tok-hwa (Bunga Racun Wangi) yang kini telah memasuki perutmu, yang akan menghancurkan ususmu, membuat isi perutmu menjadi busuk. Tahukah engkau? Dan obat pemunahnya hanya berada padaku, obat pemunah pil merah seperti yang kutelan tadi. Kalau kau tidak kutolong, nyawamu pasti akan melayang dalam waktu dua puluh empat jam! Nyawamu berada di tanganku sekarang, mengerti?"
Keng Hong mengangguk-angguk. Mengertilah dia sekarang, teringatlah dia bahwa racun yang tidak asing baginya itu adalah Siang-tok-hwa. Tentu saja dia mengenalnya baik-baik, dan tadi dia terlupa karena terpesona oleh sikap dan gaya gadis luar biasa ini.
"Cui Im, apakah kehendakmu? Apakah maksudnya semua ini? Mengapa kau meracuniku?"
"Karena tolol engkau menjadi menyebalkan. Segala apa tidak mengerti. Otakmu tumpul benar perlu dicuci! Tentu saja nyawamu kucengkeram untuk ditukar dengan rahasia barang pusaka gurumu yang.... terkutuk!"
"Diam dan jangan memaki mendiang suhu atau.... aku takkan sudi melayanimu bicara lagi!"
Terbelalak mata gadis itu mendengar bentakan yang tak disangka-sangkanya akan dapat dikeluarkan oleh mulut pemuda tolol itu. Akan tetapi hanya sebentar karena ia mengira bahwa hal itu timbul karena kebaktian bocah ini terhadap mendiang gurunya.
"Engkau telah menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada tosu-tosu bau Kun-lun-pai. Akan tetapi pedang itu bagiku tidak ada artinya. Belum tentu bisa menangkan pedangku ini!"
Gadis itu meraba pinggangnya dan....
"Swingggg..."
Tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan. Kiranya pedang itu amat tipis, terbuat daripada baja lemas sehingga dapat dipergunakan sebagai sabuk! Kini gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke depan dada Keng Hong.
"Aku tidak butuh Siang-bhok-kiam! Yang kubutuhkan kitab-kitab pusaka dan barang-barang mustika peninggalan suhumu. Engkau turun dari Kiam-kok-san hanya membawa pedang, berarti bahwa pusaka-pusaka warisan itu masih belum kau bawa turun. Kau antar aku kesana, berikan semua itu kepadaku, tunjukkan rahasianya, dan mungkin nyawamu akan kubebaskan, dan selain itu.... hemmm, kalau kau tidak terlalu tolol, kita dapat menjadi sahabat baik!"
Keng Hong bukan seorang bodoh sungguhpun kelihatannya dia ketolol-tololan. Ia telah di racun, akan tetapi racun yang ada obat pemunahnya pada gadis itu. Berarti bahwa dia tidak akan dibunuh. Gadis ini menghendaki barang-barang pusaka gurunya, tentu saja tidak akan membunuhnya, melainkan hendak memaksanya dengan jalan meracuninya. Benar-benar seorang gadis yang berhati kejam! Mengapa ada seorang gadis cantik jelita seperti ini berhati sekejam itu? Ia merasa penasaran sekali dan perasaan inilah yang mendorongnya untuk menyaksikan lebih lanjut sampai di mana kekejaman gadis ini dan apa yang akan dilakukan atas dirinya.
Pusaka Pulau Es Eps 6 Si Bangau Merah Eps 26 Si Tangan Sakti Eps 19