Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 29


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



"Hemm, orang-orang macam Ban-tok Coa-ong dan anaknya yang gila itu mana mau mengerti"

   Kata Kun Liong.

   "Memang demikianlah. Ban-tok Coa-ong memaki Biauw Kwi Nikouw sebagai nenek gila cerewet yang bosan hidup dan sekali tangannya menampar, Biauw Kwi Nikouw terguling roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika! Para nikouw menjadi marah dan menyerbu, karena mereka itu sedikit banyak telah belajar silat kepadaku. Akan tetapi, hanya dengan dorongan-dorongan jarak jauh, semua nikouw terpelanting dan tak dapat bangkit kembali karena telah mengalami luka dalam. Aku sendiri menubruk Biauw Kwi Nikouw dan pada saat itu dari belakang Ouwyang Bouw menyerangku dengan jarum merah. Aku tak dapat mengelaknya dan aku roboh pingsan. Mereka ayah dan anak iblis itu pergi sambil tertawa-tawa dan selebihnya kau mengetahui sendiri. Aku minta supaya dibawa ke seorang ahli obat di kota, dan ketika berada di joli kebetulan sekali berjumpa denganmu dan engkau telah menyelamatkan nyawaku."

   "Aihhh... sungguh kau telah mengalami banyak hal yang amat sengsara, Hong Ing. Hanya aku menyesal sekali mengapa engkau mengambil jalan pendek menjadi nikouw."

   "Tidak ada jalan lain. Untuk membunuh diri aku... aku tidak berani..."

   "Jangan!"

   Kun Liong setengah berteriak.

   "Perbuatan itu adalah perbuatan paling rendah dan pengecut di dunia ini. Sekarang engkau tidak perlu takut lagi. Setelah engkau menjadi nikouw, apa yang dapat dilakukan oleh sucimu dan gurumu? Apakah mereka bisa memaksamu? Pula, kalau pangeran tua mata keranjang itu melihat kau sudah menjadi nikouw, apakah dia hendak memaksa memperisteri seorang nikouw?"

   Melihat sikap Kun Liong yang marah-marah ini, terharulah hati Hong Ing karena hal ini membuktikan betapa besar perhatian pemuda ini kepada nasib dirinya.

   "Ah, kau tidak mengenal guruku, Kun Liong. Dia adalah seorang yang berhati keras seperti baja dan semua kehendaknya harus terlaksana. Apa sukarnya memaksa aku memelihara rambut lagi dan memaksaku menikah? Sudahlah, serahkan hal itu kepadaku. Kau tidak perlu ikut berduka dan bingung, Kun Liong. Engkau sudah terlampau baik kepadaku dan percayalah, sampai mati aku tidak akan dapat melupakan kebaikanmu. Lihat, itu Suci mendatangi kuil, kalau aku tidak lekas menemuinya, tentu para nikouw akan terancam bahaya. Kalau sudah marah, Suci seperti Subo saja, keras dan ganas. Kau pergilah, Kun Liong, pergilah, selamat berpisah, sahabat dan penolongku yang baik!"

   Hong Ing menyentuh lengan Kun Liong, kemudian terisak dia meloncat dan lari ke arah kuil di mana tadi bayangan Kim In telah masuk lebih dahulu. Hati Kun Liong seperti diremas-remas rasanya. Entah mengapa, dia merasa kasihan sekali kepada Hong Ing dan mengambil keputusan untuk membela dara itu dari segala bahaya. Dengan pikiran ini, dia lalu melompat dan menyelinap, menghampiri kuil itu dari samping dan melakukan pengintaian. Dengan jantung berdebar Kun Liong melihat Hong Ing berdiri dengan kepala tunduk berhadapan dengan sucinya, Lauw Kim In yang galak itu. Kim In sudah memegang pedangnya dan dengan suara keren berkata,

   "Pek Hong Ing, aku mewakili Subo Go-bi Sin-kouw memerintahkan engkau untuk berlutut!"

   Hong Ing menarik napas panjang dan dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan sucinya yang galak itu.

   "Pek Hong Ing, sebagai murid engkau telah murtad, melanggar perintah guru dan pergi tanpa pamit. Untuk semua itu, Subo masih dapat mempertimbangkannya asal saja engkau ikut bersamaku ke puncak Go-bi-san. Kalau tidak, sekarang juga akan kupenggal kepalamu dan akan kubawa kepalamu kepada Subo seperti yang diperintahkan Subo!"

   Mendengar ucapan itu, belasan orang nikouw yang berada di situ dan yang menonton dengan muka marah itu menjadi makin marah.

   "Dari mana datangnya perempuan jahat yang menghina Toa-suci?"

   Mereka itu lalu menyerbu dan mengeroyok Kim In.

   "Para sumoi... jangan...!"

   Hong Ing berteriak, namun cegahannya terlambat, tubuh Kim In melesat ke sana-sini dan dalam segebrakan saja belasan orang nikouw itu sudah roboh semua dan mengaduh-aduh terkena pukulan dan tendangan kaki Kim In.

   "Hemm, kalau tidak ingat kalian semua adalah pendeta, apakah kalian dapat mengharapkan untuk dapat hidup?"

   Kim In berkata, sikapnya dingin sekali. Para nikouw yang hendak membela Hong Ing itu sudah bangun lagi dan mereka mulai mencari senjata. Akan tetapi Hong Ing melompat dan mengangkat kedua tangan ke atas.

   "Para sumoi kuperintahkan agar jangan melawan! Biarkan aku pergi bersama dia, dia ini adalah suciku!"

   Kemudian dia menoleh kepada Kim In sambil berkata.

   "Saya menurut kehendak Suci dan ikut bersamamu menghadap Subo, akan tetapi baik engkau maupun Subo jangan mengharap akan dapat memaksaku menikah setelah aku sekarang menjadi nikouw."

   "Sumoi, kau tahu betapa sejak dahulu aku menganggapmu sebagai adik sendiri. Akan tetapi, betapapun juga kita tidak bisa menentang Subo."

   Kata-kata ini membuat Hong Ing terharu. Dia teringat dahulu sucinya ini yang mencegahnya membunuh diri dan tahu pula bahwa andaikata sucinya itu membantunya lari, tetap saja mereka berdua tidak akan dapat terlepas dari pengejaran subo mereka yang memiliki kepandaian seperti dewi!

   Maka berangkatlah kedua orang sumoi dan suci ini meninggalkan Kuil Kwan-im-bio, diiringi tangis para nikouw yang dapat menduga bahwa toa-suci mereka yang juga guru mereka yang mereka sayang itu tentu menghadapi malapetaka yang besar dan mereka sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya. Kim In dan Hong Ing melakukan perjalanan cepat sekali karena keduanya menggunakan ilmu berlari cepat. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan besar yang amat sunyi. Tiba-tiba keduanya berhenti karena tahu-tahu ada bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar di depan mereka. Ketika keduanya memandang ternyata orang itu bukan lain adalah Yap Kun Liong yang berdiri dengan tenang namun dengan kedua alis dikerutkan dan wajah serius sekali, berbeda dari biasanya yang selalu berseri gembira.

   "Kun Liong...! Apa yang akan kau lakukan di sini?"

   Hong Ing berseru kaget sekali.

   "Hemmm, hwesio cabul apakah kau berani menghadang kami?"

   Kim In memaki dan sudah mencabut lagi pedangnya. Kun Liong menggelengkan kepalanya yang gundul.

   "Nona Ing, betapa lemahnya engkau, menurut saja kepada kehendak orang lain yang hendak mencelakakan. Dan engkau, Nona. Apakah engkau demikian kejam hendak mencelakakan sumoi sendiri? Kemana perikemanusiaanmu?"

   "Jangan mencampuri urusan kami!"

   Kim In membentak.

   "Kun Liong... aku tahu maksudmu baik, tapi... tapi ahhh, pergilah, jangan membikin aku lebih susah dan bingung...!"

   Hong Ing memohon.

   "Tidak! Sebelum aku bicara, aku tidak akan membiarkan kau dipaksa pergi oleh siapapun juga!"

   Dia memandang kepada Kim in, pandang matanya berkilat sehingga gadis itu terkejut juga.

   "Nona, kau salah sangka, aku bukan hwesio bukan pula melakukan perbuatan busuk dengan sumoimu. Kami adalah dua orang sahabat yang kebetulan saja saling bertemu dan saling menolong dari bahaya, hanya orang yang kotor pikirannya saja yang akan menyangka yang bukan-bukan! Sumoimu ini sudah menjadi nikouw, berarti menjadi seorang suci yang tidak mau lagi berhubungan dengan dunia ramai. Mengapa sekarang dipaksa hendak dibawa dan dikawinkan? Aturan mana ini? Pula, andaikata dia tidak menjadi nikouw, juga amat tidak patut kalau memaksa seorang dara seperti dia menikah di luar kehendaknya. Apakah dia itu seekor kucing atau anjing yang boleh dikawinkan begitu saja menurut selera dan pilihan orang lain? Apakah dia itu sebuah benda yang diperjualbelikan, dan karena yang membeli seorang pangeran kaya lalu diserahkan begitu saja biarpun dia tidak sudi menjadi isteri seorang tua bangka? Kau dan gurumu yang berjuluk Go-bi Sin-kouw itu sungguh tidak berperikemanusiaan dan kejam, sungguh kejam!"

   "Keparat, jahanam, tutup mulutmu!"

   Kim in sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berkelbat menyerang dengan serbuan ganas dan dahsyat sekali. Akan tetapi dengan mudah Kun Liong sudah mengelak dan pemuda ini sudah siap untuk melawan. Dia akan merobohkan gadis ini tanpa melukainya agar mendapat kesempatan untuk mengajak lari Hong Ing. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat Hong Ing menggerakkan saputangannya menyambar dan menyerangnya.

   "Tar...!"

   Ujung saputangan menghantam kepala gundulnya dan dia sengaja tidak menangkis karena dia merasa heran sekali. Seperti disengat lebah, tampak bagian kepala yang dihantam ujung saputangan tadi menjendol dan berwarna merah. Hal ini karena Kun Liong sengaja membiarkan kepalanya dihantam, hanya gerakan otomatis dari sin-kangnya saja yang melindungi sebelah dalam kepala, akan tetapi kulitnya tidak kebal dan kepala di bagian itu menjendol sebesar telur ayam.

   "Hong Ing..."

   Dia mengeluh. Hong Ing berdiri dengan wajah pucat.

   "Sudah kukatakan, pergilah... jangan membikin aku lebih susah lagi, Kun Liong. Engkau takkan menang melawan dan kalau sampai Suci membunuhmu, aku... lebih berat lagi untuk mentaatinya. Pergilah, aku tahu niatmu baik dan maafkan seranganku tadi, Kun Liong."

   "Bagaimana... kalau... kalau mereka memaksamu menikah?"

   Kun Liong masih bertanya ketika kedua orang gadis itu sudah berjalan pergi lagi. Tanpa menengok Hong Ing menjawab,

   "Mudah saja membebaskan diri dari segala keruwetan dunia ini!"

   Kun Liong masih berdiri pucat setelah bayangan dua orang gadis itu tidak tampak lagi. Ucapan Hong Ing itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bunuh diri! Kematian memang menjadi jalan yang paling mudah untuk membebaskan diri dari segala macam keruwetan dunia.

   "Nona Ing...!"

   Dia mengeluh dan menghapus dua bintik air matanya dan dia kaget sendiri. Apa artinya ini? Mengapa dia merasa begini sengsara, merasa begini kesepian setelah Hong Ing pergi? Ah, apakah aku telah gila, pikirnya dan dia membalikkan tubuh, lalu berlari-lari cepat sekali menuju ke Kwi-eng-pang herusaha untuk mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu otaknya. Betapapun juga, masih saja wajah cantik jelita penuh kelembutan, mata yang bening dan sedalam lautan,

   Sikap halus penuh pengertian itu selalu terbayang di depan matanya sampai kadang-kadang Kun Liong berhenti berlari, mengusap mukanya, mengeluh, kemudian berlari lagi secepatnya. Dengan bantuan peta yang dahulu dibuatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong untuknya, Kun Liong dapat menyeberangi Telaga Setan. Dia menemukan sebuah perahu kecil di semak-semak di tepi telaga, kemudian dengan mengambil cara memutar sesuai dengan petunjuk di peta, dia mendayung dan menyeberangi Kwi-ouw menuju ke pulau di tengah telaga itu. Sesuai dengan petunjuk di dalam peta itu, dia menyeberangi Kwi-ouw di waktu malam terang bulan dan mengemudikan perahunya melalui bagian-bagian tertentu, menyelusup alang-alang, melintasi bawah sebuah jembatan yang menjulur ke telaga,

   Kemudian melalui semacam pintu dari dinding batu karang dan akhirnya dia dapat mendarat di tepi pulau sebelah timur, bagian yang tebingnya amat terjal dan terdiri dari batu karang yang amat kuat berwarna hitam kemerahan. Dia menggunakan tali yang berada di perahu untuk mencancang perahunya pada batu karang, kemudian dia mengaso dan tidur di atas perahu kecil, dibuai ombak sehingga tidurnya enak sekali. Dalam tidur itu dia bermimpi dia bertemu dengan Hong Ing, melihat Hong Ing menjadi pengantin dan diarak dengan joli, akan tetapi di tengah jalan dara itu menangis dan dia lalu mengobatinya seperti dahulu, hanya melihat sebagian pinggul gadis itu saja! Dia terbangun dan di ufuk timur sudah tampak sinar kemerahan yang belum muncul. Tertawa sendiri dia mengingat akan mimpinya. Mengapa pinggul itu tak pernah dapat dia lupakan?

   Mulailah Kun Liong mendaki batu karang, dibantu dengan alat yang telah disediakannya sebelumnya sesuai dengan petunjuk Cia Keng Hong, yaitu dua betang besi kaitan. Biarpun dia seorang ahli sin-kang yang kuat dan dapat merayap ke atas dinding seperti seekor cecak, namun mendaki tebing itu merupakan perbuatan berbahaya sekali dan bermain-main dengan maut tanpa dibantu dua buah kaitan itu, karena tebing itu selain curam, juga licinnya bukan main penuh dengan lumut yang tercipta dari air yang tersinar panasnya matahari. Akhirnya dengan perasaan lega dia dapat mencapai puncak tebing, lalu melemper kedua kaitannya di atas batu dan mulailah dia berloncatan menuju ke tengah pulau, ini pun dia lakukan dengan hati-hati, dengan perhitungan ke kanan kiri mengatur langkahnya dan menghitung langkah karena tempat ini pun tidak terluput penuh dengan jebakan-jebakan yang amat berbahaya.

   Dia sudah menghafalkan lebih dulu petunjuk dalam peta, maka dengan enaknya dia dapat berloncatan dengan selamat sampai akhirnya dia tiba di depan pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Kwi-eng Niocu, Ketua Kwi-eng-pang. Dia masih ingat tempat ini dan tersenyum ketika teringat betapa dia pernah ditangkap oleh para pelayan seperti orang-orang menangkap ikan saja. Peta itu dia butuhkan hanya untuk menunjukkan jalan kepadanya. Setelah sampai di depan pondok musuhnya ini dia tidak perlu lagi bersikap sembunyi-sembunyi. Dia menggunakan peta hanya agar dapat bertemu dengan Kwi-eng Niocu. Dia datang bukan sebagai pencuri, perlu apa sembunyi-sembunyi? Maka Kun Liong berdiri dengan tegak di depan pondok itu, mengangkat dada dan mengerahkan khi-kangnya berteriak nyaring sekali,

   "Kwi-eng Niocu...! Keluarlah, ini aku Yap Kun Liong ingin bertemu denganmu untuk bicara...!"

   Gegerlah pulau itu karena suara Kun Liong bergema dahsyat sampai ke seluruh permukaan pulau. Para petugas yang menjaga di sekitar pondok, yang tadinya tertidur karena memang tidak menyangka akan ada sesuatu, serentak bangun, menyambar senjata dan berlari-larian datang mengurung Kun Liong. Akan tetapi pemuda ini tenang-tenang saja dan ketika seorang di antara mereka, seorang komandan penjaga menodongkan tombaknya di depan dadanya sambil membentak agar dia menyerah, Kun Liong menggerakkan tangan dan tombak itu sudah pindah ke tangannya, kemudian dipatah-patahkannya tombak itu seperti mematah-matahkan sebatang biting (lidi) saja! Semua penjaga menjadi bengong dan Kun Liong berkata,

   "Aku tidak berurusan dengan kalian. Aku mau hicara dengan ketua kalian Kwi-eng Niocu!"

   Karena melihat pemuda itu sedemikian lihainya dan benar saja tidak bergerak apa-apa, mereka lalu mundur dan mengurung dengan membuat lingkaran lebar sambil menanti datangnya ketua mereka untuk menerima perintah.

   Tak lama kemudian, dari dalam pondok itu terdengar suara, pintu pondok terbuka dan muncullah tiga orang dengan sikap garang. Seorang wanita setengah tua yang sikapnya agung berdiri di tengah. Wanita ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi pantasnya dan kelihatannya baru kurang dari empat puluh tahun, tubuhnya masih ramping dan gerakannya masih lemah gemelai ketika melangkah menuruni anak tangga depan pondoknya. Di sebelah kirinya tampak seorang pemuda tampan tinggi besar yang selain tampan juga gagah sikapnya, pakaiannya indah dan mewah. Tentu itulah putera angkat Kwi-eng Niocu yang kabarnya bernama Liong Bu Kong, tinggi kepandaiannya dan yang diduga oleh Kun Liong sebagai pemimpin para pencuri di Siauw-lim-pai. Dan di sebelah kanan wanita itu berjalan seorang kakek yang hebat sekali keadaannya.

   Kakek ini sekepala lebih tinggi dari Liong Bu Kong yang sudah tinggi besar itu, tubuhnya seperti raksasa dan jelas tampak kuat seperti gajah! Usianya tentu amat tinggi, namun sukar ditaksir berapa! Brewoknya menutupi sebagian besar mukanya dan brewok itu, seperti rambutnya, sudah putih semua berikut alis dan bulu matanya! Namun langkahnya masih gagah seperti langkah seekor harimau, kedua lengannya diayun agak jauh dari tubuhnya dan kakinya menginjak bumi dengan mantap seperti kaki gajah berjalan! Matanya lebar dan sinar matanya tajam luar biasa, menandakan bahwa kakek aneh ini cerdik dan tentunya amat lihai, melihat sikap ibu dan anak itu yang menghormatinya sebagai tamu yang berjalan paling kanan. Melihat pemuda gundul ini, seketika wajah cantik nenek itu berseri-seri dan seperti berbisik dia berkata kepada kakek raksasa di sebelah kanannya,

   "Inilah dia yang bernama Yap Kun Liong!"

   Kakek itu memandang dengan matanya yang lebar, kemudian tertawa bergelak, suara ketawa yang keluar dari perut dan mengejutkan Kun Liong karena suara ini mengandung khi-kang yang kuat sekali!

   "Hua-ha-hah-ho-hoh! Ini namanya ular mencari penggebuk, ikan menghampiri sujen!"

   "Aku yakin dia ini yang menyembunyikan bokor emas yang aseli. Hai, orang muda, bukankah engkau yang memalsukan bokor emas? Bocah tampan, katakanlah di mana adanya bokor yang aseli dan engkau akan kujadikan muridku, hidup mewah dan mulia di pulau ini!"

   Kun Liong cemberut, menyembunyikan kepanasan hatinya mengingat bahwa mereka ini adalah seorang diantara mereka yang membunuh ayah bundanya, satu-satunya orang yang masib hidup dan yang akan dibunuhnya untuk membalas kemaitian ayah bundanya. Namun dia dapat bersikap tenang karena dia ingin mendapatkan lebih dulu pusaka Siauw-lim-si, maka dia berkata,

   "Kwi-eng Niocu, dahulu aku telah melemparkan bokor emas kepadamu, aku tidak tahu-menahu tentang bokor palsu atau tulen dan aku juga tidak peduli. Yang penting aku datang menagih janjimu karena bukankah dahulu kau berjanji akan mengembalikan dua buah pusaka Siauw-lim-si yang dicuri oleh orang-orangmu kalau aku memberikan bokor kepadamu? Nah, aku datang untuk menerima sebatang pedang pusaka dan sebuah hiolouw, keduanya merupakan benda lama yang menjadi pusaka Siauw-lim-si. Harap engkau sebagai seorang yang terkenal, sebagai seorang Pangcu (Ketua) dari Kwi-eng-pang, suka memegang janji dan menyerahkan kedua benda pusaka itu kepadaku untuk kukembalikan ke Siauw-lim-si."

   "Yap Kun Liong, seorang Ketua Kwi-eng-pang tidak akan melanggar janjinya. Dahulu memang aku berjanji akan mengembalikan dua buah benda Siauw-lim-si kalau ditukar dengan bokor emas pusaka The Hoo. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa pusaka yang terlepas kembali dari tanganku itu adalah pusaka palsu! Oleh karena itu, tidak mungkin aku menukarkan dua buah pusaka itu dengan sebuah benda palsu."

   "Hemmm, tentang bokor emas aku tidak tahu-menahu, akan tetapi pedang dan hiolouw itu jelas adalah milik Siauw-lim-si yang kalian curi. Maka sekarang aku datang mewakili Siauw-lim-pai untuk minta kembali dua buah benda itu, apa pun yang terjadi!"

   Kun Liong sengaja bicara dengan nada marah dan bersikap menantang.

   "Gundul sombong!"

   Tiba-tiba Liong Bu Kong, pemuda tampan gagah putera angkat Ketua Kwi-eng-pang itu sudah meloncat maju ke depan.

   "Ketahuilah dahulu aku yang mencuri dua buah pusaka itu dan semua orang di dunia tahu bahwa untuk mengambil pusaka dari gudang pusaka Siauw-lim-si membutuhkan kepandaian dan harus menempuh kesukaran, yang mengandalkan kepandaian. Kalau engkau ada kepandaian, boleh kaucoba merampasnya kembali dari tanganku!"

   Liong Bu Kong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah tiga orang pelayan cantik manis akan tetapi yang seorang lagi mukanya bopeng biarpun potongon mukanya paling cantik di antara mereka bertiga.

   Totol-totol hitam di muka pelayan ketiga ini benar-benar amat menyayangkan, pikir Kun Liong dan diam-diam merasa heran mengapa dia seperti pernah melihat pelayan bopeng yang cantik ini! Akan tetapi dia segera tertarik kepada dua buah benda yang dibawa oleh seorang diantara tiga pelayan itu, yaitu yang tertua dan yang matanya bergerak genit. Perempuan ini membawa sebuah baki dan di atas baki terdapat benda yang ditutup sutera kuning. Setelah mereka bertiga datang dekat dan berlutut di pinggiran, Liong Bu Kong merenggut lepas kain kuning dan tampaklah dua benda yang dicari-cari Kun Liong, yaitu sebatang pedang kuno dan sebuah hiolouw kuno, dua buah benda pusaka Siauw-lim-si yang dahulu dicuri oleh pemuda putera angkat Kwi-eng Niocu ini! Kun Liong memandang Bu Kong dan berkata,

   "Aku menerima tantanganmu! Kalau aku dapat menangkan engkau, berarti dua buah benda pusaka itu dikembalikan kepadaku?"

   Liong Bu Kong tertawa mengejek.

   "Kita lihat saja nanti, tapi coba lebih dulu kau lawan aku, Gundul!"

   Sambil berkata demikian, Liong Bu Kong sudah mencabut sebatang pedang yang membuat mata Kun Liong silau karena pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang amat terang. Itulah pedang pusaka Lui-kong-kiem (Pedang Kilat) yang ampuh!

   "Bu Kong jangan bunuh dia, aku masih membutuhkannya!"

   Kwi-eng Niocu berseru khawatir melihat putera angkatnya itu menghunus Lui-kong-kiam.

   "Ha-ha, jangan khawatir, Ibu. Aku hanya ingin menggurat beberapa garis di atas kepalanya yang gundul pelontos itu. Yap Kun Liong bocah gundul, sambutlah ini!"

   Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menggunakan suatu senjata, Bu Kong sudah menyerang dengan pedangnya. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar ke arah leher Kun Liong. Kun Liong mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Boleh jadi bagi umum, ilmu kepandaian Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali,

   Akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguhpun dibantu oleh sebatang pedang seampuh itu. Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini dikejar bayangan pedang. Setelah belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan menggurat-gurat kepala lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga dia mampu menyentuh dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung. Biarpun Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, namun karena dia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong-sin-kun, andaikata dia harus menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja,

   Kiranya dia akan dapat bertahan sampai ratusan jurus tanpa membalas. Namun, yang menjadi pokok perhatiannya bukanlah mengalahkan pemuda ini. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa mengalahkannya, apalagi melukainya? Yang penting baginya adalah merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi Kwi-eng Niocu menuntut balas atas kematian ayah bundanya. Oleh karena pikiran ini, sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda pusaka. Dia sengaja mpngelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur-mundur mendekati pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!

   "Eeiiihhh...!"

   Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam. Liong Bu Kong marah bukan main.

   "Kurang ajar! Kembalikan benda itu!"

   Teriaknya dan pedangnya menusuk dada Kun Liong. Pemuda gundul ini membiarkan pedang meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah lutut Bu Kong.

   "Auhhh...!"

   Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih dikempit oleh Kun Liong. Setelah menyimpan dua benda itu dengan mengikatkan kain kuning yang membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam, melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas sampai hampir ke gagangnya!

   Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu menyaksikan kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak mampu menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka dapat dirampas, juga pedang Lui-kong-kiam dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini! Betapapun juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia harus malu kalau harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak.

   "Serahkan dulu bokor emas yang tulen, baru boleh pergi!"

   Setelah berkata demikian, dengan gerakannya yang amat dahsyat Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan cengkeraman kuku tangannya yang panjang.

   "Wussss... brettt!"

   Kun Liong terpekik kaget. Dia sudah mengelak cepat namun tetap saja kuku itu masih merobek pinggir bajunya dekat pundak. Padahal tadi pedang di tangan Liong Bu Kong sampai puluhan jurus tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidaklah percuma nenek ini mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat. Kun Liong mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Boleh jadi bagi umum, ilmu kepandaian Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali,

   Akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguhpun dibantu oleh sebatang pedang seampuh itu. Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini dikejar bayangan pedang. Setelah belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan menggurat-gurat kepala lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga dia mampu menyentuh dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung. Biarpun Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, namun karena dia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong-sin-kun, andaikata dia harus menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja,

   Kiranya dia akan dapat bertahan sampai ratusan jurus tanpa membalas. Namun, yang menjadi pokok perhatiannya bukanlah mengalahkan pemuda ini. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa mengalahkannya, apalagi melukainya? Yang penting baginya adalah merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi Kwi-eng Niocu menuntut balas atas kematian ayah bundanya. Oleh karena pikiran ini, sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda pusaka. Dia sengaja mpngelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur-mundur mendekati pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!

   "Eeiiihhh...!"

   Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam. Liong Bu Kong marah bukan main.

   "Kurang ajar! Kembalikan benda itu!"

   Teriaknya dan pedangnya menusuk dada Kun Liong. Pemuda gundul ini membiarkan pedang meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah lutut Bu Kong.

   "Auhhh...!"

   Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih dikempit oleh Kun Liong.

   Setelah menyimpan dua benda itu dengan mengikatkan kain kuning yang membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam, melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas sampai hampir ke gagangnya! Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu menyaksikan kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak mampu menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka dapat dirampas, juga pedang Lui-kong-kiam dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini! Betapapun juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia harus malu kalau harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak,

   "Serahkan dulu bokor emas yang tulen, baru boleh pergi!"

   Setelah berkata demikian, dengan gerakannya yang amat dahsyat Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan cengkeraman kuku tangannya yang panjang.

   "Wussss... brettt!"

   Kun Liong terpekik kaget. Dia sudah mengelak cepat namun tetap saja kuku itu masih merobek pinggir bajunya dekat pundak. Padahal tadi pedang di tangan Liong Bu Kong sampai puluhan jurus tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidaklah percuma nenek ini mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat. Kun Liong kini siap siaga dan melawan mati-matian. Berbeda dengan tadi ketika menghadapi Bu Kong, dia tadi tidak mau melukai berat apalagi membunuh pemuda itu, akan tetapi sekarang, maklum bahwa nenek ini merupakan orang terakhir yang membunuh ayah bundanya, dia tidak hanya mengelak dan menangkis, namun juga balas menyerang!

   "Siuuuuttt...!"

   Kedua lengan Kwi-eng Niocu bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong, yang kiri mencengkeram ke arah bawah pusar. Dua serangan sekaligus yang merupakan cengkeraman maut dan yang datangnya amat cepat. Kun Liong menggerakkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah menangkis.

   "Duk! Dukkk!"

   Tangkisan yang amat kuat sehingga kedua lengan lawan terpental, namun dengan amat cepatnya Kwi-eng Niocu sudah menyerang lagi dengan cakar ke arah mata dan dada.

   "Plak! Dukkk...! Haittt...!"

   Kun Liong menangkis dua kali dan melanjutkan dalam detik berikutnya dengan hantaman tangan kiri dengan tangan terbuka, tangan kirinya mengeluarkan uap putih dan itulah pukulan Pek-in-ciang yang amat ampuh, yang dia pelajari dari manusia sakti Tiang Pek Hosiang. Kwi-eng Niocu cepat menangkis dengan kedua tangan sambil melempar tubuh ke kiri, namun tetap saja hawa pukulan membuat dia terjengkang dan bergulingan. Dia tidak terluka parah, namun mengalami kekagetan hebat sekali. Tak disangkanya bahwa pemuda itu benar-benar amat lihai! Dia sudah meloncat bangun lagi, dan berseru,

   "Lo-mo, kenapa kau diam saja? Bantulah aku!"

   Kakek raksasa itu tertawa bergelak.

   "Huah-ha-ha, Niocu. Menghadapi seorang bocah gundul saja mengapa harus minta bantuanku? Kau sendiri tidak mau memenuhi permintaanku, bagaimana aku bisa memenuhi permintaanmu sekali ini?"

   Kwi-eng Niocu sudah menyambut lagi serangan Kun Liong. Sekali ini, Kun Liong yang menyerang dan serangannya itu adalah pukulan dari jurus Im-yang Sin-kun dan masih menggunakan tenaga Pek-in-ciang. Dia mengambil keputusan untuk menggunakan ilmu yang didapatnya dari Tiang Pek Hosiang tokoh besar Siauw-lim-pai itu untuk mempertahankan dan merampas kembali benda pusaka Siauw-lim-pai.

   "Plak-plak...!!"

   Kwi-eng Niocu masih dapat menangkis, akan tetapi kembali dia terhuyung. Dia masih sempat mengirim cakar mautnya dan melihat kuku-kuku meruncing itu menyambar dekat mukanya, dengan gemas Kun Liong menyentil dengan jari telunjuknya.

   "Krakkk!"

   Dan patahlah sebuah kuku runcing dari ibu jari tangan kiri Kwi-eng Niocu.

   "Aihhhh... Lo-mo, bantulah aku, dan aku akan melayanimu semalam nanti. Keparat!"

   "Ha-ha-ha-ha! Begitu baru sepadan, namanya!"

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kini raksasa itu sudah bergerak maju, kedua lengannya yang sebesar paha orang dan panjang berbulu itu sudah menyambar dari kanan kiri dengan membawa angin pukulan yang dahsyat.

   "Aihh!"

   Kun Liong kaget bukan main. Cepat dia mengelak ke belakang, kemudian tangannya menampar ke arah leher lawan. Raksasa itu tidak mengelak, hanya mengangkat bahunya ke atas menerima tamparan itu.

   "Desss!"

   Tamparan yang amat hebat yang dilakukan oleh Kun Liong itu akibatnya membuat pemuda ini terpelanting sendiri seolah-olah dia tadi menampar sehuah gunung baja!

   "Huah-ha-ha-hah!"

   Kakek itu tertawa dan dengan cepatnya menubruk seperti sikap seekor harimau menubruk seekor domba. Dengan menggunakan kedua tangan menekan bumi, Kun Liong mencelat ke atas untuk menghindarkan, namun lengan kakek raksasa itu terlalu panjang sehingga tetap saja dia dapat dirangkul dan dipeluk erat-erat. Dua lengan panjang besar itu seperti dua ekor ular membelit tubuhnya, melingkari leher dan pinggangnya dengan kekuatan belalai seekor gajah! Terpaksa Kun Liong menggunakan Thi-khi-i-beng karena kalau tidak, dia tentu takkan dapat bernapas dan jangan-jangan tulang-tulang iganya akan remuk!

   "Aduhhh... auuuggghhh...!"

   Raksasa itu berteriak-teriak dengan mata melotot ketika merasa betapa tenaganya memberobot keluar disedot oleh tubuh pemuda yang dipeluknya itu. Melihat ini, Kwi-eng Niocu cepat melolos saputangannya dan sekali dia menggerakkan tangan, saputangan itu meluncur ke arah leher Kun Liong.

   "Prattt!"

   Tubuh Kun Liong menjadi lemas karena jalan darahnya telah tertotok secara tepat sekali. Andaikata Kwi-eng Niocu menggunakan tangannya, tentu nenek ini pun akan ikut tersedot tenaga sin-kangnya oleh Thi-khi-i-beng.

   Akan tetapi sebagai Ketua Kwi-eng-pang dan sebagai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang sudah luas pengetahuannya, melihat halnya raksasa tadi dia sudah dapat menduga, sungguhpun penuh keheranan, maka dia menggunakan saputangannya, sebagai pengganti jari tangan. Raksasa itu adalah Thia-ong Lo-mo. Dia ini bukan lain adalah guru dari Tok-jiauw Lo-mo, dan dia adalah suheng dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo (baca cerita Pedang Kayu Harum). Tempat tinggalnya adalah di kaki Pegunungan Go-bi-san dan pada hari itu dia menjadi tamu Kwi-eng Niocu yang merasa kehilangan teman-teman, sengaja mendekati kakek raksasa yang lihai ini untuk diajak bersekutu mencari bokor emas yang tulen, juga untuk membalas dendamnya kepada Panglima The Hoo. Thian-ong Lo-mo melepaskan pelukannya dan mengusap keringatnya dari dahi.

   "Hebat benar... ilmu apa itu tadi? Seperti setan, tahu-tahu tenagaku disedotnya tanpa dapat kutahan."

   "Hemm, ilmu itu kalau bukan Thi-khi-i-beng apalagi?"

   Kata Kwi-eng Niocu.

   "Thi-khi-i-beng?"

   Liong Bu Kong menghampiri dan bertanya kaget. Dia pun terheran-heran menyaksikan kelihaian Kun Liong sehingga setelah dikeroyok dua oleh ibunya dan Thian-ong Lo-mo, baru dapat ditangkap.

   "Thi-khi-i-beng? Bukankah katanya hanya Pendekar Cia Keng Hong yang memilikinya?"

   Tanya pula Thian-ong Lo-mo.

   "Hemm, siapa tahu bocah ini telah mewarisinya. Bocah ini amat penting..."

   "Bunuh saja dia, Ibu! Dia berbahaya!"

   Kata Bu Kong.

   "Hush! Bodoh kau. Dia penting sekali. Pertama, dialah yang agaknya tahu di mana letaknya bokor yang tulen. Ke dua, kalau dia mengerti Thi-khi-i-beng, hemm, kita bisa siksa dan paksa dia untuk mengajarkannya kepada kami."

   "Ha-ha-ha! Pikiran bagus sekali! Dia harus ditahan dan dibelenggu kuat-kuat. Jangan khawatir, pergunakan ini untuk mengikatnya, dia tidak akan mampu lolos!"

   Kakek raksasa itu melepaskan "kolor"

   Celananya yang berwarna hitam. Benda ini terbuat dari otot binatang ajaib di Go-bi, dan uletnya tidak ada yang dapat menandinginya. Kaki tangan Kun Liong lalu dibelenggu dengan tali otot itu, dan dia dilempar ke dalam kamar tahanan, dijaga ketat oleh selosin orang penjaga. Malam itu sunyi sekali. Tiap dua jam sekali selosin penjaga yang menjaga di luar kamar tahanan Kun Liong diganti dan diantara mereka itu dipilih para anak murid yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Sementara itu, di kamar para pelayan, tak jauh dari kamar Kwi-eng Niocu, tiga orang pelayan wanita muda saling berbisik-bisik,

   "Niocu tidak mau diganggu malam ini, kita menganggur..."

   Kata seorang yang paling genit.

   "Hemm, mengapa Niocu suka melayani kakek seperti itu? Idihhh, menjijikkan sekali, raksasa seperti itu... bisa mati aku kalau harus melayaninya!"

   Kata yang ke dua sambil terkekeh genit.

   "Kalian jangan main-main, kalau terdengar Niocu kalian bisa dibunuh,"

   Kata pelayan ke tiga yang mukanya bopeng.

   "Sebaiknya kita pergi saja ke kamar Kongcu, dia tentu membutuhkan kita. Lebih senang melayani dia, biar hanya untuk memijati tubuhnya yang kuat dan gagah..."

   Kata orang pertama.

   "Cocok! Mari kita menghadap Kongcu. Sudah lebih sepekan dia tidak mengundang kita."

   "Pergilah kalian. Aku sih tidak dibutuhkan Kongcu,"

   Kata yang bopeng.

   "Aihh, A-hwi, kau sebenarnya cantik sekali, lebih manis daripada kami berdua, sayang mukamu banyak totol-totol hitam. Kau sih tidak mau menurut, kalau kau berobat dan totol-totolmu itu bersih, tentu Kongcu akan tergila-gila kepadamu."

   "Huh, aku tidak memikirkan soal itu. Pergilah kalian kepadanya, aku sendiri akan menjaga di kamar ini, kalau-kalau Niocu membutuhkan sesuatu. Kalau dia memanggil dan kita bertiga tidak ada semua, bukankah celaka?"

   "Kau mau menjaga di sini untuk kami? Ah, A-hwi kau baik sekali."

   "Pergi dan bersenanglah,"

   Kata A-hwi yang bopeng. Dua orang pelayan cepat berdandan, menambah bedak dan gincu di muka dan bibir, memakai beberapa tetes minyak wangi, membereskan rambut dan pakaian, kemudian sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa genit mereka menuju ke kamar Liong Bu Kong yang memang sudah menjadikan mereka berdua sebagai kekasihnya dan kadang-kadang memanggil mereka ke kamarnya untuk melayaninya bersenang-senang.

   Setelah dua orang pelayan itu pergi, A-hwi yang mukanya bopeng itu cepat meloncat keluar dari kamar, tangannya mengusap mukanya dan... selaput tipis terlepas atau terkupas dari kulit mukanya yang halus dan sedikit pun tidak ada totol hitamnya. Dara ini sama sekali bukan bopeng, melainkan memiliki wajah yang cantik jelita dan tidak ada cacat bopengnya sebuah pun! Gerakannya berubah lincah sekali ketika dia berkelebat lenyap dalam gelap. Siapakah dara jelita ini? Dia bukan lain adalah Lim Hwi Sian, dara cantik murid Gak Liong di Secuan, atau masih terhitung cucu keponakan murid dari Panglima The Hoo karena Gak Liong adalah murid keponakan panglima besar itu. Telah sebulan lebih Hwi Sian menyelundup ke Kwi-ouw dan diterima sebagai pelayan.
(Lanjut ke Jilid 29)

   Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29
Dia dapat melindungi dirinya dari Bu Kong yang mata keranjang itu dengan jalam menyelaputi mukanya dengan selaput tipis sehingga mukanya yang cantik jelita itu menjadi bopeng. Dan semua ini dikerjakan memenuhi rencana dan siasat Cia Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Setelah menyelinap di tempat gelap agak jauh dari kelompok bangunan, terdengar suara burung malam. Hwi Sian cepat menghampiri dan ternyata Giok Keng telah berada di situ, tepat seperti telah mereka janjikan. Giok Keng telah mendengar dari ayahnya tentang ayah bunda Kun Liong yang dibunuh oleh lima datuk, juga tentang bokor yang dipalsukan dan yang diduga dilakukan oleh Kwi-eng Niocu. Karena merasa marah mendengar kematian bibi gurunya Gui Yan Cu dan suaminya, Giok Keng lalu minggat untuk menyelidiki Kwi-ouw dan di jalan dia bertemu dengan Hwi Sian yang tentu saja sudah dikenalnya.

   "Bagaimana, Hwi Sian? Sudah dapatkah kau menyelidiki tentang bokor..."

   "Sssttt... Cia-lihiap,"

   Hwi Sian menyebut lihiap kepada Giok Keng mengingat bahwa nona ini adalah puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan yang ia tahu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri.

   "Ada berita hebat sekali..."

   Dengan suara bisik-bisik Hwi Sian lalu menuturkan tentang munculnya Yap Kun Liong yang hendak merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai.

   "Dia sudah berhasil mengalahkan Liong Bu Kong dan merampas pusaka, akan tetapi dia dikeroyok oleh Kwi-eng Niocu dan Thian-ong Lo-mo, tertawan dan dijebloskan di dalam kamar tahanan bawah tanah."

   Giok Keng membanting-banting kakinya dengan gemas.

   "Si tolol itu! Sungguh tak tahu diri, berani mendatangi guha harimau. Biar dirasakan kelancangannya sendiri itu!"

   "Tapi... Li-hiap... dia itu orang baik. Kita harus menolongnya. Dengan adanya dia membantu kita, agaknya pekerjaan kita akan lebih ringan. Pula, bukankah dia pun berhak untuk membalas kematian orang tuanya?"

   Karena suara ini dilakukan dalam bisik-bisik, maka Giok Keng tidak dapat menangkap getaran aneh dalam suara Hwi Sian ini. Akhirnya, mengingat bahwa betapapun juga dia harus menolong Kun Liong, dia mengangguk dan keduanya lalu berindap mendekati kelompok bangunan. Tidak percuma Hwi Sian menjadi pelayan di situ selama sebulan. Selama itu dia telah menyelidiki semua tempat rahasia, dan tahu di mana Kun Liong disekap.

   Dengan hati-hati dua orang dara perkasa ini mmyelinap, Hwi Sian di depan dan Giok Keng di belakang. Giok Keng telah menyerahkan sebatang pedang kepada Hwi Sian, sedang dia sendiri memegang pedang Gin-hwa-kiam yang berkilauan, sebatang pedang pusaka perak yang ampuh. Ketika kedua orang dara itu menuruni anak tangga menuju ke kamar tahanan di bawah tanah, mereka bengong melihat betapa pintu menembus ke anak tangga itu telah terbuka dan dua orang pmjaga pintu telah menggeletak dan "tidur"

   Alias pingsan tanpa luka. Lebih besar lagi keheranan mereka ketika mereka melihat dua belas orang penjaga di luar kamar tahanan sudah rebah malang-melintang, kesemuanya pingsan dan kamar tahanan itu sendiri sudah kosong! Tampak "kolor"

   Hitam terbuat dari otot yang dibanggakan oleh Thian-ong Lo-mo itu menggeletak di kamar tahanan akan tetapi Kun Liong si Pemuda Gundul sudah tidak berada di tempat itu!

   "Ke mana dia?"

   Giok Keng bertanya heran.

   "Entah, tapi itu tadi tali pengikatnya..., tentu dia telah dapat mololoskan diri, atau mungkin ada yang menolongnya. Mari kita cepat keluar sebelum ada penjaga yang melihatnya."

   Dua orang dara itu bergegas keluar dari kamar tahanan bawah tanah. Ke manakah perginya Kun Liong? Dugaan Hwi Sian memang benar. Pemuda itu dapat meloloskan diri, akan tetapi bukan karena pertolongan orang lain. Thian-ong Lo-mo terlalu memandang rendah pemuda ini, tidak tahu bahwa pemuda ini adalah murid gemblengan dari tokoh sakti Siauw-lim-pai Tiang Pek Hosiang dan tentu saja sebagai murid Siauw-lim-pai, dia telah mempelajari Ilmu Jiu-kut-kang, yaitu ilmu melemaskan tulang dan tubuh dari Siauw-lim-pai,

   Bahkan dia telah mempelajari ilmu ini bagian tingkat tinggi karena digembleng oleh Tiang Pek Hosiang sendiri. Oleh karena itu, ketika dia dimasukkan ke dalam kamar tahanan, sebentar saja dia sudah dapat meloloskan kaki tangannya dari belenggu otot hitam itu tanpa mematahkan belenggu karena untuk mematahkan belenggu yang ulet dan mulur itu memang tidak mungkin. Ketika melihat malam tiba dan para penjaga sudah mengantuk, dengan gerakan secepat kilat Kun Liong lalu mematahkan pintu besi kamar tahanan dan sebelum dua belas orang penjaga yang sebagian besar sudah setengah pulas itu dapat berteriak, tubuhnya menyambar ke sana-sini dan totokan-totokannya membuat selosin orang penjaga itu malang melintang dan tumpang tindih dalam keadaan "ngorok"

   Akan tetapi bukan tertidur pulas melainkan pingsan!

   Cepat dia lari ke pintu di atas anak tangga yang menuju ke jalan keluar. Di sini terdapat pula dua orang penjaga, mereka ini pun dibikin "pulas"

   Sebelum sempat berteriak. Kun Liong kini mengerti bahwa kalau dia hanya menggunakan "cengli" (aturan) saja terhadap Ketua Kwi-eng-pang akan percuma. Terpaksa dia harus menggunakan kekerasan, yaitu dengan paksa dia akan berusaha mencuri kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai itu, kemudian dia akan berusaha membunuh orang terakhir yang menjadi pembunuh ayah bundanya. Gerakannya ringan dan cepat sekali dan tak lama kemudian dia telah mengintai di luar jendela sebuah kamar. Kamar Kwi-eng Niocu! Kun Liong tidak dapat melihat ke dalam, namun telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap suara Kwi-eng Niocu dan Kakek Thian-ong Lo-mo yang bercakap-cakap di dalam kamar itu.

   "Ahhh, Ang Hwi Nio, sungguh aku tidak menyangka bahwa engkau yang terkenal sebagai seorang gadis itu ternyata hanya kabar kosong belaka!"

   Suara kakek itu penuh kecewa dan penyesalan.

   "Cih, tua bangka tak tahu malu! Bagimu apa sih bedanya? Engkau tergila-gila kepadaku dan karena engkau sudah membantu dan aku sudah berjanji, aku menyerahkan diriku kepadamu dan kau masih berani mengomel!"

   "Aku tidak mengomel. Engkau hebat dan aku cinta kepadamu, Niocu, akan tetapi aku hanya heran bahwa kenyataannya..."

   "Bodoh! Aku terkenal sebagai seorang perawan karena aku tidak pernah menikah, bukan berarti bahwa aku tidak pernah berhubungan dengan pria. Bahkan aku telah menjadi seorang ibu..."

   "Hehhh...?"

   "Engkau kuanggap sebagai seorang sahabat baik, Lo-mo, dan kuharap selanjutnya kita dapat bekerja sama untuk memperoleh bokor pusaka itu. Maka biarlah kubuka rahasiaku kepadamu seorang. Ketahuilah bahwa dulu, aku berhubungan dengan seorang pemuda she Liong. Hubungan kami akrab dan karena bujuk rayunya aku tidak dapat mempertahankan diri sampai aku mengandung. Akan tetapi apa yang dilakukan pemuda keparat itu? Dia tidak mau mengakui kandunganku karena dia merasa malu menjadi suami seorang anggauta kaum sesat, katanya. Nah, aku membunuhnya dan setelah anak itu terlahir, kuangkat dia menjadi anakku. Padahal dia anakku sendiri, dari hubunganku dengan pemuda she Liong itu, anak terlahir tidak sah..."

   "Liong Bu Kong...?"

   "Benar. Nah, kau sudah mendengar dan kuharap saja engkau menyimpan rahasia ini baik-baik."

   "Tentu saja selama engkau suka melayaniku, manis."

   "Aku akan melayanimu sepuasmu asal engkau selalu suka membantuku."

   Kun Liong yang mendengarkan penuturan wanita itu menjadi bengong dan tanpa disadarinya timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio!

   Kembali ada seorang manusia menjadi korban apa yang tadinya dianggapnya "cinta"! Benarkah cinta itu selalu mendatangkan malapeta? Betapa banyaknya peristiwa yang disaksikannya sendiri, peristiwa menyedihkan akibat perasaan yang terkenal dinamakan cinta. Hwi Sian mencintanya dan karena dia tidak dapat membalasnya, dara itu merana. Demikian pula Yuanita. Dan Li Hwa, demi cintanya dengan Yuan, keduanya menjadi korban dan binasa. Sekarang, ternyata Kwi-eng Niocu, seorang di antara datuk kaum sesat yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan ditakuti, yang terkenal sebagai seorang gadis tua, kiranya hanyalah seorang wanita korban cinta sehingga melahirkan seorang anak yang terpaksa dianggap sebagai anak angkat! Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakangnya.

   "Keparat, jadi engkau dapat meloloskan diri? Kalau begitu engkau memang layak mampus!"

   Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pedang kilat yang mengejutkan Kun Liong. Namun pemuda gundul ini sudah dapat menghindarkan diri dan mengelak dengan loncatan kiri dan dia berhadapan dengan Liong Bu Kong yang sudah memegang pedang Lui-cong-kiam. Terdengar bentakan-bentakan dan sebentar saja Kun Liong telah dikurung, bahkan kini Kwi-eng Niocu sendiri dengan rambut masih kusut dan muka masih kemerahan, telah datang pula bersama Thian-ong Lo-mo, kakek raksasa yang mulai malam itu telah menjadi kekasihnya itu!

   "Kepung! Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!"

   Teriak Kwi-eng Niocu yang merasa terkejut sekali melihat tawanan penting itu telah dapat lolos.

   Akan tetapi karena semua anggauta Kwi-eng-pang maklum betapa lihainya pemuda gundul ini, mereka hanya mengepung dari jarak jauh dengan membentuk lingkaran dan memegang obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali, sedangkan yang maju menyerang Kun Liong tentu saja adalah Kwi-eng Niocu sendiri yang kini menggunakan sebuah kebutan bulu panjang berwarna kuning di samping cengkeraman kukunya yang beracun, adapun Thian-ong Lo-mo sudah pula mengeluarkan senjatanya yang luar biasa dan mengerikan, yaitu sehelai sabuk terbuat dari baja lemas berbentuk runcing tajam penuh dengan gigi seperti gergaji. Sebuah senjata yang mengerikan, apalagi dimainkan oleh seorang yang bertenaga gajah seperti kakek itu,

   Senjata aneh ini lenyap bentuknya dan hanya terdengar suara mengaung dan tampak sinar bergulung-gulung seperti seekor naga bermain di angkasa! Selain kedua orang tokoh sakti ini, Liong Bu Kong juga ikut pula mengeroyok dengan pedang pusakanya yang ampuh. Karena maklum bahwa dia menghadapi orang-orang pandai dan nyawanya terancam bahaya, maka sekali ini Kun Liong tidaklah hanya menjaga diri seperti pertama kali dia dikeroyok, melainkan tubuhnya mencelat ke sana ke mari mengerahkan gin-kangnya dan dia sudah membalas dengan pukulan-pukulan tak kalah berbahayanya pula kepada tiga orang pengeroyoknya. Namun, karena tiga orang itu masing-masing menggunakan senjata ampuh dan hebat, tentu saja Kun Liong tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng,

   Hanya terpaksa mengerahkan dan mengandalkan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet yang beterbangan di antara sinar-sinar senjata lawan yang bergulung-gulung. Tiba-tiba timbul kekacauan di bagian kiri para pengepung karena beberapa orang anggauta Kwi-eng-pang roboh dan berkelebatlah bayangan dua orang gadis yang keduanya memegang sebatang pedang dan yang gerakannya gesit sekali, terutama sekali gadis yang pedangnya mengeluarkan sinar perak. Mereka ini bukan lain adalah Cia Giok Keng dengan pedang Gin-hwa-kiam dan Lim Hwi Sian yang memegang sebatang pedang yang baik pula. Keduanya sudah menerjang memasuki kepungan dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerbu ke medan pertandingan membantu Kun Liong!

   "Kun Liong, mari kita basmi ibils-iblis ini!"

   Kata Hwi Sian sambil memutar pedangnya menyerang Thian-ong Lo-mo.

   "Hwi Sian!"

   Kun Liong berseru kaget dan girang, kemudian dia melihat pula Giok Keng dan berseru,

   "Nona Cia...!"

   Akan tetapi Giok Keng tidak menjawab. Hatinya malah mendongkol. Mengapa Kun Liong menyebut Hwi Sian dengan namanya begitu saja, dengan suara mesra,

   Sedangkan kepadanya menyebut Nona Cia segala macam? Dia tidak mengerti bahwa sengaja Kun Liong menyebutnya nona untuk mengangkatnya, untuk menghormatinya sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, apalagi mereka berada di depan banyak orang. Cia Giok Keng cepat melepaskan anak panah berapi. Anak panah itu meluncur ke udara, tinggi sekali dan tampak api kehijauan menyala-nyala. Itulah tanda rahasia yang diberikan kepada pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan dan yang sudah siap menanti di pantai untuk menyerbu begitu ada tanda dari Cia Giok Keng! Setelah itu, Giok Keng membantu Hwi Sian yang segera terdesak oleh senjata berbentuk gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo. Adapun Kun Liong kini menghadapi Kwi-eng Nioeu seorang diri, cepat dia mendesaknya dan berkata.

   "Kwi-eng Niocu, sekarang tiba saatnya aku membalaskan kematian ayah bundaku! Kaulah seorang di antara mereka yang membunuh ayah bundaku!"

   Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat.

   "Kau... sudah tahu? Hi-hi-hik!"

   Dia memaksa diri tertawa untuk menutupi rasa gentarnya melihat betapa lihainya pemuda gundul ini.

   "Kalau begitu biar kau kukirim menyusul ayah bundamu!"

   Sementara itu, begitu Liong Bu Kong melihat munculnya Cia Glok Keng, seketika kumat gilanya. Dia tergila-gila kepada nona ini dan kini melihat wajah cantik itu di bawah sinar penerangan obor yang kemerahan, dia terpesona sehingga sampai lama dia diam saja berdiri tegak dengan pedang di tangan.

   "Bu Kong, bantulah aku!"

   Kwi-eng Niocu berseru minta bantuan puteranya karena sebagian bulu kebutannya kena ditampar tangan Kun Liong sehingga membodol dan berhamburan! Demikian kuatnya jari tangan pemuda itu sehingga kebutannya yang biasanya dapat menghancurkan batu karang itu kini membodol kena tamparan jari tangan Kun Liong. Akan tetapi seperti orang mabuk, Bu Kong sama sekali tidak mempedulikan ibunya, bahkan dia lalu meloncat ke depan Giok Keng dan berkata,

   "Nona Cia Giok Keng, selamat datang di tempatku yang buruk. Nona, mengapa Nona datang sebagai penyerbu? Bukankah kita sahabat baik dan bukankah aku mempunyai niat baik terhadap dirimu. Nona, aku masih cinta kepadamu, selamanya aku cinta kepadamu...!"

   "Keparat!"

   Giok Keng menjadi merah sekali mukanya. Harus dia akui bahwa dia dahulu tertarik kepada pemuda tampan ini, dan andaikata Bu Kong tidak bersikap semanis itu di depan banyak orang, agaknya dia pun akan lebih merasa bangga daripada marah. Akan tetapi, di depan banyak orang, apalagi di depan Kun Liong dan Hwi Sian, pemuda ini berani menyatakan cintanya. Maka sambil membentak pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan kilat.

   "Cringgg!"

   Bu Kong menangkis dan Giok Keng menjadi makin marah. Kepandaiannya kini tentu saja tidak dapat disamakan dengan dahulu, ketika Liong Bu Kong datang ke Cin-ling-san.

   Dia sudah memperoleh kemajuan hebat dan begitu dia memutar pedang mendesak, Bu Kong menjadi terkejut dan hanya dapat menangkis sambil mundur. Betapapun juga, pemuda ini bukan orang sembarangan dan dia sudah mewarisi kepandaian ibunya. Hanya dia benar-benar jatuh hati kepada Giok Keng dan tidak mau melukainya, maka dalam pertandingan itu, dia terus main mundur didesak oleh Giok Keng sehingga makin lama keduanya makin menjauh dari medan pertandingan. Setelah ditinggalkan Giok Keng, tentu saja Hwi San menjadi repot sekali. Biarpun dia juga seorang dara yang berilmu tinggi, namun ilmunya kalau dibandingkan dengan Giok Keng kalah jauh, apalagi dibandingkan dengan kepandaian Thian-ong Lo-mo! Dia terdesak hebat sekali dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban senjata gergaji di tangan lawannya yang tertawa-tawa mengejek.

   

Pedang Kayu Harum Eps 26 Pedang Kayu Harum Eps 42 Pedang Kayu Harum Eps 43

Cari Blog Ini