Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Bangau Putih 31


Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



Kata Sin Hong dengan suara dan sikap tenang saja, sama sekali tidak hanyut oleh perasaan hati. Yo Han juga berdiri dengan semangat, mulutnya tersenyum ketika dia mencontoh gurunya memberi hormat kepada guru silat dan nyonyanya itu. Tiba-tiba Siang Cun melepaskan diri dari pelukan ibunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sin Hong! Ia menangis sesenggukan sehingga suaranya sukar ditangkap artinya. Sin Hong tersenyum dan menunduk, lalu berkata dengan suara yang lembut dan berwibawa.

   "Tenangkan hatimu, Siang Cun. Di manakah kekerasan hati dan kegagahanmu?"

   Suara itu menenangkan Siang Cun dan terdengar suaranya lirih bercampur tangis,

   "Ampunkan aku.... dan terima kasih.... terima kasih...."

   Tiba-tiba Ciang Kun juga menjatuhkan diri berlutut di samping Siang Cun! Hal ini sungguh sama sekali tidak disangka oleh Sin Hong yang kini memandang dengan mata berseri gembira!

   "Taihiap, saya pun berterima kasih sekali dan mohon maaf. Saya takkan pernah melupakan kemuliaan hati Taihiap selama hidup saya."

   Suara Sin Hong terdengar gembira bukan main ketika dengan kedua tangannya dia mengangkat bangun Siang Cun dan Ciang Kun agar bangkit berdiri.

   "Tidak ada yang perlu dimaafkan dan tidak perlu berterima kasih. Semua ini untuk kebaikan kita masing-masing dan aku percaya bahwa kalian akan dapat menemukan kebahagiaan dalam kehidupan kalian sebagai suami isteri yang saling mencinta. Biarlah sekarang juga kuucapkan selamat kepada kalian. Nah, selamat tinggal semua, semoga Thian selalu memberkahi kalian."

   Berkata demikian, Sin Hong membalikkan tubuhnya, menggandeng tangan Yo Han dan pergi meninggalkan rumah keluarga Bhe dengan hati dan langkah yang ringan.

   Bersama dengan sinar matahari pagi yang keemasan, keindahan menerangi seluruh permukaan bumi. Keindahan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, karena ada keindahan yang tidak dapat diraba dengan pandang mata atau dengan alat panca indera lainnya, melainkan hanya dapat dirasakan saja. Keindahan yang terkandung dalam sinar matahari yang menerobos diantara daun-daun pohon, Membuat garis-garis lurus menyusup ke dalam kabut pagi, terkandung dalam kicau burung yang saling bersahutan dalam kesibukan binatang-binatang kecil itu mempersiapkan diri untuk mulai mencari makan, dalam gemercik air Sungai Yang-ce-kiang ketika air bermain-main dengan batu-batu di tepinya, dalam keharuman bau tanah yang sedap, tanah yang segar dibasahi embun pagi, keindahan yang terkandung di dalam keheningan, bahkan keheningan itu sendiri yang menciptakan keindahan.

   Bukan hening karena sunyi, melainkan hening tidak ada penyelewengan dalam pikiran. Kicau burung, teriakan kanak-kanak, kesibukan para ibu di dapur dan bapak-bapak tani yang mulai meninggalkan rumah menuju ke sawah ladang, semua itu tidak mengganggu keheningan itu, bahkan mereka semua itu terserap ke dalam keheningan. Pagi hari yang indah! Hanya dirasakan oleh mereka yang memandang semua itu, mendengar semua itu, mencium semua itu, tanpa menilai. Tidak teringat sedikit pun bahwa semua itu indah, yang terasa hanyalah kebahagian, karena seperti keheningan adalah keindahan, maka keindahan adalah juga kebahagiaan. Yang tiga itu tak terpisahkan. Eloknya, ketiganya tidak ada selama si aku atau pikiran ingin merasakan dan menikmatinya! Wanita muda yang berjalan seorang diri di atas bukit di tepi sungai itu nampak bersunyi diri. Berjalan melangkah perlahan-lahan di atasbukit.

   Ia menjadi bagian dari keindahan maha besar itu. Dari tempat ia berdiri, nampak Sungai Yang-ce terbentang luas dan panjang, dan sebelum pandang mata tiba di sungai, melewati pula sawah ladang dan dusun-dusun dan di kanan kiri sepanjang sungai itu nampak bukit-bukit kecil yang subur. Warna hijau dan kuning dan perpaduan antara hijau dan kuning nampak seperti permadani, menyelimuti tanah, bermandikan cahaya matahari keemasan. Air sungai nampak berkilau tertimpa sinar matahari, memantulkan cahaya itu sehingga menyilaukan mata. Dua orang bapak tani memanggul pacul jalan beriringan di galengan sawah sambil bercakap-cakap, berangkat menuju ke sawah mereka. Seorang di antara mereka, yang di depan, merokok dan asap rokoknya mengepul ke atas kepala mereka. Seorang anak laki-laki dengan pakaian setengah telanjang, hanya bercelana, memegang cambuk panjang menggembala lima ekor kerbau yang gemuk-gemuk,

   Tiga ekor besar dan dua ekor masih muda dan beberapa kali dua ekor yang muda ini bergurau dengan tanduk mereka. Jauh di seberang sana, nampak samarsamar beberapa buah gunung, bagian atasnya tertutup awan. Cuaca pagi itu cerah bukan main, menjanjikan siang hari yang panas tanpa mendung. Namun, wajah wanita itu sama sekali tidak cerah, bahkan terbayang mendung kedukaan dalam pandang matanya, ketika mata itu melihat jauh ke depan tanpa mengenal apa yang dilihatnya. Pandang mata seperti melayang-layang saja di permukaan bumi di bawah itu, dan ia sama sekali tidak merasakan kebesaran alam, melainkan kerisauan perasaan hatinya sendiri. Batinnya sedang gundah dan kadang-kadang pandang matanya seperti orang yang bingung atau putus asa, tiada gairah hidup! Padahal ia seorang wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya,

   Cantik jelita dan bentuk tubuhnya ramping dan padat, penuh keindahan dan kesehatan. Wajahnya berbentuk bulat telur, sepasang matanya lebar dan lincah, sayang saat itu tertutup mendung duka. Pakaiannya yang biarpun bersih namun kusut itu menunjukkan pula, bahwa ia memang sedang berada dalam keadaan gundah sehingga tidak mempedulikan keadaan pakaian dan rambutnya yang kusut. Ia menuruni bukit itu dan ketika ia melihat anak laki-laki setengah telanjang yang menggiring lima ekor kerbaunya, hatinya tertarik dan ia pun berhenti, melihat bagaimana anak laki-laki itu mengiring lima ekor kerbaunya masuk ke dalam kubangan air. Lima ekor binatang itu nampak gembira ketika memasuki kubangan air yang segera menjadi keruh berlumpur. Mereka mendekam sehingga hanya nampak kepala mereka saja, dan mereka diam tak bergerak,

   Mata mereka merem-melek nampak nikmat sekali. Wanita itu berdiri, bersandar pada sebatang pohon, melihat betapa anak laki-laki yang bertelanjang dada dan bertelanjang kaki, tubuhnya hanya mengenakan celana sebatas lutut, celana hitam dari kain kasar, kini mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan dibukanya. Kiranya sepotong roti gandum kering sebesar kepalan tangan. Roti itu digigitnya, akan tetapi roti itu terlalu keras, dan anak itu lalu pergi ke sebuah pancuran air, membasahi roti itu beberapa lamanya, kemudian dia duduk di dekat kubangan air, di atas batu dan mulai makan roti kering yang kini sudah menjadi basah dan tidak sekeras tadi. Dia tidak melihat wanita cantik yang sejak tadi memandanginya dan makan dengan enaknya, menggigiti roti yang keras itu sedikit-sedikit.

   Wanita itu seperti terpesona, jarang berkedip sejak tadi. Penglihatan itu sungguh menarik hatinya. Nampak olehnya betapa lima ekor kerbau itu demikian tenteram, damai dan agaknya berbahagia, nampak dari mata mereka yang merem-melek. Dan bocah itu! Usianya paling banyak sepuluh tahun, melihat pakaiannya tentu seorang anak yang miskin, dan kini anak itu makan roti kering yang keras, dibasahi air sawah! Dan nampaknya dia makan demikian enaknya, seolah-olah bukan sepotong roti kering dibasahi air sawah: yang dimakannya, melainkan makanan yang lezat dan mahal, dan mata anak itu pun merem-melek nampaknya dia menikmati makan roti duduk di atas batu itu! Padahal, ia tahu bahwa makanan itu adalah makanan paling sederhana, makanan roti gandum yang dikeringkan agar tahan lama dan kalau akan dimakan harus ditim dulu agar menjadi empuk.

   Akan tetapi roti kering itu digerogoti oleh anak itu begitu saja, hanya dibasahi air sawah! Dapat dibayangkan betapa miskin keadaan anak itu. Akan tetapi kenapa begitu kelihatan berbahagia? Anak dan kerbau-kerbau itu demikian berbahagia, betapa menjadi kebalikan dari keadaan batinnya. Ia sendiri begini sengsara dan menderita! Ia merasa penasaran. Ia bangkit dan perlahan-lahan menghampiri anak laki-laki yang baru saja menghabiskan rotinya itu. Anak laki-laki itu memandang dengan heran, akan tetapi tetap duduk dan matanya yang lebar memandang dengan penuh perhatian. Wanita itu. duduk di atas batu di depan anak itu. Mereka saling pandang dan anak itu mulai merasa khawatir, menoleh ke arah kerbau-kerbaunya, lalu memandang lagi kepada wanita di depannya, wanita yang asing baginya itu.

   "Anak yang baik, jangan takut, aku hanya ingin duduk bersamamu dan mengajak bicara. Engkau tadi makan roti kering kelihatan enak sekali."

   "Memang enak,"

   Jawab anak itu, kini berani tersenyum karena sikap wanita itu yang ramah dan halus.

   "Perutku tadi lapar dan sekarang sudah kenyang."

   Dia mengelus perutnya yang tak tertutup baju.

   "Apakah ini kerbau peliharaan orang tuamu?"

   Tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah lima ekor kerbau yang masih mendekam dalam kubangan air lumpur. Anak itu menggeleng kepala.

   "Orang tuaku sudah tidak ada. Aku tidak punya ayah atau ibu. Ini kerbau Paman Ciok, aku bekerja padanya."

   Wanita itu memandang heran.

   "Engkau yatim piatu?"

   Anak itu mengangguk.

   "Dan kau bekerja menggembala kerbau-kerbau ini?"

   Kembali anak itu mengangguk dan melanjutkan dengan jawaban mulutnya.

   "Menggembala kerbau, menyabit rumput dan segala macam pekerjaan lain."

   Bukan main, pikir wanita itu. Anak ini yatim piatu dan sekecil ini sudah bekerja.!

   "Kau tidak mempunyai sanak keluarga lagi? Hidup sebatang kara di dunia ini?"

   Kembali anak itu mengangguk. Wanita itu menjadi semakin tertarik. Anak sekecil ini, tidak ada orang tua, tiada sanak keluarga, hidup sebatang kara, bekerja ikut orang dalam keadaan miskin, namun kelihatan begitu berbahagia!

   "Berbahagiakah hidupmu, anak baik?"

   Anak itu memandang tidak mengerti.

   "Berbahagia? Apa maksudmu?"

   Kini wanita itu yang memandang bingung. Apa sih bahagia itu? Ia sendiri pun tidak tahu!

   "Eh, begini, anak baik. Apakah kau.... tidak pernah merasa berduka?"

   "Berduka? Kenapa harus berduka?"

   "Tidak harus.... akan tetapi, engkau hidup sebatang kara, engkau hidup miskin sekali, pakaianmu setengah telanjang, makanmu roti kering yang keras seperti tadi, apakah engkau tidak merasa sedih?"

   "Sedih? Tidak aku tidak pernah sedih, mengapa harus sedih? Setiap pagi aku menggiring kerbau-kerbau ini ke sini, sarapan apa saja yang ada, kalau Bibi Ciok belum masak apa-apa sepagi ini, aku membawa roti kering. Kemudian aku menggiring kerbau-kerbau ini ke sawah, kepada Paman Ciok yang akan meluku sawah dengan para pembantunya, dan aku pergi menyabit rumput, sesudah itu membantu pekerjaan paman Ciok atau isterinya di rumah, menyapu lantai, membersihkan apa saja di rumah, atau menimba air. Tidak, aku tidak sedih Bibi, aku mempunyai banyak pekerjaan, tidak sempat bersedih-sedih. Pula, mengapa aku harus sedih?"

   Anak itu lalu bangkit dan menggiring kerbaunya keluar dari dalam kubangan air, tanpa bicara lagi meninggalkan wanita itu yang duduk termenung seperti patung! Karena banyak pekerjaan, maka anak itu tidak sempat bersedih-sedih, dan pula, mengapa dia harus sedih? Dan ia sendiri? Mengapa ia bersedih? Karena memikirkan keadaan dirinya! Karena pikirannya melayang-layang memikirkan nasibnya yang dianggap buruk sehingga ia merasa iba diri, kasihan kepada diri sendiri, lalu menjadi nelangsa, dan timbullah duka. Ah, ia telah tersesat, membiarkan pikirannya menguasai diri. Dan pikiran celaka ini selalu membayangkan hal-hal yang dianggapnya buruk! Tidak, ia harus mengisi hidupnya dengan pekerjaan yang berguna, seperti anak itu! Dan ia seorang pendekar, mengapa harus menganggur?

   "Hong Li, engkau memang wanita tolol!"

   Demikian wanita itu memaki diri sendiri. Ia adalah Kao Hong Li, puteri tunggal dari pendekar Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui. Kao Hong Li adalah cucu tunggal dari mendiang Naga Sakti Gurun Pasir, bukan seorang wanita biasa. Wanita berusia dua puluh empat tahun ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mewarisi kepandaian ayah dan ibunya.

   Ayahnya adalah keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan ibunya adalah keturunan Para Pendekar Pulau Es! Seperti telah kita ketahui, Hong Li telah di jodohkan dengan Thio Hui Kong putera Jaksa Thio yang jujur dan adil di kota Pao-teng. Hong Li yang menerima berita bahwa Sin Hong telah menikah dengan puteri guru silat Bhe di kota Lujiang, tidak dapat membantah lagi kehendak orang tuanya. Usianya sudah dua puluh tiga tahun, dan harapannya untuk dapat berjodoh dengan pria yang diam-diam dicintanya, yaitu Sin Hong yang masih terhitung susioknya telah sirna, maka untuk berbakti kepada orang tuanya, ia menurut saja ketika ayah ibunya memilih Thio Hui Kong menjadi suaminya. Semua orang pun akan menganggap bahwa pilihan itu sudah tepat sekali, Thio Hui Kong seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tampan dan gagah, pandai silat dan sastra,

   Putera Jaksa Thio yang terkenal sebagai seorang pembesar yang adil dan bijaksana, kedudukannya tinggi dan dihormati semua orang, juga serba kecukupan walaupun tidak kaya raya. Kurang apa lagi? Ternyata memang kurang satu, dan yang satu inilah yang menjadi syarat mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga. Yang kurang itu adalah cinta kasih antara dua orang muda yang di jodohkan. Hui Kong tadinya girang sekali bahwa dia berhasil mendapatkan gadis yang dijadikan rebutan, gadis gagah perkasa dan cantik jelita itu. Biarpun ada ganjalan dalam hatinya melihat betapa calon isterinya roboh pingsan ketika bertemu dengan susioknya yang bernama Tan Sin Hong itu, namun dia ingin melupakan semua itu dan dia bersikap mesra dan mencinta. Dia menikmati haknya sebagai seorang suami dan menganggap bahwa Hong Li seorang isteri yang cukup menyenangkan hatinya.

   Akan tetapi hanya sampai di situ saja! Hubungan antara sepasang suami isteri barulah akan membahagiakan kalau didasari cinta kasih kedua pihak. Karena Hong Li tidak dapat memusatkan perhatiannya dalam bermesraan dengan suaminya karena memang tidak ada dasar cinta, maka hal ini terasa oleh Hui Kong. Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa, akan tetapi dia merasa penasaran dan kecewa, akan tetapi dia lalu menghibur diri dengan pergaulan di luar dan pergaulan inilah yang menyeret Hui Kong ke dalam pengejaran kesenangan yang tidak sehat! Dia mulai berfoya-foya, bermabuk-mabukan, bahkan mulai suka berjudi dan bermain dengan wanita pelacur! Hong Li mendengar akan hal ini, bahkan ia melakukan penyelidikan sendiri dan melihat suaminya mabuk-mabukan di rumah pelesir.

   Tentu saja Hong Li menjadi marah dan menegur suaminya. Kekerasan hati Hong Li inilah yang justeru membuat Hui Kong memberontak dan melawan! Dia adalah seorang putera pembesar, dan melihat betapa isterinya marah-marah dan hendak menekannya tentu saja dia menjadi penasaran. Seorang Isteri harus taat, patuh dan hormat kepada suaminya, demikian dia memarahi Hong Li. Mulailah terjadi bentrokan dan percekcokan antara mereka. Baru beberapa bulan menikah sudah mulai cekcok. Melihat hal ini, orang tua kedua pihak berusaha keras untuk mendamaikan mereka dengan sikap bijaksana, yaitu memarahi anak masing-masing. Namun, kedua orang suami isteri muda itu sama-sama keras hatinya dan karena memang pada dasarnya tidak ada rasa cinta di antara mereka, maka semua usaha orang tua kedua pihak gagal.

   Percekcokan makin meningkat. Melihat bahwa kalau sampai terjadi perkelahian akan membahayakan, akhirnya kedua orang tua masing-masing bersepakat untuk mengambil jalan keluar yang paling akhir, yaitu perceraian! Hong Li bercerai dari suaminya setelah menjadi suami isteri selama kurang dari setahun saja. Setelah bercerai secara resmi, Hong Li lalu pergi merantau dan kedua orang tuanya mengijinkannya karena melihat bahwa hal itu perlu untuk memberi kesempatan anak mereka melupakan peristiwa duka yang menimpa dirinya. Demikianlah, Hong Li mulai merantau. Namun, ia tidak pernah dapat membebaskan diri dari duka dan kecewa. Apalagi kalau ia membayangkan betapa susiok yang dicintanya, Sin Hong, kini hidup berbahagia dengan isterinya, ia merasa semakin terpukul dan berduka.

   Sampai pada pagi hari itu, ia bertemu dengan seorang anak penggembala kerbau dan keadaan anak itu menggugah kesadarannya bahwa selama ini ia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka yang diadakan oleh pikirannya sendiri. Ia terlalu memikirkan diri sendiri, terlalu besar rasa iba dirinya sehingga ia lupa bahwa hidup bukanlah sekedar merenungkan segala hal yang buruk dalam hidup yang telah dialaminya. Justeru hidup adalah medan di mana pengalaman baik buruk terjadi, dan segala peristiwa yang sudah berlaku itu tidak ada gunanya untuk dikenang dan disedihkan lagi! Yang sudah biarlah sudah. Yang lewat biarlah lewat! Masih banyak hal-hal lain yang lebih penting daripada sekedar termenung menyedihi dan menangisi hal-hal yang telah terjadi, yang telah lewat. Biarpun ia akan menangis dengan air mata darah, tetap saja hal yang telah berlalu itu tidak akan dapat kembali.

   "Kau sungguh cengeng, Hong Li. Lihat anak itu! Dia jauh lebih bijaksana daripada engkau! Dia dapat menikmati hidupnya, dapat hidup berbahagia karena mampu menerima apa adanya dengan penuh gairah. Hayo, waktunya untuk bangkit, untuk bangun!"

   Demikian Hong Li mencela diri sendiri sambil bangkit berdiri. Wajahnya kini berubah. Tidak lagi murung seperti tadi, melainkan berseri. Sepasang matanya yang lebar itu mulai bersinar-sinar dan mulutnya yang manis itu mulai dihias senyum. Tiba-tiba terdengar jerit tangis didepan. Ia cepat melihat dan alisnya berkerut, matanya mengeluarkan sinar mencorong marah ketika ia melihat apa yang terjadi tak jauh di depan sana. Anak penggembala kerbau tadi sedang menangis, menjerit-jerit dan berusaha untuk menghalangi lima orang laki-laki yang hendak menuntun pergi lima ekor kerbaunya!

   "Jangan....! Jangan ambil kerbau-kerbauku....!"

   Anak itu menjerit-jerit, akan tetapi seorang di antara mereka mendorong dada anak itu sehingga dia terlempar dan terjengkang dengan keras. Hong Li melihat bahwa lima orang itu adalah laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, berpakaian ringkas bukan pakaian orang dusun, wajah mereka itu memperlihatkan kebengisan dan kekejian, dan melihat betapa ada senjata golok di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak dengan kekerasan dan kini agaknya hendak merampas lima ekor kerbau gemuk dari bocah itu.

   "Perampok-perampok jahat!"

   Teriak Hong Li dan dengan beberapa kali lompatan saja ia sudah berada di dekat anak itu.

   "Jangan takut, adik yang baik, aku akan menghajar mereka dan mengembalikan kerbau-kerbaumu!"

   Melihat munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita, tentu saja lima orang itu tidak menjadi takut, bahkan mereka tertawa-tawa secara kurang ajar dan seorang di antara mereka berkata,

   "Aduh, nona manis. Marilah engkau ikut dengan kami. Ketahuilah bahwa ketua kami sedang mengadakan pesta, maka engkau dapat menyenangkan hati kami! Jangan khawatir, ketua kami orangnya royal dan engkau akan menerima hadiah yang banyak, ha-ha-ha!"

   Wajah Hong Li berubah merah sekali.

   "Jahanam bermulut busuk!"

   Bentaknya. Akan tetapi, dua orang diantara mereka menerjang ke depan, seperti berlumba hendak menangkap gadis yang cantik itu, tidak seperti gadis dusun yang sederhana. Diam-diam Hong Li terkejut juga melihat gerakan mereka. Kiranya mereka ini bukan orang-orang kasar biasa, perampok-perampok yang lebih mengandalkan kekejaman dan kekerasan dari tenaga besar saja. Melihat gerakan kedua orang itu, tahulah ia bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi! Namun tentu saja Hong Li tidak menjadi gentar menghadapi cengkeraman kedua orang yang dilakukan dari kanan kiri itu. Ia malah menyelinap maju dengan cepat, di antara kedua orang itu, dan membalik secara tidak terduga, kaki dan tangannya bergerak ke kanan kiri.

   "Desss! Plakkk!"

   Lima orang di kanan kirinya terkejut bukan main karena yang seorang sudah tertendang perutnya dan seorang lagi tertampar pipinya!

   Itulah satu di antara jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat yang amat hebat dari Istana Gurun Pasir! Dua orang itu mengaduh dan mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Hong Li, yang seorang mengelus perutnya yang mendadak menjadi mulas, dan yang ke dua mengusap darah yang mengalir di sudut bibir yang pecah. Mereka kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang lihai, maka lenyaplah sikap main-main mereka. Mereka berdua merasa malu sekali dan penasaran bahwa dalam segebrakan saja mereka telah terpukul dan tertendang gadis itu. Ini merupakan penghinaan besar! Mereka adalah tokoh-tokoh besar, bukan sembarangan maling atau perampok kecil, dan kini mereka dihajar seorang gadis!

   "Srat! Srattt!"

   Dua sinar berkilauan ketika mereka mencabut golok dari punggung masing-masing. Tiga orang teman mereka yang lain hanya menonton karena biarpun tadi dua orang teman mereka telah terkena tamparan dan tendangan gadis itu, namun mereka masih tidak meragukan bahwa dengan golok di tangan, kedua orang teman mereka tentu akan mampu mengalahkan gadis itu. Terlalu memalukan kalau mereka berlima harus mengeroyok seorang wanita muda seperti itu! Kini sepasang mata Hong Li mencorong dan kegembiraannya semakin bernyala bersama semangatnya. Inilah hidup! Inilah sesuatu yang selama ini ia rindukan!

   Ia kehilangan kegairahan ini, kegairahan seorang pendekar yang menentang ke jahatan. Ingin rasanya ia tertawa sepuasnya. Inilah hidupnya. Inilah dunianya! Inilah kewajibannya, seperti kewajiban yang dikerjakan sehari-hari oleh anak penggembala itu dengan penuh gairah dan kegembiraan. Ia sengaja tidak mau mencabut pedangnya karena tadi ia sudah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dua orang itu. Biarpun mereka bergolok, ia tidak gentar menghadapi mereka dengan tangan kosong saja! Golok pertama menyambar, mengarah lehernya dari samping kanan. Sambaran itu cukup cepat dan kuat, mendatangkan sinar panjang dan suara mendesing! Dengan gerakan lincah, hanya menggeser kaki dan memutar tubuh, golok itu mengenai tempat kosong dan pada saat itu, golok ke dua menyambar dari kiri, membacok ke arah pinggangnya dari samping.

   Serangan ini berbahaya sekali, datang dengan cepatnya dan kalau sampai mengenai sasaran, tubuh wanita cantik itu tentu akan terbabat bagian tengahnya dan akan putus menjadi dua potong! Akan tetapi tiba-tiba si penyerang mengeluarkan seruan kaget karena melihat wanita itu lenyap atau lebih tepat terbang ke atas sehingga goloknya menyambar tempat kosong! Kiranya Hong Li sudah mempergunakan gin-kangnya yang istimewa untuk melompat ke atas dan dari atas, kakinya menendang ke arah pundak si penyerang, kembali ia membalik dan begitu tendangannya mengenai pundak, tubuhnya menyambar ke belakang dan sebelum orang pertama menyerangkan goloknya, tangan Hong Li sudah mengetuk lengan orang itu sehingga goloknya terlepas dan orang itu berteriak kesakitan, bersamaan dengan teriakan orang yang tertendang pundaknya tadi.

   "Bibi, tolong....!"

   Hong Li terkejut dan ketika ia melihat betapa bocah penggembala kerbau tadi dikempit di bawah lengan seorang di antara lima penjahat dan dibawa lari, ia pun mengejar.

   "Jahanam busuk, lepaskan anak itu!"

   Teriaknya sambil mengejar. Akan tetapi, penculik anak itu telah lari agak jauh dan menghilang ke dalam hutan. Karena khawatir akan keselamatan bocah itu, Hong Li mempercepat larinya dan mengejar terus. Ternyata orang yang menculik bocah itu dapat berlari cepat sekali dan agaknya mengenal baik hutan di sepanjang lembah Sungai Yang-ce itu.

   Bocah itu menjerit-jerit terus sehingga mudah bagi Hong Li untuk terus mengejar dan karena memang ia memiliki gin-kang (ilmu meringan tubuh) yang lebih tinggi dan dapat berlari lebih cepat, maka akhirnya ia dapat menyusul orang itu yang terpaksa berhenti di tepi sungai. Ketika Hong Li muncul di dekat tempat itu, dia melemparkan tubuh bocah itu ke dalam sungai! Dan tanpa menoleh lagi dia pun melarikan diri. Tentu saja Hong Li lebih dahulu memperhatikan keadaan bocah penggembala yang dilempar ke sungai. Bocah ini ternyata pandai berenang dan dapat berenang ke tepi, akan tetapi karena tepinya curam dan anak itu tidak dapat naik, Hong Li lalu menelungkup dan menjulurkan tangannya untuk menarik anak itu ke atas. Terpaksa ia melepaskan penculik anak itu yang sudah melarikan diri entah ke mana.

   "Anak baik, engkau tidak apa-apa, bukan? Apakah orang jahat itu melukaimu?"

   Anak itu tidak menangis lagi dan dia memandang kepada Hong Li sambil menggeleng kepalanya.

   "Tidak, Bibi dan terima kasih atas bantuan Bibi. Akan tetapi kerbauku...."

   Hong Li teringat.

   "Mari kita mencari kerbaumu di sana!"

   Katanya dan ia memondong tubuh anak itu lalu berlari secepatnya. Anak itu menggigil ketakutan, akan tetapi diam saja, hanya memejamkan mata ketika merasa betapa dia dilarikan seperti terbang cepatnya.

   Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat kubangan kerbau, seperti yang telah diam-diam dikhawatirkannya, lima orang kerbau itu sudah lenyap dan lima orang penjahat itu pun tidak nampak bayangannya lagi. Tentu saja anak itu lalu menangis. Hong Li mengepal tinjunya. Celaka, pikirnya. Ia telah tertipu oleh para penjahat itu. Agaknya tadi para penjahat itu maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka seorang diantara mereka sengaja melarikan anak itu untuk memancingnya pergi dari situ dan mengejarnya. Kemudian, ketika hampir tersusul, orang yang licik itu melempar tubuh si anak dalam sungai sehingga kembali Hong Li tidak dapat melanjutkan pengejaran karena harus menolong bocah penggembala, sementara itu, dengan enak saja empat orang kawan penjahat itu telah melarikan lima ekor kerbau yang tidak dijaga!

   "Sudahlah, jangan menangis,"

   Hong Li membujuk.

   "Aku akan mencari mereka."

   "Tapi.... tapi, Bibi. Tentu Paman Ciok dan Bibi Ciok akan marah sekali kepadaku karena kerbau mereka hilang. Lima ekor kerbau itu milik mereka satu-satunya yang menghidupkan kami semua...."

   Hong Li menarik napas panjang. Benar juga, dan mungkin karena duka dan marah, keluarga itu akan memukul anak ini atau mengusir-nya.

   "Mari kuantar kau ke dusun dan aku yang akan memberi penjelasan kepada Paman Ciok itu, dan aku yang akan mengganti kerugian mereka. Hayolah!"

   Ia menggandeng tangan anak itu yang masih nampak ragu-ragu dan ketakutan. Dusun itu kecil saja, hanya ditempati oleh puluhan keluarga yang hidupnya miskin, petani-petani sederhana. Seperti yang dikhawatirkan anak itu, kedua orang suami isteri itu terkejut bukan main melihat anak itu pulang tanpa membawa lima ekor kerbau mereka, bersama seorang gadis cantik, dan mereka menjadi marah dan berduka mendengar bahwa lima ekor kerbau mereka dirampas orang.

   "Anak celaka! Anak tidak mengenal budi, tidak tahu diri....!"

   Laki-laki she Ciok itu dengan muka merah dan mata melotot sudah menyambar sebuah gagang cangkul dan menghantamkan kayu yang sebesar lengan itu ke arah kepala anak penggembala yang ketakutan.

   "Plakkk!"

   Kayu pemukul itu tertahan di atas dan si petani terpaksa melepaskannya karena tangannya terasa nyeri bukan main ketika pemukul itu tertangkis oleh tangan Hong Li.

   "Kau hendak membelanya? Siapakah kau yang berani membela anak durhaka ini? Dia telah membikin kami bangkrut, membikin kami celaka.... ah, kami akan mati kelaparan tanpa lima ekor kerbau itu....!"

   Petani itu membentak marah dan mengeluh penuh duka. Juga isterinya marah sekali dan ia maju mendekati Hong Li.

   "Kau ini perempuan siluman dari mana berani mencampuri urusan kami? Anak ini jahat. Sudah kami pelihara baik-baik, eh, hari ini dia membikin hilang lima ekor kerbau kami. Mungkin dia bersekongkol dengan pencuri kerbau, anak jahat!"

   Dan ia pun hendak maju menerkam anak penggembala itu. Hong Li cepat menangkap lengan wanita itu.

   "Sabarlah, Bibi dan kau juga Paman. Ketahuilah bahwa aku menyaksikan sendiri ketika lima ekor kerbau itu dicuri orang jahat. Mereka adalah lima orang perampok jahat. Bahkan adik kecil ini hampir saja mereka bunuh, untung aku kebetulan lewat dan dapat menyelamatkannya. Jangan khawatir, aku tahu akan keadaan kalian yang melarat. Aku akan mencari lima ekor kerbau itu dengan sungguh-sungguh sampai aku dapat mengambilnya kembali dan menyerahkan kepada kalian. Anak ini tidak bersalah, harap jangan dipukul atau dihukum."

   "Enak saja!"

   Petani itu bersungut.

   "Mudah saja kau berjanji, Nona. Kalau engkau pergi lalu tidak kembali, tidak membawa kerbau-kerbau itu kembali kepada kami, ke mana kami harus mencarimu? Tetap saja lima ekor kerbau kami hilang!"

   Hong Li tersenyum.

   "Jangan khawatir, sebelum kerbau-kerbau itu kutemukan biarlah kalungku ini kalian pegang dulu, dan benda ini sebagai penggantinya kalau lima ekor kerbau itu tidak dapat kukembalikah kepada kalian."

   Isteri petani itu menerima kalung dan bersama suaminya memeriksa benda itu. Sebuah kalung emas dengan mainan dari kemala yang indah. Akan tetapi, keduanya adalah penduduk dusun yang tidak pernah mempunyai perhiasan seperti itu, maka keduanya tidak tahu apakah benda itu cukup berharga untuk mengganti lima ekor kerbau mereka.

   "Tunggu dulu, kupanggil Coan-toako di sebelah, dia tahu tentang harga barang seperti ini!"

   Tiba-tiba sang suami berkata dan dia pun lari keluar dari rumahnya. Isterinya memandang kepada Hong Li dan tersenyum masam.

   "Kami.... kami tidak tahu harga barang seperti ini...."

   Hong Li tersenyum maklum. Ia tahu bahwa harga kalungnya itu dapat dipakai membeli sepuluh ekor kerbau! Kalau tidak demikian, tidak mungkin ia mau menyerahkannya kepada mereka. Ia bukan seorang penipu. Petani itu datang berlari-lari bersama seorang petani lain yang lebih tua.

   "Coan-toako, tolong kau lihat dan taksir barang ini apakah benar tulen dan dapatkah dipergunakan membeli lima ekor kerbau?"

   Petani she Coan itu menerima kalung dan dengan sikap seorang ahli, dia memeriksanya, menimbang dengan tangan, memeriksa kemala yang menjadi mainan kalung, kemudian memandang kepada Hong Li. Dia tadi sudah mendengar dari petani Ciok tentang lima ekor kerbau yang hilang dan hendak diganti dengan kalung ini.

   "Kalau aku yang menjualnya ke kota, kiranya hanya tiba pas saja untuk membeli lima ekor kerbau. Sekarang begini saja, daripada engkau susah-susah, lebih baik barang ini kutukar dengan lima ekor kerbau. Bagaimana pendapat kalian?"

   Tanyanya kepada suami isteri Ciok. Hong Li mengerutkan alisnya. Ia berhadapan dengan seorang penipu, dan hal ini membuatnya marah. Sekali sambar, ia sudah merampas kalung itu dari tangan petani she Coan.

   "Kau mau menipu, ya? Pergi sana sebelum kutampar kepalamu!"

   Bentaknya. Petani Coan hendak marah, akan tetapi tuan rumah Ciok yang maklum bahwa gadis itu bukan hanya menggertak kosong, cepat menarik tangannya diajak ke luar, kemudian dia kembali sambil membungkuk-bungkuk.

   "Sekarang kami percaya, Nona. Baiklah kalung ini kami terima sebagai pengganti lima ekor kerbau kami yang hilang."

   Katanya.

   "Hemmm, siapa mau memberikan kalung ini kepadamu!"

   Bentak Hong Li.

   "Kalung ini cukup untuk membeli sedikitnya sepuluh ekor kerbau. Kukatakan tadi, aku akan mencari kerbau-kerbau kalian itu dan mengembalikannya kepada kalian. Kalung ini hanya untuk pegangan saja, agar kalian tidak menyiksa anak ini. Kalau aku tidak berhasil menemukan kerbau-kerbau itu, barulah aku akan berikan kalung ini kepada kalian."

   Suami isteri itu tersenyum dengan wajah berseri.

   "Nona, kami berdua amat mencinta anak ini, kami anggap seperti anak sendiri. Bagaimana kami akan tega menyiksanya? Kalau tadi aku hendak memukul adalah karena kesedihanku mendengar lima ekor kerbau kami hilang. Kami tidak akan marah kepadanya, Nona."

   Hong Li memandang kepada anak itu dan ia melihat anak itu mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan petani itu. Hatinya menjadi lega dan ia pun berkata,

   "Baiklah, kalau begitu sekarang juga aku akan mencari para perampok itu. Jangan kalian kena ditipu orang tadi. Dia penipu. Kalau kelak harus menjual kalung ini, kalian jual sendiri ke kota, ditukar dengan sedikitnya sepuluh ekor kerbau. Kalian harus memperlakukan anak ini baik-baik. Awas, kalau aku mendengar kalian menyiksanya, aku tidak akan memberi ampun."

   Setelah berkata demikian, sekali meloncat, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Suami isteri itu melongo, muka mereka pucat dan mengira bahwa gadis cantik tadi tentulah seorang dewi atau seorang siluman! Percuma saja Hong Li melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya kepada para penghuni di dusun-dusun sekitar tempat itu. Mereka semua tidak tahu apakah di daerah itu muncul perampok jahat. Menurut mereka, tidak pernah ada gangguan perampok dan daerah itu miskin, akan tetapi aman.

   Para petani hidup dengan tenteram walaupun keadaan mereka sederhana sekali. Mendengar keterangan ini, Hong Li berpendapat bahwa tentu para perampok itu merupakan orang-orang baru, gerombolan jahat yang agaknya baru saja berdiam di daerah itu. Ia lalu keluar dari dusun dan mulai melakukan penyelidi-kan di daerah pegunungan dan hutan-hutan. Hong Li adalah seorang pendekar wanita yang sudah seringkali melakukan perantauan dan sudah berpengalaman. Ia dapat menduga bahwa gerombolan perampok yang baru tiba di suatu daerah yang sedang mencari sarang baru, tentu bersembunyi di hutan-hutan dan di gunung-gunung yang sunyi. Maka ia pun mendaki sebuah bukit yang penuh dengan hutan lebat karena dari jauh kelihatan bahwa bukit inilah yang paling baik untuk tempat persembunyian para penjahat.

   Juga tadi ia melihat asap mengepul dari lereng bukit ini, padahal menurut keterangan para penduduk dusun, di bukit itu tidak ada penghuninya. Ketika Hong Li menyusup-nyusup ke dalam hutan untuk mendaki bukit itu, tiba-tiba saja ia menahan langkahnya. Ia mendengar suara berkeresekan di sebelah kiri, di balik semak-semak. Hutan itu lebat. Mungkin saja ada binatang buas sedang mengintai di balik semak-semak itu. Atau orang jahat? Apakah mungkin perampok-perampok itu? Tiba-tiba dua bayangan berkelebat dan muncullah dua orang yang sudah menghadang di depannya. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan dari pakaian mereka yang ringkas, dapat diketahui bahwa mereka bukanlah orang-orang tani atau orang-orang dusun, dan dari gerakan mereka pun dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.

   
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Singgg! Singgggg....!"

   Dua orang itu sudah mencabut pedang mereka dan dengan pedang di tangan mereka mengamati Hong Li penuh perhatian. Sebaliknya Hong Li juga memperhatikan mereka dan melihat bahwa dua orang itu nampak lemas dan lelah, juga pria itu agaknya terluka, karena ada warna merah darah di pakaiannya bagian pundak dan pinggang.

   "Siapa engkau?"

   Bentak wanita itu sambil melintangkan pedangnya, sikapnya mengancam. Hong Li tersenyum.

   "Aku sedang berjalan, kalian yang menghadang. Sepatutnya kalian yang lebih dulu mengatakan siapa kalian dan mengapa pula menghadang perjalananku!"

   Dua orang itu saling pandang, lalu yang pria menjawab.

   "Nona, apakah engkau anggauta gerombolan yang berada di bukit ini?"

   Hong Li berpikir cepat. Kalau dua orang ini gerombolan penjahat yang agaknya bersembunyi di situ, tidak mungkin mereka bertanya seperti itu. Akan tetapi siapakah mereka dan mengapa mereka berada di tempat sunyi ini? Ia harus menyelidikinya, karena di tempat seperti ini, semua orang harus dicurigai.

   "Kalau benar demikian, kalian mau apa?"

   Ia balas bertanya. Tiba-tiba saja keduanya menggerakkan pedang menyerangnya.

   "Kami akan membunuhmu!"

   Bentak wanita itu. Hong Li memang sudah menjaga akan segala kemungkinan, maka ia tetap waspada. Begitu dua orang itu menyerang dengan pedang mereka, ia sudah meloncat ke belakang mengelak. Dua orang itu menyerang dengan semakin dahsyat, pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesingan dan angin menyambar-nyambar. Diam-diam Hong Li harus mengakui bahwa ilmu pedang dua orang ini cukup hebat, dan mereka berdua ini lebih lihai dibandingkan lima orang perampok kerbau itu.

   Ia mempergunakan kegesitannya dan dengan Sin-liong Ciang-hoat ia menghadapi dua batang pedang itu tanpa gentar sedikit pun. Ia bukan hanya mampu mengelak dan menangkis lengan lawan yang menggerakkan pedang, bahkan ia mampu membalas dengan tamparan atau tendangan yang membuat dua orang itu menjadi repot! Setelah mengukur kepandaian mereka, Hong Li yang tidak ingin membikin mereka malu, lalu meloncat ke belakang. Dua orang itu mengejar ke depan, dan Hong Li menendang dua batu di depannya. Dua buah batu itu melesat cepat ke depan, menyambar ke arah dua orang itu. Mereka terkejut dan menangkis dua buah batu itu dengan pedang masing-masing dan mereka berteriak karena tangan mereka tergetar hebat.

   "Cukup!"

   Hong Li berseru.

   "Aku bukanlah anggauta gerombolan penjahat!"

   Mendengar ini, dua orang yang agaknya sudah menjadi gentar terhadap Hong Li, menghentikan serangan dan mereka memandang kepada Hong Li penuh perhatian dan ada sinar kekaguman pada sinar mata mereka.

   "Nona sungguh lihai!"

   Kata wanita itu.

   "Ketahuilah, kami adalah suami isteri Liok Cin yang datang ke sini untuk mencari puteri kami yang diculik gerombolan penjahat."

   "Ahhh!"

   Hong Li memberi hormat kepada mereka.

   "Paman dan Bibi, harap maafkan aku. Tadi aku hanya ingin menguji kalian karena belum tahu siapa kalian. Aku pun sedang mencari perampok yang telah merampas kerbau-kerbau milik petani dusun. Namaku Kao Hong Li dan hanya kebetulan saja aku lewat di dusun bawah sana, lalu melihat perampokan kerbau, maka untuk menolong pemilik kerbau itu aku mencari gerombolan perampok. Entah sama tidak orang-orangnya dengan yang menculik puteri kalian itu."

   "Tidak salah lagi, tentu mereka juga!"

   Kata pria yang bernama Liok Cin itu sambil mengepal tinju.

   "Tentu untuk pesta karena mereka hendak merayakan pernikahan kepala mereka dengan puteri kami yang dipaksa menjadi isterinya!"

   Hong Li mengerutkan alisnya.

   "Ah, kenapa kalian diam saja di sini kalau begitu?"

   "Ah, engkau tidak tahu, Nona Kao! Mereka itu lihai bukan main, terutama sekali pimpinan mereka yang berjuluk Ang I Siauw-mo (Setan Kecil Pakaian Merah)."

   "Ang I....?"

   Hong Li mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Ia pernah mendengar nama ini dan ia pun teringat akan Ang I Mo-pang, gerombolan pakaian merah yang pernah membantu Tiat-liong-pang memberontak itu! Ah, kiranya gerombolan pakaian merah itu pula yang bersembunyi di sini?

   "Engkau mengenalnya, Nona?"

   Tanya Liok Cin. Hong Li menggeleng kepalanya.

   "Apakah kalian sudah mencoba untuk menyelamatkan puteri kalian itu?"
(Lanjut ke Jilid 29 - Tamat)
Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29 (Tamat)
"Sudah dua kali kami mencoba menyerbu dan menolong anak kami, akan tetapi selalu gagal, bahkan yang terakhir ini kami hampir celaka kalau tidak cepat dapat melarikan diri dan bersembunyi di sini. Anak kami itu ditawan dan dikurung dalam sebuah kamar. Ah, kalau saja engkau suka membantu kami, Nona,"

   Kata isteri Liok Cin. Tentu saja Kao Hong Li berniat membantu mereka. Urusan kerbau hanya merupakan urusan kecil saja dibandingkan urusan tertahannya seorang gadis yang hendak dipaksa menjadi isteri kepala perampok itu! Ia mengangguk.

   "Aku akan membantu kalian membebaskan puteri kalian itu. Tunjukkan jalannya kepadaku, dan kita masuk ke sarang mereka. Kita coba membebaskan puteri kalian, dan kalau sampai ketahuan dan kita diserang, serahkan saja kepadaku untuk membasmi mereka!"

   Suami isteri itu kelihatan gembira sekali dan mereka cepat menghaturkan terima kasih, kemudian mereka menjadi penunjuk jalan mendaki bukit menuju ke sarang gerombolan. Dalam perjalanan ini, suami isteri Liok Cin menerangkan bahwa gerombolan itu memang masih belum lama menetap di bukit itu. Buktinya, bangunan yang menjadi sarang gerombolan itu masih baru dan nampak seperti bangunan darurat. Hal ini pun dimengerti oleh Hong Li.

   Tentu mereka terdiri dari para anak buah Ang I Mo-pang yang berhasil menyelamatkan diri dari sergapan pasukan pemerintah! Mereka lalu bersembunyi di bukti ini dan menjadi perampok. Yang ia tidak tahu, siapakah orang yang mengaku berjuluk Ang I Siauw-mo dan yang kini menjadi pimpinan mereka itu, dan mengapa pula para perampok kerbau yang berjumlah lima orang itu tidak ada yang mengenakan pakaian merah seperti anggauta Ang I Mo-pang? Dugaan Hong Li memang tidak keliru. Yang kini menjadi pimpinan di sarang gerombolan penjahat di puncak bukit itu adalah orang-orang Ang I Mo-pang yang berhasil lolos dari kepungan para pasukan ketika mereka membantu pemberontakan Tiat-liong-pang. Hanya ada belasan orang yang lolos dan mereka ini dipimpin oleh tokoh di antara mereka yang berjuluk Ang I Siauw-mo,

   Seorang laki-laki berusia empat pulun tahunan yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara mereka yang dapat lolos. Belasan orang ini lalu menarik belasan orang perampok lainnya untuk menjadi anak buah mereka, dan kini dalam jumlah kurang lebih tiga puluh orang, mereka membuat sarang di puncak bukit itu, dipimpin oleh Ang I Siauw-mo. Karena tahu bahwa mereka menjadi orang-orang buruan pemerintah, maka Ang I Siauw-mo melarang para anak buahnya mengenakan pakaian merah. Hanya dia seorang yang masih mengenakan pakaian serba merah, sesuai dengan julukannya. Ketika akhirnya mereka tiba di sarang gerombolan penjahat yang berada di puncak bukit, matahari mulai condong ke barat. Dari jauh sudah terdengar suara gaduh para anggauta gerombolan yang sedang mengadakan persiapan untuk pesta.

   Pesta pernikahan Ang I Siauw-mo dengan seorang gadis dusun yang ditawan mereka. Gadis itu dari dusun sebelah utara bukit sehingga Hong Li tidak pernah mendengar tentang penculikan itu karena ia datang dari dusun-dusun di sebelah selatan bukit. Liok Cin dan isterinya dengan hati-hati mengajak Hong Li memasuki sarang itu dari belakang. Dengan menyusup melalui pohon-pohon dan semak belukar, akhirnya tiga orang itu berhasil masuk ke pekarangan belakang sarang gerombolan penjahat itu tanpa diketahui oleh mereka yang sedang sibuk mengatur pesta pernikahan yang akan diadakan pada malam nanti. Hong Li membayangkan betapa lima ekor kerbau yang dirampas itu kini tentu telah disembelih dan dagingnya dimasak. Ia merasa mendongkol sekali karena kalungnya tentu akan terpaksa ia berikan kepada suami isteri petani pemilik kerbau.

   "Ssttttt, kita masuk ke dalam melalui pintu belakang itu. Kamar di mana puteri kami ditahan, berada di ruangan tengah, di kamar yang sebelah kiri."

   Bisik Liok Cin kepada Hong Li yang mengangguk.

   Akan tetapi sebelum mereka membuka daun pintu tembusan di belakang itu, tiba-tiba nampak enam orang berloncatan dari samping rumah dan tanpa banyak cakap lagi, enam orang itu dengan golok di tangan sudah menyerang Hong Li, Liok Cin, dan isterinya! Liok Cin dan isterinya sudah mencabut pedang mereka dan melawan, sedangkan Hong Li cepat meloncat ke samping untuk mengelak dari sambaran dua batang golok! Dan ternyata, melihat dari gerakan mereka, enam orang ini lihai sekali, tidak kalah lihai dibandingkan Liok Cin dan isterinya! Hong Li mempergunakan kepandaiannya, ketika ada golok menyambar dari samping, ia miringkan tubuh, tangan kirinya meluncur ke depan memukul ke arah siku kanan lawan dan kakinya melayang ke depan.

   "Desss!"

   Paha penyerangnya itu terkena ciuman ujung kakinya dan orang itu pun terpelanting. Agaknya hal ini mengejutkan yang lain karena kini tiga orang sudah menyerang Hong Li, sedangkan yang jatuh tertendang tadi sudah meloncat berdiri dan ikut pula mengeroyok! Hong Li dikeroyok empat orang, sedangkan suami isteri Liok Cin dihadapi dua orang lawan bergolok!

   Hong Li marah sekali. Mereka ini harus dirobohkannya dengan cepat, pikirnya. Ia lalu mengerahkan tenaga Hui-yang Sin-kang dan kedua tangannya mengeluarkan hawa panas ketika ia menangkis dan memukul, membuat empat orang pengeroyoknya tidak mampu dekat. Hawa pukulan yang panas membuat mereka itu jerih. Akan tetapi setiap kali Hong Li hendak merobohkan seseorang, ia melihat Liok Cin atau isterinya terancam golok lawan, maka ia pun terpaksa harus melindungi suami isteri itu lebih dulu sebelum merobohkan para pengeroyoknya. Ia hanya mampu membuat mereka itu menjauh dengan pukulan jarak jauh dan tendangannya. Akhirnya enam orang pengeroyok itu agaknya jerih oleh amukan Hong Li yang biarpun bertangan kosong, namun terlalu lihai bagi mereka itu, dan mereka lalu melarikan diri.

   "Cepat, kita bebaskan puteri kalian sebelum mereka semua datang!"

   Kata Hong Li sambil menendang daun pintu terbuka. Suami isteri Liok Cin lalu mendahului Hong Li, menjadi penunjuk jalan memasuki lereng di dalam bangunan itu dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang daun pintunya tertutup.

   "Di sinilah, ia disekap."

   Kata ibu gadis itu. Hong Li menggunakan kakinya menendang dan daun pintu terbuka. Benar saja, di dalam kamar itu terdapat seorang gadis yang pakaiannya seperti gadis dusun, namun wajahnya manis sekali,

   Nampak dibelenggu kaki tangannya di atas sebuah pembaringan dan ia terbelalak ketakutan. Hong Li dan suami isteri itu berloncatan dan memasuki kamar dan Hong Li tetap bersikap waspadai, khawatir kalau di dalam kamar itu dipasangi jebakan. Akan tetapi tidak ada perangkap di situ, hanya ada sesuatu yang dirasakan sangat ganjil. Sejenak ia termenung dan memandang ke sekeliling tidak tahu apakah yang membuat ia merasa ganjil itu. Kemudian, ia memandang suami isteri itu dan ia pun teringat, dan terkejut, heran dan curiga. Suami isteri itu melihat pakaian mereka, jelas bukan petani dusun, akan tetapi mengapa puteri mereka ini berpakaian seperti seorang dusun? Dan pula, mengapa setelah mereka berdua masuk, gadis itu diam saja, bahkan kelihatan ketakutan, tidak memanggil mereka yang mengaku ayah bundanya itu?

   "Kalian.... kalian siapakah....?"

   Tanyanya penuh kecurigaan, namun terlambat. Pada saat itu terdengar suara keras dan pintu yang tadinya terbuka itu kini tertutup terali baja yang kokoh kuat, yang muncul dari dalam dinding tebal! Hong Li terkejut dan pada saat itu, dari luar nampak beberapa orang menggunakan alat semprotan, menyemprotkan asap putih ke dalam kamar itu? Hong Li mencoba untuk meloncat dan mendobrak terali baja, namun belasan ujung tombak menyambutnya, ditusukkan dari luar terali sehingga terpaksa Hong Li mengurungkan niatnya mendobrak terali.

   Apalagi pada saat itu, asap sudah memenuhi kamar. Ia masih dapat bertahan dengan menahan napas, akan tetapi akhirnya, asap itu tersedot pula, ia terbatuk-batuk. Ia mendengar pula gadis itu, juga suami isteri itu batuk-batuk dan ia lalu roboh tak sadarkan diri. Beberapa orang menggunakan kipas mengebutkan asap putih itu sehingga keluar dari dalam kamar dan setelah asap itu bersih dari kamar, muncullah seorang laki-laki yang perutnya gendut sekali, kepalanya botak dan dia mengenakan pakaian serba merah. Inilah Ang I Siauw-mo, seorang laki-laki yang mukanya hitam dan kasar, sambil tertawa-tawa dia memasuki kamar itu. Hong Li menggeletak pingsan di atas lantai, demikian pula Liok Cin dan isterinya, sedangkan gadis dusun yang terbelenggu itupun pingsan di atas pembaringannya.

   "Ha-ha-ha, gotong Liok Cin dan isterinya keluar, sadarkan mereka. Mereka telah berjasa besar."

   Dia lalu mendekati Hong Li dan melihat betapa gadis itu cantik sekali, kembali dia tertawa senang.

   "Ha-ha-ha-ha-ha, dia malah lebih cantik dari perawan dusun itu."

   Dia lalu melangkah maju dan menotok kedua pundak gadis dusun, dan dia berkata kepada anak buahnya yang berkumpul di dalam dan di luar kamar.

   "Angkat mereka ke dalam kamarku, siapkan mereka untuk menjadi pengantinku malam ini sehabis pesta. Ha-ha-ha, sekaligus aku memperoleh dua orang isteri yang manis-manis. Akan tetapi, biarpun sudah tertotok jalan darahnya, ia ini harus dibelenggu kedua kaki tangannya di atas pembaringanku. Ia lihai sekali. Gadis dusun itu tidak perlu dibelenggu. Hati-hati, jangan ganggu mereka. Mereka adalah isteri-isteriku, tahu?"

   Sambil tertawa, Ang I Siauw-mo meninggalkan kamar itu dan empat orang wanita yang menjadi anggauta gerombolan itu lalu melaksanakan perintahnya, mengangkat tubuh Hong Li dan gadis dusun yang pingsan, digotong ke dalam kamar pengantin! Hong Li menggerakkan pelupuk matanya. Kesadarannya kembali perlahan-lahan. Ia berusaha menggerakkan kaki tangannya, namun sia-sia. Ia telah ditotok sehingga jalan darahnya terhenti. Ia membuka matanya dan terkejut, juga marah sekali.

   Bukan hanya tertotok, bahkan kedua kaki dan tangannya dibelenggu dengan kaki pembaringan! Dan dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat! Ia melirik dan melihat bahwa gadis dusun itu pun rebah terlentang seperti dirinya, telanjang bulat, di tepi yang lain dari pembaringan itu. Akan tetapi gadis itu tidak dibelenggu, hanya melihat betapa gadis itu juga tidak mampu bergerak, jelas bahwa gadis itu pun telah tertotok jalan darahnya. Ia melirik ke kanan kiri, dan ia masih dapat menggerakkan kepalanya. Ternyata ia berada di atas sebuah pembaringan yang lebar, di dalam sebuah kamar yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas berwarna! Ada sebuah meja dengan empat buah bangkunya, ada almari pakaian, ada jendela dan pintunya yang semua dicat baru. Kamar pengantin! Kemarahannya memuncak, akan tetapi dicampuri rasa khawatir! Jantungnya berdebar tegang.

   "Tenanglah, Hong Li, tenanglah engkau...."

   Demikian bisik hatinya. Ia melihat betapa belenggu kaki tangannya terbuat dari baja yang kuat.

   Pendeknya, ia tidak berdaya dan tidak mungkin dapat melepaskan diri mengandalkan kekuatannya. Ia lalu mengenangkan apa yang telah terjadi. Tidak salah lagi, pikirnya gemas. Suami isteri Liok Cin itu adalah kaki tangan penjahat yang sengaja memancing dan menjebaknya masuk ke dalam kamar itu! Suami isteri itu pura-pura saja ketika mereka dikeroyok oleh enam orang penjahat. Kini teringatlah ia. Pantas saja suami isteri itu selalu terdesak dan terancam kalau ia hendak merobohkan lawan, kiranya memang mereka itu sengaja mencegah ia melukai kawan mereka sendiri! Agaknya mereka diutus oleh kepala mereka untuk memancing dan ini hanya berarti bahwa kepala mereka sudah tahu akan kelihaiannya! Tentu saja! Orang-orang Ang I Mo-pang tentu saja mengenalnya sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi!

   Dan suami isteri itu bahkan disuruh menguji-nya, mengeroyoknya, juga enam orang yang menyerang itu, disuruh mengujinya. Baru setelah mereka yakin tidak akan mampu mengalahkannya, ia dipancing masuk kamar oleh suami isteri Liok Cin dan dibuat pingsan dengan semprotan asap pembius! Sudah jelas bahwa gadis dusun yang diculik ini sama sekali bukan puteri Liok Cin dan isterinya! Mereka itu orang kota, orang-orang kang-ouw, dan gadis ini gadis dusun yang lemah! Betapa bodohnya memasuki perangkap! Gadis dusun itu mengeluh, siuman dari pingsannya. Hong Li menoleh kepadanya. Gadis itu pun berusaha menggerakkan kaki tangannya akan tetapi tidak berhasil. Dan ia sudah membuka kedua matanya dan kelihatan ketakutan, sepasang matanya terbelalak! Dan ia menangis!

   "Ah, menangis tidak ada gunanya...."

   Kata Hong Li. Gadis itu menoleh dan baru melihat Hong Li.

   "Apa.... apa yang telah terjadi....?"

   Tanya gadis dusun itu,

   "Dan siapakah engkau, Nona? Kenapa Nona dapat berada di sini....?"

   Hong Li tersenyum dan merasa heran sendiri. Dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat tersenyum!

   "Nanti dulu. Katakan apakah engkau mengenal laki-laki dan perempuan yang datang bersamaku memasuki kamar di mana engkau terbelenggu itu?"

   Ia memang sudah dapat menduga akan jawaban gadis itu.

   "Tidak, aku tidak mengenal mereka, Nona."

   "Hernmm, sudah kuduga begitu. Mereka adalah kaki tangan penjahat. Aku datang untuk menolongmu, akan tetapi juga tertawan dan kini kita mempunyai nasib yang sama. Sekarang ceritakan bagaimana engkau terculik oleh mereka."

   Gadis itu bercerita. Ia tinggal di dusun sebelah utara bukit ini dan ia terkenal sebagai kembang dusun-dusun di sekitar daerah itu. Ia sudah ditunangkan dengan putera lurah dusun. Akan tetapi pada hari yang naas itu, ketika ia mencuci pakaian di sungai, ia terlihat oleh seorang laki-laki gendut yang berpakaian serba merah. Ia lalu ditangkap, ditotok sehingga tidak mampu berteriak dan dibawa ke sarang penjahat ini, disekap dalam kamar selama tiga hari. Ia belum diganggu oleh si gendut baju merah, akan tetapi dibujuk untuk dengan suka rela menjadi isteri si gendut. Mereka akan menikah, dan perayaannya dilakukan hari ini, malam ini!

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 24 Suling Naga Eps 28 Suling Naga Eps 39

Cari Blog Ini