Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 7


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Omitohud! Apakah pinceng harus menceritakan semuanya? Dia telah membunuh banyak orang, bahkan utusan pertama yang kami tugaskan untuk menangkapnya, sebanyak tiga orang telah dibunuhnya. Dan sekali lagi, dia menipu kami dengan memasukkan seorang anak laki-laki yang dia katakan berbakat baik dan katanya merupakan anak yatim piatu. Kami percaya dan kami sendiri menurunkan ilmu-ilmu kepada anak itu. Akan tetapi setelah Gosang Lama melarikan diri, baru ketahuan bahwa anak itu adalah anaknya sendiri yang didapat dari wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Nah, masih kurangkah apa yang kau dengar ini?"

   Keng Han merasa terpukul sekali.

   "Apakah puteranya itu yang bernama Gulam Sang, Losuhu?"

   "Benar sekali. Apakah engkau sudah bertemu dan berkenalan dengan dia?"

   "Tidak, akan tetapi mendiang suhu yang meninggalkan pesan tentang puteranya itu."

   "Hemmm, dan engkau tidak merasa heran bahwa seorang pendeta Lama dapat mempunyai anak?"

   Keng Han merasa terpukul lagi dan dia menundukkan mukanya. Pikirannya menjadi ruwet. Jauh-jauh dia datang untuk membalaskan dendam kematian gurunya, dan kini dia hanya mendengar segala kejahatan gurunya dibeberkan! Apa yang harus dia lakukan?

   "Akan tetapi saya adalah muridnya, Losuhu. Bukankah tugas seorang murid untuk berbakti kepada gurunya, seperti berbakti kepada ayah ibu sendiri? Melihat suhu binasa di tangan orang, bagaimana mungkin saya harus berdiam diri saja? Berarti saya akan menjadi seorang murid yang durhaka!"

   "Omitohud! Orang bijaksana selalu meneliti perbuatan sendiri, selalu mencari kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri. Perbuatan orang tua dan guru juga harus diteliti, untuk dicontoh mana yang baik dan dihindarkan mana yang buruk. Akan tetapi, agar engkau tidak menjadi penasaran, orang muda, engkau boleh melaksanakan balas dendam itu. Pinceng yang menyuruh hukum Gosang Lama, maka pinceng memberi kesempat"an kepadamu untuk menyerang pinceng. Engkau boleh menyerang, sesukamu dan pinceng tidak akan membalas."

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Dalai Lama itu melayang dalam keadaan masih duduk bersila, melayang dan turun ke lantai, masih bersila dan kedua tangan di atas lutut sambil tersenyum ramah.

   "Nah, engkau boleh menyerang pin"ceng sesukamu, orang muda."

   Keng Han merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kalau dia dapat membunuh Dalai Lama, tentu roh suhunya akan tenang. Akan tetapi kemudian dia teringat akan penjagaan ketat di tempat itu. Kalau dia membunuh Dalai Lama, tentu dia akhirnya akan tewas di tangan ratusan pendeta Lama itu.

   "Losuhu, kalau saya menyerang Lo"suhu dan berhasil menewaskan Losuhu, tetap saja saya akan dikeroyok oleh banyak pendeta dan tidak akan dapat lolos dari tempat ini."

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Pinceng tidaklah securang itu. Kalau engkau mampu membunuh pinceng, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, dan engkau akan dapat pergi dengan aman."

   Keng Han masih meragu dan menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu, bertanya,

   "Bagai"mana, Niocu? Apa yang harus kulakukan?"

   Bi-kiam Nio-cu tersenyum dan berkata,

   "Losuhu Dalai Lama telah meng"ijinkan engkau untuk menyerangnya. Nah untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu, mengapa tidak kaulakukan itu?"

   "Baik!"

   Akhirnya Keng Han meng"ambil keputusan.

   "Akan tetapi kalau aya menyerang Losuhu, hal ini hanya terjadi karena Losuhu yang menyuruhku!"

   "Tentu saja dan pinceng sudah siap, orang muda. Seranglah dan engkau boleh mengeluarkan semua ilmu dan tenagamu."

   Dalai Lama masih duduk bersila dengan senyumnya yang lembut. Keng Han lalu mengerahkan tenaga dari pusarnya. Dua tenaga panas dan dingin naik ke kedua lengannya, yang panas menyusup ke lengan kanan, yang dingin menyusup ke lengan kiri, kemudian dia berseru,

   "Maafkan saya, Losuhu!"

   Dan dia pun memukul dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh te"naganya karena dia sudah mendengar bahwa Dalai Lama ini seorang manusia sakti. Dua macam hawa yang berlawanan menyambur ke arah Dalai Lama. Kakek ini dengan tenang mengangkat kedua tangan pula untuk menyambut dan ketika tangan-tangan itu bertemu, Keng Han merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan benda yang lunak dan halus, yang seolah menyerap semua tenaga yang keluar dari lengannya. Kemudian, sebuah tenaga yang hebat sekali mendorongnya sehingga dia terhuyung ke belakang, na"pasnya terengah akan tetapi dia tidak terluka. Dalai Lama masih duduk seperti tadi dan sinar mata yang lembut itu memandang penuh keheranan.

   "Orang muda, engkau bilang bahwa engkau murid Gosang Lama, akan tetapi bagaimana engkau menguasai Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari Pulau Es?"

   Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pendeta agung itu bahkan mengenal dua macam ilmu rahasia "yang dipelajarinya di Pulau Hantu!

   "Bukan suhu Gosang Lama yang mengajarkan ilmu itu, Losuhu."

   "Kalau begitu engkau murid Pulau Es?"

   "Juga bukan. Saya mempelajarinya dari Pulau Hantu."

   "Hemmm, suatu kebetulan yang aneh. Jodoh yang mengherankan. Nah, sekarang bagaimana, apakah engkau masih hendak menyerangku lagi?"

   "Tidak, Losuhu. Mataku telah terbuka dan saya melihat betapa saya bodoh sekali. Bodoh dalam pemikiran juga bodoh dalam ilmu silat. Saya tidak akan menang melawan Losuhu, dan hati saya penuh penyesalan atas segala perbuatan mendiang suhu yang tidak benar. Harap Losuhu memaafkan kebodohan saya."

   "Orang yang melihat kesalahan sendiri sama sekali bukan orang bodoh, Kongcu. Pinceng gembira sekali bahwa engkau telah menyadari kekeliruanmu."

   Keng Han dan Nio-cu segera berpamit kepada Dalai Lama dan pendeta itu mengucapkan selamat jalan. Setelah meninggalkan Lha-sa, Keng Han merasa girang dan hatinya ringan sekali, tidak lagi dibebani tugas yang tadinya selalu memberatkan hatinya.

   "Ternyata engkau benar, Nio-cu. Pendeta itu adalah seorang yang sakti lagi bijaksana sekali. Betapapun juga, aku telah melaksanakan tugasku terhadap mendiang suhu. Sekarang hanya tinggal satu lagi tugas itu, yaitu menyelidiki keadaan Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu."

   Bi-kiam Nio-cu tersenyum lebar.

   "Sama saja, Keng Han. Engkau akan kecelik besar sekali kalau pergi ke Bu-tong-pai. Ketua Bu-tong-pai dan para murid di sana semua adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, pembela-pembela kebenaran dan keadilan. Kalau suhumu memusuhi Bu-tong-pai, maka aku hampir berani memastikan bahwa kesalahan tentu berada di pihak gurumu itu."

   "Bagaimanapun juga aku harus pergi menyelidiki lebih dulu Nio-cu.kalau ternyata suhu memang benar melakukan kesalahan terhadap Bu-tong pai, biarlah aku yang memintakan maaf dari mereka."

   "Engkau keras kepala!"

   Nio-cu berkata sambil tersenyum.

   Perjalanan meninggalkan Tibet itu kembali melalui Beng-san. Seperti ketika berangkatnya, Nio-cu kembali nampak gelisah ketika harus melewati daerah tempat tinggal subonya itu. Pada suatu pagi, selagi mereka mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja entah dari mana munculnya, seorang wanita telah berdiri di depan mereka. Wanita ini usianya sekitar lima puluh tahun, masih nampak bekas kecantikan pada wajahnya dan tubuhnya masih nampak ramping seperti tubuh seorang wanita muda. Wajahnya yang anggun membayangkan ketinggian hati dan bibirnya membayangkan kekerasan. Matanya tajam sekali dan ketika itu, ia berdiri seperti patung memandang kepada Keng Han dan Nio-cu. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan dan di punggungnya nampak sebatang pedang. Begitu melihat wanita ini tiba-tiba muncul di depanya, Bi-kiam Nio-cu men"jadi terkejut setengah mati. Wajahnya mendadak menjadi pucat dan ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu.

   "Subo....!"

   Katanya lemah dan suaranya tergetar penuh rasa gentar. Tahulah Keng Han bahwa wanita itu adalah guru Bi-kiam Nio-cu yang pernah disebut oleh Nio-cu dan bernama Ang Hwa Nio-nio itu. Wanita itu memang benar Ang Hwa Nio-nio. Ia seorang pendeta wanita yang mengasingkan diri di Pegunungan Beng"san itu, seorang Tokouw (Pendeta To) berjuluk Ang Hwa Nio-nio (Nyonya Bunga Merah) karena disanggul rambutnya yang masih hitam itu selalu terhias setangkai bunga merah. Ang Hwa Nio-nio mempunyai dua orang murid wanita, yang pertama adalah Siang Bi Kiok yang berjuluk Bi-kiam Nio-cu itu dan yang kedua bernama Souw Cu In yang pernah dilihat Keng Han bertemu dengan Bi-kiam Nio"cu, yaitu gadis yang berpakaian putih dan wajah bagian bawahnya tertutup saputangan putih pula.

   Kini, melihat Bi-kiam Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tampan, Ang Hwa Nio-nio marah bukan main sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang memandang kepada murid pertamanya itu seperti api yang membakar. Ang Hwa Nio-nio keras sekali dalam mendidik dua orang muridnya, terutama mengenai diri kaum pria. Ia malah membuat dua orang muridnya itu berjanji bahwa setiap kali bertemu dengan pria yang mencintai mereka, mereka harus cepat membunuh pria itu! Pendeknya ia mencegah jangan sampai ada hubungan antara murid-muridnya dengan kaum pria yang dianggapnya busuk dan jahat semua, tanpa terkecuali. Inilah sebabnya meng"apa dalam pertemuan pertama, Bi-kiam Nio-cu juga hendak membunuh Keng Han.

   "Siang Bi Kiok, apa yang telah kau"lakukan ini?"

   Akhirnya Ang Hwa Nio"nio menegur muridnya. Dengan gugup Bi-kiam Nio-cu men"jawab,

   "Apa...apa yang Subo maksud"kan?"

   "Hemmm, engkau melakukan perjalan"an dengan seorang pemuda dan engkau masih pura-pura bertanya apa yang aku maksudkan?"

   Kata wanita itu bengis.

   "Ah, itukah, Subo? Dia ini hanya kebetulan saja bertemu dengan teecu dan karena sejalan, maka kami berjalan bersama. Tidak ada apa-apa antara dia, dan teecu...."

   Bi-kiam Nio-cu membela diri, akan tetapi suaranya gemetar.

   "Bagus! Engkau sudah pandai berbohong juga, ya? Engkau sudah pergi bersamanya sampai ke Tibet, menghadap Dalai Lama bersama, dan sekarang mengatakan hanya kebetulan bertemu?"

   Bukan main kagetnya hati Bi-kiam Nio-cu mendengar itu. Juga Keng Han merasa heran bagaimana wanita itu dapat mengetahuinya. Kiranya Dalai Lama sudah menyuruh orangnya untuk meneliti kebenaran keterangan Bi-kiam Nio-cu apa"kah benar murid Ang Hwa Nio-nio itu yang datang menghadap Dalai Lama!

   "Ampun, Subo. Kami.... kami sungguh tidak ada hubungan apa pun, hanya melakukan perjalanan bersama saja."

   "Diam! Kalau engkau tidak cepat membunuhnya, maka aku sendiri yang akan membunuh pemuda ini, dan engkau juga! Setelah berkata demikian, wanita itu menggerakkan kakinya dan sekali berkelebat ia telah lenyap dari situ. Keng Han terkejut bukan main, maklum betapa lihainya wanita itu yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian rupa sehingga seolah-olah ia dapat menghilang! Wajah Bi-kiam Nio-cu menjadi pucat sekali. Sampai lama ia masih berlutut di situ tak bergerak. Keng Han lalu berkata.

   "Sudahlah, Nio-cu. Kalau kita tidak boleh melakukan perjalanan bersama, sekarang juga aku akan meninggalkanmu, akan melanjutkan perjalananku."

   Setelah berkata demikian, Keng Han membalikkan tubuh"nya dan melanjutkan perjalanannya, meninggalkan tempat itu. Akan tetapi belum jauh dia pergi, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Nio-cu telah berdiri di depan"nya. Wajahnya masih pucat sekali dan matanya bersinar aneh, juga ia telah memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanannya.

   "Berhenti!"

   Bentaknya.

   "Keng Han, engkau tidak boleh pergi dan terpaksa aku harus membunuhmu! Kalau tidak, aku sendiri akan dibunuh oleh guruku!"

   Keng Han memandang dengan mata terbelalak. Selama ini, sikap wanita itu amat baik dan akrab dengannya dan sekarang, tiba-tiba saja ia hendak membunuhnya.

   "Akan tetapi, mengapa, Nio-cu? Mengapa engkau hendak membunuhku?"

   Dia menuntut.

   "Bukankah selama ini hubungan antara kita baik sekali? Aku tidak pernah berbuat jahat kepadamu, Nio-cu."

   Pedang di tangan itu gemetar dan kedua mata itu kini menjadi basah.

   "Keng Han, kita harus melarikan diri dari sini dan engkau harus menikah denganku. Itulah satu-satunya jalan. Kita saling mencinta, dan tidak ada apa pun yang dapat menghalangi kita hidup bersama. Keng Han semakin kaget mendengar ucapan itu.

   "Siapa yang saling mencinta, Subo? Aku.... aku suka kepadamu karena engkau baik kepadaku dan engkau menjadi guruku, bahkan engkau membantuku menemui Dalai Lama. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku cinta padamu dan suka menjadi suamimu. Tidak, Nio-cu tidak bisa kita menikah."

   Sepasang mata wanita itu terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah sekali.

   "Apa? Engkau tidak mencinta padaku? Dan subo sudah menganggap kita saling mencinta, maka aku harus membunuhmu. Jadi, selama ini aku salah sangka, engkau tidak cinta padaku."

   Keng Han menggeleng kepalanya.

   "Mungkin cinta kita hanya cinta antara sahabat, atau antara guru dan murid, bukan cinta yang membuat kita harus berjodoh. Tidak, Nio-cu, sekali lagi tidak, aku tidak cinta padamu seperti itu."

   "Bagus! Kalau begitu tidak berat lagi hatiku untuk membunuhmu! Mampuslah engkau!"

   Dan wanita itu segera menyerang Keng Han membabi buta mengayun pedangnya bagaikan kilat menyambar"nyambar, semua merupakan serangan maut yang ditujukan untuk membunuh. Keng Han cepat mengelak sambil mundur.

   "Nio-cu, ingat, kita bukan musuh!"

   Beberapa kali Keng Han memperingatkan. Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu yang sudah marah sekali itu tidak peduli dan hanya berteriak.

   "Mampuslah!"

   Pedangnya menyambar ganas sekali dan Keng Han dipaksa untuk membela diri. Karena dia tidak memiliki senjata lain kecuali pedang bengkok pemberian ibunya, maka dia mencabut pedang bengkoknya dan melawan, bahkan membalas karena kalau tidak dia tentu akan terancam bahaya maut. Ilmu silat Hong-in Bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang dimainkan dengan tangan kosong atau menggunakan senjata pedang. Begitu Keng Han memainkan Hong-in Bun-hoat dengan pedang bengkoknya, Bi-kiam Nio-cu segera terdesak hebat. Bantuan tangan kirinya yang menggunakan ilmu totoknya tidak ada artinya lagi bagi Keng Han yang sudah menguasai ilmu itu. Bahkan tangan kirinya beberapa kali mendorong sehingga serangkum hawa yang amat dingin dari Swat-im Sin-kang menyambar dan membuat Bi-kiam Nio"cu terhuyung dan menggigil.

   Baru lewat tiga puluh jurus saja Bi-kiam Nio-cu sudah terdesak hebat. Akan tetapi sama sekali tidak timbul niat di dalam hati Keng Han untuk membunuh wanita itu, maka dia hanya mendesak saja. Pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat amat cepatnya dan sinar putih panjang menyambar ke arah Keng Han. Pemuda ini terkejut sekali, mengira bahwa Ang Hwa Nio-nio yang menyerangnya. Dia lalu menangkis dengan pedang pen"deknya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya tahu-tahu terlibat sutera putih yang panjang dan juga tubuhnya terlibat dan tahu-tahu dia telah di"buat tidak berdaya, terbalut kain sutera putih yang dilepas orang yang baru datang. Melihat keadaan Keng Han, Bi-kiam Nio-cu, berseru,

   "Mampuslah kau sekarang!"

   Dan dengan cepat ia sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Han yang sudah tidak berdaya karena kedua lengannya sudah terbelenggu dengan tubuhnya. Keng Han hanya dapat membelalakkan matanya, ingin menghadapi kematian dengan mata terbuka.

   "Singgg.... tranggggg....!!"

   Bunga-bunga api menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Nio-cu kepadanya itu. Dan ketika Keng Han menoleh, ternyata yang menangkis itu adalah nona berpakaian putih dan berkedok putih itu. Dan nona itu pula yang memegang ujung sabuk sutera putih yang melibat tubuhnya!

   "Sumoi, mengapa kau menangkis?"

   "Suci, engkau tidak berhak membunuhnya!"

   Kata gadis itu dan suaranya sungguh merdu dalam pedengaran Keng Han..

   "Singgg... tranggggg...!!"

   Bunga-bunga api menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Nio-cu kepadanya itu.

   "Subo sudah menyuruh aku membunuhnya, Sumoi!"

   Bantah Bi-kiam Nio-cu.

   "Subo mengira bahwa dia mencintamu, Suci. Subo menyuruh bunuh kalau ada laki-laki yang mencinta kita. Akan tetapi engkau hendak membunuhnya karena engkau marah mendengar bahwa dia tidak mencintamu. Aku sudah mendengar semua percakapan kalian. Apakah engkau ingin aku melapor kepada subo betapa engkau membujuknya untuk minggat dan menikah denganmu?"

   "Sumoi....!! Tadi engkau membantuku menangkapnya dan sekarang...."

   "Tadi aku membantumu karena melihat engkau tidak dapat mengalahkannya. Dan aku melarang engkau membunuh karena memang engkau tidak berhak membunuhnya. Sudahlah, Suci. Kita bebaskan pemuda yang tidak berdosa ini. Nanti aku yang memberi penjelasan kepada subo bahwa pemuda itu tidak mencintamu dan bahwa engkau pun hanya bersahabat saja dengan dia tidak mempunyai hubungan apa pun. Subo pasti akan dapat mengampunimu."

   Dengan uring-uringan Bi-kiam Nio"cu diam saja dan gadis berpakaian putih itu lalu menarik kembali sabuknya yang lepas dari tubuh Keng Han. Pemuda itu telah bebas dan dia tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi mengingat bantuan Bi-kiam Nio-cu kepadanya dia lalu memberi hormat kepada wanita itu dan berkata.

   "Nio-cu, banyak terima kasih kuucapkan atas bantuanmu selama ini. Dan Nona, terima kasih bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku!"

   Katanya pula kepada gadis berpakaian putih itu sambil memberi hormat. Karena kedua orang gadis itu tidak menjawab, Keng Han lalu melangkah pergi dan tidak menengok kembali.

   Bukit Menjangan berada di Pegunungan Cin-ling-san. Disebut demikian karena di bukit itu banyak terdapat binatang kijang dan menjangan. Tadinya banyak pemburu yang mencari binatang itu di Bukit Menjangan sehingga jumlah binatang itu makin lama semakin berkurang. Akan tetapi pada suatu hari datanglah seorang datuk yang memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya dan semenjak dia tinggal di situ, tidak ada lagi pemburu berani naik ke Bukit Menjangan. Tadinya memang ada yang naik, akan tetapi setiap kali ada pemburu berani naik ke bukit itu, dia turun lagi dengan digotong karena terluka parah. Karena penyerangnya tidak nampak, hanya bayangannya saja dan pemburu yang terluka itu menggigil kedinginan, maka tersiarlah berita bahwa penyerangnya tentu siluman dan sejak itu tidak ada lagi yang berani berburu binatang di Bukit Menjangan.

   Pegunungan Cin-ling-san amat luasnya dan terdapat puluhan bukit sehingga mereka mengalihkan ladang perburuan mereka ke bukit lain. Sebetulnya siapakah datuk yang kini bertempat tinggal di Bukit Menjangan itu? Kalau saja ada yang berani dan mampu naik menyelidiki, dia akan melihat sebuah pondok bambu berada di puncak bukit dan yang tinggal di situ adalah seorang laki-laki raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun lebih. Dia itu bukan lain, adalah Swat-hai Lo"kwi yang pernah menyerang Keng Han ketika pemuda itu pertama kali datang ke Pulau Hantu. Sebagai seorang datuk besar, Swat-hai Lo-kwi juga tertarik dengan munculnya Pulau Hantu dan dia telah melakukan penyelidikan ke sana dan telah berkelahi melawan tiga puluh orang pimpinan Harimau Hitam yang kemudian dibunuhnya satu demi satu.

   Bahkan dia pun telah melukai Keng Han dengan pukulannya yang mengandung racun berhawa dingin. Akan tetapi kemudian dia merasa jerih menyaksikan betapa pulau itu dihuni ular-ular merah yang amat berbahaya. Dan melihat pulau itu kosong tidak ada apa-apanya yang berharga, dia lalu pergi meninggalkan Pulau Hantu dan akhirnya dia tertarik oleh pemandangan di Bukit Menjangan itu dan memilihnya sebagai tempat tinggalnya. Dan sejak dia tinggal di situ, dia tidak memperkenankan siapapun juga naik ke bukit. Yang berani naik tentu dipukulnya dengan pukulannya yang membuat orang menggigil kedinginan sehingga akhirnya tempat itu tidak ada yang be"rani mengunjungi dan dia tidak lagi merasa terganggu.

   Swat-hai Lo-kwi mencari tempat pengasingan yang tidak terganggu orang lain bukan karena ingin bertapa, melainkan karena dia sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat yang amat hebat dan dia tidak ingin orang lain melihatnya. Swat-hai Lo-kwi memang memiliki sin"kang yang berhawa dingin sekali, dan kini dia melatih diri untuk menyempurnakan sin-kangnya itu sehingga kalau dia menyerang orang, dia dapat membuat lawannya itu menjadi beku darahnya dan tewas seketika! Kurang lebih setahun lamanya dia melatih ilmu itu dan kini dia telah berhasil, yang menjadi kelinci percobaan ilmunya itu adalah binatang-binatang kijang dan menjangan yang berada di bukit itu. Sekarang, dari jarak yang kurang lebih sepuluh meter, dia dapat memukul binatang itu dengan pukulan jarak jauhnya dan binatang itu ro"boh dan tewas dalam keadaan darahnya beku!

   Bukan main hebatnya ilmu ini dan Swat-hai Lo-kwi merasa dirinya yang paling jagoan di antara para ahli silat manapun. Pada suatu pagi yang amat dingin, Swat-hai Lo-kwi menghangatkan diri dengan membuat api unggun dan memanggang daging kijang untuk sarapan pagi. Mendadak dia menjadi waspada dan matanya mengerling ke kiri karena dari arah itu dia mendengar suara langkah orang. Langkah itu demikian ringan sehingga dia merasa heran sekali. Orang yang datang ini pasti seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan masih saja memanggang paha kijang itu dengan te"kun sambil menghangatkan tubuh dari serangan hawa dingin pagi itu.

   "Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa tentu engkau Iblis Lautan Es yang berada di tempat ini karena orang-orang yang terpukul itu mati kedinginan!"

   Tiba-tiba terdengar suara dan ketika Swat-hai Lo"kwi menoleh, dia melihat seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja berdiri di situ sambil bertolak pinggang dengan tangan kirinya dan bersandar pada dayungnya. Melihat kakek itu, Swat-hai Lo-kwi juga tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kiranya Setan Lautan Timur yang datang. Setan tua, mau apa engkau mengganggu ketenteraman hidupku di tempat ini?"

   Kata-katanya terakhir itu mengandung tantangan.

   "Wah, sejak kapan Swat-hai Lo-kwi menerima kedatangan seorang sahabat seperti ini? Aku, Tung-hai Lo-mo (Setan Tua Lautan Timur) tidak pernah datang ke suatu tempat tanpa urusan penting. Aku sengaja mengunjungimu untuk urusan penting sekali, penting bagi kita berdua."

   "Nanti dulu, aku kini tidak mau sembarangan bicara dengan orang yang belum kuketahui sampai mana tingkat kepandaiannya. Mari kita main-main sebentar, hendak kulihat apakah selama ini engkau maju atau bahkan mundur dalam ilmumu, Lomo!"

   Tantang Swat-hai Lo"kwi sambil bangkit berdiri.

   "Bagus, bagus! Engkau masih saja belum berubah, Lo-kwi. Selalu tinggi hati dan menganggap diri sendiri terpandai. Baiklah, majulah dan coba rasakan hebat"nya dayung bajaku!"

   "Awas seranganku!"

   Lo-kwi berseru dan dia sudah menyerang dengan tangan kirinya. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar. Akan tetapi Lo-mo adalah datuk dari timur yang ilmu kepandaiannya juga amat tinggi. Dia meng"hindar dan dayungnya meluncur menyapu ke arah pinggang Lo-kwi. Lo-kwi menggunakan tangannya menangkis lalu menyerang lagi lebih hebat dari tadi. Akan tetapi, Lo-mo juga dapat menangkis serangannya dan tidak terpengaruh hawa dingin yang menyambar itu. Keduanya sudah bertanding dengan seru sekali dan sebentar saja lima puluh jurus telah lewat. Merasa betapa lawannya benar"benar tangguh, Lo-kwi lalu menyerang dengan pukulan jarak jauhnya, yang se"lama setahun ini dilatihnya di bukit itu.

   "Hyaaaaattt.... ahhhhh!"

   Dia berseru dengan suara melengking dan dari kedua telapak tangannya nampak sinar putih kebiruan menyambar ke arah lawan. Tung-hai Lo-mo agaknya maklum akan hebatnya serangan jarak jauh ini. Dia menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya dan dalam keadaan setengah berjongkok dia menyambut pukulan jarak jauh itu.

   "Wuuuttttt.... desss....!!"

   Keduanya terdorong ke belakang dan Tung-hai Lo"mo agak menggigil kedinginan, akan tetapi dia segera dapat mengusir hawa itu dengan pengerahan sinkangnya.

   "Hebat! Pukulanmu itu hebat sekali. Orang lain mana akan mampu menahannya? Aku kagum sekali kepadamu, Lo"kwi!"

   Kata Lo-mo yang merasa kalah kuat dalam adu tenaga ini. Lo-kwi juga tertawa.

   "Ha-ha-ha, engkau juga telah memperoleh kemajuan pesat, Lo-mo. Nah, engkau memang pantas berunding denganku, lekas katakan apa yang menjadi keperluanmu datang berkunjung ini."

   "Ha-ha-ha, bicara sih mudah, akan tetapi perut lapar ini perlu diisi. Kulihat panggang daging kijang itu sudah matang."

   Mereka lalu makan daging panggang di dekat api unggun dan tidak bicara apa"apa. Lo-mo mengeluarkan sebuah guri arak dan menenggaknya, lalu menyerahkan kepada Lo-kwi.

   "Ini arak pilihan dari Hang-ciu. Engkau pantas minum bersamaku, Lo-kwi!"

   Katanya. Swat-hai Lo-kwi tanpa sungkan-sungkan lagi menerima guci itu lalu menuangkan isinya ke dalam mulutnya sampai terdengar bunyi menggelegak. Setelah itu barulah keduanya bicara.

   "Nah, sekarang bicaralah!"

   Kata Swat"hai Lo-kwi.

   "Begini, Lo-kwi. Orang dengan ilmu kepandaian seperti kita ini, apakah cukup harus begini saja? Tinggal di tempat sunyi, tidak dipandang orang? Padahal, orang-orang macam kita ini sudah sepatutnya kalau memegang kedudukan tinggi, dihormati dan dipandang orang, hidup penuh kemuliaan dan kemewahan."

   Swat-hai Lo-kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada Tung-hai Lo-mo dengan alis berkerut.

   "Lo-mo, kalau engkau mengharap agar aku suka menghambakan diri kepada penjajah Mancu untuk memperoleh kedudukan tinggi, engkau mimpi!"

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa yang hendak mengabdikan diri kepada bangsa Mancu? Aku pun tidak sudi. Akan tetapi persoalannya lain sama sekali. Kita bahkan membantu untuk menjatuhkan Kaisar Mancu yang sekarang ini."

   Mendengar ucapan itu, Lo-kwi mulai tertarik.

   "Aku pun tidak mau membantu perkumpulan-perkumpulan pemberontak seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, Thian"li-pang dan sebagainya dan menjadi antek mereka."
(Lanjut ke Jilid 07)
Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
"Ah, tidak sama sekali. Dengar dulu baik-baik, Lo-kwi. Di kota raja terdapat dua orang pangeran yang pernah dihukum buang oleh kaisar karena mereka hendak membunuh pangeran mahkota. Sekarang kedua orang pangeran itu telah bebas dan kembali ke kota raja. Nah, merekalah yang menghubungi aku dan minta agar aku juga minta bantuanmu. Mereka"lah yang ingin memberontak, menjatuhkan kaisar yang sekarang bertahta."

   "Hemmm, sama saja. Kalau mereka berhasil, tentu mereka yang menjadi penguasa dan berarti kita harus mengabdi kepada bangsa Mancu. Apa bedanya?"

   "Engkau belum mengerti maksudku. Kita membonceng saja, dan kalau pemberontakan ini berhasil dan kaisar dapat dibunuh kita rebut kedudukan kaisar itu dari tangan mereka! Kita mempunyai harapan menjadi kaisar atau setidaknya menjadi Koksu atau Menteri!"

   Lo-kwi semakin tertarik.

   "Akan tetapi, apa artinya tenaga kita berdua?"

   "Kita berdua menjadi pembantu utama, dan kedua orang pangeran itu sudah mulai menyusun kekuatan. Kita dapat membujuk partai-partai lain untuk bekerja sama. Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sudah terbujuk. Juga Bu-tong-pai! Dan Bu-tong"pai bahkan hendak mengadakan pertemu"an dengan seluruh perkumpulan dan perorangan yang berjiwa patriot untuk bekerja sama. Dan juga kita harus menghubungi para Pendeta Lama Jubah Kuning yang tentu siap membantu. Pendeknya, gerakan ini harus berhasil baik. Dan kita berdua yang menjadi pembantu utama kedua orang pangeran itu tentu dapat mengatur bagaimana sebaiknya untuk kita berdua. Coba pikir, daripada engkau hidup seperti ini, makan daging kijang panggang, hidup seperti orang liar, bukankah lebih baik mempergunakan kepandaianmu untuk mencari kedudukan setinggi mungkin?"

   Swat-hai Lo-kwi mulai terbujuk. Dia menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama dengan Lo-mo membantu gerakan Pangeran Tao San dan Pangeran Tao Seng. Seperti kita ketahui, kedua orang pangeran ini dihukum buang selama dua puluh tahun dan kini mereka telah bebas. Mereka kembali ke kota raja dan nampaknya mereka sudah bertaubat. Akan tetapi diam-diam mereka menyusun kekuatan untuk memberontak.

   Di Pegunungan Bu-tong-san.Pegunungan ini menjadi pusat dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal. Sejak dahulu Bu-tong-pai memiliku pendekar"pendekar yang amat tangguh sehingga namanya menjadi terkenal dan dihormati semua perguruan lain dan juga para pendekar. Biasanya, Bu-tong-san nampak sunyi saja karena memang para penduduknya hanya orang-orang dusun yang bersahaja.

   Akan tetapi pada hari itu, Pegunungan Bu-tong-san menjadi ramai dengan kunjungan banyak orang dari bermacam-macam golongan. Ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula tosu, ada yang berpakaian seperti pengemis dan ada pula yang seperti orang hartawan. Ada yang lemah lembut seperti kaum sastrawan, akan tetapi ada pula yang berpakaian ringkas dan sikapnya gagah perkasa seperti kaum persilatan. Undangan yang, dilakukan oleh Bu"tong-pai ternyata mendapat banyak sambutan. Siapa tidak mengenal Bu-tong"pai? Kalau Bu-tong-pai mengundang semua tokoh kang-ouw, berarti tentu ada keperluan yang amat penting. Bahkan mereka yang tidak diundang sekalipun, hanya mendengar saja bahwa Bu-tong-pai mengundang orang-orang kang-ouw,

   Banyak pula yang memerlukan datang untuk melihat perkembangan, menonton dan menambah pengalaman. Mereka ini dapat menduga bahwa yang diundang oleh Bu-tong-pai tentulah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi dan yang hanya mereka dengar namanya saja.Pada waktu itu, yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bertubuh sedang, berjenggot dan berkumis panjang. Adapun pembantunya adalah dua orang murid utamanya, yaitu Thian-yang-cu dan Bhok-Im-cu yang pernah berkunjung ke rumah Pendekar Tangan Sakti Yo Han untuk menyampaikan surat dan undangan. Di antara para tamu itu terdapat pula Yo Han. Isterinya dan puterinya tidak ikut. Yo Han datang ke Bu-tong"pai dengan hati diliputi perasaan penasaran dan juga keheranan.

   Dia tidak mengerti akan sikap Thian It Tosu. Kenapa mendadak tosu itu hendak mengobarkan pemberontakan? Karena khawatir bahwa pertemuan itu akan mendatangkan keributan, maka dia melarang isteri dan puterinya untuk ikut serta. Kalau terjadi keributan, biar dia sendiri yang akan menghadapinya. Seperti para tamu lain, Yo Han juga disambut oleh kedua orang murid utama itu. Para tamu dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang luas sekali dan mereka mendapatkan tempat duduk yang diatur menurut kedudukan masing-masing. Ada tempat bagi para ketua perguruan dan para tokoh tingkatan tua, dan ada tempat bagi yang muda-muda. Yo Han sebagai seorang pendekar yang amat terkenal mendapat tempat kehormatan di antara para ketua perguruan yang terkenal.

   Tentu saja Yo Han bertemu dengan muka-muka lama yang sudah dikenalnya dan terjadilah pertemuan yang cukup menggembirakan di antara mereka. Anehnya, Thian It Tosu sendiri belum kelihatan menyambut. Ketika ada yang menanyakan kepada Thian-yang-cu, atau Bhok-im-cu, kedua orang tosu ini menjawab bahwa suhu mereka sedang samadhi dan nanti kalau sudah tiba saatnya tentu akan keluar menyambut para tamu. Setelah para tamu datang memenuhi ruangan itu, barulah Thian It Tosu muncul, Yo Han yang sudah mengenal baik tosu itu melihat betapa wajah tosu itu agak pucat, seperti orang yang sedang menderita sakit. Thian It Tosu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada para tamu dan ber"kata dengan suara parau,

   "Harap Cuwi maafkan, saya sedang sakit batuk dan serak."

   Lalu dia mempersilakan semua orang duduk dan dia sendiri duduk di kursi ketua yang sudah dipersiapkan. Thian-yang-cu lalu berdiri dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir,

   "Harap Cu-wi semua suka memaafkan. Agaknya Suhu menderita sakit mendadak, batuk dan suaranya hampir hilang. Karena itu, pinto yang ditunjuk sebagai wakil pembicara."

   Semua orang mengangguk-angguk dan maklum. Betapapun lihainya seseorang, apalagi kalau sudah tua, dapat saja terserang penyakit, dan penyakit yang diderita Thian It Tosu itu biarpun tidak berat, namun membuat dia tidak mampu mengeluarkan suara sehingga sudah sepantasnya kalau diwakili oleh murid utamanya.

   "Seperti Cu-wi semua ketahui dari undangan Suhu, Cu-wi diminta berkumpul untuk menyatakan persetujuan atas usul Suhu, yaitu mempersiapkan dari untuk menyerang kota raja dan menggulingkan kedudukan kalsar Mancu. Sudah tiba saatnya bangsa kita dibebaskan dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Kita semua yang berkumpul di sini adalah kaum patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Melihat bangsa kita dijajah penjajah Mancu, apakah kita harus berpangku tangan saja? Kita harus bergerak, dan sekaranglah saatnya, selagi kaisar yang memegang tampuk pemerintahan seorang yang lemah. Kalau kita bersatu dan menyerbu kota raja, tentu kita akan menang dan dapat merampas istana, mengakhiri penjajahan!"

   Ketika Thian-yang-cu berhenti bicara, suasana menjadi gaduh sekali karena masing-masing saling bicara sendiri. Thian It Tosu membiarkan mereka berunding sendiri, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Thian-yang-cu, membisikkan sesuatu. Thian-yang-cu lalu bangkit berdiri lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

   "Mohon tenang, saudara sekalian. Kami percaya bahwa Cu-wi (Saudara sekalian) yang berwatak patriot tentu menyetujui pendapat dan usul ketua kami. Yang setuju, tinggal mempersiapkan diri saja, kalau waktunya telah tiba tentu akan diberitahu. Terutama sekali para ketua perkumpulan, harap mempersiapkan anak buahnya untuk sewaktu-waktu menerima panggilan dan bergabung dengan kami. Kalau ada yang hendak menyatakan pendapatnya, silakan, akan tetapi satu-satu saja, agar mudah didengar."

   Mendadak terdengar suara lembut.

   "Omitohud....!"

   Semua orang memandang dan ternyata yang bicara itu adalah se"orang hwesio tinggi besar yang mewakili Siauw-lim-pai.

   "Kami dari Siauw-lim-pai tidak begitu setuju dengan usul Bu-tong-pangcu. Memang benar kami semua berjiwa patriot dan ingin melihat bangsa kita terbebas dari belenggu penjajahan. Akan tetapi apa yang dapat kita perbuat dalam keadaan seperti sekarang ini? Biarpun kita semua hendak berjuang, akan tetapi harus diketahui dengan siapa kita berjuang dan bagaimana pula keadaan kekuatan kita. Pinceng melihat di sini banyak pula perkumpulan yang hanya berkedok pejuang akan tetapi tidak segan melakukan kejahatan terhadap rakyat, Bekerja sama dengan mereka itu merupakan pantangan bagi kami. Bu-tong-pangcu tentu mengerti siapa-siapa yang kami maksudkan itu dan sebaiknya kalau mereka itu tidak diajak berunding tentang perjuangan."

   Setelah berkata demikian hwesio itu duduk kembali dan seperti tadi, mereka semua saling bicara sendiri dengan gaduhnya. Pada saat itu, Yo Han yang sejak tadi merasa penasaran sekali melihat hadirnya perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan, lain-lain, juga sudah bangkit berdiri dan suaranya terdengar lembut namun lantang sehingga mengatasi semua suara dan semua orang terdiam mendengarkan.

   "Kami dari Thian-li-pang ingin bicara!"

   Thian It Tosu sendiri berdiri dan memberi isyarat dengan tangan mempersilakannya bicara.

   "Thian It Totiang, Totiang bukanlah kenalan baru dari kami dan kami sudah mengenal bahwa Bu-tong"pai adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot di samping berwatak pendekar. Oleh karena itu, saya tidak menganggap aneh kalau Bu-tong-pai mengajak untuk bangkit melawan penjajah walaupun sekarang belum tiba saatnya melihat kekuatan musuh dan kekuatan kita sendiri yang masih terpecah belah. Akan tetapi melihat betapa Bu-tong-pai juga mengundang perkumpulan-perkumpulan sesat, sungguh ini tidak sesuai dengan kependekaran Bu-tong-pai. Kami setuju dengan pendapat Losuhu dari Siauw-lim-pai tadi bahwa banyak perkumpulan yang berkedok pejuang namun sesungguhnya hanya merupakan perkumpulan sesat yang suka mengganggu rakyat. Selama mereka itu masih mencampuri urusan kami, maka tentu akan timbul kekacauan. Kami mohon Thian It Tosu mempertimbangkan kembali dan mengusir golongan sesat dari pertemuan ini, barulah kita bicara tentang perjuangan. Selama mereka itu hadir, kami tidak suka ikut dalam pertemuan ini!"

   Thian It Tosu kembali berbisik kepada Thian-yang-cu dan wakilnya ini lalu berdiri dan bicara,

   "Yo-pangcu dari Thian-li-pang, harus suka bicara terus terang. Siapakah di antara kita ini yang disebut golongan sesat? Justeru dalam perjuangan, semua kekuatan harus dipersatukan. Harap jelaskan siapa yang dianggap golongan sesat agar persoalan menjadi terang."

   Karena ditantang untuk berterus te"rang, Yo Han tanpa ragu-ragu lalu berseru dengan suara gagah,

   "Perlukah itu disebutkan lagi? Semua orang gagah di sini mengetahui siapa-siapa tokoh sesat yang ikut hadir di sini. Dan tentang perkumpulan golongan sesat, siapa tidak tahu bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa"pang merupakan perkumpulan sesat? Mengapa mereka menerima undangan pula? Kami, bagaimana pun juga, tidak dapat bekerja sama dengan mereka itu!"

   Kini Thian It Tosu bangkit berdiri dan dengan suaranya yang parau dia berkata,

   "Yo-pangcu bicara tidak adil! Bukankah tadi Yo-pangcu sendiri mengatakan bahwa pihak musuh terlalu kuat sedangkan fihak kita masih terpecah belah. Mengapa tidak mengajak dua perkumpulan itu? Dalam keadaan begini kita harus bersatu padu, menghilangkan kepentingan sendiri demi perjuangan!"

   "Tidak mungkin! Perjuangan kita akan diselewengkan oleh mereka yang memang sesat itu dan selain perjuangan akan gagal, juga nama baik kita sebagai pendekar akan menjadi rusak. Disangkanya kita juga melakukan perampokan dan pencurian terhadap rakyat seperti mereka!"

   Kata Yo Han dengan lantang pula. Dari pihak Pek-lian-pai muncullah Thian-yang-ji, seorang tosu tokoh Pek"lian-kauw yang berusia lima puluh tahun lebih dan dia sudah memegang pedang telanjang di tangan kanannya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yo Han sambil berteriak,

   "Yo-pangcu dari Thian-li-pang sungguh terlalu menghina kami dari Pek"lian-pai. Sudah lama pinto mendengar akan kehebatan ilmu dari ketua Thian"li-pang, kalau sekarang engkau menghina kami berarti menantang kami. Mari kita selesaikan urusan ini di ujung pedang."

   "Benar, Yo-pangcu juga menghina Pat-kwa-pai, kami juga menantang Yo-pangcu untuk menyelesaikan urusan di ujung pedang!"

   Terdengar seruan dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tokoh Pat-kwa-pai juga berdiri sambil menghunus pedang. Yo Han tersenyum mengejek.

   "Kita adalah tamu-tamu. Aku tidak mau menghina tuan rumah dengan bertindak sendiri. Kecuali kalau tuan rumah mengijinkan, aku akan menerima tantangan kalian dan kalian berdua boleh maju bersama!"

   Akan tetapi Thian It Tosu segera bangkit berdiri dan berseru dengan suaranya yang parau,

   "Harap Sam-wi suka melihat muka pinto dan tidak mengadakan keributan dan perkelahian di sini! Yo-pangcu, kami sungguh tidak dapat menyetujui pendapat Pangcu itu. Pada saat seperti sekarang ini, kami membutuhkan sebanyak mungkin tenaga untuk menentang pemerintah, baik dari golongan manapun juga, tidak pandang bulu. Kecuali mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami tolak kehadirannya di sini. Yang mau membantu dan bekerja sama untuk berjuang, kami anggap tamu kehormatan kami."

   Pada saat itu Keng Han juga berada di antara para tamu golongan muda. Dia datang ke Bu-tong-san untuk menuntut ketua Bu-tong-pai tentang permusuhannya dengan mendiang gurunya, Gosang Lama seperti yang dipesan oleh gurunya itu. Ketika dia sedang mendengarkan perbantahan tadi, tiba-tiba lengannya disentuh orang. Ketika dia menoleh, dia terbelalak heran dan juga kaget dan senang karena yang menyentuh lengannya itu bukan lain adalah Kwi Hong, gadis yang pernah dia jumpai di kota Tung-san ketika gadis itu menghajar para murid Pek-houw Bu-koan yang bersikap kurang ajar kepadanya.

   "Hong-moi, kau di sini?"

   "Han-ko, engkau juga di sini, mau apakah. Apakah engkau juga hendak memberontak?"

   "Ah, tidak. Aku mempunyai urusan pribadi dengan ketua Bu-tong-pai."

   "Hemmm, tentu karena pesan gurumu itu, bukan? Berbahaya sekali, Han-ko. Dia lihai bukan main dan kaulihat sendiri, di sini banyak temannya yang juga terdiri dari orang-orang tua angkatan tinggi yang lihai bukan main."

   "Aku tidak takut. Bahkan banyak orang ini biar menjadi saksi akan kejahatan Bu-tong-pai yang memusuhi guru"ku yang tidak berdosa."

   "Jangan, Han-ko. Biarlah aku mem"bubarkan dulu mereka ini, baru engkau bicara dengan ketua Bu-tong-pai."

   Setelah berkata demikian, gadis itu berdiri dan dengan lantang berkata, ditujukan kepada ketua Bu-tong-pai yang baru saja menjawab ucapan Yo Han tadi.

   "Heiii, apa yang kudengar ini? Bu-tong-pai hendak memberontak terhadap pemerintah dan membujuk semua orang untuk memberontak? Apakah tidak takut akan balatentara kerajaan yang tentu hendak membasmi kalian semua? Janganlah bertindak begitu bodoh!"

   Semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Kwi Hong sendiri agaknya lupa bahwa ia sedang menyamar, bukan sebagai puteri Pangeran Mahkota, melainkan sebagai gadis kang-ouw biasa! Beberapa orang murid Bu-tong-pai sudah mengepung tempat itu dan siap untuk turun tangan. Melihat ini, Yo Han yang mengkhawatirkan keadaan gadis itu segera berseru,

   "Tahan dulu! Gadis itu hanya memberi peringatan dan ucapannya memang benar. Kita ini bukan apa-apa kalau berhadapan dengan pasukan pemerintah. Apa artinya beberapa ribu anggauta kita semua yang dikumpulkan melawan ratusan ribu pasukan pemerintah? Hanya akan mati konyol dan bunuh diri belaka. Sudah kukatakan bahwa sekarang belum waktunya bergerak, bukan berarti bahwa aku tidak suka berjuang membebaskan rakyat dari penjajahan!"

   "Nah, itu baru kata-kata, yang bijaksana. Yo-pangcu memang benar sekali. Kalau kita ketahuan pemerintah, kita tentu akan terbasmi habis. Karena itu sebaiknya kita sekarang bubaran saja sebelum ada pasukan pemerintah yang datang!"

   Kata pula Kwi Hong dengan suaranya yang lantang.

   Ucapan Kwi Hong dan terutama Yo Han itu berpengaruh sekali. Mereka yang diam-diam merasa tidak setuju dengan tindakan Bu-tong-pai yang tergesa-gesa, segera meninggalkan tempat itu! Dan akhirnya hanya tinggal Pek-lian-pai, Pat"kwa-pai dan beberapa rombongan kaum sesat saja yang tinggal. Perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai dan lain-lain sudah meninggalkan tempat itu, menganggap bahwa Bu-tong-pai lancang dan tidak mengenal keadaan. Hal ini membuat Thian It Tosu marah, sekali dan dia memandang ke arah Kwi Hong dengan mata melotot. Akan tetapi pada saat itu, Keng Han sudah melangkah maju menghadapi ketua Bu-tong-pai itu dan berkata dengan suara nyaring,

   "Bu"tong Pangcu, saya bernama Si Keng Han dan saya datang bukan untuk urusan pemberontakan, melainkan untuk bertanya kepada Bu-tong-pai mengapa Bu-tong-pai memusuhi guruku yang tidak bersalah."

   Thian It Tosu mengelus jenggotnya.

   "Siancai, siapakah gurumu?"

   Tanyanya dengan suara yang parau.

   "Guruku bernama Gosang Lama!"

   "Gosang Lama, Pendeta Lama Jubah Kuning itu? Akan tetapi kami tidak memusuhinya!"

   Jawab Thian It Tosu, ke"lihatan bingung. Thian-yang-cu yang maju dan melanjutkan keterangan ketuanya.

   "Gosang Lama tidak ada sangkut pautnya dengan kami, akan tetapi dia berani melukai beberapa orang murid kami. Karena itulah kami melawannya dan berhasil mengusirnya dari sini. Jadi benar ucapan Pangcu tadi, bukan kami yang memusuhi, melainkan Gosang Lama sendiri, dan karena engkau muridnya, tentu engkau akan membalaskan kekalahan gurumu itu!"

   Thian-yang-cu melompat ke depan diikuti Bhok-im-cu dan kedua orang tosu ini berdiri di depan Keng Han dengan sikap menantang.

   "Kalian mundurlah!"

   Kata Thian It Tosu kepada dua orang murid utamanya, kemudian dia berdiri dan menghadapi Keng Han.

   "Gosang Lama yang memusuhi kami dan kami yang bertanggung jawab atas kekalahannya dari kami, karena itu kalau engkau hendak membalas atas kekalahannya itu, pinto yang akan menghadapimu, orang muda!"

   Keng Han merasa tidak enak kalau berdiam diri. Bagaimanapun juga, dia harus menghormati pesan terakhir dari gurunya. Dia sudah gagal melaksanakan pesan gurunya untuk membunuh Dalai Lama, apakah sekarang dia juga harus gagal memenuhi pesan yang kedua? Setidaknya, dia harus memperlihatkan sikapnya yang memusuhi Bu-tong-pai seperti diharapkan gurunya.

   "Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Bu-tong-pai yang telah mengalahkan guruku!"

   Katanya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadapi Thian It Tosu.

   "Ha-ha-ha, siancai....! Biarpun badanku sedang sakit, akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, orang muda. Sebaiknya engkau menyadari kesalahan gurumu dan tidak menuntut balas agar engkau tidak sampai tewas atau terluka."

   Yo Han memandang heran. Kenapa Thian It Tosu sekarang bersikap seperti itu? Kata-katanya bernada angkuh, pada"hal biasanya Thian It Tosu orangnya penyabar dan tentu tidak mau melayani tantangan seorang pemuda seperti itu. Dia mulai merasa tidak senang. Thian It Tosu kini sudah berubah. Agaknya dia telah terbujuk oleh orang-orang Pek-lian"pai dan Pat-kwa-pai sehingga kini bukan saja, berniat untuk memberontak, akan tetapi juga sikapnya mulai keras. Di samping itu, dia juga merasa sayang kalau sampai pemuda itu tewas di Bu-tong-pai, hanya untuk membela seorang guru yang berada di pihak yang bersalah.

   Dia pun sudah mendengar tentang pemberontakan Lama Jubah Kuning di Tibet, maka kalau guru pemuda ini seorang Lama Jubah Kuning, mungkin Lama itulah yang berada di pihak yang bersalah. Akan tetapi dia sudah terlambat karena Keng Han sudah menyerang dengan cepat kepada tosu itu. Namun serangannya dapat dielakkan oleh Thian It Tosu. Pemuda itu menyerang lagi dan begitu dia memainkan ilmu silatnya, Yo Han hampir berseru saking kagetnya. Dia sendiri tidak mempelajari ilmu silat itu, akan tetapi dia mengenal ilmu silat itu, karena isterinya juga menguasainya. Itulah Hong-in Bun-hoat, ilmu silat yang mencorat-coret di udara seperti orang menuliskan huruf dengan gerakan silatnya! Itulah ilmu keturunan keluarga Pulau Es.

   Keng Han yang maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai, segera melakukan pukulan jarak jauh dengan tenaga sin"kangnya. Kakek itu menahan dengan kedua tangan pula dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang. Yo Han makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai itu, akan tetapi pemuda itu mampu membuat ketua itu terdorong ke belakang walaupun dia sendiri pun terdorong ke belakang. Sementara itu, Thian It Tosu juga terkejut bukan main dan menjadi penasaran. Dia sudah meloncat maju lagi dan kini dia mencabut sebatang pedang yang berkliauan sinarnya, dan itulah pedang pusaka Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih). Yo Han maklum benar betapa bahayanya kalau Thian It Tosu sudah mencabut pedang, karena selain pedang itu merupakan pusaka yang ampuh, juga ketua itu memang memiliki keahlian dalam permainan pedang. Maka, tanpa ragu lagi dia lalu melompat dan berdiri di antara mereka yang hendak berkelahi.

   "Harap tahan dulu!"

   Serunya lantang. Thian It Tosu sudah marah itu me"negur,

   "Yo-pangcu, apakah engkau hen"dak mencampuri urusan Bu-tong-pai?"

   "Tidak sama sekali, Totiang. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa tidak semestinya Totiang melayani pemuda ini. Gurunya boleh jadi bersalah terhadap Bu"tong-pai, akan tetapi pemuda ini tidak bersalah apa-apa. Dia hanya ingin membalaskan kekalahan gurunya dan tidak perlu sampai Totiang mencabut pedang dan membunuhnya! Bukankah sudah sewajarnya kalau yang tua dan yang lebih tinggi tingkatnya mengalah dan menggunakan kesabaran?"

   Thian It Tosu mengerutkan alisnya.

   "Siancai, kata-katamu memang masuk akal, Pangcu. Akan tetapi engkau tadi tentu melihat dan mendengar sendiri betapa bocah ini yang menantang, bukan kami yang memulai.

   "Mungkin karena dia tidak mengerti dan biarlah saya yang mencoba menyadarkannya, Totiang."

   Setelah berkata demikian, Yo Han lalu menghadapi pemuda itu dan sejenak dia memandang penuh perhatian. Dari sinar mata pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang jahat melainkan seorang yang pemberani dan keras hati.

   "Orang muda, dengarlah nasihatku baik-baik. Apa yang kaulakukan ini sama sekali keliru dan menyimpang dari kebenaran."

   Keng Han mengerutkan alisnya memandang. Dia tadi sudah merasa suka kepada Yo Han yang menentang kehendak Bu-tong-pai yang mengajak memberontak terhadap pemerintah. Kalau ayah kandungnya sekarang sudah menjadi kaisar, bukankah berarti pemberontakan itu ditujukan kepada ayahnya? Atau setidaknya pemberontakan ini ditujukan kepada keluarganya karena ayahnya adalah Pangeran Mahkota. Tentu saja niat memberontak Bu-tong-pai itu sudah membuat hatinya tidak senang dan dia condong menyetujui pendapat Yo Han yang menentang niat itu.

   "Paman, harap Paman tidak mencampuri urusan kami. Bagaimana Paman dapat mengatakan perbuatanku keliru dan menyimpang dari kebenaran? Bukankah sudah selayaknya kalau seorang murid membela gurunya yang sudah mati? Sebelum meninggal dunia, guru saya memesan agar saya membalaskan permusuhannya dengan Bu-tong-pai."

   "Membalas dendam itu sendiri merupakan perbuatan yang tidak benar, hanya menurutkan nafsu kebencian dan amarah. Setelah engkau mendapat keterangan bahwa gurumu berada di pihak yang bersalah, apakah engkau akan melanjutkan balas dendammu itu? Bukankah kalau begitu berarti engkau akan menambah beban dosa gurumu? Sepatutnya engkau menebus kesalahan gurumu dengan perbuatan yang benar, bukan memperbesar dosa itu dengan perbuatan yang tidak benar. Engkau masih muda dan perlu banyak belajar dari kehidupan, jangan menurutkan nafsu. Apa yang dapat kaulakukan terhadap perkumpulan Bu-tong-pai yang besar? Dan ketahuilah, aku sendiri menjadi saksi bahwa perkumpulan Bu-tong-pai terdiri dari pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan tidak biasa melakukan kejahatan."

   Keng Han merasa terpukul sekali. Nasihat itu hampir sama dengan nasihat yang diterimanya dari Dalai Lama. Pada saat itu, Kwi Hong sudah berada di sampingnya.

   "Apa yang diucapkan Paman ini semua benar, Han-ko. Marilah kita pergi dari tempat ini. Arwah suhumu tentu akan mengampunimu kalau dia menginsafi kesalahaannya."

   Kwi Hong menarik tangannya dan Keng Han tidak membantah lagi ketika ditarik pergi oleh Kwi Hong. Adapun Yo Han merasa senang sekali melihat pemuda itu sudah mau meninggalkan tempat itu. Dia sendiri lalu memberi hormat kepada Thian It Tosu dan berkata,

   "Terima kasih atas undangan Totiang, dan saya mohon diri karena merasa tidak pada tempatnya kalau saya menghadiri pertemuan ini."

   Melihat dua orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang tadi menantangnya, dia menambahkan sambil menoleh ke arah mereka.

   "Kalau masih ada yang merasa penasaran dengan pendapatku tadi dan hendak menyelesaikan urusan dengan kekerasan, saya dapat melayaninya di kaki gunung, di luar wilayah Bu-tong-pai."

   Setelah berkata demikian, Yo Han pergi dan setelah dia pergi, lebih banyak lagi orang yang meninggalkan tempat itu. Terpaksa Thiat It Tosu melanjutkan perundingannya dengan orang-orang yang sebagian besar dari golongan sesat.

   "Orang muda, perlahan dulu!"

   Keng Han yang sedang berjalan bersama Kwi Hong itu terkejut dan menahan langkahnya, lalu memutar tubuhnya. Kiranya yang menegurnya adalah ketua Yo Han yang tadi telah menasihatinya.

   

Si Bangau Merah Eps 19 Si Bangau Merah Eps 23 Si Bangau Merah Eps 19

Cari Blog Ini