Petualang Asmara 11
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Siang malam Kun Liong berlatih. Tubuhnya menjadi kurus karena kurang makan, mukanya agak pucat karena tak pernah kenyang menerima sinar matahari, namun matanya kini mengeluarkan cahaya yang aneh dan tajam menusuk seolah-olah menembus jantung orang yang dipandangnya. Yang tidak pernah berubah adalah kepalanya. Tetap gundul, tidak ada sehelai pun rambutnya tumbuh! Dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun, tampan wajahnya, amat sederhana gerak-geriknya, dan yang paling menarik adalah kepala gundulnya. Melihat kepalanya, semua orang tentu menganggap dia sebagai orang hwesio, akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian hwesio. Pada suatu pagi, Tiang Pek Hosiang berkata kepada Kun Liong yang sudah menghadap dan berlutut di depannya,
"Kun Liong, tibalah saatnya engkau keluar dari ruangan ini dan beritahukan kepada Ketua Siauw-lim-pai agar menyediakan sebuah peti mati sederhana untukku, dan kelak membakar jenazahku di puncak bukit belakang kuil tanpa upacara, tak perlu mengundang Orang-orang kang-ouw."
"Sukong...!"
Kun Liong terkejut bukan main mendengar pesan kakek itu, memandang terbelalak dan mukanya pucat. Kakek itu tersenyum lebar.
"Mengapa, Kun Liong? Mengapa mendengar aku akan mati engkau menjadi terkejut dan pucat mukamu seperti orang takut?"
"Sukong, siapakah yang tidak ngeri dan takut menghadapi kematian?"
"Mengapa timbul takut, Kun Liong?"
"Karena kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu, Sukong. Kita menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan kita."
"Ha-ha, benarkah demikian? Kalau kematian itu sesuatu yang tidak kita kenal, mana mungkin kita menjadi takut akan sesuatu yang tidak kita ketahui? Barulah timbul takut kalau kita mengetahui sesuatu akan kematian yang kita ketahui dari dongeng nenek moyang kita, dari tahyul, mengenal siksaan-siksaan sesudah mati, semua itulah yang menimbulkan rasa takut, bayangan kita sendiri yang timbul dari dongeng-dongeng itu."
"Tidak hanya itu, Sukong. Teecu sendiri tidak percaya akan adanya dongeng tentang neraka, akan tetapi teceu merasa ngeri kalau membayangkan kematian."
"Hemm, kalau begitu, yang kau takutkan bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kau takut untuk berpisah dari hidup yang kau kenal ini, takut untuk meninggalkan segala yang kau kenal di dunia kehidupan ini. Andaikata orang-orang yang kau sayang, benda-benda yang kau sukai di dunia ini, dapat bersamamu pergi ke kematian, agaknya takut itu pun akan lenyap. Bukankah begitu?"
Kun Liong berpikir dan mengangguk,
"Agaknya teecu tidak akan takut lagi, Sukong."
"Jelas bahwa orang takut akan kematian karena sesungguhnya dia takut akan berpisah dari isi dunia kehidupan yang disukainya. Bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati. Yang berbeda hanya sebutannya saja karena bagi dia yang tiada lagi ber-aku, setiap saat adalah sama, apa pun yang akan terjadi dengan dia. Mengertikah engkau, Kun Liong?"
Kun Liong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul, akan tetapi mulutnya berkata terus terang,
"Teecu mengerti akan tetapi masih sukar untuk menyelami wejangan ini, Sukong. Akan tetapi, kalau benar Sukong hendak pergi meninggalkan penghidupan ini, perkenankanlah teecu merawat Sukong sampai saat terakhir."
"Jangan, Kun Liong. Sudah tiba waktunya engkau keluar dari sini, biarlah aku melewatkan beberapa hari lagi ini seorang diri saja di sini. Nah, keluarlah dan sampaikan pesanku kepada Thian Kek Hwesio. Pergilah!"
Kakek itu sudah memejamkan matanya kembali sambil duduk bersila.
Kun Liong merasa terharu juga. Selama lima tahun dia tidak pernah berpisah dari kakek itu dan menerima gemblengan-gemblengan yang hebat. Dia berlutut dan membentur-benturkan dahinya di atas lantai depan kaki sukongnya itu, menitikkan air mata, kemudian sambil menarik napas panjang keluarlah dia dari ruangan itu membuka daun pintu, menutupkan lagi dari luar dan melangkah ke ruangan dalam. Dua orang hwesio penjaga terkejut sekali melihat seorang pemuda gundul keluar dari Ruangan Kesadaran. Cepat mereka meloncat menghampiri dan siap untuk menerjang, akan tetapi mereka melongo ketika mengenal Kun Liong, apalagi karena Kun Liong cepat menjura kepada mereka dan berkata,
"Ji-wi Suhu apakah lupa kepada Liong-ji? Aku mendapat pesan dari Sukong untuk disampaikan kepada Thian Kek Losuhu."
"Kau... kau kacung Liong-ji...? Bagaimana bisa keluar dari Ruangan Kesadaran?"
Seorang di antara dua hwesio itu bertanya, membelalakkan matanya dan hampir tidak percaya.
"Panjang ceritanya, akan tetapi Thian Kek Losuhu tentu mengerti, harap bawa aku menghadap beliau."
Dua orang hwesio itu saling pandang, kemudian mereka mengiringkan Kun Liong pergi menghadap Thian Kek Hwesio yang tentu saja tidak kaget melihat munculnya Kun Liong. Kakek tinggi besar ini memandang penuh kagum, juga diam-diam dia girang mempunyai seorang sute (adik seperguruan) begini muda dan gagah.
"Liong-ji, engkau baru keluar sekarang?"
Ketua Siauw-lim-pai itu menyambut dengan Kata-kata ini. Kun Liong segera berlutut di depan kakek itu dan berkata,
"Pertama-tama teecu mohon maaf sebanyaknya bahwa teecu telah membohong kepada Locianpwe. Teecu sebenarnya she Yap bernama Kun Liong, teecu adalah putera tunggal Ayah Yap Cong San di Leng-kok."
Para hwesio yang kebetulan berada di kamar itu terbelalak kaget, akan tetapi Thian Kek Hwesio tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Pengakuanmu ini makin menggirangkan hatiku, Yap-sicu karena berarti babwa Sicu adalah orang sendiri. Tentu saja pinceng (aku) memaafkan hal itu."
"Terima kasih atas kebijaksanaan Locianpwe. Hal ke dua yang perlu teecu laporkan adalah bahwa selama lima tahun ini, teecu berada di dalam Ruangan Kesadaran bersama Sukong."
"Hal itu pun pinceng sudah tahu, Yap-sicu dan pinceng merasa girang sekali mendengar bahwa Suhu berkenan menurunkan ilmunya kepada seorang pilihan seperti Sicu. Mudah-mudahan saja Sicu dapat mempergunakan pelajaran dari Suhu itu untuk membela kebenaran dan keadilan."
"Tentu saja teecu akan memperhatikan pesan Locianpwe. Dan laporan ke tiga dari teecu adalah pesan dari Sukong bahwa Sukong minta agar Locianpwe suka menyediakan sebuah peti mati sederhana untuk Sukong dan kelak Sukong minta agar jenazahnya diperabukan di puncak bukit di belakang kuil tanpa upacara dan tidak perlu memberi tahu Orang-orang kang-ouw."
"Omitohud...!"
Thian Kek Hwesio menangkap kedua tangan ke depan dada dan memejamkan kedua matanya.
"Pinceng akan melaksanakan semua perintah Suhu."
"Sekarang teecu mohon diri dari Locianpwe, akan meninggalkan Siauw-lim-si,"
Kata Kun Liong sambil memberi hormat.
"Nanti dulu, Sicu. Tidakkah Suhu memerintahkan sesuatu untuk Sicu kerjakan?"
"Tidak, Locianpwe."
"Kalau begitu, agaknya Subu menghendaki agar pinceng yang minta bantuan Sicu. Dahulu ketika Suhu memberi tahu kepada pinceng bahwa Sicu diambilnya sebagai murid, Suhu mengatakan bahwa Siculah yang akan ditugaskan untuk mencari kembali dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh maling-maling itu. Karena itu, sekarang pinceng mengharapkan bantuan Sicu untuk mendapatkan kembali dua buah pusaka yang dicuri itu."
"Ahh, jadi maling-maling itu berhasil membawa pergi dua buah pusaka,? Pusaka apakah yang dibawanya dan siapakah maling itu, Locianpwe?"
"Yang diambil adalah sebatang pedang Liong-bwe-kiam (Pedang Ekor Naga) dan sebuah hio-louw emas berukirkan burung hong bermata kemala. Adapun pencurinya, kalau tidak salah dugaan kami adalah tokoh-tokoh dari Kwi-eng-pai yang berpusat di pulau di tengah-tengah Telaga Kwi-Ouw (Telaga Hantu)."
Hwesio tua itu lalu menceritakan tentang dua orang anggauta maling yang tertangkap dan betapa mereka membunuh diri dengan duri kembang hijau sehingga tidak sempat mengaku.
"Yang mengkhawatirkan hati kami adalah Sute Thian Lee Hwesio. Suhu telah memesan bahwa Sicu yang akan mencari kembali pusaka-pusaka yang tercuri, akan tetapi Sute tidak sabar lagi dan dua bulan yang lalu Sute Thian Lee Hwesio sudah diam-diam meninggalkan kuil dan menurut para murid, katanya Sute menyatakan bahwa dia pergi untuk merampas kembali pusaka-pusaka itu. Karena itu, pinceng harap sukalah Sicu membantu dan menyusul Sute ke Kwi-Ouw untuk membantunya mengambil kembali pusaka yang tercuri."
"Baiklah, Locianpwe. Teecu akan berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan kembali dua pusaka itu."
Setelah Thian Kek Hwesio memberi petunjuk kepada Kun Liong di mana letaknya Telaga Hitam, berangkatlah Kun Liong meninggalkan kuil itu. Setelah berada di luar dan melihat pandangan alam yang indah, Terlupalah olehnya akan hal-hal yang tidak menyenangkan, akan kematian sukongnya, akan tugas berat yang dipikulnya, dan yang terasa olehnya hanyalah kelegaan hati yang membuat dadanya seperti melembung dan ringan.
Betapa indahnya pemandangan alam yang telah dipisahkan dengan dia selama lima tahun! Keluar dari Ruangan Kesadaran yang hanya berupa empat dinding tembok itu dan memasuki dunia luas ini, dia seolah-olah seperti hidup lagi, seperti memasuki dunia baru! Hawa yang amat sejuk segar terasa, nikmat dan sedap sekali memasuki paru-parunya, membawa keharuman bau tanah, rumput, pohon dan kembang-kembang. Ingin dia bernyanyi-nyanyi, demikian senang dan gembira hatinya. Begini agaknya perasaan seekor burung yang dilepas dari kurungan selama bertahun-tahun! Hati yang gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat sekali menuruni bukit. Pagi hari itu amat indah dan cerah dan suasana di pegunungan sunyi sekali.
Menjelang tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki-laki yang kelihatannya kuat dan gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para piauwsu dari Sam-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok). Enam orang itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka, maka tidak terjadi sesuatu. Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman untuk
(Lanjut ke Jilid 11)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
Siauw-lim-pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, Dan dia tidak tahu barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu. Dia melanjutkan perjalanamya turun gunung sambil bersenandung dengan hati riang. Sukongnya benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk.
Hidup adalah saat sekarang ini yang sesungguhnya nikmat kalau pikiran kita tidak kita biarkan untuk mengenang hal-hal lalu atau hal-hal mendatang, bahkan kematian bukan merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan. Apa sih kematian? Kita tidak tahu bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut akan sesuatu yang kita belum tahu. Ketakutan timbul dari bayangan-bayangan, dari angan-angan tentang hal yang kita ketahui atau yang kita anggap telah kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau kematian hanya menjadi kelanjutan dari hidup, perlu apa takut? Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang amat menyenangkan. Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh dengan pertentangan, penuh persoalan yang agaknya sambung menyambung tiada kunjung henti. Dan kalau dia pelajari persoalan-persoalan itu,
Kesemuanya timbul dari nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran! Semua demi si akunya manusia, sampai-sampai kebenaran sekalipun ingin dimonopoli. KebenaranKu! Si aku inilah sumber dari segala persengketaan, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, membuat hidup menjadi semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing-masing. Memang benar sukongnya yang berkata bahwa bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati! Setelah hari senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia melihat sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana. Dirogohnya bajunya yang lebar sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya oleh Thian Kek Hwesio.
Lima tahun lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak, hanya makan sayur-sayuran sederhana saja seperti yang dimakan sukongnya. Minumnya pun selama lima tahun itu hanya air jernih. Ada tercium bau arak dan daging panggang dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka masuklah dia ke dalam warung itu, warung kecil yang hanya mempunyai beberapa bangku panjang, meja reyot dan diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di bawah genteng. Tiga orang tamu yang sudah lebih dulu duduk di dalam warung, mengangkat muka memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat Orang-orang itu memandangnya penuh selidik, Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang melayani mereka dan berkata sederhana,
"Bung pelayan, tolong sediakan arak dan bakmi semangkuk!"
Pelayan itu menoleh, kelihatan ragu-ragu dan mengulang,
"Arak? Dan bakmi dengan daging?"
Kun Liong mengangguk, lalu dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku panjang karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah diduduki oleh seorang di antara tiga tamu itu, seorang setengah tua yang berjenggot pendek dan agaknya sudah terlalu banyak minum arak karena mukanya merah dan wajahnya berseri. Dengan menggerakken kedua pundaknya dan bertukar pandang dengan tiga orang tamunya, pelayan itu lalu pergi ke belakang untuk mengambilkan arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong.
"Aku mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan partai persilatan yang paling besar dan telah terkenal sekali bahwa hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang tidak pernah menyeleweng."
Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng digurat menyakitkan anak telinga. Kun Liong melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah seorang di antara tiga tamu tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka pucat.
"Ha-ha-ha-ha, apa yang kau dengar itu memang benar, Kui-suheng (Kakak Seperguruan Kui). Kalau ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan dia itu bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai!"
Kata orang yang duduk sebangku dengan Kun Liong. Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biarpun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut bicara dengan kedua orang temannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong.
"Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw-lim-si bertindak keras sekali dengan hukumannya?"
Tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui?suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi.
"Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiang Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?"
"Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim-pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggautaannya dari Siauw-lim-pai karena pelanggaran."
"Urusan apakah?"
"Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio-taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu,"
Jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam-diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang disebut Pendekar Besar Tio itu.
"Sudahlah, perlu apa bicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim-si. Mudah-mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil."
Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya mencurigakan dan mereka ini besok mau naik ke Siauw-lim-si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi-eng-pai yang telah mencuri pusaka Siauw-lim-si?
"Ucapan Tio-taihiap benar,"
Kata Si Jenggot Pendek.
"Kita harus menghormati para pendeta Siauw-lim-pai yang terhormat, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang-terangan melanggar pantangan di depan umum?"
Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang di tubuh bagian bawah.
Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba-tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja main gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang melanggar pantangan makan daging dan minum arak. Perutnya terasa panas, akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sin-kang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali! Si Muka Merah terbelalak dan heran, lalu menjadi penasaran. Sin-kangnya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andaikata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sin-kang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya!
Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara "krakkk!"
Bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh tenaga raksasa yang tidak tampak! Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu tidak mengulur tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu! Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir?balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinju dan memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak?enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!
"Pendeta palsu hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!"
Si Muka Merah itu membentak marah. Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian yang menegangkan itu. Dia merogoh saku dan menggapai kepada pelayan yang datang membungkuk-bungkuk dengan ketakutan, kemudian membayar harga makanan dan minuman setelah menanyakan harganya. Setelah pelayan bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata,
"Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tidak pernah mengganggu orang baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut-ribut hendak menantang orang?"
"Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!"
"Saudara Song, duduklah!"
Tiba-tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring dan Kun Liong melihat betapa Si Muka Merah itu, biarpun bersungut-sungut, mengangguk tak berani membantah, sudah duduk di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata.
"Siauw suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tidak dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang ganjil, misalnya seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum, makan daging dan arak."
Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia menjawab,
"Sudahlah, tidak ada apa-apa yang harus diributkan kalau hanya karena kesalahpahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul Taihiap, aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku berkepala gundul, minum arak dan makan daging!"
Si Muka Pucat tertawa dan sungguh aneh. Biarpun dia kelihatan mengantuk, setelah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.
"Ha-ha-ha, Song-laote, kau lihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak teliti, menyangka orang yang bukan-bukan dan sudah tergesa-gesa turun tangan sebelum yakin akan kesalahan orang. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak."
Orang she Ong itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong sambil berkata,
"Aihh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan saya tadi, Siauw enghiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!"
Kun Liong cepat menjura,
"Maaf, saya tidak dapat menerima kehormatan itu. Saya adalah seorang petualang biasa yang tidak ada artinya, dan saya lelah sekali ingin mengaso. Maaf!"
Dia lalu melangkah keluar dari warung itu,
Memasuki losmen sederhana, memesan kamar dan merebahkan dirinya di atas dipan di dalam kamar yang sempit itu, melupakan lagi urusan tadi, akan tetapi diam-diam dia masih menaruh hati curiga terhadap ketiga orang yang hendak naik ke Siauw-lim-si. Kecurigaannya ini membuat Kun Liong gelisah dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dia mendahului tiga orang itu naik ke puncak, kembali ke Siauw-lim-si. Sedikitnya dia harus memberitahukan Thian Kek Hwesio akan tiga orang aneh yang hendak mengunjungi kuil dan yang keadaannya mencurigakan agar Siauw-lim-pai dapat berjaga-jaga. Biarpun kini Kun Liong melalui jalan yang jauh lebih sukar daripada ketika dia meninggalkan puncak, yaitu jalannya terus mendaki, namun karena dia tergesa-gesa dan mempergunakan ilmu berlari cepat,
Maka menjelang senja sampai juga dia ke puncak dan memasuki halaman kuil Siauw-lim-si yang amat luas. Heran hati pemuda ini menyaksikan kesibukan anak murid Siauw-lim-pai, dan setelah dia berhadapan dengan ketua dan para tokoh Siauw-lim-pai di ruangan depan, dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar berita bahwa Thian Lee Hwesio telah tewas terbunuh orang dan baru saja kemarin jenazahnya tiba, dibawa oleh rombongan piauwsu yang kemarin dijumpai di tengah jalan. Kiranya yang berada di dalam kereta adalah sebuah peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio! Di dalam ruangan itu terdapat dua buah peti mati dan Kun Liong segera berlutut memberi hormat di depan kedua peti mati itu setelah dia mengetahui bahwa dua peti mati itu berisi jenazah sukongnya, Tiang Pek Hosiang, dan jenazah Thian Lee Hwesio!
"Bukan pinceng tidak mentaati pesan terakhir dari Suhu,"
Kata Thian Kek Hwesio kepada Kun Liong setelah mempersilakan pemuda itu duduk.
"Akan tetapi sebelum kami dapat melaksanakan perintah Suhu dan memperabukan jenazahnya, telah datang jenazah Sute. Maka biarlah kita sekarang mengadakan upacara kepada dua jenazah, apalagi karena sudah sepatutnya kalau jenazah Suhu memperoleh kehormatan dan menerima penghormatan para tokoh kang-ouw yang tentu akan berdatangan mendengar berita kematian Suhu dan Sute. Pinceng harap Sicu akan suka menunggu di sini sampai kedua jenazah disempurnakan."
Kun Liong mengangguk.
"Tentu saja, teecu akan menanti di sini karena teecu juga ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sudah menjadi kewajiban teecu pula untuk menunggu jenazah Sukong sampai diperabukan. Akan tetapi yang sangat mengherankan hati teccu, bagaimanakah Thian Lee Losuhu yang katanya mencari pusaka yang hilang, tahu-tahu kembali dalam keadaan telah tewas dan siapa pula yang mengantar dengan kereta piauwkiok itu?"
"Yap-sicu telah kami beri tugas untuk mencari kembali pusaka sesuai dengan pesan Suhu, sekarang dengan terjadinya kematian Sute, tugas Sicu menjadi lebih berat. Agar jelas, baiknya Sicu mendengar sendiri penuturan para piauwsu yang mengawal jenazah Sute,"
Kata Ketua Siauw-lim-pai yang segera memanggil enam orang piauwsu itu ke ruangan, sedangkan dia sendiri melanjutkan memimpin para anak murid melakukan upacara sembahyangan terhadap dua peti mati terisi jenazah. Enam orang piauwsu itu tercengang juga ketika diperkenalkan kepada Kun Liong yang mereka kenal sebagai pemuda gundul yang kemarin berjumpa dengan mereka di tengah jalan. Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai, mereka segera memberi hormat, apalagi ketika Ketua Siauw-lim-pai minta agar mereka menceritakan semua kepada Kun Lion, pimpinan piauwsu yang bermuka hitam segera mulai dengan penuturannya.
Sam-to piauwkiok adalah sebuah perusahaan pengawalan dan pengiriman barang di kota Lam-san-bun yang sudah amat terkenal karena perusahaan ini dipimpin tiga orang kakak beradik yang tinggi ilmu silatnya, terutama sekali ilmu golok mereka yang sukar dicari tandingannya, sehingga terkenallah sebutan Sam-to-eng (Tiga Pendekar Golok). Karena itu, perkumpulan yang juga memakai nama Tiga Golok ini amat dipercaya orang untuk mengawal pelancong atau barang-barang berharga. Pada suatu hari, seorang pemuda tampan datang berkereta dan membawa sebuah peti yang panjang besar, menyerahkan peti itu kepada Sam-to piauwkok dan minta agar peti itu dikirimkan secepatnya ke Siauw-lim-pai dengan biaya mahal dan dibayar kontan pula!
"Karena pada waktu peti itu datang tiga orang pimpinan kami sedang tidak ada di rumah, maka kami sebagai pembantu?-pembantunya menerima barang itu dan kami tidak mengutus anak buah, melainkan kami mengawalnya sendiri mengingat akan baiknya hubungan antara tiga orang pemimpin kami dengan Siauw-lim-pai. Karena barang kiriman itu untuk Siauw-lim-si, maka harus kami jaga agar jangan sampai terjadi sesuatu di tengah jalan. Sama sekali kami tidak pernah menyangka bahwa peti itu berisi... berisi..."
"Jenazah Thian Lee Losuhu?"
Kun Liong melanjutkan karena pemimpin para piauwsu yang bermuka bitam itu kelihatan gagap.
"Benar, Yap-sicu. Kalau kami tahu apa isinya, hemmm... tentu kami akan menahan dia!"
"Siapakah dia yang mengirim peti itu?"
"Seorang pemuda tampan, dan sekarang, melihat bahwa peti itu berisi jenazah wakil Ketua Siauw-lim-pai, timbul dugaan kami babwa agaknya pemuda itu adalah penyamaran dari dia..."
Si Muka Hitam yang biasanya bersikap gagah itu kelihatan ragu-ragu dan jerih, tampak dari matanya yang otomatis melirik ke kanan kiri, seolah-olah dia merasa takut kalau?kalau suaranya terdengar orang lain!
"Siapakah dia yang kaumaksudkan?"
"Giok... hong... cu..."
Kun Liong mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengenal nama julukan Giok-hong-cu (Si Burung Hong Kemala) itu.
"Hemmm, dia itu orang apakah?"
Pemimpin rombongan piauwsu itu memandang dengan heran, kemudian dia dapat menduga bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw-lim-pai itu agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang-ouw, maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata,
"Dia adalah seorang wanita muda yang namanya tersohor di seluruh dunia kang-ouw selama dua tahun ini. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak terjangnya ganas sekali dan melihat betapa banyaknya tokoh-tokoh golongan putih yang menjadi korban keganasan tangannya, agaknya dia adalah seorang tokoh baru golongan hitam, sungguhpun ada pula golongan hitam yang dibasminya. Dia seorang tokoh penuh rahasia dan melihat bahwa isi peti adalah jenazah wakil Ketua Siauw-lim-pai, kami terus saja ingat kepadanya."
"Hemm, sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapapun juga orang itu."
Kun Liong membantah, hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh seorang wanita muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Lee Hwesio.
"Kami tidak menuduh sembarangan!"
Si Muka Hitam membantah.
"Biarpun dia berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan suara serta gerak-geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang menyamar."
"Tapi bagaimana kau dapat memastikan dia itu tokoh wanita yang berjuluk Giok-hong-cu?"
"Karena Giok-hong-cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda itu, di bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari batu kemala. Kabarnya, kami sendiri belum pemah bertemu dengan Giok-hong-cu, tokoh itu pun selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu kemala, maka benda itu dijadikan julukannya karena tidak ada seorang pun tahu siapa namanya."
Kun Liong mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan tuduhan ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan penyelidikannya kelak.
Dia bertugas dan ini perintah mendiang sukongnya, untuk mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang. Dan karena Thian Lee Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka agaknya pembunuh hwesio tua itu tentulah orang yang mempunyai hubungan dengan pencurian pusaka itu. Dahulu pun orang yang memimpin pencurian, yang telah melukainya, adalah seorang pemuda yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi, pemuda itu dahulu berkedok saputangan, dan tubuhnya memang kecil namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw-lim-pai, dua orang pencuri yang tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali adalah anggauta Kwi-eng-pai di Kwi-Ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri.
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah Giok-hong-cu yang kau sebut itu seorang anggauta Kwi-eng-pai?"
Tanyanya. Kembali piauwsu itu kelihatan kaget dan jerih, menggeleng kepala dengan kuat.
"Ah, saya rasa tidak ada hubungannya dengan Kwi-eng-pai... akan tetapi entahlah, sepanjang pendengaran kami, Giok-hong-cu selalu bergerak sendiri. Kwi-eng-pai terlalu besar untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak pernah menyebut nama perkumpulan itu."
Kun Liong mengangguk-angguk.
"Jadi orang yang mungkin sekali menyamar Giok-hong-cu itu mendatangi Sam-to piauwkiok di Lam-san-bun? Apakah memang dia tinggal di Lam-san-bun?"
"Yap-sicu, siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya? Akan tetapi memang pada bulan-bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara Lam-san-bun sampai ke kota raja."
Kun Liong merasa lega mendengar keterangan ini. Biarpun dia belum yakin benar bahwa tokoh wanita terkenal itu yang membunub wakil Ketua Siauw-lim-pai, namun sedikitnya dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san-bun dan kota raja.
Para piauwsu Sam-to piauwkiok itu tidak lama berada di Siauw-lim-si. Mereka segera berpamit untuk kembali ke Lam-san-bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada tiga orang pimpinan mereka. Setelah para piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga orang yang ditemuinya di warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti pada waktu itu, setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim-pai, maka setiap orang yang datang ke Siauw-lim-si tentu mengandung niat yang meragukan. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah Orang-orang biasa, adalah anak buah Kwi-eng-pai atau setidaknya mempunyai hubungan dengan pembunuh Thian Lee Hwesio.
Pikiran ini mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan kuil, menanti munculnya tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama, karena segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu-tunggu itu berlari mendaki puncak dengan gerakan cepat. Diam-diam dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka itu adalah Orang-orang berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah ia saksikan kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu menyambar cawan arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar kembali ke dalam cawan, membuktikan tenaga sin-kang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga orang itu menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya,
Dia benar-benar tercengang dan kecurigaannya bertambah. Siauw-lim-pai telah kedatangan tiga orang lawan berat, pikirnya. Lebih baik dia menghalangi mereka itu di luar agar tidak mengacaukan dalam kuil di mana sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam peti-peti mati. Hari masih pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi karena semua hwesio sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para pimpinan yang melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam-keng (doa) mereka dan suara ketukan?ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian puji-puji yang penuh khidmat. Tiga orang itu menghentikan gerakan kaki mereka dan berdiri berhadapan dengan Kun Liong.
Si Pengantuk berusaha melebarkan matanya yang sipit ketika melihat Kun Liong, sedangkan Si Muka Merah dan yang seorang lagi memandang dengan penuh keheranan dan juga mereka kelihatan marah ketika mengenal bahwa yang menghadang di tengah jalan itu bukanlah seorang hwesio yang menyambut kedatangan mereka, melainkan pemuda gundul yang pernah ribut dengan Si Muka Merah di dalam warung! Kalau tadinya mereka itu sudah menghabiskan kecurigaan mereka setelah mendengar bahwa pemuda itu bukan seorang hwesio, kini mereka menjadi curiga lagi melihat pemuda itu menghadang mereka di depan pintu gerbang kuil Siauw-lim-si! Orang she Tio yang tinggi kurus dan seperti mengantuk, sudah mendahului dua orang kawannya, maju dan menjura kepada Kun Liong sambil berkata,
"Kiranya sahabat muda yang menghadang kami di sini. Harap kau orang muda suka minggir dan membiarkan kami pergi memasuki kuil Siauw-lim-si, dan kalau ada urusan dengan kami, biarlah akan kita bicarakan kelak kalau urusan kami di Siauw-lim-si sudah selesal."
Kun Liong bersikap tenang akan tetapi dia menggeleng kepalanya.
"Pada saat ini Siauw-lim-si tidak menerima kunjungan Orang-orang asing. Harap Sam-wi kembali saja dari mana Sam-wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu sedang sibuk."
"Eh, eh, omongan apa ini?"
Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan.
"Engkau bilang bahwa kau bukan seorang hwesio biarpun kepalamu gundul. Sekarang engkau menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim-si. Sebenarnya siapakah engkau dan apa kehendakmu terhadap kami?"
"Aku adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw-lim-pai, karena itu aku harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim-si."
"Manusia sombong! Apakah ehgkau menantang berkelahi?"
Si Muka Merah membentak. Kun Liong menggeleng kepalanya.
"Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan, apalagi terhadap Siauw-lim-pai. Karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim-pai yang sedang sibuk."
"Bocah lancang! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong seperti engkau layak dihajar!"
Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya,
"Saudara Song, jangan!"
Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia marah bukan main. Kini Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan memandang penuh selidik, kemudian berkata,
"Sahabat muda, engkau dengan tegas melarang kami memasuki kuil Siauw-lim-si dan menuduh kami hendak mengadakan pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukari kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi kami."
Kun Liong menggeleng kepalanya.
"Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan kepada Ketua Siauw-lim-pai dan kalian menanti dulu di sini."
Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar.
"Orang muda, kami memang ada urusan penting dengan Ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi urusan ini tidak dapat kuberitahukan kepada siapapun juga."
"Kalau begitu menyesal sekali, harap kalian suka pergi lagi saja."
Kun Liong berkata tegas.
"Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?"
"Terpaksa aku mencegah kalian."
"Orang muda, engkau menantang kami?"
"Nah, lagi-lagi aku dituduh menantang!"
Kun Liong tersenyum.
"Engkau ini orang tua disebut taihiap yang berarti pendekar besar dan dengan sendirinya tentu seorang pendekar maklum akan duduknya perkara. Sam-wi datang hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam-wi dan minta agar Sam-wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam-wi hendak memaksa. Tentu saja kalau Sam-wi memaksa aku akan mencegah. Eh, kini Sam-wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?"
Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya dingin dan tegas.
"Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga berani bicara main-main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!"
"Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir."
"Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita memutuskan urusan ini dengan mengadu kepandalan."
"Aku tidak mau berkelahi."
Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi,
"Dia pengecut!"
"Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti bukan pengecut,"
Bantah Kun Liong yang tersinggung juga disebut pengecut.
"Kalau berani, majulah!"
Tantang Si Muka Merah.
"Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!"
"Eh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!"
"Maksudku sudah jelas, Taihiap. Aku minta agar kalian bertiga tidak memasuki kuil dan suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?"
"Bocah sombong! Tio-taihiap, biar aku menghajarnya!"
Orang she Song yang bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu sengaja mempermainkan mereka.
Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun Liong. Pukulan kasar ini biarpun dilakukan dengan pengerahan sin-kang dan cepat serta keras sekali datangnya, bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan serangan berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan dengan dadanya sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu. Dengan sin-kang yang sama, Bun Hwat Tosu dahulu pernah menerima pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui-hong-pang tanpa terluka, bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik hawanya.
"Bukkkk!"
Keras sekali datangnya pukulan itu, mengenai dada Kun Liong dan membuat tubuh pemuda gundul itu terguncang, namun berkat tenaga sin-kang yang menolak dan membetot, tangan yang memukul itu meleset seolah-olah memukul karet yang amat keras dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu telah bengkak-bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.
"Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu tadi?"
Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya.
"Saudara Song, jangan main senjata!"
Si Pengantuk menegur.
"Sute, mundurlah!"
Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekaii pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai darlpada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah mengirm totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong. Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali.
Dia maklum bahwa amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sin-kang seperti yang dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat. Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan seruannya saking kagum. Gerakan Kun Liong jauh lebih cepat daripada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi-tubi yang dilanjutkan oleh orang she Kui itu selalu tak dapat berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan kalau semua serangan itu gagal karena Kun Liong sudah melindungi dirinya dengan gerakan Ilmu Silat Sakti Im?yang-sin-kun bagian pertahanan.
Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap dasar-dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda itu hanya mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, sedangkan perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dia kenal! Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apalagi ilmu silat yang berdasar Siauw-lim-pai. Ketika kakek pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tidak membalas serangan temannya, namun semua serangan temannya itu sama sekali tidak pernah berhasil tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda gundul yang amat aneh ilmu silatnya itu. Maka dengan gerakan ringan sekali seperti seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan temannya, menarik sambil berseru,
"Mundurlah, Saudara Kui!"
Tubuh orang she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan. Kun Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu?-tahu lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang ia tahu amat lihai.
"Sam-wi benar-benar keras kepala dan ingin mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak sendiri!"
Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga menghadapi lawan yang ia tahu tak boleh dipandang ringan itu.
"Orang muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!"
Si Pengantuk sudah menyerang, akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang temannya tadi, Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya, dan ujung jari tangan kirinya melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah leher dan pundak Kun Liong. Pemuda itu terkejut bukan main. Biarpun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak sungguh-sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat dia pun mengerahkan tenaganya ke arah tangan, menggerakkan tangan kanannya menangkis jari-jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih.
"Plak! Plakkk!"
Kakek pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia tahu benar bahwa jarang ada orang kang-ouw yang sanggup menangkisnya tanpa terdorong mundur atau terluka tangannya. Pemuda itu menangkis dengan kekuatan dahsyat dan sama sekali tidak kelihatan menderita! Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap putih yang aneh! Lagi-lagi dia tadi telah mempergunakan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang. Kalau lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin yakinlah hatinya bahwa lawannya ini benar-benar berilmu tinggi!
"Orang muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!"
Kakek pengantuk itu berkata, kedua lengannya bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah seluruh tulang-tulang lengannya patah-patah! Kun Liong yang belum berpengalaman, memandang dengan mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mujijat.
"Omitohud... harap tahan dulu, Tio-taihiap...!"
Si Pengantuk dan Kun Liong yang sudah siap untuk bertanding mati-matian karena maklum bahwa lawan tak boleh dibuat main?main, segera melangkah mundur dan menoleh. Kiranya Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim-pai yang telah berada di situ. Melihat kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang temannya dan Si Pengantuk berkata,
"Harap Thian Kek-suhu suka memaafkan kami..."
Thian Kek Hwesio memandang Kun Liong dengan terheran-heran lalu bertanya,
"Yap-sicu, apakah yang telah terjadi?"
Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu benar-benar mengenal Ketua Siauw-lim-pai! Dengan terus terang dia menjawab,
"Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau Siauw-lim-si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi pertengkaran."
Hwesio tua itu tampak kaget sekali.
"Aihhh... engkau tidak tahu siapa yang kautentang ini, Sicu!"
Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata.
"Harap Taihiap sudi memaafkan Yap-sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap-sicu berniat baik untuk membela Siauw-lim-pai. Dia adalah seorang sahabat kami yang baik... dan Yap-sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan dan Tio-taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!"
Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas mencegah Ketua Siauw-lim-pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata,
"Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja."
Hwesio itu mengangguk-angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam-diam dia terkejut mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi. Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu memiliki sin-kang yang amat kuat.
Biarpun dia belum pernah mendengar nama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, namun melihat sikap Ketua Siauw-lim-pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk ini tentu seorang tokoh kang-ouw yang terkenal. Memang demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang ketihatan seperti seorang pengantuk itu bukanlah seorang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nama besar Panglima The Hoo siapakah yang tidak mengenalnya? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai. Melihat orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur!
Aken tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo melakukan pelayaran memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan menjelajah di negara-negara asing. Adapun dua orang temannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han, berusia empat puluh lima tahun sedangkan sutenya, Si Muka Merah bernama Song Kin berusia empat puluh tahun. Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah, dia terkejut bukan main. Apalagi ketika mendapat keterangan bahwa peti-peti itu terisi jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio!
"Ah... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan berani datang mengganggu!"
Katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh khidmat. Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menyebabkan kematian dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Thian Kek Hwesio memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
"Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tidak ada yang harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, kalau Suhu meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah amat tua, adalah Sute Thian Lee Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali."
Dia lalu menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu-menahu datang membawa peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio yang terbunuh orang!
"Sungguh penasaran sekali!"
Tio Hok Gwan berseru.
"Ini merupakan tanda bahwa kaum sesat di dunia kang-ouw sudah mulai berani bergerak lagi!"
Tentu saja hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw-lim-pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah! Ketika diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan berkata,
"Harap Tio-taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal telah bersikap kurang hormat."
Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan mata hampir terpejam, kemudian mengangguk-angguk dan memuji,
"Yap-sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang kami kenal. Siauw-lim-pai boleh merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga Siauw-lim-pai dengan gagah."
Sebagai tamu-tamu yang dihormati, tiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan, sungguhpun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetespun arak! Kun Liong yang dianggap "keluarga sendiri"
Juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim-pai bertanya,
"Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentulah membawa urusan yang amat penting. Pinceng harap Sam-wi tidak bersikap sungkan, dan biarpun di sini sedang tertimpa malapetaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam-wi. Maka harap Sam-wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam-wi bawa dari kota raja."
Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut menceritakan keperluan kedatangannya. Akhirnya dia berkata setelah beberapa kali meragu,
"Memang benar apa yang Losuhu katakan. Kalau kami tahu bahwa di Siauw-lim-pai terjadi hal yang amat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami hanya khusus untuk melayat dan berkabung. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri."
Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu,
"Pinceng dan para anak murid Siauw-lim-pai siap untuk melaksanakan perintah Yang Mulia Panglima The."
"Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebetulnya tidak ada permintaan sesuatu kepada Losuhu dan Siauw-lim-pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim-pai dengan dunia kang-ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw-lim-pai dalam hal ini."
Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas, bahwa urusan itu tidak langsung menyangkut Siauw-lim-pai sehingga tidak akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan sikap ramah dia berkata,
"Harap Tio-taihiap tidak bersikap sungkan dan ceritakanlah, bantuan apa yang dapat kami berikan kepada Taihiap demi terlaksananya perintah yang mulia itu."
Tio Hok Gwan lalu bercerita dengan suara perlahan namun jelas,
"Panglima The telah kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya dirahasiakan saja dan tidak dibocorkan ke luar karena telah diketahui bahwa yang mencuri dan melarikan pusaka itu adalah seorang pengawal panglima sendiri. Diam-diam panglima mengutus orang-orang kepercayaannya untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang mencuri pusaka itu.
Pusaka Pulau Es Eps 4 Pedang Kayu Harum Eps 46 Pedang Kayu Harum Eps 23