Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 25


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



Mereka bersuit panjang dan seorang demi seorang melompat keluar dari perahu besar. Para anak buah perahu besar menjenguk ke luar, melihat betapa para bajak yang pandai berenang itu saling bantu menyelamatkan diri dengan perahu-perahu kecil mereka dan sebentar saja perahu-perahu itu lenyap ditelan kegelapan malam. Kun Liong dirubung semua orang. Kakek asing itu memerintahkan agar perahunya mengambil arah ke utara, menjauhi sebuah pulau yang sore tadi nampak, karena dia menduga bahwa agaknya bajak-bajak itu datang dari pulau itu, daratan yang terdekat dari situ. Kun Liong menghapus peluh dan air laut yang membasahi muka, leher dan kepalanya yang gundul. Dia dihujani pertanyaan oleh orang-orang yang merubungnya, akan tetapi karena pertanyaan itu ditujukan dalam bahasa asing, dia hanya tersenyum, tak tahu apa yang mereka maksudkan.

   "Kalian telah menolong aku dari laut, sudah semestinya aku membantu kalian mengusir bajak-bajak jahat itu,"

   Katanya berkali-kali karena dia menduga bahwa agaknya mereka itu menyatakan terima kasih mereka. Makin bingunglah Kun Liong ketika muncul dara jelita bermata biru tadi bersama tiga orang wanita muda lain yang agaknya adalah pelayan-pelayannya. Tiga orang wanita muda yang rambutnya memakai kerudung dan wajahnya manis-manis, sikapnya genit-genit itu pun menghujaninya dengan pertanyaan, senyuman dan kerling mata penuh kagum, membuat Kun Liong tersenyum meringis dengan kemalu-maluan sambil memandang ke arah dara jelita yang sejak tadi memandangnya dengan senyum dan pandang mata kagum.

   "Ahhh, ternyata engkau sebangsa pendekar yang sering kudengar diceritakan kakakku. Dan engkau memang hebat, pendekar gundul...!"

   Kata dara jelita itu. Kun Liong tersenyum-senyum dan menggerak-gerakkan kepalanya yang gundul. Baru sekarang gundulnya tidak dipergunakan orang untuk mengejek atau dianggap pendeta, melainkan dijadikan sebutan pendekar gundul!

   "Aaaah, aku... aku biasa saja, Nona...!"

   Katanya agak gagap karena sinar mata biru itu benar-benar mempesona.

   "Heiiii, jangan dirubung seperti ini! Minggir, minggir!"

   Tiba-tiba kakek asing itu datang dan sambil tertawa girang dia menyodorkan tangannya kepada Kun Liong. Tentu saja Kun Liong tidak mengerti dan memandang tangan yang disodorkan, bahkan otomatis sin-kangnya bergerak ke arah perut dan dada karena dia mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya! Sebetulnya kakek asing itu mengajaknya bersalaman, tanda menghormat bagi bangsanya. Akan tetapi persangkaan Kun Liong lain lagi. Melihat tangan yang besar dan kelihatan kuat itu diacungkan miring seperti hendak menyodoknya, otomatis dia "memasang"

   Sin-kangnya melindungi perut dan memandang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik!

   "Perkenalkan, saya adalah Richardo de Gama. Siapakah nama Tuan Muda yang gagah perkasa dan yang telah menolong dan menyelamatkan kami dari serbuan bajak laut?"

   Mendengar ucapan yang kaku namun jelas itu barulah Kun Liong mengerti bahwa dia salah sangka, maka ketika tangan itu menjabat tangannya, dan mengguncang-guncang, dia diam saja tidak menarik tangannya dan balas tersenyum ramah. Apalagi mendengar nama itu, teringatlah dia akan Yuan de Gama!

   "Nama saya Yap Kun Liong dan harap Tuan jangan bicarakan tentang pertolongan. Bajak-bajak itu memang jahat dan pantas diusir. Mendengar nama Tuan, apakah Tuan masih ada hubungan dengan Yuan de Gama?"

   "Yuan...?"

   Terdengar seruan halus dan ternyata dara permata biru tadi yang berseru dan memegang lengan Kun Liong, memandangnya penuh perhatian.

   "Yuan adalah kakakku. Apakah engkau kenal dengan Yuan?"

   Berseri wajah Kun Liong. Kiranya dara jelita ini adalah adik perempuan Yuan de Gama. Dengan mata terbelalak dan terpesona menatap wajah cantik dan mata biru itu, dia menggumam,

   "Engkau... Adik Yuan?"

   Gadis itu mengangguk. Manis sekali ketika senyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih mengkilap.

   "Aku Yuanita... Yuanita de Gama."

   "Yuanita...!"

   Nama yang terdengar aneh, lucu dan indah bagi telinga Kun Liong, dan ketika dia menyebut nama itu, logat lidahnya juga terdengar aneh dan lucu bagi Yuanita, lucu akan tetapi menyenangkan sehingga dia tertawa geli.

   "Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan dia, seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa,"

   Kun Liong melanjutkan kata-katanya dengan setulusnya karena memang dia menyaksikan sikap Yuan de Gama yang pernah bertanding dalam beberapa jurus dengannya dan pernah dilihatnya ketika pemuda itu menyelamatkan Li Hwa.

   "Ha-ha-ha! Kiranya sahabat Yuan! Pantas saja begini hebat. Tuan Muda, ternyata engkau adalah seorang tamu kehormatan, seorang sahabat baik. Terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami dengan engkau!"

   "Ayah, pakaian Yap-taihiap (Pendekar Besar Yap) basah semua dan robek-robek. Selayaknya seorang tamu agung disambut dengan hormat dan baik,"

   Kata Yuanita.

   "Ha-ha-ha! Saking girang hatiku, aku sampai lupa. Terserah kepadamu!"

   Kata kakek itu. Yuanita lalu memberi aba-aba kepada tiga orang pelayannya. Tiga orang gadis yang genit-genit itu tertawa, lalu mereka memegang kedua lengan Kun Liong dan menarik-narik pemuda itu memasuki ruangan perahu di bawah.

   "Eh-eh... apa ini...? Ke mana...? Eh, mengapa menyeret saya...?"

   Kun Liong membantah, akan tetapi dia pun tidak tega untuk menggunakan kekerasan, maka dia membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh tiga orang pelayan muda itu, diikuti suara ketawa bergelak dari Richardo de Gama dan anak buahnya serta senyum lebar yang manis dari Yuanita. Kun Long yang tersenyum-senyum masam karena malu dan bingung itu ditarik oleh tiga orang pelayan wanita muda dan genit-genit yang tertawa-tawa itu ke dalam sebuah kamar di perahu itu.

   "Eh, kalian ini mau apa?"

   Berkali-kali Kun Liong bertanya. Akan tetapi tiga orang wanita itu mengeluarkan ucapan dalam bahasa asing yang sama sekali tidak dimengerti oleh Kun Liong. Mereka menunjuk-nunjuk ke sebuah tong kayu besar bundar yang terisi air jernih. Karena tidak mengerti, Kun Liong menghampiri tong air itu dan menjenguk ke dalam. Airnya jernih sekali, akan tetapi tidak ada apa-apanya yang aneh, maka dia tersenyum menyeringai, memandang tiga orang gadis pelayan itu berganti-ganti dan mengangkat pundaknya.

   "Ini air... dalam tong, airnya jernih sekali, tapi ada apa?"

   Kun Liong bertanya. Tiga orang itu saling pandang, lalu saling bicara ramai dalam bahasa yang bagi telinga Kun Liong seperti kicau burung yang tidak karuan artinya. Kemudian seorang di antara mereka, yang agaknya sudah dapat "memungut"

   Sepatah dua patah kata-kata dalam bahasa pribumi, menunjuk ke arah air di tong air itu sambil berkata kaku,

   "Mandi...! Man-di...!"

   "Mandi...!"

   Dua orang gadis lainnya bersorak dan menunjuk-nunjuk ke tong air. Kun Liong terbelalak,

   "Mandi...?"

   Dia bertanya dan memandang bingung. Jadi dia disuruh mandi? Dipandangnya pakaiannya yang basah kuyup dan robek, dan hidungnya memang mencium bau amis air laut. Dilihatnya seorang di antara tiga pelayan wanita muda itu menuangkan sesuatu dari dalam botol kecil dan terciumlah bau wangi sekali ketika isi botol itu memasuki air di tong.

   "Mandi...!"

   Tiga orang dara itu berkali-kali mendesaknya. Kun Liong makin bingung. Ah, lebih baik diturut saja kehendak tiga siluman cantik ini, pikirnya, kalau tidak tentu mereka tiada akan sudahnya mengganggunya.

   "Baiklah. Aku akan mandi. Nah, kalian keluarlah dari kamar ini!"

   Telunjuknya menuding ke arah pintu kamar itu. Tiga orang gadis itu saling pandang dan kelihatan bingung. Mereka kelihatan menjadi hilang sabar dan mendekati Kun Liong, mendorong-dorongnya dengan halus sambil menunjuk-nunjuk ke arah tong air dan bibir mereka berkata dengan kaku dan sukar,

   "Mandi... mandi... mandi...!"

   Celaka, pikir Kun Liong. Kalau dia menolak dan memaksa diri lari keluar untuk membebaskan diri dari desakan tiga orang gadis itu, tentu dia akan menghadapi keadaan yang membuatnya tidak enak dan canggung. Begitu pun aneh dan asingnya, jelas bahwa pihak tuan rumah bersikap hormat dan baik kepadanya. Agaknya karena mereka tadi melihat pakaiannya kotor basah dan robek, dia dipersilakan mandi lebih dulu. Akan tetapi mana mungkin mandi dijaga oleh tiga orang gadis pelayan yang cantik-cantik, genit-genit, dan cerewet akan tetapi tidak dia mengerti ucapannya itu?

   "Baiklah! Mandi ya mandi...!"

   Akhirnya dia berkata kesal dan serta merta dia meloncat ke dalam tong air!

   "Byuuurrr...!"

   Air itu sungguh sejuk menyegarkan dan berbau harum! Seperti induk-induk ayam berkotek, petok-petok dengan sikap yang sibuk sekali, tiga orang gadis pelayan itu mengelilingi tong air. Mereka berteriak-teriak tanpa dimengerti oleh Kun Liong, kemudian seorang di antara mereka agaknya ingat akan hafalannya dan berkata,

   "Pakaian... pakaian...!"

   "Hehh? Apa? Pakaian...?"

   Kun Liong tidak mengerti dan tiba-tiba tiga orang gadis pelayan itu menyerbunya, menarik-narik baju dan celananya dengan paksa untuk menanggalkan pakaiannya!

   "Heiii... eh-eh, heeiiittt... aduh bagaimana ini...?"

   Kun Liong berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang wanita muda itu tertawa-tawa dan tidak mau melepaskan lagi pakaiannya sehingga akhirnya baju dan celananya terlepas dan ditarik lolos dari tubuhnya.

   "Wah, kalian rusuh...! Kailan melanggar susila...! Wah, bagaimana ini...?"

   Kun Liong yang kini telanjang bulat itu merendam tubuh di dalam air dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi bawah pusar. Hanya kepalanya yang gundul itu tampak di atas permukaan air, kepalanya menjadi merah mengikuti warna mukanya, merah karena jengah, malu, dan juga bingung dan ngeri!

   Akan tetapi tiga orang gadis pelayan itu tidak mempedulikan semua protesannya. Mereka melemparkan pakaian kotor itu di sudut kamar, kemudian dengan senyum manis mereka menyerbu Kun Liong dan mulailah mereka memandikan pemuda itu. Ada yang menyabuni tubuhnya, ada yang menggosok-gosok kepala gundulnya, dan ada yang menggunakan air harum itu menyiram mukanya. Sabun itu pun wangi sekali dan kini mengertilah Kun Liong bahwa mereka itu ternyata benar-benar sedang memandikannya! Digosok-gosok dan dipijit-pijit pundaknya, terasa nyaman sekali sehingga dia tidak meronta lagi. Hanya bersandar kepada pinggiran tong itu dengan kedua tangan masih melindungi anggauta rahasianya dan matanya merem melek, bukan karena keenakan saja melainkan karena kadang-kadang terasa pedas kemasukan air sabun. Mulutnya mengomel panjang pendek, sungguhpun bukan omelan marah lagi.

   "Ihh, kalian ini apa-apaan sih? Apakah aku ini dianggap bayi? Mentang-mentang kepalaku gundul... masa ada bayi sebegini besarnya? Sudahlah, sudah... aku bisa mandi sendiri!"

   Akan tetapi tentu saja tiga orang gadis itu tidak mengerti ucapannya dan terus memandikannya sambil bicara sendiri dalam bahasa mereka, tersenyum-senyum dan kadang-kadang, seorang di antara mereka yang termanis dan tergenit, menggunakan telunjuk dan ibu jari tangannya mencubit paha Kun Liong.

   Menghadapi tiga dara yang berwajah cantik manis, bersikap lincah dan genit, mencium bau harum dari air tong, sabun, dan yang keluar dari rambut dan pakaian tiga orang pelayan itu, merasakan betapa jari-jari tangan yang halus itu memijit-mijitnya dengan mesra, mendengar suara mereka bersendau-gurau biarpun dia tidak mengerti artinya, semua ini mendatangkan perasaan aneh pada dirinya. Debar jantungnya makin keras, menggedur-gedur seperti akan memecahkan dadanya, tubuhnya panas dingin dan tegang. Keadaan dirinya ini membuat Kun Liong menjadi makin bingung dan akhirnya dia maklum bahwa kalau tiga orang pelayan itu tidak segera pergi, dia takkan kuat bertahan dan entah akan apa jadinya!

   "Sudah! Sudah... cukup! Aku bisa mandi sendiri. Pergilah kalian, pergilah...!"

   Katanya sambil menggunakan sebelah tangan menepuk-nepuk air sehingga air memercik ke arah muka tiga orang pelayan itu, sedangkan tangan yang sebelah lagi tetap dipergunakan untuk menutupi tubuh bawah. Karena Kun Liong mempergunakan sin-kang, maka tepukannya itu mengandung tenaga kuat sekali sehingga percikan air itu terasa pedas dan panas ketika mengenai muka tiga orang pelayan itu. Mereka menjerit dan mundur kemudian bicara dalam bahasa mereka dan seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk pakaian yang ditaruhnya di atas bangku.

   "Keluar! Keluarlah kalian!"

   Kun Liong berkata sambil menuding ke arah pintu. Tiga orang pelayan itu mengangkat pundak, menggerakkan kepala untuk memindahkan gumpalan rambut yang terurai itu ke belakang, kemudian sambil tersenyum dan tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu. Bukan main lega hati Kun Liong. Cepat sekali, takut kalau mereka kembali, dia meloncat keluar dari tong air. menyambar handuk dan menyusuti tubuhnya yang basah, kemudian mencari-cari pakaiannya. Celaka, pakaiannya tidak ada lagi, tentu diambil oleh gadis-gadis itu! Karena takut mereka itu kembali sebelum tubuhnya yang telanjang itu tertutup pakaian, dia lalu menyambar pakaian yang ditinggalkan oleh mereka di atas bangku.

   Ternyata pakaian itu adalah sepotong celana dan sepotong baju yang bersih dan aneh karena selain jubah berlengan panjang terdapat pula baju berlengan pendek dan kain pembungkus atau pelindung leher. Terpaksa dia memakai pakaian itu dan diam-diam dia mengeluh ketika dia melihat tubuh bawahnya yang sudah bercelana. Celana itu potongannya sempit sekali sehingga biarpun seluruh pakaiannya tertutup, dia merasa seperti masih telanjang! Betapapun juga, ini jauh lebih baik daripada tidak berpakaian sama sekali. Maka, sambil mengingat-ingat cara Yuan de Gama berpakaian, dia lalu memakai rompi dan jubahnya, sedangkan pelindung leher itu hanya dia kalungkan saja di lehernya. Di ujung kamar itu terdapat sebuah cermin. Ketika Kun Liong melihat bayangannya sendiri di cermin itu, dia menyeringai. Betapa lucu keadaannya! Daun pintu kamar terbuka, dan terdengar suara halus,

   "Sudah selesaikah Taihiap mandi? Kami telah menunggu-nunggu Taihiap untuk makan malam."

   Kun Liong cepat membalikkan tubuh dan memandang Yuanita. Sejenak dia terpesona. Dara ini agaknya sudah bertukar pakaian. Pakaian dari sutera biru yang panjang sampai ke kaki, rambutnya disanggul indah dan dihias permata. Teringatlah dia akan keadaannya sendiri dan tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Dara ini demikian cantik jelita, sedangkan dia seperti badut!

   "Maaf... aku... aku tentu kelihatan seperti seorang badut wayang!"

   Akhirnya dia berkata ketika dia melihat betapa dara itu pun memperhatikannya. Yuanita tertawa. Tertawa dengan bebas lepas, tidak malu-malu atau menutupi mulut yang tertawa dengan tangan seperti kebiasaan dara-dara pribumi. Akan tetapi anehnya, kebebasan dara ini tidak membayangkan kekasaran, padahal tertawa seperti itu kalau dilakukan oleh seorang gadis pribumi, tentu akan kelihatan kasar dan tidak sopan! Kun Liong makin kikuk, mengira bahwa dara itu tentu mentertawakan keadaan pakaiannya yang lucu dan tidak cocok untuknya itu.

   "Aku seperti badut dan... dan Nona... begitu cantik seperti bidadari...!"

   Yuanita menghentikan tawanya dan kini dia memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh kagum.

   "Yap-taihiap, engkau mengingatkan aku kepada seorang panglima muda di Thian-cin yang menjadi utusan Kaisar menemui Ayah. Aku amat kagum kepada panglima muda itu, tampan, gagah perkasa dan... seperti engkau. Hanya bedanya, dia angkuh sedangkan engkau begini rendah hati. Hal ini membuat aku makin kagum kepadamu, Taihiap. Engkau telah memperlihatkan kegagahan, menolong kami, engkau begini gagah dan tampan akan tetapi engkau merendahkan diri dan memuji-muji orang lain."

   Kata-kata ini membuat Kun Liong makin merasa canggung.

   "Ahhh, aku... aku orang biasa saja... seorang gundul yang..."

   Kembali Yuanita tertawa dan melangkah maju, menggandeng lengan Kun Liong sambil berkata,

   "Sudahlah, kalau engkau merendah terus seperti itu, aku bisa menjadi bersedih dan menangis! Ayah sudah menanti kita di ruangan makan. Hayolah!"

   Jantung Kun Liong berdebar tidak karuan. Sikap dara ini begini bebas. Mana ada seorang dara jelita yang baru saja dikenalnya telah berani menggandeng-gandengnya seperti itu, lengan mereka saling bergandengan, ketika berjalan kadang-kadang si pinggul yang meliuk-liuk itu menyentuh pahanya. Ketika mereka memasuki ruangan di mana tampak Richardo de Gama duduk menghadapi meja besar, Kun Liong hendak merenggut tangannya. Apa akan kata ayah dara itu kalau melihat mereka bergandengan tangan seperti itu? Akan tetapi agaknya Yuanita merasa akan gerakannya, maka dara itu menggandeng lebih erat lagi! Hal ini membuat Kun Liong khawatir sekali dan dia memandang ke arah kakek asing itu dengan bingung. Akan tetapi Richardo bangkit dan menyambutnya dengan tertawa lebar dan wajahnya berseri-seri.

   "Aaakhhh... Yap Kun Liong-taihiap, engkau sudah berganti pakaian kering? Kau gagah sekali. Silakan duduk dan mari kita makan bersama."

   Yuanita melepaskan tangannya dan berkata kepada ayahnya, sengaja bicara dalam bahasa pribumi agar tamunya mengerti,

   "Ayah, Taihiap terlalu merendahkan diri, bikin orang penasaran saja!"

   "Ha-ha-ha, begitulah sikap seorang pendekar sejati dari negeri ini, Anakku! Dalam bicaranya merendah sampai tidak kelihatan, akan tetapi sepak terjangnya menonjol tinggi penuh kegagahan."

   Kun Liong duduk bersama ayah dan anak itu dan kembali dia merasa kikuk sekali ketika harus makan dari piring dan menggunakan garpu, pisau dan sendok. Sambil tertawa-tawa Yuanita mengajarinya, akan tetapi karena kikuk sekali akhirnya Richardo menyuruh pelayan mengambil sepasang sumpit. Barulah lega hati Kun Liong dan dia dapat makan seperti yang dikehendakinya. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan dalam pembicaraan ini Kun Liong mendengar bahwa Richardo de Gama adalah pemimpin rombongan saudagar yang hendak berdagang di Tiongkok. Bahkan setelah pemberontakan yang dibantu oleh beberapa orang asing, hal yang tidak disetujui Richardo itu gagal, Richdrdo yang mengajukan permohonan kepada Kaisar menemui pejabat, akhirnya dapat bicara dengan utusan Kaisar sendiri dan memperoleh ijin untuk berdagang di pantai Teluk Pohai.

   "Kami sekarang sedang mencari Kapal Kuda Terbang yang disewa oleh rombongan Legaspi Selado,"

   Kakek itu melanjutkan.

   "Yang dipimpin oleh Yuan de Gama?"

   Kun Liong bertanya. Kakek itu menghela napas.

   "Benar dan itulah kesalahan kami. Kami telah menyewakan kapal itu kepada rombongan Selado yang ternyata amat jahat sehingga anakku Yuan ikut pula terbawa-bawa, terseret ke dalam petualangan Legaspi Selado. Mendengar betapa Legaspi Selado bersekutu dengan pemberontak, aku segera menyusul ke sini dan aku akan membatalkan kontrak persewaan Kapal Kuda Terbang itu karena telah dipergunakan untuk pekerjaan buruk."

   "Siapakah sebenarnya Legaspi Selado yang berilmu tinggi itu?"

   Kun Liong bertanya lagi.

   "Sebetulnya dia adalah bekas seorang jenderal yang telah dipecat oleh pemerintah karena perbuatannya yang kotor dan berkhianat. Sedangkan anak buahnya itu pun ternyata adalah orang-orang jahat yang menjadi buruan pemerintah di negara kami."

   "Anakku Yuan de Gama terpaksa terlibat karena selain dia mewakili aku menjadi kapten kapal juga dia menjadi murid Legaspi Selado."

   Kun Liong mengangguk-angguk dan kini mengertilah dia mengapa seorang pemuda sebaik Yuan de Gama sampai membantu orang jahat seperti Legaspi Selado kakek botak yang lihai itu.

   "Akan tetapi persekutuan pemberontak itu telah dibancurkan, tentu Legaspi Selado tidak akan menyusahkan Yuan lagi."

   Kakek itu mengelus jenggotnya.

   "Hemmm... siapa tahu isi hati orang seperti Legaspi Selado? Selama dia masih menyewa Kapal Kuda Terbang, Yuan akan terus terikat. Sebagai kapten kapal, tentu Yuan tidak akan dapat meninggalkan kapalnya dan apa pun yang dilakukan oleh Legaspi Selado, berarti Yuan akan terseret."

   Mereka bercakap-cakap setelah makan dan Kun Liong merasa makin suka kepada kakek yang luas pengetahuannya itu, sebaliknya Richardo juga kagum kepada Kun Liong yang berwajah jujur dan polos, sepolos kepalanya yang gundul! Mereka bercakap-cakap di dek perahu itu. Ketika Yuanita muncul, gadis itu berkata,

   "Ahh, kalian berdua bercakap-cakap sejak tadi tiada sudahnya. Ayah, biasanya Ayah tidak berani terlalu lama terkena angin malam membuat Ayah sakit."

   Dengan gaya manja gadis itu merangkul leher ayahnya. Richardo tertawa, lalu bangkit berdiri.

   "Wah, asyik benar bicara dengan Yap-taihiap, sampai aku lupa waktu. Yap-taihiap, aku hendak mengaso dulu, biarlah Yuanita yang menemanimu bercakap-cakap."

   Orang tua itu lalu meninggalkan dek dan bangku tempat duduknya kini diduduki oleh Yuanita. Berdebar jantung Kun Liong menyaksikan kebebasan kedua orang ayah dan anak itu. Baru sekarang dia melihat betapa seorang ayah meninggalkan anak gadisnya begitu saja untuk menemani seorang pemuda bercakap-cakap di dek yang sunyi, di waktu malam lagi!

   "Nona..."

   Yuanita menoleh kepadanya dan memandang dengan senyum, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia menegur,

   "Namaku Yuanita, dan setelah menjadi sahabat, harap jangan menyebut nona lagi kepadaku, Taihiap."

   Kun Liong tersenyum.

   "Kau mau menang sendiri saja, Yuanita. Aku bukan pendekar besar kau selalu menyebutku taihiap, sedangkan kau, seorang nona yang cantik dan kaya raya, pula terpelajar dan pandai, begitu merendah minta disebut namanya saja. Di mana keadilan kalau begini? Kaupun sudah tahu bahwa namaku Kun Liong."

   Yuanita tertawa dan memegang tangan pemuda itu.

   "Kau lucu dan baik sekali, Kun Liong. Aku sungguh merasa gembira dapat bersahabat denganmu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa di antara bangsa pribumi di negara ini terdapat seorang seperti engkau. Aku selalu membayangkan bahwa semua penduduk pribumi memandang rendah kepada semua orang asing, menganggap semua orang asing sebangsa manusia biadab. Dan aku membayangkan bahwa semua orang yang disebut pendekar di negaramu adalah orang-orang kejam yang mudah memainkan pedang memenggal kepala orang dan mengirim kepala itu sebagai hadiah kepada keluarga musuhnya! Kiranya engkau amat baik dan rendah hati, engkau seperti seorang kanak-kanak yang berhati tulus dan wajar..."

   "Wah, karena kepalaku gundul kau menganggap aku kanak-kanak?"

   Kun Liong tertawa. Yuanita juga tertawa.

   "Maaf, aku tahu kau bukan kanak-kanak lagi. Tiga orang pelayan itu menceritakan sikapmu di waktu kau mandi..."

   Kun Liong cepat menoleh ke kanan kiri.

   "Tiga orang wanita genit itu? Iihhh, mereka membikin aku merasa ngeri. Mengapa ada kebiasaan seaneh itu pada bangsamu, Yuanita?"

   "Ah, mereka hanya pelayan-pelayan dan mereka sudah biasa melayani majikan dan para tamu pria yang manja."

   "Aku pun tadinya mendengar kabar yang menyeramkan tentang bangsamu, bangsa kulit putih yang berambut berwarna dan bermata biru. Bahkan aku mendengar bahwa mereka itu adalah bangsa biadab yang suka makan daging manusia, sebangsa siluman yang berbahaya dan yang datang ke negeri kami hanya untuk menipu bangsa kami. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan ayahmu, aku mendapat kenyataan bahwa ayahmu adalah seorang tua yang luas pengetahuannya, pandai dan bijaksana. Apalagi melihat engkau..."

   "Bagaimana?"

   Yuanita menyambung ketika Kun Liong berseru.

   "Apakah aku seperti siluman berambut kuning berkulit putih bermata biru yang suka makan daging manusia?"

   "Wah, sama sekali tidak! Sungguh tolol aku kalau dulu pernah merasa ngeri mendengar kabar bohong itu. Ternyata di antara bangsamu yang dikabarkan menakutkan itu terdapat orang-orang seperti ayahmu yang bijaksana, seperti Yuan yang tampan dan gagah berani, seperti engkau yang... yang begini cantik jelita, jujur dan amat ramah dan baik hati."

   "Benarkah engkau menganggap aku cantik jelita? Bukankah karena perbedaan kulit dan warna rambut serta mata membedakan pula selera pandangan terhadap kecantikan seseorang?"

   "Engkau memang cantik sekali, Yuanita,"

   Kata Kun Liong sambil memandang penuh perhatian wajah yang tertimpa cahaya merah dari lampu gantung itu.

   "Dan kurasa, cantik tidaknya seseorang tergantung dari rasa suka di hati. Kalau hati merasa cocok dan suka, tentu kelihatan cantik, sebaliknya kalau tidak tentu akan kelihatan buruk. Dan agaknya watak dan sikap seseoranglah yang menentukan cantik tidaknya orang itu. Dan engkau... amat manis dan baik hati, siapa yang takkan merasa suka sehingga engkau kelihatan selalu cantik jelita?"

   Dara itu memandang dengan sinar mata bercahaya dan wajah berseri.

   "Wah, engkau memang mengagumkan sekali, Kun Liong! Yuan tentu senang sekali denganmu, engkau tentu menjadi sahabat baiknya!"

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sayang bahwa pertemuan antara kami hanya sebentar saja,"

   Kun Liong lalu menceritakan pertemuannya dengan Yuan de Gama yang mengakibatkan mereka untuk beberapa gebrakan mengadu tenaga.

   "Ahhh, kasihan kakakku itu..."

   Yuanita berkata setelah Kun Liong menyelesaikan penuturannya.

   "Dia adalah seorang yang berhati baik, akan tetapi karena dia terlalu suka mempelajari ilmu berkelahi, dia menjadi murid Kakek Legaspi Selado yang mengerikan itu. Ketika kapal Ayah disewa oleh rombongan Legaspi, Yuan menjadi kapten kapal menggantikan Ayah. Sama sekali kami tidak tahu bahwa rombongan Legaspi terdiri dari orang-orang jahat. Juga Yuan sama sekali tidak akan mengira bahwa gurunya dan rombongannya yang katanya hanyalah orang-orang pedagang itu bertualang di negaramu dan bersekutu dengan pemberontak. Yuan terkenal sebagai seorang yang kuat, bahkan Hendrik, pemuda sombong dan kejam putera Legaspi itu sendiri merasa sungkan kepada Yuan. Akan tetapi, aku tahu bahwa bertemu dengan engkau, dia kalah jauh!"

   "Aahhh, tidak begitu, Yuanita. Kakakmu kuat sekali, hanya di antara kami tidak ada permusuhan, maka kami tidak melanjutkan pertandingan itu. Aku hanya seorang biasa yang bodoh, apalagi mengenai pengalaman dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan Yuan atau engkau, aku bukan apa-apa."

   Yuanita memegang tangan Kun Liong dan memandang dengan sungguh-sungguh.

   "Engkau terlalu merendahkan diri dan inilah yang membuat aku kagum sekali, Kun Liong. Aku suka kepadamu, dan aku akan... kalau diberi kesempatan... mungkin bisa jatuh cinta kepada seorang pria
(Lanjut ke Jilid 25)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25
seperti engkau ini. Engkau telah menyelamatkan aku, bukan hanya aku, melainkan juga Ayah dan semua anak-anak perahu ini. Ayah sendiri berkata demikian kepadaku. Orang-orang Nepal itu ganas, kejam dan kuat, kalau tidak ada engkau, kami semua pasti menjadi korban. Akan tetapi engkau masih selalu merendahkan diri. Betapa kuat kedua tanganmu yang tidak kelihatan kasar ini, seperti tangan wanita..."

   Yuanita menarik kedua tangan Kun Liong dan mencium tangan itu dengan bibirnya. Dengan bibirnya! Kun Liong merasa kecupan bibir hangat pada tangannya dan wajahnya menjadi merah sampai ke kepalanya, jantungnya berdebar dan dia menarik kedua tangannya.

   "Ahhh, jangan berlebihan, Yuanita..."

   Katanya agak terharu karena perbuatan dara itu dianggapnya terlalu merendah. Yuanita bangkit berdiri menarik tangan Kun Liong. Mereka berdiri berhadapan, dan Yuanita merapatkan tubuhnya.

   "Kun Liong... kami berhutang nyawa kepadamu dan sebagai tanda terima kasih, baru mencium tanganmu saja engkau sudah merasa aku berlebihan. Kun Liong, aku tahu bahwa orang seperti engkau ini, seorang pendekar dari bangsamu, seorang jantan yang berhati lembut, tentu tak mungkin bisa jatuh cinta kepadaku, seorang wanita asing yang serba kasar, tidak selembut wanita-wanita bangsamu yang seperti batang pohon yangliu tertiup angin lembut, yang bersikap malu-malu dan agung... akan tetapi, untuk menyatakan terima kasihku dengan setulus hatiku, kau... kau boleh... kalau engkau suka... kau menciumku, Kun Liong."

   Kun Liong terkejut. Ucapan seperti ini sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Tak pernah dia berani membayangkan untuk mencium dara itu, seorang dara asing, puteri seorang hartawan besar dan puteri seorang yang bijaksana dan pandai seperti Richardo de Gama! Tentu saja dia tidak tahu bahwa dara asing dari Barat ini mempunyai kesan lain terhadap dirinya.

   Semenjak kecil, seperti anak-anak bangsanya yang lain, Yuanita sudah seringkali mendengar dongeng tentang ksatria-ksatria berbaju besi yang menolong puteri dari tangan mahluk-mahluk buas, dan setiap kali seorang ksatria membebaskan seorang puteri cantik dari tangan mahluk buas dari ancaman mengerikan yang lebih hebat dari maut, Si Puteri akan menghadiahkan ciuman mesra dan hal ini biasanya bahkan menjadi tuntutan setiap orangi ksatria! Kesan ini amat mendalam sehingga ketika melihat betapa dengan gagah perkasanya Kun Liong menyelamatkan dia, bahkan ayahnya dan seisi perahu dari keganasan bajak, apalagi setelah bercakap-cakap dan melihat sikap Kun Liong yang rendah hati, timbul keinginan di hati Yuanita unluk bersikap seperti seorang puteri yang tertolong oleh ksatria, dia menawarkan ciuman kepada pemuda gundul itu.

   "Be... benarkah pendengaranku tadi, Yuanita?"

   Kun Liong bertanya, suaranya gemetar karena jantungnya sudah bergelora. Sejak tadi merasakan betapa bibir yang hangat dan lunak itu mencium tangannya, jantung Kun Liong sudah berdebar tidak karuan, apalagi mendengar betapa dara yang mempunyai kecantikan aneh ini menawarkan ciuman!

   "Pendengaran apa, Kun Liong?"

   Yuanita bertanya, mengangkat mukanya sehingga makin berdekatan dengan wajah pemuda itu, senyumnya menggoda, matanya setengah terpejam sehingga bulu matanya hampir merapat dan menjadi tebal menimbulkan bayang-bayang indah di atas pipinya tertimpa sinar lampu.

   "Aku mendengar bahwa... bahwa... aku boleh menciummu?"

   "He-hemmm... kalau kau suka..."

   "Kalau aku suka...? Tentu saja aku suka..."

   "Ihhh, canggung benar kau..."

   Yuanita tersenyum lebar mendengar kata-kata dan melihat sikap pemuda itu. Kedua lengannya bergerak merangkul leher Kun Liong dan dara itu dengan tarikan halus membuat muka Kun Liong menunduk dan tergetarlah seluruh tubuh Kun Liong ketika merasa betapa dara itu yang menciumnya!

   Mencium bibir dengan kemesraan dan kehangatan! Ketika dia mencium bibir Hwi Sian dahulu itu, terdapat kecanggungan dan biarpun dia senang melakukannya dengan Hwi Sian, namun karena dara itu sendiri pun takut dan tidak tahu caranya, maka perbuatan mereka itu jauh sekali bedanya kalau dibandingkan dengan apa yang dia alami sekarang. Ciuman Yuanita ini seolah-olah merupakan pertemuan lebih mendalam, antara kedua hati dan kalbunya, seolah-olah dia merasa dilebur menjadi satu dengan dara ini, seolah-olah tiada pemisah lagi antara kedua tubuh mereka. Seperti naik sedu-sedan dari dada Kun Liong, kedua lengannya mendekap tubuh itu, seluruh tubuhnya menggigil dan dia tidak dapat menguasai lagi kedua kakinya yang gemetar dan lemas, membuatnya terhuyung dan akhirnya dia jatuh berlutut sambil memeluk Yuanita.

   "Hemmm... Kun Liong..."

   Yuanita berbisik, hanya untuk bernapas dan mereka sudah berciuman pula, kini Kun Liong duduk di atas papan perahu dan dara itu dipangkunya. Entah apa yang akan terjadi dengan dua orang muda yang dilanda perasaan mesra yang biasanya tentu akan membangkitkan birahi itu kalau dibiarkan terlalu lama dalam keadaan seperti itu. Bagi Kun Liong, Yuanita merupakan seorang dara yang panas, segar dan berani, seperti gelora air laut di luar perahu itu,

   Merupakan seorang mahluk aneh yang mempunyai kekuatan luar biasa sehingga membawanya terseret, hanyut dan tenggelam. Kun Liong sudah tak dapat menguasai hati dan pikirannya sendiri, yang terasa sepenuhnya hanyalah kelembutan bibir yang mengecup bibirnya, kepanasan hawa dari mulut yang memabokkan, kehangatan dan kepadatan tubuh yang merapat dengan tubuhnya, dan dia pun mabuk dibuai alunan nafsu birahi yang belum pernah menyerangnya sehebat itu! Nafsu birahi memang seperti api menjalar, begitu bertemu dengan bahan bakarnya, makin dibiarkan makin menjadi, makin diberi makin menuntut dan takkan pernah mau berhenti, takkan mau sudah kalau belum sampai titik terakhir. Bagi Yuanita sendiri Kun Liong merupakan seorang pemuda yang asing dan aneh karenanya mendatangkan daya tarik yang luar biasa.

   Sebagai seorang dara berbangsa Portugis yang jauh lebih bebas dalam pergaulan antara pria dan wanita, sudah tentu saja dia pernah berkenalan dengan teman pria dan ciuman bukan merupakan hal baru dan aneh baginya. Namun, belum pernah Yuanita mengalami guncangan perasaan seperti saat itu. Hal ini terdorong oleh rasa terima kasihnya, rasa kagumnya terhadap Kun Liong, ditambah keadaan Kun Liong yang asing dan aneh yang membuat pemuda itu merupakan seorang pemuda atau pria yang lain daripada yang telah dikenalnya sebelum itu. Maka dia pun terhanyut oleh gelombang peraaaannya sendiri sehingga bersama Kun Liong dia pun hampir lupa segalanya, hampir tidak mempedulikan lagi segala hal yang terjadi di luar mereka, dan yang ada hanyalah membiarkan diri terseret oleh nafsu birahi yang membuai dan melayangkan mereka ke tengah-tengah awan kenikmatan.

   "Tuuuttt... tuuuut... tuuutttt...!"

   Suara bunyi tanda peluit dari tempat penjagaan di atas ini mengejutkan kedua orang muda itu dan serentak Kun Liong melepaskan pelukannya. Sejenak mereka saling pandang, seperti baru sadar dari sebuah mimpi muluk dan pertukaran pandang ini cukup menyadarkan mereka benar-benar.

   "Ahh... Yuanita... maafkan aku..."

   "Bukan salahmu... Kun Liong... aku pun membiarkan diriku terseret..."

   "Untung kita sadar, Yuanita. Hampir saja...!"

   Kun Liong cepat merapikan pakaiannya sendiri dan membantu merapikan pakaian dara itu yang dia sendiri tidak ingat lagi bagaimana bisa menjadi tidak karuan dan setengah terbuka seperti itu! Yuanita membiarkan dirinya digandeng dan ditarik ke atas. Mereka berdiri dan berpandangan. Yuanita memegang kedua tangan Kun Liong.

   "Memang... hampir saja, Kun Liong. Akan tetapi... andaikata terjadi, aku.. aku akan merasa bahagia dan bangga, kalau... kalau... engkau menjadi pria pertama..."

   "Husss...! Bagaimana kau bisa bilang begitu, Yuanita? Kita bukan suami isteri, kita tidak saling mencinta... betapa besar dosaku kalau sampai terjadi.. engkau tentu akan menyesal seumur hidup, dan aku... aku... selamanya akan merasa berdosa kepadamu."

   "Mungkin. Akan tetapi, kurasa tidak akan sukar bagiku untuk belajar mencintamu, Kun Liong."

   Kun Liong memandang bingung. Segala ucapan dara asing ini mendatangkan perasaan aneh dan membingungkan.

   "Aku tidak tahu... apakah mungkin cinta dipelajari? Betapapun juga, maafkan aku, Yuanita, aku tadi lupa diri... dan percayalah, selama bidupku aku takkan melupakan engkau. Engkau akan selalu kukenang sebagai seorang perempuan yang amat baik, ramah, lembut dan cantik, jelita, seorang sahabatku yang luar biasa..."

   "Tuut... tuut... tuuuutttt!"

   Mereka menengok ke atas kiri dan melihat penjaga di atas tali-temali layar meniupkan terompetnya yang panjang.

   "Ada apakah?"

   Kun Liong tertanya, tidak mengerti apa artinya itu.

   "Tentu penjaga itu melihat sesuatu,"

   Kata Yuanita. Terdengar derap langkah sepatu ke luar dari dalam dan muncullah Richardo de Gama dan orang-orang lain. Kakek ini memandang kepada puterinya, kemudian kepada Kun Liong sejenak, lalu bertanya,

   "Apa yang terjadi? Mengapa terompet ditiup? Haiii! Ada apa?"

   Teriaknya ke atas dalam bahasanya sendiri. Penjaga di atas menjawab dengan teriakan parau,

   "Ada kapal di sebelah kiri!"

   "Lekas nyalakan lampu sorot!"

   Richardo de Gama memerintah. Terjadi kesibukan di situ dan tak lama kemudian kapal besar itu tampak bayangannya, seperti seorang raksasa muncul dari dalam malam gelap di tengah lautan. Mula-mula terjadilah pertukaran isyarat melalui gerakan lampu kemudian setelah makin mendekat, antara kedua kendaraan air itu terjadi kontak dengan penggunaan corong dan teriakan mulut. Terdengar sorak-sorai di kedua pihak dan semua orang di perahu yang ditumpangi Kun Liong bergembira ria.

   "Apakah yang terjadi, Yuanita?"

   Tanya Kun Liong kepada dara yang berdiri di dekatnya. Yuanita juga berseri wajahnya ketika menjawab,

   "Kapal itu adalah Kuda Terbang!"

   Tentu saja Kun Liong terkejut dan juga gembira mendengar ini.

   "Dan aku akan dapat berjumpa dengan Yuan di sana?"

   Dia menuding ke arah bayang-bayang hitam besar itu. Yuanita mengangguk manis.

   "Bukan hanya Yuan kakakku, juga di sana ada pula Legaspi Selado dan isteri mudanya yang bernama Nina, dan puteranya bernama Hendrik, dan masih banyak lagi karena semua bangsa kami yang berada di sini telah berkumpul di kapal itu."

   Terjadi kesibukan luar biasa ketika perahu besar dan kapal itu mepet. Sebuah anak tangga dipasang dan Richardo de Gama mengajak Kun Liong dan Yuanita untuk menyeberang ke Kapal Kuda Terbang yang jauh lebih besar dan lebih lengkap itu. Kung Liong ikut bergembira melihat Yuan de Gama yang menyambut ayahnya dan adik perempuannya. Dia terharu melihat Yuanita berpelukan dengan kakaknya, terkenang betapa beberapa saat yang lalu dara yang cantik itu telah berpelukan dan berciuman dengan dia! Ketika Yuanita membisiki sesuatu kepada kakaknya dan menoleh, Yuan mengangkat muka memandang.

   "Halooo...! Bukankah kau Yap Kun Liong-taihiap?"

   Serunya, melepaskan adiknya dan melangkah lebar menghampiri Kun Liong dan mengulur lengan kanannya. Kun Liong tidak kaget lagi melihat ini. Dia sudah tahu sekarang bahwa cara pemberian hormat, atau bersalaman dari orang-orang asing ini adalah dengan jalan berjabat tangan dan mengguncang-guncangnya. Maka dia menyambut sodoran tangan itu dan mereka berjabat tangan.

   "Tuan Yuan de Gama, sungguh tak menyangka akan bertemu denganmu di sini,"

   Kata Kun Liong gembira. Yuanita telah mendekat dan dengan sibuk menceritakan dalam bahasanya sendiri kepada kakaknya tentang pertolongan yang diberikan oleh Kun Liong kepada anak buah Perahu Ikan Duyung, yaitu perahu ayahnya itu, ketika Perahu Ikan Duyung diserbu penjahat.

   "Ahhh, terima kasih banyak, Yap--taihiap..."

   "Jangan menyebutnya taihiap, dia bisa marah. Namanya Kun Liong!"

   Yuanita mencela kakaknya.

   "Dia benar, Yuan. Kita adalah sahabat, sebut saja namaku,"

   Kata Kun Liong. Yuan memandang kepada adiknya, kemudian kepada Kun Liong, lalu tersenyum lebar.

   "Apa pula ini? Eihhh, jangan main-main kau, Yuanita. Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menjatuhkan hatimu di depan kaki pendekar perkasa ini?"

   Dia tertawa bergelak.

   "Andaikata benar demikian, apakah kau tidak setuju?"

   Yuanita juga berkata sambil tertawa.

   "Tentu saja!"

   Kun Liong benar-benar terkejut bukan main. Kelakar kakak beradik itu dianggapnya keterlaluan dan luar biasa sekali sampai muka dan kepalanya menjadi merah semua. Mengapa mereka bicara bebas, seolah-olah urusan cinta merupakan hal yang boleh dianggap main-main? Mereka menghentikan sendau-gurau ketika melihat Legaspi Selado dan seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang amat cantik dan yang berpakaian mewah, sedangkan Hendrik Selado berjalan di sebelah wanita ini, mata pemuda itu memandang kepada Kun Liong dengan penuh perhatian. Kun Liong tidak mempedulikah yang lain, hanya dia menatap tajam ke arah Legaspi Selado, kakek botak gendut yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.

   "Heiii! Bukankah ini penjahat itu...?"

   Tiba-tiba Hendrik berseru ketika dia sudah datang dekat dan telunjuknya menuding ke arah muka Kun Liong.

   "Tidak salah lagi, inilah dia Si Gundul yang dahulu menolong dan melarikan mata-mata wanita di Ceng-to!"

   Ucapan itu dikeluarkan dalam bahasa asing sehingga Kun Liong tidak mengerti maksudnya, akan tetapi karena sejak tadi pemuda ini memperhatikan Legaspi Selado maka dia dapat melihat ketika kakek itu menggerakkan tangan yang memegang cambuk kuda.

   "Tar-tar-tarrr...!"

   Kun Liong sudah mengelak cepat sehingga tiga kali serangan itu luput.

   "Tuan Selado, engkau tidak boleh menyerang dia!"

   Tiba-tiba Yuanita lari ke depan, menghadang di depan kakek yang memegang cambuk itu dengan sikap menantang dan membusungkan dadanya yang sudah membusung penuh itu. Yuan meloncat ke depan dan berteriak.

   "Hendrik, jangan...!"

   Pemuda itu sudah memegang tangan Hendrik yang telah mencabut pistolnya.

   "Jangan ganggu dia, dia telah menyelamatkan Perahu Ikan Duyung, menyelamatkan ayahku dan adikku!"

   Menyaksikan keributan ini, Richardo sudah melangkah maju dan segera terjadi percakapan dan perbantahan antara orang-orang asing itu, ditonton dan didengarkan oleh Kun Liong yang tidak mengerti artinya, namun dia dapat menduga dengan mudah, bahwa terjadi perbantahan antara pihak Legaspi dan Hendrik melawan pihak Richardo dan dua orang anaknya yang membela dia! Terutama sekali yang amat mengharukan hatinya adalah sikap Yuanita yang seperti telah menjadi seekor harimau betina, sepasang mata biru itu menyinarkan api, rambutnya terkena angin laut berkibar-kibar, sikapnya penuh semangat. Ketika terjadi percekcokan itu, nyonya muda cantik yang tadi datang bersama Legaspi Selado dan Hendrik, mendekati Kun Liong dan menatap wajah pemuda ini dengan penuh perhatian. Kun Liong dapat menduga tentu inilah yang bernama Nina Selado, isteri muda Si Kakek Botak itu. Hem, seorang wanita yang cantik dan sikapnya berani dan masak, pikirnya.

   "Jadi engkau seorang yang biasa disebut pendekar-pendekar itu?"

   Tanya wanita itu dengan suara kaku namun suaranya yang basah agak parau mendatangkan sesuatu yang memikat, juga menyeramkan bagi Kun Liong. Dia tidak menjawab, hanya membalas pandang mata itu dengan waspada, karena dia tidak tahu apakah wanita cantik ini tidak berbahaya pula seperti Legaspi Selado. Kakek itu memanggil,

   "Nina...!"

   Dan wanita itu meninggalkan Kun Liong. Kemudian, Legaspi Selado, Nina, dan Hendrik pergi memasuki kamar kapal dengan sikap tidak puas. Yuan dan Yuanita menghampiri Kun Liong.

   "Kun Liong, untung Ayah dapat menekan kemarahan Tuan Selado,"

   Kata Yuanita.

   "Dan terutama sekali Yuan sebagai kapten Kapal Kuda Terbang berkuasa penuh untuk menanggungmu sebagai seorang tamu yang tak boleh diganggu."

   "Terima kasih, Yuan. Engkau baik sekali. Akan tetapi, bukankah dia itu gurumu? Bagaimana engkau dapat menantang gurumu sendiri?"

   "Biarpun dia guruku, akan tetapi sebagai kapten kapal, akulah yang menjadi orang pertama yang berkuasa menentukan segala yang terjadi di atas kapal ini. Aku memberitahukan guruku bahwa permusuhan antara dia dan kau terjadi ketika kami masih bekerja sama dengan para pemberontak di Ceng-to. Karena kita semua berada di kapal, tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah pemberontakan di darat, maka saat itu engkau tidak boleh dianggap musuh. Mari kita masuk ke kamarku dan kita berunding bagaimana baiknya."

   Kun Liong mengikuti Yuan, Yuanita dan Richardo de Gama memasuki kamar Yuan yang cukup luas dan mereka duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap. Dari Yuan, mereka semua mendengar penuturan tentang pemberontakan yang gagal dan tentang usaha pendekatan para pedagang asing itu terhadap pembesar pemerintah.

   "Kaisar telah bersikap baik sekali kepada kami,"

   Yuan menutup penuturannya dan menarik panjang.

   "Setelah keributan mereda, kami masih diperkenankan untuk mendarat dan berdagang di sekitar pantai Teluk Pohai. Karena itu, maka aku tadinya mengambil keputusan untuk kembali ke barat dan mengebarkan kepada para pedagang yang berniat membawa berang dagangan ke timur. Akan tetapi yang masih memusingkan adalah sikap guruku, Tuan Legaspi Selado dan teman-temannya. Mereka itu tidak merasa puas dengan keputusan dan kebijaksanaan Kaisar. Mereka menganggap bahwa perdagangan di tempat terbatas, yaitu di pantai itu, tidak akan menda-tangkan cukup keuntungan, tidak seperti kalau kita dapat mendarat sampai ke pedalaman dan langsung membeli rempah-rempah dari para penduduk pribumi, juga dengan langsung menjual barang-barang kepada mereka, tidak melalui perantara-perantara yang akan memeras di pantai. Karena itu, aku khawatir sekali akan timbul hal-hal tidak menyenangkan seperti pemberontakan ke dua dan sebagainya..."

   "Apa pun yang akan mereka lakukan asal engkau tidak mencampurinya, Yuan. Lebih baik engkau membentuk kelompok sendiri dari pedagang-pedagang yang jujur dan yang memang beritikad baik, semata-mata untuk berdagang dan tidak hendak mencampuri urusan pemerintah dan pemberontakan,"

   Kata Kun Liong.

   "Apa yang dikatakan Yap-taihiap benar, Yuan,"

   Kata Richardo de Gama.

   "Semenjak dahulu, kita bukanlah keluarga pemberontak dan petualang. Kita adalah keluarga pedagang."

   Yuan mengangguk-angguk.

   "Aku pun tidak suka terseret ke dalam pemberon-takan pribumi terhadap kaisar mereka. Akan tetapi sayang hal itu telah terjadi dan tentu kami telah mendapat kesan buruk dari Kaisar. Andaikata tidak pernah terjadi persekutuan dengan pemberontak terkutuk itu, agaknya pihak pemerintah akan lebih longgar terhadap kita, apalagi mengingat akan hubungan pemerintah yang makin luas dengan luar negeri berkat pelayaran-pelayaran Laksa-mana The Hoo yang bijaksana..."

   "Ahhhh... ada jalan untuk berjasa kepada Panglima Beser The Hoo!"

   Tiba-tiba Kun Liong berkata, teringat akan bokor emas di Pulau Ular.

   "Bokor emas pusaka milik Panglima The Hoo yang hilang itu terampas orang dan berada tak jauh dari tempat ini. Kalau saja engkau berhasil mengembalikan bokor itu, dan menyerahkannya kembali kepada Panglima The Hoo, agaknya engkau akan berjasa besar dan soal ijin perdagangan ke pedalaman tentu akan ditinjau kembali."

   "Ha-ha-ha! Pendapat yang bagus sekali! Aku setuju seratus prosen. Di mana bokor itu?"

   Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tubuh gendut Legaspi Selado memasuki kamar itu. Yuan bangkit berdiri.

   "Tuan, terpaksa saya menyatakan tidak setuju kalau Tuan hendak membawa kita memperebutkan bokor emas yang menghebohkan itu, yang bukan menjadi hak kita!"

   Legaspi Selado menggerakkan tangannya mencela.

   "Aihh, Yuan. Mengapa begitu bodoh? Siapa yang ingin merampas bokor? Segala yang telah kita lakukan, dari memperebutkan bokor sampai ikut pemberontak, tiada lain hanya untuk memperoleh kesempatan berdagang sebaiknya. Semua usaha kita gagal, sekarang sahabat muda ini telah menunjukkan jalan yang amat baik. Kita usahakan agar bokor emas itu dapat kita peroleh, kemudian kita haturkan kepada Panglima The Hoo, tentu kita mendapat jasa dan tentang perdagangan, akan tetapi mudah saja. Ha-ha-ha! Sahabat Yap Kun Liong yang baik, di manakah bokor itu?"

   Kun Liong adalah seorang muda yang cerdik. Dia sudah terlanjur bicara, kalau merahasiakan, kakek aneh yang sakti ini tentu akan menjadi pengha1ang dan musuh, dan amat tidak enak kalau terjadi perpecahan di kapal itu. Kakek itu lihai, baik sekali kalau diajak bersama-sama merampas bokor karena Pulau Ular merupakan tempat yang berbahaya. Apalagi dua orang datuk itu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya, Ouwyang Bouw, dibantu lagi oleh Toat-beng Hoat-su dan semua anak buah mereka, bukan merupakan lawan ringan.

   "Memang kita harus bekerja sama,"

   Akhirnya dia berkata setelah semua duduk.

   "Bokor emas itu berada di tangan dua orang datuk kaum sesat. Ouwyang Kok yang berjuluk Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su. Mereka bersama anak buah mereka bersembunyi di Pulau Ular, tidak jauh dari sini, di sebelah selatan Teluk Pohai."

   Legaspi Selado bangkit berdiri,

   "Yuan de Gama! Kalau begitu kita menunggu apalagi? Kita putar haluan, ke selatan mencari Pulau Ular!"

   Kun Liong menyambut pandang mata penuh pertanyaan dari Yuan itu dengan anggukan kepala, maka Yuan lalu meneriakkan perintah melalui corong agar kapal itu diputar dan digerakkan ke selatan sedangkan Perahu Ikan Duyung mengikuti dari betakang. Setelah Legaspi Selado yang kelihatan gembira dan bersemangat itu meninggalkan kamar, Yuan de Gama berkata lirih.

   "Kun Liong, kenapa engkau membuka rahasia itu kepada guruku?"

   "Sst... dia dapat merupakan pembantu yang amat kuat, Yuan. Ketahuilah, bukan hanya bokor emas itu yang penting. Kita memang harus menyerbu ke Pulau Ular dan di sana terdapat dua orang datuk yang sakti bersama anak buah mereka yang kuat."

   "Aku tidak inginkan bokor emas!"

   Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hussshhh, engkau tidak menginginkannya, akan tetapi kalau kau dapat mengembalikan kepada Panglima Besar The Hoo, besar sekali jasamu. Selain kau, engkau tidak tahu bahwa kita harus menolong Nona Souw Li Hwa..."

   Wajah Yuan de Gama berubah dan dia memegang lengan Kun Liong, mencengkeramya erat-erat.

   "Apa katamu? Dia... dia... kenapa?"

   Yuanita membelalakkan mata.

   "Yuan! Siapakoh nona itu?"

   "Dia sahabat baikku. Dia seorang panglima wanita yang hebat. Kun Liong, lekas katakan apa yang terjadi dengan dia?"

   "Aku sendiri tidak tahu, akan tetapi yang jelas, Nona Souw Li Hwa telah melakukan penyelidikan sendiri ke Pulau Ular yang berbahaya itu sehingga aku khawatir sekali dia akan menghadapi malapetaka di sana. Karena itu, bukan-kah tepat sekali kalau kita pergi ke sana, selain untuk membantu mendapat-kan kembali pusaka Panglima Tht Hoo, juga untuk melindungi Nona Souw Li Hwa?"

   "Kalau begitu kita harus cepat ke sana!"

   Yuan de Gama kembali menyambar corong untuk memerintahkan anak buahnya agar melakukan pelayaran secepatnya. Richardo de Gama menghela napas panjang, mendekati Kun Liong dan berbisik,

   "Apakah dia telah jatuh cinta kepada panglima wanita itu?"

   Kun Liong hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian setelah minta diri, dia mundur dan memasuki kamarnya yang sudah dipersiapkan untuk dia. Kun Liong meniup padam lilin di atas meja kamar kecil itu, lalu menanggalkan pakaian luarnya dan sepatunya. Setelah ia merebahkan diri di atas pembaringan, dia termenung. Sungguh banyak pengalaman yang dialaminya selama ini, pengalaman yang aneh-aneh, terutama sekali pengalaman dengan wanita-wanita cantik. Masih terasa olehnya cumbu rayu yang saling ditukarnya dengan Yuanita. Di dalam kegelapan kamarnya itu, terbayanglah wajah Yuanita yang cantik, terdengar bisikan halus menggetar yang suaranya asing itu. Akan tetapi tak lama kemudian, wajah wanita yang dibayangkannya ini sudah berganti rupa, berubah menjadi wajah Yo Bi Kiok,

   Kemudian berubah lagi menjadi wajah Souw Li Hwa, wajah Cia Giok Keng, dan akhirnya berubah menjadi wajah Lim Hwi Sian yang takkan pernah dilupakannya! Diam-diam Kun Liong menghela napas panjang. Mengapa hidupnya terisi oleh pertemuan-pertemuan yang mengesankan dengan berbagai gadis cantik itu? Dan mengapa setiap kali bertemu dengan dara jelita, dia merasa tertarik dan suka? Apakah ini yang disebut mata keranjang? Apakah dia mata keranjang? Adakah di dunia ini seorang pemuda yang tidak suka melihat dara jelita? Apakah hanya dia yang selelu merasa tertarik, ingin bercakap-cakap dengan mereka, ingin bersahabat dengan mereka dan ingin... mencium bibir yang segar kemerahan itu? Kotorkah pikiran seperti ini? Dia tidak dapat menjawab dan kembali dia menarik napas panjang.

   Kau mata keranjang, tolol, dan anak durhaka! Dia memaki diri sendiri. Sampai selama ini, dia masih belum berhasil mendengar berita tentang ayah bundanya. Dan tidak ada sebuah pun di antara tugas-tugasnya yang dapat dia selesaikan dengan baik! Mencari orang tua belum ada hasilnya. Urusan bokor emas yang telah berada di tangannya malah berlarut-larut menjadi makin sulit diperoleh. Usaha mengembalikan pusaka Siauw-lim-pai dan minta pusaka itu kembali dari Kwi-eng-pang juga belum berhasil. Sekarang ditambah lagi dengan tugas membantu dan menyelamatkan Souw Li Hwa! Sekali ini dia harus berhasil. Biarpun Pulau Ular kabarnya berbabaya, akan tetapi Kapal Kuda Terbang itu besar dan kuat, diperlengkapi dengan senjata meriam.

   Juga ia memperoleh bantuan orang-orang pandai seperti Legaspi Selado, Hendrik, Yuan dan semua anak buah mereka. Kalau dia berhasil membantu Li Hwa, apalagi berhasil merampas kembali bokor emas, berarti tidak sia-sia semua jerih payahnya. Dia harus cepat menyelesaikan urusan ini, kemudian dia harus mencari orang tuanya. Dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya untuk mencari jejak orang tuanya. Urusan pribadi ini sebetulnya paling penting dan jantungnya berdebar agak tegang penuh kekhawatiran kalau dia teringat akan ucapan Pendekar Sakti Cia Ken Hong. Bukan hanya kekhawatiran kosong yang diucapkan supeknya itu. Kalau memang ayah bundanya masih hidup di dunia ini, mengapa sekian lamanya mereka diam saja dan tidak ada kabar beritanya?

   Orang-orang gagah perkasa seperti ayah bundanya, tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut akan sesuatu! Malam mulai larut dan Kun Liong yang tenggelam timbul dalam lamunan, mulai berselubung rasa kantuk. Dia sudah memperoleh pegangan atau rencana masa mendatang, yaitu setelah selesai dengan urusan Pulau Ular, dia akan meninggalkan semua urusan untuk mencurahkan perhatian seluruhnya dalam mencari orang tuanya. Rencana yang menjadi pegangan ini melegakan hatinya dan dia hampir tertidur pulas ketika tiba-tiba pintu biliknya dibuka orang dari luar. Mula-mula, sesuai dengan ilmu silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya, dalam saat itu juga semua urat syarafnya menegang dalam kesiapsiagaan menghadapi suatu ancaman bahaya.

   Namun ketika melihat bayangan tubuh yang tersorot penerangan dari luar kamar, ketegangannya meningkat akan tetapi berubah, bahkan tegang karena khawatir, melainkan karena heran. Jelas tampak sosok bayangan tubuh yang berpinggang ramping, tubuh seorang wanita! Yuanita? Dadanya berdebar keras. Benarkah Yuanita yang masuk? Betapa beraninya memasuki kamarnya yang gelap. Akan terulang lagikah peristiwa yang memabokkan itu? Sekarang amat berbahaya karena mereka berada di dalam kamamya, kamar yang gelap! Timbul kekhawatiran di dalam hati Kun Liong. Dia ingin melompat, ingin menyalakan lampunya, ingin membujuk agar Yuanita tidak melanjutkan niatnya, agar dara itu keluar dari kamar, meninggalkannya. Akan tetapi semua keinginannya itu tertunda ketika dia mondengar suara lirih, suara wanita yang basah merdu,

   

Pedang Kayu Harum Eps 42 Pedang Kayu Harum Eps 6 Pedang Kayu Harum Eps 33

Cari Blog Ini