Ceritasilat Novel Online

Si Bangau Merah 19


Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Sumoi, mari kita kejar mereka!"

   Sian Li hendak membantah karena ia merasa tidak ada perlunya mengejar rombongan itu, akan tetapi karena Sian Lun sudah membalapkan kudanya, ia pun terpaksa melakukan pengejaran.

   "Suheng, tahan dulu....!"

   Serunya ketika ia dapat menyusul suhengnya. Sian Lun menahan kendali kudanya dan mereka berhenti.

   "Suheng, untuk apa kita mengejar mereka?"

   Tanyanya.

   "Aih, bagaimana-kah engkau ini, Sumoi. Bukankah dua orang di antara mereka adalah mata-mata yang mengacau di Bhutan? Kita harus membantu Kerajaan Bhutan, bukan?"

   "Hemm, Suheng. Kalau kita berada di Bhutan, tentu saja kita harus membantu Bhutan. Akan tetapi, menantang para mata-mata dan pengacau di Bhutan bukanlah tugas kita, apalagi kita sedang melakukan perjalanan menuju pulang. Selain itu, juga engkau harus ingat bahwa kini kita tidak berada di daerah Bhutan lagi, melakukan daerah Tibet."

   Mendengar ucapan sumoinya, baru Sian Lun sadar bahwa dia telah terburu nafsu. Dia mengangguk maklum, lalu berkata,

   "Betapapun juga, karena kita juga melakukan perjalanan searah dengan mereka tadi, tiada salahnya kalau kita diam-diam memperhatikan dan menyelidiki, apa yang hendak mereka lakukan. Setidaknya, kita dapat mencegah perbuatan mereka yang akan merugikan Bhutan, tanpa menunda perjalanan kita. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?"

   Gadis itu mengangguk.

   "Tentu saja, Suheng. Aku pun hanya ingin mengingatkanmu agar kita berhati-hati. Perjalanan masih jauh dan kita tidak mengenal daerah ini."

   Mereka melanjutkan perjalanan dan walaupun sudah tertinggal jauh oleh rombongan berkuda tadi, namun mereka masih dapat mengikuti jejak tujuh orang itu dengan mudah, apalagi liar karena memang rombongan itu menuju ke arah yang sama dengan perjalanan mereka. Setelah matahari condong ke barat, menjelang senja, mereka tiba di daerah yang subur, bukit-bukit yang hijau dan mulai nampak anak sungai mengalir turun.

   Segera nampak sebuah dusun yang besar, nampak genteng-genteng, rumah dari lereng, cukup banyak dan besar-besar rumah yang berada di dusun itu. Juga jejak kaki kuda rombongan tadi menuju ke dusun itu. Mereka lalu menuju ke dusun untuk melewatkan malam dan juga sekalian untuk melihat apa yang akan dilakukan rombongan Badhu dan Sagha, dua orang ahli silat Nepal yang sombong itu. Dusun itu memang merupakan dusun yang besar dan ramai, terletak di tepi Sungai Yalu Cang-po atau Sungai Brahmaputra yang mengalir dari Pegunungan Himalaya menuju ke timur. Nama dusun itu dusun Nam-ce. Daerah itu memang luas, tanahnya subur karena dekat sungai, dan juga di sungai itu terdapat banyak ikan sehingga nampak banyak perahu nelayan di situ.

   Selain ini, dusun Namce menjadi pelabuhan dan orang-orang yang melakukan perjalanan, ke timur, banyak yang mempergunakan perahu melalui sungai yang besar itu. Biarpun hanya berupa rumah-rumah sederhana, namun di dusun Nam-ce terdapat beberapa buah rumah penginapan dan juga rumah makan yang menjual makanan sederhana. Ada pula pedagang yang menjual bermacam barang keperluan sehari-hari. Semua ini membuat dusun itu menjadi semakin ramai, dan terutama sekali karena lalu-lintas melalui sungai itulah yang mendatangkan kemakmuran kepada dusun Nam-ce. Bahkan mereka yang datang dari Lha-sa, Ibu kota Tibet, yang hendak melakukan perjalanan ke timur, banyak yang melalui Sungai Brahmaputra. Di sebelah selatan luar kota Lhasa terdapat sebuah sungai yang airnya menuju ke Sungai Brahmaputra di dekat Nam-ce,

   Maka banyak yang mempergunakan perahu dari Lha-sa ke Nam-ce, kemudian dari dusun pelahuhan ini melanjutkan perjalanan dengan perahu besar ke timur, mengikuti aliran air Sungai Brahmaputra. Sian Lun dan Sian Li menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan yang kecil namun bersih dan tempatnya pun agak di pinggir dusun sehingga keadaan di situ tidaklah begitu ramai seperti di bagian tengah dusun, di mana terdapat sebuah pasar yang selalu ramai dikunjungi orang karena tempat ini merupakan pasar perdagangan. Setelah membersihkan diri yang berlepotan debu dan berganti pakaian, Sian Li mengajak Sian Lun keluar dari rumah penginapan dan mencari kedai makanan. Karena mereka berada di tempat asing, dan orang-orang di sekeliling mereka adalah orang-orang dari suku bangsa daerah itu,

   Hanya kadang saja nampak orang berpakaian seperti mereka, yaitu orang-orang Han yang hampir semua adalah pedagang. Andaikata Sian Li mengenakan pakaian biasa, tentu dua orang muda ini tidak terlalu menarik perhatian, walaupun kecantikan Sian Li tentu membuat banyak pria melirik. Akan tetapi, karena gadis itu selalu mengenakan pakaian yang warnanya kemerahan, baik polos maupun berkembang, maka tentu saja ia amat menyolok dan menjadi perhatian setiap orang. Sian Li mengajak suhengnya untuk memasuki sebuah kedai makan yang berada di jalan yang agak sunyi. Ketika mereka memasuki kedai, senja hampir terganti malam, cuaca mulai gelap dan kedai itu pun sudah diterangi lampu-lampu minyak yang tergantung dengan kap-kap lampu beraneka warna sehingga nampak terang dan meriah.

   Seorang pelayan menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk. Sian Li menyapu ruangan itu dengan sinar matanya. Tidak terlalu banyak tamu di situ. Seorang pria yang agaknya menurut pakaiannya adalah bangsa Han duduk di sudut sambil menundukkan muka. Tiga orang bangsa Tibet duduk di tengah ruangan itu, dan masih ada beberapa orang lagi makan di meja sebelah kiri. Tidak ada sepuluh orang tamu yang berada di ruangan itu. Sian Li dan Sian Lun duduk di bagian kanan, sengaja Sian Li memilih bangku yang membuat ia duduk membelakangi para tamu itu. Ia takkan merasa enak makan kalau menghadapi mata banyak laki-laki yang ditujukan kepadanya dengan sinar mata kurang ajar. Sian Lun duduk berhadapan dengannya sehingga pemuda inilah yang menghadap ke tengah ruangan, dapat melihat para tamu.

   Memang, seperti yang dilihatnya, sejak sumoinya memasuki ruangan rumah makan, semua tamu yang duduk di situ, kesemuanya pria, mengangkat muka dan melempar pandang mata kagum kepada Sian Li. Pandang mata orang-orang itu seperti melekat pada Sian Li, dan biarpun sumoinya sudah duduk membelakangi mereka, tetap saja mereka itu selalu melirik ke arah gadis itu. Kecuali seorang saja, yaitu orang Han yang duduk seorang diri di sudut belakang. Orang itu makan sambil menundukkan muka, dan hanya mengangkat muka memandang sejenak ketika dia dan sumoinya tadi masuk, lalu menundukkan muka kembali, sedikit pun tidak menaruh perhatian lagi. Setelah makanan yang dipesan datang, dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu makan minum dan baru saja mereka selesai,

   Mereka mendengar suara banyak orang memasuki rumah makan. Mereka menengok dan sinar mata mereka menjadi keras ketika mereka mengenal tujuh orang yang tadi mereka bayangi, yaitu Badhu dan Sagha bersama lima orang kawan mereka! Sian Li tidak ingin mencari keributan di situ. Ia hanya ingin menyelidiki, apa yang akan dilakukan dua orang anak buah Lulung Lama itu, akan tetapi tidak ingin bentrok secara langsung, apalagi ia tahu bahwa ia dan suhengnya berada di daerah pihak lawan, maka keadaan dapat berbahaya bagi mereka. Ia memberi isarat kepada suhengnya, lalu menggapai pelayan yang segera mendekati mereka. Pelayan lain sibuk melayani tujuh orang tamu yang baru masuk. Sian Lun segera membayar harga makanan dan mereka berdua hendak keluar dari rumah makan itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan kasar.

   "Heii, kalian berdua, tunggu dulu!"

   Sian Li dan Sian Lun berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Badhu dan Sagha sudah berdiri menghadapi mereka, sedangkan lima orang kawan mereka masih duduk. Dua orang Nepal itu lalu menghampiri Sian Li dan Sian Lun yang berdiri dengan tenang dan tegak.

   "Hemm, kalian ini orang-orang Han yang sombong, mau apa berkeliaran di sini?"

   Kata Badhu yang
(Lanjut ke Jilid 18)
Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
berperut gendut. Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang tajam, lalu mulutnya tersenyum mengejek. Ia melihat betapa beberapa orang Tibet yang berada di situ memandang ke arah mereka.

   "Bukan kami orang-orang Han yang sombong dan berkeliaran, karena kami akan kembali ke timur dan hanya lewat di sini. Akan tetapi kalianlah dua orang Nepal yang besar kepala, kalian berkeliaran di sini tentu hanya akan membikin kacau saja!"

   Gadis ini memang cerdik. Tadi mendengar seruan Badhu Si Gendut, para tamu orang-orang Tibet memandang kepada Sian Li dan Sian Lun dengan mata curiga. Akan tetapi setelah gadis baju merah itu menjawab dengan suara lantang, pandang mata mereka berubah dan kini mereka memandang ke arah Badhu dan Sagha dengan alis berkerut. Wajah Badhu menjadi kemerahan ketika dia mendengar jawaban Sian Li, dan dengan marah dia membentak,

   "Gadis Han yang sombong, jangan bicara sembarangan!"

   Sian Li tersenyum.

   "Siapa bicara sembarangan, engkau atau aku? Coba kau sangkal, bukankah kalian sudah membikin kekacauan di Nepal, kemudian di Bhutan dan setelah gagal di sana, kalian hendak mengacau pula, di Tibet ini?"

   Badhu menjadi makin marah.

   "Perempuan sombong! Kau lihat saja pembalasan kami atas semua penghinaanmu!"

   Setelah berkata demikian, dia memberi isarat kepada enam orang kawannya dan mereka pun keluar dari rumah makan itu tanpa memesan makanan!

   Karena ia memang tidak ingin membikin ribut di rumah makan itu atau di dalam dusun itu, yang hanya akan menimbulkan kekacauan dan juga akan menjadi penghambat perjalanannya, maka Sian Li juga segera meninggalkan tempat itu dan mencegah suhengnya ketika Sian Lun yang nampaknya marah itu hendak melakukan pengejaran. Setelah dua orang muda itu pergi, ramai para tamu membicarakan peristiwa kecil tadi dan semua orang merasa kagum dan memuji nona baju merah yang berani menentang orang-orang Nepal yang kelihatan kuat dan bengis tadi. Hanya seorang di antara mereka yang tidak ikut bicara. Dia adalah laki-laki yang tadi duduk di sudut belakang. Dia tidak pernah bicara, hanya memanggil pelayan, membayar harga makanannya dan dia pun segera meninggalkan rumah makan tanpa mening-galkan kesan.

   "Sumoi, kenapa Sumoi melarangku untuk mengejar mereka? Dua orang Nepal keparat itu pantas dihajar!"

   Sian Lun menegur sumoinya ketika mereka tiba kembali di rumah penginapan mereka.

   "Suheng, lupakah engkau bahwa kita ini bukan berada di Bhutan lagi, juga bukan di negara sendiri? Kita berada di Tibet, dan engkau tentu masih ingat bahwa dua orang Nepal itu adalah anak buah Lulung Lama, seorang tokoh yang menjadi pimpinan para Lama Jubah Hitam. Ini tempat mereka dan kalau terjadi keributan, tentu kita yang dianggap sebagai pengacau. Tadi pun aku masih untung dapat membalas serangan fitnah mereka sehingga orang-orang Tibet yang mendengarnya tidak memihak mereka.

   "Ah, aku hanya khawatir kalau kita dianggap penakut dan tidak berani kepada mereka. Juga, sekarang ini kita yang diancam dan kita tidak tahu kapan mereka akan turun tangan mengganggu kita."

   "Suheng, bukankah Guru kita, kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, pernah memberitahu bahwa kita tidak boleh tergesa-gesa menurutkan nafsu kemarahan belaka? Bahkan kita diharuskan bersabar setiap menghadapi lawan, kita harus mempergunakan kecerdikan, bukan asal hantam saja! Tanpa ancaman mereka pun, kita harus waspada setiap saat karena bagi seorang pengembara, kita selalu dikelilingi kemungkinan adanya serangan bahaya. Nah, kita sekarang tidur saja dan besok pagi-pagi sekali kita harus sudah melanjutkan perjalanan."

   Biarpun di dalam hatinya Sian Lun masih merasa penasaran dan marah kepada dua orang Nepal yang telah mengeluarkan kata-kata kasar dan kurang ajar terhadap sumoinya, namun alasan yang dikemukakan Sian Li amat kuat dan juga tepat, maka dia pun hanya mengangguk dan meraka memasuki kamar masing-masing. Malam itu sunyi sekali di rumah penginapan di mana Sian Li dan Sian Lun menginap. Lewat tengah malam, keadaan sudah amat sunyi dan dingin. Petugas rumah penginapan yang berjaga malam ada dua orang dan mereka ini pun sudah meringkuk di meja pengurus, tertidur karena setelah lewat tengah malam,

   Tentu tidak akan ada tamu datang lagi. Lima bayangan hitam itu menyelinap memasuki rumah penginapan melalui pagar tembok belakang dengan melompatinya. Gerakan mereka ringan dan gesit sekali, menunjukkan bahwa lima orang ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Dengan menyusup seperti lima ekor kucing, tanpa mengeluarkan suara, lima orang ini akhirnya telah tiba di belakang kamar Sian Lun dan Sian Li yang berdampingan. Mereka menghampiri jendela dalam dua kelompok, lalu mengintai ke dalam. Gelap dan sunyi saja dalam kedua kamar itu. Mereka itu adalah Badhu dan Sagha, diikuti tiga orang berkepala gundul berjubah hitam. Tiga orang pendeta Lama Jubah Hitam! Kiranya Badhu dan Sagha hendak memenuhi ancamannya dan sekali ini mereka tidak mau gagal.

   Mereka maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka mereka berdua datang mengajak tiga orang tokoh Hek I Lama (Pendeta Lama Jubah Hitam) yang berilmu tinggi. Tiga orang itu adalah para pembantu dari Lulung Lama dan memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dua orang Nepal itu. Mereka memang sudah membuat persiapan dan sudah mengatur rencana membagi tugas. Anak buah mereka telah mencari keterangan di mana letak kamar pemuda dan gadis itu, dan kini mereka sudah siap melaksanakan rencana mereka. Badhu dan seorang pendeta jubah hitam akan bertugas membius gadis berpakaian merah dengan meniupkan asap pembius ke dalam kamar, sedangkan Sagha dibantu dua orang pendeta jubah hitam akan menerjang masuk ke kamar pemuda Han itu dan membunuhnya!

   Setelah memberi isarat, Badhu lalu menghampiri pintu kamar Sian Li, dan dibantu seorang pendeta baju hitam, dia menyusupkan sebuah pipa kecil ke dalam kamar itu melalui bawah pintu. Pipa itu bersambung dengan sebuah kantung kulit yang menggembung. Bersama temannya, Badhu lalu menekan-nekan kantung itu dan asap beracun tertiup masuk kamar melalui pipa. Sementara itu, Sagha dan dua orang pendeta baju hitam, dengan memegang golok, mencokel jendela kamar itu. Dengan mudah saja daun jendela terbuka dan tiga orang itu berloncatan memasuki kamar yang gelap. Mereka menyalakan lilin dan kaget sekali ketika melihat betapa tempat tidur pemuda itu kosong, tidak ada orangnya! Tentu saja Sagha dan dua orang pendeta jubah hitam itu berlompatan keluar lagi.

   "Kamarnya kosong....!"

   Kata Sagha kepada Badhu yang menjadi heran dan kaget bukan main. Kalau kamar pemuda itu kosong, tentu kamar gadis itu kosong pula! Ataukah Si Pemuda itu pindah ke kamar Si Gadis? Badhu tersenyum, menyeringai dan berkata dengan suara mengejek.

   "Tentu saja mereka tidur bersama dalam kamar ini! Siapa orangnya mau membiarkan nona merah yang cantik molek itu tidur kedinginan seorang diri?"

   Mereka tertawa, walaupun suara tawa mereka ditahan agar tidak menimbul-kan kegaduhan.

   "Mereka berdua tentu sudah terbius pingsan sekarang,"

   Katanya lagi dengan girang. Mereka terlalu memandang rendah kepada Sian Li dan Sian Lun. Tidak percuma dua orang muda ini menjadi murid orang-orang sakti seperti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng. Biarpun dua orang ini telah melakukan perjalanan jauh dan tubuh mereka terasa lelah, namun karena tadi bertemu dengan tujuh orang yang hendak membikin ribut di rumah makan, dan mendengar ancaman Si Gendut Badhu, maka suheng dan sumoi ini tidak tidur begitu saja. Mereka beristirahat sambil duduk bersila sehingga biar tubuh mereka dapat beristirahat,

   Namun kewaspadaan mereka selalu menjaga keselamatan mereka. Sedikit gerakan lima orang yang mendekati kamar mereka, biarpun tidak menimbulkan suara gaduh, cukup dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Sian Li menjadi curiga dan ketika ia mengintai dari jendela kamarnya, ia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan. Tahulah ia bahwa ada penjahat yang datang. Ia memang sudah siap siaga maka kamarnya berada dalam kegelapan. Sebelum para penjahat itu melakukan sesuatu, ia sudah membuka jendela samping dan meloncat keluar, terus mengambil jalan memutar dan meloncat ke atas genteng. Hampir ia bertubrukan dengan suhengnya di atas genteng! Kiranya Sian Lun juga sudah dapat melihat para penjahat itu dan seperti juga Sian Li, dia keluar dari kamar dan meloncat ke atas genteng.

   "Ada dua orang menghampiri kamarku Suheng,"

   Katanya lirih.

   "Dan kulihat tiga orang menghampiri kamarku,"

   Kata pula Sian Lun. Mereka berdua sudah mencabut pedang masing-masing dan kini mereka mengintai ke bawah. Mereka melihat apa yang dilakukan lima orang itu, mendengar pula percakapan mereka yang mengira bahwa mereka berdua tidur sekamar! Mendengar ini wajah Sian Li menjadi merah saking marahnya menerima tuduhan kotor tentang dirinya itu. Juga wajah Sian Lun menjadi merah sekali karena tadi pun, seperti malam-malam yang lalu, dia sering bermimpi tidur sekamar dengan sumoinya yang telah mem-buatnya tergila-gila sejak sumoinya remaja! Kini Sian Li sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Ia melayang turun, diikuti suhengnya sambil berseru,

   "Jahanam bermulut busuk!"

   Lima orang yang masih tertawa-tawa itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada dua bayangan orang melayang turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang muda yang mereka kira sedang tidur bersama dalam kamar itu dan yang kini tentu telah roboh pingsan, kini telah berdiri di depan mereka dengan pedang di tangan.

   "Gawat! Lari....!"

   Teriak Badhu yang memimpin gerakan itu. Mereka pun sudah berloncatan ke dalam kegelapan malam, lari ke arah belakang rumah penginapan di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.

   "Jahanam busuk, hendak lari ke mana kalian?"

   Sian Lun berseru marah dan melakukan pengejaran.

   "Hati-hati, Suheng!"

   Teriak Sian Li yang juga ikut mengejar, merasa khawatir karena dari apa yang ia pelajari, sungguh berbahaya melakukan pengejaran terhadap penjahat yang lihai atau banyak jumlahnya di malam hari, apalagi di tempat yang tidak dikenal keadaannya. Akan tetapi ternyata bahwa mereka jauh lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh sehingga sebentar saja, mereka dapat menyusul ketika lima orang penjahat itu tiba di dalam kebun. Dan kini setelah tiba di tempat sepi, agaknya Badhu dan kawan-kawannya sudah siap siaga. Mereka berlima sudah mencabut golok dan tetap dalam pembagian tugas seperti tadi, Badhu dan seorang pendeta jubah hitam menyambut Sian Li dengan golok mereka, sedangkan Sagha dan dua orang pendeta lain menyerang Sian Lun.

   Terjadilah perkelahian yang mati-matian di dalam kebun itu, hanya diterangi oleh sinar bulan yang datang agak lambat. Mereka lebih mengandalkan ketajaman pendengaran daripada penglihatan dan untunglah bahwa untuk ilmu ini, Sian Li dan Sian Lun telah mendapat gemblengan dari guru mereka. Biarpun demikian, ketika senjata mereka bertemu dengan golok mereka yang berkepala gundul dan berjubah hitam, Sian Li dan Sian Lun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka itu amat kuat, jauh lebih kuat dibandingkan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga kasar dari otot-otot yang terlatih. Sian Li masih dapat mengimbangi pengeroyokan Badhu dan seorang pendeta jubah hitam. Gadis ini mengamuk dan gerakannya yang indah mirip sekali dengan gerakan seekor burung bangau. Bangau Merah! Biarpun ia sudah menerima gemblengan berbagai ilmu silat tinggi dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng,

   Akan tetapi yang menjadi inti dari kepandaiannya adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Bangau Putih) yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri sebelum ia berguru kepada kakek dan neneknya. Dan memang Suma Ceng Liong yang menghendaki agar gadis ini memperdalam ilmu warisan ayahnya itu, hanya kini ilmu silat itu dicampur dengan ilmu lain yang tinggi sehingga ilmu silat yang berdasarkan gerakan burung bangau itu kini menjadi aneh dan lihai, namun masih mengandung gerakan halus dari seekor bangau. Yang repot adalah Sian Lun. Tingkat kepandaian pemuda ini memang masih kalah dibandingkan sumoinya, dan kini dia dikeroyok tiga orang. Kepandaian Sagha memang tidak ada artinya bagi Sian Lun, akan tetapi dua orang pendeta jubah hitam itu sungguh lihai bukan main.

   Melawan seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang tangguh, apalagi ada dua orang seperti itu, ditambah dengan Sagha lagi. Sian Lun hanya mampu memutar pedangnya, melindungi dirinya dari sambaran tiga batang golok para pengeroyoknya. Tiba-tiba terjadi keanehan. Lima orang pengeroyok itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kesakitan dan senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka itu lalu berlompatan jauh ke belakang dan melarikan diri dari Sian Li dan Sian Lun yang tentu saja menjadi bengong terheran-heran. Mereka tidak merasa telah melukai para pengeroyok itu, akan tetapi mengapa mereka berlima itu melepaskan golok dan melarikan diri seperti orang ketakutan? Sian Lun hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Sian Li memegang tangan kirinya mencegah,

   "Suheng, mereka itu merupakan lawan berat, berbahaya sekali kalau dikejar. Mari kita kembali ke kamar!"

   Katanya.

   "Tapi, apa yang telah terjadi? Kenapa mereka melepaskan senjata dan melarikan diri seperti orang ketakutan?"

   Sian Li menggeleng kepalanya,

   "Entahlah, Suheng, aku pun tidak mengerti. Telah terjadi keanehan malam ini, mungkin ada dewa yang menolong kita."

   Mereka kembali ke rumah penginapan di mana telah berkumpul banyak orang. Kegaduhan tadi membangunkan para tamu, juga para pelayan sehingga kini mereka berkerumun di depan kamar Sian Li dan kamar Sian Lun. Ketika dua orang muda itu muncul, tentu saja mereka dihujani pertanyaan.

   "Ada dua orang pencuri hendak memasuki kamar kami berdua,"

   Kata Sian Lun.

   "Mereka mempergunakan asap pembius. Harap kalian mundur semua, aku akan membuka jendela agar asap itu keluar. Awas, yang terkena asap itu dan menyedotnya, akan jatuh pingsan."

   Ia lalu membuka daun jendela kamarnya, lalu pergi menjauhi kamar itu, demikian pula Sian Lun.

   Dari dalam kamar itu membubung asap tipis yang tidak berapa banyak lagi karena tadi sebagian asap sudah keluar melalui celah-celah pintu, jendela dan atap. Orang-orang menjauh dan memandang heran. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu melarikan diri tanpa membawa barang curian, dikejar dua orang muda itu, pengurus rumah penginapan merasa lega dan para tamu pun berangsur kembali ke kamar masing-masing. Tentu saja kini mereka tahu bahwa gadis berpakaian merah yang cantik dan pemuda tampan itu adalah dua orang pendekar! Sementara itu, dari tempat gelap tak jauh dari situ, seorang laki-laki yang bersembunyi dalam gelap, meremas-remas jari tangan sendiri. Pandang matanya penuh ketegangan, keraguan, juga keharuan, bibirnya berkemak-kemik bicara seorang diri dengan lirih.

   "Benarkah ia? Ah, tidak mungkin. Kenapa ia berada di sini dan siapa pemuda itu? Benarkah ia Sian Li....? Tapi pakaian merah itu.... ah, benarkah ia Tan Sian Li....?"

   Dengan wajah penuh keraguan dia masih bardiri termangu-mangu di tempat gelap itu sampai Sian Li dan Sian Lun memasuki kamar masing-masing dan tempat itu menjadi sunyi kembali. Siapakah pria itu? Dan apa pula yang telah terjadi ketika Sian Li dan Sian Lun dikeroyok lima orang lawan yang lihai tadi? Mengapa mereka melarikan diri? Kita ikuti perjalanan mereka selanjutnya.

   Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sian Lun dan Sian Li telah meninggalkan rumah penginapan dan menuntun kuda mereka ke pasar kuda yang selalu ramai di tempat itu. Tentu saja dua ekor kuda tunggangan mereka menarik perhatian pembeli karena dua ekor binatang itu adalah kuda-kuda pilihan dari kandang kuda istana Bhutan! Dengan mudah saja mereka mendapatkan pembeli yang berani membayar cukup mahal untuk dua ekor kuda itu. Sian Li dan Sian Lun lalu menuju ke bandar sungai untuk menyewa sebuah perahu yang akan mereka tumpangi sampai ke belokan air Sungai Yalu-cangpo atau Sungai Brahmaputra yang membelok ke selatan. Dari belokan itu, mereka akan mendarat dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki atau berkuda lagi menuju ke timur. Seorang peranakan Han-Tibet yang mempunyai sebuah perahu yang sedang besarnya, menyanggupi perjalanan itu dengan upah yang cukup memadai.

   Orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun kulitnya hangus kecoklatan karena setiap hari pekerjaannya sebagai nelayan membuat kulitnya setiap hari terbakar sinar matahari. Kalau tidak karena logat bicaranya, tentu sukar dikenal bahwa dia peranakan Han. Baik wajah dan pakaiannya sudah sepenuhnya orang Tibet. Orangnya pendiam dan juga sopan, maka Sian Li memilih orang ini daripada pemilik perahu lain walau harus membayar lebih mahal. Perjalanan dengan perahu itu cukup menyenangkan. Perahunya kokoh dan baik imbangannya, tukang perahunya pendiam dan ahli mengemudikan perahu. Air sungai pun tenang dan dalam karena waktu itu musim semi, tidak banyak hujan. Pemandangan di tepi sungai juga amat indah, penuh pohon-pohonan menghijau, diseling bunga beraneka warna dan bentuk.

   Kadang-kadang sungai itu melewati daerah yang diapit tebing bukit yang menjulang tinggi, kadang melalui ladang yang tanahnya landai dan datar. Kalau malam tiba, Sian Li menyuruh tukang perahu menghentikan perahunya. Mereka dapat mencoba untuk memancing ikan, menggunakan alat pancing milik tukang perahu dan betapa senangnya hati Sian Li kalau ia berhasil mendapatkan seekor ikan. Mereka membakar ikan hasil pancingan mereka, makan ikan dengan arak ringan yang membuat dua orang muda itu merasa gembira sekali, Apalagi kalau bulan sudah muncul. Duduk di kepala perahu sambil makan ikan bakar, bercakap-cakap di bawah sinar bulan purnama, dihembus angin malam yang lembut, bau daun ilalang di sekitar pantai, dan perahu bergoyang lembut seolah-olah membuat mereka seperti diayun-ayun, sungguh amat menyenangkan.

   Dia romantis sekali. Keadaan dan suasana itulah yang membuat sinar mata Sian Lun ketika dia memandang wajah sumoinya yang tertimpa sinar bulan, lain daripada biasanya. Ketika mendadak suhengnya yang tadi bercakap-cakap dengan gembira itu kini diam saja, Sian Li merasakan suatu perubahan pada suhengnya yang membuatnya menatap wajah suhengnya. Dan diam-diam ia terkejut. Suhengnya memandang kepada-nya dengan aneh! Sinar mata suhengnya itu! Seolah-olah mata itu dengan lembutnya membelainya, kemudian berusaha untuk menjenguk isi hatinya. Dan pandang mata itu mengandung sesuatu yang membuat jantungnya berdebar aneh, sepasang mata itu tak pernah berkedip.

   "Heii, Suheng! Apa-apaan sih engkau ini?"

   Teriaknya untuk menekan guncangan hatinya sendiri, memecahkan suasana yang membuatnya canggung itu.

   "Kenapa, Sumoi?"

   Kata Sian Lun dan suaranya pun berubah bagi Sian Li. Suara itu demikian lembut, seperti mengelusnya dan keluar dari dalam dada.

   "Suheng, kenapa engkau memandangku seperti itu?"

   Tegurnya. Mereka dapat bicara dengan bebas karena tukang perahu telah tidur di tepi sungai, menggulung dirinya dalam selimutnya yang tebal. Dalam keadaan masih terpesona, seperti tersihir oleh wajah yang nampak cantik jelita luar biasa ketika bermandikan sinar bulan itu. Sian Lun masih belum sadar dan dia menjawab dengan suara penuh kagum dan penuh kasih sayang.

   "Engkau... engkau begitu cantik jelita..."

   Dalam keadaan biasa, pujian dari suhengnya itu tentu akan membuat Sian Li tertawa geli, akan tetapi sekarang, sigar mata suhengnya membuat wajahnya menjadi merah sekali ketika mendengar pujian itu. Akan tetapi ia memaksa diri menekan perasaan aneh, rasa senang gembira dan bangga, dan ia pun memaksa diri untuk tertawa. Ia membayangkan dirinya dan suhengnya yang telah berlatih bersama, bermain bersama sejak ia berusia dua belas tahun, ketika ia masih kanak-kanak, dan tiba-tiba suhengnya yang biasanya selalu bersikap sopan dan serius kepadanya, kini memuji kecantikannya. Lucu!

   "Hi-hi-hik, heh-heh.... kau lucu, suheng! Kenapa mendadak saja engkau seperti ini? Jangan-jangan engkau kemasukan setan sungai ini yang kabarnya keramat? Kalau mau mengagumi kecantikan, tengoklah ke atas. Lihat, bulan itulah yang cantik jelita penuh senyum."

   Akan tetapi ucapan yang penuh kelakar itu tidak cukup kuat untuk menyeret Sian Lun turun kembali ke dalam keadaan seperti biasa yang wajar. Dia masih terpesona!

   "Tidak, Sumoi. Kecantikan Sang Bulan tidak dapat disamakan dengan kecantikanmu! Kecantikan bulan itu mati, akan tetapi engkau.... aih, Sumoi, tidak ada wanita di seluruh dunia ini yang dapat menyamai kecantikanmu!"

   Kalau tadi Sian Li masih tersenyum-senyum manis, kini senyumnya menghilang dan alisnya berkerut khawatir. Namun bagi Sian Lun, seperti juga semua laki-laki yang sudah jatuh cinta, perubahan wajah gadis itu sama sekali tidak mengubah hasil pandangannya. Tersenyum tertawa, merengut atau menangis atau marah-marah, tetap saja cantik jelita! Bagi hati yang sedang tergila-gila oleh cinta, wajah yang cemberut bahkan bertambah manis! Sebaliknya, bagi hati yang diracuni benci, wajah yang tersenyum dianggap mengejek dan menyebalkan!

   "Suheng, sadarlah! Kita sudah bergaul sejak aku kecil, kita biasa berlatih bersama, bermain bersama. Kenapa sekarang engkau bersikap begini? Mengerikan! Hentikan kelakarmu ini, atau aku akan benar-benar marah, Suheng!"

   Katanya dan untuk menyadarkan suhengnya. Sian Li memegang lengan pemuda itu dan mengguncang-nya agak keras. Sian Lun baru menyadari ketidakwajaran sikapnya. Dia menarik napas panjang seperti orang mengeluh,

   "Maaf, Sumoi, maafkan sikapku tadi.... akan tetapi.... aku seperti mabok, Sumoi. Mabok oleh apa yang kulihat malam ini. Wajahmu disinari bulan purnama, rambutmu, matamu, hidung dan bibirmu.... ah, engkau memang cantik jelita, sumoi dan aku.... aku tak dapat menahan lagi rahasia hatiku, aku cinta padamu, Sumoi, aku cinta padamu...."

   Sepasang mata yang indah itu terbelalak, pipi yang tadi kemerahan itu mendadak menjadi pucat, lalu merah lagi dan tiba-tiba saja Sian Li menggerakkan ke dua tangannya mendorong kedua pundak Sian Lun. Pemuda itu terkejut, tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tubuhnya terjengkang keluar dari perahu.

   "Byuurrr....!"

   Air muncrat tinggi dan tubuh Sian Lun tenggelam! Tak lama kemudian, pemuda itu muncul kembali dan gelagapan. Sian Lun bukan tak pandai renang, akan tetapi dia tadi terlampau kaget ketika tubuhnya didorong sumoinya keluar dari perahu, dan kini dia pun harus melawan arus air, kembali ke perahu.

   "Peganglah ini!"

   Kata Sian Li yang sudah menjulurkan dayung ke arah pemuda itu. Setelah tadi mendorong tubuh suhengya sehingga terjatuh ke dalam air di luar perahu, Sian Li baru menyesali perbuatannya, dan melihat pemuda itu gelagapan, ia lalu menyambar dayung dsn menolong-nya naik. Sian Lun naik ke perahu dengan pakaian basah kuyup, juga rambutnya basah kuyup. Mereka berdiri berhadapan di kepala perahu, saling pandang. Sian Li marasa kasihan juga melihat suhengnya yang basah kuyup dan nampak bersedih.

   "Maafkan aku, Sumoi,"

   Kata Sian Lun lirih. Hemmm, sudah didorong ke dalam air, malah minta maaf. Sian Li merasa semakin menyesal.

   "Habis, engkau sih, Suheng, yang aneh-aneh. Aku tidak suka melihat dan mendengar engkau seperti tadi! Engkau Suhengku, kuanggap seperti kakak sendiri, dan aku.... aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal cinta. Jangan sebut-sebut lagi soal itu. Dan kau juga maafkan aku yang tadi mendorongmu karena marah."

   Sian Lun menundukkan mukanya. Didorong ke air oleh Sian Li bukan apa-apa,

   Biar didorong seratus kali dia mau asal gadis yang membuatnya tergila-gila itu suka menerima cintanya. Yang membuat hatinya terasa sedih sekali adalah ucapan sumoinya tadi. Sumoinya tidak mau bicara tentang cinta dan menganggap dia seperti kakak sendiri! Dia menundukkan mukanya dan memasuki bilik perahu untuk bertukar pakaian kering. Sian Li memandang ke arah kain tirai yang menutup pintu bilik dengan hati iba. Akan tetapi ia tidak berbohong dengan ucapannya tadi. Selama ini ia menyayang Sian Lun sebagai suheng, atau sebagai kakak sendiri, sama sekali tak pernah terbayangkan memandang suhengnya itu sebagai seorang kekasih, sebagai seorang calon suami! Lucu dan aneh rasanya kalau ia harus menjadi isteri suhengnya! Ketika Sian Li sedang melamun, tiba-tiba perahu itu terguncang. Ia terkejut dan menengok.

   "Heiiii....!"

   Teriaknya ketika melihat ada dua orang berpakaian hitam tiba-tiba saja meloncat dari air ke atas perahunya, dan sebuah perahu meluncur cepat menuju ke situ. Tahulah ia bahwa ada orang jahat yang hendak mengganggunya, maka cepat ia menyambut kedua orang itu dengan serangan kakinya yang melakukan tendangan beruntun. Tendangan-tendangan kaki Si Bangau Merah Tan Sian Li tidak boleh disamakan dengan tendangan kaki seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang biasa saja. Tendangan itu selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga sin-kang, karena gerakan itu adalah menurut ilmu tendang sakti Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong! Dua orang berpakaian hitam yang basah kuyup itu tidak sempat mengelak, hanya mampu menggerak-kan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga mereka.

   "Dukk! Plakk!"

   Tangkisan mereka yang disertai tenaga itu bahkan membuat tendangan itu semakin ampuh. Tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter dan mereka pun terjatuh ke air kembali.

   Air muncrat lebih tinggi daripada ketika Sian Lun tercebur tadi! Akan tetapi, dari tepi perahu yang lain telah berloncatan empat orang berpakaian hitam yang lain lagi. Mereka membawa golok dan mereka sudah menerjang Sian Li dari belakang. Gadis itu mendengar sambaran golok dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik tiga kali dan ketika tubuhnya turun, ia telah meluncur dengan kepala di bawah, didahului sebatang pedang yang tadi sudah dibawanya loncat dan dicabut ketika tubuhnya berjungkir balik. Sinar pedangnya meluncur dan menyambar ke arah tiga orang penyerangnya tadi. Gerakannya bagaikan seekor burung bangau merah melayang turun dan paruh yang runcing di bawah, siap untuk mematuk! Akan tetapi tiga orang itu ternyata lihai juga. Mereka memutar golok untuk melindungi diri dari sinar pedang yang menyambar bagaikan kilat itu.

   "Trang-trang-trang....!"

   Karena tiga kali beradu senjata selagi tubuhnya masih di udara, terpaksa Sian Li berjungkir balik lagi agar jangan sampai terbanting jatuh.

   Ia dapat turun ke atas perahu, akan tetapi terhuyung karena perahu itu terguncang oleh tenaga tiga orang itu. Dan tiga orang itu, yang agaknya lebih biasa di atas perahu, yang bergoyang-goyang, sudah menerjang maju! Tiba-tiba, Sian Lun yang sudah berganti pakaian dan mendengar suara gaduh di luar bilik perahu, sudah meloncat dan dengan pedang diputar dia menghadang terjangan tiga orang itu. Terdengar bunyi berdentangan dan bunga api barpijar ketika pedang di tangan Sian Lun bertemu dengan tiga batang golok para pengeroyok yang ternyata cukup lihai itu. Dan Sian Li tidak dapat membantu Sian Lun karena pada saat itu, dua orang lagi sudah meloncat naik dan mengeroyok Sian Li dengan golok mereka.

   "Pendeta-pendeta busuk, munafik, jahat....!"

   Sian Li marah sekali dan sambil memaki-maki, pedangnya digerakkan dengan dahsyat, membuat kedua orang pengeroyoknya itu terdesak. Akan tetapi, pada saat itu, perahu berguncang keras dan miring! Sian Lun masih sempat meloncat ke tepi sungai, akan tetapi Sian Li tidak sempat lagi kerena selain kedua orang lawannya sudah menyergapnya lagi selagi perahu miring dan hampir terbalik, juga dara ini berada di sisi perahu yang tiba-tiba miring ke bawah. Ia mencoba untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya, akan tetapi dua batang golok menyambar kakinya.

   Terpaksa Sian Li meloncat dan tak dapat dihindarkan lagi, ia tercebur ke dalam air! Kepandaian Sian Li di air hanya biasa-biasa saja, hanya sekedar dapat berenang dan tidak sampai tenggelam, maka ketika dua orang penjahat yang sudah biasa bermain di air menyelam dan memegangi kedua kakinya, gadis ini tidak berdaya, meronta dan gelagapan sehingga akhirnya ia tertawan, kedua tangannya dibelenggu ke bela-kang dan ia diseret ke tepi sungai oleh empat orang! Sementara itu, Sian Lun yang berhasil melompat ke daratan dan tidak sampat tercebur, masih dikepung oleh tiga orang lawan yang cukup tangguh. Pemuda ini mengamuk dan sukarlah bagi tiga orang itu untuk mampu mendesaknya. Akan tetapi ketika Sian Lun melihat becapa sumoinya tertawan, dia menjadi khawatir sekali dan juga marah.

   "Lepaskan ia!"

   Bentak-nya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dia sudsh meninggalkan tiga orang pengepungnya,

   Langsung saja dia menyambar ke arah empat orang yang menawan Sian Li! pedangnya diputar dan empat orang itu terkejut, cepat mereka menggerakkan golok untuk menangkis, lalu mengepung Sian Lun, Pemuda ini nekat. Dia harus dapat menyelamatkan sumoinya. Gerakan pedangnya amat hebat karena pemuda yang sudah marah dan nekat ini sudah memainkan Ilmu Pedang Koai-liong-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari subonya (ibu gurunya). Pedangnya seperti berubah menjadi seekor naga mengamuk dan desing pedang seperti auman naga. Empat orang lawannya terkejut dan terpaksa mundur berpencar. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sian Lun untuk mendekati sumoinya dan sekali menggerakkan pedang, tali pengikat pergelangan kedua tangan Sian Li terbabat putus.

   "Awas, Suheng....!"

   Teriak Sian Li ketika melihat betapa empat orang itu, ditambah tiga orang lagi, serentak menyerang Sian Lun dari belakang dan kanan kiri! Sian Lun membalik sambil memutar pedang-nya, dan Sian Li menerjang orang yang merampas pedangnya dengan sebuah tendangan ke arah tangan yang memegang golok, dilanjutkan, tubrukan ke depan untuk merampas kembali pedangnya yang dipegang tangan kiri orang itu. Tubrukannya berhasil ketika orang itu mengelak ke samping, dan di lain saat pedang itu telah dirampasnya kembali. Akan tetapi, ketika Sian Lun menangkis, terlampau banyak golok menyerangnya sehingga sebuah di antara golok yang menyerangnya, ketika ditangkis putaran pedangnya, masih sempat melukai pundak kirinya sehingga baju di bagian pundak itu terobek berikut kulit pundak yang terluka dan berdarah.

   "Suheng, kau terluka?"

   
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Teriak Sian Li sambil memutar pedang membantu suhengnya.

   "Tidak mengapa. Kita basmi manusia-manusia busuk ini!"

   Bentak Sian Lun yang sudah marah sekali dan dengan penuh semangat dia juga memutar pedangnya, menyerang dengan dahsyat.

   Kedua orang kakak beradik seperguruan itu mempergunakan ilmu-ilmu pedang yang amat hebat. Sian Lun tetap memainkan Ilmu pedang Naga Siluman, sedangkan Sian Li kini memainkan Ilmu Pedang Suling Emas seperti yang ia pelajari dari neneknya, Kam Bi Eng! Dua macam ilmu pedang ini memang merupakan ilmu-ilmu pedang yang dahsyat, dan Nenek Kam Bi Eng telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari ayahnya, Kam Hong yang telah menggabungkan kedua ilmu itu menjadi satu. Maka, ketika kedua orang muda ini memainkan dua macam ilmu itu, mereka merupakan pasangan yang amat kuat sehingga tujuh orang pengeroyok mereka kewalahan dan mereka pun berloncatan ke belakang dan melarikan diri ke dalam hutan gelap di tepi sungai.

   "Jahanam, kalian hendak lari ke mana?"

   Sian Lun melompat dan melakukan pengejaran.

   "Suheng, jangan kejar!"

   Sian Li berseru, akan tetapi suhengnya sudah berlari cepat dan tidak mau berhenti.

   "Suheng, berbahaya kalau mengejar mereka!"

   Kembali Sian Li berteriak. Karena Sian Lun tidak menanggapi dan terus berlari, terpaksa ia pun berlari mengejar dengan hati khawatir sekali. Hutan itu gelap dan cahaya bulan hanya menjadi sinar suram muram yang memasuki celah-celah daun dan ranting. Makin gelap saja dan akhirnya Sian Li menjadi bingung karena ia kehilangan jejak tujuh orang itu, juga kehilangan jejak suhengnya.

   Tadi ia masih dapat mendengar suara kaki mereka menginjak daun kering. Akan tetapi kini, di sekelilingnya sunyi dan ia, tidak tahu harus mengejar ke mana. Dengan hati-hati ia berjalan ke sana sini, berkeliaran tanpa arah di dalam hutan yang lebat itu, mengerahkan kekuatan mata dan telinga untuk mencari kembali jejak mereka. Namun, usahanya sia-sia, bahkan untuk kembali ke tepi sungai tempat perahu tadi pun ia sudah tidak mengenal jalan lagi! Terpaksa Sian Li menunggu sampai pagi. Tidak lama ia menanti karena tak lama kemudian, sinar bulan semakin muram, sinar matahari mulai membakar langit di timur. Setelah cuaca tidak gelap lagi, sudah remang-remang, Sian Li bangkit dari bawah pohon dan melanjut-kan pencariannya. Ia merasa khawatir sekali. Tiba-tiba ia mendengar teriakan suhengnya.

   "Sumoi, pergilah jauh-jauh jangan ke sini!"

   Mendengar suara ini, tentu saja Sian Li terkejut bukan main. Ia seorang gadis yang cerdik, maka seruan suhengnya itu membuat ia sejenak termangu. Ia tahu bahwa suhengnya tentu berada dalam bahaya,

   Dan suhengnya tidak menghendaki ia mendekat karena tentu ada bahaya mengancamnya pula kalau ia men-dekat! Akan tetapi, bagaimana mungkin ia membiarkan saja suhengnya terancam bahaya? Bagaimana mungkin ia pergi menjauh hanya karena ada bahaya mengancamnya setelah ia tahu bahwa suhengnya dalam bahaya? Tidak, ia harus menolong suhengnya. Terbayang ketika tadi dengan nekat dan mati-matian suhengnya menolongnya ketika ia tertawan, bahkan suhengnya sampai mengorbankan dirinya dan terluka pundak kirinya untuk menyelamatkan dirinya. Ia harus menolong suhengnya, biarlah ia akan menghadapi bahaya apa pun! Setelah mengambil keputusan tetap, dengan hati-hati namun cepat sekali Sian Li mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari seperti terbang menuju ke arah suara tadi.

   Suhengnya hanya mengeluarkan kalimat itu saja lalu keadaan kembali sunyi sehingga tentu saja hatinya menjadi semakin gelisah, meng-khawatirkan suhengnya. Ia tidak berani memanggil, karena kalau ada musuh di sana, tentu akan dapat mendengar suaranya. Kalau ia ingin menolong suhengnya, ia harus dapat mendekati tempat suhengnya itu dengan diam-diam dan tersembunyi. Ia harus melihat keadaan dulu sebelum turun tangan. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat dari balik batang pohon yang besar, suhengnya telah terbelenggu di bawah sebatang pohon besar, diikat pada pohon itu dan agaknya suhengnya pingsan atau tertotok karena lehernya terkulai dan kepalanya menunduk dalam. Tali yang amat kuat membelit tubuhnya dari kaki ke dada, kedua lengan ke belakang, dan diikat kepada batang pohon itu!

   Tidak nam-pak orang lain di sana! Menurutkan dorongan hatinya, tentu saja ia ingin sekali melompat mendekati suhengnya dan membebaskannya dari ikatan itu, akan tetapi kecerdikannya membuat ia berpikir sebelum bergerak. Mustahil kalau suhengnya ditangkap, dibelenggu lalu ditinggalkan saja di situ tanpa penjagaan, Tempat itu begitu sunyi, seolah tidak ada orang lain kcuali suhengnya. Mustahil! Ini tentu sebuah perangkap, sebuah jebakan, ia membayangkan, jebakan apa yang mungkin dipasang oleh pihak musuh. Mereka dapat bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, siap dengan anak panah atau senjata rahasia di tangan. Kalau ia menghampiri suhengnya, tentu mereka akan menghujanan anak panah atau senjata rahasia. Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya.

   Kalau mereka ingin membunuhnya, kenapa suhengnya yang sudah tertawan itu dibiarkan hidup? Mereka tentu memasang jebakan untuk menangkapnya hidup-hidup atau jebakan atau perangkap apa yang mungkin mereka pasang? Sebuah lubang di dekat tempat suhengnya diikat? Lubang yang dtutupi rumput agar ia terjeblos ke dalam lubang kalau menghampiri suhengnya? Atau mereka akan keluar dan mengepung tempat itu? Sian Li mendapatkan perasaan yang aneh sekali. Ia merasa seperti menjadi harimau yang dipancing dengan umpan! Suhengnya menjadi kambingnya yang diikat di sana, untuk memancing munculnya Sang Harimau. Apa pun yang akan terjadi, bagaimana nanti sajalah! Yang paling penting, ia harus menolong suhengnya! Ia akan berhati-hati, menjaga segala kemungkinan. Ia akan memperhatikan sekelilingnya, juga memperhatikan tanah yang diinjaknya!

   Dengan pedang terhunus di tangan kanan, dan sebatang tongkat dari cabang pohon yang dipatahkannya, ia melangkah keluar dari balik pohon, dengan hati-hati ia melangkah maju, mempergunakan tongkat yang dua meter panjangnya itu untuk meraba-raba dan menusuk-nusuk tanah di depannya sebelum ia melangkah. Ia maju selangkah demi selangkah, tongkatnya meneliti tanah yang akan diinjak, matanya waspada meneliti keadaan sekeliling sehingga kalau ada ancaman datang dari sekelilingnya, ia tidak akan mudah dibokong. Tinggal kurang lebih sepuluh meter lagi dari tempat Sian Lun diikat pada batang pohon. Tiba-tiba ia berhenti melangkah. Ujung tongkatnya menembus lapisan rumput! Di bawah rumput itu ada lubang! Ia menyelidiki dengan ujung tongkatnya. Ada lubang bundar yang garis tengahnya tidak kurang dari satu setengah meter!

   Lubang yang ditutup lapisan rumput. Kalau ia melangkah atau berlari di atas lapisan rumput, tentu ia akan terjeblos ke bawah. Tepat seperti yang diduganya! Dengan pengerahan tenaga pada tongkatnya, ia mencokel lapisan rumput itu sampai lapisan penutup lubang itu terbuka semua! Kini nampaklah lubang itu, yang dalamnya tidak kurang dari tiga meter! Sekali terjeblos ke dalamnya, tentu ia akan sukar meloloskan diri, karena tentu mereka akan mengepung lubang dan mencegah ia melompat keluar lagi. Sian Li tersenyum. Untung ia bersikap hati-hati. Dengan ujung tongkat terus meraba, ia melangkah lagi mengitari lubang dan tiba di depan suhengnya tanpa ada rintangan lain. Agaknya hanya lubang itulah perangkap yang dipasang musuh. Sekarang ia harus cepat membebaskan suhengnya.

   "Suheng....!"

   Ia mengguncang pundak suhengnya. Akan tetapi suhengnya tetap lemas seperti tidur, atau pingsan, atau tertotok. Ia harus lebih dulu melepaskan ikatan itu kalau ingin membebaskan suhengnya dari totokan. Totokan yang melenyapkan semua tenaga itu harus dibebaskan dengan totokan dan urutan pada punggung, di pusat tenaga tengah pinggang.

   Dengan pedangnya, Sian Li lalu membikin putus semua tali pengikat tubuh suhengnya. Ia harus merangkul suhengnya agar tidak sampai tubuh itu terkulai jatuh. Dan pada saat ia merangkul suhengnya itulah jala itu jatuh dari atas pohon! Jala yang lebar, yang siap di atas pohon dan tali-talinya dipegangi beberapa orang yang tersembunyi. Tali-tali dilepas dan jala itu pun jatuh menyelimuti Sian Li dan Sian Lun! Sian Li terkejut bukan main. Ia tidak menyangka akan datang serangan dari atas. Ada beberapa hal yang membuat dara perkasa ini tidak dapat menghindarkan diri dari serangan jala. Pertama, perhatiannya hanya ditujukan kepada suhengnya dan sekelilingnya. Ke dua, baru saja ia menemukan perangkap lubang tertutup lapisan rumput itu sehingga ia menganggap telah terbebas dari ancaman bahaya jebakan dan membuatnya menjadi lengah,

   Dan ke tiga terutama sekali karena ia sedang merangkul suhengnya yang lemas untuk mencegah tubuh yang lemas itu terkulai jatuh. Sian Li mencoba untuk melepaskan diri, meronta-ronta, akan tetapi segera muncul tujuh orang berpakaian hitam-hitam itu dan tali-tali jala ditarik semakin kuat sehingga ia dan suhengnya terbelit dan terbungkus jala menjadi satu sampai ia tidak mampu bergerak lagi. Dengan mudah saja orang-orang berpakaian hitam itu meringkusnya dan mengikat tangan dan kakinya sebelum ia dikeluarkan dari dalam selimutan jala, demikian pula kaki dan tangan Sian Lun diikat pula. Kemudian, sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menaikkan tubuh kedua orang muda itu ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, dan dipegangi orang yang menunggang kuda, dan mereka lalu pergi dari situ menunggang kuda, menuju ke timur.

   Matahari telah naik tinggi ketika rombongan tujuh orang itu berhenti di depan sebuah bangunan yang berada di puncak sebuah bukit. Tempat itu jauh dari dusun dan nampak sunyi, walaupun di kaki bukit tadi terdapat yang ditinggali orang-orang suku Tibet dan ada pula suku Miao. Sian Lun sadar dan begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di punggung kuda, menelungkup dan melintang di depan seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda itu, dia tahu bahwa dia dibawa pergi dan hatinya merasa lega. Tentu sumoinya telah mendengar teriakannya tadi sebelum dia ditotok pingsan dan sumoinya tidak mau mendekati tempat yang sudah dipasangi jebakan berbahaya itu. Biarlah, biar dia dibunuh sekalipun, asal sumoinya selamat, dia ikut girang.

   "Suheng....!"

   Sian Lun me-nengok ke kiri dan terkejut bukan main. Dia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan suara. Lehernya seperti dicekik dan dadanya seperti hendak meledak. Kiranya Sian Li juga telah tertangkap seperti dia! Diikat kaki tangannya, ditelungkupkan di punggung kuda dan sama sekali tidak berdaya. Sungguh celaka! Melihat wajah suhengnya menjadi pucat dan matanya terbelalak, Sian Li tersenyum!

   "Suheng, kita belum mati!"

   Katanya dan ucapan ini membesarkan hatinya.

   Benar juga. Mereka masih hidup dan selama mereka masih hidup, dia tidak boleh putus asa! Kalau mereka ditawan dan tidak dibunuh, hal itu hanya berarti bahwa para penawan mereka tidak menghendaki kematian mereka. Sementara ini, bahaya maut masih jauh dan masih ada harapan bagi mereka berdua untuk mencari jalan membebaskan diri. Sian Li memberi isarat dengan kedipan mata lalu memejamkan matanya, dan Sian Lun mengerti, maka dia pun tidak mau bicara lagi. Lebih baik mengumpulkan tenaga untuk bersiap-siaga, di mana ada kesempatan mereka akan membebaskan diri. Rombongan itu memasuki pekarangan rumah, kemudian dua orang tawanan dipanggul masuk ke dalam rumah, dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di dalam rumah itu terdapat belasan orang, kesemuanya berkepala gundul dan mengenakan jubah hitam.

   Kiranya tempat itu merupakan sarang Hek I Lama yang menjadi orang-orang buruan pemerintah Tibet! Sian Lun dan Sian Li dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang berdampingan, dipisahkan dinding terali besi yang kokoh kuat. Mereka dapat saling lihat, akan tetapi dinding pemisah itu kuat bukan main. Juga ruangan tahanan itu mempunyai pintu besar terbuat dari besi berterali yang kokoh, dikunci dari luar. Ketika dimasukkan ke dalam ruangan tahanan, ikatan kedua kaki mereka dilepas dan kini hanya kedua tangan mereka saja yang masih terbelenggu ke belakang. Setidaknya, mereka dapat bergerak, dapat berdiri atau duduk. Mereka lalu duduk bersila, mengatur pernapasan. Sian Liberpikir. Ia melihat bahwa tujuh orang tadi sesungguhnya juga para anggauta Lama Jubah Hitam yang menyamar,

   Menutupi kepala gundul mereka dangan kain hitam dan pakaian mereka juga ringkas, tidak mengenakan jubah pendeta. Jelas bahwa ia dan suhengnya tertawan oleh para pendeta Lama jubah hitam yang menurut keterangan dipimpin oleh Lulung Lama. Pendeta Tibet itu merupakan pimpinan golongan pendeta Lama yang tidak sah, yang dimusuhi pemerintah Tibet sendiri, dan golongan ini telah bersekutu dengan gerombolan dari Nepal yang juga merupakan pemberontak di negaranya sendiri. Mereka itu melakukan gerakan menghasut dan mengobarkan sikap anti pemerintah Ceng di Cina, dan agaknya mereka itu hendak melakukan gerakan pemberontakan di Cina dan kini sedang menyusun kekuatan. Semua ini ia dengar dari Gangga Dewi ketika ia masih berada di Bhutan. Akan tetapi kenapa Lama Jubah Hitam menawan ia dan suhengnya?

   "Sumoi, kau baik-baik saja?"

   Tiba-tiba suara Sian Lun ini menyadarkan Sian Li dari lamunannya. Ia mengangkat muka memandang dan suhengnya telah berdiri di dekat jeruji pemisah kamar tahanan mereka. Kedua tangan suhengnya juga masih terbelenggu. Ikatan itu longgar saja, akan tetapi tidak mungkin dipatahkan, karena tali untuk mengikatnya adalah dari kulit yang amat kuat, yang dapat melentur sehingga tidak dapat dibikin putus.

   "Aku tidak apa-apa, Suheng. Dan mereka tidak melukaimu?"

   "Tidak, hanya menotok dan membius. Bahkan lukaku di pundak tahu-tahu telah kering dan mereka obati. Sungguh aneh, apa maksud mereka itu menawan kita?"

   "Aku sendiri tidak tahu, Suheng. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus berhati-hati dan jangan terburu nafsu, dapat menahan diri melihat keadaan. Karena engkau terburu nafsu, maka telah berlaku sembrono sehingga kita tertawan."

   "Maafkan aku, Sumoi. Memang aku ceroboh, semestinya aku tidak mengejar mereka. Akan tetapi engkau.... aku berterima kasih padamu, Sumoi. Engkau telah membelaku sehingga engkau sendiri tertawan."

   Melihat pandang mata suhengnya itu penuh kasih dan keharuan, Sian Li menarik napas panjang.

   

Suling Naga Eps 9 Kisah Si Bangau Putih Eps 29 Suling Naga Eps 28

Cari Blog Ini