Kisah Si Bangau Putih 11
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Tentu saja Ci Hwa merasa girang dan terhormat sekali. Semangatnya untuk menyelidiki Tiat-liong-pang seperti awan tipis tersapu angin, lenyap sudah. Dan kini, ia berjalan di sebelah pemuda itu bukan lagi seperti seorang yang ingin menyelidiki, melainkan sebagai seorang tamu yang merasa gembira bukan main telah dapat menjadi tamu seorang tuan rumah seperti pemuda ini. Kalau saja, para gadis lain melihatnya, berjalan berdampingan dengan seorang pangeran yang demikian tampan demikian gagah perkasa, tentu mereka akan merasa iri hati!
Siangkoan Liong membawa Ci Hwa ke rumah gedung keluarganya, akan tetapi ia tidak mengajaknya berjumpa dengan ayahnya. Juga tidak memperkenalkan-nya kepada semua orang yang terdapat di gedung itu, dan karena dia diam saja, tak seorang pun di antara para anggauta maupun tamu di rumah itu berani bertanya kepadanya siapa gerangan gadis manis yang datang bersamanya itu. Sedangkan Ci Hwa, melihat betapa semua orang memberi hormat kepada pemuda itu, merasa semakin bangga! Apalagi ketika ia melihat betapa rumah gedung itu memang penuh dengan perabot rumah yang indah, seperti sebuah istana seorang pembesar saja. Tidak salah. Pemuda yang berdarah pangeran ini memang kaya raya dan tentu saja tidak perlu harus melakukan perampokan terhadap Tan Piauwsu.
Ia dibawa ke ruangan-ruangan yang amat indah, dan akhirnya pemuda itu mengajaknya duduk di dalam sebuah ruangan makan yang tidak berapa luas, namun ruangan ini terhias indah dengan lukisan-lukisan, juga amat bersih dan berbau harum. Sebuah pintu menembus ke sebuah kamar, yaitu kamar pemuda itu, dihiasi tirai sutera dan dua pot bunga tumbuh subur di kanan kiri pintu. Inilah ruangan makan pribadi dari Siangkoan Kongcu. Pemuda ini memang merasa lebih tinggi daripada para sahabat dan anak buah ayahnya, maka dia jarang sekali mau makan bersama teman-teman ayahnya yang dianggapnya orang-orang kasar. Dia lebih suka makan seorang diri saja di ruangan khusus itu, hanya ayahnya saja yang kadang menemaninya kalau tidak sedang menjamu tamu.
"Duduklah, nona Kwee. Hari sudah siang dan aku sudah lapar. Apakah engkau tidak merasa lapar juga?"
Ditanya demikian, Ci Hwa yang berwatak pendiam dan halus itu, merasa sungkan dan hanya meng-geleng kepalanya.
"Ah, sekali waktu orang harus menanggalkan rasa rikuh dan bersikap jujur, Nona. Tadi pernah aku mendengar keruyuk perutmu ketika kita jalan bersama, itu tandanya engkau pun lapar seperti aku. Kenapa harus malu mengakuinya?"
Ditegur seperti itu, mau tidak mau Ci Hwa tersenyum dengan kedua pipinya berubah merah, dan tidak dapat menjawab.
"Nah, engkau sebagai tamuku, tamu agung, harap tidak menolak kalau kuajak makan bersama sebelum kita bercakap-cakap lebih lanjut."
Tanpa menanti persetujuan gadis itu, Siangkoan Liong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita, gadis-gadis muda yang mulus dan cantik. Mereka memberi hormat dengan sikap lembut.
"Cepat keluarkan hidangan makan siang berikut minumannya yang lengkap untuk menghormati tamu agungku!"
Perintahnya. Dua orang gadis pelayan itu membungkuk lalu mengundurkan diri dengan cepat.
"Silakan duduk, nona Kwee Ci Hwa."
Terpaksa Ci Hwa mengambil tempat duduk, berhadapan dengan pemuda itu, terhalang sebuah meja yang lebarnya satu meter. Mereka kembali saling pandang dan melihat betapa sinar mata pemuda itu mengamatinya dengan kagum, debar jantung Ci Hwa mengeras dan ia pun menunduk malu-malu. Tak dibayangkannya semula bahwa ia akan dapat duduk semeja dan menjadi tamu agung putera ketua Tiat-long-pang yang hendak diselidikinya. Ia merasa malu kepada dirl sendiri. Bagaimana mungkin ia mencurigai seorang seperti pemuda ini, perkumpulan besar yang kaya raya ini? Tentu orang she Lay itu telah sengaja menyebut nama Tiat-liong-pang untuk menjebak Sin Hong.
"Aih, celaka....!"
Tiba-tiba ia menggumam, suaranya yang timbul dari kekagetan hatinya. Hal ini diketahui oleh Siangkoan Liong yang memandang heran.
"Eh, ada apakah nona Ci Hwa?"
Ci Hwa merasa terkejut dan menyesal sekali mengapa ia tidak mampu menahan gejolak batinnya tadi. Tentu saja ia terkejut teringat akan hal itu karena sudah pasti Sin Hong akan datang pula menyelidiki ke sini dan kalau sampai bentrok dengan orang-orang Tiat-liong-pang yang tidak bersalah, pemuda itu bisa celaka! Padahal ia kagum dan suka sekali kepada Tan Sin Hong! Kini, karena sudah terlanjur bicara dan diketahui Siangkoan Kongcu, terpaksa ia pun menjawab.
"Kongcu, aku teringat akan putera mendiang Tan Piauwsu. Dialah orangnya yang tadinya menjatuhkan tuduhan kepada keluarga kami sebagai pembunuh ayahnya. Dan dia pun mendengar dari orang she Lay itu bahwa yang berdiri di belakang pembunuhan itu adalah Tiat-liong-pang. Tentu dia akan menyerbu ke sini!"
Siangkoan Kongcu hanya tersenyum.
"Biarkanlah kalau dia akan menyerbu. Kami tidak bersalah dan kami tidak takut akan serbuan siapa pun juga."
"Bukan begitu maksudku, Kongcu. Akan tetapi dia....Tan Sin Hong itu, dia akan salah serbu dan bahkan tentu akan celaka di sini...."
Sepasang alis yang berbentuk golok dan hitam itu agak berkerut dan sepasang mata yang tajam itu memandang penuh selidik ke arah wajah manis itu.
"Kalau begitu mengapa? Kalau dia menyerbu ke sini dan celaka, bukan-kah itu salahnya sendiri? Apa hubungannya dengan engkau, Nona? Kenapa engkau mengkhawatirkan-nya, padahal dia sudah menuduh ayahmu sebagai seorang bersalah?"
Sepasang pipi itu semakin merah. Tentu saja ia tidak dapat menyatakan bahwa ia tertarik dan kagum, bahkan suka sekali kepada Sin Hong!
"Ah, tidak ada hubungan apa pun. Hanya aku kasihan kepadanya karena dia telah kehilangan ayah ibunya, kehilangan perusahaannya, kehilangan segalanya."
"Jadi karena itu engkau membantunya dan menyelidiki kami? Apakah engkau jatuh cinta padanya, Nona?"
"Ihhh....! kenapa engkau bertanya begitu, Kongcu? Aku menyelidiki untuk menebus nama baik ayahku, bukan untuk membantunya, dan tentang cinta....ah....tidak sama sekali!"
Tentu saja ia menyangkal walaupun hatinya penuh tanda tanya dan keraguan karena selama ini ia sendiri pun belum pernah bertanya kepada diri sendiri apakah rasa tertariknya kepada Sin Hong ini karena cinta. Siangkoan Liong menarik napas lega dan sementara itu hidangan pun tiba.
"Sudahlah, kita bicarakan hal lain saja, Nona. Kalau sampai orang yang bernama Tan Sin Hong itu datang menyerbu, mengingat bahwa dia itu kenalanmu, tentu akan kujaga agar dia jangan sampai celaka."
"Terima kasih, Kongcu. Engkau memang orang yang baik sekali."
"Ha-ha-ha, bukan baik, Nona. Akan tetapi menghadapi seorang gadis yang begini cantik manis, begini ramah dan halus budi, juga gagah perkasa seperti engkau, siapa orangnya tidak akan menjadi baik?"
Sudah sejak sejarah dicatat orang, wanita merupakan mahluk yang amat lemah terhadap cumbu rayu dan bujukan. Pujian-pujian merupakan hal yang menyenangkan hati, bahkan didambakan setiap orang wanita. Hanya wanita yang tidak normal saja kiranya yang tidak haus akan pujian dan rayuan.
Dan hal ini kiranya bukan karena suara kelemahan batin atau juga karena kekurangannya, melainkan sudah menjadi pembawaan, naluri yang ada pada setiap mahluk betina, termasuk wanita. Sudah sejak mulanya, wanita atau semua mahluk betina memiliki daya tarik yang amat besar bagi mahluk jantan, seperti juga wanita memiliki segalanya yang amat menarik hati pria. Suaranya yang lembut, rambut panjang halus, kulit mulus, raut wajah yang indah, lekuk lengkung tubuh menggai-rahkan, pandang mata yang penuh romantika, senyum memadu, leher jenjang, pinggang ramping, dada dan pinggul membukit, kaki yang mungil, pendeknya segala sesuatu pada diri wanita mengandung daya tarik bagi pria. Wanita menyadari akan hal ini, karena itu berupaya menonjolkan daya tarik itu dan kalau sampai terlontar pujian dari mulut atau mata pria, maka berhasillah ia dan banggalah ia.
Sebaliknya, pria yang pandai, yang mengerti akan kelemahan wanita ini sengaja mempergunakan kelemahan itu sebagai umpan untuk memancing dan mendapatkan wanita yang diidamkannya. Daya tarik kedua pihak, yang menarik satu kepada yang lain, memang pembawaan sejak lahir, mungkin hal itu diperlukan sekali agar ada pendekatan antara keduanya, sebagai sarana perkembangbiakan. Tanpa saling tertarik, mana mungkin ada hasrat pendekatan, dan tanpa pendekatan, bagaimana mungkin terjadi perkembang-biakan? Di pihak pria, memang ada pula perasaan suka dipuji itu, akan tetapi biasanya, berbeda dengan wanita, pria suka dipuji akan kejantanannya, bukan karena keelokan parasnya. Siangkoan Liong, biarpun sejak kecil digembleng dengan ilmu silat dan sastra, sebelum Sin-kiam Mo-li menjadi sekutu ayahnya, memang sama sekali tidak berpengalaman dengan wanita.
Setelah dia terpikat oleh Sin-kiam Mo-li dan mendapatkan seorang guru baru dalam permainan asmara, dia pun berubah. Walaupun dia masih jual mahal dan tidak sembarangan mau mendekati wanita seperti para gadis pelayannya sendiri, namun dia mulai memperhatikan wanita dan sekali dia menaruh minat, jangan harap wanita itu akan mampu ter-lepas dari pikatannya yang lihai. Ci Hwa berkali-kali memerah muka karena pujian-pujian yang dilontar-kan tidak secara kasar atau langsung itu. Sambaran-sambaran sinar mata penuh kagum dari pemuda itu lebih membingungkannya daripada kalau ia dirayu. Andaikata Siangkoan Kongcu merayunya dengan kata-kata, apalagi kalau agak kasar, kiranya belum tentu ia akan terpikat. Ia bukan wanita yang mudah jatuh hati oleh ketampanan. Akan tetapi, menghadapi sikap yang demikian lembut, halus dan ramah, pandai membawa diri,
Bahkan kata-katanya kini mulai indah seperti sajak, dengan kata-kata pilihan, luluhlah hati Ci Hwa. Melihat betapa calon korbannya itu sudah mulai terpikat, yang dapat diketahuinya dari senyum, dikulum, lirikan mata mengandung kegenitan, kedua pipi kemerahan, dada naik turun dan mata yang seperti mengantuk itu, Siangkoan Kongcu lalu memesan anggur merah dari pelayan. Sebuah guci berlapis emas, dengan ukiran-ukiran sepasang burung Hong sedang bermain asmara, disuguhkan dan diletakan di atas meja. Ketika Siangkoan Liong menuangkan anggurnya, ternyata anggurnya merah dan berbau harum sekali. Diisinya penuh cawan mereka dan Siangkoan Liong mengangkat cawannya yang penuh arak merah itu sambil diacungkannya kepada Ci Hwa sambil berkata dengan senyum ramah dan manis.
"Marilah kita minum anggur ini, Nona!"
Biarpun Ci Hwa tidak asing dengan minuman arak dan anggur karena ayahnya juga seorang peminum yang kuat, namun tadi sambil makan ia telah minum arak cukup banyak. Ia tidak mabuk, akan tetapi ia harus waspada karena berada di tempat asing, apalagi sebagai seorang tamu wanita. Alangkah akan memalukan kalau sampai ia mabuk dan mengeluarkan kata-kata di luar kesadarannya, maka ia pun menggeleng kepala sambil tersenyum.
"Sudah cukup, Kongcu. Sungguh aku sudah kenyang dan sudah banyak minum, rasanya tidak ada tempat lagi untuk ditambah minum anggur. Kebaikanmu sebagai tuan rumah sudah berlimpahan, membuat aku merasa tidak enak saja, dan sebaiknya kalau aku minta diri sebelum berhutang budi terlalu banyak."
Ci Hwa adalah seorang gadis pendiam dan jarang bicara, akan tetapi sekali ini ia pandai bicara. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan tempat yang indah itu, oleh kegembiraan berdua dengan Siangkoan Kongcu, atau juga lidahnya agak terlepas karena pengaruh minuman arak yang tua dan baik tadi.
"Ha-ha-ha, nona Ci Hwa yang mulia! Ketahuilah bahwa anggur ini merupakan anggur simpananku yang kuberi nama Anggur Emas. Tidak keras seperti arak, melainkan lezat, manis dan harum, juga mengandung khasiat menyehatkan tubuh dan membangkitkan hawa sakti dalam tubuh. Kalau bukan tamu agung, jangan harap bisa merasakan anggur suguhanku ini. Anggur ini adalah minuman para puteri dan pangeran di istana, Nona. Oleh karena itu, mari kita minum untuk pertemuan kita yang berbahagia ini!"
Betapa Ci Hwa dapat menolak penawaran seperti itu? Tentu saja akan tidak enak sekali dan nampak tidak dapat menerima budi orang kalau ia menolak, maka sambil tersenyum ia pun mengangkat cawan araknya. Senyumnya agak lebar kini, lebih terlepas dan dengan sinar mata kagum Siangkoan Liong melihat deretan gigi yang putih cemerlang seperti mutiara, rapi berjajar dan samar-samar nampak rongga mulut yang merah dengan ujung lidah jambon yang sehat. Keduanya mengangkat cawan, saling mengacungkan cawan sambil berkata lirih
"selamat!"
Dan keduanya minum anggur merah dari cawan itu. Begitu anggur memasuki mulutnya, Ci Hwa terkejut, heran dan juga kagum! Belum pernah selama hidupnya ia minum minuman selezat itu! Bagaikan sari buah anggur tulen. Mungkin anggur dengan mutu terbaik diperas dan entah dicampur apa maka dapat sedemikian manisnya dan harumnya. Tentu tidak memabukkan sama sekali, pikirnya dan ia pun menuangkan isi cawan itu seluruhnya ke dalam tenggorokannya. Terasa manis dan hangat memasuki tenggorokan dan perut. Memang ada rasa hangat, akan tetapi tidak panas menyentak seperti kalau minum arak. Mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. Nampak lebih cerah dan lebih tampan saja wajah pemuda itu.
"Bagaimana, nona Ci Hwa? Enak tidak?"
"Bukan main!"
Ci Hwa memuji.
"Engkau sungguh pandai sekali, Kongcu. Selama hidupku, baru sekarang aku merasakan minuman yang begini lezatnya."
"Ha-ha-ha, pujian seperti itu harus diberi hadiah secawan lagi."
Dia cepat mengisi pula dua cawan arak mereka.
"Sekarang mari kita minum untuk persahabatan kita, bukan hanya karena pertemuan antara kita!"
Karena minuman itu bukan arak dan tidak akan memabukkan, Ci Hwa tanpa ragu-ragu minum lagi anggur itu sampai habis. Dan untuk ke tiga kalinya Siangkoan Liong menuangkan isi guci ke dalam cawan mereka. Ci Hwa merasa sungkan juga, takut dianggap gembul dan murka.
"Cukup, Kongcu. Minuman seperti itu amat berharga dan jangan terlalu banyak dihamburkan untukku!"
"Sama sekali bukan begitu. Memang amat mahal harganya, akan tetapi seguci hanya terisi enam cawan. Dan kiranya tidak ada orang yang lebih patut untuk mendapat-kan setengah guci. Engkau tiga cawan dan aku tiga cawan baru puaslah hatiku. Sekali ini kita minum untuk menghormati perasaan suka dan tertarik di antara kita!"
Ci Hwa terkejut dan mukanya menjadi semakin merah, jantung berdebar kuat sekali. Akan tetapi ia tidak marah. Bagaimuna ia dapat marah terhadap seorang pemuda seperti ini?
Dalam pandangan matanya, pemuda itu nampak terlalu tampan, terlalu halus dan sopan dan memang harus diakuinya bahwa timbul perasaan tertarik dan suka di dalam hatinya. Biarpun agak malu-malu, ia minum juga cawan ke tiga berisi anggur merah yang penuh. Sekarang barulah terasa olehnya. Ia merasa seperti melayang ke atas, terapung-apung tanpa bobot, dibuai dan ditimang, tubuhnya seperti tidak merasakan apa-apa lagi kecuali kenikmatan yang aneh. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya masih duduk di depan meja, dan di seberangnya, wajah tampan itu nampak tersenyum ramah. Ia merasa aneh akan tetapi tidak heran, tidak merasa mabuk, akan tetapi masih agak sadar bahwa terjadi suatu keanehan yang selamanya tak pernah dirasakannya.
Lukisan di dinding itu, sebuah lukisan gunung dan awan, nampak demikian indahnya seolah-olah bukan lukisan, melainkan jendela terbuka dari mana ia dapat melihat gunung dan awan yang sungguh-sungguh. Dan lukisan burung merak itu, bukankah burung itu menggerak-gerakkan sayap dan kepalanya? Dan warna sutera yang menjadi tirai depan pintu kamar itu, warnanya seperti pelangi akan tetapi dalam keadaan yang luar biasa indahnya, bukan sekedar warna biasa, melainkan warna yang demikian jelas, seperti dapat ia mendengar suara beraneka macam itu, dengan suara berbeda, seperti nyanyian, membawakan irama yang demikian halus dan enak sehingga tak terasa lagi Ci Hwa menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama itu! Suara ketawa halus dari Siangkoan Liong memasuki telinganya, seperti suara bisikan dari jauh sekali, namun juga jelas sekali.
"Aih, nona Kwee Ci Hwa yang manis, agaknya engkau... engkau lelah dan mengantuk. Benarkah itu?"
Ci Hwa menggeleng kepala dan menahan ketawanya. Aneh, kenapa ia ingin sekali tertawa, tertawa sepuasnya dan sebebasnya? Tidak ada lagi ikatan malu atau apa saja, yang ada hanya keinginan hati untuk senang!
"Aku tidak lelah, tidak mengantuk, akan tetapi wah, enaknya rasanya...."
"Kalau dipakai beristirahat tentu lebih enak. Mari, Nona, marilah engkau beristirahat...."
Dan tiba-tiba tangan pemuda itu sudah menyentuh tangannya. Sejenak Ci Hwa seperti orang kaget, akan tetapi lalu tersenyum. Tangan pemuda itu hangat dan halus, dan apa salahnya berpegang tangan? Wajar saja, bukan?
"Ya-ya-ya, istirahat, aku seperti melayang-layang...."
Katanya seperti dalam mimpi. Ia pun sama sekali tidak memiliki daya lawan atau sama sekali tidak ingin menentang ketika Siangkoan Liong memutari meja, menghampirinya dan memegang kedua pundaknya, bahkan lalu membantunya bangkit berdiri.
Ketika Ci Hwa berdiri, ia limbung dan tentu bisa jatuh kalau tidak segera dirangkul Siangkoan Liong pundaknya. Tubuhnya rasanya begitu ringan seperti bola karet penuh angin, kedua kakinya seperti agar-agar saja, dan pikirannya tidak ada! Yang ada hanya perasaan senang, perasaan enak, perasaan bebas dari segala persoalan hidup. Ia bahkan terkekeh sedikit ketika pemuda itu menuntunnya masuk ke dalam kamar yang bertiraikan kain sutera pelangi tadi. Ci Hwa sama sekali tidak memiliki niat apa-apa, apalagi membantah ketika pemuda itu memondong dan merebahkannya di atas sebuah pembaringan yang tebal, lunak, harum dan indah. Bahkan ia pun tidak membantah ketika pemuda itu melepaskan sepatunya. Ia terlentang dan memandang langit-langit kelambu, lalu menarik napas panjang, penuh kelegaan.
"Aaaahhh....alangkah senangnya, alangkah enaknya...."
Ia tidak tahu bahwa gelung rambutnya terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu terurai di atas bantal. Juga ia tidak peduli ketika pemuda itu menutupkan daun pintu, bahkan tidak merasa heran atau aneh ketika pemuda itu pun membuka baju luar dan rebah di sampingnya!
Siangkoan Liong yang maklum bahwa calon korbannya sudah terbius oleh obat luar biasa yang terkandung dalam anggur tadi, juga maklum bahwa pada dasarnya gadis itu memang sudah terpikat dan tertarik kepadanya, lalu mulai mencumbunya. Hanya sekali-kali saja kesadaran seperti hendak menyeret kembali Ci Hwa ke dalam keadaan normal, namun pemuda itu pandai sekali merayu, dengan bisikan-bisikan, dengan sentuhan-sentuhan, dengan dekapan dan ciuman. Dan akhirnya, api berahi yang ada dalam diri setiap manusia, juga dalam diri Ci Hwa, tersulut dan berkobar. Ia pun membalas belaian dan pelampiasan kemesraan pemuda itu dengan menggebu-gebu, lupa akan segala, yang ada hanyalah keinginan memuaskan hasrat yang berkobar membakar seluruh keadaan dirinya, lahir batin.
Tanpa ada paksaan semua itu terjadi, walaupun Ci Hwa melakukannya dalam keadaan seperempat sadar saja. Berkali-kali ia menyerahkan diri, penuh kerelaan dan keduanya berada di dalam kamar itu sampai keesokan harinya! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ci Hwa terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, ia merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan lelah sekali, seolah-olah telah dilolosi semua urat di tubuhnya. Ingin ia memejamkan mata kembali, tidur kembali, akan tetapi ketika tangannya bergerak, ia mendapatkan dirinya tanpa pakaian! Ia terkejut, memiringkan tubuhnya dan ia pun melihat Siangkoan Liong rebah di sampingnya dalam keadan yang sama! Teringatlah ia akan kesemuanya itu seperti ada kilat menyambar menerangi benaknya. Kini, semua pengaruh obat telah lenyap dan ia sadar seutuhnya!
"Ihhh....!"
Ia menahan jeritnya, bangkit duduk dan menarik selimut menutupi tubuhnya, rambutnya terurai lepas menutupi kulit pundak dan dada yang mulus, matanya terbelalak memandang kepada Siangkoan Liong. Oleh jerit ditahan dan gerakan gadis itu, Siangkoan Liong juga terbangun. Dia memandang dan tersenyum, lalu bangkit duduk juga. Dadanya yang bidang nampak berkeringat dan biarpun rambutnya kusut dan dia baru bangun tidur, tetap saja dia merupakan seorang pria yang jantan dan menarik.
"Selamat pagi, Hwa-moi, kekasihku!"
Katanya dan tangannya meraih, hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Ci Hwa menggeser pinggulnya, menjauh dan matanya terbelalak.
"Kongcu....! Engkau....kita....?"
Bisiknya, seolah-olah baru melihat kenyataan yang sungguh teramat mengejutkan hatinya. Melihat ini, Siangkoan Kongcu tidak menjadi gugup, bahkan sambil tersenyum dia menyentuh lengan gadis itu. Begitu merasa lengannya disentuh tangan pria, Ci Hwa merasa bulu tengkuknya meremang dan ia cepat menarik lengannya dan menjauh.
"Tenanglah, Hwa-moi, tenanglah kekasihku. Lupakah engkau? Kita memang telah berkasih-kasihan, kita telah tidur di sini sejak kemarin siang dan kita....kita telah saling mencurahkan kasih sayang. Engkau memang seorang wanita hebat....!"
"Tidak! Oohhh....tidak....!"
Ci Hwa menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari celah-celah antara jari-jari tangannya mengalir air mata.
"Ci Hwa, tenangkan dirimu. Kita memang telah melakukan hubungan, dengan suka rela, karena saling menyayang, saling menyukai. Apa salahnya itu? Dan aku merasa ber-bahagia sekali."
"Tidak....! Engkau....engkau tentu telah menjebakku...."
"Hwa-moi, apakah engkau mimpi? Lihat ini dadaku, leherku, masih merah-merah bekas gigitanmu. Gigitan manja! Ingat, Hwa-moi, aku tidak memaksamu dan engkau tidak memaksaku. Kita melakukan dengan suka rela, karena saling mencinta. Beberapa kali engkau membisikkan kata cinta kepadaku, kenapa sekarang tiba-tiba engkau menangis dan menyesal dan menuduh yang bukan-bukan?"
Ci Hwa menurunkan kedua tangannya. Air matanya masih mengalir turun dan matanya basah. Sejenak ia memandang wajah pemuda itu melalui air matanya dan ia pun teringatlah semuanya. Ia merasa malu sekali, akan tetapi segalanya telah terjadi.
"Aku....aku agaknya sudah gila,"
Ratapnya.
"Aku....tergila-gila kepadamu, Kongcu. Akan tetapi, apakah engkau cinta padaku?"
Siangkoan Liong merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra dan Ci Hwa hanya setengah meronta saja.
"Cinta padamu? Kalau tidak cinta padamu, untuk apa aku melakukan ini? Aku bukan pria yang kegilaan perempuan! Aku tentu saja cinta padamu, Hwa-moi."
Sinar terang memenuhi batin Ci Hwa dan ia pun balas merangkul.
"Aih, Kongcu, terima kasih. Kalau begitu, sekarang juga, hari ini juga, engkau harus ikut bersamaku ke Ban-goan."
"Ehhh?"
Siangkoan Kongcu mengerutkan alisnya dan memandang heran.
"Ikut denganmu ke Ban-goan?"
Tanyanya ragu.
"Mau apa?"
Ci Hwa yang terbelalak.
"Mau apa lagi? Bukankah engkau sudah menggauli diriku, bukankah aku telah menyerahkan diriku kepadamu dan kita seperti sudah menjadi suami isteri? Tentu saja untuk menghadap ayahku dan untuk melamarku menjadi isterimu. Apa lagi!"
"Ah, ini tidak mungkin!"
Seketika pucat wajah Ci Hwa. Kemudian mukanya merah sekali dan ia pun menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaianya sejadinya. Hal ini diturut pula oleh Siangkoan Kongcu dan kini mereka berdiri di kamar itu, berdiri saling berhadapan.
"Siangkoan Kongcu, setelah apa yang kau lakukan semalam...."
"Engkau juga, bukan aku sendiri!"
"Benar, setelah apa yang kita lakukan bersama semalam, apakah engkau masih berani mengatakan bahwa engkau tidak akan melamarku dan mengambil aku sebagai isterimu?"
Pemuda itu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. Dalam keadaan seolah-olah dia terdesak itu, dia masih bersikap tenang dan halus.
"Kwee Ci Hwa, dengarlah baik-baik. Engkau datang ke sini tanpa diundang. Aku menyambutmu dengan baik, bahkan untuk keselamatanmu dan harga dirimu, aku telah membunuh dua orang anggauta perkumpulan kami. Kemudian kita saling mencinta, dan saling menumpahkan perasaan cinta dan kasih sayang, tanpa paksaan dan dengan suka rela. Akan tetapi sekarang engkau menuntut aku agar mengambil engkau sebagai isteri!"
"Bukankah itu sudah pantasnya dan seharusnya?"
Ci Hwa membantah dengan suara mendesak. Siangkoan Liong menggeleng kepala.
"Tidak ada paksaan dalam hubungan kita. Engkau tahu bahwa aku seorang pangeran, seorang keturunan bangsawan dan tidak mudah mengikatkan diri menikah begitu saja. Kita saling suka, dan aku pun cinta padamu. Mengapa kita tidak tetap seperti sekarang saling mencinta dan melakukan hubungan setiap kali kita inginkan? Apa perlunya ikatan pernikahan? Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu, Ci Hwa."
Wajah gadis itu berubah pucat, matanya terbelalak dan kembali air mata bercucuran keluar.
"Kongcu, setelah apa yang kau lakukan setelah engkau meniduriku, merenggut keperawananku....ah, bagimu sebagai pria memang mungkin tidak apa-apa, akan tetapi aku seorang wanita! Seorang wanita, seorang gadis! Tahukah engkau akibatnya? Aku akan dikejar aib, namaku akan rusak dan hina, lebih hebat daripada kematian!"
Siangkoan Liong menggeleng kepala dan tersenyum.
"Bodoh kau! Tetap saja menjadi kekasihku seperti sekarang, dan aku akan melindungimu."
"Tidak! Engkau harus melamarku, harus mengambilku sebagai isterimu, kalau tidak...."
"Hemmm, kalau tidak mengapa?"
Siangkoan Liong kini bertanya dengan alis berkerut dan pandang matanya mencorong marah.
"Kalau tidak, engkau atau aku harus mati!"
Dan tiba-tiba Ci Hwa yang sudah merasa putus asa itu lalu menyerang dengan hebatnya, menghantam ke arah dada pria yang pernah membahagiakannya selama sehari semalam itu. Serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaga karena kini, perasaan cintanya sudah berubah seketika menjadi kebencian yang bernyala-nyala. Kini baru terbuka matanya orang macam apa adanya pemuda yang tampan, halus dan perkasa itu. Ia telah terjebak dan tahulah ia bahwa semua sikap baik, kehalusan, bahkan pertolongan itu, ditambah dengan makan minum dan terutama sekali minuman anggur merah itu, hanya merupakan perangkap saja untuknya. Ia telah terperangkap, telah menjadi korban.
Pemuda ini sama sekali tidak mencintanya, tidak menginginkannya menjadi isteri, melainkan mempermainkannya saja! Oleh karena kesadaran ini, ia pun menyerang dengan sekuatnya, serangan dahsyat walaupun tubuhnya masih terasa lemas karena malam tadi menghabiskan tenaga dan kurang tidur. Akan tetapi, tingkat kepandaian Siangkoan Liong jauh lebih tinggi dibandingkan Ci Hwa, maka serangan itu dengan mudah dihadapinya dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua tangannya, bukan dia yang terserang, bahkan Ci Hwa sudah dapat ditangkap dan ditelikungnya. Kedua lengan gadis itu dipuntir ke belakang, dipegang dengan satu tangan dan tangan lain merangkul, Ci Hwa hendak meronta, namun sekali jari tangan pemuda itu menekan, tubuh Ci Hwa menjadi lemas dan ia pun terkulai dalanm pelukannya tanpa dapat melawan lagi kecuali menangis.
"Sayang, jangan menangis. Bukankah kita saling mencinta? Ingatlah betapa mesra dan bahagianya kita semalam, dan aku masih saja rindu padamu, belum juga puas aku minum madu darimu."
Siangkoan Liong memondongnya dan membawanya kembali ke pembaringan. Ci Hwa menangis.
Menangis dalam batin. Kini, biarpun dibelai dan dihujani pernyataan dan pencurahan cinta kasih yang mesra, sama sekali ia tidak merasa senang. Sebaliknya ia merasa tersiksa tanpa mampu menolak, tanpa mampu meronta. Ia merasa diperkosa, dihina sampai sehebat-hebatnya oleh pria yang kini amat dibencinya itu. Seperti bumi dan langit bedanya dengan hubungan antara mereka mulai kemarin siang sampai semalam, begitu penuh dengan kemesraan dan perasaan cinta kedua pihak. Kini ia merasa diperkosa dan ditekan, dihancurkan dipatah-patahkan. Hubungan sex antara pria dan wanita sesungguhnya merupakan hubungan puncak kemesraan yang indah dan suci apabila dilakukan oleh kedua pihak karena dorongan cinta kasih. Hubungan sex merupakan puncak kemesraan pernyataan sayang, saling mengisi,
Saling membahagiakan melalui perasaan yang paling halus dan paling dalam, di mana masing-masing sudah bebas dari keakuan masing-masing, melebur menjadi satu dan tidaklah mengherankan kalau saat yang amat suci dan indah itu menjadi sarana penciptaan seorang manusia baru! Sex adalah suatu hubungan antara dua jenis mahluk berlawanan kelamin yang indah, suci dan nikmat. Akan tetapi, betapa kenikmatan itu selalu berubah menjadi kesenangan! Kenikmatan adalah suatu pengalaman perasaan pada saat itu, detik itu, dan kalau sudah disimpan di dalam ingatan, dijadikan kenangan, lalu diharapkan dan dikejar sebagai suatu kesenangan! Alangkah jauh bedanya antara kenikmatan dan kesenangan! Kenikmatan datang seketika, pada saat itu, tanpa adanya aku yang mengecamnya, tanpa adanya aku yang mencatatnya.
Sebaliknya, kesenangan adalah suatu bayangan yang digambarkan oleh si aku yang selalu mengejar-ngejarnya. Kalau sudah begini, maka terjadilah penyelewengan yang timbul dari pengejaran itu! Cinta kasih bukanlah sex semata, walaupun sex merupakan sebagian dari cinta kasih, merupakan kembangnya yang indah. Kalau sex sudah menjadi alat bersenang diri, dikejar, maka ia berubah menjadi nafsu yang akan membakar diri lahir batin. Sex merupakan suatu hubungan yang suci di mana terdapat cinta kasih. Tanpa cinta kasih, sex hanya merupakan suatu permainan untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam, tak kunjung habis, dan nafsu ini kalau dituruti akhirnya akan membakar diri sampai hangus! Bagi seorang wanita yang lebih halus perasaan ketimbang pria, sikap cinta kasih jauh lebih berkesan di dalam hati sanubarinya daripada sekedar hubungan sex yang baik saja.
Pada umumnya, wanita mendambakan kasih sayang dalam sikap, pandang mata, tutur kata, dan perbuatan yang pada puncaknya akan menuju kepada hubungan sex. Sebaliknya, pria kurang peka terhadap sikap ini, dan biasanya, pria lebih condong minta bukti melalui hubungan sex dan kepatuhan, dan kesetiaan. Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati Ci Hwa ketika ia digelut oleh Siangkoan Liong pada pagi hari itu. Ia merasa malu, terhina, tersiksa namun tidak berdaya walaupun pemuda itu berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan tubuhnya. Hanya air matanya saja yang menjadi saksi kehancuran hatinya. Bercucuran membasahi bantal. Setelah merasa puas, Siangkoan Liong membebaskan totokan pada tubuh Ci Hwa. Gadis itu terisak dan mengenakan pakaiannya, kepalanya pening dan ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
"Kwee Ci Hwa, engkau seorang gadis yang tidak tahu diri dan tidak mengenal budi. Gadis-gadis lain akan saling berebutan agar dapat tidur dengan aku. Aku bukan hanya tidur bersamamu, bahkan aku telah menyelamatkanmu, aku suka dan cinta padamu, akan tetapi engkau tidak mau menerimanya. Nah, sekarang tinggal kau pilih, tinggal di sini sebagai kekasihku, bukan isteri, atau engkau boleh pergi."
Ci Hwa sudah selesai mengenakan sepatunya. Kini ia mengangkat mukanya yang pucat dan matanya yang merah itu seperti hendak membakar wajah Siangkoan Liong. Kedua tangannya dikepal.
"Kalau aku mampu, tentu aku akan membunuhmu, keparat! Biar Tuhan mengutukmu!"
Setelah berkata demikian, Ci Hwa lalu meloncat keluar dari dalam kamar itu, terus melarikan diri keluar.
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masih ia mendengar suara tawa pemuda itu mengikutinya sampai ia jauh meninggalkan perumahan Tiat-liong-pang. Ia berlari sambil menangis, tanpa suara, hanya terisak dan air matanya terus berjatuhan di sepanjang jalan. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, satu-satunya keinginannya hanya menjauhi tempat laknat itu sejauh dan secepat mungkin. Tubuhnya terasa nyeri semua, terutama karena perbuatan Siangkoan Liong tadi yang diterimanya dengan batin yang meronta. Ci Hwa memasuki sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon liar dan akhirnya kakinya terantuk akar pohon dan tubuhnya pun terpelanting jatuh ke atas rumput. Ia tidak bangun dan sekaranglah baru ia menangis sesenggukan seperti anak kecil, menangis sampai mengguguk sambil menelungkup di atas tanah itu.
Kedua tangannya dikepal dan ia memukuli tanah juga kakinya menendang-nendang tanah. Penyesalan demi penyesalan datang bagaikan gelombang samudera yang maha dahsyat, melanda dirinya, menyeretnya sehingga ia gelagapan dalam tangisnya, kehilangan pegangan. Ia merasa menyesal sekali mengapa ia telah bertindak demikian bodoh, kurang waspada, mudah terbujuk rayu sampai ia mengorbankan keperawanannya, kehormatannya, bahkan ia telah diilas-ilas, dihina tanpa daya sama sekali. Andaikata ia diperkosa saja, kiranya penyesalannya tidak sehebat ini. Akan tetapi tidak, ia sama sekali tidak diperkosa untuk pertama kalinya, ia menyerah dengan suka rela, bahkan menikmatinya, meneguk minuman beracun. Betapa memalukan! Betapa rendah dirinya.
"Aku layak mampus! Aku tidak berharga lagi untuk hidup!"
Teriaknya ketika teringat akan itu semua. Ia meninggalkan rumah dengan cita-cita untuk mencuci nama ayahnya yang ternoda karena dituduh membunuh, akan tetapi ia sendiri, apa yang dilakukannya? Menjadi perempuan hina, lebih hina dari pelacur. Seorang pelacur menyerahkan diri dengan harapan imbalan. Akan tetapi ia? Menyerah secara membuta, tak tahu bahwa ia dipermainkan orang!
"Aku harus mampus!"
Dan gadis itu pun menanggal-kan ikat pinggangnya, memasangnya di atas cabang sebatang pohon, mengalungkan ujung yang lain di lehernya dan ia pun meloncat turun dari cabang itu. Tali itu mengikat dan menjerat lehernya yang berkulit halus mulus, dan tubuhnya tergantung! Ci Hwa merasa betapa kulit lehernya nyeri dan perih, napasnya terhenti, akan tetapi ia tidak meronta dan siap menerima kematian dengan tenang. Matanya yang terpejam nampak cahaya kuning, lalu merah api, lalu kabur agak kelabu, mulai menghitam.
"Anak bodoh!"
Tiba-tiba saja tubuhnya terlepas dan ia tidak tergantung lagi! Ci Hwa yang sudah hampir pingsan itu merintih, lehernya tidak terikat lagi dan ia roboh di atas tanah, merasakan ada jari tangan menekan pundak dan tengkuknya, pernapasannya yang terengah itu kembali normal. Ia lalu membuka mata dan melihat seorang pemuda sudah berlutut di dekatnya! Hampir ia memaki karena mengira bahwa pemuda itu Siangkoan Liong, akan tetapi setelah pandang matanya dapat melihat jelas, ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan Siangkoan Liong!
Pemuda itu jelas lebih tua daripada Siangkoan Liong, usianya tentu sedikitnya dua puluh enam tahun. Ia mengerutkan alis, mengingat-ingat dan merasa tak pernah bertemu dengan pemuda ini. Dia seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebiruan sederhana, mukanya berkulit bersih, cerah dan dapat dibilang tampan. Sinar matanya lembut, seperti sinar mata Siangkoan Liong, akan tetapi terdapat kejujuran pada sinar mata dan mulut yang tersenyum lembut itu. Sepasang mata itu kini mengamati wajahnya seperti orang yang menyesal dan menyalahkannya. Alis itu agak berkerut, dan pada pandang matanya yang lembut itu, jelas nampak penasaran dan juga keheranan. Siapa orangnya takkan heran melihat seorang gadis semuda ia berada dalam hutan sedang berusaha membunuh diri dengan menggantung?
Akan tetapi, perasaan hati Ci Hwa yang sudah dipenuhi perasaan dendam kebencian kepada pria, segera membuat ia memandang pria ini sebagai seorang musuh, seperti setan yang tentu juga berniat jahat terhadap dirinya! Pertama kali ia terjatuh ke tangan lima orang pemburu, semuanya laki-laki yang berniat buruk memperkosanya, kemudian berganti jatuh ke tangan dua orang anggauta Tiat-liong-pang, sama saja, mereka juga hendak memperkosanya. Terakhir kali ia terjatuh ke tangan Siangkoan Liong, yang disangkanya sebaik-baiknya orang, ternyata juga ia malah terperangkap. Sekarang, ketika ia sudah di ambang pintu maut, ia diselamatkan seorang laki-laki muda pula. Orang macam apalagi ini kalau bukan seorang calon pemerkosa berikutnya?
"Engkau sama busuknya dengan mereka!"
Teriak Ci Hwa dan tiba-tiba saja ia pun sudah meloncat dan langsung saja menyerang dengan pukulan tangannya ke arah dada laki-laki yang sedang berlutut di dekatnya itu. Pemuda itu sama sekali tidak pernah menyang-kanya dan dari jarak sedemikian dekat, tanpa menduga akan diserang, maka tentu saja pukulan tangan Ci Hwa tepat mengenai dadanya.
"Dukkk....!"
Tubuh laki-laki itu terjengkang dan bergulingan, akan tetapi dia meloncat bangun dan tidak terluka, hanya memandang dengan mata terbelalak dan agaknya bingung, mengira bahwa gadis yang malang yang ditolongnya itu mungkin sudah menjadi gila!
"Eih, Nona.... kenapa.... kenapa kau memukulku?"
Tanyanya, suaranya tetap tenang dan pandang matanya jelas memancarkan belas kasihan karena dia menduga bahwa gadis ini tentu gila atau tergoncang jiwanya.
"Engkau menolongku, mencegah aku mati, tentu hanya dengan satu niat yang keji dan buruk! Karena itu, akan kubunuh engkau lebih dulu sebelum aku membunuh diri!"
Ci Hwa berteriak-teriak dan ia pun sudah lari maju dan menerjang kalang kabut! Akan tetapi sekali ini, pemuda, itu sudah siap siaga.
Dari pukulan gadis itu tadi, dia pun tahu bahwa gadis itu bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan wanita lemah dan pukulannya tadi merupakan pukulan gaya ilmu silat dan mengandung tenaga dalam yang cukup ampuh. Dia pun tertarik sekali dan kini, menghadapi serangan bertubi-tubi itu dia pun mengelak dan berloncatan ke kanan kiri sambil memperhatikan gerakan silat penyerangnya itu. Setelah lewat dua puluh jurus, dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini dapat bersilat dengan baik sekali, dan cukuplah kepandaian itu untuk membela diri dalam perjalanan, sehingga tidak aneh kalau gadis itu berani melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi mengapa di sini hendak bergantung diri? Dan pakaian atasnya itu terobek, rambutnya kusut, matanya merah, jelas bahwa gadis itu menderita kedukaan dan penekanan batin yang amat hebat.
Sementara itu, Ci Hwa semakin terkejut, dan semakin marah karena kembali ia bertemu dengan seorang pemuda yang jauh lebih lihai darinya. Semua serangannya, yang dilakukan sepenuh hati terdorong dendam dan kemarahan, sama sekali tidak pernah menyentuh tubuh pemuda itu, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah menangkis, hanya mengelak saja dengan gerakan aneh dan amat lincahnya. Timbul dugaan bahwa tentu ia akan ditangkap lagi, dipermainkan lagi dan mengingat ini, ia merasa khawatir sekali. Lebih baik mati kalau ia harus mengalami lagi penderitaan diperkosa orang seperti tadi! Pikiran ini membuat ia putus asa. Tak mungkin ia menang dan ketika ia melihat batang pohon di mana tadi ia bergantung diri, tiba-tiba ia memperoleh akal dan ia pun melompat untuk membenturkan kepalanya pada batang pohon itu, sekuat tenaganya.
"Bukkk!"
Kepalanya tidak membentur benda keras, bahkan tidak membentur apa-apa karena tubuhnya tertahan ketika dua buah tangan menerima kedua pundaknya dengan lembut. Ketika Ci Hwa melihat, ternyata pemuda itu telah mendahuluinya berdiri di depan batang pohon dan menerima tubuhnya tadi! Dengan sendirinya ia semakin marah dan penasaran.
"Kau.... kau berani menghalangiku!"
Bentaknya dan kini ia memukul, mencakar, menendang kalang kabut, tidak memakai gerakan silat lagi melainkan gerakan seekor harimau betina yang marah. Terdengar bunyi kain robek ketika cakarannya mengenai baju pemuda itu. Pemuda itu cepat menotok pundaknya dan Ci Hwa terkulai lemas. Dengan sopan dan hati-hati, pemuda itu membaringkan tubuh Ci Hwa di bawah pohon dan kembali ia berlutut seperti tadi. Diusapnya kulit dada yang agak berdarah terkena cakaran kuku Ci Hwa.
"Nona, engkau telah bersikap keliru sama sekali. Kenapa engkau bertekad untuk membunuh diri? Sudah demikian burukkah kehidupan ini sehingga seorang gadis semuda engkau sudah putus asa dan lebih memilih mati saja?"
Ci Hwa hanya tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara dan ia membentak ketus.
"Apa urusannya denganmu? Apa pedulimu kalau aku hidup atau mampus?"
"Nona, agaknya hatimu sudah penuh prasangka buruk terhadap manusia lain. Agaknya hatimu telah disakitkan orang, maka setiap kali bertemu orang lain, engkau selalu menyangka buruk. Memang tidak ada hubungannya mati hidupmu dengan diriku, akan tetapi manusia mana yang dapat membiarkan orang lain membunuh diri begitu saja? Nona, dengar baik-baik. Ketika engkau dilahirkan oleh ibumu, apakah ada engkau minta kepadanya atau kepada Tuhan agar engkau dilahirkan?"
Mendengar pertanyaan seperti itu, Ci Hwa terbelalak. Kaget dan heran. Gilakah orang ini, bertanya seperti itu? Memikirkannya saja tentang itu belum pernah ia lakukan!
"Ibuku sudah tidak ada."
"Ah, maaf, engkau tidak mempunyai ibu lagi? Akan tetapi, kuulangi pertanyaanku tadi, ketika engkau dikandung dan dilahirkan, apakah hal itu terjadi atas permohonanmu kepada Tuhan atau kepada mendiang ibumu atau ayahmu?"
Ci Hwa mengerutkan alisnya.
"Tentu saja tidak! Mana bisa! Apa engkau ini orang gila, bertanya seperti itu?"
Pemuda itu tersenyum lembut dan tidak ada sedikit pun tanda bahwa dia terpikat oleh kewanitaan Ci Hwa.
"Kalau engkau tidak pernah minta dilahirkan, tidak pernah minta dihidupkan, berarti engkau tidak berhak pula untuk memaksa kehidupan terhenti dengan bunuh diri! Rasakan saja, bukankah detak jantungmu bekerja tanpa kau rasai? Bukankah pernapasanmu juga berjalan tanpa kau sengaja? Dan setiap anggauta tubuhmu, rambut, kuku, bulu badan, semuanya bertumbuh tanpa kau sengaja? Semua itu bukan milikmu, bukan milik pikiranmu, dan engkau berani hendak melenyapkan semua itu yang sesungguhnya bukan hakmu? Seperti juga hidupmu, matimu pun bukan berada dalam kekuasaanmu, bukan milikmu. Kalau yang berkuasa akan hidup matimu menghendaki, biar kau usahakan bagaimana-pun, engkau takkan mati, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya engkau harus mati, biar ada seribu orang dewa sekali pun takkan mampu menghidupkanmu!"
Ci Hwa termenung. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar ucapan seperti itu, dan ia menjadi bingung.
"Apa kau kira kalau menghadapi kesulitan maka kesulitan itu akan berakhir dengan kematian, Nona? Ingat, yang kesulitan itu bukanlah badannya, melainkan batinnya, dan kau kira kalau sudah mati, batinmu tidak akan terus berkelanjutan menjadi setan penasaran?"
Ci Hwa semakin terpukul dan kini air matanya mengalir, tubuhnya terkulai lemas
"....aku tidak tahu.... ah, aku tidak tahu...."
Melihat keadaan gadis ini, pemuda itu lalu mengurut pundaknya dan terbebaslah Ci Hwa dari totokannya. Akan tetapi, begitu dapat bergerak, Ci Hwa lalu teringat akan nasibnya dan ia pun menangis, meraung-raung seperti anak kecil sambil duduk dan menutupi mukanya. Ia megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan. Pemuda itu tiba-tiba memegang kedua pundaknya, mengguncangnya keras-keras beberapa kali sampai kepala Ci Hwa terguncang ke kanan kiri, kemudian pemuda itu melayangkan tangannya ke arah pipi Ci Hwa, dua kali.
"Plak! Plakkk!"
Tentu saja Ci Hwa terkejut bukan main. Seperti ia diseret kembali kedunia kenyataan oleh dua kali tamparan yang membuat kedua pipinya terasa panas, perih dan nyeri itu. Ia memandang terbelalak.
"Kau.... kau jahanam, berani memukulku!"
Katanya dan ia pun membalas dengan dua kali tamparan ke arah pipi pemuda itu.
"Plak! Plakkk!"
Pemuda itu tidak mengelak, membiarkan pipinya ditampar dan Ci Hwa melihat bekas tangannya nampak jelas di kedua pipi itu, bekas tangan yang membuat tanda merah di situ. Ia terbelalak dan terheran memandang pemuda aneh itu. Akan tetapi pemuda itu tersenyum girang.
"Nah, engkau sudah waras kembali. Ditampar balas menampar. Baru ditampar saja membalas, kenapa bodoh amat membunuh diri? Tidak ada persoalan di dunia ini yang tidak dapat diatasi! Iba diri terlalu besar membuat orang kehilangan kesadaran. Dan ingat, di dunia ini tidak semua orang jahat, Nona. Aku tidak berani mengaku bahwa aku ini orang baik, akan tetapi setidaknya aku selalu berjaga dalam hidupku agar. tidak melakukan kejahatan. Karena itu, jangan takut kepadaku, Nona. Aku tidak akan mengganggumu, dan dalam keadaan seperti ini engkau membutuhkan seorang kawan yang jujur dan beriktikad baik. Bagaimana kalau engkau anggap aku ini kakakmu saja?"
Sejak tadi Ci Hwa memandang dengan mata terbelalak, mata yang masih basah, akan tetapi sinar matanya penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati orang ini melalui matanya. Orang itu kembali tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.
"Namaku Gu Hong Beng dan selama hidupku, aku tidak pernah mau mengganggu orang lain."
Sikap ini diterima oleh Ci Hwa dan ia pun tiba-tiba menangis dan menubruk pemuda itu, merangkul lehernya dan gadis itu menangis di atas pundak Hong Beng, merasa seperti menangis di dada ayahnya sendiri atau seorang kakaknya sendiri. Dan pemuda itu tersenyum, mengelus rambut itu penuh belas kasihan.
"Menangislah, menangislah sepuas hatimu, itu cara terbaik untuk mencairkan segala yang membeku dalam hatimu,"
Katanya lirih dan kata-kata ini seperti mendorong Ci Hwa untuk menangis lebih hebat lagi sampai sesenggukan. Para pembaca Suling Naga tentu masih ingat siapa adanya Gu Hong Beng ini. Dia seorang pemuda sederhana, putera seorang tukang kayu sederhana pula, di kota Siang-nam di Propinsi Hunan. Dia sudah kehilangan ayah bundanya dan hidup sebatang kara, kemudian dia beruntung diambil murid seorang pendekar sakti keluarga Pulau Es, yaitu Suma Ciang Bun! Banyak sudah dialami oleh Gu Hong Beng sebagai seorang pendekar muda, bekerja sama dengan para pendekar lainnya untuk menentang kejahatan. Dia pernah jatuh cinta kepada seorang pendekar wanita Can Bi Lan,
Akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah karena pendekar wanita Can Bi Lan itu memilih Sim Houw sebagai suaminya. Sim Houw yang terkenal sebagai Pendekar Suling Naga. Namun Gu Hong Beng dapat menerima kenyataan pahit ini dan sudah lama dia dapat melupakan kepahitan itu, juga dia pernah diikat perjanjian ketika dia membantu nenek Teng Siang In, yaitu ibu kandung pendekar Suma Ceng Liong yang bertempur melawan seorang datuk jahat. Sai-cu Lama. Nenek sakti itu tewas dan cucunya, yaitu puteri Suma Ceng Liong yang bernama Suma Lian, dilarikan Sai-cu Lama. Dalam keadaan menghadapi maut inilah nenek Teng Siang In mengikat janji agar Hong Beng kelak memperisteri Suma Lian! Karena dia menghadapi pesan seorang nenek yang menjelang mati, terpaksa Hong Beng menyanggupi. Hal ini amat mengganggu hatinya dan akhirnya, melalui gurunya,
Suma Ciang Bun yang masih saudara sepupu Suma Ceng Liong, disampaikanlah pesan itu. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng menyerahkan keputusan itu kepada yang bersangkutan kelak, yaitu puteri mereka kalau sudah dewasa. Semua ini diceritakan dalam kisah Suling Naga! Hong Beng sudah hampir melupakan semua itu. Melupakan wanita yang pernah dicintanya, yang kini telah menjadi isteri orang lain, dan juga dia berusaha melupakan janjinya kepada mendiang nenek Teng Siang In. Dia hanyalah seorang pemuda miskin, tidak punya apa-apa, keturunan tukang kayu, bahkan tidak lagi memiliki ayah bunda. Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan puteri seorang pendekar seperti Suma Ceng Liong? Suma Lian adalah cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Dan dia hanyalah cucu murid saja! Pula dia belum pernah bertemu lagi dengan Suma Lian selama bertahun-tahun ini.
Yang pernah ditemuinya adalah Suma Lian yang baru berusia tiga belas tahun. Bagaimana dia dapat menentukan jodohnya dengan gadis itu? Andaikata dia mau, bagaimana dengan gadis itu? Dia pun sama sekali tidak pernah memikirkan soal jodoh, sampai kini berusia dua puluh enam tahun! Gu Hong Beng meninggalkan gurunya yang kini menjadi seorang pertapa. Sudah dua tahun dia meninggalkan gurunya, Suma Ciang Bun yang kini lebih suka bersembunyi dalam sebuah gubuk kecil di lereng Pegunungan Tapa-san, tak jauh dari situ di antara sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shen-si. Kalau orang mengenal Gu Hong Beng beberapa tahun yang lalu, kini dia akan terheran melihat Hong Beng telah menjadi seorang pemuda yang matang, tenang dan sabar, berpikiran luas dan mendalam, tidak lagi seperti dulu di mana dia mudah tersinggung dan amat pencemburu!
Tubuhnya agak kurus, namun sepasang matanya memancarkan kelembutan seorang yang berjiwa besar. Ketika Ci Hwa menangis di dadanya, diam-diam keharuan menyelinap di dalam hati Hong Beng. Keharuan dan kelegaan. Gadis ini tertolong, pikirnya, tertolong secara batiniah karena telah mampu melepaskan semua duka yang menghimpit kalbu. Dan dia terharu karena pernah dia sendiri merasakan hal seperti yang dirasakan gadis itu. Kosong, berduka, merana, kecewa dan kesepian, di mana sudah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat diharapkan, ditengok, merasa seperti sepotong batang pohon kering di tengah gurun yang kering. Dia mendekap kepala itu dan mengelus rambutnya, merasa seperti mendapatkan sesuatu, merasa berguna karena dia sudah dapat menjadi tempat seorang menumpahkan kesedihannya.
"Menangislah.... menangislah sampai terkuras habis semua kedukaan itu...."
Bisiknya, lebih ditujukan kepada hatinya sendiri daripada gadis yang tidak dikenalnya itu.
Duka selalu timbul dari iba diri. Tanpa adanya pikiran yang mengenangkan keadaan dirinya sendiri yang dianggap sengsara, tidak akan timbul rasa iba diri dan takkan timbul duka. Iba diri adalah pembengkakan daripada gambaran si aku, dan si aku ini memang selalu ingin meraih yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan. Selain iba diri, si aku ini pun menjadi sumber dari segala iri hati, cemburu, kemarahan, kebencian dan selanjutnya. Si aku memang diperlukan untuk kehidupan lahiriah, di mana diatur ketentuan dan norma kehidupan bermasyarakat, ada punyaku dan punyamu, hakku dan hakmu, akan tetapi seyogianya cukup sampai di situ saja. Lahiriah! Kalau sampai menyusup ke dalam, menjadi batiniah, maka si aku selalu mengadakan ikatan-ikatan sebanyaknya.
Dan ikatan inilah yang menimbulkan iba diri, menimbulkan duka. Senang kalau mendapatkan, dan susah kalau kehilangan. Senang kalau diuntungkan, dan susah kalau dirugikan, demikian seterusnya. Dapatkah kita hidup tanpa bayangan si aku secara batiniah? Dapatkah batin ini bebas daripada kemilikan? Lahiriah mempunyai namun batin tidak memiliki? Mungkinkah itu? Takkan terjawab melalui teori dan pendapat yang masih bersumber daripada akal si aku, yaitu pikiran yang selalu mempertimbangkan rugi untung. Jawabannya hanya terdapat dalam penghayatan, penelitian, dan pengamatan secara waspada, mawas diri lahir batin tanpa pendapat. Ci Hwa menemukan hiburan bagi kesedihannya yang tadi hampir tak tertahankan lagi. Hidup bukan hanya urusan hilang atau tidaknya keperawanan! Hidup, ini masih panjang, dan beraneka ragam isinya! Orang ini, benar!
Tidak ada kesulitan yang tak dapat diatasi. Ia memang sudah diperkosa orang, sudah tidak perawan lagi, akan tetapi apakah hal itu harus berarti bahwa ia tidak penting lagi hidup, tidak berhak lagi untuk hidup dan menikmati hidup ini? Betapa bodohnya. Enak saja kalau ia mati tanpa hukuman bagi orang yang menjadikan ia begini! Enak, terlalu enak bagi Siangkoan Liong! Tidak, ia bahkan harus hidup, dan satu di antara tujuan hidupnya adalah membalas penghinaan ini kepada Siangkoan Liong! Air matanya sudah habis. Tangisnya pun terhenti dan ia pun sadar bahwa secara tidak pantas ia telah bersandar di dada orang sekian lamanya, sampai baju biru itu basah kuyup oleh air matanya. Ci Hwa menarik kepalanya ke belakang, melepaskan dirinya dan mundur tiga langkah, lalu mengangkat muka memandang.
Mukanya pucat sekali, pipinya masih basah, akan tetapi matanya yang membendul merah itu tidak menitikkan air mata lagi. Sinar matanya memandang penuh selidik dan karena Hong Beng juga memandang kepadanya, mereka saling pandang dan barulah tampak oleh Ci Hwa bahwa wajah pemuda di depannya ini sama sekali berbeda dengan wajah Siangkoan Liong. Bukan hanya bentuknya yang berbeda, namun bayangan yang terkandung dalam pandang mata itu, senyum itu sama sekali berbeda. Pandang mata dan senyum Siangkoan Liong penuh daya tarik memabukkan, kelembutannya seperti besi berani yang dingin dan membetot. Akan tetapi kelembutan pada wajah pemuda ini seperti kelembutan langit biru. Dan ia pun merasa malu kepada diri sendiri.
"Maafkan aku.... sekali lagi maafkan aku. Aku tadi telah gila barangkali. Engkau benar, aku telah gila dan aku hanya menuruti dorongan hati saja. Maafkan aku."
Katanya. Hong Beng tersenyum.
(Lanjut ke Jilid 11)
Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
"Namaku Gu Hong Beng, seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Boleh aku mengetahui namamu?"
Suling Naga Eps 27 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 35 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 29