Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Pulau Es 35


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 35



"Memang benar, akan tetapi penyakitnya bukan penyakit badan. Tidak ada yang dapat mengetahui kecuali dia sendiri dan aku karena dia percaya kepadaku dan menceritakan tentang penyakitnya itu. Dan aku yakin bahwa pengobatannya hanya ada pada dirimu. Hanya engkau lah yang dapat menyembuhkannya, Gangga.!

   "Ahh, enci Hui, jangan main-main. Engkau membikin hatiku bingung dan khawatir. Seperti orang-orang lain yang pernah belajar silat, aku hanya membawa bekal obat-obat luka dan hanya dapat mengobati luka-luka pukulan dan senjata saja. Mana mungkin aku dapat mengobati penyakit Ciang Bun kalau orang lain yang ahli tidak mampu menyembuhkannya? Penyakit apakah itu?!

   "Kami berduapun tidak tahu penyakit apa itu namanya. Akan tetapi adikku amat menderita karenanya. Jangan kaget, Gangga. Adikku itu adalah seorang laki- laki, seorang jantan sejati, berwatak pendekar yang tidak memalukan keluarga kami. Akan tetapi, dia.... dia mempunyai penyakit aneh, yaitu dia.... condong untuk menyukai pria daripada wanita.!

   Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan mulut yang kecil itu ternganga saking herannya hati Gangga Dewi mendengar ucapan Suma Hui itu.

   "Apa.... apa yang kau maksudkan, enci Hui? Aku tidak mengerti....!!

   "Adik Gangga, memang penyakit itu amat aneh. Biarpun Ciang Bun adalah seorang pemuda, jasmaninya adalah seorang pria yang sempurna, akan tetapi selera dan berahinya seperti seorang wanita. Dia.... dia lebih tertarik dan suka kepada seorang pria daripada seorang wanita. Mengertikah engkau?!

   "Ahhh....!! Gangga Dewi menunduk, kedua pipinya kemerahan dan alisnya berkerut. Ia merasa bingung sekali, dan tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapi keterangan yang amat mengejutkan dan mengherankan hatinya itu. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ada penyakit yang demikian anehnya, apalagi kalau penyakit seperti itu diderita oleh Ciang Bun yang amat dikaguminya itu. Ia seorang gadis yang cerdik dan tanpa dijelaskan sekalipun kini tahulah ia akan kenyataan yang amat menusuk perasaannya. Jadi kalau begitu, Ciang Bun dikatakan mencinta dirinya karena mengira ia seorang pria!

   "Enci, kalau.... kalau begitu.... engkau hendak mengatakan bahwa jika Ciang Bun mengerti bahwa aku sebenarnya seorang wanita, maka dia.... dia tidak akan suka kepadaku, begitukah?!

   Suma Hui mengangguk.

   "Akan tetapi, cinta tidak dapat disamakan dengan rasa suka yang terdorong gairah berahi, adikku. Ciang Bun mengaku kepadaku bahwa dia amat mencintamu, walaupun rasa cintanya itu mengandung gairah berahi karena mengira bahwa engkau seorang pemuda. Nah, rasa cintanya inilah yang harus kita pergunakan untuk menyembuhkan penyakit aneh yang dideritanya itu. Tentu saja.... tentu saja kalau engkau juga mencintanya seperti yang kuduga.

   Adik Gangga yang baik, demi hubungan antara orang tua kita, demi cinta Ciang Bun kepadamu, dan demi cintamu sendiri.... sudikah engkau menolongnya?! Dalam suaranya terkandung nada yang penuh permohonan dan ketika Gangga Dewi memandang, ternyata kedua mata gadis perkasa itu berlinang air mata! Gangga Dewi merasa terharu sekali dan ia dapat merasakan betapa besar cinta gadis itu kepada adiknya. Ia sendiripun merasa kasihan kepada Ciang Bun, walaupun terdapat perasaan tidak enak menganggu hatinya mendengar akan keadaan Ciang Bun yang aneh itu.

   "Enci Hui, tentu saja aku suka menolong, akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau dia tidak suka kepada wanita, dan setelah nanti dia tahu bahwa aku sesungguhnya adalah seorang wanita dan dia pun tidak suka kepadaku, bagaimana aku akan dapat merobah seleranya?!

   "Kita menggunakan cinta sebagai obatnya, adikku. Biarlah cinta murni yang akan menyembuhkannya dari penyakit aneh itu.!

   "Akan tetapi, bagaimana caranya, enci Hui?!

   "Begini, Gangga. Biarkan cintanya kepadamu bersemi dengan subur dan berakar kuat dalam hatinya dan untuk itu perlu pemupukan.!

   "Pemupukan bagaimana maksudmu, enci? Aku.... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang cinta.!

   "Sekali waktu engkau harus meninggalkan dia, kita harus memberi pupuk kepada cintanya dengan kerinduan. Biar dia merasakan betapa besar rasa kehilangannya kalau engkau tidak berada di dekatnya. Rasa cintanya yang semakin subur itu akan menghapus perbedaan antara wanita dan pria, dia akan mencintamu, tidak perduli engkau pria ataupun wanita. Rasa cinta murni itu mungkin sekali akan merupakan obat dan lebih kuat daripada sekedar berahinya yang ganjil itu. Maukah engkau melakukannya, demi cinta kalian berdua, adikku?!

   Gangga Dewi mengangguk.

   "Kita sama sekali tidak boleh menyalahkannya, Gangga. Keadaan diri Ciang Bun itu adalah suatu kelainan yang bukan timbul karena disengaja, atau karena memang wataknya yang kotor, melainkan karena tentu ada sebab-sebabnya. Dia adalah penderita suatu penyakit aneh, suatu kelainan yang mungkin timbul dari keadaan darahnya, atau susunan tubuhnya, atau juga karena sebab-sebab batiniah yang kita tidak mengerti.

   Bagaimanapua juga, karena keadaan itu menggambarkan hal yang tidak sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana umumnya, maka biarlah kita menamakannya suatu penyakit. Keadaan setengah-setengah itu, setengah pria karena bertubuh pria, dan setengah wanita karena berselera wanita, tentu saja merupakan hal yang amat mengganggu dan menyiksa batin. Jalan satu-satunya hanyalah menjadikannya wanita sepenuhnya atau pria sepenuhnya. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya, akan lebih sempurnalah kalau dia dapat dijadikan pria sepenuhnya dan hal ini mungkin saja disembuhkan dengan cinta.

   Gangga Dewi mendengarkan dengan kagum. Dari kata- katanya dapat dimengerti bahwa Suma Hui adalah seorang gadis yang luas pengetahuannya dan pintar. Dan memang demikianlah. Semenjak menderita aib yang menimpa dirinya, setelah mengalami banyak hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, setelah memperdalam ilmunya dan banyak melakukan perantauan, Suma Hui berobah menjadi seorang wanita yang matang dan berpemandangan luas. masalah adiknya amat mengganggu hatinya dan selama ini banyak ia memikirkan tentang adiknya sehingga ia dapat mengambil kesimpulan seperti yang dikatakannya kepada Gangga Dewi.

   Demikianlah, terdapat suatu kerjasama antara Suma Hui dan Gangga Dewi, untuk menolong pemuda yang sama- sama mereka cinta, yang seorang mencintanya sebagai seorang kakak perempuan sedangkan yang lain mencinta sebagai seorang wanita terhadap seorang pria yang dikaguminya.

   Dengan mudah mereka dapat menemukan Kao Cin Liong. Kiranya panglima muda ini masih menduduki pangkatnya di kota raja sebagai seorang jenderal muda. Ketika Kao Cin Liong menghadap kaisar untuk meletakkan jabatannya agar dia dapat mencurahkan semua tenaganya untuk membantu tunangannya mencari musuh besar mereka, kaisar menyatakan keberatan! Dan ketika Kao Kok Cu, ayah pemuda itu mendengar akan hal ini, diapun memarahi puteranya dan menyatakan tidak setuju pula.

   "Cin Liong, lupakah engkau akan ceritaku tentang kakekmu? Kakekmu adalah seorang panglima besar yang amat setia dan berjiwa pahlawan. Dan sejak dahulu, keluarga Kao adalah keturunan para panglima yang gagah perkasa. Sayang bahwa aku sendiri tidak memperoleh kesempatan untuk melanjutkan kepahlawanan nenek moyang kita. Akan tetapi engkau yang masih muda, mempunyai kesempatan cukup dan engkau bahkan berhasil menjadi jenderal yang banyak jasanya. Bagaimana sekarang hendak mengundurkan diri dalam usia muda hanya karena urusan wanita?!

   "Akan tetapi, ayah, demi cintaku terhadap Suma Hui, aku rela melepaskan apapun juga. Ia menderita aib, siapa lagi kalau bukan aku yang mengangkatnya dan mencuci nama baiknya dengan mencari dan membunuh jahanam yang telah mencemarkan kehormatannya, juga mencemarkan namaku karena dia mempergunakan namaku dan melakukan fitnah?!

   "Benar, akan tetapi engkau harus berpikir panjang. Ingat, keluarga Suma adalah keluarga besar dan gagah. Karena lengah dan lalai, mereka terjebak dan mengalami aib. Biarlah mereka itu mempertanggungjawabkan sendiri kelalaian mereka dan menghukum sendiri jahanam itu. Engkau hanya membantu saja. Kalau engkau yang turun tangan membalas, apakah hal itu tidak bahkan menyinggung harga diri keluarga Suma?!

   Bujukan ayahnya dan larangan kaisar akhirnya membuat Cin Liong mengalah dan itulah sebabnya, ketika Suma Hui dan Ciang Bun mencarinya, kakak beradik ini mendapatkan Cin Liong di gedungnya, masih menjadi seorang jenderal muda yang disegani.

   Dapat dibayangkan betapa girang dan terharu hati Jenderal Muda Kao Cin Liong ketika dia keluar menyambut tamu dan melihat bahwa tamunya adalah Suma Hui dan Ciang Bun bersama seorang pemuda asing. Melihat kekasihnya yang selama ini amat dirindukannya, ingin Cin Liong merangkulnya. Akan tetapi tentu saja di depan banyak orang dia tidak dapat melakukan hal ini dan dia hanya membalas penghormatan para tamu itu dengan menjura.

   "Liong-ko....!! kata Suma Hui lirih. Biarpun ia masih terhitung bibi dari kekasihnya itu, akan tetapi karena dapat dibilang secara resmi telah mendapatkan restu dari orang tua dan mereka adalah tunangan, maka tanpa ragu lagi ia kini menyebut koko kepada pemuda itu.

   "Hui-moi, kau baik-baik saja, bukan?! Cin Liong juga menyapa dengan halus.

   Hanya itulah yang dapat mereka sampaikan melalui mulut di depan orang banyak, akan tetapi dua pasang mata itu saling bertemu, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan bicara banyak sekali. Keharuan membuat sepasang mata Suma Hui agak basah.

   "Bun-te, engkau kelihatan semakin gagah saja!! Cin Liong menegur pemuda yang dahulu disebutnya paman itu.

   "Dan siapakah saudara ini?!

   "Saya adalah sahabat saudara Suma Ciang Bun, nama saya Ganggananda.! kata Gangga memperkenalkan diri sambil memberi hormat.

   "Ahh, saudara dari Nepal?!

   "Bukan, dari Bhutan.! jawab Gangga singkat dan matanya menatap tajam wajah jenderal muda itu. Hatinya juga terharu karena ia sudah mendengar penuturan ibunya bahwa ibunya mempunyai seorang saudara angkat yang amat disayangnya, dan saudara angkat ibunya itu adalah ibu dari jenderal ini! Bukan hanya di situ saja hubungannya dengan jenderal gagah perkasa ini, melainkan lebih dekat lagi.

   Ada hubungan saudara antara ayah kandungnya dengan ibu jenderal ini karena mereka itu masih saudara tiri, seayah berlainan ibu. Ayahnya she Wan, dan ibu jenderal ini juga she Wan. Akan tetapi, ia diam saja dan tidak membuka rahasia itu. Ia sudah memesan kepada Suma Hui, satu-satunya orang yang sampai kini sudah tahu akan rahasianya, agar tidak membuka rahasia itu kepada siapapun juga, tidak pula kepada Ciang Bun atau kepada jenderal Kao Cin Liong yang masih ada pertalian keluarga dekat, karena satu kakek dengannya. Dan demi penyamaran Gangga, demi kepentingan adiknya, Suma Hui memegang janji itu dan tidak bicara tentang Gangga.

   "Silahkan masuk, kita bicara di dalam. Kebetulan sekali ayah berada di sini, baru pagi tadi ayah dan ibu datang mengunjungiku.!

   Mendengar bahwa ayah bunda kekasihnya berada di situ, wajah Suma Hui berubah merah. Ia merasa malu sekali teringat akan sikapnya dahulu terhadap mereka, maka tentu saja kini ia merasa canggung, malu dan takut. Melihat sikap kekasihnya, Cin Liong maklum. Tanpa malu-malu lagi terhadap Ciang Bun dan Ganggananda, diapun lalu menggandeng tangan gadis itu dan ditariknya, diajak ke dalam, diikuti oleh Ciang Bun dan Ganggananda.

   Mereka menunggu di ruangan dalam. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya. Biarpun usia mereka sudah lanjut, si pendekar enam puluh tahun lebih dan isterinya, Wan Ceng sudah lima puluh tujuh tahun, akan tetapi keduanya masih nampak sehat dan gagah.

   Karena maklum apa yang dirasakan kekasihnya dan ingin menolong kekasihnya mengurangi perasaan tidak enak itu, begitu tiba di depan ayah bundanya, Cin Liong menarik tangan Suma Hui dan diajaknya menjatuhkan diri berlutut, sedangkan Ciang Bun dan Ganggananda memberi hormat dengan menjura.

   "Ayah, ibu, terimalah hormat kami, putera dan mantu ayah ibu.! kata Cin Liong.

   Melihat wajah gadis yang menunduk itu, wajah yang membayangkan kecantikan, kegagahan dan kekerasan hati, yang menunduk dengan bayangan kesedihan, hati Wan Ceng menjadi lunak. Teringatlah ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih gadis. Iapun dahulu pernah menjadi korban perkosaan orang yang menghancurkan hidup

   dan kebahagiaannya, membuat selalu ingin mencari dan membunuh pemerkosanya itu. Kini Suma Hui mengalami nasib yang sama. Hanya bedanya, kalau ia bahkan bertemu jodohnya dengan pemerkosanya yang bukan lain adalah suaminya yang sekarang, yang melakukan hal itu di luar kesadarannya (baca kisahJodoh Sepasang Rajawali ) , sebaliknya Suma Hui menjadi korban kekejian seorang laki-laki yang amat jahat. Laki-laki yang memperkosanya dengan menyamar sebagai Cin Liong!

   Dan penjahat itu sedemikian pandainya memikat hati keluarga Suma sehingga selain diterima menjadi murid, juga menjadi mantu! Semua telah didengarnya dari Cin Liong dan kini melihat gadis itu menghadapnya, Wan Ceng melupakan semua kesalahfahaman antara keluarganya dan keluarga gadis itu. Iapun turun dari kursinya, membungkuk menghampiri Suma Hui dan merangkulnya.!Suma Hui, engkau adalah calon mantu kami yang baik....! Dan iapun menarik bangun gadis itu, menuntunnya dan mengajaknya duduk di kursi. Mereka semua duduk di kursi menghadap meja besar dan sikap Wan Ceng ini ternyata telah melenyapkan perasaan canggung, malu dan tidak enak dari hati Suma Hui. Ketika ditanya, Suma Ciang Bun dan Ganggananda memperkenalkan diri. Suami isteri perkasa itu merasa girang dan bersikap amat manis.

   Diam-diam Gangga Dewi terharu sekali karena ia mengerti bahwa wanita yang rambutnya sudah bercampur uban itu, yang demikian cantik dan gagah perkasa, adalah bibinya sendiri! Nyonya itu adalah saudara seayah berlainan ibu dengan ayahnya. Akan tetapi, demi menjaga perjanjian rahasianya dengan Suma Hui untuk menolong Ciang Bun, ia diam saja dan hanya duduk sebagai penanton dan pendengar.

   Dalam pertemuan kekeluargaan ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng terang-terangan menyatakan keinginan hati mereka kepada Suma Hui agar pernikahan antara Suma Hui dan Cin Liong dapat dilaksanakan dengan secepatnya.

   "Saatnya sudah lebih dari matang.! antara lain pendekar berlengan satu itu berkata.

   "Hendaknya kalian berdua ingat bahwa aku dan ibumu sudah tidak muda lagi. Kukira demikian pula dengan ayah bunda Suma Hui, tentu seperti juga kami, mereka sudah ingin sekali menimang cucu. Itu alasan pertama. Ke dua, tahun ini Cin Liong sudah berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan kami kira Suma Hui juga bukan seorang gadis remaja lagi. Karena cintanya dan setianya kepadamu, Suma Hui, putera kami itu sampai kini sama sekali tidak mau mendekati wanita lain, tidak menikah, bahkan memiliki seorang selirpun tidak sehingga kawan-kawannya suka menggodanya dan mengatakan bahwa dia banci.!

   Hanya Suma Hui, Ganggananda dan tentu saja Ciang Bun sendiri yang merasakan kata "banci! ini sebagai sindiran terhadap diri Ciang Bun.

   "Akan tetapi.... saya.... saya telah bertekad untuk mencari dan membunuh musuh besar saya....!

   "Kami semua juga mengerti akan perasaanmu itu, anak Hui.! kata Wan Ceng sambil menyentuh kepala gadis itu yang duduk di sebelahnya.

   "Menentang dan membasmi manusia-manusia iblis macam Louw Tek Ciang itu merupakan tugas setiap orang gagah, bukan? Tidak perduli urusan pribadi, akan tetapi perbuatannya itu cukup membuat kita semua memusuhinya. Akan tetapi, urusan dendam itu dapat dilakukan setelah menikah. Suamimu tentu akan membantumu, dan kami juga.!

   "Jangan khawatir, Suma Hui,! sambung Kao Kok Cu.

   "Suamimu terikat tugas dan kiranya hanya mempunyai sedikit waktu untuk urusan pribadi. Akan tetapi, kalau kalian sudah menikah, aku sendiri yang akan turun tangan menyeret iblis itu ke depan kakimu!!

   "Tapi.... iblis itu harus mampus di tangan saya sendiri!! Suma Hui berkata penuh geram.

   Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang.

   "Baiklah, terserah kepadamu, akan tetapi kami sungguh mengharapkan engkau akan dapat mempertimbangkan dengan baik untuk segera menikah dengan tunanganmu.!

   Suma Hui termenung. Ia memang merasa terharu dan kasihan kepada kekasihnya yang begitu setia dan mencintanya, padahal ia sudah bukan seorang perawan lagi. Jarang di dunia ini terdapat seorang pria seperti Cin Liong dan kalau sekarang ia menolak lagi, berarti dia yang keterlaluan dan tidak mengenal budi orang. Akhirnya ia menyetujui.

   Bukan main girangnya hati Wan Ceng. Ia melompat dan merangkul calon mantunya, menciumnya dengan kedua mata basah. Keluarga itu lalu menahan Suma Hui, Ciang Bun dan juga Ganggananda yang dianggap sebagai tamu, untuk bermalam di gedung besar jenderal Kao Cin Liong dan utusan lalu dikirimkan ke Thian-cin untuk memberi kabar kepada keluarga Suma tentang akan dilangsungkannya pernikahan itu. Menurut usul keluarga Kao, pernikahan itu diadakan di kota raja dan di rumah keluarga Suma tidak diadakan pernikahan lagi karena Suma Hui pernah dinikahkan di situ dengan Louw Tek Ciang tiga tahun yang lalu. Untuk keperluan itu, keluarga Suma diundang untuk datang ke kota raja agar dapat bersama-sama merayakan pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu itu.

   Akan tetapi Ganggananda hanya tinggal di situ semalam saja. Malam itu, setelah berkesempatan bertemu dan bicara berdua saja dengan Suma Hui, gadis itu menganjurkan kepadanya agar segera mulai dengan usahanya menolong dan menyelamatkan Ciang Bun seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Rencana itu adalah pertama-tama meninggalkan Ciang Bun agar pemuda itu merasa kehilangan dan menderita rindu. Maka pada keesokan harinya, secara tiba-tiba saja Ganggananda berpamit dari keluarga Kao untuk melanjutkan perjalanannya. Karena hal itu ia lakukan pagi-pagi sekali, yang mengetahui kepergiannya hanyalah Suma Hui dan suami isteri Kao Kok Cu, sedangkan Cin Liong dan Ciang Bun masih berada di dalam kamarnya.

   Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ciang Bun ketika dia keluar dari kamarnya, dia tidak mendapatkan lagi Ganggananda yang sudah pergi. Apalagi ketika dia mendengar dari encinya bahwa pemuda Bhutan itu memang benar-benar sudah pergi dari rumah itu.

   "Ah, kenapa dia tidak pamit kepadaku? Kenapa dia pergi begitu saja....?! Ciang Bun mengeluh dengan muka berobah pucat, nampaknya dia terpukul sekali. Diam-diam Suma Hui merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ini merupakan siasatnya bersama Gangga Dewi untuk menolong Ciang Bun.

   "Adikku, Gangga adalah seorang perantau yang hidup menyendiri. Kemudian dia menemukan engkau sebagai seorang sahabat yang amat baik. Ketika dia kita ajak ke sini dan melihat pertemuan antara kita dengan keluarga Kao, baru dia merasa bahwa dia adalah orang luar, maka dia merasa tidak enak dan tidak betah tinggal lebih lama di sini, merasa tidak berhak. Karena itulah maka sepagi ini dia pergi tanpa dapat kucegah.!

   "Ahh.... kasihan Gangga. Kenapa begitu? Setidaknya dia dapat menunggu aku dan bicara denganku. Ke mana dia pergi, enci? Ke mana aku akan dapat mencarinya?!

   "Ke mana lagi kalau tidak pulang ke negerinya?!

   Seketika wajah pemuda itu berobah pucat.

   "Ke Bhutan? Ya Tuhan.... Gangga, engkau pergi begitu saja meninggalkan aku untuk selamanya? Enci, aku pergi, aku harus mengejarnya....!

   Pemuda itu meloncat dan sebentar saja dia sudah berada di luar gedung itu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan encinya telah berdiri di depannya dengan pandang mata serius.

   "Adikku, engkau mau apa?!!Enci Hui, tidak tahukah engkau bahwa aku.... aku amat mencintanya? Aku akan mati kalau berpisah darinya, enci, sungguh.... aku.... aku....! Ciang Bun tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan kedua matanya sudah basah oleh air mata! Melihat adiknya menangis, Suma Hui merasa terharu sekali. Dipegangnya kedua tangan adiknya itu.

   Pemuda yang sedang berlatih silat seorang diri dalam taman di samping rumah itu sungguh amat tampan dan gagah. Pagi itu matahari belum nampak walaupun sinarnya telah lama mengusir kabut dan menciptakan embun menjadi mutiara-mutiara yang bergantungan di ujung daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak terpencil di sebuah dusun yang sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi, segar dan sejuk.

   Pemuda itu berusia antara delapan belas atau sembilan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya yang tampan itu berbentuk lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan matanya membayangkan watak yang gemibira. Pada waktu itu, walaupun hawa udara cukup dingin, dia membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja. Akan tetapi yang amat menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat.

   Kedua kaki itu seolah-olah dua batang tiang baja yang kokoh kuat, tak tergoyahkan apapun ketika dia memasang kuda-kuda dan menggeser ke sana-sini. Akan tetapi tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang yang tidak mengerti akan menduga bahwa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf permulaan saja dari pelajaran ilmu silat karena ketika dia melakukan gerakan memukul atau menendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga. Akan tetapi, tidak demikian anggapan orang yang sejak tadi menonton sambil bersembunyi.

   Ketika tadi dia memasuki dusun Hong-cun dan tiba di depan rumah itu, dia memasuki pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak sunyi, dia mencari-cari dengan pandang matanya dan cepat dia menyelinap diantara pohon-pohon ketika melihat seorang pemuda sedang berlatih silat seorang diri lalu mengintai. Dari sinar matanya, jelas bahwa orang ini merasa kagum bukan main.

   Pengintai itu menarik napas panjang dan mengumam seorang diri.

   "Hebat.... seorang pemuda yang hebat tak ubahnya Pendekar Siluman Kecil di waktu muda....! Kakinya bergerak sedikit dan tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan mematahkan sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak berapa keras, akan tetapi cukup bagi Suma Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia menghadap ke arah pohon itu.

   "Saudara yang berada di belakang pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah, sebaliknya kalau tidak ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya bersembunyi dan mengintai.!

   Ceng Liong mengira bahwa yang mengintai tentu seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah tiga tahun dia berada di dusun itu, di rumah orang tuanya dan menerima penggemblengan dengan keras dari kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng Liong tiga tahun yang lalu, yang masih kekanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda dewasa yang semakin mantap dan matang ilmunya.

   Akan tetapi ketika orang yang mengintai itu muncul dari balik pohon, Ceng Liong terkejut dan kagum. Orang itu dengan langkah lebar menghampirinya dan kini mereka saling berhadapan, saling pandang dengan kagum. Ceng Liong memandang penuh selidik. Belum pernah dia melihat orang ini. Seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar seperti yang biasa dipakai para pemburu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari kepala sampai ke kaki, sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan kegagahan yang amat mengagumkan hati Ceng Liong.

   Ceng Liong dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang gagah yang tidak dikenalnya, maka diapun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan dan berkata.

   "Bolehkah saya bertanya? Siapa nama saudara yang gagah dan ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?!

   Pria itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara rapi.

   "Aku melihat engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku berlatih bersamamu. Orang muda, layanilah aku barang sepuluh dua puluh jurus!! Berkata demikian, pria itu sudah menyerang maju dan mengirim pukulan ke arah dada Ceng Liong! Tentu saja pemuda ini cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai sasaran itu sudah disusul oleh serangkaian pukulan lagi yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.

   "Plakk! Plakk!! Terpaksa Ceng Liong yang terdesak dan selalu mengelak ke belakang itu kini menggunakan lengannya untuk menangkis. Tangkisan yang dilakukan dengan mengerahan tenaga dan akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan yang beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat! Ceng Liong kini membalas serangan dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling serang dengan jurus-jurus pukulan yang aneh dan dahsyat.

   Keduanya menjadi semakin gembira ketika mendapat kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang Ceng Liong maklum bahwa orang itu memang hanya ingin mengujinya, maka diapun melayani orang itu dengan gembira dan diam-diam diapun mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk memenangkan pertandingan itu.

   Ketika pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh jurus, nampak bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Sian In sudah berdiri di tempat itu dan mereka menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan terheran-heran. Mereka tidak mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang bertanding dengan putera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua orang itu, suami isteri sakti inipun maklum bahwa mereka itu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, melainkan lebih tepat kalau dikatakan berlatih atau saling menguji ilmu masing-masing.

   Tiba-tiba, pria gagah perkasa yang mukanya dihias kumis dan jenggot pendek itu meloncat ke belakang, lalu menghadapi suami isteri itu sambil menjura dengan sikap hormat dan muka tersenyum ramah.

   "Aku berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah putera Pendekar Siluman Kecil!!

   Suma Kian Bu dan isterinya cepat membalas penghormatan tamu itu.

   "Siapakah saudara yang gagah perkasa ini?! tanyanya, ditujukan kepada tamunya dan juga kepada puteranya. Ceng Liong tidak menjawab karena memang dia sendiri tidak mengenal orang itu. Akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha begitu banyakkah aku berubah? Suma-taihiap tidak mengenal aku, si pemburu miskin ini?!Suma Kian Bu memandang lebih teliti kepada pria berusia empat puluh tahunan itu, kemudian wajahnya nampak berseri, sepasang matanya mencorong dan diapun lalu berseru.

   "Aihhh.... kiranya saudara Sim Hong Bu! Ceng Liong, beri hormat kepada paman Sim Hong Bu ini! Dia adalah jagoan yang lihai sekali dari Lembah Gunung Naga Siluman, ha-ha-ha!! Kian Bu girang bukan main dan Ceng Liong lalu memberi hormat kepada orang yang tadi telah mengujinya.

   Sim Hong Bu juga tertawa.

   "Suma-taihiap bersama isteri semakin gagah saja, dan telah memiliki seorang putera yang sedemikian hebatnya, sungguh Thian Maha Murah, menurunkan berkah melimpah kepada keluarga pendekar budiman!!

   "Sudahlah, saudara Sim, buang semua pujian-pujianmu itu dan mari kita bicara di dalam, kami rasa kedatanganmu ini bukan sekedar kunjungan biasa.! kata Suma Kian Bu.

   "Sesungguhnyalah, saya datang dengan sengaja karena hendak membicarakan hal yang amat penting.!

   Dengan sikap gembira mereka berempat lalu memasuki pondok keluarga itu dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam, menghadapi hidangan dan minunan yang dikeluarkan oleh Teng Siang In. Setelah makan hidangan sekedarnya dan saling menceritakan keadaan masing-masing, Suma Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi lalu bertanya.

   "Nah, saudara Sim, sekarang keluarkanlah isi hatimu. Apa sebenarnya maksud yang terkandung di hatimu dan yang mendorongmu jauh-jauh datang mengunjungi kami?!

   "Tidak begitu jauh, Suma-taihiap, karena sudah sejak kurang lebih tiga tahun aku meninggalkan Lembah Gunung Naga Siluman. Taihiap, apakah taihiap sekeluaga selama ini tidak mendengarkan sesuatu yang sedang bergejolak di dunia para pendekar?!

   Suma Kian Bu saling pandang dengan isterinya dan puteranya, lalu menggeleng kepala.

   "Selama tiga tahun ini, kami bertiga tidak pernah meninggalkan rumah. Kami tidak tahu dan tidak mendengar apapun tentang dunia kang-ouw. Ada terjadi apakah, saudara Sim?!

   "Taihiap, kami para patriot menganggap bahwa kini sudah terlalu lama kita membiarkan diri ditindas kaum penjajah, bahwa kini tiba masanya bagi kita untuk melakukan usaha meronta dan membebaskan diri daripada belenggu penjajahan!!

   Suma Kian Bu dan Teng Siang In mendengarkan dengan alis berkerut. Itu berarti pemberontakan! "Tapi.... tapi....! keduanya menggagap.

   Sim Hong Bu bersikap serius.

   "Harap ji-wi jangan terkejut. Apa anehnya kalau kini para patriot bangkit? Hendaknya ji-wi tidak lupa bahwa negara dan bangsa kita telah dikuasai penjajah asing selama kurang lebih seratus tahun lamanya! Masih kurang lamakah itu? Kekayaan tanah air dikeruk bangsa lain. Semua kedudukan tinggi di pegang oleh tangan asing. Lihat ini....!! Sim Hong Bu menggerakkan kepalanya dan kuncirnya yang tebal itu terlepas dari gelungnya.

   "Kita harus berkuncir seperti ekor anjing! Kita dihina, ditindas, diperas. Bangsa Han yang besar kini telah menjadi bangsa penjajahan yang diperbudak oleh segelintir orang-orang Mancu. Kalau kita tidak bersatu, tidak serempak bergerak melawan penjajahan, apakah kita akan membiarkan anak cucu kita selamanya menjadi bangsa budak?!

   Pria yang gagah perkasa itu bicara dengan sikap gagah, dengan sepasang mata mencorong seperti berapi- api. Agaknya semangat kepatriotannya itu membakar pula dada Suma Kian Bu dan Teng Siang In. Kedua orang suami isteri ini beberapa kali saling pandang dan wajah mereka berubah merah, mata mereka bersinar-sinar dan bersemangat. Teng Siang In mulai mengangguk-angguk mendengarkan ucapan tamunya yang penuh semangat itu.

   "Memang, sesungguhnya kamipun tidak buta terhadap itu semua, saudara Sim. Sejak kecil aku sudah melihat akan semua itu, sejak aku mengerti bahwa Bangsa Han dijajah oleh orang-orang Mancu. Akan tetapi.... karena kita tidak berdaya....!

   "Tentu saja tidak berdaya kalau kitadiam saja!! Sim Hong Bu memotong ucapan pendekar yang selalu dikaguminya itu.

   "Di tangan kita sendirilah terletak nasib bangsa kita. Kita diamkan saja berarti anak cucu kita akan terus menjadi budak-budak hina. Dan apa artinya kita menyebut diri sebagai orang-orang gagah kalau kita membiarkan malapetaka ini terjadi? Apakah kita tidak akan malu terhadap leluhur kita? Terhadap tanah air kita?!

   "Engkau betul!! Teng Siang In berseru, tak tahan lagi.

   "Kita memang harus bergerak!!

   Suma Kian Bu mengangguk-angguk.

   "Biarpun nampaknya mustahil, akan tetapi, kalau kita mau bersatu, mengumpulkan dan menyusun kekuatan, agaknya bukan tidak mungkin pada suatu hari kita melihat negara dipimpin oleh bangsa sendiri. Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan.

   "Dan kedatanganmu ini, selain bicara tentang itu, mengandung tugas apa lagi, saudara Sim?!

   "Harap taihiap ketahui bahwa selama beberapa bulan ini, secara rahasia para pendekar yang berjiwa patriot telah mulai mengadakan hubungan, di mana-mana diadakan pertemuan rahasia dan akhirnya dicapai kesepakatan untuk bekerja sendiri-sendiri lebih dahulu, menyebarluaskan niat rahasia untuk mengusir penjajah. Mengumpulkan teman-teman sehaluan, menyusun kekuatan dau kelak akan diadakan pertemuan besar di antara para tokoh besar dunia kang-ouw. Dalam pertemuan itulah akan dibahas lebih terperinci lagi apa yang harus kita lakukan. Nah, dalam tugas menyebarluaskan dan mencari teman sehaluan inilah aku teringat kepada taihiap dan datang ke sini.!

   "Bagus! Kami setuju sekali dan kami siap untuk membantu!! kata Suma Kian Bu dengan nada suara gembira dan penuh semangat. Wajah pendekar ini berseri-seri dan sepasang matanya semakin mencorong dan bersinar.

   "Ah, sudah kuduga bahwa Pendekar Siluman Kecil sekeluarganya yang gagah perkasa tentu akan mendukung. Perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah ini membutuhkan persatuan tenaga semua pendekar, terutama sekali tenaga-tenaga muda seperti putera Suma-taihiap ini.! Sim Hong Bu memandang kepada Ceng Liong yang sejak tadi nampak diam dan menundukkan mukanya saja itu. Sepasang alis pemuda itu kini berkerut dan dia tidak nampak segembira ayah ibunya.

   "Tentu saja Ceng Liong akan menjadi seorang patriot dan membantu perjuangan para pendekar. Bukankah begitu, anakku?! kata Teng Siang In dengan bangga.

   Pemuda itu mengangkat muka memandang ibunya, lalu ayahnya dan tamu itu, kemudian dia menarik napas panjang.

   "Nanti dulu, ibu. Aku tidak bisa mengambil keputusan seketika saja. Peristiwa ini datangnya secara tiba-tiba sekali, membuat aku bingung dan banyak sekali hal-hal yang tidak aku mengerti.!

   "Hal-hal apakah yang belum kaumengerti?! Ayahnya bertanya.

   "Maaf, ayah. Aku sungguh merasa bingung melihat betapa ayah dan ibu secara tiba-tiba saja merobah pendirian menjadi berlawanan dari yang sudah-sudah seperti ini. Bukankah ayah dan ibu selalu menentang pemberontakan? Bukankah ayah selalu memihak kepada kaisar kalau terjadi pemberontakan? Bahkan ayah pernah bercerita kepadaku betapa ayah dan ibu menyelamatkan kaisar dari serangan kaum pemberontak. Dan sekarang? Aku mendengar ayah dan ibu menyetujui paman Sim ini dan berjanji akan membantu para pemberontak! Bagaimanakah ini?!

   "Liong-ji! Tidak pantas kau menegur ayahmu di depan tamu!! Ibunya berseru menegur. Akan tetapi Sim Hong Bu dan Suma Kian Bu nampak kagum dan wajah mereka berseri.

   "Biarlah, dia berhak mengeluarkan ganjalan hatinya dan aku suka akan kejujurannya.! kata Suma Kian Bu.

   "Hemm, pertanyaan-pertanyaan Suma Siauw-sicu tadi memang bagus, menandakan bahwa dia mempergunakan akal budi dan tidak hanya main ikut-ikutan saja seperti kebanyakan orang lain.! kata pula Sim Hong Bu sambil mengangguk-angguk.

   
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ceng Liong, kalau tidak diberi penjelasan, memang kebimbangan dan keraguan akan selalu menghantui batinmu. Engkau harus tahu membedakan antara pendekar dan patriot. Keduanya itu sama sekali berbeda. Tidak semua pendekar berjiwa patriot walaupun sebenarnya pendekar yang tidak mencinta dan membela tanah air dan bangsa bukanlah pendekar lengkap. Sebaliknya, tidak semua patriot berjiwa pendekar walaupun hal ini patut disayangkan.!

   "Adakah perbedaan antara pendekar dan patriot?! Ceng Liong bertanya.

   "Seorang pendekar adalah seorang pembela kebenaran dan keadilan dipandang dari sudut perikemanusiaan. Seorang pendekar selalu membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat, tanpa memandang bulu, tidak melihat kedudukan atau derajat. Biar kaisar maupun pengemis, apabila terancam dan membutuhkan pertolongan, tentu akan ditolongnya. Itulah sebabnya dahulu ayah ibumu menolong kaisar, ketika itu kami bertindak seperti pendekar. Akan tetapi seorang patriot adalah seorang pembela tanah air dan bangsa, baik untuk menentang pihak yang hendak mencelakakan bangsa maupun untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi nusa bangsa. Kini, sebagai seorang patriot, aku harus membantu pejuangan yang hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu.!

   "Akan tetapi, bukankah ayah sendiri mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana?! bantah Ceng Liong.

   Mendengar pertanyaan ini, Suma Kian Bu dan isterinya saling pandang dengan Sim Hong Bu yang tersenyum sabar dan mengangguk-angguk. Tiga orang sakti ini tentu saja maklum sepenuhnya akan pertanyaan itu. Mereka harus mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar bijaksana yang bahkan disayang oleh para pendekar.

   "Ceng Liong, urusan patriot adalah urusan negara dan bangsa, bukan urusan pribadi atau perorangan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana. Akan tetapi jangan lupa, dia itu kaisar penjajah! Pemerintahannya menindas dan memeras bangsa kita. Bukan pribadi Kaisar Kian Liong yang kita musuhi, melainkan pemerintah penjajah! Mengertikah engkau?!

   Pemuda itu menggeleng kepala.

   "Aku masih bingung, ayah. Menurut kitab-kitab sejarah yang pernah kubaca, ketika bangsa kita diperintah oleh pemerintahan bangsa sendiri, rakyat banyak pula mengalami penderitaan. Bahkan di jaman Beng-tiauw sebelum Bangsa Mancu datang, banyak tercipta kaisar lalim dan pemerintahanya menindas dan menghisap rakyat. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong ini mencinta rakyat. Bukankah itu berarti bahwa pemerintah penjajah di dalam tangan Kaisar Kian Liong jauh lebih baik daripada pemerintah bangsa sendiri di dalam tangan kaisar-kaisar lalim?!

   Tiga orang sakti itu menggeleng kepala.

   "Tidak, tidak demikian, anakku. Hal ini menyangkut martabat bangsa! Betapapun jeleknya pemerintahannya, kalau berada di tangan bangsa sendiri, kekayaan tanah air tidak akan mengalir keluar. Pula, rakyat jelata akan dapat sewaktu-waktu mengganti kaisar seperti yang seringkali terjadi. Sebaliknya, kalau pemerintahan penjajah, kita menjadi bangsa taklukan, menjadi budak dan mengalami penghinaan. Seperti keharusan memakai kuncir seperti ekor binatang, larangan membawa senjata, pajak-pajak yang berat, kerja paksa dan lain-lain.! Suma Kian Bu menjelaskan.!Akan tetapi, kalau begitu kenapa tidak dari dulu- dulu ayah ibu bangkit menentang pemerintah penjajah? Kenapa ayah ibu pernah membantu pemerintah menentang pemberontakan?!

   "Itu lain lagi, anakku.! kata ibunya.

   "Kalau saatnya belum tiba, patriot menyimpan saja cita-cita dalam hatinya dan kita bertindak sebagai pendekar. Bagi patriot, yang penting adalah membantu dan membela rakyat. Pada garis besarnya, memang tugas para patriot adalah mengusir penjajah. Akan tetapi sementara itu kalau saatnya belum tiba lebih dulu kita membantu penguasa yang baik, menentang penguasa lalim.!

   "Tapi, bukankah beberapa kali terjadi pemberontakan? Gubernur di barat pernah memberontak ketika aku merantau ke sana, dan mengapa ayah ibu tidak membantu pemberontakan seperti itu?!

   "Bolehkah aku menjelaskan?! kata Hong Bu dan melihat tuan dan nyonya rumah mengangguk, dia melanjutkan.

   "Ada bermacam-macam pemberontak, orang muda yang gagah. Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan atau bangsa yang tadinya sudah menakluk, seperti Tibet atau Nepal. Tentu saja kita harus menentang pemberontakan seperti itu karena kalau perberontakan itu menang, berarti negara jatuh ke dalam cengkeraman penjajah asing lainnya. Ada pemberontakan golongan penguasa yang berusaha merebut kekuasaan demi ambisi pribadi, dan pemberontakan macam inipun tidak akan didukung para patriot karena golongan itu tidak mewakili rakyat. Para patriot sudah menanti sampai seratus tahun, menanti kesempatan baik. Dan kini masanya tiba para patriot ingin menyumbangkan tenaga, berjuang membebaskan rakyat, mengusir penjajah!!

   "Kita usir penjajah!! teriak Suma Kian Bu dan isterinya. Melihat ini, Ceng Liong mengerutkan alisnya.

   "Ayah, satu pertanyaan lagi.!

   "Tanyalah.!

   "Tapi harap ayah dan ibu tidak marah.!

   "Mengapa marah? Pertanyaan jujur memang terdengar kasar dan menyakitkan, akan tetapi baik sekali.!

   "Nah, ayah dan ibu kini bersikap menentang pemerintahan penjajah Mancu. Akan tetapi, ayah, ada suatu kenyataan dalam keluarga kita yang tak dapat dibantah oleh siapapun juga, yaitu bahwa keluarga Pulau Es tak dapat dipisahkan dengan keluarga Kerajaan Ceng. Ayah, bukankah dalam tubuh kita masih mengalir darah Mancu? Apakah kita harus melupakan kenyataan bahwa nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, bahkan pernah menjadi panglima? Danbibi Puteri Milana juga pernah menjadi panglima? Bukankah mendiang kakek Suma Han tidak pernah menentang kerajaan?!

   Mendengar pertanyaan ini, Teng Siang In terbelalak lalu menundukkan mukanya. Juga Sim Hong Bu terkejut dan menundukkan muka. Mereka ini tahu betapa gawatnya pertanyaan itu dan hendak menyerahkan jawabannya sepenuhnya kepada Pendekar Siluman Kecil itu. Suma Kian Bu sendiri terdiam dan agaknya pertanyaan anaknya ini merupakan serangan yang membuatnya lumpuh sejenak. Akan tetapi, diapun lalu tersenyum dan menatap wajah puteranya dengan tenang.

   "Liong-ji, dengarkan baik-baik. Aku tidak pernah menyangkal bahwa ibuku, yaitu nenekmu Puteri Nirahai, adalah seorang puteri Mancu! Akan tetapi lihatlah kenyataannya. Beliau sampai tua pergi ikut suaminya, hidup di Pulau Es. Kakekmu, mendiang ayahku itupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu. Mereka memang tidak memperlihatkan permusuhan, tidak bersikap menentang Kerajaan Mancu, akan tetapi karena selama itu belum pernah para patriot berkesempatan untuk bangkit. Lihat saja. Bukankah bibimu, Puteri Milana juga sekali waktu saja menjabat panglima, hanya untuk memadamkan pemberontakan golongan lain, sama sekali bukan pemberontakan para patriot? Hendaknya engkau mengetahui betul. Puteri Milana juga pergi mengikuti suaminya, pamanmu yang gagah perkasa Gak Bun Beng, menyepi di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Seng-san. Memang banyak pula pendekar-pendekar besar yang membantu pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong sekarang ini, dan hal itu tak dapat terlalu disalahkan. Seperti kau dengar tadi, tugas seorang patriot terbagi dua. Kalau para patriot belum sempat bangkit mengusir penjajah, mereka itu bertugas melindungi rakyat dan mengarahkan pemerintahan penjajah itu pada jalan yang benar, dan hal itu baru dapat dilaksanakan kalau mereka duduk di dalam roda pemerintahan itu sendiri. Mengertikah engkau?!

   Mendengar kuliah-kuliah yang diberikan oleh ayahnya, ibunya dan kadang-kadang Sim Hong Bu juga memberi penjelasan, akhirnya Suma Ceng Liong mengerti dan diapun menyambut cita-cita perjuangan para patriot itu dengan semangat menyala-nyala.

   Sampai malam empat orang itu bercakap-cakap, hanya diselingi makan minum, dan Sim Hong Bu menceritakan dengan panjang lebar tentang usaha yang dilakukan oleh para patriot sampai sekarang. Menghubungi para pendekar sehaluan, menyelidiki keadaan dan kekuatan pemerintah.

   "Ada satu hal yang amat penting dan yang menjadi bahan perundingan kawan-kawan seperjuangan,! antara lain Sim Hong Bu bercerita.

   "Yaitu mengenai diri Jenderal Muda Kao Cin Liong.!

   Tentu saja nama ini membuat keluarga Suma itu tertarik sekali, terutama sekali Ceng Liong yang mengenal baik jenderal yang dimaksudkan itu, yang membuat dia teringat akan semua pengalamannya di Pulau Es menjelang hancurnya dan lenyapnya pulau itu.

   "Paman Sim, ada apakah dengan kanda Cin Liong?! tanyanya.

   Mendengar sebutan ini, Sim Hong Bu mengangguk- angguk.

   "Aku sudah mendengar bahwa antara keluarga Kao dan keluarga Suma terdapat hubungan yang cukup dekat. Dan karena itu pula aku datang.!

   "Apakah yang terjadi?! Suma Kian Bu khawatir.

   "Kami baru saja menerima kabar baik dari kota raja, yaitu undangan pernikahan Jenderal Kao Cin Liong dengan keponakanku, Suma Hui.!

   "Bagus! Kamipun sudah mendengar akan berita pernikahan itu. Saat yang tepat bagi kita semua untuk berkumpul di kota raja. Kami semua merasa khawatir melihat betapa Jenderal Kao Cin Liong menjadi seorang panglima yang amat disayang dan dekat sekali dengan kaisar. Dia dan keluarganya akan merupakan kawan seperjuangan yang amat kuat dan menguntungkan, sebaliknya akan menjadi lawan yang berbahanya.!

   "Dan maksudmu dengan kami?! tanya Kian Bu.

   "Demi perjuangan, semua kawan mengharapkan taihiap dapat melakukan penjajagan, menyelidiki kemungkinan- kemungkinannya menarik jenderal itu ke pihak kita. Dia menguasai pasukan besar dan amat berpengaruh. Kalau kita berhasil menariknya, berarti bahwa setengah dari perjuangan kita sudah menang!!

   Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.

   "Memang siasat itu bagus sekali. Akan tetapi engkau juga tahu, saudara Sim, bahwa ayah jenderal itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Kita tak boleh sembarangan bertindak. Agaknya untuk menarik jenderal itu, harus lebih dulu meyakinkan ayahnya. Sayang aku tidak terlalu dekat dengan keluarga Kao....!

   "Serahkan saja padaku, ayah! Aku sudah kenal baik dengan Jenderal Kao Cin Liong! Aku dapat mengunjunginya dan perlahan-lahan menjajagi hatinya, melihat bagaimana nada bicaranya,! kata Ceng Liong.

   Ayahnya mengangguk setuju.

   "Tepat sekali! Dan engkau boleh pula mewakili kami mengadakan kontak dengan para patriot lain, Ceng Liong. Kami berdua sudah tua. Kami hanya akan turun tangan membantu kalau saat perjuangan itu tiba.!

   Setelah mengadakan perundingan matang, pada keesokan harinya, Sim Hong Bu berpamit. Tiga hari kemudian, Ceng Liong juga meninggalkan orang tuanya untuk mulai dengan perantauannya, sekali ini kepergiannya berbeda dengan ketika dia hilang diculik Hek-i Mo-ong. Kini dia melakukan perjalanan sebagai pendekar muda yang lihai sekali, yang mewakili orang tuanya untuk mengadakan kontak dengan para patriot, membantu persiapan perjuangan dan berusaha menarik Jenderal Kao Cin Liong ke pihak para pejuang.

   Dia kini sudah berusia hampir sembilan belas tahun dan dalam hal ilmu silat, dia sudah setingkat dengan ayahnya! Hanya mungkin dia masih kalah dalam hal gin-kang, akan tetapi sudah pasti dia lebih kuat dalam hal sin-kang. Dia kini dapat mempergunakan sumber tenaga sin-kang yang diterima langsung dari kakeknya, mendiang Suma Han atau Pendekar Super Sakti atau majikan Pulau Es! Bahkan kini dia telah menguasai pula ilmu sihir yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.

   Rumah perkumpulan Pek-eng-pang di kota Nam-san di sebelah selatan Tai-goan pada pagi hari itu nampak ramai dikunjungi banyak tamu. Pek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Putih) adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang terkenal. Ketuanya, Song-pangcu yang usianya sudah lima puluh tahun lebih adalah seorang murid Siauw-lim-pai. Tentu saja lihai ilmu silatnya dan karena dia mempunyai keistimewaan dalam Ilmu Silat Garuda dan mengembangkannya, maka dia menamakan perguruannya Pek-eng-pang. Dia dan para muridnya selalu memakai baju putih, sesuai pula dengan nama perkumpulan.

   Song-pangcu terkenal sebagai orang gagah yang rendah hati dan semua muridnya menerima gemblengan keras sehingga para murid itu selain pandai bersilat, juga pandai membawa diri dalam masyarakat. Hal ini membuat Pek-eng-pang terpandang dan dihormati golongan kang-ouw.

   Tidak mengherankan apabila pada pagi hari itu rumah perkumpulan Pek-eng-pang dibanjiri tamu yang rata-rata adalah ahli silat dan orang-orang gagah, karena pada hari itu Pek-eng-pang merayakan hari ulang tahun ke sepuluh dari perkumpulan itu. Mereka terdiri dari wakil-wakil perguruan silat, piauwsu, orang-orang gagah dan bahkan ada pula golongan perorangan yang tidak diketahui benar kedudukannya, mungkin dari golongan hitam. Akan tetapi mereka semua disambut dengan hormat oleh Song-pangcu sendiri yang ditemani empat orang murid pertama yang bersikap gagah.

   Para tamu kehormatan dipersilahkan duduk di panggung kehormatan bersama pihak tuan rumah. Tamu- tamu yang tidak dikenalpun dipersilahkan duduk di panggung samping kiri. Pihak Pek-eng-pang sudah bersikap hati-hati dalam hal ini. Mereka tidak mengenal para tamu itu. Siapa di antara mereka terdapat orang- orang pandai. Maka agar cukup menghormat, mereka dipersilahkan duduk di panggung kiri. Panggung kanan ditempati wakil-wakil perkumpulan lain yang memiliki kedudukan sebagai murid saja, sedangkan orang-orang muda diberi tempat paling belakang.

   Ketika tidak nampak ada tamu baru, hidangan mulai dikeluarkan, disambut gembira oleh para pemuda yang duduk di bagian belakang. Seperti biasanya, di manapun juga, dalam setiap pesta para pemuda yang berkumpul tentu bergembira ria dan suasana menjadi meriah.

   Akan tetapi tiba-tiba muncul serombongan baru. Rombongan ini menarik perhatian karena sikap dan pakaian mereka. Rata-rata belasan orang itu berwajah menyeramkan, bersikap kasar dan congkak. Pakaian mereka serba hitam dan di tubuh mereka terdapat senjata-senjata tajam. Rombongan tamu baru ini jelas merupakan sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi kurus yang mengiringkan seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berperut gendut. Hanya mereka berdua ini yang bersikap tenang dan halus tidak seperti belasan anak buah mereka, walaupun pada pandangan mereka dan gerak bibir seperti yang lain, penuh kecongkakan dan ketinggian hati.

   Melihat munculnya belasan orang yang jelas merupakan satu golongan tertentu, Song-pangcu dan keempat muridnya cepat mengadakan sambutan. Dengan sikap hormat ketua Pek-eng-nang ini memberi hormat, diturut oleh para muridnya, kepada belasan orang tamu yang masih berdiri dengan sikap angkuh itu.

   Akan tetapi, hanya kakek gendut dan si tinggi kurus yang membalas penghormatan Song-pangcu, sedangkan tiga belas orang anak buah mereka sama sekali tidak memperdulikan penghormatan itu. Si tinggi kurus yang melangkah maju dan bicara mewakili kakek gendut.

   "Sudah lama kami dari Hek-i Mo-pang mendengar tentang Song-pangcu dan Pek-eng-pang. Karena kebetulan lewat dan mendengar bahwa Pek-eng-pang merayakan ulang tahun, kami semua dipimpin oleh suhu Boan It sengaja singgah dan mengucapkan selamat!! Ucapan itu terdengar nyaring, terdengar oleh semua yang hadir dan hanyak di antara mereka terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Hek-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Hitam). Nama ini tak pernah menjadi kenyataan di dunia kang-ouw, akan tetapi siapakah yang belum mendengar nama Hek-i Mo-ong pendiri Hek-i Mo-pang?

   Song-pangcu juga terkejut sekali, akan tetapi diam-diam kurang percaya dan menduga bahwa rombongan ini tentu hanya gerombolan liar saja yang mempergunakan nama itu untuk menakuti orang. Betapapun juga karena mereka datang sebagai tamu, diapun menghaturkan terima kasih atas ucapan selamat itu dan mempersilahkan mereka duduk. Dia mengisyaratkan para muridnya untuk mengantar rombongan baju hitam itu ke panggung kiri di mana berkumpul tamu yang tak begitu dikenal. Panggung inilah yang masih agak kosong.

   Akan tetapi ketika rombongan baju hitam tiba di panggung itu, si tinggi kurus menjadi marah. Teriakannva lantang terdengar oleh semua tamu yang tentu saja memandang ke arah rombongan yang masih berdiri berkelompok di depan panggung kiri itu, tak seorangpun di antara mereka mau duduk.

   "Ini penghinaan besar namanya! Dan kami dari Hek-i Mo-pang tidak bisa menerima penghinaan orang begitu saja!! Si kurus berseru keras sedangkan kakek gendut hanya berdiri dan menumbuk-numbukkan tongkat hitamnya di atas lantai dengan alis berkerut marah.

   Tentu saja empat orang murid kepala Pek-eng-pang merasa tak senang. Sejak tadipun mereka merasa tak senang melihat sikap kasar orang-orang berpakaian hitam itu. Kalau bukan suhu mereka yang mempersilahkan gerombolan hitam itu duduk, agaknya mereka akan lebih suka mengusir tamu-tamu tak diundang itu. Kini mendengar teriakan si kurus yang sejak tadi menjadi pembicara, murid kepala yang tertua yang berkumis panjang segera menjura kepada si tinggi kurus.

   "Maafkan kami yang tidak mengerti akan maksud ucapan saudara tadi! Siapa yang menghina kalian?!

   "Siapa lagi kalau bukan Pek-eng-pang? Huh!!

   Mendengar ucapan ini dan melihat sikap si tinggi kurus, murid kepala termuda dari Pek-eng-pang, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun bertubuh tegap yang memang berdarah panas, segera menegur.

   "Eh, saudara ini tamu tanpa diundang, sudah kami terima dengan ramah, kenapa menuduh kami menghina? Kalau bicara urusan menghina, sikap kalian yang congkak itu baru menghina!!

   Si tinggi kurus mendelik ketika dia menoleh kepada murid Pek-eng-pang itu, lalu bertanya lambat-lambat dengan nada suara memandang rendah.

   "Kamu ini murid Pek-eng-pang yang kelas berapa?!

   Lelaki tegap itu membusungkan dada.

   "Aku murid termuda di antara murid-murid kepala Pek-eng-pang!!

   "Begitukah? Anak kecil mencampuri urusan orang tua. Pergilah!! Berkata demikian, si tinggi kurus itu menggerakkan tangan kiri mendorong dada murid Pek-eng- pang. Tentu saja yang didorong tidak tinggal diam dan cepat mengerahkan tenaga menangkis.

   "Plak.... desss....!! Kiranya dorongan tangan kiri si kurus itu begitu tertangkis mencuat ke atas dan menampar muka murid Pek-eng-pang dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka. Akibatnya muka yang kena tampar dengan kerasnya sehingga tubuh yang tegap itu terpelanting jauh dan roboh tak mampu bergerak lagi. Kiranya tamparan itu telah membuat murid Pek-eng-pang itu pingsan dengan rahang patah! Beberapa orang muda baju putih segera menolong dan menggotong masuk kawan mereka yang pingsan itu.

   Si tinggi kurus tersenyum sinis.

   "Ha-ha, kiranya hanya sebegitu saja kemampuan murid kepala Pek-eng- pang? Dan kelemahan seperti itu berani menghina Hek-i Mo-pang? Hm, aku Ciong Ek Sim tak akan mau mengampuni!! Suaranya lantang, sikapnya sombong, petentang-petenteng bertolak pinggang seperti seekor jago menantang tanding. Sikapnya itu membuat para tamu muak dan marah, akan tetapi nama Hek-i Mo-ong masih membuat mereka merasa ngeri, apalagi tadi mereka melihat sendiri betapa lihainya orang she Ciong yang tinggi kurus dan yang segebrakan saja telah merobohkan seorang murid utama Pek-eng-pang itu.

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 44 Suling Emas Naga Siluman Eps 46 Suling Emas Naga Siluman Eps 33

Cari Blog Ini