Kisah Si Bangau Putih 19
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Sudahlah, Mo-li. Jangan kau ganggu aku sekarang ini! Aku sedang sibuk dan aku tidak ada nafsu untuk...."
Suara Siangkoan Liong ini seperti orang yang jengkel dan terganggu.
"Kongcu, engkau sungguh tidak adil!"
Terdengar suara Sin-kiam Mo-li memotong, suaranya direndahkan agar lirih sehingga terdengar mendesis.
"Engkau tahu betapa aku mengagumimu, tergila-gila kepadamu dan mendambakan kasih sayangmu. Aku sudah pantas menerima kasih sayangmu sebagai balas jasa atas semua bantuanku, bukan? Tidak setiap hari, hanya kadang-kadang kalau aku sudah amat rindu, Kongcu. Marilah, kasihani-lah aku, karena aku seperti seorang yang kehausan membutuhkan air cintamu...."
"Mo-li, jangan ganggu aku. Nanti saja, besok atau lusa kalau aku sudah tidak sibuk lagi...."
"Sibuk apa? Bukankah sudah banyak pembantu yang melatih pasukan? Ingatlah, bukankah aku pula yang telah membantu sehingga gadis mulus itu terjatuh ke dalam pelukanmu? Betapa dengan susah payah aku menggunakan akal membiarkan ia minum anggur rahasiaku yang mengan-dung rangsangan-rangsangan kuat, dan ditambah pula dengan kekuatan sihirku pada malam itu, bahkan dibantu pula oleh Thian Kek Sengjin yang dapat kubujuk. Dan engkau sudah melupakan semua jasaku itu?"
"Ssttt.... jangan lancang mulut, Mo-li. Dinding pun mungkin mempunyai telinga. Sudahlah biar kuberjanji, malam nanti aku akan menantimu dalam kamarku!"
"Hi-hi-hik, begitu baru pujaanku yang tampan dan gagah! Sampai malam nanti, Kongcu."
Kata wanita itu dan Sin-kiam Mo-li keluar ruangan itu, diikuti oleh Siangkoan Liong. Melihat mereka Li Sian tidak mampu menahan kemarahan dan rasa penasaran di dalam hatinya lagi. Jelaslah bahwa antara Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li nenek yang masih cantik jelita itu, terdapat hubungan gelap! Maka ia pun segera meloncat keluar dari balik pilar itu, mengejutkan mereka berdua. Tanpa mempedulikan Sin-kiam Mo-li, Li Sian lalu menghampiri Siangkoan Liong yang juga memandang dengan mata terbelalak dan hati tidak enak melihat betapa wajah gadis itu marah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi!
"Sian-moi, kau...."
Dia maju dan mengembangkan kedua lengan seolah-olah hendak memeluk Li Sian. Akan tetapi gadis itu menahan langkahnya, berhenti kurang lebih dua meter dari pemuda itu, matanya memandang tajam penuh selidik.
"Siangkoan Liong!"
Bentaknya dan sebutan ini saja sudah amat mengejutkan hati pemuda itu.
"Aku menuntut penjelasan darimu!"
"Sian-moi ada apakah? Apakah yang telah terjadi dan penjelasan apa yang kau inginkan?"
Siangkoan Liong yang memang merupakan seorang pemuda luar biasa itu sudah dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang, sementara itu Sin-kiam Mo-li memandang dengan mulut tersenyum penuh kemenangan. Bagaimanapun juga, gadis itu telah ternoda, berarti telah dapat ditundukkan. Ia tidak percaya bahwa gadis yang telah terjatuh ke dalam pelukan Siangkoan Liong itu akan berani atau mau memberontak.
"Mo-li, sebaiknya engkau keluar dulu dan biarkan aku bicara empat mata dengan Sian-moi."
"Tidak perlu! Boleh saja ia menghadiri karena ia pun agaknya merupakan anggauta komplotanmu yang jahat!"
Kata pula Li Sian dan kedua orang itu saling pandang, jelas nampak ada kekagetan dalam pandang mata mereka.
"Sian-moi, aku tidak mengerti...."
"Katakan terus terang, siapakah yang telah membunuh kakakku Pouw Ciang Hin?"
Bentak Li Sian sambil menatap tajam. Siangkoan Liong yang sudah menduga buruk, telah siap siaga. Wajahnya tidak berubah mendengar pertanyaan ini dan dia bahkan bersikap seperti orang terheran-heran lalu tersenyum.
"Ah, Sian-moi, apakah engkau sudah lupa? Ataukah kedukaanmu membuat engkau menjadi bingung? Sudah jelas, kau lihat sendiri betapa kakakmu itu tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan, mati sampyuh (keduanya tewas)...."
"Bohong! Kakakku mati oleh tusukan pedang sedangkan lawannya itu bersenjatakan golok! Hayo katakan saja, siapa yang membunuh kakakku, dan mengapa kalian semua melakukan tipu muslihat itu untuk mengelabuhi aku tentang kematian kakakku? Hayo jawab sejujurnya!"
Tentu saja, betapa kuat pun batinnya, Siangkoan Liong terkejut bukan main mendengar pengungkapan rahasia itu dari mulut Li Sian.
"Ah, itu fitnah belaka! Dari siapa engkau mendengar fitnah itu, Sian-moi?"
"Tidak peduli dari siapa! Pokoknya katakanlah siapa pembunuh kakakku dan mengapa ada siasat buruk itu untuk mengelabuhi aku?"
Tiba-tiba muncul Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek dan dia segera berkata dengan suara lantang,
"Siangkoan-kongcu, tadi aku melihat ia bicara bisik-bisik dengan Bi-kwi!"
"Ah, kalau begitu siluman betina itu yang telah menyebar fitnah jahat!"
Siangkoan Liong berseru marah.
"Aku harus menegur wanita itu!"
Dan dia pun segera meloncat pergi untuk mencari Bi-kwi di kamarnya, diikuti oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Melihat ini, Li Sian juga cepat mengikuti karena ia ingin kepastian, siapa yang benar antara mereka. Sementara itu, Bi-kwi telah berada di dalam kamarnya,
"Telah kuceritakan kepada Pouw Li Sian itu tentang pembunuhan atas diri kakaknya, dan kurasa badai akan segera datang menyerang."
"Hemmm, biarkan saja, aku tidak takut,"
Kata Yo Jin dengan gagah.
"Bagaimanapun juga, anak kita telah selamat, dan kita tidak boleh membantu perbuatan jahat."
Bi-kwi merasa terharu sekali melihat kegagahan suaminya. Ia maju merangkul suaminya, merasa bahwa sekali ini mereka terancam bahaya maut yang amat berbahaya dan ia tidak berdaya menyelamatkan suaminya.
"Engkau memang benar, dan aku merasa berbahagia sekali berada di sampingmu karena sikapmu yang gagah membangkitkan semangatku. Memang kita telah tertipu. Mereka itu sama sekali bukan perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang penjajah dan membebaskan nusa bangsa dari penjajahan, melainkan sekelompok orang orang jahat yang bersekutu untuk memberontak, demi diri sendiri. Siangkoan Lohan telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam di sini, dan aku mendengar bahwa usaha pemberontakan ini hanyalah untuk cita-cita agar kelak puteranya dapat diangkat menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil. Ibu Siangkoan Liong adalah seorang puteri istana, karena itu Siangkoan Lohan merasa bahwa puteranya itu adalah seorang pangeran dan karenanya patut untuk menjadi kaisar. Itulah yang mendorong adanya pemberontakan mereka, bukan karena kesadaran politik untuk membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan."
Yo Jin bangkit berdiri dan mengepal tinju.
"Dan engkau hendak mereka paksa menjadi kaki tangan mereka, membantu usaha mereka yang jahat itu? Tidak, isteriku, tidak boleh sama sekali!"
"Jangan khawatir suamiku, jangan khawatir. Aku pun setuju denganmu, aku tidak sudi membantu mereka. Akan tetapi, hal ini akan mengakibatkan bahaya besar mengancam keselamatan kita."
"Tidak mengapa! Aku tidak takut. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan jauh lebh baik mati sebagai seorang terhormat dan bersih daripada hidup sebagai kaki tangan orang-orang jahat!"
Bi-kwi semakin kagum dan terharu. Ia merangkul dan mencium suaminya dengan kedua mata basah air mata. Dalam keadaan berangkulan itulah pintu depan jebol ditendang orang dan muncullah Siangkoan Liong, Sin-kiam Mo-li, dan Toat-beng Kiam-ong dengan sikap garang! Dan di belakang mereka, muncul pula Pouw Li Sian yang mukanya nampak pucat! Bi-kwi cepat menyembunyikan suaminya di belakang tubuhnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang namun waspada, maklum bahwa badai yang sudah disangkanya akan muncul itu kini telah tiba.
"Bi-kwi, engkau berani menyebar fitnah, meracuni hati Sian-moi dengan berita bohong!"
Bentak Siangkoan Liong dengan sikap marah walaupun suaranya masih terdengar halus seperti biasa.
"Hayo cepat engkau tarik kembali fitnah itu dan mengaku salah agar aku masih dapat mempertimbang-kan apakah engkau dapat dimaafkan atau tidak."
Bi-kwi tetap tenang dan ia malah tersenyum manis.
"Mengapa aku harus menarik kembali tuduhan yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw terbunuh oleh kaki tangan kalian sendiri, karena dia tidak mau ikut bersekutu dengan rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa pemberontakan ini sama sekali bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan, melainkan hanya untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!
"Ihhh....!"
Li Sian mengeluarkan teriakan marah. Akan tetapi Siangkoan Liong kini tertawa.
"Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus sekali! Nah, apa salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, dalam darahku mengalir darah keluarga istana. Ibuku seorang puteri, maka sudah sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi penghalang, akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, berlututlah mengaku salah dan nyawamu, juga nyawa suamimu, mungkin takkan kucabut."
"Keparat!"
Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong.
"Siapa takut mati? Nyawaku berada di tangan Tuhan bukan di tangan seorang manusia rendah semacam engkau!"
Siangkoan Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.
"Wuuuttttt.... klukkk!"
Hantaman itu ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi suaminya selamat dari hantaman itu. Pada saat itu, Toat-beng Kiam-ong sudah menyerang Bi-kwi dengan sebatang pedangnya sehingga wanita ini terpaksa cepat mengelak ke kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan. Si Raja Pedang yang jahat ini memutar pedang dan mendesak Bi-kwi. Wanita ini memperlihatkan kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan diri, namun ia merasa prihatin sekali karena suaminya tidak ada lagi yang melindungi-nya. Siangkoan Liong yang masih marah, kini menerjang ke depan, tangannya kembali menampar. Hanya nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.
"Desss....!"
Tangan itu terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin terjungkal dan tewas seketika karena kepalanya retak terkena hantaman tangan pemuda yang lihai itu. Bi-kwi menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia mengamuk. Sebuah tendangannya nyaris membuat pedang di tangan Toat-beng Kiam-ong terlepas. Biarpun Si Raja Pedang ini masih sempat melompat ke belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja pahanya terserempet sepatu kaki Bi-kwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa nyeri sekali. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang Bi-kwi dengan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.
"Kau.... kau.... keparat jahanam!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian sudah meloncat ke depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda ini sudah mencabut pedangnya pula dan menangkis.
"Sian-moi, tenanglah, sabarlah...."
"Manusia iblis....!"
Li Sian menyerang terus dan kembali Siangkoan Liong menangkis sehingga terdengar suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.
"Sian-moi, ingat, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku.... bahkan engkau....sudah menjadi isteriku...."
Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu agar mereda kemarahannya. Akan tetapi sebaliknya daripada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah ucapan dari pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang bernyala. Ucapan itu mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban siasat licik, betapa ia telah menyerahkan kehormatannya begitu saja karena terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi jinak!
"Kalian.... kalian.... iblis-iblis busuk....!"
Li Sian menjerit dan pedangnya diputar garang sekali ketika ia kembali menyerang kepada pemuda itu. Melihat, ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan berbahayanya Li Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan memiliki kekuatan sakti yang menggiriskan. Apalagi gadis ini agaknya demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia mengalah. Maka, Siangkoan Liong lalu memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan kekuatan gadis itu sehingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang mereka dalam suatu perkelahian yang mati-matian dan seru sekali.
Karena memang tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat setelah dia digembleng oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sian-jin dan tingkatnya lebih tinggi dibanding-kan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan mengerahkan tenaga, mengeluarkan kepandaiannya, perlahanlahan Li Sian mulai terdesak. Namun gadis yang merasa sakit hati ini tidak menjadi jerih dan melawan terus dengan nekat. Ia tidak takut mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini membuat Siangkoan Liong terpaksa harus berlaku hati-hati sekali. Beberapa kali, ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak menangkis atau mengelak, melainkan mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu,
Tentu dirinya sendiri akan menjadi korban pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati sampyuh, dan dia terpaksa menarik kembali serangannya untuk menyelamatkan diri pula. Bi-kwi sendiri dikeroyok dua orang lawan yang tangguh. Menghadapi Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek seorang saja, kepandaiannya sudah setingkat, dan ia malah dapat terdesak hebat karena ia tidak bersenjata sedangkan lawan itu merupakan seorang ahli pedang yang lihai. Apalagi kini Sin-kiam Mo-li maju mengeroyoknya. Tingkat kepandaian Sin-kiam Mo-li lebih tinggi tingkatnya dan wanita iblis itu memegang sepasang senjata yang amat berbahaya. Namun Bikwi juga sudah nekat. Ia melihat suaminya tewas di depan matanya.
Suaminya yang tercinta, satu-satunya manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat suaminya mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jerih menghadapi kehidupan yang serba kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian tenang dan gagah perkasa! Maka, kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan ia mengamuk seperti seekor naga betina. Walaupun ia tidak bersenjata lagi, namun serangan-serangannya cukup berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua orang lawan yang lebih kuat karena memegang senjata itu belum juga mampu menundukkannya. Sin-kiam Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tidak mungkin dapat dibujuk untuk membantu mereka lagi setelah kini suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru kepada Toat-beng Kiam-ong.
"Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini agar di kemudian hari tidak membikin repot!"
Siangkoan Liong mendengar ucapan ini dan biarpun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan Li Sian, dia segera berseru.
"Benar! Bunuh perempuan itu!"
Setelah mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu lagi. Mereka mendesak dan menekan Bi-kwi. Namun, wanita ini memang hebat. Ia adalah bekas tokoh sesat yang amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi juga karena kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang mencintanya dan mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid tercinta ini. Biarpun kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, namun kedua tangan itu mempergunakan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan itu kalau membacok, atau menusuk, tajam dan runcingnya seperti pedang saja.
Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua meter kalau ia mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam). Selain tendangan-tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia memiliki kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Maka, kedua orang lawannya yang memiliki tingkat lebih tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat mendesak terus. Baru setelah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena selama bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa tusukan dan lecutan cambuk yang mengakibatkan bajunya robek-robek dun kulitnya terluka.
"Siangkoan Liong manusia busuk!"
Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan muncullah Kwee Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng.
Seperti telah kita ketahui, setelah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa oleh Siangkoan Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, Ci Hwa merasa sakit hati dan putus harapan. Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk membalas dendam kepada Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya. Akan tetapi, ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan nasihat-nasihat. Keduanya lalu bersahabat dan mereka bersama pergi melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang karena Hong Beng juga mendengar berita akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-liong-pang.
Dan akhirnya, pada sore hari itu, setelah cuaca mulai gelap, keduanya, atas petunjuk Ci Hwa yang sudah mengenal lapangan, berhasil menyelundup masuk ke dalam perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk yang besar. Sebetulnya, Hong Beng hendak bersikap hati-hati, namun Ci Hwa yang merasa sakit hati, ingin sekali menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda itu. Kini ada Hong Beng di sampingnya maka ia tidak takut dan mengharapkan akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan Hong Beng. Ketika mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat Siangkoan Liong sedang berkelahi melawan seorang gadis yang lihai pula, ia lalu berteriak dan segera menerjang ke depan, membantu Li Sian mengeroyok Siangkoan Liong.
Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk rantai yang memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya. Dengan sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong dengan penuh kebencian. Karena sakit hati, maka biarpun tingkat kepandaian Ci Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga Li Sian, gadis ini siap mengadu nyawa dan melaku-kan serangan secara nekat sekali! Sementara itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Juga Bi-kwi mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi agak besar karena ia boleh mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu kepandaian tinggi,
Maka dia pun tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di punggungnya. Dalam usahanya melakukan penyelidikan itu, dia sudah mempersiapkan diri dengan sepasang pedang, yang merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), apalagi setelah mendengar dari Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak tokoh pandai. Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi yang sudah mulai payah dan terdesak hebat. Gu Hong Beng adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es. Namun harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun, bukan merupakan keturunan keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, tidak menonjol bakatnya.
Oleh karena itu, biarpun Hong Beng menerima gemblengan seorang pendekar keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak menonjol sekali dan dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang. Namun, masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap atau tambah semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li yang lihai segera mengerahkan tenaga dan memutar sepasang pedangnya dengan ganas. Sin-kiam Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang pernah membuat ia tergila-gila (baca kisah SULING NAGA), dan pernah pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika kedua orang ini berusaha untuk merampas kembali Kao Hong Li yang diculiknya. Maka, marahlah Sin-kiam Mo-li dan ia berteriak,
"Bagus! Kiranya engkau kembali datang mencampuri urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong Beng"
Dan wanita ini lalu menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang musuh lama ini. Kini pertempuran terjadi lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka itu kini dengan mati-matian melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya. Gu Hong Beng bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li Sian dan Ci Hwa. Diam-diam Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu. Biarpun kedua orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang sama yang membuat mereka mati-matian hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan Liong,
Namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah yang membuat dia merasa tidak enak. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan biarpun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama sekali tidak merasa takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh untuk dapat menandinginya. Namun, kenekatan kedua orang gadis yang hendak mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia mau, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh mereka. Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih merasa sayang sekali membunuh mereka. Apalagi Li Sian. Dia ingin menangkap mereka hidup-hidup, kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna untuk dijadikan hiburan hatinya, walaupun dengan paksaan! Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Gu Hong Beng, jangan takut aku datang membantumu membasmi gerombolan jahat ini!"
Dan muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa seperti tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam Kok. Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung yang menyeramkan seolah-olah pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan mata.
"Kakak Cu Kun Tek....!"
Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu.
"Bagus sekali engkau datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!"
Akan tetapi sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua orang kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi kurus berpakaian siucai yang sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, guru Siangkoan Liong! Tentu saja kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan.
Seperti telah kita ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang yang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat. Andaikata pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang itu akan membantu dengan sekuat tenaga. Namun melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak kotor seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li, tentu saja dia tidak sudi bekerja sama. Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam Mo-li kalau tidak tertolong oleh Sin Hong. Dalam percakapan itu, Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya tergerak untuk menentang.
Maka, dia pun berangkat ke utara untuk melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia keluar menyelundup masuk ke perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu. Ketika itu, Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng, melanjutkan percakapan, mereka dengan Siangkoan Liong tadi. Setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam kedua orang tua itu masih bercakap-cakap, mengatur siasat yang mulai digambarkan oleh Ouwyang Sianseng sebagai dalang pemberontakan. Selagi bercakap-cakap itulah mereka mendengar keributan dan akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut pedangnya. Melihat pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ternama dan sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan pedang pusaka di tangan pemuda itu.
"Ah, bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?"
Tanyanya sambil menggerakkan kedua kakinya. Tubuhnya melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari telunjuk dan jari tengah, meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu,
Sedangkan tangan kanannya cepat berusaha merampas pedang ini! Cu Kun Tek adalah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang amat kuat seperti gajah, sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita yang juga amat lihai. Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali, apalagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka keluarganya yang amat ampuh. Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun Tek mengenal orang pandai, maka dia pun tidak berani memandang ringan.
"Hyaaaaattt....!"
Dia mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai perisai.
Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan dan mengeluarkan suara mengaung seperti binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani melanjutkan serangan kedua tangannya. Dia menarik kembali kedua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang, nampak sinar emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah mencabut sebatang hun-cwe (pipa tembakau) emas yang panjangnya ada tiga kaki! Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di sebelah dalam, hun-cwe itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap tembakau yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat ampuh, dan berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu. Dengan sikap tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek.
"Orang muda, apakah hubunganmu dengan keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman?"
Bentaknya. Kun Tek maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi dia tidak tahu bahwa kakek ini adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat bahwa kakek itu berada di situ, maka tentu saja dia menganggapnya sebagai musuh.
"Namaku Cu Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman...."
"Bagus!"
Siangkoan Lohan memotong.
"Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong Po-kiam. Orang muda, serahkan pedang itu kepadaku dan engkau akan kami terima sebagai seorang sahabat baik!"
"Simpan bujukanmu!"
Bentak Kun Tek.
"Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu Hong Beng dan para wanita ini!"
"Bocah sombong, engkau memilih mampus agaknya!"
Siangkoan Lohan sudah menyerang dengan hun-cwenya dan nampak sinar emas berkelebat di depan mata Kun Tek yang cepat memutar pedangnya untuk melindungi dirinya.
Mereka sudah saling serang dan dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh. Terutama sekali tendangan-tendangan yang dilakukan kedua kaki kakek itu sungguh amat berbahaya karena tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga datangnya. Agaknya kakek ini adalah seorang ahli tenda-ngan yang hebat. Juga tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang cukup berbahaya. Untung bagi Kun Tek bahwa dia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya membuat kakek itu agak jerih, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan pedang.
Tentu kakek itu sudah tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan terancam bahaya. Sementara itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dari Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat ini, diam-diam Kun Tek dan Hong Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa pihak lawan memiliki demikian banyak orang pandai, dan tempat itu telah dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri. Mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang dihimpun Tiat-liong-pang memang besar dan kuat. Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi melaksanakan tugas membujuk para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, berkumpul lebih banyak lagi orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.
Agaknya Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tidak sabar melihat betapa pihak tuan rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang wanita muda itu. Hal ini mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja yang datang mengacau, agaknya sukar untuk menundukkan mereka, apalagi kalau musuh-musuh yang lebih berat. Dia pun melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau melukai dua orang gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri nampaknya jerih menghadapi pedang Koai-liong Po-kiam yang memang hebat itu, dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu membuat dia mendesak Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.
"Hemmm, sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini....!"
Katanya, seperti kepada diri sendiri dan dia mengembangkan kipasnya, lalu dengan langkah lebar dia memasuki medan pertempuran.
Gerakannya gesit dan ringan sekali dan mula-mula dia menghampiri muridnya yang dikeroyok oleh dua orang gadis karena perkelahian ini yang terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu mengebut. Li Sian dan Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam kebencian itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka, dan tiba-tiba saja, kipas itu menutup dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua orang gadis itu. Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan lirih dan tubuh mereka sudah terkulai dan roboh dengan lemas! Dengan langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri Sin-kiam Mo-li yang masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng. Kini kipas itu ditutup dan serangkaian totokan menyerang ke arah sembilan jalan darah terpenting di tubuh Hong Beng.
Pemuda perkasa ini terkejut bukan main. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan lawan berat baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya. Serangkaian serangan itu demikian cepat, tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha mengelak dan menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li. Karena sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam Mo-li, maka akhirnya dia tidak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas yang mengenai pundaknya. Dia mengeluh dan terhuyung, lalu sebuah totokan susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak berdaya sehingga kedua pedangnya pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.
"Biar kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,"
Kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah meluncur ke arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek. Melihat berkelebatnya kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun Tek yang sudah repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan, cepat mengelebatkan pedangnya ke kanan. Akan tetapi, Ouwyang Sianseng bukan mengelak, bahkan menyambut serangan pedang itu dengan totokan gagang kipasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang.
Dalam sedetik saja, pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua pundak Kun Tek. Tak dapat dicegah lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan kokoh kuat itu terkulai dan roboh! Pada saat itu Bi-kwi sudah melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, maka tiba-tiba ia meninggalkan Toat-beng Kiam-ong dan tepat pada saat Ouwyang Sianseng merampas pedang Kun Tek, wanita perkasa ini menyerangnya dari belakang dengan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot) ke arah tengkuk kakek itu. Ia melakukannya dengan sepenuh tenaganya untuk membalas kawan-kawannya yang dirobohkan oleh kakek lihai itu.
"Desss....!"
Pukulan kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi akibatnya, tubuh Bi-kwi sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar baja yang amat dingin! Maklum bahwa ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan tentu musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah suaminya.
"Suamiku, tunggu.... aku menyusulmu...."
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya dan pada saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi telah mencengkeram kearah kepalanya sendiri. Ia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kelima jari tangan kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh menelungkup dan merangkul jenazah Yo Jin, tewas seketika! Biarpun hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya dari Ouwyang Sianseng, namun hati girang itu terganggu oleh kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi di situ.
"Tangkap mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan sampai ada yang dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga masuk tanpa ijin!"
Bentaknya kepada muridnya, Tiat-liong Kiam-eng yang segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret tubuh Kun Tek, Hong Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam kamar sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan membersihkan ruangan itu. Siangkoan Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama para pembantu yang ada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding. Menurut perhitungan Ouwyang Sianseng, kini sudah tiba saatnya untuk segera melakukan gerakan.
Penyerbuan orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang luar dan hal itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium akan gerakan itu. Maka, Siangkoan Lohan segera mengirim utusan menghubungi para sekutunya, terutama sekali Agakai kepala suku Mongol, dan tentu saja Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di perbatasan, pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para pembantu yang bertugas keluar, dipanggil agar segera pulang. Empat orang muda yang tadinya lemas tertotok, kini sudah dapat menggerakkan tubuh mereka. Akan tetapi, Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian mendapatkan diri mereka terbelenggu. Sehelai rantai baja panjang mengikat kaki mereka pada tonjolan besi di dinding, dan kedua pergelangan tangan mereka juga dibelenggu,
Disambung dengan rantai sehingga biarpun mereka mampu menggerakkan kaki tangan, namun mereka tidak dapat bebas. Hanya Ci Hwa seorang yang tidak terbelenggu dan hal ini adalah karena Tiat-liong Kiam-eng menganggap Ci Hwa tidak berbahaya. Dia menganggap bahwa ilmu kepandaian gadis itu tidak berapa tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan mampu memberontak. Dan dia sendiri yang memimpin penjagaan atas diri empat orang tawanan itu. Sejumlah lima puluh orang ditugaskan berjaga secara bergilir dan dia sendiri seringkali meronda untuk meneliti keadaan empat orang tawanan itu agar jangan sampai ada kesempatan atau kemungkinan lolos. Ketika Ci Hwa dapat lagi menggerakkan tubuhnya, ia segera bangkit dalam kamar tahanan yang luasnya hanya tiga meter persegi itu dan memeriksa keadaan kamar tahanan.
Sebuah kamar yang kuat, dengan tembok tebal dan di bagian depannya terdapat sebuah pintu besi yang bagian atasnya terdapat terali baja. Ia segera melangkah ke pintu dan memandang keluar. Tempat itu merupakan bangunan yang agaknya memang khusus dibangun menjadi sebuah penjara atau tempat tawanan karena mempunyai banyak sekali kamar-kamar seperti yang ditempatinya itu. Sebuah kamar yang kosong sama sekali sehingga orang harus tidur dan duduk di lantai yang dingin dan keras! Ketika ia didorong ke dalam kamar ini secara kasar oleh anggauta Tiat-liong-pang, ia sempat melihat betapa hal yang sama diperlakukan oleh para anggauta Tiat-liong-pang kepada Gu Hong Beng dan juga kepada gadis cantik dan pemuda tinggi besar yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang sama-sama melawan Tiat-liong-pang dan sekutunya.
"Kasihan Beng-ko...."
Ci Hwa mengenang nasib Hong Beng.
"Karena menolongku, dia sampai ikut tertawan. Ah, bagaimana aku harus menolongnya? Biar berkorban nyawa sekalipun, aku bersedia untuk menyelamatkannya."
Ia termenung dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tampan dan halus yang pernah merenggutnya dari tangan maut ketika ia nekat hendak membunuh diri di hutan itu. Ia tahu bahwa tiga orang tawanan lain berada di dalam kamar-kamar sebelah karena ia dilemparkan dalam kamar terakhir, dan dia pun melihat betapa tiga orang itu lebih dahulu dibelenggu sebelum ditinggalkan dalam kamar tahanan. Akan tetapi ia tidak dapat berhubungan dengan mereka karena kamar mereka bersebelahan. Biarpun malam itu di luar amat gelapnya, namun di bangunan besar yang menjadi tempat tawanan ini cukup terang oleh lampu-lampu gantung. Agaknya memang tempat itu sengaja diterangi agar gerak-gerik para tawanan dapat dilihat jelas oleh para penjaga.
Ci Hwa melihat dua orang penjaga membawa lentera mengiringkan seorang laki-laki tinggi kurus menuju ke tempat para tawanan. Agaknya masih ada tawanan lain di tempat itu selain mereka berempat, dan kini laki-laki tinggi kurus itu melakukan perondaan, menjenguk ke dalam setiap kamar yang berisi tawanan melalui ruji besi di bagian atas pintu. Dari jauh, Ci Hwa melihat dari sinar lentera itu dan kembali ia tertegun. Tadi, ketika ia dan tiga orang lainnya diseret ke tempat tawanan ini, ia pun sudah tertegun dan terheran melihat laki-laki tinggi kurus itu, yang ternyata menjadi pimpinan para anak buah Tiat-liong-pang yang melakukan penjagaan di tempat itu. Ia merasa sudah mengenal laki-laki itu akan tetapi di mana. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata tajam dan muka agak pucat.
Pedangnya tergantung di punggung dan pandang mata yang tajam itu membayangkan kecerdikan
(Lanjut ke Jilid 18)
Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
dan juga kekejaman. Kini, melihat sinar lentera menyoroti muka orang itu, melihat lirikan mata itu, tiba-tiba Ci Hwa teringat. Ciu-piauwsu! Ya, sudah beberapa kali ia bertemu dengan rekan ayahnya itu. Dia seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) di Ban-goan, di kota tempat tinggalnya, Sebagai seorang piauwsu, rekan dari ayahnya, tentu saja ia mengenalnya, seperti ia mengenal semua piauwsu di kota Ban-goan. Bahkan akhir-akhir ini, Ciu-piauwsu yang bernama Ciu Hok Kwi itu menarik perhatian keluarganya ketika Ciu-piauwsu mendatangi Ban-goan Piauwkiok dan menantang ayahnya! Ayah Kwee Tay Seng atau Kwee-piauwsu menyambut tantangan Ciu-piauwsu sehingga terjadi perkelahian, di mana Ciu-piauwsu tidak mampu menandingi ayahnya,
Mengaku kalah dan pergi sambil mengancam. Itulah Ciu-piauwsu! Dan kini, tahu-tahu dia muncul di tempat ini, sebagai kepala para anggauta Tiat-liong-pang! Mengingat ini, tiba-tiba saja Ci Hwa melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Hong Beng dan dua orang lainnya. Kalau saja ia dapat mendekati Ciu-piauwsu! Bagaimanapun juga, mereka adalah sekota, bahkan orang itu juga seorang piauwsu, seperti ayahnya. Dan ia pun teringat bahwa Ciu Piauwsu adalah seorang piauwsu di perusahaan piauwkiok milik ayah Tan Sin Hong! Ciu Piauwsu adalah pembantu dari mendiang Tan Piauwsu. Apakah ini hanya suatu kebetulan saja? Otak gadis ini bekerja dan semakin mantap hatinya untuk mendekati Ciu Piauwsu, dengan cara apa pun, bukan sekadar untuk berusaha menyelamatkan Hong Beng dan dua orang tawanan lain,
Juga untuk menyelidiki tentang kehadiran seorang piauwsu di Ban-goan di antara orang-orang Tiat-liong-pang! Seorang yang telah mengalami peristiwa hebat seperti yang diderita oleh Ci Hwa, memang dapat berubah segala-galanya. Rasa sakit hati, putus asa, duka dan kekhawatiran yang melanda hatinya semenjak ia diperkosa dan dihina oleh Siangkoan Liong, membuat ia menjadi seorang yang nekat. Ia tidak lagi menghargai dirinya sendiri, yang ada hanyalah satu tekad, ialah membalas dendam, melampiaskan kebencian atau rasa cinta tanpa mengenal batas lagi, tanpa mempedulikan keselamatan diri atau harga diri lagi. Kini, Ciu Hok Kwi dan dua orang anak buahnya yang memeriksa setiap orang penghuni kamar-kamar tahanan itu, sedang menuju ke kamar tahanan di mana Ci Hwa berdiri memegangi terali besi dan memandang keluar.
"Ciu Piauwsu....!"
Ci Hwa memanggil dengan suara lembut. Ciu Hok Kwi memandang tajam dan sejenak dia menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. Ketika Ci Hwa berada di perkampungan itu dan menjadi korban Siangkoan Liong, Ciu Hok Kwi tidak berada di sana sehingga dia tidak tahu akan semua peristiwa yang menimpa diri gadis itu. Kini, ketika dia melakukan perondaan, tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu, seorang gadis manis sekali dengan mulut yang penuh gairah, memanggilnya dengan sebutan Ciu Piauwsu, sebutan yang luar biasa sekali di situ karena tiada seorang pun menyebutnya seperti itu! Dia memandang tajam dan heran lalu melangkah dekat. Dia hanya tahu bahwa di antara empat orang tawanan yang tadi mengamuk dan ditangkap, gadis ini adalah yang paling lemah dan tidak berbahaya,
Demikian menurut keterangan Siangkoan Kongcu. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk membelenggu gadis ini. Ci Hwa melihat sikap orang itu, maklum bahwa orang she Ciu itu agaknya lupa dan tidak mengenalnya. Memang ketika berada di Ban-goan, di antara mereka tidak ada hubungan sesuatu dan jarang berjumpa. Gemblengan batin yang mengalami guncangan dan tekanan hebat itu telah membuat gadis yang hijau itu kini menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan! Ia tersenyum, senyum manis dan ia tahu bahwa senyumnya dengan tarikan pada dagunya itu akan menciptakan lesung pipit yang manis pada lekukan pipinya yang kiri, yang sengaja ia miringkan agar tersorot sinar lentera yang dibawa oleh kedua orang anak buah Tiat-liong-pang itu.
"Aih, Ciu Piauwsu, apakah engkau sudah lupa kepadaku? Kita sama-sama dari Ban-goan, karena itu, harap kau suka mengingat akan kawan sekota dan suka menolong aku....!"
Dalam suaranya, Ci Hwa menggetarkan permohonan yang amat sangat, demikian pula sinar matanya memandang penuh harapan. Ciu Hok Kwi tertarik. Dia bukan seorang pelahap wanita seperti Toat-beng Kiam-ong atau Siangkoan Liong, akan tetapi dia bukanlah kanak-kanak. Dia seorang laki-laki dewasa yang sudah berpengalaman, maka tentu saja dia dapat menangkap gairah dalam pandang mata gadis manis ini, di mana terkandung penawaran dan janji manis sekali.
"Hemmm, jangan ngawur! Aku bukan piauwsu....!"
Dia masih mencoba karena dia belum mengenal gadis itu, matanya tak dapat dihindarkan lagi mengamati lekukan dan tonjolan bukit dada yang menjadi amat jelas karena Ci Hwa menekan dadanya pada jeruji besi kuat-kuat.
"Aih, Ciu Piauwsu, harap jangan salah sangka. Aku.... aku mengenalmu sebagai seorang piauwsu yang gagah. Namaku Kwee Ci Hwa.... dari Ban-goan Piauwkiok! Nah, engkau tentu masih ingat, bukan?"
Ciu Hok Kwi terbelalak, lalu mengelus dagunya yang halus karena jenggotnya dia cukup bersih, matanya yang tajam itu mengamati wajah gadis cantik itu penuh perhatian.
"Ah, engkau she Kwee.... dari Ban-goan Piauw-kiok?"
"Benar, Ciu Piauwsu, aku puteri majikan Ban-goan Piauw-kiok!"
Ciu Hok Kwi mengangguk-angguk dan tersenyum simpul, lalu mendekat, untuk dapat mengamati wajah cantik itu lebih jelas lagi.
"Ah, kiranya puteri Kwee Piauwsu! Dan mengapa pula engkau sampai tertawan di sini?"
Ci Hwa, gadis yang sebetulnya masih hijau itu, kini telah menjadi matang oleh musibah yang menimpa dirinya, membuatnya menjadi amat cerdik dan pandai sekali bersandiwara. Mudah saja baginya kini untuk menekan batinnya sehingga air mata mengalir turun dari kedua matanya ketika ia mendengar pertanyaan Ciu Hok Kwi itu.
"Aih, Ciu Piauwsu, harap engkau suka menaruh kasihan kepadaku dan suka menolongku, mengingat bahwa kita sama-sama datang dari Ban-goan. Nasibku sungguh malang.... dan di tempat asing ini, siapa lagi yang dapat kumintai tolong kecuali engkau seorang? Tolonglah aku, selamatkan aku dan.... aku akan berterima kasih sekali, aku berhutang budi dan aku akan membayarmu dengan apa saja, Ciu Piauwsu...."
Kembali Ciu Hok Kwi melihat sikap yang menantang dan penuh janji manis itu, dari sepasang mata yang basah air mata, dari mulut yang setengah terbuka, dari tonjolan dada yang ditekan pada jeruji besi.
"Bagaimana aku dapat menolongmu? Aku tidak berani membebas-kanmu, nona Kwee, karena para pemimpin sendiri yang menawanmu."
"Tidak usah membebaskan aku, asal aku.... jangan sampai terbunuh.... katakan kepada mereka bahwa aku ini calon isterimu atau apa saja, asal aku dapat terhindar dari bahaya maut...."
Berdebar rasa jantung Ciu Hok Kwi. Dia memang belum menikah, dan sukar ditemukan seorang gadis yang demikian manis seperti Ci Hwa menawarkan diri seperti ini!
"Akan tetapi ceritakan dulu bagaimana engkau sampai tertawan? Apakah engkau memusuhi Tiat-liong-pang?"
"Mana aku berani? Aku akan bercerita terus terang saja kepadamu, Ciu-toako dan hal ini baru kepadamu saja kuceritakan."
Ci Hwa berbisik-bisik dan Ciu Hok Kwi semakin tertarik karena gadis itu menyebutnya toako, bukan Piauwsu lagi, sebutan yang lebih akrab.
"Aku meninggalkan rumah orang tuaku, engkau tentu mengerti, sebagai seorang gadis yang ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku diganggu lima orang pemburu, aku dikeroyok dan kalah, dan hampir aku diperkosa oleh mereka berlima. Aku sudah ditelanjangi, empat orang memegang kaki tanganku dan orang ke lima sudah siap untuk memperkosa aku yang masih perawan...."
Entah dari mana Ci Hwa memperoleh kemampuan bercerita seperti itu, sengaja menggambarkan keadaan yang dapat merangsang pendengarnya. Usahanya berhasil karena mendengar cerita itu, sepasang mata Ciu Hok Kwi seakan-akan menelanjangi-nya, meraba-raba tubuhnya karena piauwsu muda itu menggambarkan keadaan Ci Hwa seperti yang diceritakannya itu. Dan Ci Hwa sengaja berhenti untuk memancing reaksi dari pendengarnya.
"Lalu bagaimana.... lanjutkan ceritamu....!"
Kata Ciu Hok Kwi agak terengah-engah dan mukanya yang biasanya pucat itu kini menjadi agak kemerahan, matanya tetap menggerayangi lekuk lekung tubuh Ci Hwa dengan lahap.
"Aku sudah putus asa, hendak menjerit mulutku dibungkam, aku hanya dapat meronta-ronta sekuatku, namun sia-sia karena empat orang itu memegangi kaki tanganku. Dan pada saat terakhir, muncullah Siangkoan Kongcu! Dengan gagahnya dia menghajar lima orang pemburu itu sampai mereka tetbunuh semua dan mayat mereka dilempar ke dalam jurang. Lalu Siangkoan Kongcu menghampiri aku yang masih belum sempat berpakaian...."
Kembali ia berhenti dan melihat dengan kegembiraan yang disembunyikan betapa laki-laki itu berkeringat dan menjilati bibirnya sendiri seperti seekor anjing kelaparan melihat daging segar yang membangkitkan selera den menambah rasa lapar.
"Kemudian.... bagaimana....?"
Suara Ciu Hok Kwi lirih dan parau.
"Aku adalah seorang yang mengenal budi. Kalau sudah ditolong orang, maka aku mau membalas budi itu dengan apa saja. Dan Siangkoan Liong seorang laki-laki muda yang tampan, seperti.... engkau, Ciu-toako, dan aku dalam keadaan telanjang. Kami saling tertarik dan aku menyerahkan diri bulat-bulat, menyerahkan segala dengan suka rela, segala yang tadinya hendak diminta secara paksa oleh lima orang pemburu itu, kuberikan kepada Siangkoan Kongcu dengan senang hati, apalagi karena dia berjanji hendak mengawini aku yang selamanya belum pernah berdekatan dengan pria."
"Lalu.... lalu bagaimana....?"
Kembali Ci Hwa menangis dan suaranya tersendat-sendat ketika ia melanjutkan.
"Akan tetapi dia.... dia mengingkari janji.... aku lalu pergi, hendak membunuh diri.... aku yang masih perawan telah menyerahkan kehormatanku, dan dia ingkar janji....! Ketika membunuh diri, aku dicegah oleh seorang pendekar yang bernama Gu Hong Beng itu. Dia mencegah aku bunuh diri dan menasihati aku kemudian dia hendak membelaku, hendak menuntut pertanggungan jawab Siangkoan Kongcu. Akan tetapi kami kalah dan tertawan...."
"Hemmm, salahmu sendiri, sungguh tidak tahu diri. Bagaimana berani hendak menuntut Siangkoan Kongcu?"
"Begini, Ciu-toako. Kalau tadinya dia tidak berjanji akan mengawiniku, tentu aku tidak menuntut. Tapi aku tahu bahwa itu tidak tahu diri, karena itu, aku mohon kepadamu, Ciu-toako yang baik, tolonglah aku, selamatkanlah aku dan aku akan berhutang budi kepadamu...."
Kembali pandang mata Ci Hwa menantang. Ciu Hok Kwi yang sudah terangsang oleh cerita gadis itu tadi, kini tersenyum dan kembali mengelus dagunya,
"Dan dengan apa engkau hendak membalas budiku itu?"
Pertanyaan-nya ini, disertai kerling tajam, mengandung kegenitan yang jelas.
"Ciu-toako, sudah kukatakan bahwa aku adalah seorang gadis yang suka membalas budi. Aku akan mau melakukan apa saja yang kaukehendaki dariku!"
Jawabannya demikian meyakinkan dan melenyapkan keraguan hati Ciu Hok Kwi.
"Engkau mau kalau malam ini engkau menemani aku tidur di kamarku?"
Tanya murid pertama Siangkoan Lohan itu dengan tegas, tanpa malu-malu lagi. Mau tidak mau, wajah Ci Hwa menjagi merah dan ia merasa betapa mukanya panas sekali, akan tetapi gadis ini memaksa diri tersenyum malu-malu.
"Tentu saja aku mau, Ciu-toako. Apa lagi engkau nampak jauh lebih jujur daripada Siangkoan Kongcu."
"Tapi aku tidak berjanji bahwa kelak aku akan mengawinimu!"
Ci Hwa tersenyum semakin cerah.
"Baik, memang benar bahwa engkau jauh lebih jujur daripada Siangkoan Kongcu. Kalau engkau tidak menjanjikannya, aku pun kelak tidak akan menuntut, Toako."
Sepasang mata Ciu Hok Kwi, yang tajam seperti mata kucing itu bersinar-sinar. Namun, dia bukan orang bodoh. Dia tidak akan mau percaya demikian saja sebelum ada buktinya. Rasanya terlampau mudah, aneh dan tidak masuk di akal kalau seorang gadis baik-baik seperti Kwee Ci Hwa ini, puteri Kwee Piauwsu yang gagah perkasa di Ban-goan itu, begitu saja menyodorkan dirinya kepadanya!
"Kalau begitu, mari ikut denganku,"
Katanya sambil mengeluarkan seuntai kunci-kunci dari saku bajunya, lalu membuka daun pintu kamar sel itu. Melihat banyak kunci itu, diam-diam Ci Hwa girang sekali. Tidak keliru dugaannya, Ciu Hok Kwi ini menjadi kepala jaga di sini dan dialah yang memegang semua kunci pintu kamar-kamar tahanan! Ia pun keluar dari kamar tahanan itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan dipandang oleh Ciu Hok Kwi, bahkan ia pun dengan sikap malu-malu, melingkarkan lengannya pada pinggang laki-laki tinggi kurus itu.
"Jaga di sini baik-baik, aku mau bicara penting dengan Nona ini!"
Katanya kepada para anak buahnya yang berkedip-kedip sambil tersenyum simpul melihat atasan mereka menggandeng seorang tahanan wanita yang manis, hal yang tidak asing lagi bagi mereka. Sudah menjadi hak Ciu Hok Kwi agaknya, untuk melakukan apa saja terhadap para tahanan, membawa tahanan wanita cantik ke kamarnya, menyiksa, bahkan membunuh tahanan! Setelah tiba di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi yang masih sangsi dan belum dapat percaya benar kepada Ci Hwa, segera minta bukti dari gadis itu untuk melayaninya! Barulah dia percaya benar setelah gadis itu menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan dengan sikap gembira dan manis seolah-olah gadis itu menyukai dan menikmati pula apa yang terjadi antara ia dan Ciu Hok Kwi.
Kisah Pendekar Pulau Es Eps 41 Suling Naga Eps 7 Suling Naga Eps 2