Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Bangau Putih 20


Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Orang she Ciu ini sama sekali tidak tahu betapa di dalam batinnya, gadis itu menangis dan menjerit, betapa tersiksa dan sakit rasanya badan dan batinnya ketika ia harus pasrah saja digeluti oleh orang yang dibencinya itu! Ya, ia membenci Ciu Hok Kwi, pertama-tama karena pernah Ciu Hok Kwi menantang ayahnya dan akhirnya orang ini dikalahkan oleh ayahnya. Kedua, karena melihat piauwsu ini ternyata kaki tangan pemberontak, dan kini bahkan terpaksa ia menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi biarlah! Ia sudah tidak memiliki harapan untuk dapat hidup terus, setelah apa yang dialaminya, setelah ia terhina, direnggut kehormatannya oleh Siangkoan Liong. Ia harus mati untuk menebus aib, akan tetapi sebelum mati, ia harus dapat menyelamatkan Gu Hong Beng.

   Pemuda itu telah menolongnya, bahkan telah memberi penerangan batin kepadanya dan sekarang, pemuda itu, karena hendak membelanya, telah terjatuh ke tangan musuh! Ia harus menyelamatkannya, dengan jalan apa pun juga. Dan kini telah ia laksanakan cara yang paling menyakitkan, baik badannya maupun batinnya. Ia telah melayani Ciu Hok Kwi, melayani dengan sikap manis pula! Setelah memperoleh bukti berulangkali dari pelayanan manis Kwee Ci Hwa, akhirnya Ciu Hok Kwi mulai percaya. Ketika mereka mengaso dan rebah bersanding di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi tanpa ragu-ragu lagi menceritakan kepada Ci Hwa yang kini telah dianggap sebagai kekasihnya. Menceritakan bahwa dia sesungguhnya adalah Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dan terpandai dari Siangkoan Lohan, juga merupakan pembantu utama!

   "Akan tetapi, Ciu-toako yang baik...."

   Ci Hwa bertanya sambil memeluk dengan sikap merayu,

   "bagaimana engkau yang menjadi murid utama Siangkoan Lohan, bekerja sebagai seorang piauwsu di Ban-goan....?"

   Ciu Hok Kwi tertawa dan mencium gadis itu,

   "Itu adalah siasatku. Kami membutuhkan penghubung yang baik untuk keluar masuk perbatasan Tembok Besar tanpa dicurigai, agar lebih mudah bagi kami berhubungan dengan orang-orang Mongol yang akan membantu gerakan kami. Karena itulah, di Ban-goan tempatnya untuk mengatur semua itu dengan kedok perusahaan piauw-kiok."

   "Tapi bukankah engkau menjadi piauwsu pembantu dari Tan-piauwsu yang kabarnya terbunuh di utara itu?"

   "Ha-ha-ha, benar, memang benar. Dan itulah siasatku yang amat cerdik. Tanpa disangka orang, aku kini menguasai piauwkiok itu, sehingga terbukalah jalan bagi gerakan kami untuk berhubungan dengan kawan-kawan di luar Tembok Besar...."

   "Ah, jadi kematian Tan-piauwsu itu termasuk rencana siasatmu? Engkau sungguh lihai sekali, Koko!"

   Ci Hwa balas mencium walaupun di dalam hatinya ia ingin muntah karena jijik mendengar bahwa pembunuhan atas diri Tan-piauwsu itu adalah perbuatan orang ini.

   "Kalau begitu, yang membunuh Tan Piauwsu...."

   "Ha-ha-ha, akulah orangnya!"

   Kata Ciu Hok Kwi sambil tertawa. Sepasang mata Ci Hwa terbelalak dan ia mengamati wajah laki-laki itu yang di bawah sinar lilincukup tampan namun juga menyeramkan.

   "Dan orang berkedok yang membunuh Lay-wangwe...."

   "Aku juga orangnya! Eh, bagaimana engkau bisa tahu....? Ah kiranya engkaukah yang mencoba untuk menangkap aku itu, Manis? Ha-ha-ha! Untung hanya kutendang lututmu....!"

   Ci Hwa terkejut dan juga marah bukan main, akan tetapi ia memaksa dirinya untuk ikut tertawa lalu merangkul dan mencium laki-laki itu sambil memuji.

   "Wah, kiranya engkaukah orang itu? Aku sudah merasa kagum sekali karena kelihaiannya! Dan engkau pernah menantang ayahku? Bagaimana engkau dapat dikalahkannya kalau ternyata engkau selihai itu?"

   Ciu Hok Kwi balas merangkul dan mencium.

   "Siasat, Manisku, siasat! Aku harus pura-pura mengalah agar tidak mendatangkan kecurigaan putera Tan-piauwsu itu. Engkau tentu telah mengenalnya."

   "Ya, Tan Sin Hong itu bukan? Dia menuduh ayah yang mengatur pembunuhan terhadap ayahnya, maka aku ingin mencuci nama ayahku dan membantunya menangkap pembunuh. Kiranya engkau orangnya dan sekarang dan mencium engkau malah menjadi kekasihku, orang yang akan menyelamatkan aku dari bahaya di sini."

   Kembali Ci Hwa melayani Ciu Hok Kwi dengan sikap manja, mesra dan manis sehingga Ciu Hok Kwi menjadi tergila-gila, tenggelam dalam nafsunya dan akhirnya, setelah lewat tengah malam, diapun tidur pulas kelelahan. Ci Hwa yang tadinya pura-pura tidur pulas lebih dahulu, segera membuka kedua matanya. Dengan hati-hati ia melepaskan lengan dan kaki pria itu yang merangkulnya, lalu melepaskan diri dan sejenak duduk di atas pembaringan sambil mengamati muka dan pernapasan laki-laki itu.

   Sudah tidur nyenyak, dapat di ketahuinya dari pernapasannya dan dengkurnya. Sekali pukul saja ia akan dapat membunuh laki-laki ini! Akan tetapi, ia tidak berani melakukan hal ini, karena kalau sampai ia gagal, kalau sampai Ciu Hok Kwi tidak mati oleh sekali pukul dan sempat berteriak, akan gagallah usahanya menolong Gu Hong Beng! Yang terpenting adalah menyelamatkan pemuda itu lebih dulu, pikirnya. Rasanya sudah gatal tangannya hendak menyerang dan membunuh orang yang sedang tidur ini, apalagi kalau diingatnya betapa ia tadi digeluti dan menderita siksaan lahir batin yang bagi seorang gadis tak tertandingi oleh penderitaan yang bagaimana juga. Akan tetapi, Ci Hwa dapat menekan perasaannya dan dengan hati-hati ia pun mengambil baju Ciu Hok Kwi yang tadi ditanggalkan dan dilemparkan ke sudut pembaringan.

   Jari-jari tangannya gemetar ketika ia mencari-cari dan akhirnya ia menemukan seuntai kunci-kunci dan matanya bersinar-sinar. Ia lalu mengenakan pakaiannya, dan sepatunya, lalu turun perlahan-lahan dari atas pembaringan, Ciu Hok Kwi masih mendengkur pulas. Melihat sebatang pedang tergantung di dinding kamar itu, dicabutnya pedang itu dan dibawanya keluar kamar bersama kunci-kunci tadi. Berindap-indap ia menghampiri tempat tahanan. Ci Hwa menyelinap di balik dinding gelap dan mengintai. Jalan menuju ke kamar tahanan itu melalui sebuah lorong dan ada tiga orang penjaga bercakap-cakap di mulut lorong itu. Penjaga-penjaga lainnya entah pergi ke mana. Di situ terdapat belasan orang penjaga dan agaknya mereka merasa aman, maka diadakan pergantian penjagaan.

   Mungkin yang lainnya sedang tidur dan mereka berjaga dengan bergiliran. Kenyataan bahwa yang berjaga di situ hanya tiga orang, jantung dalam dada Ci Hwa berdebar tegang dan juga gembira. Kalau hanya tiga orang, tentu saja tidak berat baginya untuk membunuh mereka, apalagi keadaan tiga orang itu kini nampak mengantuk. Malam telah amat larut, lewat tengah malam dan mereka bertiga kini tidak bercakap-cakap lagi, melainkan duduk melenggut. Ci Hwa lalu memungut batu kerikil dan dilontarkan ke depan. Suara kerikil jatuh menggelinding di lantai ini cukup membuat seorang di antara tiga orang penjaga itu terkejut dan memandang dengan curiga. Lalu dia mencabut goloknya dan bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah perlahan ke arah pilar yang agak gelap,

   Di mana tadi dia mendengar suara kerikil jatuh. Baru saja kakinya menginjak di sudut dinding, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan penjaga itu tersentak kaget, matanya terbelalak ketika sebatang pedang menempel jantungnya dan mulutnya tak sempat bersuara karena ada tangan mendekap mulutnya. Dia pun roboh tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya diseret Ci Hwa ke tempat gelap. Kembali Ci Hwa melempar kerikil, lebih keras dari tadi. Kini, dua orang penjaga yang mengantuk itu terkejut dan bangkit, memandang ke kanan kiri, mencari kawan mereka dan keduanya lalu melangkah perlahan-lahan ke depan, mencari-cari. Tadi ketika kawan mereka bangkit dan memeriksa keadaan, mereka sudah terlalu mengantuk sehingga tidak memperhatikan. Ci Hwa menanti mereka dengan hati tegang.

   Ia harus dapat sekaligus merobohkan kedua orang ini tanpa menimbulkan banyak kegaduhan, pikirnya, siap dengan pedangnya yang sudah bersih dari darah karena ia mengusapkannya ke tubuh korban pertamanya. Ketika dua orang penjaga itu tepat tiba di sudut dinding, dua kali pedang di tangan Ci Hwa berkelebat, menyambar ke arah tenggorokan kedua orang itu. Hanya terdengar suara mengorok seperti babi disembelih ketika dua orang itu terkulai roboh mandi darah dan berkelojotan tanpa mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus! Ci Hwa tidak membuang banyak waktu lagi. Ia meloncati mayat dua orang penjaga itu dan berlari memasuki lorong. Pertama-tama ia menghampiri pintu kamar di mana Gu Hong Beng ditahan. Hong Beng sedang duduk bersila menghimpun tenaga. Dia tentu saja, seperti yang lain, tidak dapat tidur.

   Melalui ketukan pada dinding, dia sudah mengadakan hubungan dengan Kun Tek yang ditahan di kamar sebelah kirinya, bahkan mereka berdua dapat bicara sambil berbisik, mengerahkan khi-kang untuk dapat saling tangkap. Dari suara bisik-bisik ini, dia dan Kun Tek sudah sepakat untuk bersiap-siap menghimpun tenaga dan pada keesokan harinya atau kapan saja ada kesempatan, mereka akan menggunakan tenaga dan kekerasan untuk mengamuk. Dengan bisikan-bisikannya, Hong Beng dan Kun Tek berjanji masing-masing akan menghubungi Ci Hwa dan Li Sian. Cu Kun Tek hendak menghubungi Li Sian yang berada di sebelah kamarnya, sedangkan Gu Hong Beng akan menghubungi Ci Hwa. Akan tetapi, setelah beberapa kali mencoba, Hong Beng tidak menerima jawaban dari Ci Hwa sehingga dia merasa gelisah sekali. Apalagi kalau dia teringat akan perjumpaan mereka pertama kali.

   Gadis itu hampir saja mati membunuh diri tanpa dia tahu akan sebabnya. Bagaimana kalau sekarang gadis itu mengulang kembali usahanya untuk membunuh diri dalam sel tahanannya karena putus asa? Kini takkan ada lagi yang dapat menghalanginya! Akan tetapi, satu-satunya cara membunuh diri dalam sel itu, apalagi setelah mereka semua dilucuti senjatanya, hanyalah dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah pada dinding kamar tahanan. Dan sejak tadi, dia memperhatikan dengan hati gelisah dan tidak pernah mendengar suara mengerikan dari pecahnya kepala terbentur pada dinding. Akan tetapi kenapa gadis itu tidak menjawabnya? Sudah beberapa kali dia mengetuk-ngetuk dinding, juga melalui jeruji besi itu dia "mengirim"

   Suaranya dengan kekuatan khi-kang ke dalam kamar tahanan Ci Hwa di sebelah,

   Namun sia-sia belaka semua usahanya itu. Tidak pernah ada jawaban dari kamar sebelah, bahkan dia tldak mendengar ada gerakan. Tadi memang dia tahu bahwa ada rombongan penjaga yang mendekati pintu kamar tahanan Ci Hwa, bahkan mereka bercakap-cakap, akan tetapi karena ada pula penjaga berdiri di depan pintu kamar tahanannya, dia pun tidak dapat mendekati dan mencoba untuk mendengarkan. Kemudian para penjaga itu pergi dan suasana menjadi sunyi dan sejak itu, dia tidak dapat mendengar sesuatu dari kamar Ci Hwa. Di lain pihak, Kun Tek yang mencoba untuk menghubungi Li Sian, ternyata memperoleh hasil baik. Ketukannya pada dinding dibalas oleh Li Sian, dan ketika Kun Tek mendekati pintu, ternyata gadis di kamar sebelah itu pun sudah mendekati ke pintu.

   "Maaf, Nona, apakah aku mengganggu? Aku adalah Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman, datang ke sini untuk menentang Tiat-liong-pang yang bersekutu dengan kaum sesat untuk melakukan pemberontakan. Kalau tidak berkeberatan, maukah Nona memperkenalkan diri kepadaku?"

   Mendengar suara bisikan yang dikirim dengan khi-kang yang cukup kuat ini, Li Sian kagum. Tadi ia sudah melihat kemunculan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu, bahkan dia sudah mendengar pengakuan Kun Tek kepada Siangkoan Lohan. Ia pernah mendengar nama besar Lembah Naga Siluman dan ada rasa kagum terhadap pemuda itu.

   "Namaku Pouw Li Sian,"

   Ia pun berbisik dan mendorong bisikan itu dengan khi-kang sehingga dapat terdengar jelas oleh Kun Tek yang juga menjadi kagum. Dia tadi sudah melihat kehebatan Li Sian yang bertanding melawan Siangkoan Liong, dibantu Ci Hwa.

   "Aku seorang yatim piatu, mendiang guruku adalah Bu Beng Lokai. Aku mempunyai permusuhan pribadi dengan Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan, akan tetapi karena mereka semua adalah penjahat-penjahat yang licik, curang dan kejam, aku menentang mereka."

   Kun Tek mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Li Sian, terutama sekali ketika mendengar betapa suara bisikan gadis itu tadi gemetar pada saat mengatakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu. Agaknya gadis itu teringat akan keadaan dirinya yang yatim piatu dan menjadi sedih, pikir Kun Tek dengan hati terharu. Biarpun baru beberapa kali saja dia mendapat kesempatan mengamati wajah gadis itu, dia masih teringat akan seraut wajah yang cantik dan anggun, dengan sinar mata tajam namun lembut, dengan mulut yang membayangkan kehalusan watak.

   "Kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama, Nona. Apakah Nona sudah mengenal dua orang kawan lain yang tertawan di sebelah?"

   "Belum, aku belum mengenal mereka berdua. Apakah engkau telah mengenal mereka?"

   "Aku belum mengenal gadis itu, akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu adalah seorang sahabat lamaku, sahabat baik sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia bernama Gu Hong Beng dan dia murid seorang anggauta keluarga Pulau Es yang terkenal."

   "Ahhh....!"

   Mendengar seruan Li Sian, Kun Tek menjadi heran. Dalam seruan itu, bukan hanya terkandung rasa kaget atau kagum, melainkan lebih mengandung keheranan.

   "Kenapakah, Nona?"

   "Mendiang guruku, Bu Beng Lokai, adalah mantu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!"

   "Ahhh....!"

   Kini Kun Tek yang berseru, seruan kaget, heran dan kagum menjadi satu.

   "Kalau begitu, tentu engkau mengenal Hong Beng karena ada hubungan perguruan antara dia dan engkau, Nona"

   "Aku belum pernah mengenalnya. Saudara Cu Kun Tek, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Mereka itu ternyata memiliki banyak orang pandai, terutama sekali siucai tua yang tinggi kurus itu, yang merobohkan kita. Dia sungguh memiliki ilmu kepandaian tinggi dan lihai bukan main."

   "Benar, Nona. Tadi aku sudah bicara dengan Hong Beng dan kami bersepakat untuk malam ini menghimpun tenaga, bersiap-siap untuk memberontak apabila kesempatan tiba. Biarpun kakek itu lihai, kalau kita bertiga, berempat dengan nona yang seorang lagi itu, kurasa kita akan dapat menghadapi kakek lihai itu."

   Mereka menghentikan percakapan dan mereka lalu duduk bersila di tengah kamar tahanan masing-masing untuk menghimpun tenaga.

   Dalam hati Li Sian terasa agak lega setelah ia dapat bercakap-cakap dengan Cu Kun Tek, pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu. Mendengar suara yang berat dan tegas itu, hatinya menjadi lebih tenang dan ia menghadapi segala kemungkinan dengan penuh semangat. Diam-diam ia mengingat kembali tiga orang yang tidak dikenalnya itu, yang berdatangan membantunya dalam perkelahian sehingga akhirnya mereka semua menjadi tawanan. Ia merasa terharu kalau teringat akan nasib Bi-kwi dan suaminya. Jo Yin, suami wanita lihai itu, tewas seperti seorang yang gagah perkasa walaupun pria itu tidak pandai silat, dan Bi-kwi tewas sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya. Ketika ia teringat akan sikap gadis yang menjadi tawanan di sebelah, ia merasa heran sekali.

   Gadis itu begitu muncul, memaki Siangkoan Liong dan menyerang mati-matian, walaupun tingkat kepandaian silat gadis itu masih jauh di bawah tingkat Siangkoan Liong. Gadis itu demikian nekad dan agaknya amat membenci Siangkoan Liong. Ada dendam apakah antara gadis itu dan Siangkoan Liong? Ia menduga-duga dan mengingat akan dendamnya sendiri, dia menduga bahwa agaknya gadis itu pun menjadi korbun rayuan Siangkoan Liong. Ingin rasanya ia menampar pipinya sendiri kalau ia teringat betapa ia telah menyerahkan dirinya dengan sukarela kepada pemuda biadab itu! Ia telah terpikat dan memang telah jatuh cinta kepada pemuda tampan itu, tidak tahu bahwa pemuda itu selain mempergu-nakan rayuan maut, juga mempergunakan minuman yang merangsang, dan juga pengaruh ilmu sihir untuk menjatuhkannya!

   "Keparat! Aku harus membunuhmu!"

   Ia mengepal tinju, akan tetapi lalu mengusir gangguan pikiran ini yang akan melenyapkan ketenteraman hatinya dan akan menggagalkan usahanya untuk menghimpun tenaga dalam. Lewat tengah malam, tiba-tiba Hong Beng dikejutkan dengan munculnya Ci Hwa di luar pintu kamar selnya dan gadis itu malah membuka daun pintu kamarnya dengan kunci, dengan hati-hati sekali.

   "Adik Ci Hwa....! Bagaimana engkau dapat keluar dari kamar selmu....?"

   "Sssttttt....!"

   Ci Hwa memberi isyarat agar pemuda itu tidak membuat gaduh, dan ia pun masuk ke dalam kamar itu. Hong Beng melompat bangun dan ketika Ci Hwa lari merangkulnya, dia pun memeluk dengan hati yang cemas dan girang. Akan tetapi dia melihat Ci Hwa menangis sesenggukan di dadanya, dan dia menjadi semakin heran. Dia tentu saja tidak tahu betapa Ci Hwa menangis karena teringat akan pengorbanannya, telah membiarkan dirinya diperhina sesuka hati oleh Ciu Hok Kwi, demi untuk menyelamatkan Hong Beng. Akan tetapi hanya sebentar saja Ci Hwa dipengaruhi kesedihannya. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbisik,

   "Cepat, bebaskan teman-teman yang lain, ini kunci-kunci kamar tahanan, cepat dan larilah kalian semua dari sini selagi ada kesempatan!"

   Berkata demikian, Ci Hwa menyerahkan kunci-kunci itu kepada Hong Beng lalu melompat keluar.

   "Hwa-moi....!"

   Hong Beng berseru lirih memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan menghilang dalam kegelapan malam. Hong Beng hanya tertegun, tidak tahu kemana gadis itu pergi, akan tetapi dia segera melangkah keluar dari kamar tahanan itu, dan dengan kunci-kunci itu, dia berhasil membebaskan Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek yang tentu saja menjadi girang sekali.

   "Bagaimana engkau dapat keluar membebaskan kami?"

   Bisik Kun Tek.

   "Kita ditolong oleh adik Kwee Ci Hwa. Ialah yang tadi membebaskan aku dan menyerahkan kunci-kunci ini,"

   Jawab Hong Beng.

   "Di mana ia sekarang?"

   Li Sian bertanya sambil memandang wajah pemuda yang menurut keterangan Kun Tek adalah murid keluarga Pulau Es itu. Hong Beng juga memandang wajah Li Sian dan menggeleng kepala dengan khawatir.

   "Entahlah, setelah menyerahkan kunci-kunci ini, ia terus melompat pergi."

   "Ah, berbahaya sekali kalau begitu. Kita harus mencarinya, dan bersama-sama mencoba untuk meloloskan diri dari tempat ini!"

   Kata Kun Tek, Li Sian dan Hong Beng mengangguk tanda setuju dan mereka bertiga lalu berindap-indap keluar melalui lorong kecil itu.

   Akan tetapi, pada saat itu, para penjaga telah menemukan mayat tiga orang kawan mereka dan begitu muncul tiga orang tawanan ini, belasan orang penjaga sudah mengepung dan mengeroyok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru di mulut lorong, di mana tiga orang muda itu mengamuk, dengan tangan kosong saja menghadapi belasan orang penjaga yang semuanya bersenjata tajam. Sementara itu, Ci Hwa sudah berhasil kembali ke dalam kamar Ciu Hok Kwi yang masih tidur mendengkur. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena kini ia memasuki kamar hanya dengan satu niat, yaitu membunuh Ciu Hok Kwi dengan pedang di tangannya. Karena ketegangan ini, Ci Hwa menjadi agak gugup dan tidak tenang sehingga tubuhnya melanggar bangku, membuat bangku itu roboh dan mengeluarkan bunyi gaduh. Suara ini menggugah Ciu Hok Kwi. Dia membuka mata dan tubuhnya bergerak untuk duduk.

   Pada saat itu, nampak sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Ci Hwa menyambar, membacok ke arah leher Ciu Hok Kwi dengan cepat dan kuat! Ciu Hok Kwi adalah murid pertama dari Siangkoan Lohan, ilmu kepandaiannya sudah tinggi, bahkan dia dijuluki Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), seorang ahli pedang yang amat lihai. Oleh karena itu, biarpun dia baru saja bangun tidur dan belum sempat mempersiapkan diri lalu tiba-tiba diserang dengan bacokan pedang ke lehernya, dia tidak kehilangan akal dan dengan cepat dia melempar tubuhnya yang masih telanjang bulat itu ke bawah pembaringan, lalu bergulingan di lantai. Untung dia bergulingan sehingga pedang di tangan Ci Hwa yang mengejarnya hanya melukai pundak kiri, merobek kulit dan sedikit dagingnya sehingga darah bercucuran keluar.

   "Heh, apakah engkau telah menjadi gila?"

   Bentaknya marah sambil meloncat dan menyambar pakaiannya, dikenakan pakaian itu sedapatnya karena pada saat itu Ci Hwa sudah menyerangnya lagi. Dengan tangan kiri memegang bangku yang disambarnya, Ciu Hok Kwi menangkisi serangan Ci Hwa, sedangkan tangan kanan sibuk mengenakan pakaian pada tubuhnya. Bajunya terbalik-balik, celananya sampai robek bagian bawahnya. Akan tetapi setidaknya kini tubuhnya tidak lagi telajang bulat dan dia dapat menghadapi Ci Hwa dengan tenang.

   "Ci Hwa, mengapa engkau melakukan ini? Bukankah tadi kita saling mencinta dan kau...."

   "Tutup mulutmu yang busuk dan bersiaplah untuk mampus!"

   Bentak Ci Hwa yang merasa menyesal sekali bahwa ia telah gagal membunuh orang yang amat dibencinya ini. Ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya kalah jauh, maka kini ia dengan nekat menyerang terus. Ciu Hok Kwi mulai marah, apalagi ketika dia meraba saku bajunya dan tidak mendapatkan untaian kunci-kunci itu. Dia juga seorang yang cerdik, maka tahulah dia bahwa gadis ini sengaja menyerahkan diri untuk membuat dia terlena dan tertidur, kemudian mencuri kunci-kunci kamar tahanan itu. Celaka, pikirnya, tentu tahanan-tahanan itu telah dikeluarkan oleh gadis ini! Dan tiba-tiba dia pun mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi, maka tahulah dia bahwa para tawanan lain itu telah keluar dan kini berkelahi melawan anak buahnya.

   "Perempuan jahanam! Jadi engkau hanya menipu aku, ya? Kalau begitu, mampuslah kamu!"

   Ciu Hok Kwi menyerang dengan patahan bangku, disambut oleh Ci Hwa dengan serangan pedangnya, penuh kebencian dan kenekatan. Terjadilah perkelahian mati-matian di dalam kamar itu. Hanya karena kenekatan Ci Hwa saja maka ia mampu mengadakan perlawanan mati-matian,

   Karena sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan lawannya. Sementara itu, tiga orang pendekar perkasa, Gu Hong Beng, Cu Kun Tek, dan Pouw Li Sian, tanpa banyak membuang waktu dan tenaga, telah merobohkan belasan penjaga itu. Mereka bertiga merampas masing-masing sebatang pedang dan berloncatan untuk mencari Ci Hwa. Akan tetapi, sebelum mereka berhasil menemukan gadis itu tiba-tiba muncul Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong, dan Ouwyang Sianseng! Di samping tiga orang sakti ini, masih nampak belasan orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka, mengepung tiga orang muda yang baru saja merobohkan belasan orang penjaga itu. Siangkoan Lohan dan puteranya mengerutkan alis dan memeriksa para penjaga yang malang melintang itu dengan pandang mata mereka.

   "Di mana Ciu Hok Kwi....?"

   Siangkoan Lohan berseru.

   "Mana Kwee Ci Hwa?"

   Siangkoan Liong juga berseru heran.

   Ayah dan anak ini masih merasa heran mengapa tiga orang tawanan ini dapat lolos dan tidak adanya Ciu Hok Kwi dan Kwee Ci Hwa membuat mereka merasa curiga. Namun, tiga orang pendekar itu yang maklum bahwa tidak perlu lagi banyak bicara dengan para pimpinan pemberontak yang lihai ini, sudah cepat menggerakkan pedang masing-masing untuk membuka jalan berdarah dan meloloskan diri dari tempat berbahaya itu. Akan tetapi mereka segera dikeroyok. Bahkan Ouwyang Sianseng sendiri, juga Siangkoan Lohan turun tangan. Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang yang menjadi pemimpin pemberontakan itu sudah mengeluar-kan senjatanya yang istimewa, yaitu hun-cwe emas. Ouwyang Sianseng juga sudah menggerakkan kipasnya, juga Siangkoan Liong sudah menggunakan pedangnya untuk ikut mengepung.

   "Tangkap mereka kembali, jangan bunuh!"

   Terdengar Ouwyang Sianseng berseru. Kakek ini sedang berusaha untuk memberontak untuk membalas dendamnya terhadap kerajaan. Dia membutuhkan bantuan orang-orang muda ini, maka dia merasa sayang kalau mereka dibunuh begitu saja. Alangkah akan menguntungkan kalau tiga orang ini dapat dibujuk untuk membantu gerakan mereka.

   Sementara itu, di dalam kamar Ciu Hok Kwi masih terjadi perkelahian mati-matian antara Ci Hwa dan Ciu Hok Kwi. Biarpun Ci Hwa mengamuk dengan nekat, namun ia bukanlah lawan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi dan setelah lewat tiga puluh jurus, kayu potongan bangku di tangan Hok Kwi berhasil melukai pergelangan tangan gadis itu. Ci Hwa berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas. Di lain saat, pedang itu telah dirampas oleh Ciu Hok Kwi dan kini, dengan pedang di tangan, Ciu Hok Kwi dengan beringas memandang gadis itu. Dia sudah marah sekali karena maklum bahwa dia telah ditipu oleh Ci Hwa, mempergunakan keindahan wajah dan tubuhnya, memikatnya sehingga kini tawanan yang lain telah keluar dari kamar-kamar mereka. Dia akan membunuh Ci Hwa, menyiksanya, untuk melampiaskan kemarahannya.

   "Wuuuttt....!"

   Pedangnya menyambar dan karena dia memang ahli pedang, gerakan pedangnya itu cepat sekali. Ci Hwa meloncat ke belakang akan tetapi tetap saja paha kirinya terserempet ujung pedang. Celananya robek dan kulit paha berikut sedikit dagingnya robek pula. Darah menetes keluar. Ci Hwa menyambar sebuah bangku lain dari sudut kamar dan ia dengan nekat menyerang lawan itu dengan bangku. Akan tetapi, kembali sinar pedang berkelebat dan pangkal lengannya robek terluka! Ci Hwa menyerang terus mati-matian tanpa mempedulikan dirinya dan dalam belasan jurus saja, ia telah menderita belasan luka yang tidak parah namun cukup merobek pakaian dan kulit tubuhnya, membuat darah berlepotan membasahi seluruh tubuh. Mengerikan sekali keadaan gadis itu, dan Hok Kwi menyeringai puas.

   "Akan kubunuh engkau, perempuan setan!"

   Desisnya berkali-kali setiap kali pedang-nya mengenai sasaran. Dia sengaja hanya melukai dengan ujung pedang karena tidak ingin segera membunuh gadis itu. Setelah gerakan Ci Hwa semakin lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah, Hok Kwi melakukan serangan yang sesungguhnya.

   "Cappp....!"

   Pedangnya menancap ke lambung Ci Hwa, agak lebih dalam dan gadis itu pun terhuyung, lalu roboh.

   "Mampuslah....!"

   Ciu Hok Kwi menggerakkan pedangnya untuk dibacokkan ke arah leher, akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan menyambar dan mengetuk pergelangan tangan kanannya.

   "Dukkk! Ahhhhh....!"

   Ciu Hok Kwi terkejut sekali, tangannya lumpuh dan pedangnya terlepas. Ketika dia mengangkat muka, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian serba putih, bersama seorang gadis yang cantik jelita dan bersikap gagah sekali. Makin terkejutlah dia ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tan Sin Hong!

   "Paman Ciu Hok Kwi ! Apa apa yang kau lakukan ini dan mengapa engkau berada di sini?"

   Tanya Sin Hong yang juga terkejut dan heran sekali melihat bahwa orang yang hampir membunuh Kwee Ci Hwa itu bukan lain adalah Ciu Hok Kwi atau Ciu Piauwsu, bekas pembantu mendiang ayahnya!

   Hok Kwi nampak kebingungan, lalu menjawab gagap.

   "Aku.... aku...."

   Dan tubuhnya lalu meloncat keluar kamar dan melarikan diri!

   "Biar kukejar dia!"

   Kata Suma Lian, gadis yang datang bersama Sin Hong.

   "Jangan,"

   Kata Sin Hong.

   "Gadis ini luka parah, kita harus menyelamatkan dulu keluar dari sini."

   Mereka berdua lalu keluar dari dalam kamar.

   Sin Hong memondong tubuh Ci Hwa yang berlumuran darah dan gadis itu dalam keadaan pingsan. Karena pada saat itu para tokoh sesat sedang sibuk mengeroyok Hong Beng, Kun Tek, dan Li Sian, maka dua orang muda perkasa ini dapat melarikan diri keluar dari perkampu-ngan Tiat-liong-pang dengan aman. Sementara itu, dengan ketakutan Ciu Hok Kwi meninggalkan kamarnya dan tiba di tempat di mana tiga orang pendekar muda itu dikeroyok. Perkelahian ini tidak seimbang. Tiga orang muda itu memang lihai bukan main, akan tetapi, mereka dikeroyok dan di antara para pengeroyok mereka terdapat orang-orang yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari mereka, seperti Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong dan terutama sekali Ouwyang Sianseng.

   Apalagi tiga orang pendekar ini telah kehilangan senjata mereka, hanya mempergunakan pedang biasa saja, hasil rampasan dari para penjaga tadi. Tentu saja pedang-pedang biasa itu tidak ada artinya bertemu dengan senjata-senjata pusaka di tangan para pengeroyok mereka. Ketika mereka terdesak, kembali dengan gagang kipasnya, Ouwyang Sianseng berhasil menotok roboh mereka satu demi satu. Tiga orang muda itu lalu dibelenggu dan dilempar ke dalam sebuah tahanan yang besar, disatukan dan dirantai pada dinding kamar sehingga mereka bertiga tidak akan mampu berkutik lagi! Ciu Hok Kwi mengajak teman-temannya lari ke kamarnya untuk menghadapi Tan Sin Hong dan wanita cantik itu, akan tetapi ketika mereka tiba di sana, Sin Hong dan Suma Lian telah lenyap, bahkan Ci Hwa yang tadi telah roboh juga tidak nampak di situ.

   "Hok Kwi, apa yang telah terjadi?"

   Siangkoan Lohan menegur muridnya, suaranya tegas dan keren.

   "Bagaimana mereka bisa keluar?"

   Wajah Hok Kwi berubah pucat. Dia tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi dia seorang yang cerdik dan dalam waktu beberapa detik itu dia telah dapat mengatur siasat untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.

   "Harap Suhu sudi memaafkan, teecu mengaku telah melakukan kesalahan, telah lalai."

   Siangkoan Lohan amat menyayang muridnya ini, karena muridnya ini selain merupakan murid paling lihai, juga cerdik sekali dan selama ini membuat jasa besar untuk kemajuan gerakan pemberontakannya. Melihat murid-nya berlutut minta maaf dan mengaku salah, kesabarannya telah datang kembali.

   "Sudahlah, ceritakan saja apa yang telah terjadi! Engkau memimpin anak buahmu melakukan penjagaan terhadap para tawanan itu, bagaimana mereka dapat keluar dan membuat ribut, bahkan telah membunuh banyak penjaga?"

   "Maaf, Suhu. Memang teecu telah bersalah dan teledor, akan tetapi kalau tidak ada keparat Tan Sin Hong, putera Tan Piauwsu dari Ban-goan itu, tentu tidak akan terjadi pelepasan para tawanan. Harap Suhu ketahui bahwa gadis itu, yang bernama Kwee Ci Hwa, adalah puteri Kwee Piauwsu di Ban-goan dan sudah mengenal teecu. Teecu.... teecu tergoda dan membawanya ke kamar teecu, karena teecu merasa yakin bahwa para tawanan takkan mungkin dapat lolos dengan adanya penjagaan ketat. Akan tetapi, tiba-tiba saja terjadi kegaduhan dan tiga orang tawanan itu lolos, ternyata dilepaskan oleh Tan Sin Hong itu bersama seorang temannya. Karena marah, teecu lalu bunuh Kwee Ci Hwa. Tan Sin Hong dan temannya itu datang, dan terpaksa teecu melarikan diri karena tidak dapat menandingi mereka. Dan ternyata dia telah pergi bersama temannya itu, dan agaknya membawa pergi mayat Kwee Ci Hwa."

   Cerita ini dapat diterima oleh Siangkoan Lohan.

   "Sudahlah, sekarang jaga baik-baik, awas kalau sampai mereka terlepas lagi. Kecerobohanmu membuat kita kehilangan belasan anak buah!"

   "Maaf, Suhu. Teecu akan menjaga dengan taruhan nyawa,"

   Kata Ciu Hok Kwi. Sementara itu, Sin Hong dan Suma Lian berhasil keluar dari sarang Tiat-liong-pang dan memasuki sebuah hutan di lereng bukit.

   Matahari pagi telah mulai mengirim cahayanya mengusir kegelapan malam ketika mereka berhenti di atas padang rumput dalam hutan itu. Dengan hati-hati Sin Hong merebahkan tubuh Ci Hwa ke atas rumput. Tadi, dalam perjalanan, dia telah menghentikan beberapa jalan darah untuk menahan keluarnya terlalu banyak darah. Akan tetapi, keadaan Ci Hwa sudah amat payah dan lemah, disebabkan oleh luka di lambungnya yang dalam, dan juga karena terlampau banyak keluar darah. Ci Hwa membuka matanya dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal wajah Sin Hong yang berlutut di dekatnya.

   "Hong-ko.... syukurlah.... aku dapat bertemu denganmu...."

   "Ci Hwa, tenanglah, aku akan berusaha mengobatimu...."

   
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ci Hwa menggeleng kepala. Di dalam hatinya ia berkata bahwa ia tidak ingin hidup lagi, setelah penghinaan yang dideritanya dari Siangkoan Liong, dari Ciu Hok Kwi.

   "Hong-ko, dengarlah. Ciu Hok Kwi itu...., dialah yang mengatur semua.... yang membunuh ayahmu, membunuh Tang Piauwsu.... dia pula orang bertopeng yang membunuh orang she Lay itu...."

   Sin Hong terkejut bukan main, memandang wajah Ci Hwa dengan sinar mata tidak percaya dan mengira bahwa karena keadaannya yang payah, gadis itu telah bicara tidak karuan.

   "Tapi, Hwa-moi, dia.... dia itu pembantu mendiang ayahku...."

   Ci Hwa menggeleng kepalanya.

   "Dia murid pertama Siangkoan Lohan...., mereka ingin memberontak, mereka menguasai piauw-kiok ayahmu.... agar dapat mengatur hubungan dengan luar Tembok Besar.... dengan orang-orang Mongol. Semua itu siasat belaka untuk menguasai piauw-kiok milik ayahmu.... dia telah mengaku semua ini kepadaku...."

   "Keparat....!"

   Sin Hong terbelalak, baru dia tahu mengapa ayahnya dibunuh, kiranya ada hubungannya dengan pemberontakan. Pantas saja orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Kiranya Tiat-liong-pang yang mengatur, dan Ciu Hok Kwi adalah murid kepala ketuanya. Sikap Ciu Hok Kwi yang marah-marah dan menyerbu rumah Kwee Piauwsu, lalu dia dikalahkan Kwee Piauwsu, semua itu hanya siasat belaka!

   "Hong-ko.... engkau telah tahu sekarang siapa musuh besarmu. Aku.... aku...."

   Tiba-tiba gadis itu berusaha untuk bangkit duduk, namun tidak kuat dan ia tentu akan rebah kembali kalau saja Sin Hong tidak cepat membantunya. Dan mata gadis itu terbelalak, mukanya membayangkan kemarahan dan kebencian, telunjuk kanannya menuding ke depan, seolah-olah ada orang yang dibencinya berada di situ.

   "Siangkoan Liong! Keparat kau....! Engkau telah menodaiku.... engkau.... kubunuh engkau.... ahhhhh....!"

   Tubuhnya terkulai dan nyawa gadis yang bernasib malang itu pun melayang pergi meninggalkan tubuhnya. Sin Hong merebahkan gadis itu, menutupkan mulut dan matanya, lalu meletakkan kedua tangan di depan dada. Suma Lian yang melihat semua ini, mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa Sin Hong duduk tepekur, seperti tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan.

   "Hong-ko, siapakah adik yang malang ini?"

   Suma Lian memecahkan kesunyian dengan pertanyaannya dan Sin Hong yang sedang melamun sedih itu terkejut dan seolah-olah terseret kembali ke dalam kenyataan. Dia menoleh, memandang wajah Suma Lian dan menarik napas panjang. Hubungannya dengan Suma Lian, semenjak mereka berdua meninggalkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun dan menuju ke sarang Tiat-liong-pang itu, menjadi lebih akrab dan mereka saling menyebut kakak dan adik.

   "Namanya Kwee Ci Hwa,"

   Katanya menjelaskan.

   "Puteri dari Kwee Piauwsu di Ban-goan, kota kelahiranku. Tadinya aku terbujuk oleh Ciu Piauwsu tadi untuk mencurigai Kwee Piauwsu sebagai dalang pembunuhan ayahku. Agaknya, Ci Hwa menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri sampai ke sini ketika ia dan aku memperoleh jejak bahwa Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuh ayahku dan beberapa orang lain. Ternyata sampai di sini, ia mengalami hal-hal yang lebih menghancurkan kehidupannya, walaupun ia telah berjasa untukku, telah mengetahui rahasia pembunuhan ayahku."

   "Hemmm, agaknya ia telah diperkosa oleh Siangkoan Liong. Bukankah Siangkoan Liong itu putera Siangkoan Lohan pemimpin pemberontak seperti yang kita dapatkan keterangan di sepanjang perjalanan itu? Sungguh jahat. Kita harus segera masuk ke sana dan menghajar mereka!"

   "Harap sabar dan tenang, Lian-moi. Kurasa tidak semudah itu. Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai, apalagi karena mereka sedang menyusun kekuatan untuk memberontak. Dari keterangan yang kita peroleh baru anak buah mereka saja sudah tiga ratusan orang, belum lagi anak buah Sin-kiam Mo-li yang merupakan pembantu utama mereka. Ang I Mo-pang yang menjadi anak buah Sin-kiam Mo-li itu tentu lima puluh orang lebih jumlahnya. Dan masih banyak tokoh sesat yang berada di sarang mereka. Apa artinya tenaga kita berdua?"

   Suma Lian dapat membenarkan pendapat Sin Hong.

   "Lalu. bagaimana baiknya sekarang. Apa yang harus kita lakukan?"

   "Kita rawat dulu jenazah Ci Hwa, kita kubur saja di bukit ini dengan baik-baik. Kemudian kita melakukan penyelidikan kembali. Kabarnya banyak orang gagah tertawan oleh mereka. Kalau saja kita dapat menyelundup dan dapat menolong mereka, alangkah baiknya."

   Suma Lian hanya menyetujui dan mereka berdua lalu mengurus pemakaman jenazah Ci Hwa dengan sederhana namun cukup khidmat. Sin Hong meletakkan sebuah batu besar di depan makam itu dan menuliskan nama Kwee Ci Hwa di atas batu. Kemudian, setelah memberi penghormatan terakhir, dua orang muda perkasa itu mulai melakukan penyelidikan kembali ke sarang Tiat-liong-pang, dengan hati-hati sekali.

   Pouw Li Sian, Gu Hong Beng, dan Cu Kun Tek kini ditahan dalam sebuah kamar tahanan yang baru. Kamar tahanan ini luas sekali, dan mereka bertiga dirantai kaki mereka pada besi di dinding yang kuat sekali. Setelah terbebas dari totokan, mereka dapat duduk bersila dan dapat bercakap-cakap karena mereka berada dalam satu kamar tahanan. Kun Tek yang sadar lebih dahulu, memandang kepada Pouw Li Sian dengan penuh iba. Gadis itu pun mulai dapat bergerak kembali, lalu membereskan pakaiannya yang agak kusut, dan duduk bersila, di sebelah kanan Kun Tek. Hong Beng duduk bersila pula di sebelah kiri Kun Tek yang berada di tengah-tengah. Jarak antara mereka hanya dua meter, namun mereka tidak dapat saling menghampiri karena rantai yang mengikat kaki mereka.

   "Nona, sungguh aku merasa menyesal bahwa Nona mengalami bahaya seperti ini,"

   Kata Kun Tek karena tidak tahu apa yang harus dikatakan dalam keadaan seperti itu.

   "Kenapa menyesalkan aku, saudara Cu Kun Tek? Bukankah engkau dan saudara Gu Hong Beng ini pun mengalami nasib yang sama dengan aku? Kita sama-sama tertawan, sama-sama terancam bahaya maut!"

   Li Sian menatap wajah pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu sambil menahan senyumnya, senyum sedih karena gadis ini masih menderita tekanan batin karena dendamnya yang sedalam lautan setinggi langit terhadap Siangkoan Liong!

   "Ucapan Kun Tek memang benar, Nona. Aku pun merasa menyesal sekali bahwa Nona sampai menjadi tawanan seperti kami. Walaupun kami sendiri tertawan, namun kami adalah laki-laki. Kalau saja kami dapat melakukan sesuatu untuk membebaskanmu,"

   Kata pula Hong Beng. Pouw Li Sian kini mamandang kepada Hong Beng dan ia bertanya,

   "Menurut keterangan saudara Cu Kun Tek, engkau adalah murid seorang keluarga Pulau Es. Bolehkah aku mengetahui siapa nama besar gurumu, saudara Gu Hong Beng?"

   Biarpun Hong Heng tidak pernah membanggakan nama gurunya, namun mendengar pertanyaan ini, terpaksa dia mengaku dengan sikap rendah hati.

   "Suhu bernama Suma Ciang Bun."

   Li Sian mengangguk-angguk.

   "Pernah aku mendengar nama besar suhumu. Bukankah beliau itu masih cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ketahuilah, saudara Hong Beng bahwa mendiang guruku adalah mantu dari Pendekar Super Sakti...."

   "Aihhh....! Apakah beliau kakek guru Gak Bun Beng....?"

   "Benar, akan tetapi namanya sudah berubah menjadi Bu Beng Lokai."

   "Kalau begitu, Nona adalah saudara seperguruan dari nona Suma Lian?"

   "Benar sekali! Engkau mengenal suciku? Sungguh, semakin sempit saja dunia ini!"

   Untuk sejenak, Li Sian melupakan kedukaannya dan ia tersenyum gembira sekali. Kun Tek ikut bergembira melihat hal ini.

   "Sungguh menyenangkan sekali. Kiranya engkau masih ada hubungan keluarga seperguruan yang dekat dengan Hong Beng, dan dia adalah sahabat lamaku yang amat baik. Kita ternyata masih orang segolongan yang berhubungan dekat. Sayang kita saling berjumpa dalam keadaan seperti ini."

   Li Sian teringat kembali akan keadaan mereka, teringat kembali akan keadaan dirinya. Ia membayangkan kemungkinan mengerikan yang akan menimpa dirinya. Ia tahu kini betapa kejam dan kejinya hati Siangkoan Liong dan para pimpinan pemberontak itu. Ada bahaya yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian mengancam dirinya. Hong Beng dan Kun Tek memang benar kalau tadi mengkhawatirkan keselamatannya karena ia seorang wanita. Membayangkan semua ini, ia teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda dan ia pun mengepal tinjunya.

   "Benar apa yang telah dilakukan enci Ciong Siu Kwi itu! Kalau mendapat kesempatan lagi, aku akan melawan dan mengadu nyawa dengan mereka. Lebih baik aku mati daripada sampai tertawan kembali!"

   Wajah gadis itu menjadi pucat dan sepasang matanya seperti bernyala.

   "Jangan khawatir, Nona. Aku Cu Kun Tek bersumpah akan membelamu sampai mati."

   Tiba-tiba Kun Tek berkata dengan suaranya yang dalam dan mantap. Mendengar ini, Li Sian menoleh dan menatap wajah pendekar muda yang gagah itu, dan keduanya saling pandang, sinar mata mereka bertemu dan berpaut, dan dalam saat beberapa detik itu,

   Li Sian melihat betapa sinar mata pemuda itu penuh dengan cinta kasih yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat ia terharu dan wajahnya yang pucat tadi berubah kemerahan, lalu sinar matanya menunduk dan kedua matanya menjadi basah. Melihat keadaan mereka berdua itu, timbul kekhawatiran dalam hati Hong Beng. Dia sudah mengenal watak Kun Tek yang keras dan pantang mundur, gagah perkasa dan berani menentang kematian sehingga watak ini kadang-kadang dapat membuat dia menjadi agak sembrono. Dia tahu bahwa kalau kedua orang muda itu nekat mengadu nyawa, hal itu hanya berarti bahwa mereka berdua akan membunuh diri saja, atau mati konyol karena bagaimanapun juga, mereka bertiga tidak akan mungkin mampu mengalahkan musuh yang jumlahnya demikian banyak dan memiliki banyak orang yang lebih lihai daripada mereka.

   "Nona Li Sian dan Kun Tek, dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita bertiga mengalami nasib yang sama, menjadi tawanan tak berdaya di sini. Bagaimanapun juga, kita harus dapat meloloskan diri dan kurasa untuk itu, tak mungkin kalau kita hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan saja. Kita harus menggunakan akal dan kuharap kalian suka mengikuti apa yang akan kulakukan, demi keselamatan kita. Ingat, kalau aku mempergunakan akal, hal itu bukan berarti aku pengecut dan takut mati. Sama sekali bukan. Hanya agar kita dapat lolos lebih dahulu dari sini, untuk kemudian mengatur siasat bagaimana agar dapat menghancurkan mereka, kalau perlu dengan bala bantuan."

   "Menggunakan akal? Apa yang kaumaksudkan, Hong Beng?"

   Tanya Kun Tek.

   "Kita harus mengakui bahwa kalau hanya menggunakan kenekatan, kita takkan mampu mengalahkan mereka yang jauh lebih banyak jumlahnya, dan akhirnya kita takkan mampu lolos dan akan mati konyol di sini."

   "Aku tidak takut, apalagi untuk melindungi nona Li Sian!"

   Kata Kun Tek dengan sikap gagah. Hong Beng tersenyum dan diam-diam dia teringat akan masa lampau. Pemuda tinggi besar dan yang gagah perkasa itu kalau sudah jatuh cinta memang kelihatan nekat sekali!

   "Kita semua tidak takut mati, saudaraku yang baik. Akan tetapi mati konyol seperti itu bukanlah perbuatan gagah namanya, melainkan perbuatan bodoh sekali. Bukankah begitu? Tidak, untuk keadaan kita yang dalam perimbangan lebih lemah ini kita harus menggunakan akal. Kalau perlu, aku
(Lanjut ke Jilid 19)
Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
akan bermain sandiwara dan pura-pura takluk"."

   "Takluk kepada mereka? Tidak sudi! Aku akan melawan!"

   Teriak Kun Tek.

   "Saudara Kun Tek, harap suka mendengarkan dulu perjelasan saudara Hong Beng. Dia benar, kalau tidak ada harapan menang menggunakan kekerasan, mengapa tidak menggunakan akal mengalah? Mengalah untuk akhirnya menang?"

   Aneh sekali, demikian pikir Hong Beng. Mendengar ucapan gadis itu, Kun Tek kelihatan sabar kembali dan mengangguk, lalu berkata,

   "Bagaimana akalmu, coba katakan Hong Beng."

   Hemmm, raksasa ini sudah menjadi jinak agaknya, di bawah sinar mata lembut gadis hebat ini, demikian Hong Beng berkata dalam hatinya.

   "Begini. Mereka itu jelas musuh kita, akan tetapi setelah kita memberontak terhadap mereka atas bantuan Ci Hwa tadi, setelah kita membunuh belasan orang anak buah mereka, kini kita ditawan kembali. Kita tidak mengalami siksaan, juga tidak dibunuh. Hal ini bukan tidak ada artinya sama sekali. Kalau kita terus dibunuh, hal itu sudah jelas. Akan tetapi tidak, kita tidak dibunuh dan ini hanya berarti bahwa mereka itu, setidaknya pemimpinnya, dan kurasa kakek berkipas itu sendiri, tidak menginginkan kita mati. Dan alasannya tentu hanya satu, yaitu dia menghendaki agar kita membantu pemberontakan mereka."

   "Tidak sudi! Aku...."

   Kun Tek menghentikan teriakannya ketika melihat betapa Li Sian menoleh dan memandang kepadanya dengan alis berkerut.

   "Teruskan, Hong Beng...."

   Akhirnya dia berkata lirih. Hong Beng menahan kegelian hatinya melihat sikap Kun Tek, lalu melanjutkan dengan suara bisik-bisik.

   "Tentu saja kita tidak akan bersekutu dengan kaum sesat seperti mereka. Akan tetapi, dalam keadaan terjepit dan tiada pilihan lain, kita boleh memperlihatkan sikap seolah-olah kita setuju untuk bersama mereka menentang pemerintah. Bagaimanapun juga, bukankah kita sendiri juga tidak suka melihat pemerintah penjajah menguasai tanah air kita? Tapi, sikap kita setuju menentang pemerintah penjajah bukan merupakan suatu kepura-puraan belaka. Hanya sikap mau bekerja sama itu yang menjadi permainan sandiwara kita. Nah, kalau sudah begitu, tentu muncul kesempatan bagi kita untuk membebaskan diri kelak. Bagaimana pendapat kalian?"

   Kun Tek masih hendak membantah. Pemuda ini merasa betapa memalukan kalau dia harus memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan tetapi, melihat betapa Li Sian mengangguk-angguk menyambut pendapat Hong Beng itu dan nampaknya setuju, dia pun.... mengangguk pula beberapa kali dan menutup mulutnya! Mereka bertiga terpaksa kini menutup mulut karena mendengar suara orang dan langkah kaki menuju ke kamar tahanan itu.

   Ternyata yang muncul adalah Ouwyang Sianseng bersama Siangkoan Liong! Hong Beng bertukar pandang dengan Kun Tek, memberi isyarat bahwa agaknya apa yang diduganya akan terjadi. Buktinya Ouwyang Sianseng yang lihai sekali itu, kini mengunjungi mereka! Apalagi kalau bukan untuk membujuk mereka agar suka bekerja sama? Akan tetapi, Hong Beng melihat betapa Li Sian memandang kepada Siangkoan Liong dengan sinar mata memandang penuh kebencian sehingga dia terkejut. Pandang mata seperti itu tak dapat menipu yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang amat benci karena dendam sakit hati! Apakah yang telah dilakukan pemuda tampan putera ketua Tiat-long-pang itu sehingga membuat Li Sian demikian membencinya? Di belakang kedua orang ini nampak tiga belas orang yang keadaan tubuhnya amat menyeramkan.

   Tinggi besar seperti raksasa, dengan tubuh bagian atas telanjang sehingga nampak dada dan pundak lengan yang berotot melingkar-lingkar dan juga berbulu! Mereka itu seperti segerombolan orang hutan, mata mereka sempit kemerahan dan mulut mereka, lebar menyeringai, nampak gigi yang tidak terpelihara baik-baik dan kekejaman yang buas nampak pada wajah mereka. Usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun dan celana mereka hitam dengan kaki bersepatu kulit tebal. Ketika Siangkoan Liong dan gurunya membuka pintu kamar tahanan dan memasukinya, tiga belas raksasa Mongol itu tinggal di luar, akan tetapi mereka menjenguk ke dalam melalui jeruji-jeruji besi dan mata mereka semua memandang kepada Li Sian seperti segerombolan srigala kelaparan, dengan mulut menyeringai, dan di antara mereka ada yang tak dapat menahan air liur yang mengalir keluar melalui ujung bibir mereka.

   Li Sian membuang muka karena merasa ngeri dan jijik. Dua orang anak buah Tiat-liong-pang membawa dua buah bangku dan memberi-kannya kepada guru dan murid itu, kemudian keluar lagi. Siangkoan Liong dan gurunya duduk di dekat pintu, memandang kepada tiga orang tawanan yang kini sudah bangkit berdiri, seperti dua orang yang nonton tiga ekor binatang buas yang diikat pada dinding. Kun Tek memandang kepada mereka dengan mata melotot marah. Kalau saja kaki kirinya tidak dibelenggu rantai baja dan terikat pada dinding, ingin rasanya dia menerjang kedua orang itu! Hong Beng berdiri dengan sikap tenang saja, sedangkan Li Sian yang juga sudah berdiri, kini menundukkan pandang matanya karena tidak sudi lagi ia memandang kepada Siangkoan Liong lebih lama lagi.

   "Sian-moi, sungguh aku merasa bersedih dan menyesal sekali bahwa engkau telah terkena hasutan Bi Kwi sehingga engkau memusuhi aku. Sian-moi, tidak dapatkah kita berbaik kembali? Lupakah engkau akan hubungan antara kita?"

   Kalau tadinya Li Sian sudah dapat menenangkan batinnya, kini mendengar ucapan itu, seolah-olah api yang sudah mengecil itu disiram minyak sehingga berkobar kembali, mengingatkan ia akan kematian kakaknya dan akan dirinya yang telah ternoda oleh pemuda perayu ini. Ketika ia mengangkat mukanya, sepasang matanya berkilat memandang Siangkoan Liong penuh kebencian.

   "Siangkoan Liong, tidak perlu banyak bicara lagi! Omonganmu yang beracun tidak perlu kudengarkan lagi. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kita kecuali hubungan dendam dan permusuhan yang hanya akan dapat dihapus dengan darah!"

   Seperti juga Hong Beng, kini Kun Tek memandang dan menekan keheranan hatinya. Dia juga dapat merasakan kebencian yang mendalam dari gadis itu terhadap Siangkoan Liong. Sebelum Siangkoan Liong menjawab atau bicara lagi, Ouwyang Sianseng sudah mencegahnya dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan kini terdengar kakek itu bicara, suaranya halus dan penuh wibawa, sikapnya tenang sekali dan sikapnya seperti dia sedang bicara kepada para muridnya saja.

   "Tidak perlu perbantahan lagi, lebih baik kalau nona Pouw Li Sian mengetahui duduknya persoalan yang sebenarnya. Nona Pouw Li Sian, bukankah engkau merasa penasaran dan mendendam sakit hati karena kakak kandungmu terbunuh? Nah, ketahuilah bahwa memang sesungguhnyalah kalau dia itu dibunuh oleh kami sendiri! Lebih baik berterus terang agar engkau tahu duduknya persoalan."

   Li Sian mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Matanya terbelalak dan tentu saja ia mau mendengarkan karena kakek itu agaknya kini berterus terang dan mengakui secara jujur.

   "Akan tetapi, mengapa dia dibunuh? Apa kesalahannya?"

   Tanyanya sambil mengamati wajah kakek itu penuh selidik.

   "Dia telah mengkhianati perjuangan kami! Dia hendak melaporkan kegiatan kami ke kota raja. Kalau dia tidak dibunuh, kami semua bisa celaka."

   "Bohong! Aku tidak percaya!"

   Kata Li Sian, walaupun di sudut hatinya ia meragukan bantahannya sendiri. Bukankah kakaknya itu sudah memperlihatkan sikap aneh, seolah-olah terkejut dan sama sekali tidak setuju melihat ia membantu gerakan perjuangan yang dipimpin Siangkoan Lohan itu?

   "Bukankah kakakku itu anak buah Coa Tai-ciangkun yang sudah bergabung dengan Tiat-liong-pang?"

   "Itulah sebabnya mengapa kami harus bertindak tegas. Pengkhianatannya itu diketahui oleh perwira lain dan ketika dia ditegur, terjadi perkelahian di antara mereka. Kakakmu menang, perwira itu dibunuhnya, akan tetapi pada saat itu, kami mengetahuinya dan kami lalu membunuhnya pula. Nah, engkau sudah mendengar sekarang, dan memang demikianlah keadaannya. Karena itu, harap engkau suka menyadari kekeliruanmu memusuhi muridku ini, nona Pouw."

   Pouw Li Sian hampir terbujuk, akan tetapi ia teringat kembali akan kematian Yo Jin dan Bi Kwi yang mengerikan, dan perasaan tidak suka sudah mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Liong yang tadinya berhasil menjatuhkan hatinya.

   "Tidak, aku masih belum percaya! Ini semua tentu tipu muslihat kalian!"

   Katanya.

   "Memang kami hendak memperli-hatkan bukti kebenaran omongan kami."

   Kata kakek itu sambil memberi isyarat ke luar kamar tahanan yang luas itu. Terdengar suara gaduh dan masuklah seorang anak buah Tiat-liong-pang menyeret lengan seorang wanita yang wajahnya pucat dan pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan. Namun masih dapat nampak jelas bahwa wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu berwajah cantik dan memiliki tubuh yang montok menggairahkan. Wanita itu terhuyung lalu jatuh berlutut di depan kaki Ouwyang Sianseng.

   "Nah, Nyonya Pouw Ciang Hin, sudahkah engkau pikir baik-baik. Kalau engkau ingin agar kami mengampunimu, ceritakan dengan terus terang tentang suamimu yang menjadi pengkhianat itu!"

   Kata Ouwyang Sianseng dengan sikap lembut namun keren. Li Sian merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ia mengamati wajah wanita itu. Kiranya mendiang kakaknya telah mempunyai seorang isteri dan kini isterinya telah menjadi tawanan dari gerombolan ini pula! Wajah pucat itu diangkat memandang kepada Ouwyang Sianseng dengan sinar mata mohon dikasihani.

   "Sudah berulang kali kuceritakan semuanya, dan suamiku bukan seorang pengkhianat...."

   "Bohong!"

   Bentak Siangkoan Liong marah.

   "Dia mengkhianati Coa Tai-ciangkun, dia mengkhianati gerakan perjuangan kami, dia setia kepada pemerintah penjajah Mancu dan dia merencanakan pengkhianatan dengan laporan ke kota raja. Hayo. ceritakan, siapa saja sekutunya dalam pengkhianatan ini!"

   

Suling Naga Eps 21 Suling Naga Eps 29 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 41

Cari Blog Ini