Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Bangau Putih 26


Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



Kadang-kadang membentuk leher dan kepala bangau, kadang-kadang bergerak seperti menjadi sepasang sayap dan jari-jari tangan itu dapat membentuk moncong bangau yang panjang runcing. Selain itu, dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang amat kuat! Kedua lengan pemuda itu tidak hanya menjadi hidup dengan perubahan aneh-aneh, akan tetapi bahkan kadang-kadang dapat dipergunakan untuk menangkis kebutan dan lengan itu berubah keras kaku seperti baja! Hanya terhadap Cui-beng-kiam pemuda itu tidak berani menangkis langsung dengan tangannya karena dia cukup mengenal pedang pusaka ampuh itu, dan kalau pedang itu menyambar, dia hanya mengelak atau menangkis dari samping dengan jalan menyampok sehingga lengannya atau tangannya tidak beradu langsung dengan mata pedang.

   Perkelahian itu berlangsung dengan seru dan mati-matian, Sin-kiam Mo-li yang sudah maklum bahwa ia tidak akan mampu lolos dari situ kecuali mengadu nyawa, menjadi nekat dan karena kenekatannya ini, maka gerakannya menjadi liar dan buas, amat berbahaya karena ia mencurahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menyerang dan merobohkan lawan! Sebaliknya, tentu saja Sin Hong tidak ingin mengadu nyawa dan tidak nekat seperti lawannya. Dia memakai perhitungan dan membagi perhatiannya antara menyerang dan membela diri. Biarpun demikian, karena Sin Hong menang segala-galanya, perlahan-lahan dia mulai mendesak iblis betina itu dan suatu saat yang baik, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Sin Hong menyambut sambaran kebutan dengan pukulan tangan dilanjutkan dengan cengkeraman!

   Hebat sekali sambutannya ini terhadap kebutan karena seketika nampak bulu kebutan berhamburan dan ternyata bulu-bulu kebutan itu telah rontok semua! Tinggal gagangnya saja yang masih berada di tangan Sin-kiam Mo-li dan wanita ini terkejut bukan main, apalagi ketika Sin Hong mendesaknya dengan totokan-totokan tangan kanan sedangkan tangan kiri pemuda itu melakukan gerakan mencengkeram ke arah pergelangan tangan Sin-kiam Mo-li untuk merampas pedang Cui-beng-kiam! Sin-kiam Mo-li yang sudah menjadi semakin gentar karena kebutannya rontok, memutar pedangnya untuk melindungi diri, akan tetapi ia terhuyung dan terus mundur. Pada saat yang amat berbahaya bagi Sin-kiam Mo-li itu, tiba-tiba nampak sinar amat menyeramkan meluncur dan pedang Ban-tok-kiam yang sinarnya kehitaman itu sudah menusuk ke arah dada Sin Hong!

   "Curang, keparat!"

   Teriak Kao Hong Li dan semua orang memandang kaget melihat betapa Sin Hong yang diserang secara tiba-tiba oleh Ouwyang Sianseng dengan menggunakan Ban-tok-kiam untuk menolong Sin-kiam Mo-li, berusaha untuk mengelak dengan membuang diri kesamping. Namun, Ouwyang Sianseng memang lihai bukan main. Biarpun lawannya sudah mengelak cepat, dia masih sempat membalikkan pedang yang luput sasaran itu dan pundak kiri Sin Hong terserempet pedang Ban-tok-kiam! Pemuda itu mengaduh dan tubuhnya roboh terguling!

   "Siancai....! Sungguh tak tahu malu engkau, Ouwyang Sianseng!"

   Kam Hong membentak dan kakek ini sudah mencabut suling emas dan kipasnya, lalu menyerang Ouwyang Sianseng yang bersenjata kipas pula di tangan kiri dan pedang Ban-tok-kiam di tangan kanan!

   "Jangan sentuh aku....!"

   Sin Hong berseru mencegah ketika Hong Li, hendak menubruk dan menolongnya. Hong Li terkejut dan menghentikan gerakannya. Sebagai cucu kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir, tentu saja ia sudah pernah mendengar dari ayahnya tentang kehebatan Ban-tok-kiam. Sekali terkena goresan pedang pusaka itu, jangan harap akan dapat bertahan untuk hidup terus! Racunnya amat jahat, sesuai dengan namanya. Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) memang berbahaya sekali, bahkan seorang nenek sakti seperti Teng Siang In, ibu kandung Suma Ceng Liong, mantu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es,

   Begitu terluka oleh Ban-tok-kiam yang pada waktu itu terjatuh ke tangan Sai-cu Lama yang jahat, tidak dapat tertolong nyawanya dan tewas! Dan kini Sin Hong terkena pedang itu, bukan sekedar tergores, melainkan terluka pundaknya! Tentu saja Hong Li memandang dengan hati khawatir sekali. Akan tetapi dengan sikap tenang sekali, Sin Hong mencengkeram tanah, membongkar permukaan tanah sampai dia memperoleh tanah bersih yang lembut, mencengkeram tanah itu dengan tangan kanannya, merobek baju bagian pundak kiri lalu menggosok-gosok luka di pundak itu dengan tanah! Beberapa kali dia menggosok dengan keras sampai luka itu mulai mengucurkan darah merah yang sehat, barulah dia berhenti, lalu sekali melompat. dia sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li lagi sambil tersenyum.

   "Sin-kiam Mo-li, mari kita lanjutkan perkelahian kita!"

   Katanya dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menyerang lagi dengan hebatnya. Sin-kiam Mo-li terpaksa memutar Cui-beng-kiam untuk melindungi tubuhnya. Melihat betapa Sin Hong seolah-olah tidak merasakan lukanya,

   Hati Hong Li merasa tenang kembali walaupun ia masih amat khawatir. Tentu saja ia tidak tahu bahwa memang satu-satunya obat penawar racun Ban-tok-kiam hanya tanah itulah! Hal ini tentu saja tadinya menjadi rahasia penghuni Istana Gurun Pasir dan hanya diberitahukan kepada Sin Hong sebagai murid terakhir mereka. Bahkan Kao Cin Liong sendiri tidak tahu akan hal ini! Sementara itu, melihat betapa ayah mertuanya sudah menghadapi Ouwyang Sianseng dan Sin Hong sudah pula menyerang Sin-kiam Mo-li, Suma Ceng Liong lalu melompat ke depan menghadapi Siangkoan Liong. Dia tahu bahwa pemuda ini amat lihai pula, dan kini memegang pedang Koai-liong-kiam, maka daripada membiarkan seorang di antara para pendekar terancam bahaya kalau menghadapinya, dia pun sudah maju menantangnya.

   "Siangkoan Liong, majulah dan mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita, daripada engkau nanti bertindak curang seperti Ouwyang Sianseng, melakukan pengeroyokan dan serangan gelap! Atau, kalau engkau takut menghadapi aku, berlututlah agar kami menangkapmu sebagai pimpinan pemberontak dan menyerahkanmu kepada pemerintah!"

   Tentu saja Siangkoan Liong yang berhati angkuh itu tidak sudi untuk menyerah. Tanpa banyak cakap lagi dia pun sudah menerjang maju, menyerang Suma Ceng Liong dengan sengit. Pedang Koai-liong-kiam di tangannya diputar dengan cepat dan terdengarlah suara mengaung yang mengerikan, seolah-olah dari pedang itu keluar auman binatang buas dan pedang itu mengeluarkan sinar berkilauan. Cu Kun Tek yang juga ikut nonton di situ merasa tidak enak sekali. Pedang yang berada di tangan pemuda itu adalah pedang pusaka keluarganya.

   Sepatutnya dialah yang harus maju melawan Siangkoan Liong untuk merampas pedangnya kembali. Akan tetapi dia pun maklum betapa lihainya Siangkoan Liong dah bahwa kalau dia yang maju, kecil sekali harapannya pedang pusaka Koai-liong-kiam itu akan dapat dirampasnya kembali, bahkan bukan tidak mungkin dia sendiri akan roboh menjadi korban pedang pusaka milik keluarganya itu! Maka, melihat Suma Ceng Liong yang maju, dia pun diam saja, karena dia sudah tahu siapa adanya pendekar itu, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Seperti juga Sin Hong yang menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong, Suma Ceng Liong juga menghadapi Siangkoan Liong dengan tangan kosong pula! Kini terjadilah pertempuran yang amat seru. Ouwyang Sianseng, seperti juga dua orang anak buahnya itu,

   Maklum bahwa dia sudah terkurung dan terhimpit, maka satu-satunya jalan hanyalah melawan dengan nekat, kalau perlu mengadu nyawa dengan lawannya. Apalagi yang dilawannya adalah Pendekar Suling Emas yang dia tahu amat tinggi ilmu kepandaiannya. Sekali ini dia sama sekali tidak dapat mengandalkan ilmu silatnya, karena dia seolah-olah bertemu dengan gurunya! Dia kalah dalam segala hal, baik keaslian ilmu silat, kecepatan gerak maupun kekuatan tenaga sakti. Satu-satunya yang diandalkan hanya kenekatannya dan dia pun menyerang dengan membabi buta, mengandalkan kenekatan dan kehebatan pedang Ban-tok-kiam. Kakek Kam Hong maklum pula akan kelihaian lawan. Diam-diam dia merasa menyesal dan sayang sekali mengapa seorang laki-laki yang demikian pandai seperti Ouwyang Sianseng sampai terperosok ke dalam kehidupan sesat.

   Orang she Ouwyang ini selain tinggi ilmu silatnya, juga ahli pedang dan ahli dalam kesusastraan, memiliki kecerdikan. Akan tetapi ternyata nafsu dan ambisinya jauh lebih besar dari semua itu sehingga menyeretnya untuk melakukan perbuatan sesat demi tercapainya keinginan hatinya untuk mengejar kesenangan. Dan dia tahu bahwa orang seperti ini memang berbahaya sekali kalau dibiarkan berkeliaran. Tentu dia akan berusaha untuk melakukan kegiatan pemberontakan pula, atau akan menghimpun orang-orang sesat untuk mencapai ambisinya, yaitu kekuasaan dan kesenangan. Biarpun sudah puluhan tahun lamanya pendekar sakti ini lebih banyak mengasingkan diri dan hidup tenteram, tidak pernah lagi membunuh orang, sekali ini terpaksa dia mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ouwyang Sianseng,

   Demi keamanan kehidupan banyak manusia yang tidak berdosa. Kalau orang she Ouwyang ini dapat bebas dan membuat keonaran, banyak menjadi korban adalah rakyat jelata yang tidak berdosa sama sekali. Berpikir demikian Kam Hong lalu mempercepat gerakannya dan mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk mendesak lawan. Ouwyang Sianseng yang sejak tadi memang sudah mengeluarkan semua ilmunya namun selalu tak mampu mengimbangi permainan lawan, begitu didesak, menjadi repot sekali. Sinar emas yang bergulung-gulung, yang diikuti suara melengking tinggi rendah seperti suling ditiup itu, amat mengacaukan pikirannya. Suara itu mengandung tenaga mujijat yang membuat permainan pedangnya kacau dan suatu saat, kipasnya bertemu dengan kipas lawan.

   "Desss....! Prakkk....!"

   Kipas di tangan kiri Ouwyang Sianseng hancur berkeping-keping.

   Dia marah sekali dan pedang Ban-tok-kiam di tangannya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mendirikan bulu roma karena mengandung hawa yang kuat, dingin dan menyeramkan. Namun, kakek Kam Hong yang sudah melindungi diri lahir batin dengan sin-kang, tidak terpengaruh, dan dia bahkan menggerakkan suling emasnya lebih cepat lagi. Kini gulungan sinar kuning emas itu berpusing sedemikian cepatnya, juga sinarnya panjang dan lebar, perlahan-lahan sinar kuning emas itu menggulung sinar hitam sehingga pedang di tangan Ouwyang Sianseng itu kini hanya mampu bergerak di dalam lingkungan gulungan sinar kuning emas! Makin lama, makin sempit ruang gerak pedang Ban-tok-kiam dan selagi Ouwyang Sianseng repot setengah mati, gagang kipas di tangan kakek Kam Hong meluncur dan menotok pangkal tengkuknya.

   "Tukkk....!"

   Tubuh Ouwyang Sianseng terhuyung lalu dia terpelanting jatuh. Separuh badannya sebelah kiri lumpuh tak mampu digerakkan. Melihat keadaan dirinya, pedang Ban-tok-kiam di tangan kanannya bergerak ke arah leher sendiri dan sebelum dapat dicegah, pedang itu telah membacok batang lehernya! Anehnya, biarpun leher itu hampir setengahnya terbacok, hanya sedikit darah mengalir dan seketika, wajah mayat Ouwyang Sianseng menjadi menghitam dan warna hitam menjalar di seluruh tubuhnya. Itulah kehebatan racun Ban-tok-kiam! Kakek Kam Hong mengambil pedang yang terlepas dari tangan Ouwyang Sianseng itu, mengamati pedang itu dan menggeleng-geleng kepala penuh kagum dan ngeri melihat kehebatan Ban-tok-kiam yang menjadi pusaka dari Istana Gurun Pasir itu.

   Setelah melihat betapa Ouwyang Sianseng roboh dan tewas, Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong merasa terkejut bukan main, wajah mereka pucat dan tentu saja nyali mereka menjadi kecil, semangat mereka terbang sebagian dan permainan pedang mereka menjadi kacau! Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong untuk mendesak lawannya dan akhirnya dia berhasil "mematuk"

   Pergelangan tangan kanan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kirinya yang membentuk moncong atau patuk burung bangau. Terkena patukan ini, seketika tangan kanan itu lumpuh dan di lain detik, Cui-beng-kiam sudah berpindah ke tangan kanan Sin Hong! Nenek itu sungguh tidak tahu diri atau memang sudah mata gelap dan nekat. Biarpun kini ia bertangan kosong, ia masih nekat menubruk maju untuk menyerang Sin Hong dengan Hek-tok-ciang, yaitu pukulan yang lebih mirip cengkeraman, mengandalkan kuku-kuku jari tangan yang mengandung racun!

   "Cappp!"

   Sin Hong menyambut dengan tusukan Cui-beng-kiam. Segera dicabutnya pedang itu dan hanya kurang lebih satu dim saja memasuki dada Sin-kiam Mo-li lalu dicabutnya, namun cukup membuat nenek itu terjengkang dan tewas seketika karena keampuhan pedang Cui-beng-kiam!

   Ia tewas tanpa sempat mengeluh lagi dan setelah tewas, wajahnya nampak jauh lebih tua daripada ketika masih hidup. Hal ini adalah karena kecantikannya ketika masih hidup tidak wajar, mengandalkan polesan bedak dan gincu. Siangkoan Liong makin panik melihat robonnya Sin-kiam Mo-li, dan agaknya timbul perasaan ragu dalam hati Suma Ceng Liong untuk merobohkan pemuda itu. Dia merasa tidak pantas baginya yang tingkat dan kedudukan maupun usianya lebih tinggi daripada lawan untuk menekan dan merobohkan lawannya. Bagaimanapun juga, dia membayangkan kemudaan dan ketampanan Siangkoan Liong, yang telah memiliki kepandaian cukup tinggi itu. Melihat sikap ini, Sin Hong dapat menyelami isi hati Suma Ceng Liong, maka dengan Cui-beng-kiam di tangan, dia melompat maju dan berkata dengan nyaring.

   "Locianpwe Suma Ceng Liong, harap suka memberikan Siangkoan Liong ini kepada saya!"

   Lega hati Suma Ceng Liong melihat ada orang yang menggantikannya, apalagi orang itu adalah Sin Hong yang dia ketahui kelihaiannya dan masih sama mudanya dengan Siangkoan Liong pula. Dia pun meloncat ke belakang, membiarkan Sin Hong yang menghadapi Siangkoan Liong. Kedua orang muda itu berdiri tegak, berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tajam.

   "Siangkoan Liong, selagi masih sempat kenanglah semua perbuatanmu yang penuh dosa!"

   Kata Sin Hong dan dia membayangkan wajah Kwee Ci Hwa. Siangkoan Liong tersenyum mengejek,

   "Tidak ada perbua-tanku yang pantas kusesalkan, Tan Sin Hong. Aku berjuang untuk membebaskan negara dan bangsa dari cengkeraman penjajah, sebaliknya engkau menjadi anjing penjajah Mancu!"

   Sin Hong memandang dengan mata mencorong.

   "Ingat apa yang telah kau lakukan terhadap mendiang Kwee Ci Hwa dan para wanita lain yang menjadi korban kebuasanmu?"

   Ditegur seperti itu, wajah Siangkoan Liong berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia melirik ke arah Li Sian yang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan kedua tangan terkepal dan tahulah dia bahwa tidak ada jalan keluar baginya.

   "Sin Hong, tutup mulutmu dan mari kita bertanding seperti laki-laki sejati!"

   "Hemmm, orang macam engkau masih hendak bicara tentang laki-laki sejati?"

   Sin Hong terpaksa menghentikan kata-katanya karena nampak sinar pedang berkilauan meluncur dibarengi suara mengaum. Itulah Koai-liong-kiam yang sudah digerakkan oleh Siangkoan Liong untuk menyerangnya. Namun dengan tenang saja Sin Hong juga menggerakkan Cui-beng-kiam untuk menangkis dan dia pun membalas serangan lawan dengan tidak kalah dahsyatnya. Terjadilah perkelahian tunggal yang seru dan mati-matian dan disaksikan oleh semua orang yang hadir di situ. Menghadapi Sin Hong, Siangkoan Liong juga tidak berdaya, karena seperti ketika menghadapi Suma Ceng Liong tadi, dia kalah segala-galanya. Kalau tadi Suma Ceng Liong seperti mempermainkannya saja, dengan tangan kosong melawan dia yang bersenjata pedang pusaka, kini Sin Hong sama sekali tidak main-main, tidak mengalah,

   Bahkan di tangan Sin Hong terdapat pedang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan Koai-liong-kiam! Maka, setelah lewat dua puluh jurus saja, Siangkoan Liong mulai terdesak hebat dan dia selalu main mundur, hanya mampu mengelak atau menangkis saja tanpa sempat membalas serangan sama sekali. Sin Hong mendesak terus dan menggunakan Cui-beng-kiam untuk memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiamsut. Biarpun ilmu pedang ini biasa dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, namun dengan Cui-beng-kiam sekalipun Sin Hong dapat memainkan ilmu pedang itu dengan baik. Siangkoan Liong berusaha untuk membela diri sebaik mungkin, namun dalam suatu perkelahian, tidak mungkin orang hanya menangkis dan mengelak terus tanpa dapat membalas serangan. Akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pedang Cui-beng-kiam melukai paha kanannya.

   Seketika kaki kanan itu menjadi lumpuh dan seluruh tubuh terasa dingin sekali. Kaki itu pun membengkak dan Siangkoan Liong yang cepat melompat ke belakang melihat bahwa keadaan dirinya takkan mampu tertolong lagi. Dia pun menggerakkan Koai-long-kiam dan di lain saat, lehernya sudah terbabat putus oleh pedang Koai-liong-kiam! Cu Kun Tek cepat menyambar pedang Koai-liong-kiam dari tangan Siangkoan Liong dan membawanya menjauh, sedangkan Sin Hong menarik napas panjang lalu mengambil sarung pedang Cui-beng-kiam dari pinggang Sin-kiam Mo-li. Ketika Kam Hong menyerahkan Ban-tok-kiam kepadanya, dia pun lalu mengambil sarung pedang di punggung mayat Ouwyang Sianseng. Setelah tiga orang tokoh pimpinan pemberontakan ini tewas, selesailah sudah pertempuran itu.

   Para pendekar tidak kembali ke sarang Tiat-liong-pang di mana masih dilanjutkan pertempuran berat sebelah antara pasukan pemerintan melawan sisa kaum pemberontak. Tiada seorang pun di antara para pendekar yang sesungguhnya ingin membantu pemerintah. Kalau mereka menentang pemberontakan Tiat-liong-pang adalah karena Tiat-liong-pang bukan memberontak demi kepentingan bangsa, melainkan dengan pamrih untuk berkuasa dan Tiat-liong pang tidak segan-segan untuk bersekutu dengan para tokoh sesat. Setelah kemenangan itu, para pendekar lalu berkumpul dan saling memperkenalkan diri, lalu saling berpisah. Cu Kun Tek dapat membujuk Pouw Li Sian untuk ikut bersama dia pulang ke Lembah Naga Siluman di barat, di mana dia akan memperkenal-kan Pouw Li Sian sebagai calon isterinya kepada orang tuanya.

   Pouw Li Sian yang sudah membalas cinta kasih yang tulus dari Kun Tek, yang tetap mencintanya walaupun ia sudah berterus terang bahwa dirinya telah ternoda oleh Siangkoan Liong, kini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu. Setelah kakak kandungnya yang merupakan sisa keluarganya terakhir tewas, gadis ini tidak mempunyai seorang pun anggauta keluarga, hidup sebatangkara di dunia ini. Suma Lian, Gu Hong Beng, Sin Hong dan Kao Hong Li melakukan perjalanan bersama ke Tapa-san untuk pergi ke tempat pertapaan Suma Ciang Bun di mana Sin Hong menitipkan Yo Han. Gu Hong Beng dan Suma Lian menghadap pendekar itu untuk melaporkan semua hasil pembasmian gerombolan sesat itu dan juga Hong Beng hendak minta dukungan gurunya untuk membicarakan urusan perjodohannya dengan Suma Lian,

   Karena gadis itu kini agaknya tidak akan keberatan lagi terhadap ikatan perjodohan yang dahulu dipesankan mendiang nenek Teng Siang In. Suma Ciang Bun gembira bukan main menyambut empat orang muda itu, mendengar akan hasil yang baik dari usaha para pendekar menumpas gerombolan pemberontak, terutama sekali mendengar permintaan Hong Beng agar dia suka membicarakan urusan perjodohan antara Hong Beng dan Suma Lian dengan orang tua gadis itu. Pada hari itu juga, Suma Ciang Bun pergi mengunjungi rumah adik sepupunya, yaitu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an. Yo Han yang kini dijemput oleh Sin Hong, juga merasa gembira walaupun dia juga menyesal harus berpisah dari Suma Ciang Bun yang bersikap amat baik kepadanya, bahkan telah mengajarkan dasar-dasar teori persilatan tinggi kepadanya.

   Sin Hong lalu mengajak Yo Han bersama dengan Kao Hong Li pergi berkunjung ke rumah gadis itu, yaitu rumah Kao Cin Liong ayah gadis itu di Pao-teng di sebelah selatan kota raja. Kao Cin Liong dan isterinya juga menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira, apalagi mendengar betapa para pendekar telah berhasil menumpas para tokoh sesat yang bersekutu dengan gerombolan pemberontak. Kao Cin Liong berterima kasih sekali kepada Sin Hong yang telah berhasil mendapatkan kembali kedua buah senjata pusaka itu, terutama Ban-tok-kiam yang memang menjadi pusaka ibunya. Ketika Sin Hong menyerahkan kedua buah pedang pusaka itu, Kao Cin Liong hanya menerima Ban-tok-kiam saja.

   "Biarlah kami menyimpan Ban-tok-kiam sebagai peninggalan ibuku,"

   Katanya kepada Sin Hong,

   "Engkau boleh menyimpan Cui-beng-kiam itu, Sute, karena pusaka itu adalah milik mendiang locianpwe Tiong Khi Hwesio yang menjadi suhumu pula."

   Sin Hong menghaturkan terima kasihnya kepada Kao Cin Liong.

   Kemudian dia pun berpamit dari keluarga itu. Kao Cin Liong dan Suma Hui, isterinya, tidak dapat menahannya dan Sin Hong menggandeng tangan Yo Han, mengajaknya keluar dari rumah pendekar
(Lanjut ke Jilid 24)
Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
Kao Cin Liong yang masih terhitung suhengnya itu. Ketika tiba di luar, di pekara-ngan rumah itu, dia mendengar langkah kaki ringan dan dia menoleh. Kao Hong Li berdiri di depannya dan dia melihat betapa kedua mata gadis itu basah oleh air mata dan agak kemerahan, tanda bahwa gadis itu menahan-nahan tangisnya. Dia pun menatap tajam, diam-diam dia menyelidiki isi hati gadis itu dan Sin Hong dapat merasakan getaran yang sama mendebarkan jantungnya ketika pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut.

   "Kau.... kau hendak pergi Su.... siok?"

   Suara Hong Li lirih dan gemetar. Sin Hong menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu dia mengangguk.

   "Benar, Hong Li. Aku harus pergi bersama Yo Han karena akulah yang bertanggung jawab dan harus mendidiknya."

   "Tapi.... engkau akan pergi ke manakah?"

   Gadis ini tahu benar bahwa keadaan Sin Hong tiada bedanya dengan Yo Han, yaitu sebatang kara, tiada seorang pun keluarga, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap! Ditanya demikian, Sin Hong tersenyum, senyum bebas, seperti bebasnya hatinya karena dia sama sekali tidak memikirkan hal itu, sama sekali tidak merasa khawatir.

   "Ke mana sajalah, Hong Li. Bukankah dunia ini cukup luas dan amat indahnya? Kami berdua akan menyongsong matahari pagi yang muncul dari timur, mengikuti tenggelamnya matahari senja di barat, atau menempuh semilirnya angin dari utara atau selatan."

   "Tapi.... tapi engkau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Bagaimana kalau engkau.... dan Yo Han, tinggal saja di sini? Akan kuminta kepada ayah dan ibuku untuk dapat menerima kalian...."

   Diam-diam Sin Hong merasa terharu dia pun merasa betapa amat menggirangkan hatinya dan betapa ingin dia menyambut penawaran itu dengan baik, betapa ingin dia dapat tinggal terus berdekatan dengan gadis yang gagah perkasa ini. Akan tetapi tidak mungkin! Betapa dia akan merasa rendah diri! Menumpang tinggal di situ, makan dan segala keperluannya bersandar kepada keluarga Kao! Dan dia masih membawa seorang murid lagi.

   "Terima kasih, Hong Li. Engkau.... sungguh baik sekali, dan percayalah aku akan merasa berbahagia sekali kalau tinggal di sini. Akan tetapi, bagaimana mungkin? Aku seorang laki-laki, dan aku bahkan mempunyai seorang murid, aku akan merasa rendah diri. Biarlah aku merantau dulu, mencari pengalaman hidup, mencari kedudukan yang pantas agar aku dapat mempunyai tempat tinggal yang tetap...."

   "Tapi.... tapi.... kapankah kita dapat saling bertemu kembali, Susiok? Dan ke mana aku harus mencarimu kalau aku.... kalau aku ingin mengunjungimu?"

   Dalam suara ini terkandung tangis yang ditahan-tahan sehingga Yo Han sendiri yang baru berusia tujuh tahun itu sudah dapat merasakannya.

   "Kita merantau kemanapun kaki kita membawa kita, Yo Han. Aku tidak mempunyai tempat tinggal tetap, aku miskin tidak ada rumah tiada harta, tidak ada pekerjaan. Engkau berani ikut dengan aku dalam keadaan tidak punya apa-apa begini, menempuh kehidupan yang melarat dan sukar?"

   "Kenapa tidak berani, Suhu? Kalau Suhu berani, aku pun berani!"

   Jawabnya dengan gagah dan Sin Hong tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanan, kini keluar dari dusun itu menuju ke selatan, sampai lama tidak berkata-kata.

   "Suhu, kenapa Suhu menolak ajakan enci Hong Li tadi? Ia baik sekali dan ia amat sayang kepada Suhu."

   Sin Hong terkejut dan menghentikan langkahnya, menunduk dan menatap wajah anak itu. Wajah yang tampan dan sinar mata itu demikian gagah, juga terbuka.

   "Yo Han, bagaimana engkau tahu bahwa ia sayang kepadaku?"

   "Jelas sekali, Suhu. Ia menangis ketika berpisah, itu tandanya cinta, tandanya berat untuk berpisah. Kenapa Suhu tidak mau menerima ajakannya dan tinggal di sana sehingga Suhu selalu dapat dekat dengan enci Hong Li?"

   Si Hong mengerutkan alisnya.

   "Hemm, apakah engkau ingin tinggal di sana?"

   Yo Han menggeleng kepala.

   "Aku bicara untuk Suhu. Aku sendiri, aku akan tinggal di manapun menurut perintah Suhu, dan sebaiknya kalau aku tinggal bersama Suhu."

   "Tidur di dalam hutan? Di bawah pohon? Di alam terbuka?"

   "Biar di bawah jembatan pun aku suka, asal bersama Suhu."

   Sin Hong tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, anak baik. Kalau begitu mari kita songsong kehidupan baru! Tinggalkan semua kehidupan lama, lupakan semua masa lalu! Hatiku menjadi semakin besar dan tabah karena ada engkau di sampingku! Hayo kita hadapi segala tantangan dan rintangan dalam hidup ini, muridku!"

   "Baik, Suhu, teecu (murid) siap!"

   Kata Yo Han dan keduanya melanjutkan perjalanan, melangkah dengan tegap dan dengan wajah cerah memandang jauh ke depan! Setelah tiba di tempat sunyi, Sin Hong menyuruh muridnya berhenti.

   "Kita berhenti sebentar di sini. Duduklah, Yo Han, ada sesuatu yang akan kukatakan kepadamu."

   Melihat sikap suhunya yang serius, Yo Han lalu duduk di atas rumput di bawah pohon. Sedangkan Sin Hong duduk di atas akar pohon itu. Sejenak dia memandang wajah muridnya dan hatinya dipenuhi rasa iba. Dan sudah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya kepada anak ini, agar dia tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Dia percaya seorang anak seperti Yo Han ini akan mampu menerima keadaan yang bagaimana pahit pun.

   "Yo Han, engkau tahu, untuk apakah engkau menjadi muridku dan hendak mempelajari ilmu silat?"

   "Untuk menjadi seorang gagah, seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, Suhu,"

   "Hemmm, tahukah engkau bahwa seorang gagah harus pertama-tama mengalahkan kelemahan hati sendiri? Bahwa seorang gagah berani menghadapi segala hal sulit, dan tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam duka dan putus asa?"

   Anak itu mengangguk, matanya yang jeli dan tajam memandang wajah gurunya penuh selidik.

   "Aku tahu, Suhu. Agaknya Suhu akan bicara mengenai ayah dan ibuku! Apakah mereka telah tewas?"

   Bukan main anak ini, pikir Sin Hong. Cerdik bukan main! Dia pun mengangguk.

   "Mereka tewas sebagai pendekar-pendekar perkasa, muridku!"

   Dan dengan singkat dia menceritakan betapa ayah dan ibu anak itu tewas di tangan para pimpinan pemberontak dan betapa pula pembunuh itu pun kini telah terbasmi habis. Setelah dia selesai bercerita, dia melihat betapa wajah anak itu merah sekali dan kedua matanya mencorong.

   "Muridku, seorang pendekar tidak seharusnya hanyut dalam kedukaan, akan tetapi melepaskan perasaan duka melalui tangis tidak dilarang!"

   Baru saja Sin Hong berkata demikian, Yo Han menubruk kaki gurunya dan menangis tersedu-sedu,

   Sin Hong membiarkannya saja, mengelus kepala muridnya sambil tersenyum. Tak lama kemudian, dia membimbing tangan muridnya dan mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata. Pada suatu hari, Sin Hong dan Yo Han memasuki sebuah kota di Propinsi An-hui. Kota ini adalah kota Lu-jiang. Sebuah telaga kecil berada di dekat kota ini, dan sebuah sungai mengalir menuju ke selatan di mana sungai itu akan menumpahkan airnya dalam Sungai Yang-ce yang besar. Sin Hong amat tertarik melihat keindahan pemandangan di luar kota ini, di daerah perbukitan yang merupakan bagian terbelakang dari perbukitan lembah Sungai Yang-ce. Apalagi ketika melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil yang berdiri di atas bukit kecil di luar kota Lujiang, dengan sebuah menara kecil tinggi,

   Dia merasa tertarik dan mengambil keputusan untuk berhenti di tempat itu untuk beberapa lamanya. Kadang-kadang dia membutuhkan tempat yang baik untuk memberi pendidikan dan pelajaran ilmu silat kepada muridnya. Dan selama perantauannya bersama Yo Han, hari, pekan dan bulan lewat dengan cepat sekali dan tahu-tahu kini Yo Han telah berusia kurang lebih sembilan tahun. Sudah hampir dua tahun mereka merantau dan belum juga dia memperoleh sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal dan belum juga dia dapat memutuskan pekerjaan apakah yang akan dilakukan. Karena dia bukan orang yang memiliki banyak uang, maka mereka harus berhemat, ada kalanya mereka bekerja membantu di kuil-kuil hanya sekedar mendapat-kan makan, dan pakaian mereka pun sudah mulai ditambal-tambal!

   Sin Hong membiarkan keadaan mereka seperti itu karena hal ini merupakan gemblengan batin bagi muridnya, dan ternyata Yo Han sama sekali tidak pernah mengeluh, biarpun pakaiannya sudah bertambal-tambal dan kadang-kadang Sin Hong sengaja mengajak muridnya itu makan sehari sekali saja, bahkan pernah mereka berpuasa sampai dua hari dua malam! Melihat sikap Yo Han yang tabah, tak pernah mengeluh, hati Sin Hong merasa semakin suka kepada anak itu. Mereka memasuki kuil tua dan memilih tempat yang tidak bocor dan tidak begitu kotor, diruangan samping kiri. Yo Han lalu tanpa diperintah membersihkan tempat itu, menyapu dengan daun-daun kering dan mengumpulkan jerami untuk menjadi tilam agar lantai itu tidak terlalu lembab untuk diduduki atau pun ditiduri. Sin Hong mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan menyerahkannya kepada muridnya.

   "Yo Han, pergilah ke kota dan beli makanan dan sedikit arak."

   "Baik, Suhu, akan tetapi teecu (murid) hendak membuat api unggun dan memasak air lebih dulu untuk dibuat air teh. Bukankah Suhu sudah merasa haus?"

   Sin Hong tersenyum. Tidak rugi mempunyai seorang murid seperti Yo Han. Anak itu selalu memperhatikan keperluannya dan amat berbakti kepadanya. Tidak pernah dia merasa bahwa kehadiran Yo Han dalam kehidupannya menjadi beban. Bahkan sebaliknya, dalam diri anak itu dia menemukan seorang murid, seorang kawan, seorang pembantu, bahkan seorang penghibur karena anak itu pandai sekali memancing kegembiraannya. Yo Han lincah dan kadang-kadang jenaka dan nakal, akan tetapi tidak pernah membikin marah dan selalu siap melayani gurunya.

   "Biarlah aku sendiri yang akan membuat air teh, Yo Han. Sejak kemarin engkau belum makan, tentu sudah lapar. Belilah roti kering dan dendeng, seguci kecil arak dan kalau engkau ingin membeli buah-buahan segar untukmu, belilah. Boleh kau habiskan uang itu membeli makanan."

   Yo Han mengangguk dan mengantungi beberapa keping uang itu, lalu berpamit dan pergilah dia dengan cepat, setengah berlari, menuju ke kota yang temboknya sudah nampak dari situ. Kuil itu berada di atas bukit kecil dan dari situ dapat nampak kota Lu-jiang. Sin Hong mengikuti muridnya dengan pandang matanya sambil tersenyum. Yo Han tentu saja merasa lapar. Sejak kemarin siang dia belum makan, hanya minum air sumber saja karena suhunya mengajak dia berjalan terus. Dia bukan anak bodoh.

   Dia tahu bahwa suhunya amat sayang kepadanya dan bahwa suhunya adalah seorang pendekar yang budiman. Kalau suhunya membiarkan dia kurang makan, bahkan kadang-kadang berpuasa, hal itu bukan karena gurunya itu hendak menganiayanya. Suhunya sendiri pun sama-sama tidak makan, dan dia tahu bahwa suhunya menahan lapar hanya untuk kepentingannya! Untuk menggemblengnya! Maka dia merasa semakin berterima kasih kepada gurunya itu, satu-satunya orang di dunia ini yang baik kepadanya, pengganti ayah ibunya, pengganti keluarganya! Mengingat kebaikan gurunya ini, hatinya menjadi gembira dan dia berloncatan menuju ke kota, membayangkan apa yang akan dibelinya. Dia sama sekali tidak mengingat akan kesukaan dirinya sendiri. Tidak! Dia akan membeli roti kering dan dendeng serta arak,

   Kemudian sisa uang itu akan dibelikan buah jeruk yang manis, kesukaan gurunya! Ketika berloncatan dan berlarian, dia melihat tiga orang anak yang usianya sebaya atau hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, bermain-main di tepi jalan. Dia tidak memperhatikan karena dia sedang melamun tentang apa yang akan dibelinya untuk menyenangkan hati gurunya dan baru dia terkejut bukan main ketika terdengar suara anjing menyalak dan seekor anjing berbulu putih telah menggigit kakinya! Yo Han sudah mulai dilatih oleh gurunya, berlatih kuda-kuda, pengerahan tenaga, dan langkah-langkah kaki yang menjadi dasar ilmu silat. Kini ketika dia merasa betapa kakinya menjadi sasaran moncong anjing yang terbuka, dia cepat menarik kaki kiri yang hendak digigit, lalu kaki kanannya menendang ke arah perut anjing yang tidak berapa besar itu.

   "Hukkk! Kaing.... kaing....!"

   Anjing itu terlempar bergulingan dan menguik-nguik kesakitan. Barulah Yo Han tahu bahwa yang ditendangnya itu hanyalah seekor anak anjing yang bulunya putih dan bagus sekali!

   "Keparat kejam! Kau kurang ajar sekali, berani menendang anjing kesayangan kami yang tidak bersalah!"

   Yo Han menengok dan ternyata tiga orang anak laki-laki yang tadi bermain-main di tepi jalan, kini sudah berdiri menghadapinya dengan sikap marah sekali. Kiranya anjing itu milik mereka, pikirnya dengan hati menyesal.

   "Tapi.... tapi.... ia tadi akan menggigit kakiku...."

   Dia membela diri.

   "Menggigit? Huh, anak anjing kecil itu hanya mengajakmu main-main. Ia tidak pernah menggigit, kalau menggigit pun hanya main-main, tidak sakit. Akan tetapi dengan kejam engkau telah menendangnya!"

   Kata seorang di antara mereka yang terkecil, yang kini sudah memondong anjing yang kelihatan ketakutan itu sambil mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Yo Han merasa semakin menyesal.

   "Maaf.... aku.... aku tadi terkejut sekali, melihat ada anjing hendak menggigit kakiku sambil menyalak, aku tidak melihat bahwa anjing itu hanya anak anjing. Karena kaget aku lalu menendangnya. Maafkanlah aku."

   Dia teringat akan nasihat gurunya bahwa kalau dia melakukan suatu kesalahan, biar terhadap seorang anak kecil sekalipun, dia harus berani menyatakan penyesalannya dan minta maaf.

   "Enak saja minta maaf! Apakah kalau sudah minta maaf, anjing kami itu lalu sudah tidak merasa nyeri lagi oleh tendanganmu tadi? Huh, engkau tentu anak jembel yang datang dari luar kota maka tidak mengenal kami dan berani berbuat kurang ajar!"

   Bentak seorang di antara mereka yang paling besar, usianya kurang lebih dua belas tahun sambil bertolak pinggang. Kini, Yo Han melihat bahwa tiga orang anak itu bersikap gagah dan pakaian mereka ringkas seperti pakaian yang biasa dipergunakan untuk berlatih silat. Kembali Yo Han meminta maaf, sekali ini dia merangkap kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat.

   "Saya merasa bersalah dan saya menyesal sekali telah lengah dan terburu nafsu, menendang anjing kecil yang tidak bersalah itu. Harap kalian suka memaafkan saya."

   Dia mengatur kata-katanya dengan sopan dan merendahkan diri.

   "Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum!"

   Bentak orang ke dua yang usianya sebaya dengan Yo Han.

   "Kau layak dipukul!"

   Yo Han menarik napas panjang. Nasib, pikirnya. Akan tetapi, semua nasihat gurunya masih bergema di telinganya, maka dia pun mengangguk dan pasrah.

   "Kalau kalian masih merasa penasaran dan sakit hati, nah, tamparlah mukaku sebagai hukuman atas kesalahanku menendang anjing kalian tadi. Silakan!"

   Dia memanjangkan leher, memberikan mukanya untuk ditampar.

   "Bagus kalau kau tahu diri! Memang kami ingin memukulmu!"

   Kata anak terbesar.

   
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mari, Sute, kita hajar anak jembel ini sampai dia bertobat!"

   Yo Han yang sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan mukanya untuk ditampar sebagai penebusan kesalahannya, memejam-kan kedua mata dan siap menerima tamparan yang bagaimana keras pun pada mukanya.

   "Plakkk! Dukkk! Desss....!"

   Tubuh Yo Han terpelanting ke atas tanah dan dia membuka mata, meng-goyang-goyang kepalanya yang terasa pening, mengelus dada dan perut. Dia tidak hanya mendapatkan satu kali tamparan, akan tetapi juga dadanya dipukul dan perutnya ditendang! Yo Han merasa penasaran sekali. Mereka itu keterlaluan, pikirnya. Sekali maju tiga orang menyerangnya dan memukul dengan keras, sungguh tidak sepadan dengan kesalahannya tadi. Akan tetapi karena dia teringat akan kesalahannya, dia pun menahan kemarahannya dan mengusap bibirnya yang berdarah karena ujung bibir itu pecah terkena tamparan yang amat keras, lalu dia bangkit berdiri.

   "Aku sudah menerima hukuman. Kesalahanku sudah terbayar lunas sekarang."

   Katanya dan dia hendak melanjutkan perjalanannya ke kota untuk membeli makanan dan minuman seperti yang dipesan gurunya. Akan tetapi tiba-tiba anak terbesar menarik bajunya, di sentakkan ke belakang sehingga Yo Han hampir jatuh.

   "Hemmm, kau hendak lari ke mana? Tidak boleh pergi sebelum kami selesai denganmu!"

   Sepasang alis Yo Han yang hitam dan tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mencorong penuh selidik ketika Yo Han menatap wajah anak laki-laki yang tubuhnya gempal itu.

   "Bukankah kalian sudah memukul aku sebagai hukuman atas kesalahanku? Kalian mau apalagi dan mengapa menahan aku?"

   "Kesalahanmu ada dua macam. Pertama, engkau menendang anjing kami dan untuk itu memang kami tadi sudah menghukum kamu dengan pukulan. Akan tetapi kesalahan kedua, belum lunas, dan harus dibayar sekarang."

   "Kesalahan yang mana lagi?"

   Yo Han bertanya penasaran. Engkau tidak menghargai kami, tidak menghormati kami. Ketahuilah bahwa kami adalah murid-murid Ngo-heng Bukoan, dan kau bersikap kurang ajar kepada kami. Inilah kesalahanmu ke dua dan untuk ini, engkau harus berlutut dan menyebut kami tuan-tuan muda dan minta maaf atas sikapmu yang kurang ajar itu. Wajah Yo Han berubah merah. Suhunya selalu menekankan bahwa dia haruslah rendah hati dan mengalah, akan tetapi tidak boleh rendah diri dan pengecut. Tiga orang anak ini jelas hendak menghinanya dan kalau dia mentaati perintah mereka, berlutut minta maaf, berarti dia rendah diri dan penakut. Mereka itu sewenang-wenang dan sombong, maka tidak perlu dihormati, bahkan layak kalau ditentang.

   "Aku tidak mengenal siapa kalian, dan andaikata sudah mengenal sekalipun, aku tidak biasa menjilat orang yang kedudukannya lebih tinggi. Aku tidak merasa bersalah dengan sikapku, maka sudahlah, aku masih banyak urusan dan harus pergi tidak dapat melayani kalian lebih lama lagi!"

   Berkata demikian Yo Han membalikkan tubuh dan hendak pergi.

   "Jembel sombong! Engkau memang harus dipukul sampai setengah mati baru tahu rasa!"

   Bentak anak terbesar. Yo Han maklum bahwa dirinya diserang. Dia membalik dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan anak itu cepat dan tepat. Elakannya kurang cepat dan pundaknya kena tonjokan yang membuat tubuhnya terjengkang! Akan tetapi sekali ini, Yo Han sudah marah sekali. Dia meloncat bangun dan melihat seorang di antara mereka sudah menerjangnya lagi, dia pun menyambut dengan tendangan.

   "Uukkk!"

   Anak itu kena ditendang pahanya dan terpelanting. Dua orang kawannya segera maju mengeroyok dan anak yang tertendang itu pun sudah bangkit lagi dan ikut mengeroyok, Yo Han dikeroyok tiga! Kasihan anak ini. Tiga orang lawannya telah pandai bermain silat, sedangkan dia baru mempelajari langkah-langkah dasar saja. Melawan mereka satu lawan satu saja belum tentu dia menang, apalagi dikeroyok tiga.

   Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan mereka. Akan tetapi, Yo Han memiliki keberanian luar biasa dan tahan uji benar-benar. Biarpun sudah puluhan kali dia jatuh bangun, tubuhnya memar dan babak belur, pakaiannya robek-robek, dia tidak pernah nrengeluarkan keluhan dan setiap kali jatuh, dia bangun kembali, meloncat dan melawan lagi mati-matian! Hal ini membuat tiga orang lawannya menjadi bingung dan agak gentar. Mereka mengira bahwa dengan beberapa kali dirobohkan saja, anak jembel itu akan berlutut minta ampun. Akan tetapi siapa kira, sudah puluhan kali jatuh, anak itu tetap melawan. Apalagi minta ampun, mengeluh pun tiduk pernah! Karena gentar, mereka agak lengah dan begitu Yo Han berhasil mencengkeram dan menjambak rambut seorang di antara mereka, dia membanting anak itu,

   Menggumulnya dengan kedua tangan menjambak rambut dan dia membentur-benturkan kepala anak itu di atas tanah! Dia tidak peduli akan pukulan bertubi-tubi yang dilakukan dua orang anak lain pada tubunnya. Dia tetap menunggangi anak yang dijambaknya, dan dibentur-benturkannya kepala itu Tiba-tiba anak terbesar menolong sutenya dengan merangkul leher Yo Han dengan lengannya dan menjepitnya. Karena lehernya terjepit dan dia tidak dapat bernapas, Yo Han gelagapan dan terpaksa melepaskan anak yang dijambaknya tadi. Anak itu sudah mulai menangis dan daun telinganya robek dan berdarah. Yo Han meronta-ronta, lalu berhasil membalikkan kepalanya, lalu dia membuka mulut dan menggigit pergelangan tangan anak yang memitingnya! Digigitnya sekuat tenaga.

   Mulutnya merasakan darah yang asin, gigitannya semakin kuat dan anak terbesar itu berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Baru setelah anak ketiga menghantam pelipis Yo Han yang membuatnya pening, gigitannya terlepas dan anak yang digigit pergelangan tangannya tadi, meloncat bangun dan menangis, memegang lengan yang tadi digigit. Tangisnya bukan hanya karena rasa nyeri, melainkan karena khawatir melihat betapa dari pergelangan tangan yang tergigit itu bercucuran darah yang banyak sekali! Dua orang sutenya juga bingung dan takut, lalu mereka bertiga melarikan diri ke kota, diikuti anjing bulu putih. Yo Han membereskan pakaiannya. Akan tetapi tidak dapat dibereskan lagi karena pakaian yang tua itu sudah compang-camping, maka dia hanya mengebut-ngebutkan bagian yang kotor oleh tanah dan debu saja.

   Akan tetapi, tiba-tiba wajahnya berubah agak khawatir ketika tangannya merogoh saku baju dan tidak menemukan beberapa keping uang kecil pemberian gurunya! Kantung itu telah robek dan uangnya entah jatuh ke mana. Dia mulai mencari-cari di sekitar tempat itu namun sia-sia. Karena tidak dapat menemukan uang itu, akhirnya terpaksa dia kembali ke bukit di mana suhunya menanti di kuil tua. Sin Hong sedang membuat minuman teh ketika melihat munculnya Yo Han. Dia merasa heran karena cepatnya anak itu sudah kembali, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kekagetan melihat anak itu tidak membawa apa-apa, pakaiannya robek-robek dan mukanya penuh benjolan biru, tubuhnya babak-belur. Akan tetapi Sin Hong bersikap tenang-tenang saja ketika bertanya.

   "Yo Han, apakah yang telah terjadi denganmu?"

   Yo Han duduk di atas lantai, di depan gurunya. Maaf, Suhu, uang pemberian Suhu hilang sehingga teecu tidak dapat membeli apa-apa.

   "Hemm, dan pakaian-mu robek-robek, tubuhmu babak-belur...."

   "Teecu.... telah berkelahi, Suhu."

   Sin Hong memandang muridnya dengan alis berkerut. Dia merasa yakin bahwa kalau sampai muridnya itu terpaksa berkelahi, sudah pasti muridnya itu tidak berada di pihak yang salah. Akan tetapi, dia sudah berulang kali memberi nasihat agar muridnya menjauhkan diri dari perkelahian dan permusuhan, maka kini dia bersikap keren.

   "Ceritakan semua!"

   "Sebelum tiba di pintu gerbang kota, teecu melihat tiga orang anak sebaya teecu bermain-main di tepi jalan. Tiba-tiba ada anjing menyalak dan akan menggigit kaki teecu. Karena terkejut dan takut digigit, teecu menendang perut anjing itu. Baru ternyata kemudian bahwa anjing itu hanyalah seekor anak anjing dan tiga orang anak itu pemiliknya. Mereka adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka marah. Teecu sudah minta maaf dan teecu mempersilakan mereka menghukum teecu. Mereka bertiga memukul teecu satu kali sampai teecu roboh. Teecu menerima hukuman yang keterlaluan itu dan hendak pergi, akan tetapi mereka melarang. Mereka mengatakan bahwa teecu mempunyai kesalahan lagi, yaitu tidak menghormati mereka sebagai murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka mengharuskan teecu berlutut minta ampun. Teecu tidak sudi dan hendak pergi, lalu mereka menyerang dan memukuli teecu. Terpaksa teecu melawan."

   "Dan kau kalah?"

   "Mereka bertiga itu pandai silat, Suhu, sedangkan teecu belum bisa. Teecu dihujani pukulan dan tendangan, sampai roboh puluhan kali, akan tetapi karena teecu tidak merasa bersalah, teecu melawan terus. Akhirnya teecu dapat menghajar mereka, dan mereka melarikan diri sambil menangis."

   Sin Hong terbelalak, memandang tidak percaya.

   "Mereka lari sambil menangis? Bagaimana engkau menghajar mereka?"

   "Teecu dapat menjambak rambut seorang di antara mereka dan membentur-benturkan di atas tanah, ketika seorang lagi memiting leher teecu, teecu dapat menggigit pergelangan tangannya. Darahnya keluar banyak sekali dan mereka melarikan diri, yang dua orang itu menangis. Akan tetapi, uang itu hilang dan harap Suhu maafkan teecu."

   Sin Hong menahan ketawannya. Dia teringat akan sikap mendiang ayah Yo Han. Ayah Yo Han yang bernama Yo Jin itu sungguh merupa-kan seorang pria yang amat mengagumkan. Seorang petani dusun sederhana, sedikit pun tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki ketabahan melebihi seorang pendekar yang pandai silat! Kalau membela kebenaran, Yo Jin ini tidak berkedip sedikit pun juga biarpun diancam maut! Dan agaknya kenekatan dan ketabahan itu kini menurun kepada Yo Han.

   "Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan bahwa engkau tidak boleh berkelahi?"

   Dibentak demikian, Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.

   "Harap Suhu maafkan teecu. Teecu bersalah dan bersedia menerima hukuman!"

   Sin Hong tersenyum dalam batinnya. Anak ini memang hebat, pikirnya.

   "Sudahlah, Yo Han. Engkau memang hanya membela diri, akan tetapi bela diri seperti itu adalah konyol. Untung engkau tidak dipukuli sampai mati. Kalau tadi engkau melarikan diri kembali ke sini, aku tidak akan menganggap engkau penakut. Orang berani harus memakai perhitungan, kalau hanya berani dan nekat tanpa perhitungan, orang itu akan mati konyol. Kalau orang melarikan diri dari bahaya yang tidak dapat ditentang dengan kepandaiannya, bukan berarti dia pengecut, melainkan dia mempergunakan kecerdikannya. Berani membuta bukanlah gagah namanya, melainkan bodoh dan konyol."

   "Maaf, Suhu. Teecu memang bersalah dan teecu tadi pun bingung dan ragu karena teecu tidak pernah melupakan nasihat Suhu. Akan tetapi, bayangkan saja Suhu, andaikata teecu tidak melawan dan melarikan diri, bukankah teecu akan dianggap takut? Padahal, teecu adalah murid Suhu yang memiliki kesaktian, bukankah kalau teecu lari, berarti teecu membikin malu kepada Suhu?"

   Sin Hong tersenyum.

   "Membanggakan kepandaian guru atau kepandaian sendiri merupakan kesombongan, Yo Han. Sudahlah, jangan kau kira aku pelit dan tidak suka mengajarkan silat kepadamu. Selama ini, aku menggembleng tubuhmu agar memiliki kekuatan. Kalau engkau tidak memiliki kekuatan, bagaimana mungkin engkau dapat bertahan dipukuli oleh tiga orang yang lebih pandai darimu, sampai puluhan kali jatuh bangun akan tetapi tetap dapat melawan? Apa artinya memiliki kepandaian silat tinggi kalau tubuhnya lemah? Nah, sekarang engkau mengerti mengapa sampai kini aku belum mengajarkan ilmu silat, hanya penggemblengan kekuatan tubuh dan daya tahan, juga dasar langkah-langkah ilmu silat. Mulai hari ini, aku akan mulai mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan."

   Bukan main girang hati Yo Han. Dia memberi hormat sampai delapan kali untuk menyatakan terima kasihnya. Pada saat itu, terdengar suara orang di luar kuil.

   "Kau yakin bahwa dia masuk ke dalam kuil ini?"

   Demikian terdengar suara seorang wanita.

   "Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Sudah kutanya-tanyakan, dia berada di dalam kuil tua ini,"

   Terdengar jawaban seorang anak-anak.

   "Heiii, jembel busuk, keluarlah engkau!"

   Suara anak-anak itu berteriak.

   "Wah, itu suara anak yang teecu gigit pergelangan tangannya, Suhu,"

   Kata Yo Han kepada gurunya, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut.

   "Hemmm, mau apa dia datang? Dan dengan siapa?"

   Sin Hong mengangkat cawannya dan minum air teh yang masih panas. Mereka, guru dan murid itu, selalu membawa perabot masak dalam buntalan pakaian mereka, juga mangkok, cawan dan sumpit.

   "Entahlah, Suhu. Mungkin minta digigit sebelah lengannya yang lain!"

   Kata Yo Han gemas. Gurunya mengerutkan alisnya, dan Yo Han lalu bangkit berdiri.

   "Suhu, biarlah teecu menghadapi mereka."

   "Tunggu, Yo Han. Jangan engkau membuat urusan menjadi semakin parah. Mari kita keluar bersama, kita lihat apa yang mereka kehendaki."

   Sin Hong bangkit dan bersama muridnya dia keluar dari ruangan samping itu, menuju ke depan di mana dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun bersama seorang gadis yang bertubuh ramping padat.

   Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas seperti pakaian seorang ahli silat, rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias bunga emas. Pakaian berwarna hijau muda yang berpotongan ringkas itu membuat tubuhnya nampak menggairahkan. Akan tetapi melihat sepintas saja mudah diduga bahwa ia seorang gadis yang gagah. Wajahnya manis dengan dagu runcing, mulut kecil dan sepasang mata yang jeli dan tajam. Seorang gadis yang gagah dan cantik. Dengan hati yang merasa agak tidak enak karena dia harus menghadapi seorang gadis cantik yang agaknya sedang marah, Sin Hong menghampiri mereka. Begitu melihat Yo Han, anak itu yang kini lengannya dibalut, berseru,

   "Itulah dia, Suci! Itulah jembel busuk itu!"

   Gadis itu hanya sebentar saja memandang kepada Yo Han.

   Diam-diam ia mendongkol sekali mengingat betapa tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan dikalahkan oleh seorang anak laki-laki yang pakaiannya tambal-tambalan dan compang-camping, yang usianya dua tiga tahun lebih muda dari sutenya ini! Memalukan sekali, pikirnya. Dan ia lalu memandang kepada Sin Hong, memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh empat tahun, berpakaian serba putih, bersih, namun juga ada tambalannya. Wajah pemuda itu biasa saja, tidak terlalu menarik, juga tidak buruk, akan tetapi sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum ramah membayangkan kehalusan watak. Sin Hong mendahului gadis itu, mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat. Perbuatannya ini diturut oleh muridnya sehingga gadis itu kembali terheran melihat betapa kedua orang jembel itu bersikap demikian sopan.

   "Maafkan kami, Nona. Apakah Ji-wi (Kalian berdua) datang untuk mencari kami?"

   Sin Hong bertanya dengan sikap yang halus dan sopan. Gadis itu memandang bingung. Kalau yang menggigit dan menjambak para murid kecil perguruan ayahnya hanya seorang bocah berusia kurang lebih sembilan tahun, tentu saja ia tidak dapat turun tangan menghajarnya! Bagaimana mungkin ia harus menyerang seorang bocah? Ia adalah Bhe Siang Cun, puteri dari ketua atau kauwsu (guru silat) perguruan silat Ngo-heng Bu-koan! Bahkan ialah yang membimbing dan mengajar para murid perguruan silat itu mewakili ayahnya. Memalukan sekali kalau ia harus berkelahi melawan seorang anak kecil berusia sembilan tahun! Ia lalu mengalihkan pandang matanya, memperhatikan Sin Hong tanpa membalas penghormatan pemuda itu.

   "Aku mencari bocah bengal ini. Apamukah dia?"

   Ia melirik kepada Yo Han yang menahan dirinya untuk diam saja karena dia takut kepada gurunya. Akan tetapi dia membalas pandang mata gadis itu dengan berani dan sikapnya tenang sekali. Dia merasa tidak bersalah, maka sedikit pun tidak merasa takut.

   "Dia ini adalah muridku, Nona. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu, harap Nona suka memaafkan anak yang masih kecil ini."

   Mendengar bahwa pemuda itu guru dari anak nakal itu, lega rasa hati Siang Cun. Setidaknya, ia akan berurusan dengan gurunya, bukan dengan bocah itu.

   "Bagus!"

   Katanya.

   "Engkau adalah gurunya maka harus engkau yang bertanggung jawab atas kejahatannya! Biarpun dia masih kecil, akan tetapi dia jahat sekali. Lihat apa yang telah dilakukannya terhadap suteku ini. Dia ini suteku, akan tetapi aku yang membimbing mereka, maka aku dapat juga disebut guru mereka. Tiga orang suteku telah luka-luka karena perbuatan muridmu yang jahat ini. Lihat pergelangan tangan suteku yang ini digigit sampai terluka parah dan banyak darah terbuang."

   Sin Hong menahan senyumnya. Gadis itu lincah dan galak, menunjukkan sikap yang mengandung kegagahan walaupun ada keangkuhan membayanginya.

   "Sekali lagi maaf. Muridku telah bercerita kepadaku tentang perkelahian antara dia dan tiga orang anak-anak yang usianya lebih tua darinya. Menurut dia, dia telah dihina dan dikeroyok oleh tiga orang anak itu, maka dia membela diri..."

   

Suling Naga Eps 22 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 29 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 22

Cari Blog Ini