Si Bangau Merah 17
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah tertawa geli.
"Ahhh, yang benar, Suheng!"
Katanya memancing pujian lebih banyak. Sian Lun benar terpesona dan matanya menatap tak pernah berkedip, seolah takut kalau berkedip, keindahan di depannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja, sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan.
"Sungguh, Sumoi.... rambutmu yang hitam itu kini dilingkari cahaya kekuningan, wajahmu mencorong oleh cahaya keemasan, engkau nampak begitu segar, begitu hidup, berkilauan, matamu bercahaya, senyummu.... duhai, Sumoi, betapa cantik jelita engkau...."
Sian Lun tidak biasa merayu, akan tetapi sekali ini dia terpesona dan seperti dalam mimpi rasanya.
"Ah, masa....?"
Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.
"Sumoi, engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita mempesona dan...."
"Aiih, sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih tiba-tiba engkau memuji-mujiku seperti ini? Engkau tadi bersajak tentang Burung Bangau Merah, sekarang engkau merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?"
Sian Lun menghela napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana romantisnya, menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik napas panjang dan wajahnya berubah merah karena mengenangkan sikap dan kata-katanya tadi membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia masih terpesona seperti tadi, tentu akan dijawabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan sumoinya itu. Akan tetapi sekarang dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau sumoinya menjadi marah.
"Aku tidak mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepadamu."
Sian Li tersenyum. Gadis berusia tujuh belas tahun yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan kurang pengalaman ini masih belum sadar dan belum mengerti akan cinta kasih antara pria dan wanita. Yang dikenalnya hanya rasa sayang kepada orang-orang yang dekat dan akrab dengannya.
"Tentu saja engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoimu? Kalau tidak sayang, percuma engkau menjadi Suhengku."
Jawaban ini demikian wajar dan Sian Lun merasa betapa kecewa hatinya. Gadis ini belum tahu! Belum tahu bahwa sayangnya bukan seperti suheng terhadap sumoi, bukan seperti kakak terhadap adik, melainkan sayang yang disertai dendam rindu, disertai berahi seorang pria terhadap wanita!
"Aku sangat sayang padamu, Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padamu."
"Tentu saja! Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng? Kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita bersama-sama latihan silat di sini, belajar sastra, dan bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau memang engkau sayang kepadaku...."
"Apa yang harus kulakukan? Katakanlah, Sumoi,"
Kata Sian Lun dengan penuh gairah dan harapan. Untuk menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apalagi kalau disuruh memondong tubuh, biar sehari penuh pun dia bersedia.
"Aku haus dan ingin makan buah leci, Suheng. Kau carikan untukku, di lereng utara sana banyak pohon lecinya."
"Baik, akan kucarikan, Sumoi. Kau tunggu saja sebentar di sini."
Sian Lun lalu meloncat jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana terdapat kebun pohon leci yang luas, milik seorang hartawan yang tinggal di kota Cin-an. Dia sudah mengenal baik penjaga kebun itu dan pasti akan diberi kalau dia minta buah leci sekedar dimakan. Setelah pemuda itu pergi Sian Li duduk sambil termenung dan tersenyum-senyum. Hatinya merasa gembira oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga.
Suhengnya memang seorang kakak seperguruan yang amat baik kepadanya. Sejak ia berada di situ, lima tahun yang lalu, suhengnya selalu bersikap baik dan mengalah kepadanya. Suhengnya itulah yang membuat ia tidak merasa kesepian tinggal di rumah paman kakeknya, membuat ia tidak merasa bosan mempelajari ilmu silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suhengnya ia dapat berlatih silat, mempelajari sastra, dan bermain-main. Suhengnya seorang pemuda yang tinggi besar, gagah dan tampan, dan selalu melindunginya. Bahkan pernah suhengnya itu mengejar beberapa orang pemuda kota yang berkunjung ke dusun Hong-cun dan bersikap kurang ajar kepadanya. Ia sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suhengnya marah-marah dan menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air Sungai Kuning!
Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong oleh cemburu! Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki lereng itu. Seorang pria yang sudah tua sekali. Tadinya ia mengira paman kakeknya Suma Ceng Liong yang mencarinya. Akan tetapi setelah agak dekat, ternyata bukan. Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya model pakaian sastrawan akan tetapi pakaian itu penuh tambalan walaupun bersih. Dia mendaki lereng itu dibantu sebatang tongkat. Rambut dan cambang serta kumis jenggotnya sudah putih semua, membuat dia nampak tua dan lemah. Dalam jarak dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua tangan, mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara lembut gembira,
"Ahh, tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau Merah)!"
Sian Li mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu. Yang mengetahuinya hanyalah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, suhengnya. Bagaimana kakek ini begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu?
"Kek, siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?"
Suaranya terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.
"Siancai....! Dahulu engkau seorang bocah yang mungil lincah, sekarang telah menjadi seorang gadis yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah lupa kepadaku? Beberapa tahun yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah kakekmu, di Pao-teng."
Sian Li memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah dan berseri, senyumnya menghias wajah yang manis itu, membentuk lesung mungil di kedua pipinya.
"Aihh, kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai....!"
Ia bangkit dan cepat memberi hormat kepada kakek tua renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.
"Ha-ha-ha, memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke rumah ayah ibumu di Tatung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini menjadi guru-gurumu mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini. Aku segera menyusul ke sini. Siancai.... engkau, telah menjadi seorang gadis, yang lihai dan manis. Dan aku datang untuk menagih janji, ingat?"
"Tentu saja aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dirimu."
Kakek itu tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang membawa buah leci yang sudah masak dan cukup banyak. Melihat sumoinya tertawa-tawa dengan seorang kakek yang tidak dikenalnya, dia mengerutkan alisnya.
"Sumoi, siapakah kakek jembel ini?"
Tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli laki-laki itu tua atau muda, dia merasa tidak senang, merasa cemburu!
"Hushhh, Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah guruku, tahu engkau?"
Bentak Sian Li marah. Sian Lun cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoinya, lalu dia memberi hormat kepada kakek itu. Dia terkejut bukan main, juga heran mendengar ucapan sumoinya.
"Ah, harap Locianpwe suka memaafkan saya yang bersikap tidak sopan,"
Katanya. Bagaimanapun juga, Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra dan tata susila. Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Siancai.... kiranya Taihiap (Pendekar Besar) Suma Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid yang begini gagah. Tidak mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu nafsu menyangka buruk kepada orang lain."
Wajah Sian Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat.
"Maafkan saya, Locianpwe. Sumoi, engkau tidak pernah bercerita kepadaku tentang suhumu ini. Siapakah beliau ini?"
Sian Li menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata,
"Suhu, silakan makan. Buah-buah leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis."
Kakek itu tanpa sungkan lagi mengambil beberapa butir buah leci. Sian Li lalu menghadapi suhengnya.
"Suheng, Suhuku ini adalah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun yang lalu Suhu ini berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini dia datang memenuhi janjinya."
Kembali Sian Lun terkejut. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu pengobatan, akan tetapi juga karena ilmu silatnya, terutama ilmu totok jalan darah, yang amat lihai.
"Sekali lagi maaf, Locianpwe, atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi."
Sian Li cemberut.
"Tentu saja akan kuberitahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau telah berani menyebut Guruku kakek jembel!"
Sian Li yang amat manja terhadap suhengnya itu mengancam. Yoksian Lo-kai tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga. Suhengmu sudah, mengakui kesalahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia berani bertanggung jawab dan menyesali dan menyadari kesalahannya. Selain itu, juga aku lebih suka disebut Jembel Tua daripada Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut Jembel Tua oleh suhengmu? Ha-ha-ha!"
"Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah, sekarang cepat kau beritahukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan."
"Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu,"
Kata Sian Lun dengan hati lega. Kalau sumoinya mengadu kepada suhu dan subonya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras. Dia lalu berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum.
"Suhengmu sudah memiliki kepandaian tinggi, ilmunya berlari cepat cukup hebat,"
Kakek itu memuji.
"Ah, dia masih terlalu lambat,"
Kata Sian Li. Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu dapat berlari lebih cepat dibandingkan suhengnya dan diam-diam kakek itu kagum. Dia percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti seperti Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, apalagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya kepada dara ini.
"Sian Li, aku ingin memberitahu sedikit kepadamu tentang suhengmu itu."
Sian Li yang sedang makan leci, menghentikan gerakan mulutnya dan ia menoleh, memandang kepada kakek itu.
"Apa yang Suhu maksudkan? Suheng telah bersikap kasar, dan dia memang pantas ditegur dan...."
"Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal ingin kuperingatkan kepadamu tentang suhengmu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu, karena dia amat sayang kepadamu."
"Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suhengku? Kenapa aku harus berhati-hati dengan sikapku?"
"Dan bagaimana dengan engkau sendiri? Sayangkah engkau kepada suhengmu?"
Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata heran. Pertanyaan yang aneh, pikirnya.
"Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya? Dia berlatih bersamaku, belajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu dan dia amat baik kepadamu."
Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih polos dan belum pernah mengalami cinta berahi, maka kasih sayangnya terhadap suhengnya itu adalah kasih sayang seorang adik terhadap kakaknya.
"Maksudku, dia pencemburu besar, Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau tidak ingin melihat dia marah-marah."
"Aih, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membunuhi orang-orang itu kalau tidak kularang...."
Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda itu telah jatuh cinta pada sumoinya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali, membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang. Itu namanya cemburu,
"maka engkau harus dapat menjaga sikapmu."
Sian Li mengangguk, padahal ia tidak mengerti mengapa suhengnya bersikap seperti itu.
"Mari kita pulang, Suhu."
Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak menguji ilmu berlari cepat muridnya. Dia sendiri mengerahkan tenaganya, mengguna-kan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan larinya cepat sekali,
Sungguh tidak sesuai dengan usianya yang sudah demikian lanjut. Namun, biar ia baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil digem-bleng dan ditangani orang-orang sakti, mula-mula oleh ayah ibunya sendiri, kemudian oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara itu bukan saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan setelah tiba di rumah kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya! Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sambil tertawa melihat dara dan kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya. Yok-sian Lo-kai terkekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka.
"Aihhh.... aku sudah tua, bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?"
"Aih, jangan merendahkan diri, Suhu!"
Kata Sian Li.
"Suhu datang bukan untuk mengajarkan ilmu lari kepadaku, melainkan ilmu pengobatan!"
Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum.
Baru terasa olehnya betapa dia tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu melihat sumoinya beramah tamah dengan kakek itu. Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada Sian Li. Bukan saja pengetahuan tentang ramuan obat untuk berbagai penyakit, juga kakek itu mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan, dan yang amat menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri, kakek itu bahkan mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan. Sian Li amat berbakat, dan sudah memlliki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan saja dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Yok-sian Lo-kai kepadanya.
Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia merasa puas bahwa akhirnya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya. Setelah memesan kepada muridnya kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan, menolong orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang kejahatan, Yok-sian Lo-kai lalu meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi bertapa ke Liong-san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan peraknya kepada Sian Li. Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar kepergian Dewa Obat itu dengan perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima kasih mereka. Biarpun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci,
Namun tentu saja Sian Li hanya baru menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan dengan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah menguasai cara berlatih untuk ilmu-ilmu itu. Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua kemampuannya untuk dapat mengimbangi sumoinya. Gerakan Sian Li luar biasa cepatnya, bagaikan seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebatan bahkan kadang lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah yang diselimuti gulungan sinar pedangnya. Kalau orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bahwa pemuda dan dara itu berkelahi mati-matian.
Demikian cepat permainan pedang mereka, dan kadang nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara. Namun, sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang setelah tadi dalam berlatih silat tangan kosong Sian Lun terpaksa mengakui keunggulan sumoinya. Dalam ilmu pedang Sian Lun memang berbakat sekali maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya. Bagi dua orang muda yang sudah menguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka akan saling melukai. Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, seperti anggauta badan sendiri sehingga mereka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan mampu menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai lawan berlatih.
Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga), yaitu gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan suling namun dahsyat dan ganas seperti seekor naga mengamuk. Karena senjata suling adalah senjata yang khas dari keluarga Suling Emas, maka Kam Bi Eng mengganti suling dengan pedang dan mengajarkan mereka memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang. Kini Sian Li dalam kelebihannya dalam kecepatan gerakan, mulai mendesak suhengnya. Andaikata mereka itu bertanding sungguh-sungguh dalam sebuah perkelahian,
Tentu Sian Li akan dapat merobohkan suhengnya karena ia memiliki beberapa ilmu yang tidak dipelajari Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama sekali Ilmu Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain. Kini, karena mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka menggunakan ilmu itu saja dan karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka sukarlah untuk saling mengalahkan. Sian Li berhasil mendesak hanya mengandalkan kecepatannya, dan memang ia lebih cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali, dan hanya mampu menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoinya untuk menyerangnya, maka tentu saja dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.
"Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!"
Akhirnya Sian Lun mengakui kekalahannya. Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa bangga bahwa sumoinya demikian hebatnya.
"Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga tulang dan otot, aku masih kalah."
"Bagus sekali! Ilmu pedang yang hebat, orang-orang muda yang mengagumkan!"
Tiba-tiba terdengar pujian orang dan cepat Sian Lun dan Sian Li membalikkan tubuh dan mereka melihat dua orang yang tahu-tahu telah berada di situ, di dalam taman di mana mereka berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka ketahui,
Hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan. Sian Li memandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih usianya, namun masih tampak tampan dan jantan dengan kulit agak gelap dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di punggung kakek ini terdapat sepasang pedang dengan ronce biru. Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek yang usianya juga sekitar enam puluh, namun masih cantik dan anggun. Ia berpakaian serba kuning, dengan kerudung kepala kuning pula. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya yang tipis. Wajah wanita ini asing,bukan wajah seorang bangsa Han. Biarpun wajah kakek itu tidak asing bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.
"Kakek dan Nenek yang baik, siapakah Jiwi (Anda Berdua)? Dan ada kepentingan apakah jiwi masuk ke dalam taman kami ini?"
Sian Li bertanya dengan lembut. Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira.
"Kau lihat, bukankah ia mirip sekali dengan ibunya?"
Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata,
"Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li, bukan? Engkau Si Bangau Merah, bukan?"
Sian Li membelalakkan mata.
"Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek? Siapakah engkau? Dan siapa pula Nenek ini?"
"Ha-ha-ha-ha,"
Kakek itu tertawa.
"Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika engkau masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa, Sian Li. Aku adalah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi."
Sian Li membelalakkan matanya lagi dan mukanya berubah kemerahan mengingat ucapan kakek tadi bahwa ia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga membasahi bajunya. Kini ia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui. Berbeda dengan paman kakeknya yang kini menjadi gurunya. Suma Ceng Liong yang hanya adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini adalah adik kandung neneknya.
"Aih, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!"
Sian Li berseru gembira.
"Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek.... namanya aneh. Nenek Gangga Dewi? Tentu bukan orang Han...."
Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu.
"Suheng, ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!"
Dara yang lincah itu memberi tahu Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li.
"Anak manis, engkau cantik bukan main, Aku memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah kandungku."
Sian Li menjadi semakin gembira dan balas merangkul sambil memandang kagum. Tentu saja ia pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang puteri Kerajaan Bhutan.
"Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun. Kiranya engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!"
Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira,
Maka sebentar saja ia sudah akrab dengan kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali berkunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi murid mereka. Setelah makan bersama, dua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah.
"Ku-kong aku ikut!"
Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu.
"Aih, Sian Li, kau kira Bhutan itu dekat? Perjalanan ke sana berbulan-bulan!"
"Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu tentang Bhutan yang indah, dan dari Kong-kong Kao Cin Liong aku sering mendengar ceritanya tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman, Ku-kong. Kebetulan sekali ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali, Ku-kong!"
Suma Ceng Liong diam-diam tersenyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap cucu keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, berdarah petualang. Dia sendiri pun dahulu merupakan seorang petualang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.
"Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li? Kami tentu akan merasa tidak enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini,"
Kata Kam Bi Eng.
"Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke sini, seperti biasa setiap tahun baru mereka datang. Dan aku akan berusaha agar sebelum tahun baru dapat pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan menemaniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku ikut...."
Ia memandang kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi yang saling pandang dan tersenyum. Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya.
"Tentu saja aku akan senang sekali kalau engkau ikut ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, kami tidak akan berani."
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suma Ciang Bun berkata,
"Kami telah membeli sebuah kereta. Kalau kami mempergunakan perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru Sian Li akan dapat pulang ke sini."
Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Kalau dia membolehkan Sian Li pergi, andaikata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada mereka. Akan tetapi, kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Seolah-olah dia tidak percaya kepada mereka.
"Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendiri, tidak bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat."
Sian Li berkata dan Suma Ceng Liong tertawa.
"Hemm, engkau memang memiliki hati membaja dan kepala membatu. Orang seperti engkau ini mana mungkin bisa dilarang? Sian Lun, engkau temani sumoimu pergi ke barat."
"Baik, Suhu!"
Kata Sian Lun dengan tidak menyembunyikan suaranya yang mengandung kegembiraan besar.
"Sian Li kami membolehkan engkau pergi akan tetapi harus ditemani suhengmu agar kalau engkau pulang, ada yang menemani. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum engkau pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu."
Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan makin menggembirakan hatinya karena suhengnya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan amat menyenangkan dan juga amat membantu. Ia bersorak, lalu menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu.
"Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan memperkenankan, karena kalian adalah orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!"
Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum.
Suma Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari ke mudian, berangkatlah mereka berempat meninggalkan dusun Hong-cun. Suma Ciang Bun menjual keretanya dan sebagai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik dan mereka berempat melakukan perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang mengantar mereka sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu melihat betapa Sian Li, seperti anak kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Dara itu memang berbakat sekali menjadi seorang pendekar. Baru dua hari ia diajar menunggang kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan berani membalapkan kudanya! Bahkan Sian Lun juga kalah sigap.
Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tidak akan marah andaikata mereka datang dan Sian Li belum kembali. Mereka pun merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apalagi kepergian Sian Li ini bersama kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun. Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan perjalanan cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati. Karena mereka berempat adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertubuh kuat, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah, Suma Ciang Bun menukarkan kuda mereka dengan kuda yang masih segar dengan menambah uang. Dengan cara demikian, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi.
Pada waktu itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah berhasil mengamankan seluruh negara.. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan. Pemberontakan-pemberontakan telah dapat dipadamkan, dan biarpun masih terdapat banyak golongan yang anti pemerintah Mancu, namun gerakan mereka hanya di lakukan secara sembunyi, tidak ada yang berani berterang karena pada waktu itu kekuatan pasukan Mancu amat besar. Apalagi karena Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati dan banyak menerima orang-orang Han yang pandai, diberi kedudukan tinggi dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han yang menganggap bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun seorang Mancu, namun mementingkan rakyat jelata.
Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, dan dia telah menjadi Kaisar selama lima puluh tahun lebih! Belum pernah ada Kaisar yang memegang tampuk kerajaan selama itu dengan berhasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong bukan seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kesenangan sendiri saja. Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul, bahkan akrab dengan para pendekar, dengan rakyat jelata seringkali melakukan perjalanan secara menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai seorang yang bijaksana dan ramah tamah. Bukan hanya karena kekuatan angkatan perangnya saja Kaisar Kian Liong dapat mempertahankan kedudukannya, akan tetapi terutama sekali karena nama baiknya itulah.
Pribadi seorang pemimpin memang menentukan kelancaran pemerintahannya, karena kalau pribadi itu tidak disukai rakyat, sudah pasti menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati rakyat, Bahkan menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima kebudayaan, bahkan bahasa Han menjadi bahasa orang-orang Mancu yang memegang kendali pemerintahan. Dengan para negara tetangga, biar yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan, Kaisar Kian Liong mengadakan hubungan yang baik dan menghargai kedaulatan masing-masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat pemberontakan, maka hanya terjadi kecil-kecilan dan tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang.
Akan tetapi kini kedua perkumpulan itu bahkan bermusuhan, karena Thian-li-pang merupakan perkumpulan pejuang yang gagah dan sungguh membela rakyat, Sedangkan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok agama, bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng daripada agama aselinya, bercampur dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat. Karena kebesaran kerajaan atau Dinasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan negara-negara seperti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang diperhalus dari keadaan sebenarnya, yaitu taluk tanpa diserang lagi. Hanya Kerajaan Nepal sajalah yang pernah menentang, akan tetapi negara itu diserbu pasukan besar dan ditundukkan, akan tetapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun.
Karena keadaan yang aman itulah, Maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa ada gangguan di tengah perjalanan. Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat sebelumnya, melihat perkampungan suku-suku bangsa yang dianggapnya aneh dan amat menarik. Perkampungan-perkampungan yang dilaluinya itu berbeda sama sekali dengan daerah timur berbeda segalanya, dari rumahnya, pakaiannya, bentuk wajah dan bahasa, bahkan makanan pun berbeda! Akan tetapi setelah Gangga Dewi memperkenalkan ia dengan orang-orang asing itu, menterjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, Sian Li mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya.
Pada hakekatnya, jauh di lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan ia atau seluruh bangsa di timur. Mereka suka bersahabat, suka tertawa membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang tidak enak. Biarpun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas. Mereka pun sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka walaupun kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda diantara mereka. Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk jalan,
Pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan bagi tiga orang yang lain, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu selama hidup mereka lewat di tempat-tempat seperti itu. Biarpun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa bahwa sebelum tahun baru tiba, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong. Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan. Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan seelah menyeberangi sungai besar yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yarlung Sangbo atau terkenal pula dengan nama Brahmaputra. Mereka melintasi pegunungan yang paling besar, tinggi dan panjang di seluruh dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang menjadi tapal batas antara Bhutan dan Tibet.
Di pegunungan yang amat terkenal ini. Sian Li merasa kagum bukan main. Walaupun perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak gembira dan kagum. Siang itu, mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-dusun yang termasuk wilayah Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan kecil terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat turun dari atas kuda mereka dan memberi hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah pasukan keamanan yang menyamar dengan pakaian biasa, melakukan perondaan di daerah perbatasan itu. Setelah menerima penghormatan mereka Gangga Dewi bertanya.
"Apakah yang terjadi? Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak berpakaian seragam pula?"
Pemimpin pasukan melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini daerah perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki daerah itu. Mereka adalah mata-mata Kekuasaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Mereka ini menghasut rakyat di perbatasan Bhutan dan Tibet, untuk bersama-sama menentang dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang di perbatasan Propinsi Secuan untuk merong-rong Kerajaan Ceng.
"Ah, kalau begitu kalian harus melaksanakan tugas dengan baik. Kita tidak ingin terseret oleh pemberon-takan orang-orang Nepal itu, apalagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Nepal, petualang-petualang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan dan kekacauan,"
Pesan Gangga Dewi.
Dua orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu di Bhutan, sedangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan. Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari telah sore. Mereka akan terpaksa bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah. Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun itu. Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat betapa mereka disambut oleh penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang menyambut kedatangan Sang Puteri!
Kiranya dua orang perajurit tadi telah memberi kabar ke dusun itu, dan kepala dusun segera mengerahkan orang-orangnya untuk menyambut. Demi menyenangkan rakyatnya, Gangga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira ketika Gangga Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang bertugas menyerahkan seikat bunga kepada Sang Puteri. Sian Li memandang dengan wajah berseri dan Sian Lun mengagumi belasan orang penari yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis, dengan tarian yang lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan lenturnya, diiringi musik yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun terdengar demikian asyik dan membuat orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang itu.
Ketika mereka memasuki dusun, mereka disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu agung itu mencuci badan, kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun dipersiapkan untuk mereka. Apalagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun sebagai suaminya, para penduduk semakin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu menikah dengan seorang pria Han, bukan merupakan halangan, bahkan merupakan kebanggaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang mereka puja-puja dan kasihi, juga menikah dengan seorang pria Han yang kemudian bahkan menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah Gangga Dewi.
Malam itu, seluruh dusun bergembira dan sebuah pesta besar diadakan di pendapa rumah kepala dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir sebagai tamu di panggung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendapa, hampir seluruh penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk nonton keramaian, pertunjukan dan untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang mereka kagumi sebagai seorang puteri yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi! Serombongan penari yang cantik manis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya, menari-nari diiringi musik yang sederhana namun menggairahkan seperti musik di daerah itu, yang mempunyai pukulan gendang dan tambur seolah-olah menghidupkan semua syaraf di tubuh untuk bergerak dan menari.
Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu kehormatan dan para penari menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri. Biasanya, hanya penari istana saja yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu saja tidak pandai menari sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di antara mereka mengerling ke arah Sian Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah perkasa dan tampan, apalagi dia adalah anggauta rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para penabuh musik, para penonton, mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li
"Dewi Merah"! Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi telah memesan kepada kepada dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini mudah dilakukan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan Cina sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau yang disebut Han-Bhutan seperti Gangga Dewi kini berada di Bhutan seperti juga banyak di situ keturunan Nepal, Tibet, dan India. Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara besar Bhutan mempunyai banyak orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Banyak pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang,
Sehingga para koki bangsa Bhutan selain pandai membuat masakan khas Bhutan, pandai pula membuat masakan model Nepal, India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan. Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda. Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka lebih pantas menjadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di pinggang mereka, dan mereka menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah. Apalagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot.
Cara dia menabuh tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang bermain silat saja. Kadang-kadang dia melontarkan dua buah kayu pemukul tambur ke atas dan melanjutkan memukul tambur dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua ini dilakukan secara berirama. Sian Li kagum. Hebat memang pemuda yang usianya kurang leblh dua puluh tahun itu. Cara dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya kembali tanpa melihat karena matanya terus menatap tamburnya, seolah kedua tangannya bermata, sungguh mengagumkan. Dan pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya tidak mungkin dia itu tidak memiliki kepandaian silat dan tenaga sin-kang, pikir Sian Li. Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih.
Tarian gadis-gadis cantik itu sudah selesai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun. Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, kepalanya gundul atau botak licin dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula! Menyeramkan sekali kakek ini, terutama sepasang matanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tidak wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan Tibet yang memiliki keahlian sulap dan bermain ular! Biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur seperti seekor ular besar! Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata,
"Mulailah dengan pertunjukanmu dan lakukan sebaik mungkin."
Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda pemukul tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma menunjukkan keahliannya. Pemuda itu tetap menahadapi sebuah tambur dan sebuah gendang, dan dengan kedua tangannya, dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah ruangan pertunjukan.
Lulung Ma sudah siap. Ketika dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar menyeramkan, bahkan pemuda yang tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagunya! Padahal, pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa. Kini, pemuda itu memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur berdentam-dentam dan berirama, kemudian diimbangi suara suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar kepalan tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli ular di India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa. Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking,
Memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu lembut akan tetapi terasa aneh bagi pendengarannya. Suara suling berhenti dan kini pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walaupun dari suara gendang dapat diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gendang. Suara gendang itu bisa terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau rintik hujan. Kini, kakek muka hitam itu mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dimengerti oleh Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang sejak menjadi suami Gangga Dewi telah mempelajari bahasa daerah isterinya itu, menterjemahkan kepada mereka.
"Dia berkata bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang kosong."
Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Melihat tukang sulap mampu mengambil benda-benda dari udara, ia dahulu merasa amat kagum. Akan tetapi ayah bundanya mengatakan bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dibantu pula oleh kecepatan kedua tangannya yang sudah terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam sulapan.
"Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiapkan lebih dulu!"
Katanya, suaranya cukup keras karena dianggap-nya bahwa yang mengerti bahasanya tentu hanya mereka berempat. Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap itu menengok kepadanya dan berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara raksasa!
"Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun kecuali kedua tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik seperti dewi, dan suka berpakaian merah, maka aku menyebut Nona Dewi Merah!"
Kiranya raksasa muka hitam itu pandai bahasa Han, dengan lancar pula! Dan lebih membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruangan itu, pendapa yang terbuka menyambut ucapan rakasasa muka hitam itu dengan tawa riuh seolah mereka itu mengerti apa yang diucapkan dalam bahasa Han. Sian Li tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-orang di situ dengan bangsa Han sehingga bahasa Han bukan merupakan bahasa yang asing bagi kebanyakan dari mereka. Apalagi di antara mereka banyak pula terdapat keturunan Han. Segera terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.
"Dewi Merah....! Dewi Merah....!"
Gangga Dewi ikut pula bergembira dan ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghentikan keributan itu. Setelah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan suaminya itu,
"Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau Merah"
Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan
"Dewi Bangau Merah! Dewi Bangau Merah!"
Suma Ciang Bun terseret dalam kegembiraan itu dan dia pun mengumumkan
"Sebutan itu memang tepat sekali. Namanya memang Dewi (Sian-li)!"
Kembali orang bersorak. Ketika Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun tidak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah pemuda itu nampak muram, ia pun menahan senyumnya. Ia segera mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoinya, akan tetapi juga amat pencemburu sehingga kalau ada orang lain, terutama pria, yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak senang dan cemburu! Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara bising itu pun terhenti.
"Lulung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi hadiah bunga-bunga kepada kami semua!"
Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti biasa diperlihatkan tukang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan.... tiba-tiba saja di kedua tangannya telah memegang masing-masing setangkai bunga yang segar berikut beberapa batang daunnya, seolah-olah baru saja dia memetiknya dari udara! Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun dan juga Gangga Dewi, hanya tersenyum.
Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang memiliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju hitamnya yang longgar. Memang benar, Lulung Ma tidak mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan seperti ucapannya tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya yang dapat bergerak cepat bukan main sehingga tidak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang panjang itu ditekuk ke dalam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan bajunya. Sambil menjura ke kanan kiri menyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu kepada Gangga Dewi dan Sian Li sambil berkata lantang.
"Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi dan Dewi Bangau Merah!"
Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut tepuk tangan para penonton. Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia betapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li cantik seperti dewi. Maka dengan hati panas dia menggunakan kesempatan itu untuk berkata sambil memandang kepada raksasa hitam itu.
"Engkau hanya mengambil bunga-bunga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?"
Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak senangnya. Lulung Ma lalu bangkit berdiri, memandang kepada seluruh penonton baik yang di atas panggung maupun yang di bawah.
"Saudara sekalian, pemuda ini menuduh aku mengambil bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan baju?"
Serentak terdengar jawaban,
"Tidak....! Tidak....!"
Lulung Ma lalu tersenyum dan memandang lagi kepada Sian Lun.
"Kongcu (Tuan Muda), apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?"
Sian Lun diam saja. Andaikata di lengan bajunya ditaruhkan bunga lebih dahulu sekalipun, dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli benar. Dia menggeleng kepala.
"Suheng, jangan mencari keributan!"
Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu. Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata,
"Memang dia tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu yang menarik ini!"
Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lambat dan lirih. Akan tetapi Sian Li tadi sempat melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti orang marah. Lulung Ma kini menggerak-gerakkan kedua tangannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri, mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak,
Nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan tetapi sekali ini bukan dua batang bunga segar seperti tadi melainkan berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lampar-lemparkan kepada para tamu dan penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan tepuk tangan meriah dan seruan-seruan keheranan. Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya mempergunakan kecepatan kedua tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak oleh mata orang biasa yang tidak terlatih. Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat mengesan-kan itu, Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata,
"Sekarang hamba hendak mencoba untuk mengubah kepala hamba menjadi kepala naga, harap Paduka memaafkan hamba."
Mendengar ini, Gangga Dewi mengangguk. Diam-diam puteri ini kagum juga kepada raksasa hitam yang ternyata pandai itu, dan mendengar orang itu hendak mengubah kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat menduga bahwa Lulung Ma tentu seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf kepadanya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan kepandaiannya maka sebelumnya minta maaf. Kini Lulung Ma menghadapi para tamu dan penonton.
Kisah Si Bangau Putih Eps 24 Suling Naga Eps 17 Suling Naga Eps 9