Suling Naga 9
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Diam!"
Hardik orang baju merah itu.
"Dan jangan mencampuri urusanku!"
"Tapi, si-cu, ini adalah tempat kami, tempat kami mencari nafkah.... harap si-cu suka menerima sedikit sumbangan ini. Biarlah kami atas nama para tamu menyerahkan sumbangan ini.
"
Si kurus itu dengan tangan gemetar lalu memberikan segenggam uang itu kepada si baju merah. Si kurus melihat segenggam uang itu dan karena uang itu hanya terdiri dari uang kecil, marahlah dia.
"Aku bukan pengemis!"
Bentaknya dan sekali tangan kirinya bergerak, dia sudah mencengkeram baju si pengurus restoran bagian dadanya, mengangkat tubuh orang itu dan sekali lempar, tubuh si kurus itu terjengkang dan terbanting, uang kecil segenggam itu jatuh berhamburan di atas lantai. Tentu saja peristiwa ini amat mengejutkan semua tamu. Tiga orang tamu pria yang duduk paling depan, merasa takut dan cepat-cepat mereka membayar harga makanan ke meja pengurus yang kini sudah melangkah ketakutan dan kembali ke belakang mejanya tanpa memunguti uang yang berhamburan tadi, kemudian tiga orang itu hendak melangkah keluar dari restoran. Akan tetapi tiba-tiba orang baju merah itu sudah menghadang mereka dan memalangkan lengan kanannya depan pintu.
"Bayar dulu kepadaku seharga makanan kalian itu, baru kalian boleh keluar dari sini,"
Katanya.
"Akan tetapi kami sudah bayar makanan kami. Kalau engkau hendak minta sumbangan, seharusnya kepada pemilik restoran, bukan kepada kami!"
Kata seorang di antara tiga orang itu, sikapnya agak berani karena mereka bertiga dan pengacau itu hanya seorang saja.
"Aku minta kepada pemilik restoran atau tidak adalah urusanku, kalian tidak perlu mencampuri. Aku datang untuk minta pajak kepada kalian, kalau tidak mau beri, terpaksa aku akan mengeluarkan lagi makanan dan minuman yang tadi kalian makan!"
Ucapan ini biarpun berupa ancaman akan tetapi dianggap tak masuk akal, maka tiga orang itu berkeras menolak.
"Engkau sungguh mau enak sendiri saja!"
Seorang di antara mereka mencela. Tiba-tiba si baju merah itu bergerak. Cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu tiga orang itu telah dipukul dan ditendangnya, masing-masing satu kali dan tepat mengenai perut mereka bagian atas, bawah ulu hati. Keras sekali pukulan dan tendangan itu, mengguncangkan pencernaan mereka dan tanpa dapat dicegah lagi, tiga orang itu lalu muntah-muntah dan semua makanan yang tadi mereka makan benar saja keluar semua!
"Masih belum mau bayar?"
Bentak si baju merah. Tiga orang itu dengan menahan rasa nyeri dan ketakutan, terpaksa merogoh saku dan membayar kepada si baju merah sebanyak yang mereka bayar kepada pengurus restoran tadi.
Tamu-tamu lain dari tiga meja berikutnya, cepat membayar harga makanan dan tanpa banyak membantah merekapun membayar kepada si baju merah ketika mereka keluar dan terhadang oleh si baju merah. Kini tinggal pemuda yang duduk sendirian dan dua orang wanita yang masih melanjutkan makan minum. Bi Lan sejak tadi merasa betapa perutnya panas. Ingin sekali ia bangkit dan memberi hajaran kepada si baju merah itu. Akan tetapi ia selalu dididik oleh Sam Kwi dan Bi-kwi agar tidak mencampuri urusan orang lain kalau tidak menyangkut diri sendiri. Biar ada orang membunuh atau menyiksa orang lain, kalau hal itu tidak merugikan diri sendiri, tidak perlu dicampuri, demikian pelajaran yang diterimanya. Biarpun kini ia merasa marah sekali terhadap si baju merah,
Pelajaran itu yang sudah meresap di hatinya membuat Bi Lan menahan kemarahannya. Apa lagi karena ia melihat betapa sucinya tetap makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di tempat itu. Dan anehnya, ketika melirik ke arah pemuda itu ia melihat pemuda itu juga masih makan bakminya, perlahan-lahan seolah-olah pemuda itu sengaja berlambat makan bakminya dan memberi kesempatan kepada dua orang gadis itu untuk selesai lebih dulu dan membayar lebih dulu! Akan tetapi Bi Lan melihat betapa sucinya juga melakukan hal yang sama, seolah-olah sucinya ingin melihat pemuda itu selesai lebih dulu dan sucinya ingin menjadi tamu yang paling akhir meninggalkan tempat itu. Karena dua meja yang dinanti-nantinya itu agaknya sengaja memperlambat makan mereka, akhirnya si baju merah menjadi kehabisan sabar.
Sejak tadi dia menanti sambil mengumpulkan uang hasil pemerasannya itu ke dalam sebuah kantong kecil. Dia duduk di atas meja paling depan dan memandanq kepada pemuda dan dua orang gadis yang masih enak-enak makan minum seolah-olah dunia ini amat tenteram dan penuh kedamaian! Si baju merah menjadi tidak sabar. Dengan langkah lebar dia masuk ke dalam ruangan itu dan karena meja Bi kwi dan Bi Lan berada lebih dekat dari pada meja pemuda itu, maka si baju merah berhenti dekat meja mereka, kedua matanya yang lebar itu melotot memandang kepada Bi-kwi dan Bi Lan secara bergantian. Akan tetapi dia tidak jadi marah ketika melihat bahwa dua orang wanita itu ternyata lebih cantik dari pada ketika dilihatnya dari depan tadi. Tiba-tiba Bi Lan yang sejak tadi merasa marah dan mendongkol kepada si baju merah berkata dengan suara lantang,
"Suci, masakan di restoran ini cukup lezat, akan tetapi sayang, ada lalat merah yang mengotorkan tempat ini. Sungguh menjijikkan!"
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan dan pemuda yang duduk sendirian itu mengomel seorang diri,
"Tepat sekali, lalat merah memuakkan!"
Tentu saja si baju merah menjadi marah karena dia tahu bahwa yang dinamakan lalat merah itu tentu dirinya. Akan tetapi dia malah tersenyum menyeringai dalam kemarahannya dan berkata,
"Dua nona manis, kalian tidak perlu membayar pajak kepadaku, cukup kalau kalian masing-masing memberi ciuman di bibirku, masing-masing tiga kali. Bagaimana?"
Dia terkekeh secara kurang ajar sekali. Bi Lan melihat api bernyala di kedua mata sucinya dan kalau tadi ia marah kepada si baju merah, kini ia merasa khawatir. Tak dapat diragukan lagi, kalau sucinya bangkit dan turun tangan, tentu si baju merah ini akan mati dalam keadaan mengerikan. Ia sudah mengenal kekejaman hati sucinya kalau sedang marah dan pada saat itu, sucinya marah sekali. Maka ia mendahului sucinya, bangkit berdiri dan menghadapi si baju merah tadi. Melihat Bi Lan bangkit, si baju merah tertawa girang.
"Heh-heh, nona manis. Engkau yang akan memberi ciuman lebih dulu? Bagus, aku senang sekali!"
Katanya dan diapun meruncingkan bibirnya yang hitam kasar dan tebal.
"Plakk! Inilah ciumanku!"
"Aduhhh.... !"
Laki-laki itu terpelanting ketika pipinya terkena tamparan tangan Bi Lan. Dia merasa seolah-olah kepalanya pecah, demikian kuat-nya tamparan itu tadi. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki kepandaian maka berani menamparnya. Kemarahan membuat dia lupa akan rasa nyeri di pipinya yang sudah membengkak merah, hampir sama dengan warna pakaiannya.
"Keparat! Berani engkau memukul aku? Tidak, tahu bahwa aku seorang tokoh Ang-i Mo-pang?"
Bentak laki-laki itu dan dia sudah mencabut keluar sepasang goloknya. Tentu saja Bi Lan sudah mendengar nama perkumpulan Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah), karena sucinya pernah bercerita bahwa perkumpulan itu telah ditaklukkan oleh sucinya dan bahkan menjadi pembantunya. Akan tetapi mengapa ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang dan berani bersikap kurang ajar terhadap sucinya? Akan tetapi pada saat itu, orang baju merah itu sudah menggerakkan sepasang goloknya,
Diputar-putarnya sepasang golok itu di atas kepala, dengan muka beringas dan sikap mengancam dia hendak menyerang Bi Lan. Pada saat itu nampak cairan putih menyambar ke arah muka si baju merah yang tidak sempat mengelak dan tahu-tahu mukanya sudah kena siram kuah bakso yang panas. Dia gelagapan dan melangkah mundur, mengusap mukanya dan terutama matanya yang terasa pedih itu dengan lengan baju, lalu memandang ke kanan. Kiranya yang menyiram mukanya dengan kuah bakso dari mangkok itu adalah seorang pemuda yang tadi duduk sendirian makan bakmi di meja sebelah dalam. Sepasang mata orang berpakaian merah itu mendelik. Kemarahannya memuncak. Baru kemarahan terhadap gadis di depannya yang telah menampar mukanya saja belum terlampiaskan,
Kini muncul lagi seorang pemuda yang begitu berani mati menyiram mukanya dengan kuah bakso. Apa lagi ketika dilihatnya bahwa pemuda ini biasa saja, seorang pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna biru, tubuhnya sedang-sedang saja dan wajahnya bersih dengan kulit putih sehingga nampak cukup tampan. Tidak ada apa-apanya yang istimewa, juga tidak membayangkan seorang yang terlalu kuat atau yang memiliki ilmu silat tinggi. Agaknya, pemuda itu tadi ketika melihat si baju merah mengeluarkan golok dan hendak menyerang Bi Lan, sudah bangkit dari tempat duduknya, tangan kanan masih memegang sepasang sumpit dan tangan kiri menyambar mangkok bakso yang sudah dimakannya dan tinggal kuahnya, lalu bangkit menghampiri laki-laki itu dan menyiramkan kuah bakso.
"Kau.... kau.... keparat bosan hidup!"
Bentak si tokoh Ang-i Mo-pang dan kini goloknya yang kanan sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu. Bi Lan yang sejak tadi memandang dengan heran atas keberanian pemuda itu, kini terkejut. Akan tetapi ia tidak mau mencampuri karena ia melihat betapa pemuda itu bersikap tenang sekali. Ketika golok itu menyambar ke arah kepalanya, pemuda itu sama sekali tidak nampak takut atau hendak mengelak, sebaliknya malah mengangkat tangan kanannya yang memegang sumpit dan dengan sepasang sumpit itu dia menyambut sambaran golok.
"Wuuuuttt.... !"
Golok menyambar.
"Trakkk.... !"
Sepasang sumpit itu menyambut dan tahu-tahu sudah menjepit golok secara cepat dan luar biasa sekali. Tahu-tahu golok itu telah dijepit oleh sepasang sumpit dan tidak bergerak lagi! Si baju merah terkejut bukan main karena tiba-tiba go-loknya terhenti gerakannya. Dia cepat mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia belaka.
Goloknya seperti telah dijepit jepitan baja yang amat kuat dan sama sekali tidak mampu dia menggerakkan golok itu, apa lagi melepaskannya dari jepitan. Barulah dia dapat menduga bahwa seperti juga gadis cantik itu, si pemuda inipun ternyata bukan orang sembarangan. Akan tetapi dasar wataknya memang sombong, dia tidak mau mengerti akan kenyataan ini, dan bahkan merasa penasaran. Golok di tangan kirinya juga menyambar, dengan cepatnya dia telah menggerakkan golok kiri itu untuk menusuk perut si pemuda baju biru. Pemuda itu kembali tidak mengelak, akan tetapi tiba-tiba mangkok di tangan kirinya digerakkannya ke depan dan tepat memukul pergelangan tangan kiri lawan. Demikian cepat gerakannya sehingga sebelum golok itu menyambar, pergelangan tangan tokoh Ang-i Mo-pang sudah dihantam mangkok itu.
"Dukk!"
Si baju merah mengeluarkan seruan kesakitan dan golok itu terlepas dari tangan kirinya.
"Mundurlah kau, kami tidak minta bantuanmu!"
Tiba-tiba Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi berseru dengan suara dingin. Pemuda itu agaknya terkejut mendengar suara dingin ini dan dia menarik kembali sepasang sumpitnya, lalu melangkah mundur dan menjura ke arah dua orang gadis itu.
"Maafkan saya,"
Katanya, lalu dia kembali ke mejanya, melanjutkan makan bakminya yang belum habis! Pemuda itu bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
"Hemmm, kau masih bengong di situ, tidak lekas berlutut? Kau harus mencium lantai sampai tiga kali dan minta ampun, baru aku akan membiarkan engkau pergi dari sini!"
Kata Bi Lan dengan sikap galak dibuat-buat. Akan tetapi, orang yang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang itu agaknya tidak biasa dikalahkan orang sehingga beratlah baginya untuk mengakui kekalahannya. Apa lagi harus berlutut menciumi tanah dan minta ampun kepada seorang gadis muda! Dia tadi memang sudah merasakan kehebatan pemuda itu dan mungkin kalau dilanjutkan pertempuran, dia akan kalah. Akan tetapi gadis ini belum mengalahkannya, baru tadi menamparnya dan hal ini tidak menunjukkan bahwa gadis ini lihai.
Untung bahwa pemuda lihai itu sudah kembali ke tempat duduknya dan agaknya tidak mencampuri urusan itu. Dia kini memperoleh kesempatan melampiaskan kedongkolan hatinya kepada gadis ini, sekalian membalas tamparan yang membuat pipinya biru membengkak. Dia memang merendahkan tubuhnya, akan tetapi bukan untuk berlutut, melainkan untuk menyambar golok kirinya yang tadi terlepas dan jatuh di lantai. Kini dengan kedua batang golok di kedua tangan, orang itu lalu menyerang Bi Lan kalang- kabut seperti seekor babi buta. Tentu saja dengan mudah Bi Lan mengelak ke kanan kiri karena baginya, gerakan orang itu masih terlalu lambat. Bi Lan maklum bahwa kalau berhadapan dengan sucinya, tentu orang ini takkan selamat, tentu akan tewas atau setidaknya akan tersiksa dan terluka parah atau menderita cacad selama hidup.
Dia memang tidak suka kepada orang yang jahat, kejam dan bertindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya ini dan sudah selayaknya kalau orang ini dihajar. Akan tetapi, jangan sampai terjatuh ke tangan sucinya yang amat kejam. Dia merasa ngeri juga membayangkan apa yang akan terjadi dengan orang ini kalau terjatuh ke tangan sucinya. Oleh karena itu, ia mendahului sucinya menghajar orang ini agar cepat pergi dan terhindar dari kekejaman tangan sucinya. Sepasang golok itu menyambar-nyambar dengan ganasnya. Akan tetapi, hanya dengan gerakan kedua kakinya. Bi Lan dapat menghindarkan semua sambaran golok dan tiba-tiba kedua kakinya bergerak bergantian dan terdengarlah seruan kaget si baju merah disusul suara sepasang golok berkerontangan terlempar ke atas lantai. Kemudian, sekali tangan Bi Lan meluncur ke depan, ke arah pundak orang itu, terdengat suara
"krekk"
Disusul jeritan orang itu yang kemudian terjengkang ke atas lantai dengan tulang pundak patah!
"Nah, manusia sombong, pergilah cepat dan jangan ulangi lagi kejahatanmu memeras orang yang sedang makan di restoran!"
Kata Bi Lan. Orang itu memandang kepada Bi Lan dengan mata terbelalak. Baru sekarang agaknya dia sadar bahwa seperti juga pemuda itu, gadis ini lihai bukan main, sama sekali bukan tandingannya. Maka diapun merayap bangun, memegangi pundak kanan yang patah tulangnya dengan tangan kiri, sekali lagi memandang melotot kemudian membalikkan tubuh menuju ke pintu sambil berseru,
"Tunggu pembalasan Ang-i Mo-pang!"
"Heii, berhenti kamu!"
Tiba-tiba terdengar suara Setan Cantik, suaranya melengking dan me-ngandung rasa dingin menyusup tulang sehingga kembali pemuda sederhana yang kini sudah menyelesaikan bakminya itu memutar bangku dan menghadapinya, melihat apa yang akan terjadi. Si baju merah juga kaget dan menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu memutar tubuhnya menghadapi dua orang gadis itu. Dia sudah kalah, mau apa lagi dua orang gadis itu? Setan Cantik masih duduk di atas bangkunya dan dua batang golok milik si baju merah yang tadi terlepas dari tangannya kini berada di depan kaki itu. Dengan kaki kirinya yang bersepatu merah, Bi kwi mencokel sebatang golok dan begitu wanita itu menggerakkan kakinya, golok itu terlempar dan jatuh berkerontangan ke depan kaki si tokoh Ang-i Mo-pang.
"Kamu sudah berdosa terhadapku, hayo cepat tinggalkan tangan kananmu!"
Bentak Setan Cantik dengan suara dingin. Laki-laki baju merah itu memandang dengan mata terbelalak, belum mengerti apa maksud wanita cantik itu.
"Apa.... apa maksudmu....?"
Tanyanya, masih penasaran, marah akan tetapi juga jerih.
"Ambil golok itu dengan tangan kirimu dan buntungi tangan kananmu, baru kau boleh pergi membawa nyawa tikusmu dari sini,"
Kata pula Si Setan Cantik. Orang itu terbelalak dan mukanya menjadi pucat.
"Suci, kurasa tidak perlu begitu!"
Bi Lan juga berkata dengan hati ngeri mendengar tuntutan sucinya.
"Diam! Kau anak kecil tahu apa!"
Bentak sucinya kepada Bi Lan yang tak dapat berkata apa-apa lagi karena tentu saja ia tidak mau ribut dengan sucinya hanya untuk membela orang yang jahat dan kurang ajar itu.
Sementara itu, pemuda yang nonton tidak memperlihatkan apa-apa pada wajahnya yang tetap tenang itu. Si baju merah itu memandang dengan muka berobah merah sekali, akan tetapi kemudian menjadi pucat lagi. Dia merasa terhina dan marah bukan main, akan tetapi juga maklum bahwa kalau dia menyerang lagi, sama saja dengan membunuh diri. Maka dia lalu mendengus tanpa menjawab, lalu membalikkan tubuhnya lagi. Akan tetapi dengan gerakan yang cepat bukan main, Ciong Siu Kwi atau Si Setan Cantik itu sudah menyambar golok ke dua dari atas lantai, kemudian sekali tangannya bergerak, golok itu meluncur ke depan, ke arah tokoh Ang-i Mo-pang yang hendak pergi itu.
"Crakkk.... cappp....!"
Golok itu meluncur seperti kilat, menyambar dan mengenai lengan kiri si baju merah, dan setelah membabat putus lengan itu sebatas siku, golok masih meluncur terus dan menancap pada daun pintu!
"Aduhhhh....!"
Si baju merah menjerit dan terhuyung-huyung, lalu membalik dan memandang ke arah buntungan lengannya di atas lantai, kemudian memandang kepada lengan kirinya yang tinggal sepotong dan sambil menjerit panjang dia lalu melarikan diri dari tempat itu, meninggalkan darah yang berceceran di sepanjang jalan. Tentu saja peristiwa ini mengejutkan pengurus restoran dan para pelayan,
Juga nampak banyak orang nonton di luar restoran itu walaupun mereka hanya berani nonton dari jauh ketika tadi mendengar ada orang berpakaian merah memeras para pengunjung restoran. Akan tetapi Setan Cantik tidak memperdulikan semua itu, malah meneriaki pelayan untuk menambah arak dan menambah satu kilo daging bebek panggang! Wanita ini nampak tenang saja hanya satu kali melempar pandang ke arah pemuda yang juga masih duduk di tempatnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun atau sikap yang merasa heran. Diam-diam Bi-kwi mendongkol melihat pemuda itu yang bersikap tak acuh, seolah-olah perbuatannya tadi tidak hebat dan tidak ada apa-apanya untuk dikagumi. Melihat para pelayan sibuk dan kelihatan bingung ketakutan memandang ke arah potongan lengan di dekat ambang pintu, Bi Lan lalu berkata kepada mereka,
"Harap kaiian tidak menjadi bingung. Kami sedang menanti kembalinya orang tadi bersama kawan-kawannya!"
Akan tetapi, pengurus restoran itu lalu menghampiri mereka dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi dengan tubuh gemetar dan muka pucat.
"Harap ji-wi lihiap suka mengampuni kami...."
Bi-kwi mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar ke arah muka pengurus restoran itu.
"Sekali lagi kau menyebut lihiap, kau akan kubunuh!"
Tentu saja pemilik restoran itu terkejut bukan main dan menjadi semakin ketakutan.
"Sebut nona kepada suciku,"
Kata Bi Lan yang maklum bahwa ancaman sucinya tadi bukan ancaman kosong belaka. Sucinya menganggap semua pendekar di dunia persilatan sebagai manusia-manusia sombong dan sebagai musuh-musuhnya, maka sebutan lihiap (pendekar wanita) yang selalu dimusuhinya merupakan penghinaan bagi dirinya.
"Siocia.... harap sudi memaafkan saya.... kami.... kami tidak berani tinggal di sini lebih lama lagi.... ijinkanlah kami pergi dari, tempat ini...."
Kembali Bi-kwi yang menjawab dengan suara kaku,
"Siapa yang berani meninggalkan tempat ini akan kubuntungi lengannya juga seperti orang tadi!"
Bi Lan cepat mendekati pengurus restoran itu, seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun.
"Lopek (paman tua), dengarlah baik-baik. Suci hendak tinggal di sini sebentar untuk menunggu kembalinya orang tadi yang tentu akan membawa teman-temannya. Kalian semua tenang-tenang sajalah dan layani permintaan suci. Jangan ada yang keluar dari sini kalau tidak mau celaka."
"Tapi.... tapi.... dia tadi adalah orang dari perkumpulan Ang-i Mo-pang, aduh akan celaka kita semua...."
"Diam dan kembali ke tempatmu!"
Bi Lan kini menghardiknya karena gadis inipun merasa jengkel melihat kecengengan orang itu. Dihardik demikian, kuncup rasa hati si pengurus restoran dan diapun bangkit, lalu melangkah kembali ke tempat duduknya dengan muka tunduk, sedangkan para pelayan berkumpul di belakangnya dengan muka pucat. Akan tetapi, mereka melayani pesanan Bi-kwi dengan cepat.
"Aku minta bebek panggang seperti itu!"
Tiba tiba terdengar pemuda tadi berseru, suaranya lembut akan tetapi nadanya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia gentar atau heran.
Pengurus restoran dan para pelayan tentu saja khawatir sekali dan diam-diam memaki pemuda yang tidak tahu diri itu. Bagaimana kalau nona-nona galak itu marah dan membuntungi lengannya atau membunuhnya? Akan tetapi anehnya, dua orang gadis itu sama sekali tidak memperdulikan sikap pemuda itu. Hanya Bi Lan yang mengerling dan melihat betapa pemuda itu juga mengerling kepadanya, iapun cepat-cepat mengalihkan pandang matanya. Diam-diam Bi Lan juga menduga-duga siapa adanya pemuda yang lihai itu, dan mengapa pemuda itu agaknya memang sengaja hendak menunggu kelanjutan dari peristiwa ini. Akan tetapi, Bi Lan juga tidak ambil perduli dan iapun makan bebek panggang bersama sucinya. Mereka bertiga masih makan dengan santai ketika terdengar suara ribut-ribut di luar pintu restoran.
"Inilah restorannya."
"Dan itu potongan lengan A Pai!"
Muncullah tiga orang laki-laki berpakaian serba merah. Yang paling depan adalah seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun, bertubuh tinggi kurus bermuka pucat dan di punggungnya tergantung sepasang golok melintang. Dua orang lain bertubuh tinggi besar dan mereka memegang sebatang pedang terhunus dengan sikap galak. Akan tetapi, begitu mereka memasuki restoran, melangkahi lengan buntung yang menggeletak di atas lantai lalu memandang ke arah Bi-kwi, tiga orang itu terbelalak.
"Ciong-siocia....!"
Kakek tinggi kurus muka pucat itu berseru. Bi-kwi masih duduk saja dan kini ia memandang kepada tiga orang itu dengan sinar mata penuh selidik lalu terdengarlah suaranya yang dingin menyeramkan,
"Hemmm, kalian datang untuk membela lengan buntung itu dan menebusnya dengan kepala kalian?"
Mendengar suara ini, tiba-tiba kakek itu bersama dua orang temannya menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi.
"Siocia.... ampunkan kami.... ah, siapa tahu bahwa Siocia malah yang berada di sini? Sungguh pertemuan ini merupakan berkah dari langit, karena siapa lagi yang akan menolong kami selain Siocia?"
Si Setan Cantik memandang dengan alis berkerut.
"Tee Kok! Seorang anak buahmu berani kurang ajar kepadaku dan kini kau datang malah hendak minta tolong? Omongan apa ini? Hayo katakan dulu siapa pemilik lengan itu dan bagaimana anak buahmu sampai tidak mengenal aku?"
"Itulah, Siocia. Dia bukan anak buah kami, dia anak buah orang yang baru datang sebulan yang lalu. Dia datang dan menalukkan saya, kemudian memaksa untuk mengambil alih kedudukan ketua Ang-i Mo-pang, dia bersama belasan orang anak buahnya yang menguasai keadaan. Orang tadi adalah seorang di antara mereka."
Bi-kwi mengangguk-angguk.
"Hemmm.... begitukah? Siapa dia?"
"Dia tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan teman-temannya juga tidak tahu siapa namanya, akan tetapi memakai julukan Thian-te Siauw-ong dan minta disebut Siauw-ong! Akan tetapi ilmu kepandaiannya amat hebat, Siocia."
"Apakah dia masih muda?"
Tanya Bi-kwi sambil menengok ke arah pemuda yang masih duduk di tempatnya semula.
"Semuda dia itu?"
Ia menuding ke arah pemuda itu. Kakek tinggi kurus muka pucat itu adalah Tee Kok, ketua Ang-i Mo-pang yang lihai! Seperti kita ketahui, kakek ini telah menjadi pembantu Bi-kwi dan dia bersama seluruh anggauta Ang-i Mo-pang telah menjadi pembantu Bi-kwi, maka tadi Bi Lan merasa heran melihat ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang berani kurang ajar terhadap sucinya. Setelah mendengar penuturan kakek itu, barulah Bi Lan tahu mengapa terjadi hal yang aneh itu. Kiranya orang yang lengannya dibuntungi sucinya tadi bukan anggauta aseli dari Ang-i Mo-pang, melainkan pendatang-pendatang baru yang mengambil alih kedudukan pimpinan di perkumpulan iblis itu. Tee Kok mengangkat muka memandang pemuda itu.
"Masih muda, akan tetapi tidak semuda itu. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun."
"Hemm, pria-pria muda sekarang ini memang besar kepala, sombong dan berlagak. Pangcu, aku akan segera menemui laki-laki sombong Thian-te Siauw-ong itu, akan tetapi lebih dulu, aku minta engkau suka memberi hajaran kepada laki-laki muda yang jumawa ini!"
Kembali ia menuding ke arah pemuda itu.
"Suci, perlu apa mencari perkara? Dia tidak bersalah apa-apa."
Bi Lan menegur sucinya karena ia khawatir kalau pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu celaka di tangan sucinya.
"Siauw-kwi, diamlah kau! Orang ini telah kurang ajar sekali, sombong memamerkan sedikit kepandaiannya kepada kita, perlu dihajar. Hendak kulihat apakah kepandaiannya juga sebesar kesombongannya! Kalau dia mampu mengalahkan Ang-i Mo-pangcu, biarlah kuampuni karena kesombongannya itu beralasan. Akan tetapi kalau dia kalah, biarlah dia membawa mati kesombongannya itu. Pangcu hajar dia sampai mati!"
Tee Kok adalah ketua Ang-i Mo-pang, perkumpulan yang tentu saja termasuk golongan sesat. Nama perkumpulannya saja Perkumpulan Iblis Baju Merah!
Dan Tee Kok sendiri adalah bekas anggauta perkumpulan Hek-i Mo-pang yang terkenal ganas dan jahat. Maka, kini mendengar perintah Bi-kwi yang ditakutinya itu, dia tersenyum menyeringai, bangkit berdiri dan dengan pandang mata memandang rendah dia menghampiri pemuda yang masih duduk dengan tenang itu. Bagi orang yang sudah biasa melakukan kejahatan seperti Tee Kok, perintah untuk menghajar orang tentu saja dianggap amat menyenangkan. Pertama, dia sendiri memang berwatak sadis dan memperoleh nikmat dari menyiksa orang lain. Ke dua, dia memperoleh kesempatan untuk memenuhi perintah orang yang ditakutinya dan menyenangkan orang itu. Ke tiga, dia mengharapkan bantuan Bi-kwi untuk menentang musuh yang merampas kedudukannya, maka kini dia harus lebih duhulu membuat jasa.
"Orang muda, bangkit dan majulah untuk menerima hajaran dariku, heh-heh!"
Tee Kok berkata sambil terkekeh dan diapun sudah melolos sepasang goloknya. Dia bermaksud untuk menyiksa orang ini, tidak segera membunuhnya karena hal ini tentu akan makin menyenangkan hati Si Setan Cantik. Bi-kwi memang memandang dengan wajah berseri.
Sama sekali bukan karena kegirangan hatinya akan melihat betapa pembantunya itu menyiksa dan membantai pemuda itu. Tidak, ia bukan orang yang demikian tolol. Dari gerakan pemuda tadi, ia cukup dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang yang begitu mudah untuk dikalahkan. Dan inilah yang menggembirakan hatinya. Ia akan melihat tontonan yang amat menarik, perkelahian yang seru dan mati-matian. Sebaliknya, Bi Lan nonton dengan hati gelisah dan alis berkerut. Gadis ini sama sekali tidak me-nyetujui akan sikap dan tindakan sucinya. Pemuda itu sama sekali tidak berdosa, bahkan kalau tadi pemuda itu maju menentang si baju merah, bukankah hal itu menunjukkan bahwa pemuda itu membela ia dan sucinya? Kenapa hal itu dianggap suatu kesombongan dan kekurangajaran oleh sucinya yang kini demikian kejam untuk menyuruh orangnya membunuh pemuda itu?
Tidak, ia tidak setuju dan diam-diam gadis inipun sudah siap untuk mencegah dan melindungi pemuda itu apa bila perlu. Ia kini, tidak perlu berpura-pura takut kepada sucinya lagi. Memang, ia sudah berjanji untuk membantu sucinya, akan tetapi bantuan yang terbatas pada perampasan pusaka Liong-siauw-kiam dan usaha sucinya untuk menjadi beng-cu. Itu saja. Ia tidak akan membantu sucinya dalam hal lain, dan jelas tidak akan membantu sucinya melakukan kejahatan-kejahatan seperti apa yang akan dilakukannya terhadap pemuda ini. Pemuda itu bangkit berdiri, tangan kanannya masih memegang sepasang sumpit. Melihat Tee Kok dan dua orang temannya yang berpakaian merah-merah, diapun melirik ke arah Bi Lan dan berkata.
"Eh, seekor lalat merah diusir pergi, malah datang tiga ekor!"
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena merasa bahwa pemuda itu bicara dengan menyangkut dirinya yang menjadi orang pertama yang menggunakan istilah lalat merah, Bi Lan menahan senyumnya, akan tetapi ia segera berkata kepada sucinya.
"Suci pernah bilang bahwa ketua Ang-i Mo-pang yang menjadi pembantunya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau kini mampu mengalahkan pemuda yang tak terkenal ini dengan sepasang goloknya, sungguh itu namanya nama besar yang tidak sesuai dengan kenyataannya."
Bi-kwi mengerutkan alisnya dan menoleh kepada sumoinya dengan sikap marah. Ia merasa tidak pernah memuji-muji kepandaian Tee Kok di depan sumoinya dan tahulah ia bahwa sumoinya itu sengaja menggunakan taktik mengangkat lalu membanting, yaitu pura-pura memuji Tee Kok untuk menjatuhkannya.
Dan memang taktiknya itu berhasil. Ketika melihat Bi Lan, Tee Kok tidak mengenal siapa wanita muda cantik yang duduk dengan Bi-kwi yang ditakutinya itu. Akan tetapi kini gadis itu menyebut suci kepada Bi-kwi. Maka, kini mendengar pujian tentang kelihaiannya, dia tertawa bergelak dan cepat menyimpan kembali dua buah goloknya dan menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong saja sambil tersenyum lebar kepada Bi Lan! Melihat ini, Bi kwi mengerutkan alis makin dalam dan sama sekali tidak setuju, akan tetapi iapun diam saja. Bagaimanapun juga, Tee Kok marah kepada pemuda itu yang jelas memakinya sebagai lalat merah, Baiknya, kemarahannya itu disiram oleh kesenangan hati dipuji oleh seorang gadis cantik yang menjadi sumoi Bi-kwi, maka kini dia dapat menghadapi pemuda itu dengan senyum lebar.
"Orang muda, majulah dan mari kau berkenalan dengan kaki tanganku yang sudah gatal-gatal karena beberapa hari lamanya tidak pernah menghajar orang, heh-heh!"
Katanya dengan sikap jumawa sekali. Pemuda itu tersenyum.
"Seekor lalat merah sudah kehilangan sengatnya, tinggal suaranya saja mengiang membisingkan."
Tentu saja Tee Kok menjadi semakin marah.
"Bocah keparat! Kalau begitu aku tidak hanya akan menghajarmu, akan tetapi juga akan membunuhmu!"
Baru saja dia berhenti bicara, tubuhnya sudah menubruk ke depan dengan gerakan cepat dan kuat. Kedua lengannya dikembangkan dan menyerang dari kanan kiri, seperti seekor harimau yang menubruk domba.
Tee Kok memang ingin menerkam dan menangkap pemuda itu pada kedua pundaknya, karena dia yakin bahwa begitu dia berhasil mencengkeram pundak dan mencengkeram jalan darah di kedua pundak, pemuda itu tentu takkan mampu berkutik lagi. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak tergesa-gesa menghadapi serangannya. Pertama-tama, sepasang sumpit yang tadi dipegang di tangan kanan, kini dia selipkan dulu di ikat pinggang. Setelah itu, barulah dia menghadapi serangan lawan sementara kedua lengan lawan sudah dekat sekali dan kedua tangan Tee Kok dengan jari-jari tangan terbuka sudah hampir menyentuh kedua pundaknya. Tiba-tiba kedua tangan pemuda itu dari bawah bergerak naik dan kedua lengannya sudah menangkis dua lengan lawan dari bawah, dan begitu menangkis keluar, kedua tangan itu dilanjutkan ke depan menghantam dada.
"Dukk....!"
Dada kanan kiri ketua Ang-i Mo-pang terdorong oleh kedua tangan pemuda itu sehingga tubuhnya terjengkang ke belakang. Dia terbanting roboh dan terbatuk-batuk keras karena isi dadanya seperti rontok terkena dorongan kedua tangan tadi. Dia merasa marah dan malu bukan main. Pemuda itu hanya mempergunakan gerakan yang biasa saja, menangkis dari dalam kemudian mendorong dari dalam seperti itu hanya merupakan gerakan-gerakan dasar yang dipelajari oleh semua orang yang berlatih silat. Akan tetapi hebatnya, justeru gerakan sederhana ini telah berhasil merobohkannya dan dia terbatuk-batuk seperti orang terserang penyakit mengguk, sampai terpingkal-pingkal. Bi Lan yang masih duduk di atas kursinya mengejek.
"Eh, pangcu. Engkau ini datang mau menghajar orang ataukah mau demonstrasi caranya orang batuk-batuk?"
Pengurus restoran dan para pelayan yang menonton sejak tadi dengan hati penuh rasa takut, hampir tak dapat menahan ketawa mereka.
Akan tetapi dengan sekuat tenaga mereka menahan ketawa dan bersembunyi di balik meja dan kursi. Tee Kok bangkit dengan muka merah dan mata melotot. Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan dan dibikin malu. Akan tetapi, orang yang berwatak sombong selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Dia menganggap bahwa kekalahannya tadi hanya terjadi karena dia memandang rendah saja. Pemuda itu tadi merobohkannya bukan dengan ilmu silat yang hebat, hanya dengan gerakan sederhana dan andaikata dia tidak memandang rendah dan tidak bertindak sembrono dalam penyerangannya, tak mungkin pemuda itu akan mampu merobohkannya. Demikianlah pendapat orang yang selalu mengagulkan diri sendiri dan sikap ini jelas merugikan diri sendiri, membuat dia bertindak ceroboh.
"Bocah keparat, bersiap-lah untuk mampus!"
Teriaknya dan dia sudah mencabut lagi sepasang goloknya. Dia tidak dapat tersenyum-senyum lagi sambil melirik ke arah Bi Lan seperti tadi. Sepasang matanya ditujukan kepada pemuda itu dan di dalam pandang matanya memancar nafsu membunuh. Akan tetapi pemuda baju biru itu hanya memandangnya dengan sikap tenang dan tahu-tahu sepasang sumpit tadi sudah berada di tangannya, kini di kedua tangan, masing-masing sebatang
(Lanjut ke Jilid 09)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
sumpit bambu kecil itu.
Golok kanan menyambar disusul golok kiri, yang kanan menabas ke arah leher sedangkan yang kiri menusuk perut. Semua orang yang menonton perkelahian itu, kecuali Bi-kwi, dan juga Bi Lan yang masih terus siap melindungi pemuda itu kalau perlu, merasa ngeri dan membayangkan bahwa tak lama lagi pemuda itu tentu akan roboh menjadi mayat dengan tubuh tidak utuh lagi. Akan tetapi, terjadilah keanehan. Sepasang golok di tangan Tee Kok itu, sekian kali menyambar ke arah tubuh pemuda itu, selalu terhenti di tengah jalan dan ditarik kembali seolah-olah ketua Ang-i Mo-pang itu tidak tega melukai tubuh si pemuda baju biru! Dan sebagai lanjutan dari sikap tidak tega ini, kakek kurus pucat itu menyerang semakin hebat saja dan semakin marah walaupun semua serangannya itu kemudian terhenti pula.
Hanya Bi-kwi dan Bi Lan yang tahu apa yang telah terjadi dan mereka berdua terkejut, juga Bi-kwi merasa terheran-heran dan Bi Lan merasa kagum sekali. Sama sekali bukan karena Tee Kok merasa tidak tega melukai pemuda itu, melainkan dia terpaksa menahan serangannya karena kalau dilanjutkan, bukan lawannya yang terbacok atau tertusuk golok, melainkan dia sendirilah yang akan celaka. Kiranya, setiap kali dia menyerang, baik dengan golok kanan maupun kiri, sebelum senjatanya itu mengenai tubuh lawannya, tiba-tiba saja sebatang sumpit telah menghadang dan mengancam dekat sekali dengan jalan darah di pergelangan tangan, siku maupun bawah pangkal lengan sehingga kalau dia meneruskan serangannya itu, sebelum senjata menyentuh tubuh lawan yang menjadi sasaran, terlebih dulu ujung sumpit itu akan menotok jalan darahnya!
Ke manapun juga dia menyerang, selalu saja sumpit-sumpit itu membayanginya dan mendahului setiap serangannya. Tentu saja hal ini membuat Tee Kok terkejut, keheranan dan juga penasaran lalu menjadi marah bukan main sehingga setiap kali dia terpaksa menarik goloknya lalu dia menyerang lagi dengan lebih ganas! Namun sama saja, agaknya pemuda itu memiliki gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga sumpit-sumpitnya selalu menodong ke arah jalan darah yang akan melumpuhkan lengan Tee Kok kalau serangannya dilanjutkan. Bi-kwi sejak tadi juga nonton perkelahian itu dan diam-diam wanita inipun merasa heran dan pe-nasaran sekali. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok. Biarpun tidak terlalu tinggi dan ia sendiri dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja akan mampu merobohkannya, akan tetapi melihat perkelahian itu,
Ia tahu bahwa kalau pemuda baju biru itu mau, dalam segebrakan saja sumpitnya tentu akan mampu melakukan totokan dan merobohkan Tee Kok. Ia memperhatikan dan ingin mengenal ilmu silat yang dimainkan pemuda itu agar ia akan mengetahui dari perguruan mana pemuda itu. Namun, pemuda itu bergerak sembarangan saja dan agaknya malah tidak bersilat, hanya kedua lengannya yang selalu bergerak cepat melakukan penodongan dengan sumpit-sumpitnya itu melenggak-lenggok macam dua ekor ular saja. Tentu semacam Ilmu Silat Ular, pikirnya, akan tetapi dari cabang manakah? Sebagai seorang tokoh sesat yang berpengalaman, dan sudah banyak bertanding, melawan orang-orang dari berbagai partai persilatan, Bi-kwi banyak mengenal ilmu-ilmu silat dari dunia persilatan.
Akan tetapi kini ia mendongkol sekali karena ia sungguh harus mengaku bahwa ilmu silat yang dimainkan pemuda baju biru itu sama sekali tidak dikenalnya. Sebetulnya, hal itu tidak mengherankan karena ilmu silat yang dimainkan pemuda itu bukanlah ilmu silat biasa, melainkan ilmu silat yang sumber atau asalnya dari keluarga para pendekar Pulau Es! Pemuda itu bukan lain adalah Gu Hong Beng, putera tunggal mendiang Gu Hok, tukang kayu di Siang-nam yang tewas oleh Bong-ciangkun komandan Siang-nam itu. Seperti telah kita ketahui, Gu Hok dan isterinya tewas, akan tetapi putera tunggal mereka yang bernama Gu Hong Beng dan pada waktu itu baru berusia sebelas tahun, diselamatkan oleh pendekar Suma Ciang Bun, seorang pendekar dari keluarga Pulau Es. Anak itu kemudian menjadi murid Suma Ciang Bun.
Selama hampir delapan tahun lamanya Hong Beng digembleng dengan keras dan tekun oleh Suma Ciang Bun. Karena dia memang berbakat baik sekali, maka kini dia telah menjadi seorang murid yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es dengan baiknya. Menghadapi Tee Kok yang menyerangnya dengan sepasang golok, Hong Beng mainkan ilmu yang sebenarnya bersumber pada Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang menjadi satu di antara ilmu-ilmu keluarga para pendekar Pulau Es, akan tetapi dimainkan dengan sepasang sumpit. Tentu saja Bi-kwi tidak mengenal ilmu itu!
Kini, setelah lewat belasan jurus dan semua serangan Tee Kok dapat dihentikannya dengan todongan sumpit yang siap menotok jalan darah, mendahului kalau serangan golok dilanjutkan, tiba-tiba Hong Beng menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali dan mereka yang nonton perkelahian itu melihat betapa permainan sepasang golok itu menjadi kacau balau, tidak sempat menyerang lagi melainkan diputar-putar untuk melindungi tubuhnya. Hal ini adalah karena tiba-tiba sepasang mata Tee Kok seperti berkunang-kunang rasanya, melihat betapa sepasang sumpit bambu itu berobah menjadi ratusan batang banyaknya. Tiba-tiba saja ada sebatang sumpit berada di depan matanya, siap menusuk matanya, lalu tiba-tiba saja menempel pada telinga, hidung, leher, dada dan bagian-bagian anggauta tubuh lain yang amat berbahaya.
Sekali saja sumpit itu ditusukkan, biarpun hanya terbuat dari pada bambu kecil, tentu dapat menewaskannya. Tiba-tiba terdengar Hong Beng mengeluarkan suara ketawa tertahan dan tahu-tahu tubuh Tee Kok tak bergerak lagi, berdiri dalam sikap hendak menyerang. Tubuh itu kaku, matanya melotot, golok kanan diangkat tinggi-tinggi dan golok kiri siap menyapu kaki lawan. Kiranya tubuhnya telah tertotok dua kali berturut-turut dan akibatnya, tubuh itu menjadi kaku seperti sebuah arca yang lucu. Hong Beng tidak berkata apa-apa lagi, lalu berjalan kembali ke kursinya dan duduk sambil minum araknya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Melihat ini, wajah Bi-kwi berobah merah sekali. Pemuda itu memang terlalu besar kepala, pikirnya. Memang lihai, dan berhasil mengalahkan Tee Kok secara mutlak,
Akan tetapi di depannya bersikap begitu acuh, sungguh menggemaskan. Bi-kwi menggerakkan tangannya, dua kali menepuk pundak dan punggung Tee Kok. Tubuh yang tadinya kaku itu roboh terpelanting, akan tetapi dapat bergerak lagi dan kini Tee Kok yang sudah yakin akan kehebatan pemuda itu, tak berani banyak lagak lagi hanya mengharapkan agar Bi-kwi dapat membalaskan kekalahannya. Setelah membebaskan totokan tubuh Tee Kok, Bi-kwi lalu menoleh kepada Hong Beng, sejenak memandang pemuda yang sedang minum itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sinar putih halus menyambar ke arah telinga kiri pemuda itu. Tentu saja sebagai murid seorang pendekar Pulau Es, Hong Beng tahu akan serangan gelap ini, serangan benda kecil yang agaknva ditujukan untuk melukai daun telinganya.
Diapun tahu bahwa penyerangnya adalah wanita cantik yang suaranya kadang-kadang dapat dingin seperti es itu, sinar matanya kadang-kadang tajam menusuk dan panas membara, kadang-kadang lembut dan dingin sejuk, yang oleh ketua Ang-i Mo-pang disebut Ciong Siocia. Hong Beng tidak mengelak, melainkan menggerakkan sebelah tangannya seperti orang hendak menggaruk-garuk kepala dan pada saat tangannya menuju ke kepala itulah dia menangkap benda kecil itu dengan ibu jari dan telunjuknya. Dan betapa kagumnya melihat bahwa benda yang dijadikan senjata rahasia itu hanyalah sebatang biting pencokel gigi! Kalau tidak memiliki tenaga sin-kang yang kuat dan juga kepandaian tinggi, tak mungkin mempergunakan benda sekecil dan seringan itu sebagai senjata rahasia yang ampuh!
"Terima kasih,"
Katanya seperti kepada diri sendiri.
"Akan tetapi gigiku belum ada yang berlubang, tidak membutuhkan tusuk gigi!"
Yang dapat melihat semua ini hanyalah Bi-kwi dan Bi Lan dan kedua orang wanita ini tentu saja menjadi makin kagum. Akan tetapi Bi-kwi semakin marah dan ia sudah melangkah hendak menantang pemuda itu. Bi Lan agaknya maklum akan niat sucinya, maka lebih cepat lagi ia melangkah dan menghadang di depan sucinya, berkedip dan berkata,
"Suci, janjimu tadi tidak boleh kau langgar sendiri, hal itu akan mencemarkan nama besarmu. Selain itu, bukankah di sana menanti tugas yang lebih penting, untuk membantu Ang-i Mo-pang?"
Sejenak, dengan kemarahan meluap, Bi-kwi menentang pandang mata adiknya.
Kemudian iapun teringat bahwa tadi ia berjanji bahwa kalau pemuda itu mampu mengalahkan Tee Kok ia akan mengampuni pemuda itu. Kini Tee Kok benar-benar telah dikalahkan, kalau kini ia turun tangan membunuh pemuda itu, berarti ia melanggar janjinya sendiri. Memang menurut wataknya, ia tidak perduli akan segala macam janji. Tidak dikenal kehormatan di dunia kaum sesat! Akan tetapi, melihat adiknya seperguruan menentang, dan mengingat bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, sedangkan kini Ang-i Mo-pang menanti ia turun tangan terhadap orang yang mengambil alih kedudukan dengan kekerasan, maka sebaiknya memang kalau ia melepaskan pemuda ini. Ia menarik napas panjang dan mendengus.
"Biarlah kuampunkan dia untuk kali ini. Lain kali kalau dia berani kurang ajar lagi dan bersikap sombong di depanku, tentu kepalanya yang kini kutitipkan kepadanya akan kuambil!"
Ia lalu mengibaskan lengan bajunya dan keluar dari rumah makan diikuti oleh Bi Lan. Pengurus restoran dan para pelayan tidak berani menghalangi biarpun dua orang wanita itu agaknya lupa untuk membayar harga makanan dan minuman. Bagaimanapun juga, dua orang wanita itulah yang telah mengusir orang berpakaian merah tadi, dan juga yang menaklukkan orang-orang Ang-i Mo-pang yang datang kemudian. Tee Kok yang sudah tidak berani berlagak lagi, cepat menjadi penunjuk jalan, mengajak Bi-kwi dan Bi Lan untuk menemui orang yang telah mengambil alih kedudukannya sebagai ketua Ang-i Mo-pang. Hong Beng hanya tersenyum mendengar ucapan Bi-kwi tadi. Dia lalu bangkit, memanggil pengurus rumah makan itu.
"Hitung sekalian dengan makanan dan minuman kedua orang nona tadi. Agaknya karena sibuk mereka lupa membayar, biarlah aku yang membayarnya sekalian."
"Si-cu tidak usah membayar, kami bahkan merasa bersyukur bahwa si-cu kebetulan berada di sini tadi...."
Kata pengurus rumah makan. Akan tetapi Hong Beng berkeras membayar harga makanan dan minuman.
"Kalian sudah menderita banyak kaget dan rugi, juga harus menyingkirkan benda itu, bagaimana aku tega untuk tidak membayar harga makanan?"
Setelah membayar harga makanan, Hong Beng, cepat meninggalkan restoran itu karena dia mengambil keputusan untuk membayangi dua orang gadis tadi yang agaknya hendak membantu Ang-i Mo-pang yang diambil alih oleh golongan lain. Tentu akan terjadi hal yang amat seru, pikirnya. Hong Beng selama beberapa tahun terakhir ini bersama gurunya tinggal di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Koa-li-kung, di tepi Sungai Me-kong yang sunyi. Lembah Sungai Me-kong ini amat subur dan di tempat sunyi itu mereka berdua hidup dengan tenteram, mencurahkan perhatian pada latihan silat. Kadang-kadang Hong Beng ditinggal seorang diri oleh gurunya dan ketika untuk terakhir kalinya, beberapa bulan yang lalu gurunya pulang dari perantauan, Suma Ciang Bun menyatakan bahwa muridnya itu sudah belajar lebih dari cukup.
"Segala macam ilmu hanya dapat matang dan sempurna kalau dipergunakan dalam kehidupan,"
Demikian antara lain Suma Ciang Bun berkata kepada muridnya.
"Selain mematangkan ilmu dengan praktek menempuh kehidupan yang keras ini, juga apa gunanya engkau bersusah payah mempelajari ilmu-ilmu silat dariku kalau tidak dipergunakan? Penggunaan ilmu inilah yang terpenting, dan baik buruknya penggunaannya tergantung sepenuhnya kepadamu. Aku memberi sebuah tugas kepadamu, Hong Beng. Sanggupkah engkau melaksanakan tugas yang berat ini?"
Hong Beng yang berlutut di depan suhunya itu menjawab dengan tegas.
"Teecu sanggup melaksa-nakan segala perintah suhu yang bagaimana beratpun."
"Baik, aku percaya padamu. Selama engkau ikut aku merantau, tentu engkau sudah mengenal keadaan dunia pada umumnya dan engkau tentu dapat berhati-hati dan menjaga diri. Ilmu baca tulis, sedikit banyak engkau telah menguasainya dan hampir semua ilmu silatku telah kuajarkan padamu. Ingat, engkau adalah murid keluarga para pendekar Pulau Es. Sebagai murid Pulau Es, engkau harus dapat menjaga keharuman nama keluarga Pulau Es dan di manapun engkau berada, engkau harus menjadi pendekar sejati. Tugas yang kuserahkan padamu ini berat sekali karena engkau harus pergi ke kota raja dan menyelidiki kehidupan seorang perdana menteri."
Biarpun dia memiliki watak tenang dan pemberani, juga pendiam, mendengar ucapan suhunya itu, Hong Beng tertegun juga. Menyelidiki seorang perdana menteri di kota raja? Ini hebat! Melihat betapa muridnya terkejut akan tetapi tetap diam saja, Suma Ciang Bun merasa girang dan kagum.
"Hong Beng, selama bertahun-tahun ini pemberontakan terjadi di mana-mana. Memang, kami keluarga Pulau Es tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan. Akan tetapi bagaimanapun juga, pemberontakan-pemberontakan itu membuat kehidupan rakyat menjadi sengsara. Setiap kali terjadi pemberontakan dan perang saudara, yang mengalami pukulan paling hebat adalah rakyat jelata. Dan aku sendiri merasa heran. Dahulu, bahkan sebelum menjadi kaisar, Kian Liong merupakan seorang pemimpin yang amat bijaksana dan baik. Sekarangpun nampak betapa kaisar ini mendatangkan banyak kemajuan, Akan tetapi, menurut kabar yang kutangkap, akhir-akhir ini Kaisar Kian Liong dipermainkan oleh seorang yang kabarnya dapat mempengaruhi kaisar sehingga dari seorang kuli biasa, orang itu terus diberi kenaikan pangkat dan akhirnya dicalonkan menjadi seorang perdana menteri. Hal ini bagiku mencurigakan dan tidak wajar. Nah, inilah tugas yang hendak kuserahkan padamu. Pergilah ke kota raja, selidiki keadaan seorang pembesar yang dicalonkan sebagai perdana menteri. Dia bernama Hou Seng. Selidiki mengapa kaisar dapat jatuh ke dalam kekuasaan orang yang bernama Hou Seng ini dan kalau perlu bertindaklah untuk membasmi segala macam sebab yang menimbulkan adanya kelemahan dalam kendali pemerintahan Kaisar Kian Liong."
Pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengangguk dan menjawab, suaranya tenang dan tegas,
"Teecu akan melakukan semua perintah dan petunjuk suhu."
Kembali pendekar itu merasa kagum terhadap muridnya. Dia tahu bahwa tugas ini berat dan asing bagi muridnya yang pengalamannya hanya ketika diajaknya merantau itu saja. Bahkan bagaimana macamnya kota rajapun muridnya itu belum pernah melihatnya. Akan tetapi, sikap muridnya demikian tenang menghadapi tugas seberat itu. Diam-diam selain kagum, diapun merasa kasihan dan khawatir. Memang, tugas ini amat penting bagi kepentingan rakyat jelata dan perlu pula bagi muridnya sendiri untuk menggembleng diri dan memperdalam pengalaman hidup sebagai seorang pendekar. Akan tetapi, kota raja menjadi pusat di mana terdapat orang-orang pandai dari segala macam golongan.
"Hong Beng, untuk tugas ini, sebaiknya engkau mencari susiokmu (paman gurumu) yaitu adikku yang bernama Suma Ceng Liong yang kini bersama keluarganya tinggal di kota Thian-cin. Atau lebih baik lagi engkau mencari ci-huku (kakak ipar) bernama Kao Cin Liong yang bersama keluarganya tinggal di kota Pao-teng. Dari mereka itu engkau mungkin sekali akan memperoleh keterangan yang jelas tentang orang bernama Hou Seng itu. Apalagi ci-hu Kao Cin Liong adalah bekas seorang panglima kerajaan. Justeru setelah dia mengundurkan diri timbul kekacauan dan muncul seorang bernama Hou Seng itu."
Setelah menerima banyak nasihat dari suhunya, juga menerima bekal sekantong uang dengan pesan bahwa kalau dia kehabisan bekal dan tidak terpaksa sekali, jangan sampai merugikan orang lain dengan perbuatan yang jahat, melainkan terus terang saja minta bantuan kepada kuil-kuil atau kepada hartawan-hartawan yang dermawan, akhirnya pergilah pemuda itu meninggalkan puncak di Pegunungan Koa-li-kung di daerah selatan Hu-nan. Dalam perjalanan ini, ketika melewati daerah Siang-nam, tidak lupa dia singgah di kuburan ayah ibunya, yaitu di luar kota Siang-nam di mana dia dahulu dibantu oleh gurunya mengubur jenazah mereka.
Semalam suntuk dia duduk bersila di depan kuburan besar terisi jenazah ayah bundanya itu, tidak menangis atau berduka. Semenjak menjadi murid pendekar Suma Ciang Bun, pemuda ini sudah dijejali banyak pengertian tentang kehidupan dan sudah biasa membuka mata melihat kenyataan-kenyataan sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh bayangan-bayangan dan emosi-emosi yang membuat orang mudah berduka. Semua peristiwa yang lalu telah pula berlalu, demikian batinnya berbisik. Dia mengunjungi makam dan berdiam semalam suntuk di situ hanya untuk menghormati peninggalan ayah dan ibunya. Apa lagi, pembunuh-pembunuh ayah ibunya telah dibalas oleh gurunya, sehingga dia tidak mempunyai dendam atau sakit hati lagi. Harus diakuinya bahwa perantauan seorang diri, terpisah dari gurunya, merupakan hal yang berat dan kadang-kadang menggelisahkan.
Akan tetapi ada saat-saat di mana dia merasa bahagia dan gembira, merasa bebas tidak terikat oleh apapun juga, hidup sendirian seperti seekor burung yang terbang bebas lepas di udara! Demikianlah sedikit tentang diri Hong Beng. Pada pagi hari itu, dia tiba di Kun-ming dan tanpa disengaja dia memasuki restoran dan melihat Bi-kwi dan Bi Lan kemudian terlibat dalam peristiwa dengan orang-orang Ang-i Mo-pang. Dia belum pernah mendengar tentang perkumpulan itu, akan tetapi dari nama perkumpulan itu dia dapat menduga bahwa Ang-i Mo-pang tentulah sebuah perkumpulan penjahat. Rasa heran dan ingin tahu apakah hubungan antara dua orang gadis cantik dan lihai seperti yang dijumpainya di restoran itu dengan perkumpulan sesat membuat dia ingin sekali membayangi mereka.
Dia bersikap hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dua orang wanita itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Diapun tidak ingin mencampuri urusan mereka, hanya ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dua orang gadis itu. Ada sesuatu pada diri dua orang gadis itu, terutama pada diri gadis yang disebut Ciong Siocia, amat menarik hati Hong Beng. Selama ini, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang wanita. Sejak kecil dia hidup dengan gurunya dan belum pernah dia melihat gurunya berdekatan dengan wanita, bahkan sikap gurunya terhadap wanita amat dingin. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi dirinya dan diapun belum pernah merasa tertarik kepada wanita. Kalau sekali waktu, ketika dia menjelang dewasa, ada perasaan tertarik ini kalau dia bertemu dengan seorang gadis dalam perjalanannya bersama suhunya,
Maka perasaan ini segera ditekannya karena dia malu terhadap gurunya. Tentu saja andaikata gurunya itu memiliki sikap pria wajar terhadap wanita, agaknya diapun tidak akan menekan perasaan itu. Dan kini, begitu dia melakukan perjalanan seorang diri, dia bertemu dengan seorang wanita yang amat menarik hatinya, yaitu Bi-kwi! Dalam pandangannya Bi-kwi merupakan seorang wanita yang matang, yang amat menarik semua gerak-geriknya, berwibawa, dan ada sesuatu yang membuat dia merasa kasihan. Sesuatu itu mungkin garis-garis di antara kedua mata wanita itu, yang membayangkan suatu kepahitan hidup yang mengharukan hati Hong Beng. Gadis ke dua yang jauh lebih muda itupun manis sekali, akan tetapi dalam pandangan Hong Beng gadis itu masih kekanak-kanakan, masih mentah.
Sebetulnya apakah yang telah terjadi dengan perkumpulan Ang-i Mo-pang? Seperti kita ketahui, perkumpulan itu adalah sebuah perkumpulan penjahat yang dipimpin oleh Tee Kok sebagai ketuanya. Tee Kok adalah seorang bekas anggauta Hek-i Mo-pang yang dahulu terkenal sebagai perkumpulan sesat yang ditakuti orang. Tee Kok mengumpulkan beberapa orang kawan bekas anggauta Hek-i Mo-pang, kemudian ditambah lagi dengan anak buah baru yang terdiri dari orang-orang dari dunia hitam, dia mendirikan Ang-i Mo-pang. Tidak kurang dari lima puluh anak buahnya dan semua anak buah Ang-i Mo-pang memakai pakaian serba merah. Kemudian muncul Bi-kwi yang menaklukkan dan mengalahkan Tee Kok. Akan tetapi wanita ini tidak mau menjadi ketua perkumpulan itu, melainkan menarik perkumpulan itu sebagai pembantu-pembantunya.
Suling Emas Naga Siluman Eps 44 Suling Emas Naga Siluman Eps 32 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 19