Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Sakti 5


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk mengalahkan lawan. Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari depan dan belakang dengan berbareng pada saat yang sama! Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke atas, dan di udara tubuhnya merentang, kedua tangan menangkis ke depan dan kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini, tenaganya sedemikian besar dan kuatnya sehingga empat murid Pat-kwa-pai itu terjengkang dan roboh! Tentu saja semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji, memancing yang lain untuk bertepuk tangan pula. Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit, mengebut-ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil mengerang kesakitan karena kedua lengan mereka biru-biru dan bengkak-bengkak, lalu dipimpin oleh si gendut, mereka memberi hormat.

   "Kami mengakui kelihaian Pangcu dan kami mempunyai bahan untuk menceritakan kepada para pimpinan Pat-kwa-pai,"

   Kata si gendut.

   "Sampaikan salamku kepada Thian Ho Sianjin."

   Kata ketua Pao-beng-pai itu dan dengan tenang dia duduk kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada wajah dan lehernya.

   "Siancai...., tenaga sin-kang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat sekali. Kami semua merasa kagum!"

   Tiba-tiba suara itu diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke sudut ruangan di mana pertandingan tadi berlangsung. Semua orang memandang dan dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang. Usianya sudah enam puluh empat tahun, tubuhnya pendek kurus namun masih nampak segar seperti tubuh kanak-kanak, akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil. Melihat pria itu, gadis berpakaian putih segera berkata,

   "To-tiang (Pak Pendeta) tentu wakil dari Pek-lian-pai. Apa kehendak To-tiang?"

   "Siancai....! Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai, kami dari Pek-lian-pai ingin pula membuktikan sendiri kelihaian pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku) tidak mau melakukan pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bermain pedang. Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai yang berani melayani pinto bermain pedang?"

   Sekali tangan kanannya bergerak,

   Pendeta Pek-lian-kauw itu telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Cara dia mencabut pedang saja menunjukkan kemahirannya. Tentu saja dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw. yang lihai dan dipercaya oleh para pimpinan perkumpulan pemberontak itu. Kini dia datang sebagai wakil Pek-lian-pai bersama dua orang sutenya. Dia tadi sudah melihat betapa hebat tenaga sinkang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu, dia menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya. Kembali keluarga ketua Pao-beng-pai nampak saling berbisik dan agaknya Siangkoan Eng minta kepada ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tantangan tosu Pek-lian-kauw itu. Siangkoan Kok mengangguk memberi ijin dan dari tempat duduknya, ketua Pao-beng-pai itu berkata kepada Kui Thian-cu.

   "Sobat, kenapa Pek Sim Siansu tidak datang sendiri?"

   Mendengar pertanyaan itu, Kui Thian-cu mengerutkan alisnya. Pek Sim Siansu adalah ketua Pek-lian-kauw, masih terhitung paman gurunya. Kiranya ketua Pao-beng-pai ini mengenal ketua Pek-lian-kauw pula!

   "Pangcu, ketua kami mengutus kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, untuk melihat apakah Pao-beng-pai pantas untuk menjadi rekan seperjuangan. Ketua kami adalah paman guru kami."

   "Andaikata Pek Sim Siansu sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajakannya untuk berlatih pedang. Akan tetapi sekarang hanya murid keponakannya yang datang. Aku akan mewakilkan saja kepada puteriku untuk bertanding ilmu pedang!"

   Siangkoan Eng lalu bangkit dan me-langkah dengan tenang menghampiri tosu Pek-lian-kauw itu. Semua orang memandang kagum dan juga tegang. Gadis itu nampak demikian lembut dan anggun, cantik jelita, begaimana akan mampu menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah terkenal akan kelihaiannya? Kui Thian-cu sendiri mengerutkan alisnya dan memandang rendah. Dia sudah pandai bermain pedang sebelum gadis yang usianya baru dua puluh tahun lebih ini lahir!

   Dia sudah menguasai ilmu pedang selama puluhan tahun, sedangkan gadis ini paling banyak hanya belajar silat selama belasan. tahun saja. Apalagi dalam hal pengalaman bertanding. Sudah ratusan kali dia bertanding melawan orang-orang yang lihai, sedangkan gadis ini? Mungkin belum pernah bertemu tanding yang sungguh-sungguh. Kui Thian-cu tersenyum pahit karena merasa direndahkan sekali dengan munculnya seorang bocah untuk menandi-nginya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya. Setiap orang tosu Pek-lian-kauw yang sudah tinggi kedudukannya tentu pandai menggunakan sihir. Dia mengerahkan kekuatan sihirnya terhadap gadis di depannya, sepasang matanya seperti menembus mata gadis itu, mulutnya berkemak-kemik membaca mantram kemudian terdengar suaranya yang menggetar mengandung penuh wibawa.

   "Nona yang begini muda bagaimana hendak bermain-main dengan pedang yang tajam? Tergores sedikit saja kulitmu yang halus akan berdarah dan engkau akan menangis karena ngeri. Nah, sekarang pun engkau sudah ingin menangis. Menangislah, Nona, menangislah karena engkau memang pantas dikasihani! Menangislah....!!"

   Kui Thian-cu yang merasa diremehkan, kini hendak membalas dan membikin malu, keluarga ketua Pao-beng-pai, dengan sihirnya. Akan tetapi, gadis itu tidak menangis, malah memandang kepadanya, dengan matanya yang mencorong, lalu bertanya dengan suara yang sungguh-sungguh,

   "To-tiang, bagaimana sih caranya menangis itu? Aku tidak pernah menangis, harap To-tiang memberi contoh."

   Tentu saja Kui Thian-cu merasa heran. Seorang gadis muda tidak pernah menangis? Sungguh aneh.

   "Bagaimana caranya menangis? Engkau sungguh tidak tahu? Begini, Nona, beginilah caranya orang menangis...."

   Dan tosu itu lalu mengeluarkan suara tangis sambil menutupi muka dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya tetap memegang pedang.

   "Huauuu-uuuu.... huuu-uuhhh...."

   Terdengar suara orang-orang tertawa geli karena pertunjukan itu memang lucu sekali. Kakek yang tubuhnya pendek kurus dan mukanya keriputan sehingga nampak tua sekali itu, yang mengenakan jubah pendeta, tokoh Pek-lian-kauw, kini seperti anak kecil menangis di depan Si-angkoan Eng yang cantik dan kini tersenyum-senyum mengejek. Mendengar suara tawa orang-orang di situ, barulah Kui Thian-cu menyadari keadaannya dan diam-diam dia terkejut. Sihirnya yang dikerahkan untuk memaksa gadis itu menangis bahkan seperti senjata makan tuan. Gadis itu ternyata tidak terpengaruh sihirnya, bahkan menggunakan kekuatan sihir itu, ditambah kekuatannya sendiri,

   Membuat pengaruh itu membalik sehingga dialah yang menangis tanpa disadarinya sendiri bahwa dia telah melakukan perbuatan yang lucu memalukan. Tentu saja dia marah sekali, akan tetapi Kui Thian-cu bukan seorang bodoh atau ceroboh. Dia seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah berpengalaman, maka biarpun dia mendapat malu di depan banyak orang namun dia dapat melihat kenyataan dan tidak menuruti hawa nafsu amarah. Dia menyadari bahwa dia terlalu bersalah, keliru menafsirkan orang dan terlalu memandang rendah gadis puteri tuan rumah itu. Dia pun sudah mendengar bahwa Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan keturunan keluarga Kerajaan Beng yang selain tinggi ilmu silatnya, juga menguasai ilmu sihir. Maka tidak begitu mengherankan kalau puterinya juga pandai ilmu sihir.

   "Hemmm, Nona masih muda sudah lihai dan juga cerdik sekali sehingga aku terjebak. Nah, sekarang aku ingin melihat kehebatan ilmu pedangmu, Nona."

   Dia menggerakkan tangan dan memutar-mutar pedang di atas kepala, sedemikian kuat dan cepatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan terdengar bunyi desing yang menyeramkan. Siangkoan Eng masih tersenyum mengejek, tangan kanannya bergerak dan ia sudah mencabut pedangnya yang beronce merah, sedangkan tangan kirinya tetap memegang hud-tim (kebutan) yang bergagang emas dan bulunya merah mengkilap itu. Dengan sikap tenang gadis itu menyilangkan pedang dan kebutan di depan dada lalu berkata,

   "To-tiang, aku sudah siap, silakan mulai memperlihatkan ilmu pedangmu yang hebat!"

   Dalam ucapan yang dingin ini terkandung tantangan dan juga ejekan yang terasa sekali oleh Kui Thian-cu,

   Membuatnya marah sekali, akan tetapi hanya ditahannya di dalam hati. Ini memang merupakan siasat yang cerdik dari Siangkoan Eng. Kemarahan melemahkan seorang, membuat orang menjadi kurang waspada, maka bagi seorang ahli silat, marah ketika bertanding merupakan pantangan besar karena hanya merugikan diri sendiri. Kui Thian-cu yang sudah marah itu tidak lagi bersikap sungkan. Sebenarnya, sebagai seorang yang jauh lebih tua dan berkedudukan tinggi sebagai wakil sebuah perkumpulan besar seperti Pek-lian-pai, seharusnya dia merasa malu kalau harus menyerang lebih dulu dalam sebuah pi-bu melawan seorang gadis muda. Akan tetapi karena sudah marah, dia tidak lagi peduli dan putaran pedangnya di atas kepala semakin kuat dan cepat.

   "Nona, jaga baik-baik seranganku ini!"

   Bentaknya dan pedang itu makin cepat berdesing membentuk sinar yang membentuk gulungan lingkaran, lalu dari lingkaran itu mencuat sinar menyambar ke arah Siangkoan Eng secara bertubi-tubi. Gadis itu pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis sambil kakinya membuat langkah-langkah melingkar sehingga semua serangan itu gagal, luput atau tertangkis. Kemudian sambil menangkis, ia pun membalas dengan serangan hud-tim di tangan kirinya. Begitu digerakkan, bulu hud-tim yang lemas itu berubah kaku seperti kawat baja, dapat dipergunakan untuk menusuk, akan tetapi juga dapat lemas seperti rambut yang dapat membelit lawan. Pertandingan itu berlangsung dengan seru. Karena merasa dirinya sebagai wakil perkumpulan besar, tentu saja Kui Thian-cu tidak mau kalah melawan seorang gadis.

   Dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya, namun agaknya sedikit banyak gadis itu mengenal jurus-jurus ilmu pedang Pek-lian-pai. Buktinya, gadis itu dapat menghindarkan diri dengan mudah dan tepat. Bahkan serangan balasan dengan kebutannya, setelah lewat dua puluh jurus, membuat tokoh Pek-lian-kauw itu mulai terdesak dan sibuk menghindarkan diri. Diam-diam kakek ini terkejut dan khawatir. Sungguh di luar dugaannya bahwa gadis ini benar-benar amat lihai! Dia makin memperhebat serangannya, bahkan mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Namun tetap saja dia menghadapi benteng pertahanan yang tak dapat ditembus gulungan sinar pedangnyra, sebaliknya, sambaran bulu-bulu kebutan itu membuat dia semakin repot dengan loncatan ke kanan kiri dan memutar pedang untuk melindungi tubuhnya.

   Ketika dengan pengerahan tenaga kembali dia membacokkan pedangnya, bulu kebutan itu menyambut dan melibat pedangnya dengan lilitan bagaikan ular dan pada saat yang sama, pedang di tangan gadis itu menyambar, membacok ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang! Serangan ini hebat sekali dan tidak ada lain jalan bagi Kui Thian-cu kecuali melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin tangannya terbabat buntung di pergelangannya! Dengan muka berubah kemerahan dia meloncat ke belakang dan melepaskan pedangnya yang kini masih terbelit hud-tim. Siangkoan Eng juga tidak mengejar. Sambil tersenyum dingin gadis ini memandang kepada lawannya, lalu berkata,

   "To-tiang, terimalah kembali pedangmu!"

   Ia menggerakkan hud-tim di tangan kiri dan pedang rampasan itu meluncur ke arah pemiliknya! Wajah tokoh Pek-lianpai itu berubah pucat akan tetapi dia menyambut pedangnya dan dia pun maklum bahwa dia tidak akan menang melawan gadis itu. Kalau tadi dia merasa penasaran, kini dia kagum bukan main. Kalau puterinya saja sehebat itu, apalagi ayahnya. Dan dia pun mendengar bahwa ibu gadis ini, Lauw Cu Si, adalah seorang keturunan para pimpinan Beng-kauw, perkumpulan yang dahulu amat terkenal sebagai perkumpulan besar kaum sesat yang telah hancur. Dan kabarnya, isteri Siangkoan Kok itu pun memiliki ilmu yang lihai, di samping ilmu sihir.

   "Nona memang hebat, pinto mengaku kalah."

   Lalu dia menghadap ke arah tuan rumah dan memberi hormat,

   "Pangcu, sekarang pinto yakin bahwa Pao-beng-pai merupakan kawan seperjuangan yang layak dihargai dan pinto dapat memberi kabar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw."

   Tentu saja Siangkoan Kok merasa girang.

   "Terima kasih, To-tiang dan silakan duduk."

   Setelah tokoh Pek-lian-kauw duduk kembali, bangkitlah seorang di antara tiga orang pemuda yang belum mau memperkenalkan diri. Dia seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan kulitnya kuning dengan mata yang sipit. Gerakannya tangkas ketika dia melompat ke atas ruangan tempat mengadu ilmu itu dan dia pun menjura kepada pihak tuan rumah.

   "Melihat kepandaian Nona Siangkoan, hati saya penuh rasa kagum dan sebelum saya memperkenalkan diri sebagai murid Kong-thong-pai, saya ingin berkenalan lebih dahulu dengan ilmu silat puteri tuan rumah! Nona, silakan maju dan melayaniku beberapa belas jurus!"

   Sikapnya kaku dan tekebur, seperti bukan sikap seorang ahli silat di dunia kang-ouw yang berpengalaman. Siangkoan Eng tentu saja tidak mau melayani seorang tamu seperti itu. Kalau tadi ia mewakil ayahnya menandingi Kui Thian-cu adalah karena mengingat bahwa Pek-lian-pai sebuah perkumpulan pejuang yang besar dan ia tahu bahwa para tosu Pek-lian-kauw amat lihai. Akan tetapi, laki-laki muda itu biarpun murid per-kumpulan silat Kong-thong-pai, sikapnya demikian hijau dan dungu. Ia memberi isyarat kepada seorang di antara pelayannya, yaitu yang berpakaian serba kuning, pelayannya yang paling lihai, lalu berkata lantang.

   "Sobat dari Kong-thong-pai, untuk menyambut tantanganmu, aku mewakilkan kepada seorang pelayanku. Kalau engkau dapat mengalahkannya, barulah engkau pantas menantangku!"

   Sesosok bayangan kuning berkelebat dan wanita muda berpakaian serba kuning yang juga cantik itu telah berdiri di depan si pemuda Kong-thong-pai yang tidak mau memperkenalkan diri sebelum menguji kepandaian.

   "Kongcu (Tuan Muda), saya mewakili Siocia untuk menandingi Kongcu. Silakan!"

   Diam-diam murid Kong-thong-pai ini mendongkol bukan main. Dia adalah seorang murid unggulan dari Kong-thong-pai, dan dia dipercaya para pimpinan perkumpulannya untuk mewakili Kong-thong-pai, dan di sini dia dipandang rendah, tingkatnya hanya disejajarnya dengan seorang pelayan dari puteri tuan rumah! Keterlaluan sekali! Maka, dia pun melawan aksi meremehkan dari pihak tuan rumah itu dengan sikap angkuh,

   "Baik, sebagai tamu saya tentu saja menerima semua peraturan tuan rumah. Akan tetapi, saya tidak mau mencari kemenangan dari seorang pelayan! Kalau wakil Nona Siangkoan ini mampu bertahan melawanku selama dua puluh jurus maka aku mengaku kalah!"

   Melihat lagak yang meremehkan dirinya itu, si baju kuning hanya tersenyum saja. Dengan sikap tetap menghormat sebagai seorang pelayan terhadap tamu majikannya, ia tersenyum dan memberi hormat,

   "Kongcu, saya sudah siap. Silakan Kongcu mengalahkan saya sebelum dua puluh jurus itu."

   Melihat sikap si pelayan yang menantang, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Mukanya yang kuning kini berubah merah dan dia pun membentak,

   "Lihat seranganku!"

   Dan dia pun sudah menerjang dengan ganas. Ilmu silat yang dia mainkan adalah ilmu silat Kong-thong-pai yang banyak menggunakan gerakan kedua lengan dikembangkan seperti sepasang sayap burung rajawali dan kedua tangan dapat menyambar dari kanan kiri secara cepat. Serangan pertama itu dilakukan dengan gerakan seperti seekor harimau menerkam kambing, kedua lengan yang dikembangkan itu membuat gerakan ke depan, dan kedua tangannya menerkam dari kanan kiri dengan tubuh melompat. Namun, nona baju kuning itu adalah pelayan Siangkoan Eng yang nomor satu, merupakan pelayan kepercayaan yang telah menguasai ilmu silat paling tinggi di antara rekan-rekannya.

   Menghadapi terkaman yang dahsyat itu, ia pun bersikap lincah dan meloncat ke belakang lalu memutar tubuh sehingga serangan lawan luput dan ia pun sudah menggerakkan kaki ketika memutar tubuh tadi, membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kaki yang mencuat ke arah dada lawan! Melihat kelincahan lawan, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia memutar lengannya dan berusaha menangkap kaki yang menendangnya. Akan tetapi gadis pelayan itu maklum akan niat lawan, maka ia pun menarik kembali kakinya, meloncat dengan gerakan cepat sekali ke kiri, kemudian dari kiri ia mengirim tamparan ke arah kepala lawan! Sekali ini, pemuda itu tidak berani bersikap lengah.

   Untuk menangkis tidak ada waktu lagi, maka terpaksa dia melempar tubuh ke belakang agar terhindar dari tamparan yang cukup berbahaya itu karena dia dapat merasakan sambaran angin pukulan yang cukup kuat. Tahulah dia bahwa gadis berpakaian kuning itu, walaupun hanya seorang pe-layan, ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat, maka dia pun tidak berani lagi memandang rendah. Dia mulai menyerang dengan gencar dan tanpa sungkan lagi. Setelah lewat sepuluh jurus dan dia sama sekali belum mampu mengalahkan lawan, mendesak pun tidak mampu, pemuda murid Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia mengeluarkan semua jurus pilihan yang paling dia andalkan, namun gadis itu mampu menandinginya, bahkan mampu membalas dengan tidak kalah kuatnya. Dua puluh jurus lewat dan pemuda Kong-thong-pai itu melompat mundur. Mukanya berubah merah sekali.

   "Dua puluh jurus telah lewat, aku mengaku kalah! Siangkoan Eng tersenyum, kini senyumnya tidak mengejek lagi karena bagaimanapun juga, ia senang dengan sikap jantan pemuda itu yang tidak malu mengakui kekalahannya sesuai dengan janjinya, walaupun sebenarnya dia belum kalah.

   "Lanjutkanlah sampai ada yang kalah karena engkau belum kalah, sobat dari Kong-thong-pai!"

   Katanya lembut.

   "Hemmm, aku Koan Tek adalah seorang laki-laki sejati yang menjunjung tinggi nama dan kebesaran nama Kong-thong-pai. Aku sudah berjanji, dan se-telah lewat dua puluh jurus aku belum dapat mengalahkannya, berarti aku kalah. Pang-cu, terimalah hormatku!"

   Katanya sambil memberi hormat kepada Siangkoan Kok. Ketua Pao-beng-pai yang tinggi besar ini mengangguk dan membalas penghormatannya.

   "Silakan duduk, saudara Koan Tek!"

   Kini tinggal dua orang tamu yang masih belum mau memperkenalkan diri dan mereka adalah dua orang pemuda yang kebetulan tidak saling berjauhan duduknya.

   Kini, perhatian semua tamu tertuju kepada kedua orang pemuda itu, bertanya-tanya siapa kiranya mereka berdua. Di antara mereka yang hadir, tidak ada yang mengenal mereka, maka tentu saja semua orang merasa heran bagaimana ada dua orang pemuda yang tidak terkenal berani bersikap angkuh, tidak mau memperkenalkan diri lebih dahulu kepada pihak tuan rumah! Dua orang pemuda itu yang merasa menjadi pusat perhatian, kini juga saling pandang. Mereka tidak saling mengenal namun mereka berdua seperti merasakan suatu ikatan dari sepenanggu-ngan karena keduanya menjadi pusat perhatian karena mereka berdua sajalah yang kini belurn memperkenalkan diri dan diharapkan mereka berdua akan menguji pihak tuan rumah seperti dilakukan oleh wakil-wakil Pek-eng Bu-koan,

   Pat-kwa-pai, Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai tadi. Pemuda pertama berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, berperawakan sedang dan tegap, wajahnya bulat berkulit putih bersih. Sepasang matanya tajam, hidungnya agak besar dan mancung, mulutnya selalu terhias senyum manis dan alisnya tebal. Dia seorang pemuda yang tampan, dan sikapnya juga anggun, tidak malu-malu dan berwibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Cia Sun yang melakukan penyamaran! Dia meninggalkan istana untuk mencari pengalaman, menyamar sebagai pemuda biasa dan karena dia seorang yang sejak kecil suka mempelajari silat, kini dia ingin meluaskan pengetahuan dan menjelajahi dunia kang-ouw. Maka, mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai,

   Apalagi mendengar bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan yang anti pemerintahan kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong, dia tertarik dan sengaja datang berkunjung. Tentu saja dia tidak akan mengaku bahwa dia seorang pangeran, karena hal itu sama saja dengan mencari kematian. Kalau perkumpulan Pao-beng-pai itu anti pemerintah Kerajaan Ceng, tentu mereka akan menbunuhnya kalau mengetahui bahwa dia seorang pangeran Mancu! Di sepanjang perjalanannya pun dia mengaku bernama Cia Ceng Sun. Namanya sendiri dia pakai, hanya menambahkan huruf Ceng di tengah, yaitu yang berarti kerajaan atau Dinasti Kerajaan Mancu. Dan karena sejak kecil dia hidup dalam pendidikan seperti orang Han, maka tak seorang pun yang tahu bahwa dia seorang pangeran Mancu, dalam segala hal dia adalah seorang pemuda Han biasa.

   Dia pandai silat dan pandai pula dalam hal kesusastraan bangsa Han. Pemuda yang ke dua juga tampan berusia lebih tua, kurang lebih dua puluh enam tahun dan sikapnya lebih matang dan pendiam. Dia pun tampan, walaupun ketampanannya berbeda dengan ketampanan Pangeran Cia Sun yang kini kita kenal sebagai pemuda Cia Ceng Sun. Pemuda ke dua ini bermuka lonjong dengan mata yang tajam, hidung mancung dan mulutnya ramah tersenyum. Dagunya runcing berlekuk, rambutnya panjang dan hitam, alisnya tebal dengan dahi lebar. Perawakannya juga hampir sama dengan perawakan Cia Ceng Sun, sedang dan tegap dan gerak-geriknya amat tenang, sikapnya seperti acuh tak acuh walaupun wajahnya ramah. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han, pemuda perkasa yang dijuluki Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).

   Namun, karena ketika dia dijuluki Tangan Sakti itu tidak pernah ada orang yang melihat wajahnya, maka tidak ada seorang pun yang mengenalnya sebagai pendekar itu di dalam pertemuan orang-orang dunia persilatan di situ. Berbeda dengan Cia Ceng Sun yang meninggalkan istana untuk memperdalam pengetahuan dan meluaskan pengalaman, Yo Han datang ke tempat itu dalam rangka menunaikan tugasnya yang teramat sulit, yaitu mencari puteri bibinya Can Bi Lan dan suami bibinya si Pendekar Suling Naga Sim Houw. Para pembaca kisah Si Bangau Merah tentu mengenal baik siapa Yo Han. Dia seorang yatim piatu. Mendiang ayahnya adalah Yo Jin, seorang petani biasa yang jujur namun berjiwa gagah, sedangkan mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang telah bertaubat, berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), su-ci dari Can Bi Lan atau Nyonya Sim Houw.

   Sejak kecil, Yo Han dididik oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li sehingga Yo Han sejak kecil telah akrab dengan Tan Sian Li Si Bangau Merah sebagai kakak seperguruan. Namun, ketika kecilnya, Yo Han sama sekali tidak suka belajar atau berlatih ilmu silat. Biarpun suami isteri Tan Sin Hong Si Bangau Putih dan Kao Hong Li merupakan suami isteri yang sakti dan mengajarkan silat kepadanya, Yo Han hanya mempelajari teorinya saja dan tidak pernah mau berlatih. Dia menganggap bahwa ilmu silat adalah ilmu kekerasan yang hanya dipelajari orang-orang yang suka berkelahi untuk saling bunuh dengan orang lain. Karena ulahnya ini, maka suami isteri pendekar itu merasa khawatir kalau-kalau puteri mereka yang amat akrab dengan Yo Han kelak akan ketularan sikap itu,

   Sehingga mereka ingin memisahkan kedua orang anak itu dengan memitipkan Yo Han pada sebuah perguruan silat yang baik. Yo Han mendengar ini dan dia pun lebih dahulu meninggalkan keluarga itu dengan nekat mengikuti seorang iblis betina setelah berhasil membujuk iblis betina itu melepaskan Sian Li kecil yang diculiknya dan dia menyerahkan diri sebagai penukarnya. Demikianlah, setelah ikut dengan iblis betina itu dia mengalami banyak penderitaan yang aneh-aneh sampai akhirnya dia bertemu dengan mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, namun yang memiliki ilmu luar biasa. Akhirnya Yo Han menjadi pewaris tunggal ilmu Bu-kek Hoat-keng dari kakek itu, yang membuat dia menjadi seorang pendekar sakti.

   Ketika Yo Han merantau ke barat dan terkenal dengan julukan Sin-ciang Tai-hiap yang tak pernah dikenal mukanya oleh orang lain, secara kebetulan dia bertemu kembali dengan Sian Li yang telah menjadi seorang gadis cantik. Mereka saling mengenal dan kasih sayang yang sejak kecil telah tumbuh dalam hati mereka, kinl berubah menjadi cinta kasih dewasa antara pria dan wanitai Namun, kembali ayah dan ibu Sian Li tidak menyetujui hubungan mereka karena suami isteri pendekar itu khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak mendiang ibunya yang pernah menjadi seorang wanita golongan sesat yang jahat. Maka, terang-terangan mereka memberi tahu kepada Yo Han bahwa Sian Li telah dijodohkan dengan seorang pangeran di kota raja! Yo Han menjadi terpukul dan diingatkan akan lenyapnya puteri bibinya,

   Dia pun bertekad untuk mencari puteri bibinya itu sampai dapat dia temukan dan dia kembalikan kepada bibinya. Demikianlah riwayat singkat Yo Han Si Pendekar Tangan Sakti, dan pada hari itu, sebetulnya dia mendengar tentang pertemuan para orang gagah yang diadakan oleh Pao-beng-pai, make dia pun sengaja berkunjung dengan maksud mencari jejak adik misannya yang dicuri penjahat di waktu kecil. Yo Han maklum sepenuhnya betapa sulitnya tugas yang dipikulnya, mencari seorang, anak perempuan yang hilang dua puluh tahun yang lalu, ketika hilang diculik orang berusia tiga tahun! Dia tidak tahu siapa penculiknya, tidak pernah melihat anak perempuan itu. Yang di-ketahuinya hanya bahwa anak perempuan itu adalah puteri Sim Houw dan Can Bi Lan, nama anak itu Sim Hui Eng dan mempunyai tanda pengenal yang mustahil untuk dapat dilihat orang,

   Yaitu noda merah di tapak kaki kanan dan tahi lalat hitam di pundak kiri. Bagaimana mungkin melihat kedua tanda itu di tubuh seorang gadis tanpa membuka sepatu dan bajunya? Dan sudah pasti anak berusia tiga tahun itu sudah lupa sama sekali akan ayah dan ibu kandungnya, tidak tahu lagi bahwa ia adalah anak yang diculik. Itu pun kalau anak itu masih hidup! Sungguh merupakan usaha yang teramat sulit, bahkan agaknya mustahil untuk bisa menemukan anak yang hilang pada dua puluh tahun yang lalu itu. Akan tetapi, Yo Han mempunyai akal. Kalau dia tidak dapat menemukan kembali anak itu, setidaknya dia berusaha menyelidiki siapa pelaku penculikan itu. Dan hal ini tentu hanya dapat dia lakukan dengan menyelidiki dunia kang-ouw, bahkan di antara golongan sesat.
(Lanjut ke Jilid 05)
Si Tangan Sakti (Seri ke 16 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
Maka, untuk tugas itulah kini dia sengaja datang menghadiri pertemuan itu dan sengaja dia tidak mau memperkenalkan diri sesuai dengan rencana siasatnya. Ketika dua orang pemuda itu saling pandang, Yo Han tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat, mempersilakan pemuda tampan murah senyum itu untuk bertindak lebih dahulu. Melihat isyarat gerakan tangan itu, Cia Ceng Sun tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian dia pun melangkah dan dengan langkah ringan dan santai dia menuju ke ruangan, tempat bertanding silat. Dia berdiri di tengah ruangan dan menjura kepada pihak tuan rumah dan terdengar suaranya yang halus dan sopan, juga dengan gaya bahasa yang menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang kang-ouw kasar biasa, melainkan seorang yang terpelajar.

   "Harap Pangcu dari Pao-beng-pai sekeluarga suka memaafkan saya. Bukan karena ketinggian hati saya belum memperkenalkan nama, melainkan karena tertarik akan kehebatan ilmu silat keluarga Siangkoan yang tadi telah diperlihatkan. Oleh karena saya memang bermaksud meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, maka saya ingin mempergunakan kesempatan ini untuk menambah pengetahuan dengan jalan bertanding silat secara persahabatan, sebelum saya memperkenalkan nama saya yang tidak berarti."

   Sikap yang lembut dan kata-kata yang sopan seperti biasa dilakukan.orang-orang terpelajar dan kaum bangsawan, tidak disuka oleh kebanyakan orang dunia kang-ouw, maka di sana-sini terdengar ejekan terhadap pemuda tampan itu. Juga ada yang menganggap bahwa pemuda ini tentu tidak memiliki kemampuan yang berarti dalam ilmu silat, hanya pandai berlagak saja. Akan tetapi tidak demikianlah kesan yang didatangkan Cia Ceng Sun kepada keluarga tuan rumah. Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan pula, bahkan masih keturunan keluarga Kaisar Beng. Sejak kecil dia terbiasa dengan tata-cara dan sopan-santun yang berlaku di antara para bangsawan, di antaranya sikap yang halus dan kata-kata yang indah.

   Oleh karena itu, sikap pemuda tampan itu sungguh menarik perhatiannya dan dia merasa senang. Demikian pula dengan Siangkoan Eng, yang biarpun tidak mengalami kehidupan bangsawan istana, namun karena di dalam keluarganya, ayahnya masih memakai peraturan seperti keluarga bangsawan, ia pun tertarik melihat pemuda yang berbeda dari pemuda biasa itu. Pemuda itu berwajah tampan, anggun dan berwibawa, sikapnya demikian lemah lembut, namun telah berani maju untuk menguji ilmu silat. Seketika hatinya tertarik kepada pemuda itu, maka ia berbisik-bisik kepada pelayannya, si baju kuning yang lihai, dengan pesan agar pelayannya itu kembali mewakilinya menguji si pemuda, akan tetapi jangan sekali-kali dilukai atau dibikin malu. Si baju kuning mengerti dan mengangguk, lalu ia maju menghadapi Cia Ceng Sun sambil memberi hormat.

   "Kongcu, saya melaksana-kan perintah Siocia (Nona) untuk mewakili keluarga Siangkoan dan melayanimu beberapa jurus."

   Cia Ceng Sun tersenyum, tidak merasa dipandang rendah dan dia pun membalas penghormatan pelayan yang lihai itu.

   "Aku tadi sudah melihat kelihaianmu, Nona pelayan. Tentu nona majikanmu jauh lebih lihai, maka untunglah engkau yang maju sehingga bagaimanapun juga, lawanku lebih ringan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kelihaianmu."

   Si nona baju kuning juga senang melihat sikap pemuda tampan ini yang demikian rendah hati, bahkan sikapnya menghormat terhadap dirinya, padahal ia hanya seorang pelayan.

   "Kongcu, silakan mulai, saya sudah siap!"

   Katanya lembut dan memperlihatkan senyum ramah.

   "Baik, lihat seranganku!"

   Dan Cia Ceng Sun sudah menggerakkan tangan melakukan serangan. Karena dia maklum bahwa pelayan baju kuning ini cukup lihai, tentu saja dia tidak berani memandang rendah dan begitu bergerak, dia sudah menyerang dengan sungguh-sungguh, memainkan jurus yang ampuh dari ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Kepalan tangan kiri yang memukul lurus ke depan itu medatangkan angin pukulan yang kuat.

   Nona baju kuning itu mengeluarkan seruan kagum dan cepat ia mengelak dengan lincah ke kiri sambil membalas dengan sebuah tendangan. Namun, Cia Ceng Sun yang sudah menguasai banyak macam Ilmu silat itu dapat menghindar dengan baik, bahkan mengirim serangan balasan dengan cepat sekali, mencengkeram pundak gadis pelayan itu dari samping. Gerakan ini mengejutkan lawan yang kembali terpaksa harus meloncat ke belakang karena serangan pemuda itu sungguh tidak boleh dipandang ringan dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan murid Kong-thong-pai tadi. Maka, si nona baju kuning kini mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi, walaupun ia tetap ingat akan pesan nonanya agar tidak melukai atau membikin malu pemuda itu. Diam-diam ia mengeluh.

   Bagaimana mungkin? Untuk menang pun tidak mudah, pikirnya. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tampan dan sopan ini sedemikian lihainya dan ia merasa heran. Selama ini, Pao-beng-pai telah menyebar banyak penyelidik untuk menyelidiki para tokoh dunia persilatan, bahkan mencatat dan mempelajari ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, pemuda ini agaknya luput dari pengawasan sehingga tidak dikenal oleh keluarga majikannya. Padahal, kepandaian pemuda ini cukup hebat dan ia sendiri sampai kewalahan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus. Mulailah ia terdesak hebat! Para tamu yang menonton pertandingan itu pun menjadi kagum. Apalagi para tokoh dari aliran persilatan besar seperti wakil Siauw-lim-pai, mereka tertegun melihat betapa pemuda tampan itu me-mainkan beberapa jurus dari ilmu silat aliran mereka!

   Ilmu silat pemuda itu campur aduk, akan tetapi setiap jurus yang dimainkannya sudah mendekati kesempurnaan! Dan mereka semua tidak pernah mengenal pemuda tampan itu! Hal ini memang tidak aneh. Sebagai seorang pangeran, Cia Ceng Sun atau Cia Sun tentu saja tidak menjadi murid biasa dalam sebuah perguruan. Dengan kekuasaannya dan kedudukan ayahnya, mudah saja dia mendatangkan guru-guru silat dari berbagai aliran yang melatih-nya secara rahasia. Apalagi, di antara para jagoan istana bangsa Mancu terdapat banyak tokoh persilatan pandai yang telah berhasil mencari dan menguasai ilmu-ilmu silat dari berbagai aliran itu sehingga mereka dapat mengajarkannya kepada Pangeran Cia Sun tanpa diketahui orang lain. Keadaan pangeran ini tentu saja berbeda dengan kakeknya, yaitu yang kini menjadi kaisar ketika masih muda.

   Kaisar Kian Liong pun ketika masih muda juga bertualang dan mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia mempelajarinya dari para tokoh persilatan secara berterang sehingga namanya dikenal oleh semua tokoh kang-ouw. Siangkoan Eng memandang kagum dan hatinya semakin tertarik. Bukan main pemuda itu pikirnya, sambil termenung. Ilmu silatnya tinggi, bahkan pandai memainkan jurus berbagai aliran persilatan, wajahnya tampan, sikapnya agung seperti bangsawan, gerak-geriknya lembut dan bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini! Pemuda itu mampu mengimbangi pelayannya yang utama sampai empat puluh jurus, bahkan kini pelayannya sudah terdesak hebat.

   "Haiiiiittttt!"

   Tiba-tiba Cia Ceng Sun berseru nyaring dan serangannya mendatangkan angin pukulan yang amat kuat, membuat nona baju kuning itu terpaksa menggunakan kedua tangan menangkis.

   "Dukkk!"

   Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, nona baju kuning itu terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir saja roboh kalau Siangkoan Eng tidak cepat melompat ke depan dan menyambar lengannya.

   "Kau mundurlah!"

   Kata Siangkoan Eng. Pelayan itu pun mundur dan kini nona cantik jelita itu berhadapan dengan Cia Ceng Sun yang cepat memberi hormat.

   "Maaf kalau aku kesalahan tangan. Aku sudah puas dapat menguji ilmu silat dan biarlah sekarang aku mengaku dan memperkenalkan namaku. Aku bernama Cia Ceng Sun, seorang pemuda perantau yang hidup di antara langit dan bumi tanpa tempat tinggal tertentu. Aku pun tidak mewakili golongan mana pun, hanya ingin meluaskan pengalaman."

   Dia memberi hormat ke arah ketua Pao-beng-pai dan hendak kembali ke tempat duduknya.

   "Cia-kongcu (tuan muda Cia), nanti dulu!"

   Terdengar seruan halus dan Cia Ceng Sun menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya, memandang kepada gadis jelita yang berhadapan dengannya.

   "Nona, aku sudah memperkenalkan diri sebagai tamu, ada urusan apa lagikah yang dapat kulakukan untuk keluarga tuan rumah?"

   Siangkoan Eng tersenyum dan nampak giginya yang rata dan putih itu berkilauan sejenak.

   "Harap jangan salah mengerti, Kongcu. Engkau telah memperke-nalkan diri, tidak sepantasnya kalau aku sebagai nona rumah juga tidak memperkenalkan diri. Aku bernama Siangkoan Eng dan aku mewakili orang tuaku dan mewakili Pao-beng-pai untuk berkenalan dengan ilmu silatmu yang tinggi. Ingin sekali aku mengajak engkau berlatih sejenak untuk mengenal ilmu masing-masing. Sudikah engkau memenuhi keinginanku ini, Kongcu?"

   Cia Ceng Sun terbelalak. Bukan main gadis ini! Begitu pandai membawa diri dan kalau tadi nampak begitu dingin, kini begitu ramah dan wajahnya cerah seperti matahari baru terbit dari balik gunung. Dan manisnya bukan main, cantik jelita seperti seorang puteri istana! Lebih lagi karena kalau puteri istana dikekang oleh adat istiadat yang kaku, gadis ini demikian bebas seperti bunga mawar hutan yang semerbak harum dan indah. Dia teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak jatuh hati kepada gadis lain, karena dia sudah ditunangkan dengan seorang gadis lain yang juga seorang gadis perkasa dengan julukan Si Bangau Merah. Akan tetapi, dia belum pernah berhadapan dengan Si Bangau Merah. Apakah ia secantik gadis di depannya ini?

   "Nona Siangkoan terlalu memujiku. Kepandaian silatku memang hanya sejajar dengan tingkat kepandaian pelayanmu, Nona. Kalau melawanmu, mana mungkin aku dapat mengimbangimu?"

   "Cia-kongcu, harap jangan terlalu merendahkan diri. Kita hanya berlatih sebentar untuk menambah pengetahuan masing-masing dan harap jangan sungkan. Marilah, Kongcu."

   Sikap Siangkoan Eng demikian membujuk dan manis sehingga Cia Ceng Sun yang tadinya tidak ingin bertanding lagi, menjadi tertarik.

   "Baik, harap jangan terlalu kejam kepadaku, Nona. Nah, aku sudah siap, silakan Nona mulai."

   Pemuda itu yang maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat tangguh, sudah memasang kuda-kuda Lo-han-hun dari aliran Siauw-lim-pai, kuda-kuda yang amat kokoh kuat dan tangguh seperti benteng baja. Melihat kuda-kuda ini, Siangkoan Eng tersenyum.

   "Cia-kongcu, awas terhadap seranganku! Hiaaaaattttt....!"

   Dan ia pun menyerang dengan jurus ilmu silat Siauw-lim-pai pula! Tentu saja Cia Ceng Sun terkejut dan kagum, maka dia pun menyambut serangan itu dengan tangkisan dan membalas serangan lawan dengan jurus ilmu silat Siauw-lim-pai. Belasan jurus mereka saling serang dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, kemudian tiba-tiba gadis itu mengubah ilmu silatnya, kini ia menyerang dengan ilmu silat dari Bu-tong-pai. Dan Cia Ceng Sun juga mengimbangi dengan ilmu silat yang sama! Demikianlah, pertandingan itu berlangsung seru bukan main, keduanya menukar-nukar ilmu silat dan selalu diimbangi lawan dengan ilmu yang sama. Gerakan mereka tangkas dan gesit, juga dalam hal tenaga sinkang, mereka seimbang.

   Sesungguhnya, kalau Siangkoan Eng menghendaki, tingkatnya masih lebih tinggi daripada tingkat kepan-daian Cia Ceng Sun dan biarpun pemuda itu merupakan lawan yang tangguh baginya, namun kalau ia bersungguh-sungguh akhirnya pemuda itu akan kalah. Apalagi kalau gadis itu mau mempergunakan kekuatan sihir atau ilmu pukulan sesat beracun yang amat berbahaya dari didikan ibunya, tentu pemuda itu akan celaka. Hanya saja, gadis itu memang tidak ingin mencelakai Cia Ceng Sun. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Siangkoan Eng merasa tertarik dan sayang kepada seorang pemuda dan ia sengaja mengalah. Enam puluh jurus telah lewat dan pertandingan itu masih ramai dan seru, seolah tidak ada yang menang atau kalah, dan nampaknya seimbang dan setingkat. Kecepatan gerakan mereka, keindahan gerakan mereka, membuat semua orang merasa kagum. Lauw Cu Si, ibu dari Siangkoan Eng, berbisik kepada suaminya,

   "Anakmu agaknya sudah menjatuhkan pilihan hatinya."

   Siangkoan Kok mengelus jenggotnya yang panjang dan rapi,

   "Kalau memang benar, apa salahnya? Pemuda itu cukup tampan dan gagah, dan pembawaannya seperti seorang bangsawan. Kita hanya perlu mengetahui siapa orang tuanya."

   Suaminya berbisik pula. Pada saat itu, Cia Ceng Sun merasa penasaran juga. Belum pernah dia dikalahkan oleh seorang wanita dalam pertandingan silat, dan kini dia sama sekali tidak mampu mengalahkan gadis ini, bahkan mendesak pun tidak mampu.

   Dia merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia melompat ke depan lalu menyerang dengan kedua lengan diluruskan dan kedua tangan terbuka mendorong ke depan dengan jurus Pat-bua-twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung), kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk, kedua tangan lurus mendorong ke arah lawan sambil mengerahkan tenaga sin-kang. Ini merupakan serangan yang mengandalkan tenaga sakti dan hawa dorongannya saja mampu membuat lawan terlempar. Akan tetapi melihat serangan ini, Siangkoan Eng tidak mengelak atau menangkis, melainkan meloncat pula ke depan, membuat gerakan yang sama dan menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangan pula, dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lututnya. Kedudukan mereka persis sama, dan kini dua pasang tangan yang terbuka itu saling bertemu.

   "Plakkk!"

   Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat! Keduanya seperti tergetar dan terguncang karena pertemuan tenaga sin-kang itu, akan tetapi keduanya dapat bertahan!

   Mereka saling pandang dalam jarak dekat, hanya terpisah juluran lengan. Mereka dapat saling merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh masing-masing, dan keduanya tersenyum. Mereka seperti sedang bercanda atau bercumbu dengan cara yang aneh. Keduanya saling dorong, akan tetapi Siangkoan Eng sengaja membatasi tenaganya sehingga mereka seimbang dan dua pasang telapak tangan itu seperti melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi. Banyak di antara para tamu yang memandang dengan hati berdebar tegang. Adu tenaga seperti itu amatlah berbahaya bagi yang kalah! Salah-salah dapat merenggut nyawa seorang di antara mereka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa hal ini tidak mungkin terjadi karena sebenarnya tenaga sin-kang Siangkoan Eng lebih kuat sehingga gadis ini dapat mengatur dan mengendalikan adu tenaga itu.

   Kalau tenaga mereka seimbang, memang dapat, berbahaya. Dan agaknya Cia Ceng Sun juga menyadari, bahwa sebetulnya dia kalah kuat. Buktinya, gadis itu nampak santai saja dan tidak nampak khawatir seperti dia, maka dia pun kini tersenyum dan maklum bahwa keadaan mereka tidak berbahaya karena gadis itu menguasai tenaga mereka. Jantung pangeran ini berdebar ketika melalui telapak tangan itu dia merasakan suatu kehangatan dan kelembutan yang membuat kedua pipinya menjadi kemerahan. Pada saat itu nampak Yo Han cepat naik ke tempat pertandingan itu dan tanpa ragu-ragu lagi dia menengahi, menggunakan kedua tangannya mendorong di tengah-tengah, ke arah dua pasang tangan yang saling tempel.

   "Cukup, harap kalian mundur?"

   Kata-nya dan dari dorongannya muncul tenaga yang amat dahsyat, yang membuat Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun terdorong mundur sampai tiga langkah dan dengan sendirinya tempelan dua pasang tangan itu terlepas, namun tidak mendatangkan bahaya kepada keduanya. Mereka hanya merasa kedua lengan mereka tergetar dan mereka terdorong hawa pukulan yang dahsyat. Diam-diam Cia Ceng Sun terkejut dan memandang kepada Yo Han dengan sinar mata penuh kagum.

   "Siangkoan Siocia, terima kasih atas pelajaran yang kau berikan kepadaku,"

   
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya sambil memberi hormat kepada gadis itu. Siangkoan Eng membalas dan tersenyum.

   "Cia-kongcu, engkaulah yang telah memberi pelajaran kepadaku. Terima kasih."

   Kini Cia Ceng Sun menghadapi Yo Han dan setelah mereka saling pandang penuh perhatian, pangeran itu berkata,

   "Sobat, engkau hebat. Terima kasih."

   Lalu dia kembali ke tempat duduknya, meninggalkan Yo Han yang kini berdiri di situ, berhadapan dengan Siangkoan Eng. Gadis ini mengerutkan alisnya dan nampak marah, akan tetapi pada saat itu, ayahnya berkata dengan suara yang dalam.

   "Eng Eng, engkau mundurlah, biar aku sendiri menghadapi sobat muda itu."

   Kiranya ketua Pao-beng-pai ini sudah waspada dan tadi melihat gerakan Yo Han. Dia tahu bahwa puterinya memiliki tenaga sin-kang yang sudah kuat,

   Dan tahu pula bahwa puterinya tadi mengalah terhadap pemuda she Cia itu sehingga biarpun mereka nampaknya mengadu tenaga sin-kang, namun puterinya dapat mengendalikan tenaga mereka dan keadaan keduanya sama sekali tldak berbahaya. Lalu muncul pemuda yang lain itu, yang dengan sekali dorong saja mampu membuat kedua orang itu terdorong mundur ini berarti bahwa pemuda yang baru muncul ini memiliki kekuatan sin-kang yang amat hebat, yang dapat sekaligus melawan kekuatan Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun yang bergabung menjadi satu! Maklum akan hal ini, Siangkoan Kok dapat menduga bahwa pemuda yang baru muncul ini lihai sekali dan mungkin puterinya tidak akan mampu menandinginya, maka dia sendiri akan maju. setelah puterinya mundur, dia pun bangkit dan melangkah maju menghadapi Yo Han.

   Dua orang laki-laki itu berdiri berhadapan dalam jarak empat meter. Yo Han bersikap angkuh dan dingin dan sikap ini merupakan pelaksanaan dari siasat yang sudah direncanakannya. Untuk dapat mencari jejak penculik puteri bibinya, dia harus berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, bergaul dengan golongan sesat dan bersikap seperti seorang pemuda sesat pula, atau setidaknya seorang pemuda yang memusuhi keluarga besar para pendekar terutama sekali memusuhi ayah dan ibu anak yang diculik itu. Itulah sebabnya dia bersikap seperti seorang pemuda yang tinggi hati, dingin dan kejam, sikap seorang pemuda golongan sesat! Setelah saling pandang beberapa lamanya, melihat pemuda itu sama sekali tidak mau menghormatinya, Siangkoan Kok mengerutkan alisnya dan dengan suaranya yang mengguntur dia berkata,

   "Sobat muda! Engkau datang ke sini, berarti engkau adalah tamu kami. Nah, perkenalkan namamu dan katakan mengapa engkau usil tangan mencampuri adu ilmu yang dilakukan puteri kami tadi?"

   Yo Han mengangguk dan dengan sikap congkak dia pun berkata,

   "Pangcu, aku sudah mendengar bahwa engkau adalah pangcu dari Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Pertemuan ini memang kupergunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang sehaluan dan juga segolongan. Dan aku belum memperkenalkan nama, karena memang aku menunggu kesempatan terakhir ini untuk bicara kepada seluruh saudara segolongan yang kini berkumpul di sini!"

   Sikap, yang congkak ini. membuat Siangkoan Kok semakin senang, akan tetapi juga membuat dia ingin sekali tahu siapa pemuda ini dan apa maunya.

   "Hemmm, baiklah, kau perkenalkan diri dan katakan apa kehendakmu datang ke sini. Kalau memang beralasan kami mau menerimanya, akan tetapi kalau engkau hanya ingin mengacau, jangan salahkan kami kalau terpaksa kami akan membunuhmu!"

   Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok kembali duduk di kursinya. Semua orang memandang dengan hati tegang kepada Yo Han yang kini berdiri seorang diri di atas panggung yang tadi dipergunakan untuk mengadu ilmu silat. Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,

   "Dia bocah iblis dari Thian-li-pang itu!"

   Semua orang menengok dan yang berteriak itu adalah tosu Pek-lian-kauw, Kui Thian-cu yang tadi dikalahkan Siangkoan Eng dalam pertandingan. Dia sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan menuding-nuding ke arah Yo Han. kiranya tosu Pek-lian-kauw ini masih ingat kepada Yo Han yang kurang lebih tiga tahun yang lalu pernah dia jumpai di perkumpulan Thian-li-pang, yaitu ketika dia berkunjung ke sana bersama rekannya, Kwan Thian-cu. Belum juga gema suara Kui Thiancu hilang, terdengar seruan nyaring yang lain,

   "Tosu dari Pek-lian-kauw harap jangan menghina pemimpin kami! Saudara sekalian, perkenalkanlah, pemuda perkasa ini adalah pemimpin dari kami Thian-li-pang yang telah menyerahkan kedudukan ketua kepada ketua kami yang sekarang!"

   Semua orang menengok dan melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun. Dan laki-laki itu tidak peduli kepada semua orang, melainkan kini dari tempat duduknya menghadap ke arah Yo Han dan memberi hormat sambil berkata,

   "Yo-taihiap, maafkan kelancangan saya. Saya Thio Cu dari Thian-li-pang diutus ketua Lauw untuk mewakili Thian-li-pang hadir di sini."

   Yo Han tidak mengenal orang itu, akan tetapi kini dia tahu bahwa Thio Cu itu tentu seorang tokoh Thian-li-pang, maka dia pun mengangguk dengan sikap yang angkuh. Siangkoan Kok memandang kepadanya.

   "Orang muda, harap cepat perkenalkan diri dan nyatakan apa kehendakmu di sini."

   Katanya. Yo Han memandang ke empat penjuru, lalu menghadap pihak tuan rumah dan berkata sambil membusungkan dada.

   "Cuwi (Anda Sekalian), dengarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Yo Han dan seperti dikatakan Paman Thio Cu dari Thian-li-pang tadi, aku adalah seorang pimpinan Thian-li-pang akan tetapi aku tidak mau memegang kedudukan ketua dan kuserahkan kepada Paman Lauw Kang Hui. Aku lebih senang merantau untuk melaksanakan tugasku yang teramat penting. Kalau tosu Pek-lian-kauw itu merasa tidak suka kepadaku, hal itu tidak aneh karena aku pernah melarang Thian-li-pang untuk bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Kurasa, Thian-li-pang sama dengan Pao-beng-pai, yaitu sekelompok patriot yang menentang penjajah Mancu, bukan kelompok penjahat yang menggunakan kedok perjuangan untuk berbuat jahat. Aku sendiri pun bukan orang bersih, tapi aku pantang mengganggu rakyat jelata. Hendaknya Cuwi ketahui bahwa aku tidak mewakili siapapun, ayah ibuku sudah tiada. Ayahku bernama Yo Jin dan ibuku tentu Cuwi sudah mengenalnya. Ia bernama Ciong Siu Kwi, berjuluk Bi Kwi."

   Terdengar seruan di sana-sini karena nama Bi Kwi pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan. Bi Kwi (Setan Cantik) terkenal sebagai seorang tokoh yang aneh dan kejam.

   "Hemmm, Yo Han, kami ingat bahwa Bi Kwi dahulunya memang tokoh kang-ouw yang terkenal, murid Sam Kwi (Tiga Setan), akan tetapi kemudian ia membalik. dan bergabung dengan mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar, memihak orang Mancu!"

   Teriak Siangkoan Kok dan terdengar banyak suara membenarkan.

   "Itu hanya kabar bohong, Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan)! Aku sebagai anaknya yang lebih tahu. Ayahku tewas, ibuku juga tewas membunuh diri, semua itu gara-gara mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Lembah Naga. Aku mendendam kepada mereka, terutama aku membenci sekali kepada bekas bibi guruku, adik seperguruan mendiang ibu yang bernama Can Si Lan berjuluk Siauw Kwi! Can Bi Lan itulah yang telah membujuk sucinya, yaitu ibuku, untuk bergabung dengan mereka, dan Can Bi Lan sendiri menjadi isteri pendekar Suling Naga Sim Houw! Aku ingin mengajak mereka yang menentang pemerintah Mancu untuk tidak saja menentang pemerintah itu, juga untuk membasmi para antek Mancu, terutama sekali Can Bi Lan dan suaminya, Sim Houw!"

   Yo Han bicara dengan semangat berapi-api, matanya mencorong seolah dia marah besar dan amat membenci nama-nama yang baru saja dia sebutkan. Inilah siasatnya. Dia ingin melacak jejak penculik puteri bibinya itu dengan cara mendekati orang-orang kang-ouw dan bersikap seolah dia memusuhi suami isteri yang kehilangan anaknya itu. Kembali suasana menjadi gaduh setelah dia berhenti bicara.

   Para tamu saling bicara sendiri dan karena sebagian besar di antara mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang memang tidak suka kepada para pendekar dari tiga keluarga itu, maka kebanyakan di antara mereka setuju dengan pendapat Yo Han. Akan tetapi, ada pula yang terkejut mendengar hal itu dan di antara mereka adalah para wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Juga Pangeran Cia Sun diam-diam terkejut sekali. Pemuda itu merupakan bahaya bagi kerajaan keluarga kakeknya! Justeru kerajaan di bawah pimpinan kakeknya selalu ingin mendekati para pendekar dan para tokoh kang-ouw untuk memanfaatkan kekuataan.mereka, pemuda ini malah menghasut. Dia sendiri pun tadinya selain ingin menambah pengetahuan, ingin pula menyelidiki sampai berapa jauhnya gerakan Pao-beng-pai yang kabarnya merupakan perkumpulan yang hendak menentang pemerintah Mancu.

   "Omitohud....!!"

   Tiba-tiba terdengar suara halus dan seorang pendeta berkepala gundul yang usianya sudah enam puluh tahun maju menghadapi Yo Han. Dia adalah seorang di antara utusan Siauw-lim-pai yang merasa penasaran sekali ketika mendengar bahwa Yo Han hendak membasmi keluarga Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga.

   

Si Bangau Merah Eps 14 Kisah Si Bangau Putih Eps 28 Suling Naga Eps 35

Cari Blog Ini