Ceritasilat Novel Online

Si Bangau Merah 14


Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Sian Li tertidur atau tak ingat diri di panggulan pundak kakek itu. Akan tetapi udara pagi yang dingin itu menyadarkannya dan kini, biarpun tubuhnya tidak tampak bergerak, ia depat bersuara dan berulang-ulang ia minta agar kakek itu melepaskan dirinya. Akan tetapi, Hek-pang Sin-kai hanya terkekeh dan tidak mempedulikannya. Pagi itu amat sunyi dan Sian Li sudah hampir putus asa. Suaranya sudah parau karena sejak tadi ia berseru minta dilepaskan dan kini ia berdiam diri. Percuma saja bicara, pikirnya. Saat itu masih pagi sekali dan di sepanjang jalan tidak pernah bertemu orang. Nanti saja kalau ada orang, ia akan menjerit minta tolong. Tiba-tiba ia melihat seorang nenek datang dari arah kiri di sebuah jalan persimpangan. Melihat ada orang, Sian Li lalu bicara lagi, kini ia bahkan mengerahkan tenaga agar suaranya terdengar lantang.

   "Kakek jahat, lepaskan aku!"

   Teriaknya dan karena kepalanya tergantung di belakang pundak kakek itu, Sian Li dapat melihat betapa nenek yang datang dari jalan simpangan itu menengok, kemudian nenek itu pun membelok dan mengikuti penculiknya dari belakang. Melihat ini, Sian Li berkata lagi.

   "Kakek jahat, lepaskan aku. Engkau sungguh berani mati menculikku. Kalau Ayah Ibuku mengetahui, engkau tentu akan mereka bunuh!"

   "Heh-heh-heh, aku tidak takut ayah ibumu, anak manis!"

   Kata Hek-pang Sin-kai, terkekeh mendengar bahwa ayah ibu anak itu akan membunuhnya.

   "Engkau tertawa karena tidak mengetahui siapa Ayah Ibuku. Kalau engkau tahu, engkau akan mati berdiri!"

   Kata pula Sian Li dan ia melihat betapa nenek yang berjalan di belakang itu mempercepat langkahnya sehingga jaraknya semakin dekat, hanya sepuluh meter saja di belakangnya. Kembaii kakek jembel itu tertawa bergelak mendengar ancaman Sian Li yang dianggapnya hanya gertak belaka.

   "Ayahku adalah Tan Sin Hong yang berjuluk Si Bangu Putih! Dan ibuku adalah keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es!"

   Kata pula Sian Li dan sekali ini, benar saja ia merasa betapa tubuh yang memanggulnya itu menegang.

   "Hemm, engkau hanya membual!"

   Kata kakek jembel itu, akan tetapi kini tawanya hilang karena dia benar-benar amat terkejut mendengar ucapan Sian Li.

   "Siapa membual? Ibuku bernama Kao Hong Li. Kakekku Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Istana Gurun Pasir, sedangkan nenekku Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es!"

   Kini Hek-pang Sin-kai tidak dapat berpura-pura lagi. Dia memang kaget bukan main mendengar ucapan itu. Dia tahu bahwa anak ini tidak mungkin membual karena dari mana anak ini dapat mengenal nama-nama besar itu? Akan tetapi, di samping kekagetannya, dia bahkan menjadi semakin gembira.

   "Bagus! Kalau begitu, engkau keturunan para pendekar sakti. Engkau pantas menjadi muridku!"

   Katanya gembira dan bangga karena kalau dia dapat mengambil murid keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es, namanya tentu akan terangkat tinggi sekali! Tiba-tiba kakek jembel itu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar ke arah kepala dan dadanya yang datang dari sebelah kanan. Dia mengenal serangan ampuh, maka cepat dia membalik ke kanan dan menggerakkan tongkat dan tangan kirinya untuk menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Sian Li yang dipanggul di atas pundak kanannya, telah dirampas orang! Ketika dia membalik, dia melihat seorang wanita tua sudah menurunkan Sian Li dan bahkan telah membebaskan totokan atas diri gadis cilik itu.

   "Anak baik, engkau minggirlah, biar kubereskan jembel busuk ini!"

   Kata nenek tadi sambil mendorong Sian Li dengan lembut ke samping. Sian Li menurut dan anak itu pun menjauh, berdiri di tepi jalan yang masih sunyi itu sambil memandang kepada dua orang tua yang sudah saling berhadapan itu dengan hati tegang. Ia masih belum tahu siapa nenek itu dan orang macam apa. Kalau nenek itu seorang penjahat pula seperti kakek jembel, ia pun tidak akan sudi ditolong dan ikut dengannya. Dengan muka merah karena marah. Hek-pang Sin-kai menudingkan tongkat hitamnya ke arah muka nenek itu.

   "Nenek tua bangka, apakah engkau sudah bosan hidup maka berani menentang Hek-pang Sin-kai?"

   Nenek itu tersenyum dan sungguh mengagumkan. Nenek yang usianya sedikitnya enam puluh tujuh tahun itu, yang rambutnya sudah hampir putih semua,

   Begitu tersenyum, nampak jauh lebih muda karena giginya masih berderet rapi! Mudah diduga bahwa nenek ini di waktu mudanya tentu cantik manis. Bahkan dalam usia sekian tuanya, tubuhnya masih ramping padat. Memang ia bukan wanita sembarangan. Ia adalah nenek Bu Ci Sian, isteri dari pendekar Kam Hong yang terkenal sebagai Pendekar Suling Emas! Nenek ini, disamping sebagai isteri pendekar itu, juga terhitung sumoinya (adik seperguru-an) dan telah neenguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sinim (Tiupan Suling Sakti Sinar Emas). Disamping ilmu-ilmu yang khas sebagai pewaris Suling Emas, juga nenek ini seorang pawang ular yang ahli. Bahkan ia pernah menerima pelajaran sin-kang gabungan Im dan Yang dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil, putera dari mendiang Pendekar Super Sakti!

   "Bagus! Kiranya engkau yang berjuluk Hek-pang Sin-kai? Sudah lama aku mendengar akan nama busukmu. Kebetulan sekali, tidak perlu aku pergi jauh-jauh mencarimu untuk menghajarmu sampai engkau bertaubat dan tidak melakukan kejahatan lagi!"

   "Nenek sombong! Katakanlah siapa engkau sebelum tongkatku menamatkan riwayat hidupmu."

   Senyum itu masih belum menghilang dari wajah nenek yang pakaiannya serba putih seperti orang berkabung namun yang rapi dan bersih itu.

   "Pengemis jahat, orang macam engkau tidak pantas mengenal siapa namaku."

   "Bagus! Kalau begitu, mampuslah tanpa nama!"

   Bentak Hek-pang Sin-kai dan dia pun sudah menerjang dengan tongkatnya.

   Dari cara nenek itu tadi merampas Sian Li dari pundaknya saja dia sudah dapat menduga bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang tak boleh dipandang ringan, maka begitu menyerang, dia sudah mempergunakan tongkatnya tanpa peduli bahwa nenek itu bertangan kosong, dan dia pun menyerang dengan jurus-jurus maut dari ilmu tongkatnya. Tongkat hitam itu bagaikan seekor ular hidup, meluncur ke depan dan membuat gerakan memutar seperti hendak melingkari leher lawan. Ketika nenek itu melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah leher itu, ujung tongkat terus meluncur ke depan karena pengemis itu pun sudah melangkah maju dan kini ujung tongkat membuat gerakan serangan menotok bertubi-tubi ke arah jalan-jalain darah terpenting di bagian depan tubuh! Serangan itu sungguh dahsyat dan merupakan serangan maut.

   "Hemm, kejam sungguh!"

   Nenek Bu Ci Sian berseru lirih. Pengemis itu tidak pernah bermusuhan dengannya, akan tetapi kini agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhnya! Ia menggunakan kelincahan gerakannya yang masih gesit untuk mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, totokan berikutnya terus mengancam sehingga terpaksa nenek itu mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.

   Nampak sinar keemasan dibarengi suara meraung nyaring dan tinggi sehingga mengejutkan hati Hek-pong Sin-kai. Suara melengking yang keluar dari suling yang digerakkan itu seperti menusuk telinganya dan menyerang jantungnya! Dia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi diri dari suara itu, akan tetapi serangannya menjadi gagal. Dengan penasaran dan marah, dia pun mengatur serangkaian serangan berikutnya. Akan tetapi, kini dia mengalami hari naas bertemu dengan nenek yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya! Begitu nenek Bu Ci Sian memainkan sulingnya, nampak sinar emas bergulung-gulung menyilauhan mata dan pengemis itu menjadi terkejut dan bingung karena selain gerakan tongkatnya selalu menemui tembok sinar keemasan yang menahan gerak serangannya,

   Juga dia merasa terkurung oleh sinar emas itu yang selain menyambar-nyambar dengan ancaman dahsyat, juga selalu mengeluar-kan bunyi yang menusuk-nusuk telinganya! Tentu saja kakek jembel itu kewalahan karena nenek Bu Ci Sian telah memainkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang pernah menggetarkan dunia persilatan. Nenek Bu Ci Sian bukanlah seorang yang kejam, walaupun dahulu di waktu mudanya ia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang galak dan tak mengenal ampun terhadap para penjahat. Setelah ia menjadi isteri suhengnya sendiri, yaitu pewaris Suling Emas, ia menjadi lembut dan tidak kejam untuk melakukan pembunuhan. Walaupun ia tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang jahat, namun ia tidak tega untuk membunuhnya.

   Kalau ia menghendaki, dalam waktu dua puluh jurus saja ia akan mampu merobohkan dan menewaskan Hek-pang Sin-kai. Akan tetapi, kini ia hanya menggunakan sulingnya untuk mengepung dengan sinar yang bergulung-gulung, dan kadang-kadang memukul tidak terlalu keras ke arah pundak, punggung, lengan sehingga kakek jembel itu seperti anak nakal yang digebuki ibunya! Maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi nenek itu. Hek-pang Sin-kai lalu meloncat jauh ke belakang dan tiba-tiba dia melontarkan tongkatnya. Itulah ilmunya yang terakhir, yang diandalkan dan dilakukan di waktu dia telah tersudut dan kalah. Selain untuk dapat menyerang dan membunuh lawan secara tiba-tiba, juga lontaran tongkat itu dipergunakan untuk melarikan diri, agar lawan tidak dapat melakukan pengejaran. Tongkat meluncur dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke dada nenek Bu Ci Sian.

   "Hemm....!"

   Nenek itu menggerakkan suling emas di tangannya menyambut tongkat dan begitu tongkat yang meluncur itu bertemu suling, suling diputar dan tongkat itu berputaran menempel pada suling.

   "Hyaaattt....!"

   Nenek Bu Ci Sian menggerakkan sulingnya dan tongkat yang sudah terputar-putar melekat pada suling itu tiba-tiba meluncur balik ke arah pemiliknya yang sudah melarikan diri! Akan tetapi, nenek itu mencari sasaran yang tidak mematikan dan tongkat itu dengan tepat menancap dan menembus paha kiri Hek-pang Sin-kai dari belakang! Kakek jembel itu mengeluarkan teriakan kesakitan. Akan tetapi saking takut kalau dikejar dan dibunuh, dia tetap berloncatan lari sambil terpincang-pincang, membawa lari tongkat yang menembus paha kirinya. Sejak tadi, Sian Li mengikuti pertandingan itu dan diam-diam ia merasa girang bahwa nenek itu dapat mengalahkan kakek jembel yang jahat. Akan tetapi, ia merasa kecewa melihat nenek itu membiarkan Si Bongkok jahat itu pergi.

   "Nek, kenapa tidak kau bunuh saja kakek jembel jahat itu?"

   Mendengar ucapan ini, nenek Bu Ci Sian menghampiri Sian Li dan alisnya berkerut.

   "Kenapa dibunuh?"

   Tanyanya.

   "Dia jahat. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau membebaskan mereka yang akan menjadi korbannya di kemudian hari. Sekarang engkau malah membiarkan dia pergi. Tentu dia akan mencelakai banyak orang lagi dan kalau hal itu terjadi, berarti engkau pun ikut bersalah, Nek."

   Nenek Bu Ci Sian terbelalak. Anak ini sungguh cerdik, akan tetapi juga galak dan tak kenal ampun terhadap orang jahat. Ia tersenyum, teringat akan wataknya sendiri di waktu muda.

   "Anak baik, benarkah engkau cucu Kao Cin Liong dan Suma Hui? Sian Li memandang tajam,

   "Apakah kau kira aku ini seorang yang suka berbohong?"

   "Kalau benar, berarti kita ini bukan orang lain, anak yang baik. Engkau mengenal Suma Ceng Liong?"

   "Tentu saja!"

   Kata anak itu,

   "Dia masih keluarga nenekku, adik nenekku, bahkan dia calon guruku."

   "Ehh?"

   Tentu saja nenek Bu Ci Sian menjadi heran mendengar pengakan itu.

   "Engkau menjadi muridnya? Bagaimana pula ini?"

   "Sebelum aku menceritakan hal itu, aku ingin tanya lebih dulu. Siapakah engkau, Nek?"

   Nenek Bu Ci Sian kembali tersenyum. Anak ini memang cerdik dan berhati-hati.

   "Engkau sudah mengenal Suma Ceng Liong, tentu mengenal pula isterinya."

   "Tentu saja. Nenek Kam Bi Eng amat baik kepadaku ketika berkunjung ke rumah Kakek Kao Cin Liong dan kami bertemu disana,

   "Nah, aku adalah nenek buyutmu, aku adalah ibu dari nenekmu Kam Bi Eng itulah."

   "Aih, kiranya Nenek Buyut Bu Ci Sian!"

   Kata Sian Li sambil cepat memberi hormat sambil berlutut. Nenek itu girang sekali, mengangkat bangun anak itu, dan memeluknya.

   "Engkau bahkan sudah mengenalku?"

   "Tentu saja. Sejak kecil Ayah dan Ibu sudah mendongeng kepadaku tentang Kakek Buyut Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas, juga tentang Nenek Buyut. Sekarang baru aku melihat sendiri bahwa Nenek Buyut memang lihai bukan main, dengan mudah mengalahkan Hek-pang Sin-kai yang lihai dan jahat tadi."

   "Sekarang ceritakan bagaimana kau dapat terculik pengemis itu, dan di mana adanya ayah ibumu."

   Sian Li menceritakan tentang pengalaman ia dan ayah ibunya di kota Heng-tai, tentang persekutuan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang mengadakan persekutuan jahat. Karena Sian Li memang cerdik dan ia sudah mendengar dari ayah ibunya, ia dapat bercerita dengan jelas dan mendengar itu, wajah nenek Bu Ci Sian berubah tegang.

   "Aihh, kalau begitu, ayah ibumu menghadapi urusan besar yang menyangkut keselamatan keluarga Kaisar. Pantas saja engkau diculik orang dan tidak kebetulan, yang menolongmu juga seorang tokoh sesat macam Hek-pang Sin-kai. Untung sekali agaknya Tuhan yang menuntunku pagi-pagi ini lewat di sini sehingga dapat melihat engkau dalam tawanan penjahat itu. Akan tetapi, apa artinya engkau tadi mengatakan bahwa Suma Ceng Liong akan menjadi calon gurumu?"

   "Sebetulnya, aku bersama Ayah Ibu meninggalkan rumah sedang menuju ke Cin-an karena sudah tiba saatnya aku harus belajar ilmu dari Kakek Suma Ceng Liong seperti yang telah dijanjikan antara dia dan Ayah. Sebelum ke sana, Ayah dan Ibu mengajak aku berpesiar ke kota raja. Akan tetapi ketika tiba di kota Heng-tai, terjadi peristiwa itu."

   "Aih, begitukah? Bagus sekali kalau begitu. Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju ke rumah anak dan mantuku itu."

   "Akan tetapi, Ayah dan Ibu akan mencari-cariku, Nek. Mereka akan menjadi bingung. Sebaiknya kalau kita kembali dulu ke Heng-tai dan...."

   "Berbahaya sekali, cucuku. Seperti ceritamu tadi, di sana penuh dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Kalau sampai mereka melihatmu dan mereka mengeroyokku, bagaimana aku akan mampu melindungimu?"

   "Aku tidak takut, Nek."

   "Bukan soal takut atau tidak takut, cucuku. Akan tetapi, setelah kini engkau terbebas dari bahaya, apakah kita harus mendatangi bahaya lagi dan membiarkan engkau tertawan musuh? Kalau begitu, ayah dan ibumu tentu akan gelisah sekali. Sebaiknya, mari kuantar engkau ke Cin-an. Aku yakin ayah dan ibumu akan pergi ke sana pula. Kalau tidak, aku sendiri yang akan mencari mereka ke Heng-tai, kemudian ke kota raja, dan kalau perlu aku akan berkunjung ke Ta-tung untuk memberitahu mereka bahwa engkau telah berada di Cin-an."

   Akhirnya Sian Li menurut karena bagaimanapun juga, oleh ayah dan ibunya ia memang akan diantarkan ke Cin-an. Berangkatlah mereka ke Cin-an dan mereka diterima dengan penuh kegembiraan oleh Suma Ceng Liong dan Isterinya, Kam Bi Eng.

   "Ibu, kenapa Ayah tidak ikut?"

   Kam Bi Eng bertanya. Ditanya demikian, tiba-tiba wajah nenek itu menjadi murung. Inilah yang dikhawatirkannya, namun sejak tadi ditahan-tahannya. Ia seorang wanita yang tabah, akan tetapi ia khawatir bahwa anaknya yang akan menderita duka.

   "Ibu, apa yang terjadi?"

   Kam Bi Eng merangkul ibunya begitu melihat wajah ibunya menjadi murung setelah ia bertanya tentang ayahnya. Nenek itu menghela napas panjang.

   "Engkau ingat berapa usia ayahmu tahun ini?"

   "Sudah lebih dari delapan puluh tahun, Ibu. Bukankah dua tahun yang lalu kita memperingati ulang tahunnya yang ke delapan puluh?"

   Kata Kam Bi Eng, masih mengamati wajah ibunya dengan khawatir.

   "Engkau benar. Usianya sudah delapan puluh dua dan dia telah meninggalkan kita dengan tenang sebulan yang lalu...."

   "Ibuuuu....!"

   Kam Bi Eng menjerit sambil merangkul ibunya dan pecahlah tangisnya.

   "Ibu, kenapa....? Kenapa Ibu diam saja? Kenapa aku tidak diberitahu?"

   Ia bertanya di antara ratap tangisnya. Nenek itu tidak ikut menangis, melainkan tersenyum lembut sehingga anaknya merasa heran memandangnya. Juga Suma Ceng Liong memandang kepada ibu mertuanya, lalu bertanya dengan hati-hati,

   "Akan tetapi, Ibu, kenapa kami tidak diberitahu tentang kematian Ayah?"

   Nenek Bu Ci Sian mengusap kepala puterinya.

   "Tenangkan hatimu, hentikan tangismu. Ini semua kehendak ayahmu. Dia sudah memesan agar begitu dia menghembuskan napas terakhir, aku segera mengurus jenazahnya yang harus dikebumikan pada hari kematiannya. Ini pesan ayahmu, dan juga dia berpesan agar perlahan-lahan aku memberitakan kematiannya kepadamu setelah lewat satu bulan."

   "Tapi.... tapi mengapa....?"

   Kam Bi Eng mencoba untuk menahan tangisnya.

   "Engkau mengenal ayahmu. Kadang aku sendiri sukar mengikuti jalan pikirannya. Dia tidak ingin jenazahnya dibiarkan berminggu atau berhari-hari, membusuk sebelum dikubur. Dia juga tidak ingin ditangisi, diratapi karena menurut pendapatnya, orang yang meratapi yang mati sebenarnya hanya menangisi diri sendiri. Dapat dibayangkan betapa sedihku ketika terpaksa memenuhi permintaan terakhirnya itu, menguburkan jenazahnya tanpa dihadiri kalian dan kerabat dekat, hanya dihadiri para tetangga saja. Sampai matinya, ayahmu ingin sederhana, memperlihatkan kerendahan hatinya dengan tidak mau menonjolkan diri."

   Mendengar suara yang mengandung kebanggaan itu, Kam Bi Eng merasa tidak tega untuk menangis lagi. Ia merangkul Ibunya.

   "Baiklah, Ibu. Kalau begitu, kami akan pergi ke makam Ayah untuk bersembahyang."

   Kemudian ia merangkul Sian Li dan bertanya kepada ibunya.

   "Bagaimana tahu-tahu Sian Li dapat datang bersama Ibu? Apakah Ibu yang singgah di rumah Sin Hong dan Hong Li, dan mengajak anak ini ke sini?"

   "Panjang ceritanya,"

   Kata nenek itu.

   "Secara kebetulan saja aku bertemu dengan Sian Li dan mendengar bahwa ia memang sedang diantar oleh ayah ibunya ke sini, maka aku lalu mengajaknya."

   Nenek itu lalu menceritakan apa yang terjadi. Mendengar cerita itu, Suma Ceng Liong berseru,

   "Aih, sungguh berbahaya sekali kalau Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw sampai berhasil menyusup ke dalam istana! Sin Hong dan Hong Li tentu menghadapi bahaya karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw banyak yang lihai."

   "Hemm, apakah engkau ingin kita pergi ke kota raja dan menentang mereka?"

   Tanya Bi Eng sambil memandang suaminya dengan penuh selidik. Ceng Liong mengenal sinar mata isterinya dan dia pun menggeleng sambil menghela napas panjang.

   "Kita tidak berkewajiban untuk melindungi Kaisar penjajah Mancu, akan tetapi bagaimana kita dapat tinggal diam saja kalau Sin Hong dan Hong Li terancam bahaya?"

   "Tentu saja tidak. Mari kita berangkat sekarang juga untuk mencari mereka,"

   Kata isterinya penuh semangat.

   "Tidak usah kalian sibuk,"

   Kata nenek Bu Ci Sian.

   "Aku yang akan mencari mereka. Aku memang sengaja mengantar Sian Li ke sini, kemudian aku akan kembali ke kota raja dan mencari mereka."

   "Aih, Ibu sudah tua dan baru saja datang setelah melakukan perjalanan jauh. Biar Ibu beristirahat di sini ditemani Sian Li dan Sian Lun. Kami yang akan mencari mereka."

   "Sian Lun? O ya, cucu muridku itu, di mana dia?"

   Nenek itu bertanya dan memandang ke kanan kiri. Hampir ia lupa bahwa puteri dan mantunya mempunyai seorang murid, dan ia sendiri sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai anak angkat oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu. Suami Isteri itu agaknya baru teringat dan Bi Eng lalu menoleh ke arah dalam lalu berteriak,

   "Sian Lun....! Di mana engkau? Kesinilah, nenekmu datang!"

   Dari arah belakang terdengar jawaban

   "Teecu datang, Subo!"

   Dan tak lama kemudian muncullah seorang pemuda remaja yang gagah perkasa. Pemuda ini biarpun baru berusia lima belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar seperti seorang dewasa. Wajahnya yang tampan itu cerah, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi dia pendiam dan sopan. Begitu tiba di situ, dia memberi hormat sambil berlutut ke arah nenek Bu Ci Sian.

   "Nenek, selamat datang dan terimalah hormat saya."

   Nenek itu memandang dengan wajah berseri, lalu menyentuh pundak anak muda itu dan menyuruhnya bangun berdiri.

   "Cukup, Sian Lun. Wah, engkau kini sudah kelihatan dewasa!"

   "Terima kasih, Nek."

   Pemuda itu lalu memberi hormat kepada suhu dan subonya.

   "Harap Suhu dan Subo maafkan teecu. Karena melihat nenek datang bersama tamu, meka teecu tidak berani ke luar, takut mengganggu pembicaraan penting."

   "Ah, tamu ini bukan orang lain, Sian Lun,"

   Kata Kam Bi Eng.

   "Ia bernama Tan Sian Li. Puteri keponakan kami Tan Sin Hong dan Kao Hong Li di Ta-tung. Sian Li, perkenalkan, ini murid kami bernama Liem Sian Lun."

   Dua orang remaja itu berdiri dan saling pandang. Sian Lun mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, dibalas oleh Sian Li dan gadis cilik ini memandang kepada Suma Ceng Liong lalu berkata dengan suaranya yang nyaring.

   "Ku-kong (Paman Kakek), aku harus menyebut dia bagaimana? Mengingat dia murid Kakek den Nenek, sepatutnya aku menyebutnya Su-siok (Paman Guru)...."

   Suma Ceng Liong tertawa.

   "Memang seharusnya engkau menyebut dia paman, mengingat bahwa dia murid kami dan engkau cucu kami. Akan tetapi, karena engkau juga akan belajar ilmu dari kami, berarti engkau menjadi murid kami pula dan kalian adalah saudara seperguruan."

   
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wajah Sian Li berseri.

   "Aih, kalau begitu aku boleh menyebutnya Suheng (Kakak Seperguruan)! Memang aku lebih senang menyebutnya Suheng, karena dia hanya sedikit lebih tua dariku. Kami lebih pantas menjadi saudara seperguruan daripada menjadi paman dan keponakan murid. Suheng, terimalah hormatku!"

   Katanya sambil menghadapi Sian Lun. Semua orang tersenyum dan Sian Lun dengan sikap tersipu membalas penghormatan itu.

   "Sumoi...."

   Katanya lirih. Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu menekankan lagi keinginan mereka kepada nenek Bu Ci Sian, dan akhirnya nenek ini menyetujui bahwa suami isteri itu yang akan mencari Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ke kota raja dan membantu mereka menghadapi para penjahat kalau diperlukan,

   Sedangkan nenek itu tinggal di rumah bersama Sian Li dan Sian Lun. Karena Sian Li selalu mengkhawatirkan keselamatan ayah ibunya, maka hari itu juga Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng berangkat meninggalkan rumah mereka, menuju ke kota raja, melakukan perjalanan secepatnya. Akan tetapi, tiga hari kemudian, mereka telah kembali bersama Sin Hong dan Hong Li! Tentu saja Sian Li gembira bukan main melihat ayah ibunya datang. Juga suami isteri itu gembira melihat Sian Li yang tadinya mereka khawatirkan karena anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Kiranya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li setelah selesai urusan di istana, juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Cin-an karena tidak berhasil menemukan jejak anak mereka. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.

   Tentu saja kedua pihak merasa gembira, terutama sekali Sin Hong dan Hong Li yang mendengar bahwa anak mereka dalam keadaan selamat dan kini berada di rumah paman mereka itu. Pertemuan yang membahagiakan itu mereka rayakan dengan pesta keluarga, walaupun berita tentang meninggalnya kakek Kam Hong sempat membuat mereka termenung dan berduka. Demikianlah, setelah beberapa hari tinggal di rumah Suma Ceng Liong, pada suatu hari mereka semua, termasuk Sian Li dan Sian Lun, pergi ke puncak Bukit Nelayan di mana berdiri Istana Kuno Khong-sim Kai-pang untuk bersembahyang di depan makam mendiang pendekar sakti Kam Hong yang dikubur di taman belakang istana kuno itu. Kam Bi Eng membujuk ibunya yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun untuk ikut dengannya tinggal di Cin-an. Akan tetapi nenek itu menolak sambil tersenyum.

   "Bi Eng, tidak tahukah engkau betapa ibumu ini tidak mungkin berpisah dari mendiang ayahmu? Kini ayahmu hanya tinggal menjadi segunduk tanah di taman belakang. Biarlah aku tinggal di sini menghabiskan sisa hidupku dan kalau aku mati, aku ingin dikubur di sebelah makam ayahmu."

   Biarpun hatinya merasa berat, terpaksa Kam Bi Eng meninggalkan ibunya seorang diri di istana kuno itu, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita. Ia kembali ke Cin-an bersama suaminya, Suma Ceng Liong, dan kedua orang anak remaja itu, Sian Lun dan Sian Li. Adapun Tan Sin Hong dan Kao Hong Li juga berpamit dan berpisah dari anak mereka setelah menitipkan anak itu kepada paman dan bibi mereka untuk dididik ilmu. Mereka kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada anak mereka bahwa selama lima tahun anak itu belajar ilmu di Cin-an, setiap tahun baru mereka akan datang berkunjung.

   "Suhu, bagaimana keadaan Suhu?"

   Pemuda itu bersila di dekat tubuh yang tergolek di atas lantai tanah keras dan dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas dada itu. Kakek itu menghela napas panjang.

   "Saat terbebas dari segala penderitaan hidup bagiku telah tiba. Tidak ada obat di seluruh dunia ini yang akan dapat memperpanjang usia manusia yang sudah tiba di garis akhirnya."

   "Tapi, Suhu....!"

   "Hushhh! Tidak senangkah hatimu melihat gurumu, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintamu, terbebas dari hukuman yang membuat hidupnya amat sengsara ini? Inginkah engkau melihat hukuman dan siksaan terhadap gurumu diperpanjang lebih lama lagi?"

   Pemuda itu menunduk. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh sedang dan tegap.

   Wajahnya lonjong dengan dagu meruncing dan berlekuk, alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keramahan dan kelembutan walaupun dagu yang berlekuk itu membayangkan ketabahan tanpa batas, Pakaiannya sederhana seperti pakaian petani namun bersih, dan ikat pinggang yang diikatkan kuat-kuat itu memperlihatkan bentuk pinggang yang ramping. Tubuhnya padat walau tidak memperlihatkan kekuatan otot. Rambutnya hitam dan panjang, diikat secara sederhana saja dan dibiarkan tergantung di belakang punggung. Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, seperti seorang di antara ribuan pemuda seperti dia di perkampungan, pemuda petani atau pemuda yang bekerja kasar. Bukan seorang pemuda hartawan atau pemuda bangsawan, apalagi terpelajar.

   Akan tetapi kalau orang melihat dengan perhatian, akan nampak bahwa sinar matanya mencorong namun lembut, dan dalam setiap gerak-geriknya terdapat ketenangan dan kemantapan yang mengagumkan. Kalau pemuda itu nampak seperti pemuda dusun biasa, kakek yang rebah telentang itu sama sekali tidak dapat dibilang seperti kakek biasa, bahkan juga tidak seperti manusia biasa pada umumnya. Kakek itu hanya terdiri dari kepala, leher dan badan saja. Tanpa kaki tanpa tangan! Rambut putih panjang itu lebih panjang dari badannya dan kini menyelimutinya seperti sehelai selimut kapas. Mereka berdua pun bukan berada di sebuah pondok atau rumah, melainkan berada di dasar sumur! Pemuda itu bukan lain adalah Yo Han, sedangkan kakek buntung kaki dan lengannya itu adalah kakek Ciu Lam Hok, kakek sakti dalam sumur yang menjadi guru terakhir Yo Han.

   Ketika pertama kali memasuki sumur di dalam guha sebelah belakang sarang Thian-li-pang di mana Thian-te Tok-ong, tokoh besar Thian-li-pang bertapa, Yo Han berusia lima belas tahun. Kini dia telah berusia dua puluh tahun. Ini berarti bahwa dia telah tinggal di dalam sumur itu selama lima tahun. Setiap hari dia digembleng ilmu yang aneh-aneh oleh kakek yang buntung kaki dan lengannya itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, Yo Han telah menguasai ilmu yang amat hebat. Dia kini sudah menyadari bahwa dia dilatih ilmu silat yang amat hebat. Karena dia mulai dapat melihat bahwa baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakannya,

   Maka dia tidak lagi menolak dan bahkan mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya dengan tekun dan penuh semangat. Dia hanya akan mempergunakan ilmu-ilmu itu demi kebaikan, bukan untuk mencelakai orang. Dalam waktu empat tahun, Yo Han telah menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar, bahkan kini dia dapat melihat betapa apa yang tadinya dianggap ilmu "tari"

   Dan "senam"

   Yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong, sesungguhnya merupakan ilmu silat yang hebat. Dan di bawah bimbingan kakek buntung, semua ilmu itu telah dapat dilatihnya dan di perdalam sehingga matang. Kemudian, setahun yang lalu, selama setahun penuh kakek aneh itu menurunkan ilmunya yang dikatakan sebagai ilmu segala ilmu silat tinggi, diberi nama Bu-kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan.

   "Bahkan karena ilmu inilah aku disiksa oleh dua orang Suhengku. Mereka begitu menginginkan ilmu Bu-kek-hoat-keng ini sehingga mereka tega untuk membuntungi kaki tanganku, dan menyiksaku di dalam sumur. Kini, ilmu itu telah kuwariskan kepadamu Yo Han. Hatiku lega sudah dan kuharap, dengan ilmu ini engkau akan memulih-kan nama baik Thian-li-pang, dapat mencuci bersih Thian-li-pang dari unsur-unsur jahat, menjadikan perkumpulan itu sebagai perkumpulan para pahlawan yang berjuang demi tanah air dan bangsa."

   Demikianlah katanya setelah dia mengajarkan seluruh ilmu itu kepada Yo Han. Selama setahun barulah Yo Han dapat menguasai ilmu itu dengan baik, hanya tinggal mematangkannya melalui latihan saja. Dan semenjak menurunkan ilmu itu kesehatan kakek Ciu Lam Hok mundur sekali. Dia jatuh sakit dan biarpun Yo Han sudah membantunya dengan penggunaan ilmu Bu-kek-hoat-keng yang dapat pula dipergunakan untuk melancarkan jalan darah dengan menyalurkan tenaga sakti dari ilmu itu yang amat dahsyat,

   Namun karena usia tua ditambah penderitaan dari siksaan yang luar biasa, kakek itu tetap saja menjadi lemah dan sakit-sakitan. Penderitaan yang ditanggung kakek Ciu Lam Hok memang luar biasa. Kalau bukan dia yang telah menguasai ilmu Bu-kek-hoat-keng, kiranya tidak mungkin dapat bertahan sampai sepuluh tahun lebih di dalam sumur itu! Demikianlah, pada hari itu, Yo Han merasa bersedih melihat keadaan gurunya semakin payah. Ketika dia menempelkan telapak tangannya pada dada gurunya, tahulah dia bahwa jantung gurunya bekerja lemah sekali. Sungguh amat mengherankan. Ketika gurunya melatih Bukak-hoet-keng, gurunya demiklan penuh semangat dan tidak mengenal lelah. Kini, seolah-olah tenaganya habis setelah setahun penuh melatih ilmu itu. Ketika dia mendengar ucapan gurunya yang terakhir dia pun menunduk.

   "Suhu memang berkata benar. Akan tetapi, Suhu, hidup kita sudah dicengkeram dan dipengaruhi oleh peradaban dan tatasusila yang sudah diterima oleh semua orang. Bagaimana mungkin teecu mengemukakan kata hati melalui mulut, mengatakan bahwa teecu akan lebih senang melihat Suhu terbebas dari siksaan melalui kematian? Seluruh dunia akan mengutuk teecu kalau teecu berani mengatakan hal seperti itu."

   Mendengar ini, kakek itu masih dapat tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha, aku sejak dulu tahu bahwa engkau hebat, muridku. Matamu yang ke tiga selalu terbuka sehingga engkau lebih awas, lebih waspada daripada orang biasa. Engkau melihat segalanya seolah menembus dan engkau dapat melihat intinya. Engkau melihat segala kepalsuan yang dilakukan manusia! Ha-ha-ha, dibandingkan engkau, aku ini bukan apa-apa. Kalau engkau sudah tahu, aku akan mati dengan mata terpejam dan tidak ada rasa penasaran apa pun. Ya, Tuhan, hamba telah siap!"

   Kata kakek itu dan kembali dia tertawa bergelak. Akan tetapi, suara ketawanya itu makin lama semakin surut dan akhirnya berhenti sama sekali. Kedua matanya terpejam. Yo Han cepat meraba dada gurunya kembali dan tahulah dia bahwa tubuh itu telah menjadi mayat. Dia menunduk dengan sikap hormat untuk menghormati jenazah suhunya. Dia tidak menangis, tidak perlu berpura-pura karena di situ tidak ada orang lain, juga karena suhunya ini, biarpun kaki tangannya buntung,

   Namun kewaspadaannya tidak buntung dan suhunya tahu bahwa andaikata dia menangisi kematian suhunya, maka tangisnya itu palsu. Tangisnya itu bukan bersedih untuk suhunya, melainkan bersedih karena dirinya sendiri, karena ditinggal, karena kehilangan. Bahkan mungkin tangisnya terdorong perasaan agar tidak menganggap diri sendiri keterlaluan, tidak mengenal budi! Dia tidak menangis, karena memang tidak ada hal yang perlu ditangisi, tidak ada hal yang perlu disedihkan. Bahkan kalau dia mau jujur, ada perasaan lega dalam hatinya bahwa gurunya, yang diam-diam amat dikasihinya itu, kini bebas dari penderitaan. Selain itu, dengan meninggalnya kakek itu, berarti dia bebas pula untuk meninggalkan sumur itu! Gurunya pernah berpesan agar kalau dia mati, jenazahnya diletak-kan di lantai kamar yang kecil dan yang terlindung atasnya, merupakan guha batu dalam sumur itu.

   "Engkau tahu, tempat itu amat kusukai. Setiap kali melakukan siu-lian (samadhi) aku selalu menggunakan kamar itu. Biarlah aku beristirahat di kamar itu selamanya, maksudku, badanku,"

   Demikian pesannya. Dengan hati dipenuhi rasa iba terhadap kakek yang meninggal di tempat terasing itu, tanpa ada yang berkabung, tanpa disembahyangi, tanpa di jenguk keluarga maupun kawan, Yo Han memondong tubuh tanpa kaki tanpa lengan itu dan membawanya ke dalam guha, merebahkannya di dalam guha itu. Kemudian dia mengumpulkan semua bahan yang masih ada, roti dan daging kering, beberapa potong pakaian, dan dia tidak lupa mengambil beberapa potong batu emas dari dinding sumur dan memasuk-kan semua itu dalam buntalan. Kemudian, dia pun mengikatkan buntalan di punggungnya, dan memasu-ki guha, berlutut di depan jenazah gurunya.

   "Suhu, sesuai dengan pesan terakhir Suhu, teecu mem-baringkan jenazah Suhu di sini, dan sesuai pula dengan perintah Suhu, teecu segera meninggalkan tempat ini untuk melaksanakan pesan Suhu. Suhu untuk terakhir kalinya, teecu menghaturkan terima kasih melalui ucapan yang keluar dari sanubari teecu."

   Dia memberi hormat delapan kali di dekat jenazah gurunya, kemudian dia keluar dari dalam guha kecil. Sekali lagi dia meneliti di sepanjang dinding sumur dan terowongan. Setelah yakin bahwa tidak ada sisa coretan dan lukisan yang dibuat suhunya dengan sepotong besi yang digigitnya, untuk menggambarkan pelajaran Bu-kek-hoat-keng yang amat sulit, baru Yo Han menuju ke dasar sumur dan merayap naik.

   Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, mudah saja dia merayap naik, seperti orang mendaki tangga saja. Dengan cepat tibalah dia di dalam guha di atas tanah, guha yang menjadi jalan masuk ke sumur itu. Dia mendengar suara orang lapat-lapat dari dalam guha yang tertutup semak-semak yang rimbun dan penuh duri. Maka, dia pun menanti di guha itu, duduk dengan santai sambil melamun. Dia mengingat kembali pesan terakhir dari gurunya. Pertama-tama, dia dipesan untuk pergi mencari keluarga gurunya. Menurut kakek Ciu Lam Hok, dia berasal dari keluarga kerajaan! Ayahnya seorang panglima yang membantu perkembangan kerajaan baru Mancu. Karena dia gagah perkasa dan berjasa besar, maka dia menerima hadiah yang besar, diangkat menjadi panglima, bahkan dinikahkan dengan seorang puteri adik Kaisar Kang Hsi.

   Akan tetapi karena melihat bangsa Mancu yang tadinya berjanji akan memperbaiki nasib rakyat melanggar janji, banyak di antara pejabatnya yang bahkan menindas rakyat dan menghina rakyat Han, maka Ciu Wan-gwe, Jenderal Ciu Kwan menjadi marah dan membera-nikan diri untuk mengajukan protes keras. Melihat ini, Kaisar marah dan dia pun ditangkap, dituduh memberontak dan dihukum mati. Ciu Kwan yang beristeri seorang puteri Mancu itu mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Ciu Lam Hok, sedangkan yang ke dua seorang wanita bersama Ciu Ceng. Sejak muda, Ciu Lam Hok mewarisi watak ayahnya, yaitu berdarah pendekar dan pembela rakyat. Biarpun ibunya dan dia bersama adik perempuannya diampuni Kaisar dan tidak ikut dihukum, namun diam-diam Ciu Lam Hok mendendam kepada Kerajaan Mancu.

   Dia pun meninggalkan ibunya yang masih tinggal di istana, karena puteri adik Kaisar itu diampuni dan masih dianggap keluarga istana. Ciu Lam Hok amat mencinta adiknya, akan tetapi terpaksa dia meninggalkan ibu dan adiknya karena dia tidak sudi tinggal di dalam istana, bahkan dia menaruh dendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya sebagai seorang pahlawan besar. Demikianlah, setelah puluhan tahun lamanya mempelajari ilmu silat dengan amat tekun, bersama dua orang suhengnya Ciu Lam Hok mendirikan Thian-li-pang yang maksudnya untuk menentang kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, seperti pernah diceritakan kakek sakti itu kepada muridnya, dua orang suhengnya setelah bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang menamakan diri mereka pejuang pula, mulai menyeleweng kejalan sesat.

   Dia menentang mereka dan akhirnya dia disiksa dan menderita selama bertahun-tahun di dalam sumur. Seringkali kakek buntung itu mengenang keluarganya dan dia merasa rindu sekali kepada ibunya, terutama sekali adik perempuannya karena dia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah amat tua dan telah meninggal dunia. Karena rindunya maka dia membebankan tugas di pundak muridnya agar setelah muridnya keluar dari dalam sumur, pertama-tama Yo Han harus mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, seorang puteri, di istana dan mengenal keluarga adiknya itu. Bahkan dia meninggalkan pesan bahwa Yo Han harus melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga Ciu Ceng sebagai tanda kasih sayang kakek Ciu kepada adiknya. Kalau perlu, Yo Han harus melindungi keluarga Ciu Ceng dengan taruhan nyawa!

   "Pesanku ini merupakan tanda kasih sayangku yang terakhir untuk adikku, saudara kandungku yang tunggal itu, maka aku sungguh mengharapkan engkau akan melaksanakannya dengan baik, Yo Han,"

   Demikian kakek itu menutup pesannya yang pertama. Pesan ke dua gurunya adalah bahwa setelah dia menyelesaikan tugas pertama, dia harus pergi mencari Mutiara Hitam,

   Yaitu sebuah pusaka berupa mutiara yang berwarna hitam dan yang mempunyai khasiat yang amat hebat. Mutiara itu pernah dimiliki kakek Ciu, akan tetapi dalam perebutan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan, benda mustika itu lenyap dan kabarnya dikuasai oleh seorang kepala suku Miao di selatan. Yo Han mendapat tugas untuk mencari dan merampas kembali benda itu yang bukan saja amat penting karena khasiatnya, juga hal ini untuk mengangkat kembali nama besar Ciu Lam Hok sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan. Adapun pesan ke tiga dari gurunya adalah agar dia membersihkan Thian-li-pang dari tangan-tangan kotor dan mengembalikan kedudukan Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang hendak membebaskan rakyat dari tangan penjajah Mancu berdasarkan kebenaran dan keadilan, tidak dibawa menyeleweng seperti sekarang ini.

   "Aku tahu, kedua suhengku itu menyeleweng setelah mereka bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena itu, Thian-li-pang harus dibersihkan dari pengaruh Pek-lian-kauw dan menjadi perkumpulan para pahlawan, para patriot kembali. Di antara para murid Thian-li-pang masih banyak yang bersih, hanya mereka takut kepada pimpinan mereka yang sudah dicengkeram pengaruh Pek-lian-kauw. Bersihkan Thian-li-pang, muridku. Sesungguhnya untuk Thian-li-pang maka aku menderita seperti ini. Kalau engkau berhasil membersihkan Thian-li-pang, berarti bahwa semua penderitaanku ini tidak sia-sia."

   Yo Han mengepal tinjunya.

   Dia harus melaksanakan pesan ini lebih dahulu. Apa pun resikonya, dia harus dapat dan mampu membersihkan Thian-li-pang. Apalagi, dia memang berada di daerah Thian-li-pang, maka untuk sementara dia harus melupakan dua tugas yang lain, dan berusaha untuk melaksanakan tugas membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh jahat. Setelah orang-orang Thian-li-pang yang lewat di depan guha itu menjauh, dia pun menyelinap keluar dari guha dan dari balik semak-semak dia melihat betapa Thian-li-pang agaknya sedang melakukan suatu kegiatan karena berbondong-bondong para anggautanya menuju ke pekarangan rumah induk. Dia sudah mengenal baik tempat itu dan tahu bahwa tentu ada pertemuan besar di pekarangan. Hanya kalau ada rapat besar yang melibatkan seluruh anggauta,

   Maka pertemuan itu diadakan di pekarangan yang luas di depan rumah induk. Dia pun menyusup mendekat dan mengintai. Memang benar dugaan Yo Han. Pada hari itu diadakan pertemuan penting di Thian-li-pang. Semua anggauta yang berada di pusat, yang jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang, berkumpul di pekarangan yang luas itu. Anggauta Thian-li-pang tersebar di banyak tempat, puluhan ribu orang jumlahnya, terbagi dalam cabang-cabang dan ranting-ranting. Kini yang hadir dalam rapat adalah ketua-ketua cabang, kepala-kepala ranting, dan para anggauta di pusat. Pertemuan itu amat penting karena selain dihadiri ketuanya, yaitu Ouw Ban dan wakilnya, yaitu Lauw Kang Hui, juga dihadiri pula oleh dua orang kakek yang selama ini jarang muncul dan mereka menjadi penasehat dan pujaan para pimpinan Thian-li-pang,

   Yaitu Ban-tok Mo-ko guru ketua dan wakil ketua, dan suhengnya, yaitu Thian-te Tok-ong yang selama bertahun-tahun bersembu-nyi dan bertapa di dalam guha. Kalau dua orang ini sampai muncul di dalam rapat itu, tentu rapat itu istimewa sekali. Dan hadir pula di situ dua orang tokoh Pek-lian-kauw sebagai tamu undangan, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang yang sudah lama bekerja sama dengan Thian-li-pang bersama Ang I Moli. Setelah semua orang hadir lengkap, Ouw Ban sebagai Ketua Thian-li-pang menceritakan dengan singkat akan kegagalan usaha mereka untuk membunuh para pengeran di Istana. Bahkan dalam usaha itu, puteranya, Ouw Cun Ki, dan juga Ang I Moli tokoh Pek-lian-kauw, ditangkap dan dihukum mati, bersama banyak anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang menyusup sebagai anak buah Ouw Cun Ki.

   "Kita tidak boleh membiarkan saja kejadian itu!"

   Ouw Ban berseru dengan suara keras karena hatinya diliputi kemarahan dan kedukaan atas kematian puteranya.

   "Kita akan mengumpulkan kekuatan dan kita serbu istana, kita bunuh Kaisar dan seluruh keluarganya!"

   Ucapan penuh semangat itu disambut sorakan gegap gempita oleh para anggauta Thian-li-pang. Juga dua orang tosu Pek-lian-kauw bertepuk tangan gembira dan setelah sorakan itu mereda, Kwan Thian-cu yang bertubuh gendut itu tertawa,

   "Ha-ha-ha, sungguh gagah sekali Pangcu dari Thian-li-pang! Memang pendapatnya itu tepat sekali.
(Lanjut ke Jilid 14)
Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
Perjuangan kita takkan berhasil sebelum kita membunuh Kaisar Kian Liong dan para pangeran. Kalau mereka terbunuh, tentu pemerintahan mereka akan kacau dan kita pergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan pasukan menghancurkan mereka!"

   Kembali ucapan ini disambut sorakan.

   "Hancurkan penjajah Mancu!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Diam....!"

   Semua orang terdiam memandang orang yang mengeluarkan bentakan nyaring itu. Yang membentak adalah Ban-tok Mo-ko. Biarpun kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun ini biasanya halus dan ramah, namun bentakannya mengandung getaran kuat sehingga semua orang terdiam dan suasana menjadi hening sehingga suaranya terdengar cukup jelas walaupun suara itu lembut.

   "Ouw Ban,"

   Kata Ban-tok Mo-ko dengan suara yang berpengaruh.

   "Sebelum engkau mengemukakan usul baru, sebaiknya kalau kita membicarakan tentang kedudukanmu sebagai ketua. Tahukah engkau mengapa sekali ini aku sampai ikut menghadiri pertemuan ini, bahkan Suheng Thian-te Tok-ong juga keluar dari guhanya?"

   Ouw Ban memandang wajah gurunya dengan alis berkerut dan sinar mata penuh pertanyaan.

   "Teecu tidak mengerti apa yang Suhu maksudkan."

   "Ouw Ban, apakah engkau masih belum menyadari kesalahanmu? Sebagai ketua engkau tidak becus! Semua langkah yang kau ambil telah gagal, bahkan merugikan Thian-li-pang yang kehilangan banyak murid. Dan sekarang engkau malah hendak membunuh lebih banyak murid Thian-li-pang lagi dengan menyuruh mereka menyerbu istana?"

   Ouw Ban nampak penasaran sekali.

   "Akan tetapi, Suhu. Semua ini teecu lakukan demi perjuangan!"

   "Hemm, perjuangan bukan sekedar menuruti dendam dan kemarahan. Harus dengan perhitungan. Akan tetapi sepak terjangmu ngawur. Sejak engkau menyelundupkan Ciang Sun ke istana, menghubungi Siang Hong-houw, engkau banyak melakukan kesalahan yang merugikan perjuangan kita. Dan sekarang engkau akan menyuruh banyak murid buhuh diri dengan menyerbu istana yang terjaga kuat sekali? Ouw Ban, karena engkau muridku, aku menjadi malu. Engkau tidak patut menjadi Ketua Thian-li-pang!"

   Wajah Ouw Ban menjadi merah. Dia sedang berduka karena kematian putera tunggalnya, karena kegagalan usahanya membunuh para pangeran, dan kini gurunya bahkan mamarahinya di depan semua ketua cabang dan kepala ranting, bahkan di depan dua orang tokoh Pek-lian-kauw! Dia teringat bahwa dialah Ketua Thian-li-pang sehingga di dalam perkumpulan itu, dia orang pertama yang paling tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi dari kedudukan gurunya dan supeknya yang hanya merupakan penasihat!

   "Suhu lupa bahwa akulah Ketua Thian-li-pang!"

   Katanya. Suaranya kini kasar dan penuh kemarahan.

   "Aku berhak memutuskan apa yang harus dilakukan oleh Thian-li-pang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk menyerbu istana, membunuh Kaisar Kian Liong! Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencanaku ini!"

   Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang melihat timbulnya pertentangan antara guru dan murid ini. Ouw Ban memandang kepada gurunya dengan mata bersinar-sinar.

   "Ouw Ban, engkau hanya menuruti perasaan hatimu yang penuh dendam sakit hati karena kematian anakmu! Engkau sudah bertindak demi kepentingan diri pribadi, bukan lagi untuk kepentingan Thian-li-pang!"

   "Ha-ha-ha-ha, Sute Ban-tok Mo-ko, muridmu ini memang sudah tidak patut lagi menjadi Ketua Thian-li-pang. Singkirkan saja dia dan ganti dengan murid lain!"

   Kata Thian-te Tok-ong. Mendengar ini, Ouw Ban menjadi semakin marah. Biarpun dia menghormati suhu dan supeknya, akan tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang mendendam karena kematian puteranya. Dia memang maklum akan kelihaian suhu dan supeknya, dan takut kepada mereka. Akan tetapi sekarang, melihat keinginannya membalas dendam kematian puteranya dihalangi, bahkan kedudukannya sebagai Ketua Thian-li-pang, akan digeser, dia tidak mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supeknya adalah dua orang kakek yang sudah tua renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya. Bangkitlah dia dari tempat duduknya dan dia menghadapi suhu dan supeknya.

   "Aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala ranting, juga oleh semua anggauta setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat dan paling tepat menjadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin mencopot aku dari kedudukan ketua siapapun juga dia, harus dapat mengalahkan dan merobohkan aku!"

   "Heh-heh-heh-heh, muridmu ini memang bejat, Sute! Biar aku yang menghajarnya!"

   Wajah Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar amat marah. Dia melangkah maju menghadapi muridnya dan berkata kepada suhengnya.

   "Suheng, dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyelewengannya. Aku yang harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepat berlutut dan menerima hukuman!"

   Akan tetapi Ouw Ban yang sudah marah sekali tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah suhunya dengan berani. Suhunya sudah berusia delapan puluh tiga tubuhnya sudah nampak kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apalagi dia tahu bahwa hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhunya sudah dipelajarinya.

   "Memang, aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu harus tunduk terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"

   "Ouw Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?"

   Sekali lagi Ban-tok Mo-ko membentak.

   "Kalau terpaksa, siapa pun akan kulawan. Aku harus memperta-hankan kedudukanku sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"

   "Kalau begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!"

   Kata kakek itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Ouw Ban memang sudah siap siaga, maka dia pun menangkis dan balas menyerang! Semua orang memandang dengan hati tegang. Tak ada seorang pun berani mencampuri atau melerai karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan seorang tokoh tua perkumpulan itu. Namun, jelas nampak bahwa usia tua membuat Ban-tok Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya. Muridnya itu pun sudah tua, usia Ouw Ban sudah tujuh puluh tiga,

   Akan tetapi gurunya sepuluh tahun lebih tua dan kalau Ouw Ban masih giat bergerak dan berlatih silat, Ban-tok Mo-ko, lebih banyak bersamadhi dan tidak pernah berlatih. Oleh karena itu, walaupun dalam hal tenaga sin-kang Ban-tok Mo-ko masih kuat, namun dia kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama kemudian dia terdesak oleh muridnya itu! Ketika untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang menghindar dari desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya berubah merah den dia pun memukul ke depan dengan dorongan kedua tangan terbuka. Itulah ilmu pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat! Melihat ini, Ban-tok Mo-ko juga mengerahkan sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan yang sama, menyambut dorongan, kedua tangan itu.

   "Plakkk!"

   Dua pasang tangan itu saling bertemu dan telapak tangan mereka saling melekat. Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang, saling dorong dan sebentar saja nampak uap mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kang mereka. Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu bahwa guru dan murid ini sedang mati-matian mengadu sin-kang yang berarti mereka mengadu nyawa. Yang kalah kuat akan roboh den tewas! Akan tetapi tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kirinya menepuk punggung sutenya.

   "Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"

   Begitu punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja tubuh Ouw Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh terbanting dan muntah darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika! Ban-tok Mo-ko memejamkan kedua matanya, lalu duduk bersila dan menarik napas panjang beberapa kali untuk memulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong tertawa dan berkata kepada para murid Thian-li-pang,

   "Singkirkan mayat murid murtad itu agar kita dapat bicara dengan tenang."

   Beberapa orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban dibawa ke belakang. Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia dianggap sebagai seorang murid murtad. Ban-tok Moko lalu berkata kepada semua orang dengan suaranya yang lembut.

   "Para anggauta Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Karena Ouw Ban telah murtad dan disingkirkan, maka sekarang yang memimpin pertemuan ini adalah wakil ketua, yaitu Lauw Kang Hui. Kang Hui, kau pimpin pertemuan ini dan sebaiknya kalau diadakan pemilihan ketua baru lebih dulu, baru kita akan mengambil langkah-langkah selanjutnya."

   Lauw Kang Hui memberi hormat kepada suhunya dan supeknya, kemudian menghadapi semua orang,

   "Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini dijadikan contoh bagi semua murid Thian-li-pang agar jangan ada yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Sekarang, saya persilakan saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagaimana sebaiknya untuk memilih seorang ketua baru."

   Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengusulkan agar masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan pemilihan di antara para calon itu. Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepalanya.

   "Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang membutuhkan bimbingan orang yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Kalau diserahkan kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang akan melemahkan perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan agar pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau Suhu Ban-tok Mo-ko!"

   Semua orang yang berada di situ menyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang, mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung adalah dua orang kakek yang sakti itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati. Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat membaca isi hati suhengnya maka dia pun bangkit dan berkata,

   

Kisah Si Bangau Putih Eps 16 Suling Naga Eps 23 Suling Naga Eps 29

Cari Blog Ini