Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 20


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Akan tetapi, ia segera memejamkan matanya kembali dan pura-pura masih pulas ketika ia melihat bahwa yang menyentuh tubuhnya itu adalah hamparan baju mantel yang diselimutkan oleh Sim Houw di atas tubuhnya. Diam-diam gadis ini merasa berterima kasih dan senyumnya bertambah manis ketika ia terseret penuh oleh kepulasan. Di jaman para kaisar masih berkuasa, para pembesar yang bertugas mencatat sejarah, selalu hanya mencatat yang baik-baik saja tentang kaisar dan keluarganya. Kalau ada catatan sejarah yang memburukkan seorang penguasa, maka catatan itu sudah pasti dilakukan oleh pihak yang membencinya. Oleh karena itu, maka sukarlah dipercaya kebenaran catatan sejarah di dunia ini. Seperti catatan sejarah tentang pembangunan dan tentang kebesaran kerajaan Mancu yang semakin berkembang.

   Akan tetapi sejarah tidak mencatat betapa banyaknya korban jatuh dari pihak mereka yang menentang kaisar, baik karena urusan pribadi maupun karena kebangkitan mereka yang merasa dijajah dan hendak menumbangkan kekuasaan Mancu. Setiap orang manusia, baik dia kaisar sekalipun, tentu memiliki dua macam sifat yang bertentangan kalau dia sudah dinilai, yaitu baik dan buruk, kelebihan dan kekurangannya, tentu saja bergantung kepada pendapat si penilai berdasarkan rasa suka atau tidak suka dari si penilai sendiri. Demikian pula Kaisar Kian Liong. Pada masa itu, dialah orang yang paling tinggi kedudukannya, yang paling berkuasa sehingga memburukkan namanya merupakan suatu pemberontakan dan dosa besar, dan orang yang berani melakukannya dapat saja dipenggal lehernya sebagai hukumannya.

   Oleh karena itu, catatan riwayat dan sejarahnya hanya yang baik-baik saja. Betapapun juga, orang tak mungkin menyimpan rahasia untuk selamanya. Akhirnya membocor keluar juga dari istana segala perilaku kaisar itu yang dianggap tidak patut. Di antaranya adalah hubungan kaisar di masa tuanya itu dengan Hou Seng yang tampan, yang kini semakin tinggi saja kedudukannya dan semakin besar kekuasaannya. Bahkan di luar sudah terdengar bisik-bisik bahwa Hou Seng inilah orangnya yang akan diangkat menjadi Perdana Menteri dalam waktu dekat. Dan bisik bisik atau desas-desus ini memang tidak merupakan kabar bohong begitu saja. Bukan saja Hou Seng menjadi "kekasih"

   Kaisar. akan tetapi bahkan dia telah dapat mempengaruhi kaisar sehingga semua urusan dalam istana sudah dipercayakan kepadanya.

   Dialah yang menjadi orang ke dua setelah kaisar di istana itu, bahkan semua pelaksanaan peraturan dan lain-lain berada di tangannya dan kaisar hanya mendengar dan percaya akan laporan kekasih ini saja. Ambisi merupakan racun yang sekali mencengkeram batin kita, tidak mudah untuk dilepaskan lagi. Ambisi merupakan kemurkaan, seperti binatang babi, makin diberi makan, semakin kelaparan saja. Makin banyak yang didapat, semakin bertambah keinginan hati yang dicengkeram ambisi. Demikian pula dengan Hou Seng. Dia tadinya hanya seorang tukang pikul tandu kaisar, setelah dia diangkat menjadi kekasih kaisar dan menjadi "penasihat"

   Kaisar, berarti dia sudah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Namun, dia masih jauh dari pada puas karena dia melihat kemungkinan-kemungkinan bahwa dia akan lebih besar lagi.

   Dan untuk mencapai ambisi atau cita-citanya itu, dia tidak hanya dapat mengandalkan kepercayaan kaisar kepadanya. Terlalu banyak musuhnya yang ingin melihat dia jatuh kembali ke bawah. Banyak menteri-menteri yang tidak suka kepadanya, bahkan ada yang secara halus berani memperingatkan kaisar tentang bahayanya kalau terlalu percaya kepada seseorang dan menyerahkan segala kekuasaan di tangan Hou Seng mengenai urusan dalam istana. Hou Seng semakin cerdik dan mulai
(Lanjut ke Jilid 19)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
memperkuat diri. Bukan hanya dengan cara makin menempel kaisar, akan tetapi juga diam-diam dia mengumpulkan tenaga-tenaga yang boleh diandalkan, selain untuk mengawal dan melindungi dirinya, juga untuk melaksanakan perintah-perintah dalam menghadapi musuh-musuhnya. Beberapa orang musuhnya sudah dilenyapkan, tewas secara aneh.

   Tentu saja tidak aneh bagi Hou Seng. Dia telah memelihara orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kekejaman seperti iblis. Tentu saja dengan bayaran yang amat tinggi, memberi kemewahan dan memenuhi permintaan apa saja dari orang-orang sakti itu. juga memberi janji bahwa kalau dia dapat menjadi Perdana Menteri, apa lagi kalau kelak dapat menjadi kaisar, dia tidak akan melupakan para pembantu itu dan tentu akan memberi kedudukan tinggi kepada mereka! Pada suatu malam, dengan pengawalan ketat, Hou Seng keluar dari istana menuju ke sebuah rumah tak jauh dari kompleks istana. Rumah ini merupakan sebuah gedung yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan nampak terjaga oleh penjaga-penjaga yang berpakaian seragam. Rumah ini adalah milik Hou Seng,

   Merupakan rumah peristirahatan, satu di antara banyak rumah yang dimilikinya. Dia sendiri tinggal di sebuah gedung seperti istana saja mewahnya, bersama isterinya! Benar, Hou Seng telah bersteri. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong merasa risi juga karena banyaknya menteri yang menyindirkan hubungannya dengan Hou Seng dan untuk menutupi atau sekedar mengurangi santernya desas-desus, dia memerintahkan kepada Hou Seng untuk menikah dengan seorang wanita dayang pilihan dari istana. Tentu saja Huo Seng menerima perintah ini dengan hati senang. Bayangkan saja, selain memperoleh kekayaan dan kehormatan, juga dia memperoleh seorang isteri yang cantik "hadiah"

   Dari kaisar sendiri. Dengan adanya isteri, tentu dia dapat memelihara banyak selir dan kini tak perlu lagi dia bersembunyi-sembunyi kalau dia menginginkan seorang wanita.

   Pernikahannya itu telah berlangsung tiga tahun yang lalu dan kini dia telah mendapatkan beberapa orang anak dari isterinya dan selir-selirnya. Kereta yang ditumpangi Hou Seng itu memasuki halaman rumah setelah pintu gerbangnya dibuka oleh para penjaga. Pintu gerbang lalu ditutup kembali dan nampak seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berwajah tampan dan cerdik, bermuka halus seperti muka perempuan. Itulah Hou Seng, dengan pakaiannya yang gemerlapan. Dia seorang laki-laki pesolek, mukanya dirias dan pakaiannya mewah! Kiranya di dalam keretanya itu bersembunyi dua orang wanita berusia kurang lebih tiga puluhan tahun, cantik dan bertubuh ramping dan gesit. Mereka ini adalah dua orang pengawal pribadi yang dapat menjadi apanyapun juga. Menjadi selir, juga pelayan atau pengawal yang melindungi keselamatannya.

   Dua orang wanita ini adalah ahli-ahli silat yang pandai dan sengaja dipilih oleh Hou Seng, bukan hanya karena kecantikan mereka, akan tetapi terutama sekali karena ketangguhan mereka melindungi keselamatannya. Karena itu, dua orang pengawal pribadi ini tidak pernah meninggalkannya, ke manapun dia pergi. Ketika Hou Seng turun dari kereta, dua orang wanita ini turun sebelum dan sesudahnya, menjaga dari depan belakang atau kanan kiri penuh kewaspadaan. Dari pintu depan yang terbuka dari rumah gedung itu muncullah seorang nenek yang kalau orang melihatnya di tempat yang tidak begitu terang tentu akan mengiranya seorang wanita yang masih belum tua benar. Padahal nenek ini usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun! Selain gerak-geriknya masih gesit dan sikapnya yang genit,

   Juga mukanya memakai lapisan bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi, di samping penghitam alisnya yang sudah habis bulunya itu. Pakaiannya juga mewah dan nenek pesolek ini memegang sebatang kebutan yang gagangnya, terbuat dari emas dan bulunya yang putih lemas itu tidak boleh dipandang ringan. Itu bukan kebutan biasa pengusir lalat, melainkan sebuah senjata yang amat ampuh karena bulu-bulu kebutan itu terbuat dari bulu seekor monyet putih yang hanya terdapat di daerah Himalaya bagian barat. Menurut dongeng, monyet putih di daerah itu memiliki bulu yang amat kuat sehingga tahan bacokan, membuat monyet itu kebal! Entah benar tidaknya dongeng itu, akan tetapi yang jelas, kebutan di tangan nenek inipun selain mampu untuk membunuh orang, juga dapat menangkis segala macam senjata tajam yang bagaimana ampuhpun tanpa putus sedikitpun.

   Begitu bertemu dengan nenek yang masih nampak ramping tubuhnya dan cantik wajahnya karena dirias itu, Hou Seng memberi hormat berbareng dengan nenek itu yang juga menjura dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil memegangi kebutannya yang bulunya menjuntai ke bawah dengan lemasnya. Nampaknya seorang nenek-nenek yang tidak berdaya saja. Akan tetapi, Hou Seng yang merupakan orang kedua setelah kaisar di dalam istana, kelihatan begitu menghormatinya, apa lagi dua orang pengawal pribadinya itu jelas memperlihatkan sikap jerih sekali ketika mereka memandang kepada nenek itu dan mengerling ke arah kebutan berbulu putih bergagang emas itu. Dalam hati mereka selalu timbul pertanyaan berapa ribu nyawa sudah yang dipaksa meninggalkan badannya oleh kebutan nenek itu, setiap kali mereka bertemu dengan Kim Hwa Nio-nio, demikian nama nenek itu.

   Kim Hwa Nio-nio telah menjadi pembantu utama dari Hou Taijin (Pembesar Hou) dan memperoleh kepercayaan dari kekasih kaisar ini karena Kim Hwa Nio-nio telah berulang kali membuktikan kesetiaannya. Sudah ada enam orang pembesar rendahan dan dua orang pembesar tingkat menteri yang tiba-tiba saja tewas begitu pada kemarin harinya Kim Hwa Nio-nio yang menerima perintah dari Hou Taijin untuk melenyapkannya!. Selain itu, juga Kim Hwa Nio-nio yang mengatur penjagaan atau pengawalpengawal rahasia dari Hou Taijin. Pengawal-pengawal ini adalah orang-orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Nio-nio untuk melakukan penjagaan secara rahasia. Dan kini Kim Hwa Nio-nio menerima tugas yang lebih penting lagi, yalah mengumpulkan dan mengundang tenaga-tenaga yang tangguh dari para tokoh dunia hitam untuk memperkuat kedudukan Hou Taijin.

   Siapakah Kim Hwa Nio-nio? Nenek yang sudah tua akan tetapi masih suka mengejar kesenangan melalui kekuasaan di kota raja ini adalah guru dari Bhok Gun! Nenek ini pernah menjadi murid merangkap kekasih dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Akan tetapi setelah ia berhasil menguras-semua ilmu dari Pek-bin Lo-sian, Kim Hwa Nio-nio lalu meninggalkan gurunya yang suka bertapa itu untuk bertualang di kota-kota besar dan mengumbar nafsunya dengan pria-pria yang lebih muda dan tampan, yang dipilih dan disukainya. Dengan kepandaiannya yang hebat, ia dapat memaksa setiap pria yang dipilihnya untuk melayaninya. Setiap penolakan tentu mengakibatkan pria itu tewas oleh menyambarnya bulu-bulu kebutan itu. Bahkan setiap kekecewaan dari pria yang melayaninya juga ditebus dengan nyawanya.

   Dalam hal kejahatan dan kekejamannya, Kim Hwa Nio-nio tidak kalah oleh tiga orang datuk sesat yang masih bersumber dari satu perguruan dengannya, yaitu Sam Kwi. Setelah usianya mulai tua, Kim Hwa Nio-nio memilih Bhok Gun untuk menjadi muridnya, dan hanya pemuda inilah yang mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya. Akan tetapi, setelah usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, ia sudah kehilangan kesenangan-kesenangan masa mudanya dan kini satu-satunya kesenangan yang dikejarnya adalah kedudukan dan kekuasaan. Karena itulah ia pergi ke kota raja dan mendengar akan kelihaian Hou Taijin yang berhasil menguasai kaisar, ia lalu melakukan pendekatan dan akhirnya, melihat kehebatan ilmu nenek ini, ia berhasil menjadi pembantu utama Hou Seng atau Hou Taijin.

   "Selamat malam, Taijin,"

   Nenek itu berkata dan suaranya terdengar halus.

   "dan silahkan masuk."

   Pembesar yang mempunyai sepasang mata lincah membayangkan kecerdi-kannya itu mengangguk dan langsung bertanya,

   "Benarkah yang datang Lama itu?"

   Dia mencari-cari dengan pandang matanya.

   "Begitu mendengar berita yang dikirim oleh locianpwe, aku langsung saja ke sini, ingin bertemu dan berkenalan sendiri."

   Kim Hwa Nio-nio mengangguk.

   "Bijaksana sekali tindakan Taijin, karena memang akan menimbulkan kecurigaan kalau dia yang belum dikenal ini yang menghadap kepada Taijin. Sekarangpun dia sudah siap menghadap kalau menerima perintah Taijin."

   "Baik, locianpwe, minta kepada lo-suhu itu untuk menemui aku di ruangan tamu."

   Hou Taijin lalu diiringkan dua orang pengawalnya menuju ke ruang tamu, sedangkan Kim Hwa Nio-nio lalu mengundurkan diri untuk memberi tahu kepada tamunya.

   Ketika Kim Hwa Nio-nio bersama tamunya pergi ke ruangan, di situ telah menanti Hou Taijin bersama dua orang pengawal pribadi yang tak pernah berpisah darinya, dua orang wanita cantik itu kini berdiri seperti patung di kanan kirinya, agak di belakang tubuh pembesar itu. Para pengawal, tidak kurang dari duabelas orang, berjaga di dalam ruangan itu pula, berdiri dengan sikap hormat, sedangkan beberapa orang pengawal lagi mondar-mandir di luar ruangan ini, mereka adalah pengawal-pengawal yang tidak mengenakan pakaian seragam dan yang selalu membayangi kemanapun Hou Seng pergi. Pengawal-pengawal inilah anak buah Kim Hwa Nio-nio dan karena mereka semua yang berpakaian preman itu mempunyai kartu pengenal yang dibubuhi cap dari Hou Taijin sendiri,

   Maka para penjaga tempat-tempat yang dikunjungi Hou Taijin selalu membiarkan mereka menyelinap masuk. Pendeknya, pengawalan yang dilakukan untuk menjaga keselamatan Hoa Taijin ini tidak kalah ketatnya dengan pengawalan atas diri kaisar sendiri. Hou Taijin adalah seorang yang cerdik dan pandai menggunakan orang. Melihat bahwa tamu yang datang bersama Kim Hwa Nio-nio itu seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, kepalanya gundul dan jubahnya lebar dengan kotak-kotak berwarna kuning, mukanya begitu menyeramkan seperti muka seekor singa, dengan cambang bauk yang warnanya kekuning-kuningan, matanya terbelalak mengandung sinar mata tajam, dia tahu bahwa tamu ini memang bukan orang sembarangan, seperti yang telah dikatakan oleh Kim Hwa Nio-nio kepadanya.

   Dia tahu siapa kakek ini, ialah seorang pendeta Lama dari Tibet yang juga mempunyai niat memberontak terhadap penguasa-penguasa lama di Tibet. Cocok sekali kalau orang ini bisa menjadi pembantunya, bersama Kim Hwa Nio-nio, pikirnya. Dan agaknya makin mudah pula memasukkan seorang pendeta ke dalam istana, dengan alasan sebagai penasihat kebatinan, pengusir roh jahat, pengajar agama dan sebagainya, seperti yang dilakukan terhadap Kim Hwa Nio-nio yang juga olehnya diperkenalkan kepada kaisar sebagai seorang pertapa wanita dari Pegunungan Himalaya yang sakti. Setelah pendeta Lama dan Kim Hwa Nio-nio itu tiba di dekat meja, Hou Taijin bangkit berdiri untuk menyambut dan pendeta yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu segera memberi hormat, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil berkata dengan suara seperti berdoa,

   "Omitohud semoga Hou Taijin mendapat berkah usia panjang dan rejeki yang berlimpah-limpah!"

   Hou Seng tersenyum.

   "Selamat datang, lo-suhu dan silahkan duduk. Silahkan, locianpwe."

   Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio mengambil tempat duduk setelah nenek itu dengan isarat tangannya menyuruh anak buahnya untuk keluar dari ruangan itu. Para pengawal segera pergi dan hanya berjaga di luar ruangan tamu itu dengan ketatnya. Yang berada diruang tamu kini hanyalah Hou Taijin bersama dua orang selir yang mengawalnya, Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama.

   "Hou Taijin, pinceng (saya) adalah Sai-cu Lama dari Tibet dan saya memenuhi undangan Kim Hwa Nio-nio yang sudah pinceng kenal baik untuk menghadap taijin. Harap maafkan kelancangan pinceng."

   Hou Seng tertawa bergelak, hatinya senang sekali mendengar seorang kakek yang menurut Kim Hwa Nio-nio amat sakti ini merendahkan diri.

   "Ah, tidak ada yang perlu dimaafkan karena memang saya yang minta kepada locianpwe Kim hiwa Nio-nio untuk mengundang losuhu. Losuhu telah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan. Untuk menyambut kedatangan losuhu, saya akan mengadakan perjamuan kecil sebagai ucapan selamat datang."

   Hou Taijin mengangguk kepada Kim Hwa Nio-nio untuk memberi tanda bahwa perjamuan itu boleh dimulai.

   "Kita dapat bercakap-cakap setelah makan minum."

   "Maafkan pinceng, taijin. Sebelum itu, pinceng juga ingin mempersembahkan sesuatu kepada taijin. Seorang gadis remaja berusia dua belas tahun yang cantik jelita sekali, yang kebetulan pinceng temukan di dalam perjalanan pinceng."

   Hou Seng mengerutkan alisnya. Betapapun juga pernyataan pendeta Lama itu agak menyinggung kehormatannya. Pendeta ini berani mengatakan akan mempersembahkan seorang gadis remaja yang ditemukannya begitu saja di tengah perjalanan? Persembahan seperti itu merendahkan martabatnya, betapa cantikpun gadis itu, dan tidak patut untuk di ketengahkan dalam pertemuan dan perkenalan pertama sebagai suatu persembahan kehormatan. Agaknya Kim Hwa Nio-nio melihat ketidaksenangan hati majikannya. Iapun cepat-cepat berkata,

   "Hendaknya paduka maklumi bahwa gadis remaja yang dibawa oleh rekan saya Sai-cu Lama itu bukan gadis biasa, melainkan derajatnya jauh lebih tinggi dari pada seluruh wanita yang telah paduka miliki. Ia itu adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es yang terkenal itu!"

   "Ahh....!"

   Wajah pembesar itu berseri bangga dan matanya terbelalak.

   "Bukan main kalau begitu! Lekas bawa ke sini, saya ingin melihatnya!"

   Kim Hwa Nio-nio memberi isyarat dengan tepuk tangan lima kali. Tak lama kemudian pintu sebelah kanan ruangan tamu itu terbuka dan masuklah dua orang pengawal bertubuh tinggi besar. Di antara mereka terdapat Suma Lian, yang mereka pegang pada pangkal lengannya dari kanan kiri dan mereka jinjing. Kaki dan tangan gadis cilik itu terbelenggu! Jelaslah bahwa Suma Lian tak mampu menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi sepasang matanya hidup, bersinar penuh keangkuhan dan kemarahan,

   Berdiri tegak ia ketika dilepas oleh kedua orang yang segera memberi hormat lalu meninggalkan lagi ruangan itu dan menutupkan pintunya dari luar. Pandang mata gadis cilik itu ditujukan kepada Sai-cu Lama dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Seperti kita ketahui, ketika Sai-cu Lama kewalahan juga karena sambil menggendong gadis cilik itu dia menghadapi pengeroyokan nenek Teng Siang In yang masih nekat walaupun sudah terluka dan Hong Beng, pemuda ini berhasil membebaskan totokan dari tubuh Sama Lian dengan sambitan kerikil. Dan setelah terbebas dari totokan, diam-diam Suma Lian mengambil tusuk konde atau hiasan rambutnya yang runcing dan menancapkan benda kecil itu di tengkuk Sai-cu Lama. Kalau saja ia tidak merasa ngeri melihat muncratnya darah dari tengkuk itu sehingga mengakibatkan tangannya lemas,

   Tentu tusukannya itu akan lebih dalam lagi dan andaikata tidak sampai menewaskan kakek itupun tentu akan mengakibatkan luka yang cukup berat. Sai-cu Lama terkejut, kesakitan dan berhasil menampar gadis itu pingsan, lalu melarikan diri sambil tetap membawa tubuh Suma Lian dan tengkuk yang bercucuran darah! Dia tahu bahwa kalau sampai keluarga Suma mengetahui tentu dia akan dikejar dan beratlah rasanya menghadapi mereka tanpa bantuan. Dia berlari terus dengan cepatnya, akan tetapi dia cerdik. Setelah keluar dari pintu gerbang utama, dia lalu mengitari tembok dusun menuju ke selatan, kemudian-membelok ke timur memasuki hutan lebat. Jejaknya hilang dan suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng melakukan pengejaran ke utara terus karena ada yang melihat pendeta itu lari keluar dari pintu gerbang utara.

   Luka di tengkuknya hanya mengeluarkan darah, namun tidak berbahaya. Ketika dia memeriksa benda yang menancap di tengkuknya, dia terkejut. Benda itu tentu akan dapat menancap lebih dalam lagi, pikirnya. Akan tetapi kenapa tidak? Padahal, seorang gadis biarpun baru berusia duabelas tahun seperti anak ini, tentu mampu menusuk lebih kuat. Mengapa gadis cilik ini tidak menusuknya lebih kuat? Pikiran ini membuat kemarahannya berkurang terhadap Suma Lian. Dia menurunkan tubuh Suma Lian, lalu demi keamanan, membelenggu kaki tangan gadis itu de-ngan tali pengikat yang kuat. Baru dia menotoknya beberapa kali dan membuatnya sadar kembali. Begitu sadar, Suma Lian meronta, akan tetapi tak mampu melepaskan ikatan kaki tangannya dan ia hanya memandang dengan mata melotot.

   "Kau manusia busuk, manusia jahat!"

   Bentaknya. Sai-cu Lama tertawa.

   "Ha-ha-ha, anak baik. Kalau aku manusia busuk dan jahat, kenapa engkau tidak jadi membunuhku? Kenapa tusukanmu kepada tengkukku itu hanya setengah tenaga saja, tidak sungguh-sungguh?"

   Katanya sambil mengeluarkan obat bubuk dan menempelkan obat itu kepada luka kecil di tengkuknya yang segera mengering.

   "Padahal, benda ini runcing dan keras, dengan sedikit tenaga saja tengkukku dapat ditembus!"

   Katanya dan sekali menggerakkan tangan, perlahan-lahan dia menusukkan tusuk sanggul itu ke dalam sebatang pohon. Benda kecil itu amblas sampai tidak nampak lagi!

   "Huh, sayang aku menjadi tidak sampai hati melihat darah muncrat, dan aku merasa malu harus berbuat curang. Kalau tidak, engkau tentu sudah mati dan aku terbebas!"

   Kata Suma Lian, kini baru merasa menyesal mengapa ia tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya dan mengeraskan hatinya saja.

   "Ha-ha, sudah kuduga! Engkau seorang gadis manis yang baik hati. Ha-ha-ha, dan karena itulah engkau sampai sekarang masih hidup. Kalau engkau menusuk lebih keras, sebelum mati tentu tamparanku akan meremukkan kepalamu tadi. Dan sekarangpun, karena kebaikan hatimu itu, aku tidak akan membunuhmu, tidak, aku malah membuat engkau hidup mulia. Mari....! Dengan tangan kirinya dia menyambar tubuh gadis cilik itu dan dipanggulnya lalu dibawa lari.

   "Lepaskan aku! Lepaskan....!"

   Suma Lian meronta dan menjerit, akan tetapi pendeta Lama itu menggunakan jari tangan menekan tengkuknya dan iapun tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Demikianlah, Sai-cu Lama membawa Suma Lian ke kota raja.

   Di dalam perjalanan itu, dia menyembunyikan tubuh yang sudah dibelenggu dan ditotoknya itu ke dalam sebuah kantung kain yang diberi lubang-lubang untuk pernapasan gadis itu, dan sekali-sekali, dia harus memaksa gadis itu untuk makan, dengan membuka mulut gadis itu dan menuangkan bubur ke dalam perutnya. Tanpa paksaan, Suma Lian yang keras hati itu tidak mau makan atau minum! Setelah tiba di gedung tempat tinggal Hou Taijin yang menjadi sarang Kim Hwa Nio-nio yang menghubunginya, Sai-cu Lama disambut dengan girang oleh Kim Hwa Nio-nio, apa lagi ketika temannya itu memberitahukan bahwa gadis cilik yang ditawannya adalah keturunan para pendekar Pulau Es. Para datuk sesat memang selalu memusuhi para pendekar, terutama sekali keturunan keluarga Pulau Es sejak dahulu, sejak nenek moyang mereka, telah menjadi musuh besar yang harus selalu ditentang.

   "Bagus, tentu Hou Taijin akan suka sekali!"

   Serunya.

   "Atau kalau tidak, hemmm.... anak ini bertulang baik, bagaimana kalau ia menjadi muridku saja?"

   "Ha-ha-ha, sungguh serupa benar jalan pikiran kita,"

   Kata Sai-cu Lama.

   "Akupun mempunyai pikiran demikian. Amat bangga kalau kita dapat mempunyai murid keturunan para pendekar Pulau Es, kita didik sedemikian rupa sehingga kelak ia menjadi tokoh dari golongan kita yang memusuhi para pendekar. Ha-ha-ha!"

   "Bagus! Akupun ingin terbawa namaku dalam jasa itu. Bagaimana kalau kita didik anak itu bersama-sama?"

   "Omitohud, usia tuamu tidak menghilangkan kecerdikanmu, seperti tidak pula melenyapkan kecantikanmu, Kim Hwa Nio-nio!"

   Sai-cu Lama memuji dan keduanya lalu membuat persiapan untuk memberi laporan kepada Hou Taijin bahwa tamu dari Tibet yang diundang telah tiba. Dan seperti kita ketahui, Hou Taijin demikian girang mendengar ini sehingga dia datang sendiri untuk menemui tamu itu dan mengenalnya sendiri karena oleh Kim Hwa Nio-nio sudah diceritakan bahwa tamu yang berjuluk Sai-cu Lama dari Tibet ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan tidak kalah oleh Kim Hwa Nio-nio sendiri, demikian kata nenek itu.

   "Omitohud...., anak baik, engkau menghadap Hou Taijin, harus berlutut memberi hormat!"

   Kata Sai-cu Lama. Akan tetapi Suma Lian tetap berdiri dengan mata melotot, sedikitpun tidak takut dan ketika ia memandang kepada orang berpakaian mewah yang dujuk di depan pendeta Lama itu, matanya memandang penuh selidik. Mata anak ini demikian tajam sehingga hati pembesar itu merasa kecut juga. Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara dua orang selir yang menjadi pengawalnya itu berbisik dekat telinganya.

   "Taijin harus bersikap baik kepadanya, dan suruh membebaskan ikatan kaki tangannya, agar mudah ia dijinakkan."

   Hou Taijin mengangguk-angguk, lalu sambil memandang kepada gadis cilik itu, dia berkata,

   "Losuhu, kasihan sekali puteri kecil ini dibelenggu. Harap lepaskan belenggu kaki tangannya!"

   "Taijin, biarpun masih kecil, ia sudah lihai dan berbahaya, juga liar seperti seekor kuda binal!"

   "Sai-cu Lama, perintah Taijin harus kita laksanakan tanpa membantah."

   Tiba-tiba Kim Hwa Nio-nio memperingatkan temannya yang belum tahu akan watak Hou Taijin yang tidak mau dibantah. Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk dan cepat dia menghampiri Suma Lian yang berdiri tegak. Untuk mendemonstrasikan kelihaiannya, dengan jari-jari tangan ringan sekali gerakannya, dia membikin putus semua tali, seolah-olah tali-tali itu hanya sehelai benang saja!

   "Adik yang baik, ke sinilah dan jangan takut. Kami tidak akan menyusahkanmu lagi,"

   Berkata Hou Seng. Memang orang ini pandai sekali bersandiwara dan mendengar suaranya yang lemah lembut,

   Melihat wajahnya yang kini memperlihatkan kesungguhan dan keramahan, Suma Lian mulai percaya bahwa orang itu tentu memiliki niat yang baik terhadap dirinya. Ia memang tidak mendengarkan apa yang dipercakapkan okh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio bahwa dirinya akan diberikan kepada pembesar Hou Seng untuk dijadikan selir! Maka, mengingat bahwa ia berhadapan dengan seorang pembesar di kota raja, seperti yang didengarnya tadi dari para pengawal bahwa ia akan dihadapkan kepada seorang pembesar istana kota raja, ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Memang selain ilmu silat tinggi, Suma Lian diajar tentang ilmu baca tulis, juga tentang kesopanan sehingga ia mampu bersikap semestinya ketika berhadapan dengan seorang pembesar, apa lagi kalau mengingat baahwa pembesar ini bersikap baik, bahkan telah menolongnya dari belenggu.

   "Taijin, harap paduka suka mengirim saya kembali ke rumah orang tua saya, atau membiarkan saya pergi dari sini. Untuk budi ini saya Suma Lian tidak akan melupakanmu."

   Kembali terdengar bisik-bisik dari seorang selir di bdakangnya itu. Hou Seng mengangguk-angguk lagi.

   "Nona Suma Lian, membiarkan engkau pergi seorang diri sungguh amat berbahaya. bagaimana kalau sampat terjadi apa-apa atas dirimu? Berarti aku ikut bertanggung jawab. Sai-cu Lama telah menyerahkan engkau kepadaku, berarti akulah yang kini melindungimu. Jangan khawatir, sekali waktu pasti aku akan mengantar engkau kembali ke tempat tinggalmu, akan tetapi sementara ini, selagi aku masih sibuk, biarlah engkau tinggal di sini bersama Kim Hwa Nio-nio. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan memberontak atau mencoba untuk melarikan diri."

   Suma Lian adalah seorang anak yang cerdik. Kalau tadi ia memperlihatkan sikap marah, itu adalah karena Sai-cu Lama selalu bersikap keras kepadanya dan ia membenci pendeta yang menculiknya itu. Kini ia melihat bahwa tidak ada pilihan lain baginya kecuali mentaati perintah pembesar ini, kalau ia tidak ingin diperlakukan kasar lagi. Ia mengerti bahwa ia menjadi semacam tahanan, akan tetapi jauh lebih baik tertahan dalam keadaan bebas dari pada dibelenggu terus atau disekap terus dalam kamar tahanan. Dalam keadaan bebas, tentu banyak kesempatan terbuka baginya untuk melarikan diri!

   "Baiklah Taijin, saya berjanji takkan memberontak dan terima kasih atas kebaikan Taijin"

   "Locianpwe,"

   Kata Hou Taijin dengan suara halus kepada Kim Hwa Nio-nio,

   "harap locianpwe atur dan serahkan adik ini kepada para pengasuh lebih dulu, sediakan kamar yang baik, pakaian yang cukup dan makan yang enak, setelah itu kami masih menanti locianpwe di sini untuk mengadakan perundingan lebih lanjut."

   "Baik, Taijin."

   Kim Hwa Nio-nio lalu menggandeng tangan Suma Lian.

   "Nah, kalau sejak kemarin engkau tidak memberontak, tentu kami sudah memperlakukan engkau dengan baik. Marilah, anak manis."

   Kalau saja Sai-cu Lama yang menggandengnya, biarpun kini ia tidak memberontak lagi, Suma Lian tentu tidak akan mau. Akan tetapi ia tidak membenci nenek ini walaupun ia juga tidak menyukainya, dan iapun menurut saja ketika digandeng dan hendak diajak keluar dari ruangan itu. Setelah menyerahkan Suma Lian kepada para pembantunya agar anak itu memperoleh rawatan yang baik dan sekali-kali tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi diam-diam Kim Hwa Nio-nio memerintahkan anak buahnya untuk mengamati anak itu baik-baik dan menjaganya agar ia tidak sampai melarikan diri dari situ, nenek itu lalu kembali ke ruangan tamu.

   "Locianpwe berdua, kami menerima dengan gembira anak keluarga Suma itu, akan tetapi untuk sementara saya titipkan dulu ia di sini. Terutama locianpwe Kim Hwa Nio-nio harap menjaganya baik-baik karena sekali waktu tentu ia akan kubawa ke istana. Jangan sampai ia kekurangan sesuatu dan jangan sampai melarikan diri. Akan tetapi, harap rahasiakan tempat persembunyiannya dari orang luar. Mengertikah, locianpwe?"

   Kim Hwa Nio-nio mengangguk-angguk.

   "Baik Taijin. Saya sendiri yang akan menjaga-nya."

   Wajah pembesar itu nampak lega dan diapun berkata gembira.

   "Sekarang, harap keluarkan hidangan dan hiburan untuk menjamu Lo-suhu dari Tibet sebagai sambutan selamat datang dari kami."

   Kim Hwa Nio-nio bertepuk tangan beberapa kali sebagai perintah dan pintupun terbuka.

   Beberapa orang pelayan, laki-laki dan wanita, kesemuanya muda-muda dan berpakaian bersih, yang pria tampan dan wanita cantik masuk dengan sikap gesit dan terlatih baik. Mereka lalu mengatur masakan-masakan di atas meja dan bagaikan sekumpulan burung dara delapan orang pelayan ini pulang pergi mengambil masakan-masakan dari dapur dan ruangan itupun menjadi sedap baunya oleh uap masakan-masakan yang masih panas itu. Rombongan ini disusul oleh rombongan tari dan nyanyi yang terdiri dari dua orang wanita dan empat orang laki-laki. Mereka mengenakan pakaian seniman yang beraneka warna sambil membawa alat-alat musik mereka. Muka mereka, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, dirias dengan bedak tebal dan gincu sehingga hampir menyerupai kedok-kedok.

   "Taijin, rombongan ini sengaja saya undang dari kota raja,"

   Kata Kim Hwa Nio-nio memperkenalkan enam orang itu. Hou Sen mengangguk-angguk.

   "Bagus, bagus, kalau permainan kalian malam ini memuaskan, tentu kami akan memberi hadiah yang besar."

   Enam orang itu berlutut menghadap pembesar itu, akan tetapi sebelunm mereka menjawab, dari pintu yang terbuka itu menerobos masuk sepuluh orang pengawal anak buah Kim Hwa Nio-nio dan muka mereka memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang hebat telah terjadi. Melihat mereka masuk begitu saja tanpa dipanggil, berkerut sepasang alis Kim Hwa Nio-nio.

   "Kalian ada laporan apa!"

   Bentaknya marah. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan menjadi komandan regu itu, melangkah maju dan dengan sikap gugup dia menuding ke arah enam orang seniman yang masih berlutut di situ.

   "Mereka.... mereka ini.... palsu! Mereka membunuh enam orang rombongan seniman dari kota raja dan mereka menyamar...."

   "Apa....?"

   Hou Taijin membentak dengan wajah berubah pucat memandang kepada enam orang seniman palsu itu.

   "Siapa kalian dan mau apa datang ke sini?"

   "Mau membunuh kau laki-laki cabul!"

   Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak dan serentak dua orang wanita dan empat orang laki-laki itu sudah mencabut keluar pedang masing-masing yang tadi disembunyikan bersama alat-alat musik dan pakaian! Akan tetapi, belasan orang pengawal sudah mengepung mereka itu sehingga mereka tidak dapat menyerang Hou Seng yang oleh Kim Hwa Nio-nio lalu dibawa ke pinggir dan dilindunginya. Sedangkan Sai-cu Lama hanya memandang dengan sikap tenang saja, malah dia menyambar seguci arak dan mulai minum-minum melihat betapa belasan orang pengawal itu mulai mengeroyok enam orang musuh untuk menangkap mereka, hidup atau mati. Akan tetapi, ternyata enam orang itu lihai sekali ilmu pedang mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja, enam orang pengawal sudah roboh tertusuk atau terbacok pedang! Hal ini membuat Hou Taijin menjadi ketakutan, akan tetapi Kim Hwa Nio-nio menenangkannya.

   "Jangan khawatir, Taijin, ada saya di sini,"

   Kemudian ia berkata kepada Sai-cu Lama.

   "Lama, apakah engkau masih mau enak-enak minum arak saja sekarang? Taijin sudah tak sabar lagi untuk melihat kemampuanmu!"

   Sai-cu Lama bangkit dan menghampiri arena perkelahian, lalu dari mulutnya menyemburkan arak yang menderas bagaikan hujan, akan tetapi yang membuat semua orang yang sedang bertempur itu, baik para pengawal maupun para penyerbu, terpaksa mundur karena mereka tidak dapat membuka mata terhadap serangan percikan arak yang begitu kuat dan seperti dapat menusuk kulit muka!

   "Para pengawal, mundurlah dan bawa pergi teman-temanmu yang terluka keluar dari sini, agar gerakan pinceng tidak terhalang!"

   Kata kakek gendut itu tenang-tenang saja. Para pengawal lalu menolong enam orang kawan mereka yang terluka, membawa mereka keluar dari ruangan tamu yang amat luas itu. Kini kakek itu menghampiri enam orang seniman yang ternyata adalah orang-orang yang datang untuk membunuh Hou Taijin.

   "Kalian sudah bosan hidup dan datang untuk mengantar nyawa. Hayo berlutut agar pinceng dapat membunuh kalian tanpa menyiksa lagi."

   Tentu saja enam orang itu menjadi marah. Dengan semburan arak tadipun mereka sudah tahu bahwa pendeta gendut ini lihai sekali, akan tetapi karena mereka berenam dan mereka juga berada di dalam sarang musuh, mereka menjadi nekat dan serentak mereka maju menyerang Sai-cu Lama yang berdiri menantang. Enam batang pedang dengan gerakan cepat sekali meluncur atau melayang ke arah tubuh gendut itu dari segala jurusan. Enam orang itu jelas bukan orang sembarangan karena sekali bentrok saja mereka masing-masing telah merobohkan seorang pengeroyok dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka cukup cepat dan kuat.

   Akan tetapi, yang mereka serang saat itu adaiah Sai-cu Lama, orang yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari mereka. Dari gerakan mereka saja Sai-cu Lama sudah tahu bahwa dia, enam orang itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Kalau dia menghendaki, dalam beberapa gebrakan saja dia mampu untuk merobohkan enam orang lawannya. Akan tetapi, di situ terdapat Hou Seng, pembesar yang berkuasa di istana itu dan dia ingin memperlihatkan kepandaiannya. Maka, begitu melihat datangnya tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan, dia sengaja memperlihatkan kekebalannya. Dengan kedua lengan tangan telanjang, dia menangkisi semua serangan itu, bahkan tusukan sebatang pedang dari belakang dan bacokan pedang dari kiri yang mengenai punggung dan lehernya, dia sengaja diamkan saja tanpa ditangkis.

   Terdengar suara bak-bik-buk dan semua senjata itu terpental begitu terkena tangkisan lengannya maupun yang mengenai punggung dan lehernya, tanpa sedikitpun melukai kulitnya, kecuali merobek bajunya di bagian punggung! Tentu saja Hou Seng kagum bukan main, sebaliknya enam orang penyerang itu terkejut setengah mati. Tak mereka sangka bahwa di situ hadir seorang pendeta Lama yang demikian lihainya. Akan tetapi, untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin karena tempat itu dijaga oleh banyak sekali pengawal. Mereka menjadi nekat dan kini menyerang kembali dengan pedang mereka, hanya kini menujukan serangan mereka ke arah bagian-bagian tubuh yang kiranya tidak dapat dilindungi kekebalan, terutama di bagian mata. Menghadapi serangan ini, Sai-cu Lama tertawa bergelak.

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha, kalian ini tikus-tikus kecil berani bermain gila di depan seekor harimau!"

   Kaki tangannya bergerak dengan aneh dibarengi bentakan-bentakannya yang melumpuhkan dan dalam waktu singkat saja lima dari enam orang penyerbu itu telah roboh tewas dan yang ke enam, yang wanita dan usianya sekitar tiga puluh tahun, berwajah cantik, sudah ditangkapnya! Wanita itu terpaksa melepaskan pedangnya dan kini tertotok roboh tak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya lumpuh.

   "Ha-ha-ha, apakah Hou Taijin ingin melihat bagaimana macamnya orang ini di balik pakaiannya?"

   Dan sekali tangannya bergerak, terdengar kain robek dan pakaian bagian depan dari wanita itu telah dirobek lepas! Nampak tubuhnya yang lumayan mulusnya, dan wanita itu hanya mampu merintih namun tidak mampu bergerak untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bagian depannya itu.

   "Nanti dulu, jangan bunuh orang ini. Kita harus tahu siapa yaag menyuruh mereka!"

   Tiba-tiba Hou Taijin berseru keras. Dalam keadaan seperti itu, mana dia tertarik melihat tubuh wanita telanjang? Pula, wanita itu sudah terlalu tua untuknya. Bagi pembesar istana ini, usia wanita lewat limabelas tahun sudah terlalu tua! Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk-angguk dan tertawa, maklum apa yang dikehendaki oleh Hou Taijin.

   "Heh-heh, tikus betina, kau sudah mendengar sendiri ucapan Hou Taijin. Hayo katakan, siapa yang mengutus kalian berusaha membunuh Hou Taijin? Hayo katakan, kalau tidak aku akan mengerat tubuhmu sepotong demi sepotong, tidak sampai kau mati, akan tetapi akan membuat engkau hidup sebagai seorang yang tanpa batang hidung, tanpa daun telinga, tanpa jari tangan dan kaki!"

   Wanita itu memang maklum bahwa ia sudah tidak berdaya. Mendengar ancaman itu, ia bergidik. Tak dapat ia membayangkan betapa ngeri dan sengsaranya dibiarkan hidup dalam keadaan cacad seperti itu. Lebih baik dibunuh saja! Dan iapun tahu bahwa seorang sakti dan kejam seperti pendeta Lama ini tentu akan memenuhi gertakannya tadi. Maka, dengan lirih dan suara gemetar iapun membuat pengakuan.

   "Yang mengutus kami adalah.... adalah.... Pangeran Cui...."

   "Apa? Pangeran Cui yang mana? Yang tua atau yang muda?"

   "Pangeran.... Cui muda...."

   "Keparat!"

   Bentak Hou Seng sambil memukulkan kepalan tangan kanan ke atas telapak tangan ki-rinya sendiri.

   Wajahnya berubah merah dan dia marah sekali. Pangeran Cui muda itu adalah seorang pangeran yang menjadi keponakan kaisar, termasuk seorang di antara mereka yang tidak suka kepadanya. Biarpun di dalam sebuah pesta yang diadakan pernah pangeran muda Cui itu menghinanya dengan sindiran dengan bercerita tentang kehidupannya sebagai selir pria kaisar, namun dia menahan dirinya. Pangeran muda Cui itu bukan merupakan seorang lawan yang membahayakan kedudukannya, oleh karena itu memperbesar permusuhan dengannya tidak ada artinya, tidak menguntungkan. Akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa agaknya pangeran muda itu demikian benci kepadanya sehingga diam-diam mengutus enam orang jagoan untuk membunuh-nya!

   "Lo-suhu, kalau lo-suhu dapat membawa kepala pangeran Cui muda kepadaku, barulah aku percaya akan kesetiaan lo-suhu kepadaku!"

   Setelah berkata demikian, dengan tergesa-gesa Hou Seng meninggalkan rumah itu, pulang ke rumah sendiri dengan kere-tanya, dikawal dengan ketat oleh anak buah Kim Hwa Nio-nio.

   "Celaka, di mana anak setan itu?"

   Tiba-tiba Kim Hwa Nio-nio berteriak. Ia telah kehilangan Suma Lian! Tadi, ketika ia melindungi Hou Taijin, ia lupa kepada anak perempuan itu. Kini, setelah Hou Seng pergi, baru ia teringat akan Suma Lian dan setelah mengatur anak buahnya untuk mengawal Hou Seng dengan ketat, ia lalu mencari dan memaki-maki karena kehilangan anak, perempuan itu.

   "Ia, takkan mampu lari jauh, Nio-nio. Sebaiknya engkau membantuku, apa yang harus kulakukan dengan perempuan ini dan bagaimana aku dapat memenuhi permintaan Hou Taijin tadi!"

   Kata Sai-cu Lama sambil memandang kepada wanita yang masih terlentang di atas lantai itu.

   "Kubunuh saja ia ini?"

   Dia menuding ke arah tubuh wanita itu.

   "Enam orang anak buahku terluka oleh mereka. Lemparkan ia untuk enam orang anak buahku yang terluka. Kemudian kita rundingkan tentang perintah tadi. Biar kubawa sendiri perempuan ini!"

   Kim Hwa Nio-nio lalu menjambak rambut yang terlepas dari sanggulnya itu, sekali renggut saja tubuh yang lemas itu bangkit berdiri dan Kim Hwa Nio-nio membentak penuh ancaman,

   "Hayo katakan siapa nama pemimpin rombongan kalian dan yang mana dia? Perempuan yang sudah ketakutan itu hanya dapat memandang dengan sepasang matanya yang terbelalak ketakutan ke arah seorang di antara mereka yang berjenggot panjang dan bertubuh tinggi kurus dan yang sudah menggeletak dengan nyawa putus.

   "Dia.... dialah pemimpin dan toako kami, bernama....Ban Leng...."

   "Nah, Sai-cu Lama, kau ambil kepalanya dan bawa dalam bungkusan. Aku akan mengantar dulu perempuan ini!"

   Kim Hwa Nio-nio pergi menyeret perempuan itu dan menengok enam orang anak buahnya yang tadi terluka oleh pedang dan ia melemparkan perempuan itu di antara mereka yang masih rebah.

   "Nih, untuk obat jerih payah kalian!"

   Kemudian ia meninggalkan perempuan itu di dalam kamar. Telinganya masih menangkap jerit rintih perempuan itu di antara suara ketawa orang-orangnya dan ia pun tersenyum sadis. Ketika ia kembali ke ruangan tamu, Sai-cu Lama telah membungkus kepala si jenggot panjang dengan kain, setelah memenggal leher mayat itu dengan pedang rampasan. Kim Hwa Nio-nio memerintahkan orang-orangnya untuk membawa pergi mayat-mayat itu dan membersihkan ruangan tamu,

   Sedangkan ia sendiri mengajak Sai-cu Lama berunding di kamarnya. Dan malam itu juga, keduanya pergi meninggalkan rumah besar itu. Sai-cu Lama pergi membawa buntalan tebal, sedangkan Kim Hwa Nio-nio pergi mencari Suma Lian bersama lima orang pembantu pilihan. Ia percaya bahwa tak mungkin Suma Lian dapat meninggalkan kota raja pada malam hari itu. Anak itu tentu masih berada di kota raja, bersembunyi di suatu tempat. Malam sudah menjelang pagi ketika sesosok tubuh yang tinggi besar berperut gendut memasuki halaman sebuah rumah mungil bercat merah. Dua orang penjaga segera keluar dari pintu gerbang dan menghadang pendeta yang berperut gendut dan membawa buntalan besar itu. Rumah itu adalah rumah pelesir, tidak mungkin seorang pendeta datang ke situ untuk mencari perempuan! Apa lagi pada saat seperti itu!

   "Heiii, tahan dulu. Siapa kau dan mau mencari siapa? Kami rasa engkau telah keliru masuk rumah orang!"

   Pendeta itu menggeleng kepala.

   "Salah masuk? Bukankah ini rumah pelesir Pintu Merah? Dan bukankah Pangeran Cui Muda berada di sini?"

   Dua orang itu adalah pengawal-pengawal pangeran itu yang bertugas jaga di luar, sedangkan kawan-kawan mereka bertugas jaga di dalam. Mereka sedang kesepian, mengantuk dan kedinginan. Kini mereka merasa beruntung ada suatu yang penting dapat mereka sampaikan paling dulu kepada sang pangeran.

   "Eh? Bagaimana kau menyangka seorang pangeran berada di tempat ini? Jangan bicara sembarangan, lo-suhu!"

   Kata seorang di antara mereka ketika kini Sai-cu Lama berdiri di bawah sinar lampu sehingga mereka berdua dapat melihat jelas bahwa dia adalah seorang pendeta.

   "Dari siapa engkau bisa mengatakan bahwa Pangeran Cui Muda berada di sini?"

   Tanya seorang ke dua.

   "Jangan mencurigai pinceng, kawan-kawan. Pinceng adalah sahabat baik dari Ban Leng, dan pinceng datang ke sini karena diutus oleh Ban Leng. Dia sendiri bersama kawan-kawannya tak mungkin datang karena harus bersembunyi dan mereka tidak ingin diketahui orang lain datang menghadap sang pangeran, oleh karena itu mengutus pinceng agar tidak menimbulkan kecurigaan. Siapa akan mencurigai seorang pendeta? Ha-ha-ha! Tolong laporkan kepada Pangeran Cui Muda bahwa pinceng Tiong Hwesio utusan Ban Leng, datang mohon menghadap untuk menyampaikan berita tentang enam orang seniman yang menyerbu musuh!"

   Tentu saja dua orang pengawal itu mengenal baik siapa Ban Leng itu. Kepala dari enam jagoan yang dipercaya oleh pangeran. Oleh karena itu, seorang di antara mereka lalu cepat melapor ke dalam dan para kepala pengawal yang mengerti akan pentingnya urusan, lalu memberanikian diri menggugah sang pangeran dari tidurnya. Pangeran Cui Muda, seperti para bangsawan pada waktu itu, juga merupakan seorang bangsawan muda yang suka pelesir. Isteri dan selir-selirnya yang ber-jumlah lebih dari dua belas orang di rumah itu agaknya mulai membosankannya dan kadang-kadang dia pergi mengunjungi rumah-rumah pelesir untuk menikmati pengalaman-pengalaman baru dengan pelacur-pelacur yang tentu saja lebih pandai dalam hal melayani kaum pria dibandingkan dengan selir-selirnya.

   Dan malam itu memang dia sengaja memilih Pintu Merah, rumah pelesir kaum bangsawan, untuk menjadi tempat dia menantikan Ban Leng dan kawan-ka-wannya yang diutusnya untuk membunuh Hou Seng! Begitu para penyelidiknya memberi kabar bahwa malam itu Hou Seng memanggil serombongan seniman untuk menghihur tamu, dia lalu cepat menyuruh Ban Leng dan saudara-saudaranya untuk bertindak. Ban Leng dan lima orang saudara seperguruannya memang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan pembunuh-pembunuh bayaran kelas tinggi yang sudah dipercaya dan diperalat oleh Pangeran Cui Muda. Mereka lalu mencegat rombangan seniman itu, membunuh dan menyamar menggantikan kedudukan mereka sampai mereka berhasil berhadapan dengan Hou Seng!

   Akan tetapi mereka salah perhitungan, sama sekali tidak tahu bahwa di rumah itu terdapat orang-orang sakti seperti Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama! Karena sudah berjanji untuk menanti Ban Leng dan kawan-kawannya di tempat itu, ketika dia digu-gah dan diberi tahu bahwa seorang yang diutus oleh Ban Leng mohon menghadap, sang pangeran menjadi girang dan cepat menyuruh para pengawalnya yang berjumlah tujuh orang itu untuk membawa utusan Ban Leng itu segera menghadap kepadanya. Ketika peadeta Lama yang tinggi besar berperut gendut itu menghadap Pangeran Cui Muda, mereka saling pandang penuh selidik dan sang pangeran merasa agak heran, sama sekali tidak mengira bahwa utusan Ban Leng itu adalah seorang pendeta hwesio Lama yang belum pernah dilihatnya.

   "Siapakah lo-suhu ini? Benarkah engkau disuruh oleh Ban Leng?"

   Tanya pangeran itu dengan alis berkerut dan memandang ke arah buntalan yang berada di atas pundak pendeta itu.

   "Pinceng adalah hwesio Tiong yang diutus Ban Leng menyerahkan kepala.... eh, sebelum pinceng melanjutkan, benarkah pinceng berhadapan dengan Pangeran Cui Muda?"

   "Akulah Pangeran Cui Muda! Ban Leng mengutusmu menyerahkan sebuah kepala? Apakah mereka telah berhasil?"

   Tanya pangeran itu dengan wajah gembira bercampur tegang. Juga para pengawal yang mendengar percakapan itu merasa tegang dan mereka semua mendekat, mengepung hwesio itu untuk melihat kepala siapa yang akan di haturkan itu. Sai-cu Lama tertawa.

   "Mereka selamat.... ha-ha, inilah kiriman dari Ban Leng untuk paduka, Pangeran Cui!"

   Dan diapun membuka buntalan itu perlahan-lahan di depan sang pangeran dan anak buah pengawal. Perlahan-lahan, sebuah kepala nampak dan ketika buntalan itu sudah terbuka semua, nampak sebuah kepala yang tengadah dan terdengar pangeran itu berteriak kaget karena dia segera mengenal bahwa kepala itu adalah kepala dari Ban Leng sendiri! Juga para pengawal berteriak kaget.

   "Pegang orang ini!"

   Sang pangeran berseru keras dan para pengawal sudah mengepung Sai-cu Lama yang kini tertawa bergelak. Ketika tujuh orang itu dibarengi oleh jerit ketakutan beberapa orang wanita pelacur yang mencoba untuk mengintai dan mereka melihat kepala yang berlumuran darah, menyerang ganas, Sai-cu Lama lalu menggerakkan kaki tangannya dan tujuh orang pengawal itu seperti daun-daun kering tertiup angin saja, berpelantingan ke sana-sini!

   "Heh-heh, perlahan dulu, pangeran!"

   Sai-cu Lama menggerak-gerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pangeran itu seperti orang melambai dan memanggil dan..... tubuh pangeran yang sudah sampai ke pintu itu terjengkang dan bergulingan sampai ke depan kaki Sai-cu Lama! Pada saat itu, seorang pengawal yang dapat bangkit kembali dan melihat majikannya terancam, sudah menggerak-kan goloknya menyerang dengan bacokan ke arah leher pendeta Lama itu. Akan tetapi, gerakan golok itu terhenti di tengah udara ketika tiba-tiba kaki Sai-cu Lama meluncur ke depan, mengenai lambungnya. Orang itu memekik, goloknya terlempar ke atas dan ketika meluncur turun, sudah disambut oleh tangan kiri Sai-cu Lama.

   "Ampun.... ampunkan aku...."

   Ratap sang Pangeran Cui, akan tetapi ketika nampak sinar golok itu berkelebat, leher pengeran itu sudah putus dan kepalanya sudah terangkat ke atas dengan dijambak rambutnya oleh Sai-cu Lama. Dan pendeta Lama itupun tidak mau bekerja kepalang tanggung. Dia membawa kepala yang masih bertetesan darah itu sambil mengamuk dan tanpa ampun lagi dibunuhnya tujuh orang pengawal itu,

   Suami isteri tua pemilik rumah pelacuran itu dan tidak ketinggalan pula lima orang pelacur yang berada di situ dan dua orang pelayan! Habislah seluruh penghuni Pintu Merah itu, dibantai oleh Sai-cu Lama menggunakan golok rampasannya. Kemudian, sekali berkelebat diapun sudah meninggalkan rumah itu sambil membawa sebuah kepala, kepala yang dibuntalnya pula dengan kain bekas pembungkus kepala Ban Leng tadi! Dan pada pagi hari itu juga, tanpa diketahui seorangpun, diam-diam Sai-cu Lama mengirim kepala itu ke rumah Hou Taijin! Ketika Hou Taijin terbangun dari tidurnya, tahu-tahu di meja kamarnya telah terdapat buntalan itu yang ketika dibuka ternyata berisi kepala Pangeran Ciu Muda! Tentu saja Hou Seng menjadi girang akan tetapi juga ngeri, cepat dia memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengubur kepala itu secara rahasia.

   Kini dia baru percaya benar akan kelihaian dan kesetiaan Sai-cu Lama dan hatinya merasa girang bukan main. Di samping Kim Hwa Nio-nio, dia memperoleh tenaga bantuan seorang yang boleh diandalkan, yang tentu saja akan memperkuat kedudukannya dalam persaingan dengan para pembesar yang tidak suka kepadanya. Sementara itu, Suma Lian yang tadi mengikuti keributan yang terjadi di rumah itu karena penyerbuan enam orang musuh Hou Taijin yang menyamar sebagai seniman-seniman, mempergunakan kesempatan selagi terjadi keributan dan tak seorang pun memperhatikan dirinya, untuk menyelinap keluar dari rumah. Para pengawal dan penjaga yang mengerahkan seluruh perhatiannya terhadap enam orang yang sedang digempur oleh Sai-cu Lama, tentu saja tidak menaruh perhatian terhadap Suma Lian, apa lagi tidak ada perintah apapun dari Kim Hwa Nio-nio.

   Suma Lian lari ke dalam kegelapan malam, berlindung dari bagian-bagian gelap, menyelinap di antara rumah-rumah orang dan ia merasa agak lega bahwa tidak terdengar ada orang mengejarnya. Akan tetapi setelah berjalan berputar-putar di kota raja yang besar itu, tidak tahu ke mana harus melarikan diri, tahu-tahu malam mulai berganti pagi dan kegelapan mulai terusir oleh sinar matahari. Hatinyapun mulai gelisah. Kegelisahannya berubah kekhawatiran dan ketakutan ketika tiba-tiba, dari balik sebuah rumah, ia melihat Kim Hwa Nio-nio dan lima orang pengawal. di depan dan berhenti di simpang empat. Ia cepat menyelinap dan bersembunya di balik rumah itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kalau mereka itu berpencar mencarinya, tentu ia akan terpegang! Ia menoleh ke belakang.

   Ada sebuah jembatan besar di jalan itu. Kalau saja ia dapat melewati jembatan itu tanpa terlihat, tentu ia akan dapat lari menjauh, dan mencari tempat sembunyi yang aman! Di seberang jembatan nampak banyak pohon-pohon dan semak-semak, ia dapat bersembunyi di balik pohon-pohon atau di balik semak-semak itu! Dengan nekat Suma Lian lalu lari, agak membongkok-bongkok, melalui bagian gelap dari jembatan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya seperti diangkat ke atas dan tahu-tahu tubuh itu sudah terlempar keluar dari jembatan! Kalau saja bukan Suma Lian, gadis cilik yang memiliki ketabahan luar biasa, tentu sudah menjerit. Akan tetapi Suma Lian menahan rasa ngerinya dan tidak menjerit, bahkan tidak sempat menjerit karena tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan tidak lagi mampu mengeluarkan suara karena ia sudah tertotok!

   Suma Lian mengejap-ngejapkan matanya untuk membiasakan mata itu dalam cuaca yang agak gelap itu. Ternyata ia sudah berada di bawah jembatan dan ketika ia dapat melihat lebih jelas, ia telah terduduk dan tak mampu bergerak, sedangkan di dekatnya duduk seorang kakek tua yang berpakaian jembel butut! Wajah kakek itu penuh rambut yang sudah putih semua, rambutnya awut-awutan menutupi muka, bercampur dengan jenggot dan kumisnya yang juga sudah putih semua. Seorang kakek tua renta yang berpakaian jembel, seorang pengemis yang kotor! Dan apa yang selanjutnya dilakukan oleh kakek itu membuat Suma Lian demikian kaget dan takutnya sehingga ia merasa jantungnya hampir copot.

   Kakek itu merenggut semua pakaiannya, merobek-robek pakaian itu dan melemparnya ke bawah, setelah membuntal sepotong batu dengan pakaian itu. Tentu saja pakaian itu tenggelam ke dalam air sungai! Dan kini, kakek itu tanpa banyak cakap lagi, memercik-mercikkan air kotor berlumpur ke seluruh tubuh Suma Lian. Air berlumpur itu dicampur dengan bungkusan obat yang dikeluarkan dari saku jubahnya yang butut. Seluruh tubuh anak itu berlumur campuran ini yang membuat seluruh kulitnya, dari tumit sampai ke kulit kepala bawah rambut, menjadi kecoklatan. Dan rambut anak itu diawut-awut secara kasar! Kemudian, dia mengeluarkan sehelai kain yang butut dan penuh tambalan, dan memaksa Suma Lian mengenakan pakaian ini dan berubahlah Suma Lian menjadi seorang anak pengemis yang amat buruk, kotor dan berbau busuk pula!

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 12 Suling Emas Naga Siluman Eps 45 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 43

Cari Blog Ini