Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 45


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 45



Akan tetapi, ketika dia melihat Ngo-ok di belakang semak-semak sedang mempermainkan seorang di antara Su-bi Mo-li, pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bagaimanapun jahatnya, Su-bi Mo-li adalah wanita-wanita dan melihat A-bwee yang sudah setengah mati itu dipermainkan secara biadab oleh Ngo-ok sampai mati di belakang semak-semak, Han Beng segera menerjang dan menyerang dengan pedangnya! Serangan Han Beng itu hebat sekali, dengan jurus rahasia dari Kun-lun-pai. Dan Ngo-ok, seperti biasa. memandang rendah kepada pemuda yang tidak pernah dikenalnya ini, maka dia pun menghadapi serangan itu seenaknya saja. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu pedang itu menerobos dan menusuk dadanya!

   Dia mengerahkan sinkangnya, namun ternyata tenaga yang dipakai untuk menusuk itu pun kuat bukan main sehingga dia baru dapat melepaskan diri setelah pedang itu menusuk cukup dalam, membuat dia terhuyung ke belakang dan mengeluarkan teriakan kesakitan. Melihat betapa Ngo-ok agaknya terluka parah oleh pemuda yang tak terkenal itu, empat orang datuk menjadi marah bukan main. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda ini merupakan seorang di antara pendekar yang melindungi Pangeran, maka Su-ok dan Sam-ok sudah menerjang maju dengan dahsyat. Karena mereka berdua maklum bahwa orang yang telah melukai Ngo-ok dalam waktu sesingkat itu tentu memiliki kepandaian tinggi, maka keduanya sudah menerjang dengan pengerahan sin-kang sekuatnya dan begitu menerjang mereka pun sudah mengeluarkan ilmu mereka yang paling hebat.

   Sam-ok sudah mengeluarkan Ilmu Thian-te Hong-i, yaitu menyerang sambil memutar-mutar tubuhnya seperti gasing itu, sedangkan Su-ok juga sudah mempergunakan pukulan Katak Buduknya yang ampuh. Akan tetapi pendekar muda dari Kun-lun-pai ini adalah seorang murid yang selama bertahun-tahun digembleng sendiri oleh Thian Heng Tosu, seorang pertapa sakti yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas sekali dalam ilmu silat. Han Beng memiliki pengertian yang mendalam dari pelbagai ilmu silat tinggi, dan dari suhunya dia pernah pula mendengar keistimewaan dari ilmu-ilmu seperti yang kini dihadapinya. Gurunya pernah bicara tentang ilmu silat yang dilakukan dengan badan berputaran itu, juga pernah bicara tentang ilmu pukulan yang dilakukan sambil berjongkok itu. Maka dia pun tidak bersikap ceroboh, maklum akan kelihaian lawan dan dia memutar pedangnya dengan cepat.

   Dia tidak mau menangkis pukulan Su-ok, dan juga dia menahan bahaya yang datangnya dari Sam-ok dengan sinar pedangnya yang bercahaya kemerahan. Pedang, di tangan pemuda ini bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pusaka dari Kun-lun-pai yang diterimanya dari suhunya. Pedang itu berpamor daun-daun merah maka mempunyai sinar merah dan bernama Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah). Sinar merah yang bergulung-gulung itu mengeluarkan suara berdesing nyaring dan segera nampak bahwa pemuda dengan pedang pusakanya itu ternyata memiliki ilmu pedang yang amat hebat sehingga tokoh ke tiga dan ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu pun sampai terdesak oleh gulungan sinar pedang! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.

   Kalau mereka berlima kewalahan menghadapi Bu-taihiap dan isterinya yang dibantu oleh Ban-kin-sian Cu Kang Bu, hal itu tidak membuat mereka penasaran. Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang telah amat terkenal namanya sedangkan satu di antara isterinya yang tempo hari membantunya bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan perbuatannya yang amat berani, yaitu mencuri pedang Koai-liong-pokiam dari dalam istana. Kemudian yang membantu mereka, Ban-kin-sian Cu Kang Bu, biarpun jarang keluar dari Lembah Suling Emas dan tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun merupakan tokoh penghuni lembah itu, maka kekalahan Im-kan Ngo-ok dari mereka bukan merupakan hal yang perlu dibuat penasaran.

   Akan tetapi kalau sekarang ini, dalam beberapa gebrakan saja Ngo-ok telah terluka, dan kini Su-ok bernama Sam-ok yang mengeroyok pemuda tak bernama itu malah terdesak, sungguh membuat orang merasa penasaran bukan main.

   "Tahan!"

   Teriakan Toa-ok ini amat berpengaruh dan dua orang temannya sudah mundur, juga Cia Han Beng menghentikan gerakan pedangnya, memandang tajam kepada lima orang datuk itu. Ngo-ok masih mendekap dada dengan tangan kiri, akan tetapi tidak mengeluh lagi. Tadi dia telah mengobati lukanya dan biarpun luka itu cukup parah, namun tidak membuat dia roboh. Kini dia pun berdiri sambil memandang dengan muka merah penuh kebencian dan kemarahan kepada pemuda itu.

   "Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau menyerang kami? Mengapa engkau mencampuri urusan kami?"

   Toa-ok bertanya karena menyaksikan kelihaian pemuda itu, dia harus lebih dulu mengenal siapa adanya orang ini sebelum turun tangan. Pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada, memandang jijik kepada Ngo-ok, kemudian menjawab, suaranya lantang namun tenang,

   "Aku bernama Cia Han Beng dari Kun-lun-pai."

   "Ah, kiranya seorang pendekar Kun-lun!"

   Kata Toa-ok dengan sikapnya yang lemah lembut dan halus itu, sungguh tidak sesuai dengan keadaan muka dan badannya yang mirip gorila,

   "Kalau benar engkau dari Kun-lun-pai, orang muda, sungguh ada dua hal yang amat mengherankan hati kami."

   "Katakanlah, apa yang mengherankan hati kalian Im-kan Ngo-ok?"

   "Hem, bagus, kiranya engkau malah sudah mengenal kami. Di antara Kun-lun-pai dan kami, sejak dahulu tidak perhah ada permusuhan. Engkau sebagai seorang muda dari Kun-lun-pai telah mengenal kami, tentu telah mengenal pula Su-bi Mo-li, murid-murid kami yang kami hukum mati karena berkhianat dan murtad, mengapa engkau mencampuri urusan antara kami dan murid-murid kami? Itulah soal pertama yang mengherankan kami"

   "Mudah saja aku menjawabnya,"

   Kata Han Beng.

   "Biarpun antara Kun-lun-pai dan Im-kan Ngo-ok tidak pernah ada permusuhan pribadi, akan tetapi hal itu tidak menghalangi aku untuk turun tangan apabila menyaksikan perbuatan yang jahat dan kejam. Aku tidak mencampuri urusan antara guru dan murid, sama sekali tidak. Aku tidak peduli apa yang terjadi antara kalian dan empat orang murid kalian yang sama sesatnya itu."

   "Eh, omongan ngacau!"

   Ngo-ok membentak.

   "Kalau tidak mencampuri, mengapa engkau menyerangku?"

   "Mudah saja jawabnya. Aku melihat seorang laki-laki yang berwatak binatang atau iblis sedang menganiaya dan memperkosa seorang wanita, maka tidak peduli siapa laki-laki itu dan siapa pula wanita itu, aku tidak dapat tinggal diam saja. Aku tidak berpihak, melainkan menentang perbuatan yang amat keji itu, oleh siapa dan terhadap siapa pun dilakukannya!"

   "Hemm, hal itu dapat kami mengerti. Akan tetapi urusan ke dua yang kami heran. Di dalam kereta itu terdapat Pangeran Kian Liong, Pangeran Mahkota. Kami hendak menangkap dan membawanya pergi. Apakah engkau juga hendak menghalangi kami?"

   "Tentu saja!"

   Jawab Han Beng.

   "Dan apa pula alasannya?"

   Tanya Toa-ok.

   "Bukankah Kun-lun-pai terkenal sebagai tempat para pendekar yang selalu menentang pemerintah penjajah? Apakah sekarang Kun-lun-pai sudah berbalik hati, menjadi anjing penjilat pemerintah penjajah?"

   "Tutup mulut kalian yang busuk!"

   Han Beng membentak marah sekali.

   "Siapa tidak tahu bahwa Im-kan Ngo-ok yang menjadi anjing penjilat penjajah, dan kini membalik karena keadaan tidak menguntungkan? Ketahuilah, Im-kan Ngo-ok, kami Kun-lun-pai tetap berjiwa patriot, apa pun yang terjadi. Karena itulah maka aku harus melindungi Pangeran Kian Liong dan sama sekali bukan berarti bahwa kami hendak menjadi penjilat penjajah!" "Bocah sombong!"

   Terdengar Ji-ok menjerit marah dan wanita ini sudah menerjang ke depan, jari telunjuknya menyerang dengan ilmu yang dinamakan Kiam-ci (Jari Pedang) dan sinar yang tajam mengeluarkan suara mencicit me-nyambar ke arah leher Han Beng.

   "Cringgg....!"

   Han Beng menggerakkan pedang menangkis dan balas menyerang. Sinar pedangnya meluncur ke arah dada wanita itu yang cepat meloncat ke be-lakang untuk mengelak, diam-diam harus mengakui bahwa gerakan pedang pemuda itu sungguh berbahaya sekali. Toa-ok juga tidak tinggal diam, sudah menubruk maju dengan kedua lengannya yang berbulu itu bergerak aneh, akan tetapi dari gerakan itu timbul angin yang keras menyambar ke arah Han Beng. Pemuda itu pun mengelak dan balas menyerang. Dan majulah kelima Im-kan Ngo-ok mengeroyok, berjungkir balik dan mempergunakan kedua kakinya yang panjang untuk menyerang. Cia Han Beng bukan tidak tahu bahwa lima orang lawannya adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi sekali, maka dia sama sekali tidak memandang rendah, bahkan bersikap amat hati-hati.

   Pedangnya diputar cepat menutupi dan melindungi seluruh tubuhnya dan dia tidak berani sembarangan menyerang setelah kini dikeroyok lima. Mengurangi sedikit saja daya tahannya akan mendatangkan bahaya, dan menyerang berarti mengurangi pertahanannya. Padahal, menghadapi lima orang itu, dia harus benar-benar melakukan pertahanan yang amat kuat. Memang harus diakui bahwa Cia Han Beng telah mewarisi hampir semua kepandaian Ketua Kun-lun-pai yang menaruh harapan besar terhadap dirinya. Akan tetapi betapapun juga, pemuda ini masih kurang pengalaman berkelahi menghadapi lawan-lawan tangguh dan kini, begitu keluar dari pertapaan, dia harus menghadapi lima orang Im-kan Ngo-ok sekaligus. Tentu saja hal ini merupakan beban yang terlampau berat baginya.

   Biarpun dia telah mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang amat terkenal itu, yang telah dikuasainya sampai di bagian yang paling rahasia, namun menghadapi pengeroyokan lima orang datuk kaum sesat ini, perlahan-lahan Han Beng mulai terdesak hebat. Namun, dia masih terus melakukan perlawanan dengan memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga angin pukulan-pukulan aneh dari mereka itu bahkan tidak mampu menembus gulungan sinar yang bertahan itu. Betapapun juga, pemuda itu bukan tidak tahu bahwa kalau dilanjutkan lambat-laun dia akan kehilangan tenaga dan akhirnya akan menjadi semakin lemah. Tidak demikian dengan pengeroyoknya karena dia harus mengeluarkan tenaga lima kali lipat untuk menghadapi lima orang pengeroyok ini. Akhirnya dia akan kehabisan tenaga dan tentu akan kalah akhirnya dan pemuda ini mulai merasa bingung.

   Dia tidak pernah memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri, melainkan bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, bagaimana dia akan mampu menyelamatkan Sang Pangeran yang masih berada di dalam kereta. Dari dalam keretanya, Pangeran Kian Liong yang menyaksikan itu semua dan hatinya menjadi semakin tak senang, Sepak terjang Im-kan Ngo-ok sungguh membuat hatinya tidak senang. Dia melihat kecurangan dan kekejaman yang luar biasa pada diri lima orang datuk sesat itu. Melihat pemuda gagah perkasa itu dikeroyok lima orang kakek yang sudah menjadi datuk kaum sesat, Sang Pangeran merasa penasaran sekali. Macam itukah watak datuk-datuk yang biasanya membanggakan dirinya? Ternyata merupakan pembunuh-pembunuh dan tukang-tukang pukul tak tahu malu yang suka mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah besar saja.

   "Hei!, Im-kan Ngo-ok, apakah kalian berlima tidak malu? Bukankah kalian adalah orang-orang tua yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw? Bahkan Sam-ok adalah bekas Koksu Nepal, bukan? Mengapa kalian tidak malu melakukan pengeroyokan? Kalian telah membunuh murid-murid kalian sendiri, hayo bebaskan pemuda gagah itu dan aku akan menyerah kepada kalian!"

   Teriakan lantang dari Pangeran Kian Liong yang membuka tirai kereta itu amat mengherankan hati Han Beng. Pemuda ini memang sudah banyak mendengar tentang kegagahan dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota ini dan biarpun dia selalu ingat bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, seorang keluarga Kaisar penjajah, namun tetap saja dia merasa amat kagum mendengar ucapan yang mengandung kegagahan luar biasa itu. Sementara itu, mendengar ucapan Sang Pangeran, Im-kan Ngo-ok merasa malu dan menjadi semakin penasaran dan marah. Su-ok yang sudah mengalami banyak kekecewaan karena Pangeran ini, lalu meninggalkan Han Beng.

   "Omitohud, Pangeran itu sungguh telah mendatangkan banyak kepusingan. Biarlah kuhabiskan saja riwayatnya."

   Si Gundul Pendek ini lalu menggelinding menuju ke kereta. Melihat ini, Cia Han Beng menjadi khawatir sekali akan keselamatan Sang Pangeran, maka dia memutar pedangnya untuk mencari kesempatan meloncat dan menyelamatkan Sang Pangeran. Akan tetapi, empat orang pengeroyoknya yang maklum akan kehendaknya itu mengepung dan menyerang semakin ketat sehingga terpaksa Han Beng harus menjaga dirinya. Su-ok telah berdiri di dekat kereta dan melihat Sang Pangeran duduk di dalam kereta, memandang kepadanya melalui jendela kereta yang sudah dibuka tirainya itu.

   "Heh-heh-heh, Pangeran Kian Liong, engkau telah banyak merugikan kami, dan telah menghancurkan harapan kami untuk memperoleh kedudukan di istana. Oleh karena itu, aku akan membunuhmu sekarang juga."

   "Kakek yang munafik, mati merupakan hal yang jauh lebih bersih daripada hidup akan tetapi seperti engkau ini, berlagak menjadi hwesio akan tetapi hidup sebagai datuk sesat yang jahat. Engkau mencemarkan agama, maka hidupmu tentu akan terkutuk!"

   "Heh-heh, ngocehlah selagi engkau bisa, Pangeran. Sekarang bersiaplah untuk mampus!"

   Berkata demikian, Su-ok lalu merendahkan tubuhnya dan mengerahkah tenaga dari ilmu Katak Buduk, bermaksud menghantam ke arah kereta agar Sang Pangeran tewas bersama hancurnya kereta itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan ada sinar keemasan barkelebat, langsung sinar emas ini menyambar ke arah kepala gundul Su-ok! Su-ok terkejut, karena dia sudah mengerahkan tenaga, maka dia pun lalu memukul dengan ilmu pukulan Katak Buduk ke arah sinar kuning emas yang menyambar itu.

   "Dess...."

   Bukan main hebatnya pertemuan antara tenaga Katak Buduk dan sinar kuning emas itu dan akibatnya.... tubuh Su-ok terguling-guling seperti sebuah bal ditendang! Tentu saja Su-ok terkejut bukan main, dadanya terasa panas dan nyeri. Ketika dia bangkit berdiri, ternyata di situ telah berdiri seorang dara cantik yang gagah, yang memegang sebatang suling Emas! Bukan main rasa heran dan penasaran di dalam hatinya.

   Melihat pemuda Kun-lun-pai itu saja sudah mendatangkan penasaran, sekarang muncul seorang dara yang memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya, sehingga mampu menyambut pukulan saktinya, bahkan membuatnya terpelanting dan terguling-guling sampai jauh dengan dada terasa panas dan nyeri. Dara itu bukan lain adalah Ci Sian! Ketika melihat Han Beng dikeroyok, tentu saja Ci Sian segera menghampiri dan hendak turun tangan membantu. Akan tetapi melihat Su-ok mendekati
(Lanjut ke Jilid 42)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 42
kereta dan mengancam Sang Pangeran, ia cepat menyambar dan menyelamatkan Sang Pangeran dengan menyambut serangan Su-ok yang dahsyat itu. Karena ia sudah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, maka begitu terjun ia sudah mengerahkan khi-kangnya ketika menyambut pukulan sakti dari Su-ok yang mengakibatkan Si Gundul itu terlempar.

   Su-ok yang sudah bangkit kembali itu memandang bengong. Kini Ci Sian sudah menerjang dan membantu Han Beng, memutar sulingnya dan tanpa mengeluarkan sepatah pun kata ia sudah menyerang Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu. Ji-ok juga terkejut ketika ada sinar emas menyambarnya, dan ketika ia menangkis mempergunakan Kiam-ci, hampir saja ia terguling seperti yang telah dialami oleh Su-ok. Terkejutlah Im-kan Ngo-ok melihat ini dan mereka teringat akan Kam Hong yang juga amat lihai dalam mempergunakan suling emas sebagai senjata. Dan melihat kehebatan dara ini, mengertilah mereka bahwa pihak lawan bertambah dengan seorang yang lihai, biarpun hanya merupakan seorang gadis remaja saja. Maka Su-ok juga cepat terjun ke medan perkelahian dan membantu teman-temannya.

   Biarlah, Pangeran itu ditinggalkan sebentar. Paling perlu merobohkan dua orang muda ini. Pangeran itu pun tentu tidak akan mampu melarikan diri sampai jauh. Cia Han Beng merasa girang bukan main melihat munculnya Ci Sian. Bukan hanya gembira karena dia memperoleh seorang kawan yang amat lihai dan boleh diandalkan, akan tetapi juga gembira karena keselamatan Sang Pangeran dapat lebih terjamin sekarang, dan terutama sekali dia merasa gembira memperoleh kesempatan bertemu kembali dengan dara ini! Biarpun pada lahirnya pemuda ini tidak memperlihatkan sesuatu, akan tetapi sesungguhnya dia telah jatuh hati kepada Ci Sian pada pertemuan pertama mereka di Kun-lun-san, terutama setelah keduanya saling menguji kepandaian dalam sebuah pibu persahabatan.

   "Nona, terima kasih atas bantuanmu!"

   Serunya dan kini pedangnya makin hebat gerakannya, menjadi gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar dahsyat. Ci Sian tidak menjawab, melainkan juga memutar sulingnya dengan tidak kalah dahsyatnya. Kalau dulu mereka berpibu, kini mereka seolah-olah bersaing mendemonstrasikan kepandaian mereka. Tentu saja yang rugi dalam hal ini adalah Im-kan Ngo-ok! Menghadapi seorang Han Beng saja mereka tadi sudah merasa sukar sekali untuk merobohkannya, apalagi kini ditambah dengan nona yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah tingkat pemuda Kun-lun-pai itu. Setelah dibantu oleh Ci Sian, kini Han Beng mendesak lima orang datuk itu. Sampai kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba Han Beng mengeluarkan bentakan nyaring.

   "Haiiiitttt....!"

   Pedangnya menyambar ganas, darah muncrat dan robohlah Ngo-ok yang memang sudah terluka dan paling lemah dan lambat gerakannya itu.

   Kini ujung pedang pemuda itu menembus lehernya maka setelah berkelojotan di atas tanah, matilah Ngo-ok, orang termuda dari Im-kan Ngo-ok! Hal ini membuat empat orang kakek dan nenek itu terkejut, marah dan berduka sekali. Tak pernah mereka sangka bahwa seorang di antara mereka berlima akan dapat terbunuh orang! Dan pembunuhnya seorang yang masih amat muda lagi. Su-ok yang paling sering cek-cok dengan Ngo-ok akan tetapi sesungguhnya paling mencintanya, menjadi marah sekali dan dengan teriakan setengah terisak dan menerjang kepada Han Beng. Akan tetapi, Ci Sian yang tidak mau kalah oleh kawannya itu telah menyambutnya. Sulingnya mengeluarkan getaran yang melengking-lengking, dan nampak sinar emas itu terpecah menjadi banyak dan tahu-tahu ujung suling sudah menotok dan mengenai pelipis Su-ok!

   "Prokkk....!"

   Tubuh Su-ok terjenkang dan berkelojotan karena pelipis kepalanya retak. Seperti Ngo-ok, tidak lama dia berkelojotan lalu tewas. Kini tiga orang kakek dan nenek itu baru tahu bahwa pihak lawan mereka memang hebat bukan main dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dan mereka tinggal bertiga, kalau dilanjutkan perkelahian itu, bukan tidak mungkin mereka bertiga akan mengalami nasib yang sama dengan Su-ok dan Ngo-ok. Maka Toa-ok mengeluarkan suara bersuit nyaring dan dua orang adiknya maklum akan isyarat ini. Mereka lalu menyerang dengan sehebatnya, membuat dua orang muda itu terpaksa mundur. Kesempatan itu mereka pergunakan untuk menyambar tubuh Su-ok dan Ngo-ok yang sudah tidak bernyawa. Toa-ok menyambar tubuh Ngo-ok sedangkan Sam-ok menyambar tubuh Su-ok, lalu ketiganya meloncat jauh dan melarikan diri. Ci Sian yang merasa penasaran itu hendak mengejar, akan tetapi Han Beng menahannya.

   "Harap jangan kejar, Nona. Lebih penting melindungi Pangeran."

   Teringatlah Ci Sian bahwa Sang Pangeran masih berada di situ dan kalau mereka berdua melakukan pengejaran, memang Pangeran menjadi tak terlindung dan hal ini berbahaya sekali.

   "Biar lain kali kubasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok,"

   Katanya. Melihat sepak terjang dua orang muda-mudi itu, Pangeran Kian Liong merasa kagum bukan main. Dia keluar dari keretanya, lalu menghampiri dua orang pendekar itu dan menjura dengan senyum kagum.

   "Ah, sudah banyak aku bertemu dan melihat kepandaian tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa. Akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan dua orang pemuda dan pemudi yang selain gagah perkasa, tampan dan cantik, juga memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya! Sungguh aku merasa kagum bukan main. Bolehkah aku mengenai siapa Taihiap dan Lihiap, agar aku dapat mengucapkan terima kasihku?"

   Melihat sikap yang demikian merendah dan lembut dari Sang Pangeran, Ci Sian juga merasa heran dan kagum.

   Memang Pangeran ini amat hebat, seperti berita tentang dirinya yang sering didengarnya. Seorang Pangeran yang sama sekali tidak tinggi hati, bersikap ramah dan rendah hati. Akan tetapi, biarpun diam-diam Han Beng juga kagum melihat sikap Sang Pangeran, dia tidak dapat melupakan bahwa Pangeran itu adalah seorang pemuda bangsawan Mancu, keluarga Kaisar penjajah, bahkan menjadi calon pengganti Kaisar penjajah pula. Bahkan, di balik semua itu, masih ada satu hal yang amat mengganjal hatinya, yaitu mengingat bahwa ayahnya tewas oleh ayah Pangeran ini, dan bahwa ibunya telah dirampas pula oleh ayah Pangeran ini! Hanya kebijaksanaannya berkat pendidikan batin gurunya sajalah yang membuat dia tidak merasa mendendam kepada Pangeran ini.

   "Kalian telah mengenalku sebagai Pangeran Kian Liong,"

   Kembali Sang Pangeran berkata dengan ramah.

   "Maka, sudah sepatutnya kalau aku pun mengenal nama kalian."

   Ci Sian sudah membalas penghormatan itu dengan menekuk sebelah kakinya dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

   "Pangeran, nama saya adalah Bu Ci Sian."

   "Ah, Nona Bu, sungguh sangat kagum hatiku menyaksikan sepak terjang Nona tadi, dan terimalah ucapan terima kasihku. Tanpa ada pertolonganmu, tentu aku sudah terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok."

   "Belum tentu, Pangeran. Bukankah di sini ada seorang pendekar yang telah melindungi Pangeran?"

   Kata Ci Sian sambil memandang kepada Cia Han Beng, merasa heran mengapa pemuda itu nampak dingin saja terhadap Sang Pangeran, bahkan tidak membalas ucapan Sang Pangeran.

   "Taihiap, bolehkah aku mengetahui namamu?"

   Han Beng mengerutkan alisnya dan membuang muka, tidak menjawab. Ci Sian hendak menegurnya, akan tetapi ia segera teringat siapa adanya pemuda ini! Ayah, pemuda ini tewas di tangan para pembantu Kaisar! Dan ibunya kabarnya dirampas pula. Dan pemuda ini adalah tokoh Kun-lun-pai yang berjiwa patriot! Tentu saja lain pandangan pemuda ini sebagai seorang patriot terhadap Pangeran Kian Liong, seorang pangeran penjajah, seorang berbangsa Mancu!

   "Pangeran, seorang seperti Paduka tidak layak mengenal nama seorang rakyat biasa seperti saya."

   "Ahh....!"

   Pangeran Kian Liong tertegun dan dari sikap itu saja maklumlah Sang Pangeran orang macam apa yang berada di depannya. Tentu seorang patriot yang anti penjajahan, pikirnya sambil menarik napas panjang penuh hati sesal. Melihat sikap Pangeran yang tetap halus akan tetapi jelas merasa kesal dan berduka itu, Ci Sian merasa betapa sikap pemuda Kun-lun-pai itu tidak sepatutnya. Ia sendiri tidak peduli akan soal patriot atau bukan patriot. Ia tidak mengerti akan semua itu, dan ia bertindak hanya menurut naluri kemanusiaannya.

   "Cia-enghiong,"

   Katanya, suaranya agak dingin.

   "Mengapa engkau bersikap seperti orang tidak suka kepada Pangeran? Bukankah beliau telah bersikap manis dan ramah kepada kita?"

   "Maaf, bagaimanapun juga, aku tidak mampu melupakan kenyataan bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, penjajah tanah air kita,"

   Jawab Han Beng tanpa mempedulikan bahwa Sang Pangeran sendiri berada di tempat itu mendengarkan kata-katanya.

   "Tapi, kalau engkau beranggapan demikian, mengapa engkau melindunginya dari ancaman Im-kan Ngo-ok tadi? Mengapa tidak kau biarkan saja Pangeran penjajah ini tewas di tangan mereka?"

   Ci Sian bertanya, suaranya mulai merasa penasaran. Memang sikap dara ini amat terbuka, dan ia selalu siap untuk menentang segala sesuatu yang dianggapnya tidak benar.

   "Nona, engkau tahu bahwa kami para patriot tidak memben-ci pribadi-pribadi atau perorangan. Kami menentang penjajahan, bukan membenci seseorang. Dan kalau aku melindunginya, bukan berarti aku melindungi pribadi Pangeran, melainkan sesuai dengan rencana dan garis perjuangan para patriot. Untuk perjuangan ini, aku rela mengorbankan nyawaku."

   "Lalu apa yang hendak kau lakukan terhadap Sang Pangeran sekarang?"

   Ci Sian bertanya, suaranya lantang.

   "Sesuai dengan tugas yang kuterima, aku harus membawa Pangeran pergi dari sini, menyelamatkannya dari orang-orang yang hendak membunuhnya."

   "Membawanya kembali ke istana di kota raja?"

   Pemuda itu menggeleng kepala,

   "Tugasku bukan demikian, melainkan membawanya ke suatu tempat."

   "Sebagai tawanan para patriot?"

   Pemuda itu mengangguk.

   "Aku yang menentang-mu!"

   Tiba-tiba dara itu berseru dan mengeluarkan sulingnya, melintangkan sulingnya di depan dada. Pemuda itu tercengang dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Apa maksudmu, Nona? Nona seorang pendekar yang berilmu tinggi, mana mungkin Nona hendak melindungi Pangeran penjajah dan hendak menentang kami....?"

   "Aku tidak peduli akan segala patriot, segala penjajah, segala tetek-bengek! Pendeknya, aku hendak mengantar Pangeran kembali ke tempat tinggalnya, ke istananya di kota raja. Dan siapa pun yang hendak mencelakainya, baik orang-orang jahat macam Im-kan Ngo-ok, maupun orang-orang macam kau yang menamakan dirinya patriot, akan kutentang dan kulawan!"

   Han Beng memandang bingung, lalu menarik napas panjang, nampak berduka.

   "Ah, tidak kusangka sama sekali bahwa kita akan bertemu dalam keadaan seperti ini...."

   Pangeran Kian Liong sudah mendengar cukup. Dia melangkah maju sambil tersenyum.

   "Aku dapat memaklumi keadaan Ji-wi yang gagah perkasa. Akan tetapi sebelum kalian berdua ribut-ribut, marilah kita berbincang-bincang tentang diriku yang hendak di jadikan rebutan. Banyak orang mennilai diriku begini, begitu, hanya dengan memandang diriku sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Mancu! Apa sih salahnya seorang manusia yang dilahirkan sebagai seorang putera Kaisar penjajah Mancu? Seperti juga apa salahnya kalau orang dilahirkan sebagai putera patriot, sebagai anak seorang penjahat, seorang jembel, dan sebagainya lagi? Kita ini masing-masing dilahirkan tanpa kita minta menjadi anak siapa pun! Mengapa setelah terlahir, kita lupa akan hal ini, dan kita memecah-mecah manusia sebagai penjajah, sebagai pejuang, sebagai ini dan itu? Bukankah ketika kita terlahir, kita ini sama? Sebagai seorang orok yang begitu terlahir, telanjang dan menangis? Salahkah kalau aku menjadi putera Kaisar Mancu? Bagiku, yang penting adalah manusianya, bukan embel-embel berupa bangsanya atau keturunannya, hartanya, kedudukannya, atau kepandaiannya, atau agamanya dan sebagainya. Manusia tetap manusia, diberi embel-embel apapun juga, dan yang menentukan apakah dia patut disebut manusia atau tidak bukanlah embel-embelnya itu, melainkan si manusianya sendiri. Aku menjadi Pangeran Mahkota adalah karena keadaanku, dan aku tidak menganggapnya buruk, karena aku tidak pernah menyalahgunakan kedudukan, dan aku berjanji kelak kalau menjadi kaisar, akan menjadi kaisar yang baik, untuk manusia, bukan untuk bangsa ini atau itu, melainkan untuk rakyatku."

   "Mudah memang bagi Paduka untuk bicara demikian, Pangeran,"

   Han Beng membantah.

   "Karena Paduka tidak pernah menderita karena penjajahan itu, Paduka tidak pernah merasakan bagaimana rakyat ditindas, tidak merasa betapa ayah Paduka dibunuh, ibu Paduka diperkosa orang, harta Paduka dirampas orang! Bangsa Mancu telah menjajah dan menindas bangsa Han, apakah kami para patriot yang mencinta rakyat dan tanah air tidak seharusnya dan sepatutnya bangkit dan berusaha mengenyahkan penjajah?"

   Pangeran itu tersenyum.

   "Sudah kukatakan, semua itu telah terjadi dan aku tidak bertanggung-jawab. Tanggung jawabku adalah sekarang ini, kalau menjadi pangeran ya jadilah pangeran yang baik, kalau menjadi kaisar jadilah kaisar yang baik dan demikian seterusnya menurut kedudukan masing-masing. Seperti kulihat, bangsa Mancu yang menjajah itu kini malah melebur dirinya menjadi bangsa Han! Mana ada kebudayaan Mancu dipelihara? Mana ada kesusastraan Mancu atau kesenian Mancu? Bahkan bahasa Mancu pun tidak selancar kupergunakan seperti bahasa Han. Bukan aku membela bangsa Mancu, melainkan kenyataannya demikian. Bagiku, semua manusia itu sama saja, bangsa apapun juga adanya. Baik buruk ditentukan oleh manusianya, bukan oleh bangsanya. Membeda-bedakan bangsa hanya akan menimbulkan kebencian dan permusuhan belaka."

   "Hem, Paduka akan bicara lain kalau ayah Paduka dibunuh kaisar, kalau ibu Paduka dipaksa kaisar menjadi selirnya!"

   Kata Han Beng dengan suara penuh kepahitan. Sang Pangeran terkejut juga mendengar ini dan memandang tajam. Pada saat itu Ci Sian sudah melangkah maju menghadapi Han Beng dan berkata dengan suara menantang,

   "Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi, Cia Han Beng! Sekarang terserah kepadamu! Aku akan mengawal Pangeran pulang ke kota raja dan siapapun juga yang akan mengganggunya, biar engkau sekalipun, terpaksa akan kuhadapi sebagai lawan! Ingat, aku tidak berpihak kepada kerajaan, juga tidak berpihak kepada kaum patriot. Aku tidak mengerti soal itu dan tidak mau tahu. Aku hanya bertindak sebagai seorang yang ingin menjadi seorang pendekar, membela yang lemah terancam, menentang yang kuat sewenang-wenang. Nah, terserah kepadamu!"

   Sejenak Han Beng meragu. Kalau bukan Ci Sian yang berdiri menghalangi, tentu akan diterjangnya dan dilawannya, betapapun lihainya pelindung Pangeran itu. Akan tetapi Ci Sian yang berdiri di depan dan menantangnya. Dia bukan takut melawan dara ini, sama sekali tidak, karena biar pelindung Pangeran lebih lihai daripada Ci Sian sekalipun akan dilawannya. Akan tetapi dia enggan melawan Ci Sian sebagai musuh. Dia telah jatuh cinta kepada dara ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menyarungkan pedang Ang-hio-kiam yang sejak tadi masih dipegangnya.

   "Sudahlah, aku tidak ingin menghadapimu sebagai musuh, Nona. Sampai jumpa!"

   Berkata demikian, pemuda itu lalu meloncat dan sebentar saja lenyaplah pemuda itu dari dalam hutan itu. Pangeran Kian Liong menarik napas panjang.

   "Sayang.... sayang hatinya dipenuhi oleh dendam...."

   "Akan tetapi dia seorang murid Kun-lun-pai yang baik sekali, Pangeran, dan memang keadaannya.... eh, patut dikasihani."

   Sang Pangeran memandang tajam kepada dara yang mendatangkan rasa kagum di hatinya itu.

   "Ah, benarkah bahwa ayahnya terbunuh Kaisar dan Ibunya dirampas...."

   Dara itu mengangguk. Sang Pangeran mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk.

   "Sekarang aku tahu.... selir ayah ada yang katanya bekas isteri seorang pendekar Kun-lun-pai. Hemm, luar biasa sekali, dan pemuda itu, yang sesungguhnya masih saudara tiriku, yang diracuni dendam, bahkan telah menyelamatkan aku dari ancaman Im-kan Ngo-ok."

   "Tidak luar biasa, Pangeran. Ingat, dia seorang pendekar dan seorang patriot."

   "Dan engkau, Nona Bu?"

   "Saya? Saya seorang biasa, bukan patriot."

   "Tapi kenapa engkau menolongku, Nona?"

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Karena saya sudah banyak mendengar tentang Paduka sebagai seorang pangeran yang bijaksana, bahkan orang-orang gagah mengharapkan kelak kalau Paduka menjadi kaisar, Paduka akan menghapus segala kelaliman, membasmi segala kejahatan yang terjadi. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau saya melindungi Paduka dari ancaman malapetaka."

   "Hemm, sungguh hebat. Dan sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan diriku, Nona?"

   "Mengantar Paduka menuju ke kota raja."

   Pangeran itu teringat kepada Su-bi Mo-li dan memandang kepada empat mayat mereka dengan mata ngeri.

   "Dan kalau kita sudah tiba di kota raja?"

   Ingin dia mengetahui, pamrih apa yang tersembunyi di balik keinginan dara ini untuk mengawal dan melindunginya.

   "Sesudah kita di kota raja? Tentu saja Paduka kembali ke istana Paduka dengan aman."

   "Dan engkau?" "Saya? Saya akan melanjutkan perjalanan saya."

   "Ke manakah, Nona?"

   "Ke mana saya sendiri belum tahu. Saya sedang mencari Suheng saya, Pangeran."

   "Dan kau.... setelah berhasil mengantarku ke istana, engkau tidak menghendaki imbalan jasa apa-apa?"

   Ci Sian memandang wajah yang halus itu dengan tajam, tidak mengerti.

   "Imbalan jasa apa? Saya tidak menghendaki apa-apa, hanya menghendaki Paduka selamat sampai di istana, cukuplah. Imbalan apa? Jasa apa?"

   Melihat keterbukaan hati dara ini yang polos dan jujur sekali, Sang Pangeran menjadi kagum bukan main. Seorang dara yang masih murni dan telah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya!

   "Kalau begitu, mari kita pergi, Nona. Tidak tahan aku untuk berdiam di sini lebih lama lagi."

   "Baik, Pangeran. Mari kita pergunakan dua ekor kuda itu, jangan mempergunakan kereta karena hal itu akan menarik perhatian orang."

   Pangeran itu tidak membantah dan karena memang dia tidak memakai pakaian pangeran, hanya pakaian pemuda biasa, maka ketika mereka berdua menunggang kuda berdampingan,

   Tidak akan ada yang menyangka bahwa yang pria itu adalah Pangeran Mahkota. Orang tentu akan mengira bahwa mereka hanya sepasang muda-mudi yang melakukan perjalanan belaka, atau sepasang suami isteri yang masih amat muda, atau juga sepasang pendekar. Melihat sikap Ci Sian yang amat lincah gembira, gagah perkasa dan amat tabah, hati Pangeran itu menjadi makin suka dan kagum. Sebaliknya melihat sikap Pangeran yang amat ramah, lemah-lembut, sama sekali tidak ceriwis, dan setelah bercakap-cakap ia mendapatkan kenyataan bahwa Sang Pangeran memiliki pengetahuan yang amat luas, Ci Sian juga merasa kagum. Hatinya terhibur juga melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang begini pandai, tahu akan segala hal, bahkan tahu akan keadaan di dunia kang-ouw!

   "Nona Bu, engkau memiliki ilmu silat yang amat tinggi sekali, maka kukira engkau tentu masih mempunyai hubungan dengan Bu-taihiap, Bu Seng Kin. Bukankah demikian?"

   Ci Sian terkejut dan menoleh kepada pemuda yang menunggang kuda di sampingnya itu. Akan tetapi ia tidak mungkin dapat membohong kepada sepasang mata yang jernih tajam itu. Maka ia pun mengangguk tanpa menjawab karena hatinya kesal mendengar disebutnya nama ayahnya.

   "Masih ada hubungan apakah, kalau aku boleh bertanya?"

   Terpaksa Ci Sian menjawab singkat,

   "Dia.... dia itu ayah kandung saya."

   "Ah....! Maaf, maaf, kiranya Nona adalah puteri Bu-taihiap? Sungguh luar biasa! Kalian ini keluarga Bu agaknya hendak melimpahi diriku dengan budi-budi yang amat besar. Bukan hanya ayahmu yang pernah menyelamatkan diriku, juga dari tangan Im-kan Ngo-ok, sekarang puterinya juga!"

   "Dia.... ayah saya pernah menolong Paduka?"

   "Benar, malah dia menolongku disertai tiga orang isterinya dan seorang puterinya. Yang manakah di antara tiga orang isterinya itu yang menjadi ibumu, Nona?"

   Ci Sian maklum siapa yang dimaksud dengan puteri ayahnya itu. Tentu Bu Siok Lan, puteri ayahnya dan Panglima Nepal Nandini itu, siapa lagi? Dan tiga orang isterinya itu ia pun sudah dapat menduganya. Siapa lagi kalau bukan Nandini, Nikouw Gu Cui Bi, dan wanita dari Lembah Suling Emas, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu? Ia cemberut, hatinya kesal sekali. Akan tetapi ia harus menjawab pertanyaan Sang Pangeran.

   "Ibu saya telah meninggal dunia. Saya tidak mengenal mereka itu!"

   Dan ia pun cemberut dan mencambuk kudanya sehingga kudanya lari congklang.

   Sang Pangeran juga mencambuk kudanya untuk mengejar. Pangeran ini biarpun masih amat muda, namun sudah berpengetahuan luas. Dia tahu bahwa dara itu marah. Agaknya dara itu telah tak beribu dan tidak setuju ayahnya yang mempunyai banyak isteri itu. Dan diam-diam dia pun tersenyum. Dia tahu bahwa Bu-taihiap adalah seorang pria yang suka akan wanita, tampan gagah dan banyak pula wanita yang tergila-gila kepadanya. Seorang pria pengejar wanita, hidung belang akan tetapi bertanggung-jawab. Dia pun menarik napas panjang. Ada perbedaan antara pria seperti Bu-taihiap dengan Kaisar atau pembesar-pembesar yang mengumpulkan banyak selir. Selir-selir itu tiada ubahnya binatang-binatang peliharaan yang dibeli dengan kemuliaan atau harta.

   Akan tetapi, wanita-wanita yang menjadi isteri Bu-taihiap adalah karena tertarik, dan karena saling mencinta. Keduanya tentu ada baiknya dan ada buruknya. Para selir yang tertarik oleh kemuliaan dan harta, memang dapat hidup rukun akan tetapi mereka melayani suami mereka hanya dengan kemesraan palsu belaka. Sebaliknya, para isteri pria seperti Bu-taihiap itu semua mencintanya, akan tetapi tentu saja tidak dapat hidup rukun satu sama lain, dan akibatnya sang suami yang selalu menghadapi isteri-isteri yang penuh cemburu dan keluarganya menjadi retak. Contohnya adalah keluarga pendekar Bu ini. Puterinya sendiri, dara yang lincah jenaka dan gagah perkasa, yang sebenarnya tentu dapat menjadi seorang puteri yang mencinta ayah kandungnya, kini agaknya membenci keluarga ayahnya.

   Dan di dalam perjalanan mereka itu tidak terjadi gangguan. Agaknya setelah Im-kan Ngo-ok kalah, bahkan dua orang di antara mereka tewas, tidak ada lagi yang berani mencari dan mencoba untuk mengganggu Sang Pangeran. Agaknya para tokoh golongan sesat sudah mendengar akan tewasnya dua orang dari Im-kan Ngo-ok. Hal ini amat mengejutkan hati mereka dan mereka menjadi gentar, maklum bahwa Sang Pangeran dilindungi oleh orang-orang yang benar-benar amat sakti. Pada suatu hari, selagi Sang Pangeran dan Ci Sian berkuda dengan perlahan-lahan seenaknya sambil menikmati pemandangan indah dari lereng sebuah bukit, tiba-tiba Pangeran Kian Liong melihat jauh di bawah sana ada debu mengebul tinggi dan kemudian nampak pasukan besar tentara kerajaan berbaris. Dia merasa heran sekali.

   "Hemm, itu adalah pasukan kerajaan yang cukup besar jumlahnya!"

   Katanya kepada Ci Sian.

   "Dan pemimpinnya bahkan seorang pangeran, dapat kulihat dari corak benderanya."

   "Ada terjadi apakah, Pangeran?"

   Tanya Ci Sian.

   "Apakah terjadi perang? Dengan siapa?"

   Ci Sian teringat akan perang antara tentara kerajaan melawan tentara Nepal di daerah Tibet.

   "Entahlah. Menurut pendengaranku, tidak ada perang, bahkan tidak ada pemberontakan yang perlu dipadam-kan setelah Jenderal Kao berhasil memadamkan pemberontakan di barat."

   "Jenderal Kao Cin Liong?"

   Ci Sian bertanya.

   "Benar! Eh, apakah engkau sudah mengenalnya, Nona?"

   Ci Sian tersenyum.

   "Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran. Bahkan saya bertemu dengan dia ketika dia menyamar dan menyusup ke dalam benteng musuh, yaitu benteng pasukan Nepal."

   "Ahh? Lain kali harap kau ceritakan tentang hal itu, Nona Bu. Sekarang, kita harus mengikuti pasukan itu. Ingin kuketahui apa yang hendak mereka lakukan."

   "Bagaimana kalau kita mengejar dan menyusulnya kemudian Paduka dapat bertanya kepada komandannya?"

   "Tidak, aku tidak ingin mencampuri urusan mereka, apalagi mereka itu tentu bergerak atas perintah atasan. Aku hanya ingin tahu apa yang akan mereka lakukan."

   Dan mereka berdua pun melarikan kuda untuk mengikuti pasukan besar itu. Dan di sepanjang jalan, dengan hati penuh kemarahan dan kedukaan, Sang Pangeran melihat bekas tangan para anak buah pasukan itu. Perampasan-perampasan, pemukulan-pemukulan, perbuatan-perbuatan kurang ajar terhadap wanita-wanita.

   Biarpun belum sampai terjadi perkosaan atau pembunuhan, namun sikap pasukan itu sungguh memalukan, bukan merupakan sikap pasukan yang berdisiplin dan baik, dan sikap seperti itu hanya memancing kebencian rakyat terhadap pemerintah! Diam-diam Sang Pangeran mencatat semua bekas tangan pasukan itu untuk kelak dia laporkan dan dia tuntut agar komandan pasukan yang lengah dan tidak berdisiplin itu menerima hukuman atau setidaknya menerima teguran dan penurunan pangkat, sedangkan para anak buah pasukannya menerima hukuman yang cukup keras. Ci Sian sibuk mengumpulkan data-data dan bukti-bukti tentang keburukan sikap dan sepak terjang para pasukan itu dengan bertanya-tanya kepada para penghuni dusun-dusun di sepanjang jalan yang dilalui pasukan.

   Ternyata pasukan itu berjumlah seribu orang dan bersenjata lengkap. Dipimpin oleh seorang pangeran dan dua orang jenderal yang berkepandaian tinggi! Mendengarkan ciri-ciri dari Pangeran dan jenderal itu, tahulah Sang Pangeran, siapa mereka. Pangeran yang memimpin itu adalah seorang keponakan ayahnya, seorang pangeran yang usianya sudah tiga puluh lima tahun dan terkenal memiliki ilmu silat cukup tinggi, bernama Pangeran Seng Goan Ong, sedangkan dua orang jenderal itu pun terkenal memiliki kepandaian yang hebat. Yang seorang adalah Jenderal Tang Sen Hoat, yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar. bertenaga gajah, sedangkan jenderal ke dua adalah Jenderal Boan Ciong,

   Seorang jenderal berusia hampir lima puluh tahun yang selain ahli dalam ilmu siasat perang, juga memiliki ilmu silat tinggi pula. Diam-diam Sang Pangeran merasa heran. Kalau menghadapi pemberontakan, kenapa yang dikirim hanya seribu orang pasukan, akan tetapi pemimpinnya sampai seorang pangeran dan dua orang jenderal? Dan dua orang jenderal itu pun bukan ahli-ahli perang, melainkan pelatih-pelatih. Jenderal Tang adalah seorang pelatih silat, sedangkan Jenderal Boan pelatih ilmu perang. Pangeran Seng Goan Ong juga terkenal sebagai seorang penasihat dalam hal latihan-latihan ketangkasan para pasukan pengawal istana. Karena ingin sekali tahu, maka Pangeran Kian Liong mengajak Ci Sian untuk terus mengikuti barisan itu sehingga mereka membuat perjalanan menyimpang, bahkan kini makin meninggalkan kota raja.

   Akan tetapi Ci Sian juga merasa gembira saja karena Pangeran ini merupakan teman seperjalanan yang mengasyikkan, pandai bicara, dan sikapnya amat baik dan menyenangkan. Dia seolah-olah merasa telah mengenal Pangeran itu sejak lama dan mereka seperti dua orang sahabat baik, atau seperti saudara saja. Hubungan antar manusia memang akan menjadi sesuatu yang amat indah dan akrab kalau yang berhubungan itu adalah dua orang manusianya tanpa mengikutsertakan segala macam embel-embelnya. Akan tetapi sungguh sayang sekali. Kita selalu melupakan segi kemanusiaannya pada seseorang dan kita lebih mementingkan embel-embelnya itu ialah kedudukannya, harta bendanya, kemampuannya, pendidikannya, agamanya, dan sebagainya. Kita selalu menilai manusia dari embel-embelnya itulah,

   Maka tidaklah mengherankan apabila hubungan antara manusia merupakan hubungan yang palsu, hubungan antara dua orang munafik. Yang berhubungan hanyalah gambaran-gambaran yang kita bentuk berdasarkan embel-embel itu, bukan hubungan antara dua manusianya yang sesungguhnya. Hubungan antara dua gambaran manusia ini selalu mendatangkan konflik. Kalau kita masing-masing menelanjangi diri daripada segala embel-embel itu, kalau kita memandang orang lain tanpa disertai gambaran embel-embel itu, maka yang tinggal hanyalah manusianya, tanpa perbedaan, dan dalam hubungan antara manusia seperti ini, tanpa embel-embel lagi, barulah tercipta sesuatu yang disinari cinta kasih, karena lenyapnya gambaran-gambaran itu melenyapkan pula pamrih yang bersembunyi di balik hubungan itu. Dan sekali timbul pamrih, apapun yang kita lakukan adalah palsu!

   Biara Siauw-lim-si amat terkenal sejak dahulu. Dari biara inilah keluarnya bukan saja ajaran-ajaran Agama Buddha, akan tetapi juga di situ pula dicetak pendekar-pendekar silat kenamaan yang gagah perkasa. Partai persilatan Siauw-lim-pai merupakan sebuah di antara partai-partai yang besar, bahkan tidak dapat disangsikan lagi bahwa ilmu silat banyak bersumber pada Siauw-lim-pai. Di jaman dahulu, yang diperbolehkan belajar ilmu silat Siauw-lim-pai hanyalah para hwesio dan orang yang ingin menipelajari ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah lebih dulu menjadi hwesio, mencukur gundul rambut kepalanya dan mengenakan jubah hwesio. Peraturan ini dahulunya dijaga keras, karena menurut pendapat para pimpinan Siauw-lim-pai sejak turun-temurun, hanya seorang hwesio sajalah yang patut mempelajari ilmu silat.

   Seorang hwesio adalah seorang pendeta, maka dianggap sebagai manusia yang sudah dapat mengendalikan hawa nafsunya dan sudah dapat menjadi seorang manusia baik-baik. Oleh karena itu, apabila ilmu silat dipelajari oleh seorang hwesio, maka ilmu itu tentu akan menjadi ilmu yang baik, tidak akan dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan jahat. Sebaliknya, kalau seorang manusia biasa mempelajarinya, maka manusia itu akan mudah melakukan kejahatan dengan mengandalkan ilmu silatnya. Para hwesio Siauw-lim-pai maklum bahwa manusia amatlah lemah terhadap kekuasaan. Sekali mempunyai kekuasaan, seorang manusia mudah menjadi mabok dan mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Dan ilmu silat dapat merupakan semacam kekuasaan pula.

   Memang ada beberapa kali terjadi kekecualian dan Ketua Siauw-lim-pai kadang-kadang menerima murid bukan pendeta. Akan tetapi tentu saja pilihan para pimpinan Siauw-lim-pai itu dilakukan dengan amat teliti, terhadap seorang bukan hwesio yang benar-benar memiliki bakat baik dan juga watak yang bersih. Akan tetapi, sejak Siauw-lim-pai dimusuhi oleh Kaisar, sejak sebuah cabang Siauw-lim-pai dibasmi oleh Kaisar Yung Ceng, berobahlah peraturan di biara Siauw-lim-pai sebagai pusat Siauw-lim-pai. Melihat bayangan mengancam dirinya, Siauw-lim-pai merasa perlu untuk memperkuat diri, yaitu tentu saja dengan jalan memperba-nyak murid-muridnya. Pula, sikap bermusuh yang diambil oleh Kaisar itu mendorong Siauw-lim-pai untuk berpihak kepada patriot. Ketika mendengar bahwa biara Siauw-lim-si membuka pintunya untuk menerima orang-orang luar, bukan hwesio, menjadi muridnya,

   Berbondong-bondong datanglah pemuda-pemuda dari berbagai kota dan dusun membanjiri kuil atau biara itu. Akan tetapi, ternyata pintu biara yang tebal itu tertutup. Kiranya, biarpun telah merubah peraturannya, para pimpinan Siauw-lim-pai tidak mau menerima sembarangan orang saja sebagai murid-murid Siauw-lim. Dan juga tidak mau menerima terlalu banyak. Oleh karena itu, mereka lalu mengadakan penyaringan, dan cara pertama adalah membiarkan mereka itu di luar pintu gerbang yang tertutup. ini merupakan ujian pertama untuk melihat ketekunan, ketekadan dan daya tahan mereka. Puluhan orang muda yang berlutut di depan pintu gerbang itu mereka diamkan saja, tidak diterima masuk dan setelah lewat sehari semalam, banyak sudah di antara mereka yang pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kesal. Masih ada sisanya yang tetap berlutut di situ.

   Para pimpinan Siauw-lim-pai juga diam-diam mengadakan ujian dengan cara mengeluarkan dan menyediakan makanan dan minuman di depan pintu gerbang. Para muda yang memang sudah kelaparan dan kehausan, setelah berlutut di luar pintu gerbang selama dua hari dua malam, banyak yang tidak tahan melihat adanya makanan dan minuman itu. Mereka menyerbu, makan minum dan muncullah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang menyatakan bahwa mereka yang makan atau minum itu dianggap tidak lulus dan dipersilakan pulang saja. Banyaklah yang gugur dalam ujian pertama ini. Kalau tadinya yang ada seratus orang lebih, setelah lewat empat hari empat malam, hanya tinggal tujuh orang saja yang tinggal di depan pintu gerbang. Mereka itu kepanasan dan kehujanan, kelaparan dan kehausan dan akhirnya, setelah mereka hampir roboh pingsan, barulah seorang hwesio pimpinan keluar dari pintu gerbang dan menyuruh anak murid Siauw-lim-pai untuk menggotong mereka ke dalam biara.

   Jangan dikira bahwa ujian itu saja yang dialami oleh para calon murid Siauw-lim-pai ini. Mereka masih diuji lagi, yaitu bakat mereka, ketangkasan mereka, dan juga ketekunan atau kesabaran mereka. Setelah diuji untuk dilihat bakat masing-masing, mereka bukan secara langsung diberi pelajaran ilmu silat. Ada yang disuruh bekerja di dapur di mana setiap hari dilakukan pekerjaan memasak bubur dan sayur banyak sekali untuk makanan para anggauta Siauw-lim-pai yang hampir dua ratus orang banyaknya. Ada yang diberi pekerjaan memikul air, memikul kayu bakar, membelah kayu, membersihkan kuil dan sebagainya. Bagi yang tidak sabar, tentu saja pekerjaan-pekerjaan itu menyiksa rasanya. Mereka memasuki Siauw-lim-pai dengan keinginan diajar ilmu silat, akan tetapi setelah diterima, mereka itu hanya disuruh bekerja seperti budak-belian!

   Mereka itu pada mulanya tidak tahu bahwa pekerjaan sehari-hari itu merupakan pelajaran pokok atau dasar bagi mereka! Para hwesio yang mengepalai bagian masing-masing itu membuat ketentuan dan mengharuskan mereka melakukan pekerjaan dengan cara-cara tertentu pula. Misalnya yang bekerja memikul air harus menggunakan pikulan dari batang-batang penjalin yang diikat menjadi satu dan setelah pemikulnya mulai dapat memikul sambil berlari dan tidak merasa berat lagi, maka batang penjalin itu dikurangi satu. Pengurangan itu terus dilakukan sampai tinggal beberapa batang saja sebagai pikulan itu. Dengan demikian, tanpa disadari, tanpa dirasakan oleh si murid, dia telah mulai berlatih sin-kang dan tahu-tahu dia akan memperoleh tenaga sin-kang yang amat kuat.

   Ada yang pula memanggul-manggul kayu bakar. Setiap kali, panggulannya itu ditambah sebatang kayu. Penambahan ia terus dilakukan, sebatang demi sebatang tanpa ia rasakan sampai tahu-tahu dia dapat memanggul sejumlah kayu bakar yang hanya akan dapat dipanggul oleh empat lima orang. Dengan demikian dia telah menghimpun tenaga gwa-kang yang hebat. Yang pekerjaannya membelah kayu juga diberi golok tajam, akan tetapi dia tidak boleh mengasah goloknya yang makin lama menjadi semakin tumpul dan lambat-laun dia telah memupuk tenaga yang demikian kuat sehingga dengan tangan telanjang saja dia akan mampu membelah kayu. Yang bekerja memasak bubur harus mengaduk bubur beberapa buah kuali besar. Kalau terlambat mengaduk, buburnya akan gosong. Untuk pekerjaan ini,

   Dia mempergunakan adukan yang bentuknya seperti toya, dan setiap hari mengaduk di tempat panas itu, tanpa disadarainya dia telah memperoleh dasar-dasar gerakan bermain toya, kedua tangan dan lengannya telah memperoleh kekuatan dasar yang luar biasa besarnya. Demikian pula yang bekerja menyapu pekarangan, dia diharuskan menyapu dengan gerakan tertentu, sampai akhirnya dia memperoleh kecakapan untuk menggerakkan daun-daun itu tanpa menyentuhnya, hanya dengan sambaran angin dari sapunya saja. Dan mereka yang diberi pekerjaan menyirami bunga dan sayur-sayuran di kebun belakang, karena sepanjang kebun itu diberi patok-patok, dia harus menyiram sambil berjalan di atas patok-patok itu dan kebiasaan ini ternyata telah memberinya dasar-dasar ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang luar biasa.

   Bermacam-macam cara latihan yang diberikan oleh para pimpinan hwesio di Siauw-lim-si. Latihan-latihan itu selain melatih jasmani, juga melatih batin para murid agar tahan uji, kuat daya tahannya, tekun, dan latihan seperti itu disebut "mengasah pedang bermata dua"

   Karena hasilnya ada dua macam. Pertama si murid tanpa disadarinya telah memperoleh kemajuan hebat dan menguasai dasar ilmu yang tinggi. Ke dua, tenaga mereka itu dikerahkan bukan sia-sia karena telah menghasilkan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka semua di dalam biara. Dengan saringan-saringan yang ketat itu, yang berhasil diterima sebagai murid di pusat biara Siauw-lim-si hanya kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka ini, setelah melewati saringan, tentu saja merupakan pemuda-pemuda gemblengan yang berbakat, berminat dan memiliki batin yang kuat.

   Setelah mereka menguasai tenaga-tenaga dasar, barulah para pimpinan Siauw-lim-pai melatih ilmu silat dasar kepada mereka. Pelajaran bhesi (kuda-kuda) saja memakan waktu lama sekali. Sehari penuh disuruh memasang bhesi, selagi mengipasi api dapur, selagi melakukan pekerjaan apa saja, diharuskan dalam kedudukan memasang kuda-kuda sehingga untuk hari-hari pertama, kedua kaki mereka terasa kaku dan kejang sehingga untuk buang air saja mereka tidak mampu berjongkok dan terpaksa dilakukan sambil kedua kaki memasang kuda-kuda! Setelah mereka kokoh kuat benar dalam memasang kuda-kuda sehingga kalau ditendang atau didorong, kedua kaki tidak ada yang terangkat melainkan bergeser keduanya,

   Seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan bumi, barulah mereka diajarkan ilmu pukulan dan ilmu langkah. Bermacan ilmu silat yang diajarkan di Siauw-lim-pai itu. Dari ilmu silat yang paling kasar sampai yang paling halus. Ada Kauw-kun (Silat Monyet), Houw-kun (Silat Harimau), Coa-kun (Silat Ular), Ho-kun (Silat Bangau), Liong-kun (Silat Naga) dan masih banyak lagi ilmu silat yang didasarkan pada gerakan-gerakan binatang. Para cerdik pandai dari biara Siauw-lim-si selama ratusan tahun memperhatikan semua gerakan binatang buas dengan tekun sekali. Mereka melihat bahwa setiap binatang liar memiliki gerakan membela diri yang timbul secara naluri, akan tetapi justeru karena naluri membela diri ini, di dalamnya tersembunyi gerakan-gerakan yang amat hebat,

   Yang sesuai dengan kekuasaan alam yang telah memberi kepada masing-masing itu kemampuan untuk membela diri. Hal ini amat menarik hati para cerdik pandai itu dan mereka pun mencatat, mempelajari dan meniru gerakan-gerakan itu, bukan hanya gerakannya, melainkan cara bernapas ketika bergerak, cara mengumpulkan tenaga ketika bergerak, maka terciptalah ilmu silat-ilmu silat yang berdasarkan gerakan-gerakan binatang liar itu. Dan karena para pendeta itu adalah orang-orang yang suka akan sastra dan seni, maka mereka pun tidak melupakan segi-segi keindahan dan kegagahan dari gerakan binatang-binatang itu, maka ge-rakan ilmu silat yang mencontoh gerakan binatang pada dasarnya itu memiliki sifat-sifat gagah yang indah sekali. Demikianlah keadaan Siauw-lim-si pada waktu itu.

   

Jodoh Rajawali Eps 37 Jodoh Rajawali Eps 43 Jodoh Rajawali Eps 52

Cari Blog Ini