Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 30


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



"Ji-wi totiang."

   Katanya halus.

   "benarkah apa yang dikatakan oleh nona Ciong tadi, bahwa orang she Yo itu kalian tahan tanpa bersalah, dan kalian telah mengingkari janji terhadap nona Ciong?"

   "Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami!"

   Bentak Ok Cin Cu marah.

   "Kalau benar, engkau mau apa?"

   Thian Kek Seng-jin juga membentak.

   "Sim-toako, jelas bahwa suci yang benar. Dua orang tosu bau ini memang jahat sekali!"

   Bi Lan berseru marah.

   "Kepung, tangkap atau bunuh mereka bertiga ini!"

   Bentak Thian Kek Seng-jin memberi aba-aba kepada para penjaga yang memang sudah mengepung tempat itu.

   "Kalau benar ji-wi adalah Thian Kek Seng-jin ketua cabang Pek-lian-kauw dan Ok Cin Cu ketua cabang Pat-kwa-kauw, maka perbuatan ji-wi ini sungguh patut disesalkan dan amat tercela!"

   Kata pula Sim Houw yang nampak tenang saja walaupun para penjaga sudah bergerak mengepung dengan sikap mengancam.

   "Bocah sombong! Kepung dan tangkap, biarkan nona manis yang baru datang ini pinto sendiri yang menangkapnya!"

   Bentak Ok Cin Cu.

   "Nanti dulu!"

   Thian Kek Seng-jin memberi komando kepada anak buahnya.

   "Pinto merasa penasaran melihat kesombongan bocah ini. Orang muda, siapakah engkau? Pinto tidak ingin membunuh orang yang tanpa nama."

   Sebelum Sim Houw menjawab, Siu Kwi sudah mendahului.

   "Dia adalah pendekar Sim Houw, Pendekar Suling Naga! Dan ini adalah sumoiku Can Bi Lan!"

   Mendengar disebutnya Pendekar Suling Naga, dua orang tosu itu saling pandang. Mereka pernah mendengar akan munculnya seorang pendekar baru yang lihai. Akan tetapi mereka tidak merasa takut dan sambil berteriak nyaring, Thian Kek Seng-jin sudah menggerakkan tongkat naga hitamnya menyerang ke arah Sim Houw, sedangkan Ok Cin Cu yang memandang rendah Bi Lan yang diperkenalkan sebagai sumoi dari Siu Kwi, sudah menubruk dengan tongkat ular naga menotok jalan darah di pundak Bi Lan, sedang tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Serangan ini amat kurang ajar sifatnya sehingga dengan marah Bi Lan lalu mengelak sambil mencabut pedangnya.

   Melihat sinar mengerikan dari pedang yang berada di tangan Bi Lan, Ok Cin Cu terkejut dan bergidik. Akan tetapi dia tidak menjadi takut dan cepat menggerakkan tongkat ular hitamnya untuk menyerang. Bi Lan menangkis dan balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Ok Cin Cu tidak berani memandang rendah lagi. Gadis yang menjadi sumoi dari Ciong Siu Kwi ini memiliki pedang pusaka amat menggiriskan, juga gerakan-gerakannya tidak kalah cepat dibandingkan sucinya. Sementara itu, serangan tongkat naga hitam dari Thian Kek Seng-jin juga amat dahsyat, membuat Sim Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Terpaksa diapun mencabut pedangnya dan ketika pedang itu tercabut, terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan pula hati Thian Kek Seng-jin.

   Di antara kedua orang inipun segera terjadi perkelahian yang seru. Melihat betapa dua orang tosu itu sudah dilawan oleh sumoinya dan Sim Houw, Siu Kwi lalu mengamuk, menerjang puluhan orang penjaga yang mengepung. Amukannya memang menggiriskan dan sebentar saja sudah ada delapan orang pengeroyok yang roboh oleh pedangnya. Yang lain menjadi gentar dan Siu Kwi terus menerjang maju dan mendesak para pengeroyok untuk mundur. Akhirnya ia berhasil memasuki pekarangan, terus ia meloncat ke dalam dan lari ke bagian belakang bangunan rumah keluarga Lui. Di bagian belakang, ia disambut oleh enam orang penjaga. Dengan mudah, ia merobohkan lima orang dan menangkap seorang yang hendak melarikan diri.

   "Cepat bawa aku ke kamar tahanan Yo Jin!"

   Bentaknya sambil menempelkan ujung pedang di dada orang itu. Pedang itu menembus baju dan menusuk kulit sehingga kulitnya terluka. Tentu saja penjaga itu terkejut dan ketakutan, mengangguk-angguk dan dengan ditodong pedang dia membawa Siu Kwi ke belakang. Akhirnya Siu Kwi menemukan Yo Jin yang duduk bersandar dinding di dalam sebuah kamar tahanan. Siu Kwi menampar penjaga itu dengan tangan kirinya. Tanpa mengeluh lagi penjaga itu roboh dan Siu Kwi mempergunakan pedangnya untuk menjebol daun pintu kamar tahanan.

   "Kwi-moi akhirnya engkau datang....!"

   Yo Jin berseru girang.

   "Jin-koko....!"

   Ingin Siu Kwi merangkul orang itu, akan tetapi perasaan ini ditahannya dan iapun melepaskan belenggu kaki dan tangan pemuda itu. Baru beberapa hari saja ditahan, tubuh pemuda ini menjadi kurus sekali dan mukanya pucat.

   "Jin-koko, engkau lebih baik pulang dulu ke dusun, biar aku akan menyusul ke sana setelah selesai urusan ini!"

   Katanya cepat. Ia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan ditawan musuh lagi ketika ia sedang mengamuk bersama sumoinya dan Sim Houw.

   "Tapi kau.... kau...."

   "Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri. Pulanglah, koko, aku akan menyusul nanti."

   Yo Jin mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi di luar, maka diapun mengangguk dan tidak membantah lagi ketika tangannya ditarik okh Siu Kwi, diajak menuju ke kebun. Dua orang penjaga berusaha menghadang, namun dengan tendangan kakinya, Siu Kwi merobohkan mereka.

   "Cepat, keluarlah dari pintu ini!"

   Kata Siu Kwi dan sekali dorong, pintu kecil di kebun itupun jebol.

   Melihat kehebatan wanita ini, Yo Jin beberapa kali terbelalak. Dia maklum bahwa wanita yang dicintanya ini adalah seorang wanita sakti, maka tanpa bicara apa-apa lagi diapun lari keluar dan cepat pulang ke rumahnya di dusun selatan. Setelah melihat kekasihnya itu menghilang di dalam kegelapan malam, Siu Kwi lalu melompat kembali ke dalam kebun dan berlari ke dalam rumah. Para pelayan ketakutan, dan dengan mudah saja Siu Kwi menemukan kepala dusun Lui lengkap dengan isteri-isterinya dan anak-anaknya di dalam ruangan belakang. Mereka terjaga oleh belasan orang penjaga, namun setelah ia menyerbu dan merobohkan empat orang, yang lain lalu melarikan diri meninggalkan keluarga itu yang berkelompok sambil menggigil ketakutan.

   Lurah Lui dan keluarganya, sudah mendengar bahwa Siu Kwi yang dituduh siluman itu sebenarnya adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi, dan hanya dua orang tosu tua itu saja yang mampu menundukkannya. Akan tetapi malam ini, wanita itu datang bersama dua orang teman yang juga amat lihai dan kini "siluman"

   Itu telah datang menemukan mereka! Siu Kwi masuk dengan pedang di tangan. Melihat betapa pedang itu berlepotan darah, dan wajah yang cantik itu nampak beringas, sepasang matanya seperti mencorong, lurah Lui dan keluarganya menjadi pucat. Siu Kwi menyapu mereka dengan pandang matanya, lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah Lui kongcu yang mencoba untuk menyembunyikan kepalanya di belakang punggung ibunya.

   "Lui-kongcu, ke sini kau!"

   Bentaknya.

   "Tidak.... tidak....!"

   Pemuda itu menggigil ketakutan.

   "Ke sini atau akan kuseret dan kubunuh kau!"

   Pemuda itu hampir terkencing di celananya saking takutnya, akan tetapi mendengar bentakan itu dia lalu merangkak maju dan berlutut di depan Siu Kwi.

   "Engkau juga ke sini, lurah Lui!"

   Bentak Siu Kwi. Lurah Lui bangkit berdiri dan maju. Dengan congkak akan tetapi pucat dia tetap berdiri, tidak berlutut seperti puteranya. Bagaimanapun juga, dia adalah kepala dusun itu dan sudah biasa orang-orang berlutut di depannya, bukan dia yang harus berlutut. Siu Kwi tidak perduli akan sikap itu.

   "Kalian berdua yang membikin gara-gara sehingga Yo Jin ditahan dan ayahnya tewas. Kalian berdua yang membuat aku menderita pula. Pertama-tama adalah gara-gara Lui-kongcu ini yang menjadi biang keladinya. Sudah sepatutnya kalau kupenggal kepalamu sekarang, juga!"

   Siu Kwi mengelebatkan pedangnya.

   "Ampun.... ampun.... tidak....jangan bunuh aku.... aku tidak berani lagi!"

   Sekali ini Lui-kongcu benar-benar terkencing di celananya. Melihat ini, Siu Kwi memandang muak. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan Yo Jin, pemuda pilihannya. Pemuda ini seperti seekor anjing penakut yang takut digebuk, sebaliknya Yo Jin seperti seekor harimau yang pantang menyerah.

   "Engkau telah membuat Yo Jin tersiksa, engkau laki-laki mata keranjang penggoda wanita dengan mengandalkan kedudukan ayahmu!"

   Tiba-tiba nampak sinar berkelebat. Lui-kongcu menjerit dan darah muncrat. Ketika pemuda itu melihat bahwa lengan kirinya buntung sebatas siku dan darah muncrat-muncrat, dia menjerit-jerit dan lari kepada ibunya, lalu menangis menggerung-gerung dan jatuh pingsan. Melihat ini, tiba-tiba kedua kaki lurah Lui menjadi lemas dan diapun, roboh berlutut karena kedua lututnya seperti kehilangan tenaga.

   "Ampun, lihiap.... ampunkan kami...."

   Ratapnya. Keluarganya semua berlutut minta-minta ampun. Melihat keluarga lurah itu, hati Siu Kwi menjadi agak lemah, hal yang baru sekarang ia alami.

   "Baik, aku tidak akan membunuhmu. Akan tetapi engkau telah mempergunakan kedudukanmu untuk bertindak sewenang-wenang, memperalat pendeta-pendeta palsu dan jahat untuk menghina orang, maka engkau harus diberi pelajaran!"

   Kembali pedangnya berkelebat dan lurah Lui menjerit kesakitan karena kaki kanannya terbabat buntung sampai lutut!

   Kembali darah muncrat-muncrat dan ketika semua orang menjerit ketakutan, wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ. Di luar, perkelahian masih berlangsung dengan seru. Akan tetapi, Ok Cin Cu sudah bermandi peluhnya sendiri. Gerakan lawan yang hanya seorang gadis muda itu memang luar biasa sekali dan terutama sekali pedang di tangan wanita itu membuat dia kadang-kadang menggigil. Bi Lan memang sudah memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiam-sut dan karena ilmu itu dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, maka bukan main hebatnya. Bi Lan menyerang dengan sungguh-sungguh. Ia merasa sakit hati dan benci sekali mengingat betapa tosu ini telah menipu sucinya, membujuk sucinya melayaninya dan menyerahkan tubuhnya untuk menebus keselamatan Yo Jin.

   Sakit hatinya mengingat akan hal ini dan kebenciannya terhadap tosu tinggi besar perut gendut inipun memuncak. Maka ia menyerang untuk membunuh dan gerakan-gerakannya membuat tosu itu kalang kabut. Di lain pihak, Sim Houw juga mendesak lawannya dengan hebat. Kalau pemuda ini menghendaki, sudah sejak tadi dia mampu merobohkan dan membunuh lawan. Akan tetapi, Sim Houw tidak ingin membunuh. Dia tahu bahwa ketua cabang Pek-lian-kauw ini berwatak buruk dan jahat, suka melakukan hal-hal terkutuk di balik topeng perjuangan melawan pemerintah penjajah. Akan tetapi, dia tidak ingin membunuh, hanya ingin memberi peringatan saja. Ketika dia melihat betapa sera-ngan-serangan Bi Lan merupakan serangan-serangan maut yang amat berbahaya bagi ketua cabang Pat-kwa-kauw, dia terkejut.

   "Lan-moi, jangan membunuh orang....!"

   Teriaknya memperingatkan. Pada saat itu terdengar suara keras dan tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu patah menjadi dua, sedangkan sinar pedang Ban-tok-kiam masih terus menyambar ke arah leher kakek gendut itu! Untung bahwa Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan ia memang patuh sekali terhadap pemuda ini. Ia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.

   "Crottt....!"

   Mata kanan Ok Cin Cu tertembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Saat itu, pedang suling naga mengeluarkan lengking tinggi dan terdengar suara keras ketika tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Seng-jin terbabat putus. Kakek inipun menjerit dan melompat jauh ke belakang. Mereka berdua cepat menotok dan mengurut jalan darah masing-masing untuk menghentikan keluarnya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi keduanya meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu itu melarikan diri, para penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri. Pada saat itu Siu Kwi muncul.

   "Di mana mereka?"

   Tanyanya ketika ia tidak melihat adanya dua orang tosu itu.

   "Kami sudah memberi hajaran dan mereka melarikan diri,"

   Kata Bi Lan, lega bahwa Sim Houw memberi peringatan pada saat yang tepat sehingga ia tidak perlu membunuh tosu yang menjadi lawannya tadi. Lega rasa hati Siu Kwi. Dua orang tosu itu memang jahat, akan tetapi iapun tidak mempunyai nafsu untuk membunuh mereka.

   "Sudahlah, terima kasih atas bantuan kalian. Tanpa bantuan kalian, tak mungkin aku dapat membebaskan Yo Jin."

   "Di mana dia sekarang....?"

   Tanya Bi Lan yang ingin sekali melihat bagaimana macamnya pemuda yang mampu merobohkan hati sucinya yang tadinya dianggap tidak mempunyai hati itu.

   "Aku tadi telah membebaskannya dan menyuruhnya pulang ke dusunnya lebih dahulu, baru aku akan menyusulnya.

   "Aih, suci, kenapa begitu saja membiarkan dia pergi sendiri? Bagaimana kalau sampai dia tertangkap musuh lagi?"

   Kata Bi Lan.

   "Mari kita cepat pergi menyusulnya."

   Bi Lan hanya mempergunakan dugaan ini agar ia dapat ikut pergi menyusul karena ia sungguh ingin sekali bertemu dengan pemuda itu.

   "Baik, mari kita pergi,"

   Kata Siu Kwi dan mereka bertiga lalu berlari cepat menuju ke dusun selatan Sim Houw diam-diam tersenyum, dapat mengetahui bahwa Bi Lan ingin melihat orang yang mampu menundukkan hati seorang wanita seperti Ciong Siu Kwi yang tadinya terkenal sebagai Bi-kwi yang amat kejam dan jahat. Diapun tidak mengeluarkan pendapatnya karena diapun harus membuktikan bahwa semua peristiwa yang diceritakan Siu Kwi itu benar dan hal ini baru terbukti kalau dia sudah bertemu dengan orang yang bernama Yo Jin itu.

   Kalau semua ini benar, tidak percuma dia membantu Siu Kwi dan menanam permusuhan baru dengan pihak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Bagi seorang pendekar, yang terpenting adalah bahwa setiap tindakannya berdasarkan membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan kelaliman. Tidak perduli untuk perbuatannya itu dia akan dibenci atau dimusuhi orang, karena yang jelas, mereka yang memusuhinya tentulah bukan orang baik-baik. Dengan cepat tiga orang itu telah tiba di dusun selatan dan langsung mereka pergi ke rumah keluarga Yo. Akan tetapi, rumah itu kosong dan Yo Jin tidak berada di situ. Dengan hati khawatir Siu Kwi lalu bertanya kepada tetangga dan mendengar bahwa tadi pemuda itu telah pulang, akan tetapi begitu mendengar dari para tetangga bahwa ayannya telah meninggal dunia, pemuda itu berlari keluar lagi sambil menangis.

   "Ah, kasihan Jin-koko...."

   Kata Siu Kwi dengan hati terharu.

   "Aku tahu, ia pasti pergi mengunjungi kuburan ayahnya...."

   Dan merekapun lalu keluar dari dusun itu, menuju ke sebuah tanah kuburan yang amat sunyi karena letaknya di luar kota, di kaki sebuah bukit. Benar saja, mereka menemukan Yo Jin sedang berlutut dan menangis di depan sebuah kuburan yang masih baru.

   "Jin-ko....!"

   Siu Kwi berseru memanggil. Pemuda itu bangkit, membalikkan tubuh dan dua orang itu saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang karena malam itu hanya diterangi oleh bintang-bintang bertaburan di langit hitam.

   "Kwi-moi....!"

   Suara pemuda itu terdengar parau karena lama dia tadi menangis.

   "Jin-koko....!"

   Siu Kwi melangkah maju dan entah siapa yang bergerak lebih dulu, keduanya saling rangkul dan keduanya terisak menangis!

   Bi Lan berdiri bengong. Benarkah wanita yang menangis di dada laki-laki itu sucinya? Benarkah ia Bi-kwi yang biasanya demikian kejam dan keras hati? Terdengar Sim Houw batuk-batuk untuk menyadarkan dua orang yang sedang dilanda keharuan itu bahwa di situ hadir lain orang! Suara batuk itu menyadarkan mereka dan keduanya melepaskan rangkulan.

   "Kwi-moi, ayah.... ayahku...."

   "Tenanglah, Jin-ko. Ayahmu telah meninggal dunia dengan tenang dan dia menghembuskan napas terakhir dalam rangkulanku."

   "Ahh, Kwi-moi, apakah yang telah terjadi? Ceritakanlah...."

   "Mari kita duduk dengan tenang dan aku akan menceritakan semuanya, Jin-ko."

   "Kita duduk di dekat makam...."

   "Apakah tidak sebaiknya kita pulang saja, Jin-ko dan bicara di rumah?"

   "Tidak, malam ini aku tidak akan meninggalkan makam ayah."

   "Biar aku membuat api unggun,"

   Tiba-tiba Bi Lan berkata dan dibantu oleh Sim Houw, ia mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di dekat makam. Yo Jin agaknya baru sadar bahwa wanita yang dicintanya itu datang bersama dua orang lain.

   "Kwi-moi, siapakah mereka ini?"

   "Mari kita duduk dekat api unggun dan kuperkenalkan kau kepada mereka, Jin-ko. Tanpa adanya bantuan mereka, sampai sekarangpun kita belum dapat berkumpul kembali."

   Mereka berempat lalu duduk di dekat makam, dan mereka mengelilingi api unggun yang dibuat oleh Bi Lan dan Sim Houw. Yo Jin duduk di dekat Siu Kwi, berhadapan dengan Bi Lan yang duduk di dekat Sim Houw. Mereka sejenak saling berpandangan dan diam-diam Bi Lan harus mengakui bahwa laki-laki pilihan sucinya itu biarpun nampak berpakaian sederhana, memiliki pandang mata yang jujur dan polos, wajah yang bersih dan cukup ganteng walaupun kesederhanaan dan keluguan membayangkan kebodohan.

   Dan biarpun pemuda ini seorang lemah, dalam arti tidak mengenal ilmu silat, namun bentuk tubuhnya jantan dan kokoh kuat karena terbiasa bekerja berat di ladang. Betapapun juga, Bi Lan masih belum dapat mengerti dan masih terheran-heran memikirkan bagaimana sucinya dapat jatuh cinta kepada seorang pemuda tani sederhana seperti ini. Pada hal kalau ia menghendakinya, sucinya dapat memiliki pemuda-pemuda terbaik dari kota, putera bangsawan atau hartawan atau bahkan putera ahli-ahli silat kenamaan sekalipun. Sucinya cantik jelita, memiliki ilmu kepandaian tinggi, cerdik dan pendeknya, memiliki segala-galanya untuk dapat menarik hati pria manapun.

   "Jin-ko, mereka inilah yang telah membantuku untuk membebaskanmu. Gadis ini bernama Can Bi Lan dan ia adalah sumoiku sendiri walaupun tingkat ilmu kepandaiannya jauh melebihiku. Dan pendekar ini adalah Pendekar Pedang Suling Naga bernama Sim Houw, seorang tokoh persilatan yang bernama besar dan terkenal sekali."

   Yo Jin dengan secara sederhana, hanya memberi hormat sambil duduk ke arah mereka, berkata lantang,

   "Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan ji-wi yang mulia, dan semoga Thian yang akan membalas segala budi kebaikan ji-wi."

   Diam-diam Sim Houw kagum juga. Seorang pemuda dusun, petani yang bodoh dan mungkin buta huruf, namun mengerti akan tata susila dan kesopanan, mengenal budi walaupun pernyataan terima kasihnya itu sederhana saja.

   "Saudara Yo Jin, harap jangan sungkan. Tidak ada istilah melepas budi di antara kita,"

   Kata Sim Houw.

   "Engkau sendiri, walaupun tidak mempunyai keahlian silat telah berani membela nona Ciong, bahkan untuk semua itu selain engkau menderita dan menjadi tawanan, juga ayahmu berkorban nyawa. Dibandingkan dengan apa yang telah kau lakukan itu, perbuatan kami tidak ada artinya."

   Mendengar ucapan Sim Houw, diam-diam hati Siu Kwi merasa kagum sekali. Baru sekarang ia melihat dan mendengar sendiri akan sikap seorang pendekar yang rendah hati. Dahulu, tiga orang gurunya, Sam Kwi, selalu menekankan bahwa para pendekar adalah manusia-manusia sombong yang selalu memusuhi golongan mereka. Juga dia merasa senang bukan main mendengar betapa Yo Jin dipuji-puji. Tanpa disadari duduknya semakin mendekat pemuda dusun itu dan pandang matanya penuh kebanggaan dan cinta kasih ketika ia menatap wajah di sampingnya itu yang diterangi cahaya api unggun.

   "Jin-koko adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling hebat yang pernah kukenal. Dia sudah mengorbankan dirinya, bahkan kehilangan ayahnya, untuk membelaku. Berkali-kali dia membelaku mati-matian. Sungguh aku telah berhutang budi padanya, berhutang nyawa. Mulai detik ini, aku tidak akan mau berpisah darinya, sampai mati.... aku akan mendampinginya sebagai isterinya.... karena aku.... aku cinta padanya."

   Bagi Sim Houw dan Bi Lan yang sudah mengenal Siu Kwi ucapan yang terang-terangan ini tidak mengherankan akan tetapi wajah Yo Jin menjadi merah padam dan dia merasa malu bukan main. Akan tetapi kejujurannya melenyapkan perasaan malu itu, dan diapun hendak menumpahkan isi hatinya secara blak-blakan, selagi di situ ada orang-orang lain yang amat berharga untuk menjadi saksi.

   "Kwi-moi, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku semenjak pertemuan kita yang pertama kali itu, aku takkan merasa lega sebelum hal itu kukemukakan di sini. Biarlah Can-lihiap dan Sim-taihiap ini menjadi saksi."

   Siu Kwi memandang kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata berseri. Sikap yang jujur dan terus terang dari pemuda ini merupakan satu di antara watak-watak yang amat dikaguminya.

   "Bicaralah, Jin-ko."

   Yo Jin menarik napas panjang dan agaknya berat baginya untuk mengeluarkan isi hatinya.

   "Kwi-moi, terima kasih saya amat mendalam bahwa seorang seperti saya ini mendapat kehormatan untuk menerima cinta kasih seorang wanita seperti engkau. Hal ini kuterima dengan hati gembira dan ringan seandainya engkau seorang gadis biasa, karena sesungguhpun sudah jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi...."

   Siu Kwi mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang menunduk itu dengan hati khawatir.

   "Akan tetapi.... apa Jin-ko?"

   "Kwi-moi, engkau sudah melihat keadaan saya. Seorang pemuda dusun, pemuda petani yang tidak terpelajar, buta huruf, miskin, bahkan kini setelah ayah tiada, saya hidup sebatangkara, tiada sanak kadang, tiada kemampuan. Akan tetapi engkau...."

   "Aku.... kenapa, Jin-koko?"

   Siu Kwi mendesak sambil tersenyum sehingga nampak deretan giginya yang rapi berkilau tertimpa sinar api unggun. Yo Jin memandang wajah Siu Kwi dan pandang mata mereka saling bertemu, dan masing-masing dapat merasakan kasih sayang terpancar dari pandang mata itu, akan tetapi Yo Jin lalu mengalihkan pandang matanya, kini memandang Sim Houw dan kepada Bi Lan seolah-olah minta pertimbangan dari kedua orang saksi itu.

   "Kwi-moi.... ah, sesungguhnya menyebutmu moi-moi saja sudah tidak pantas bagiku. Sepatutnya engkau kusebut lihiap. Engkau adalah seorang wanita kota, terpelajar, kaya, pandai dan bahkan memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Engkau seorang wanita sakti, seorang pendekar wanita yang...."

   "Cukup, Jin-ko, cukup....!"

   Siu Kwi memotong sambil menyentuh lengan pemuda itu.

   "Aku sudah mengenalmu lahir batin, akan tetapi engkau sungguh belum tahu banyak tentang diriku! Engkaulah yang terlalu berharga untukku, Jin-ko. Engkau seorang pemuda yang bersih, jujur, setia, kuat lahir batin, gagah perkasa, sedangkan aku.... aku hanya...."

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Wanita perkasa, pendekar yang sakti...."

   "Tidak, tidak....! Engkau hanya tahu satu tidak mengenal dua tiga dan selanjutnya. Biarlah aku mengaku kesemuanya, Jin-ko. Keadaanku yang lalu juga akan selalu menjadi ganjalan di hatiku kalau belum kuceritakan kepadamu...."

   "Suci! Perlukah itu....?"

   Bi Lan menegur, khawatir melihat sucinya akan menceritakan keadaan masa lalunya. Siu Kwi tersenyum dan mengangguk kepada sumoinya.

   "Mutlak perlu, sumoi. Aku tidak tega membiarkan Jin-koko menggambarkan aku sebagai seorang dewi dari langit, pada hal dalam kehidupanku yang lalu aku adalah seorang iblis. Di dalam cinta harus ada kejujuran, kita harus dapat melihat orang yang kita cintai seperti apa adanya, melihat segala cacat dan keburukannya, bukan sekedar melihat kebagusannya saja."

   Sim Houw yang sejak tadi mendengarkan semua itu, menggeleng-geleng kepala dan memandang kagum.

   "Kalian adalah orang-orang luar biasa, hebat.... hebat...."

   Yo Jin memandang bingung.

   "Kwi-moi, aku tidak ingin mendengar tentang keburukanmu...."

   Dengarlah baik-baik, Jin-ko, agar engkau tidak merasa rendah diri terhadap aku. Engkau hanya mengenal namaku, yaitu Ciong Siu Kwi, akan tetapi kau tidak men hal-hal lain mengenai diriku. Seperti juga engkau, aku tidak mempunyai keluarga. Sejak kecil aku ikut bersama tiga orang guruku yang terkenal dengan julukan Sam Kwi (Tiga Iblis), tokoh-tokoh golongan sesat, penjahat-penjahat yang kejam dan ganas. Dan jangan mengira bahwa aku seorang pendekar wanita, sama sekali tidak! Aku bahkan dimusuhi para pendekar karena aku memang jahat dan kejam, aku seorang di antara tokoh-tokoh sesat yang dijuluki Bi-kwi (Iblis Cantik)."

   "Aku tidak percaya....!"

   Yo Jin berseru, kaget bukan main mendengar pengakuan yang dianggap mengerikan itu.

   "Kenyataannya begitu, Jin-ko. Aku kejam dan jahat, entah telah berapa banyaknya orang, baik yang bersalah maupun yang tidak, tewas di tanganku. Aku telah membunuh banyak orang, aku pendukung kejahatan dan penentang kebaikan. Bukan itu saja, aku juga bukan seorang wanita baik-baik, bukan seorang wanita bersih. Sejak remaja aku sudah menjadi kekasih tiga orang guruku dan sejak dewasa, entah sudah berapa banyak pria yang kujadikan kekasihku, baik dengan suka rela maupun dengan paksa! Aku mempermainkan pria-pria itu seperti barang mainan, kalau sudah bosan kucampakkan, atau kubunuh."

   "Tidak.... tidaaaakk....! "

   Yo Jin berteriak dengan mata terbelalak karena merasa ngeri, dan juga tidak percaya.

   "Engkau seorang wanita gagah perkasa, halus budi dan sopan!"

   "Itu menurut penglihatanmu, dan memang sejak berjumpa denganmu, aku mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia sesat, untuk merobah kehidupan menjadi seorang baik-baik. Akan tetapi, engkau harus mengenal masa laluku, Jin-ko, agar kalau engkau masih mau memasuki hidup baru bersamaku, engkau masuk dengan mata terbuka, bukan dengan mata terpejam, dengan suka rela, bukan paksaan. Nah, sekarang kulanjutkan, Jin-ko. Baru-baru ini, baru kemarin dulu malam, aku terpaksa menyerahkan tubuhku ini kepada Ok Cin Cu, tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw yang menangkapmu, aku tidur dengan dia dan melayaninya selama satu malam...."

   "Ahhhh, tidaaaakk.... ah, Kwi-moi, kenapa engkau menyiksa hatiku seperti ini....?"

   Yo Jin menutupi mukanya dengan kedua tangan seperti hendak mengusir gambaran yang diceritakan Siu Kwi kepadanya itu.

   "Yo-toako, suci hanya menceritakan hal-hal yang memang benar terjadi. Akan tetapi ketahuilah bahwa suci terpaksa melakukan hal itu demi untuk membebaskanmu. Ia tidak berdaya menghadapi dua orang tosu itu, maka ia dapat ditipu oleh mereka yang menjanjikan untuk membebaskanmu."

   Yo Jin menurunkan kedua tangannya. Wajahnya agak pucat dan kedua matanya merah ketika dia menatap wajah wanita yang dicintanya.

   "Kwi-moi, apakah masih ada lagi ceritamu tentang dirimu? Kalau masih ada, tuangkanlah semua, jangan disimpan-simpan agar kelak engkau tidak akan merasa penasaran dan menceritakannya kembali kepadaku."

   Siu Kwi terbelalak.

   "Jin-koko, masih-belum cukupkah itu? Masih belum cukupkah kotoran yang menodaiku sehingga engkau dapat melihat bahwa akulah yang sesungguhnya tidak berharga bagimu?"

   Yo Jin tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Kwi-moi, kejujuranmu ini bahkan menambah cintaku kepadamu. Aku mencinta engkau sekarang ini, seperti keadaanmu sekarang ini. Aku tidak perduli akan keadaanmu yang lampau, apa lagi engkau sudah mengambil keputusan dan untuk merobah jalan hidupmu. Engkau telah melakukan penyelewengan, biarlah aku akan membantumu sekuat tenaga untuk kembali ke jalan benar, Kwi Moi."

   "Jin-koko....!"

   Siu Kwi menubruk dan hendak mencium kaki Yo Jin sambil menangis saking terharu hatinya. Akan tetapi Yo Jin menangkapnya dan menariknya sehingga kini wanita itu menangis dengan kepala di atas pangkuannya, menangis sesenggukan seperti anak kecil dan rambutnya dibelai sayang oleh Yo Jin.

   Melihat peristiwa ini, Bi Lan tak dapat menahan keharuan hatinya dan iapun memandangi dengan kedua mata lebar akan tetapi air matanya berlinang-linang, kemudian perlahan-lahan menetes turun melalui sepasang pipinya. Hatinya dipenuhi rasa haru, kasihan, akan tetapi juga ikut gembira bahwa sucinya telah menemukan seorang pria yang sungguh-sungguh mencintanya lahir batin. Ia tidak tahu betapa dari samping, Sim Houw memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kasih sayang. Setelah tangisnya mereda, Siu Kwi mengangkat kepalanya dari pangkuan Yo Jin dan bangkit duduk. Tangisnya terhenti dan dengan muka yang basah air mata, rambut yang kusut, ia memandang kepada Yo Jin dengan malu-malu, kemudian tersenyum dan berkata lirih,

   "Aihh, aku seperti anak kecil saja...."

   "Aku cinta dan kasihan kepadamu, Kwi-moi,"

   Kata Yo Jin yang kini memandang kepada wanita itu dengan sinar mata lain, mengandung rasa iba. Betapa sengsara kehidupan wanita ini di masa yang lalu dan dia berjanji kepada diri sendiri untuk mencoba membahagiakan Siu Kwi dalam kehidupan mendatang.

   "Sudahlah, kita hentikan percakapan tentang masa lalu dan kita bicara saja tentang hal-hal yang berada di depan kita, meninggalkan segala yang sudah terlewat di belakang kita."

   Kata Bi Lan dan Sim Houw mengangguk-angguk setuju.

   "Kalian memang bijaksana sekali,"

   Kata Siu Kwi.

   "dan aku merasa girang bahwa kalian telah menjadi saksi pengakuanku kepada Jin-ko. Baiklah, sekarang kita bicara tentang masa depan. Sumoi, engkau dan Sim-taihiap hendak pergi ke manakah dan bagaimana bisa kebetulan bertemu dengan aku sehingga kalian dapat menolong aku dan Jin-koko?"

   Sikap Siu Kwi sudah biasa lagi dan biarpun mukanya masih merah dan basah, rambutnya masih kusut, namun ia sudah dapat menguasai hatinya, bahkan kini setelah ia membuat pengakuan di depan Yo jin yang diterima dengan baiknya oleh pria itu, ada sinar kebahagiaan yang cerah pada wajahnya, terutama pada sinar matanya. Tadinya, ada perasaan gelisah kalau ia mengingat akan masa lalunya dan membayangkan betapa Yo Jin akan berbalik membencinya kalau mendengar akan masa lalunya.

   Kalau hal seperti itu terjadi, kiranya akan sukar baginya untuk dapat merobah hidupnya! Kebaikan tidak dapat dinamakan baik lagi kalau dilakukan dengan kesadaran bahwa hal itu baik. Keinginan hati untuk berbuat baik membuat perbuatan itu sendiri menjadi tidak baik, palsu dan munafik. Kebaikan tidak dapat diperbuat dengan sengaja. Kebaikan tidak mungkin dapat dipelajari atau dilatih. Yang dapat dilatih itu hanyalah kepura-puraan saja. Kebaikan adalah wajar seperti sinar matahari, seperti harumnya bunga. Kebaikan adalah suatu sifat yang terpencar dari suatu kepribadian yang bersih. Kebaikan adalah suatu tindakan yang timbul dari batin yang penuh kasih. Keinginan untuk menjadi sesuatu, biarpun sesuatu itu kelihatan agung seperti menjadi orang baik, mengotorkan kebaikan itu sendiri.

   Keinginan menjadi sesuatu selalu mendatangkan kepalsuan, karena pamrih atau keinginan yang menyembunyikan keuntungan bagi diri sendiri itu selalu mempunyai tujuan. Keinginan akan memperoleh buahnya atau hasilnya ini menjadi terpenting, sedangkan perbuatan baik itu sendiri hanya dijadikan alat untuk mencapai hasil yang menguntungkan atau menyenangkan itu! Hal ini akan nampak jelas kalau kita mau mengamati diri sendiri setiap saat, pada saat keinginan timbul, keinginan yang dianggap suci dan luhur sekalipun. Kita buka mata batin, kita amati dan akan nampaklah bahwa ada setan bersembunyi di sudut belakang keinginan luhur itu, yang menanti datangnya hasil baik untuk diterkamnya. Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, melainkan sadar akan keburukan-keburukan dalam perbuatan kita.

   Kesadaran akan kekotoran ini timbul dalam pengamatan kita secara serius terhadap diri sendiri lahir batin. Kesadaran akan perbuatan-perbuatan buruk kita akan menghentikan perbuatan buruk itu, bukan dengan maksud agar menjadi baik! Karena kalau menghentikan perbuatan buruk itu menyembunyikan pamrih agar menjadi baik, maka yang menjadi baik juga masih keburukan itu sendiri yang berganti baju atau bersalin warna belaka. Cinta kasih dan kebaikan selalu ada, karena cinta kasih dan kebaikan adalah suatu kewajaran yang tidak dibuat-buat, bukan hasil latihan, tanpa teori-teori muluk. Akan tetapi, cinta kasih dan kebaikan tidak nampak sinarnya karena batin kita penuh dengan debu kotoran yang diciptakan pikiran yang membentuk si-aku yang selalu dipenuhi
(Lanjut ke Jilid 29)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29
keinginan-keinginan.

   Singkirkan semua debu kotoran itu, dan cinta kasih dan kebaikan akan memancarkan sinarnya dengan terang dan wajar. Sejak kecil kita diajar untuk melakukan hal-hal baik sehingga dengan otomatis kita selalu berusaha untuk berbuat baik karena ada pahala di ujung perbuatan baik. Pahala itu dijanjikan kepada kita oleh kebudayaan kita, melalui tradisi dan agama. Pahala itu dapat dinamakan kehidupan tenteram, kebahagiaan, sorga, nirwana dan sebagainya lagi, juga nama baik atau keuntungan materi yang lebih jelas nampak. Maka berlumba-lumbalah kita untuk melakukan perbuatan baik, yang pada hakekatnya hanya berlumba untuk mendapatkan pahala itulah! Jadi, apa artinya melakukan perbuatan baik, atau menjadi orang baik,

   Kalau dibaliknya tersembunyi pamrih mengejar pahala? Apa artinya kita menolong orang dan memberi sesuatu, kalau dalam perbuatan itu kita mengharapkan balas jasa dari orang yang kita tolong, atau kita mengharapkan pujian, nama baik dan sebagainya? Kalau begini, jauh lebih benar kalau kita tidak melakukan perbuatan baik dari pada melakukan perbuatan baik yang semu, palsu dan berpamrih! Lebih baik kalau kita mengamati diri sendiri dan melihat adanya kepalsuan-kepalsuan dalam kebaikan kita ini. Karena hanya dengan pengamatan yang mendalam dan menyeluruh maka terjadi perobahan, terjadi penghentian segala yang palsu itu. Dan kalau sudah tidak ada keinginan untuk memperoleh pahala, kalau sudah tidak ada keinginan menjadi orang baik, maka semua perbuatan kita adalah wajar!

   Bukan baik buruk lagi, melainkan wajar. Dan tentu saja kewajaran ini merupakan pencerminan dari pada kepribadian kita. Kalau pribadi sudah bersih dari pada segala macam debu kekotoran berbentuk keinginan-keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, maka yang tinggal hanya kewajaran di mana sinar cinta kasih dan kebaikan akan menerangi semua perbuatan itu. Karena itu, bukankah jauh lebih baik kalau pelajaran berupa keinginan menjadi orang baik ini dirobah dalam kehidupan anak-anak kita, dirobah menjadi pengamatan terhadap kepalsuan-kepalsuan diri sendiri setiap saat? Agar kebaikan dan cinta kasih menyinarkan cahayanya secara wajar dengan pembersihan diri dari dalam? Ketika Siu Kwi mengajukan pertanyaan itu kepada Bi Lan, gadis ini lalu menjawab dengan wajah gembira.

   "Memang hanya karena kebetulan saja kami bertemu denganmu, suci. Aku sedang melakukan perjalanan ke utara, ke gurun pasir untuk mencari suhu dan subo."

   "Perdekar Naga Sakti Gurun Pasir ?"

   Tanya! Siu Kwi dan suaranya mengandung kekaguman. Pernah ia sebagai Bi-kwi, bertemu dengan mereka dan merasakan sendiri kesaktian mereka yang menggiriskan.

   "Benar, suci. Aku hendak mengembalikan pedang. Ban-tok-kiam milik subo ini. Dan Sim-toako ini berbaik hati untuk mengantarku ke sana. Di dalam perjalanan, ketika kami tiba di hutan itu, kami mende-ngar tangismu dan sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sana."

   Siu Kwi menarik napas panjang.

   "Memang, di dunia ini terjadi banyak sekali peristiwa secara kebetulan saja. Baru sekarang aku dapat menyadarinya betapa besar kekuasaan Thian yang seolah-olah sudah mengatur segala yang nampak dan tidak nampak dalam alam semesta ini. Pertemuan dengan jin-ko juga hal yang kebetulan saja."

   Sim Houw mengangguk-angguk.

   "Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ciong-lihiap. Nampaknya saja kebetulan karena tadinya kita tidak tahu sama sekali, akan tetapi sesungguhnya sudah ada garisnya sendiri-sendiri. Baik buruknya garis itu sepenuhnya berada dalam tangan kita masing-masing, karena hal-hal yang nampaknya tidak ada huhungan sama sekali itu sesungguhnya masih merupakan suatu rangkaian yang tergantung dari keadaan kehidupan kita sendiri, yang ditentukan oleh kita sendiri dengan segala ulah kita."

   Siu Kwi menghela napas panjang.

   "Ah, betapa menariknya mempelajari soal kehidupan. Dulu, aku sama sekali tidak perduli akan sebab akibat, tidak perduli akan isi kehidupanku...."

   "Sudahlah, suci, kita tadi berjanji akan meninggalkan masa lalu. Sekarang, apa yang akan kalian lakukan dan ke mana kalian hendak pergi?"

   Siu Kwi memandang kepada Yo Jin yang juga sedang menatap wajahnya di bawah sinar api unggun. Wajah Siu Kwi nampak luar biasa cantik dan manisnya dalam pandangan mata Yo Jin. Dua pasang mata itu bertemu dan biarpun mulut mereka diam saja, namun mereka seperti saling mengenal isi hati masing-masing dan sudah mengadakan persetujuan dengan pandang mata mereka.

   "Aahh, kami.... akan memulai suatu kehidupan baru, sumoi. Aku akan meninggalkan seluruh kehidupan lama yang pernah kulalui dengan segala kekerasannya, melupakan segala-galanya dan belajar menjadi seorang isteri yang baik dan setia, dan kalau Thian menaruh kasihan kepada seorang seperti aku, aku ingin menjadi seorang ibu yang bijaksana bagi anak-anak kami. Kami akan pergi dan tinggal di sebuah dusun yang jauh dan baru, dan aku.... ah, maaf jin-ko, aku lupa belum minta persetujuan-mu dalam hal ini...."

   Yo jin tersenyum dan memandang dengan sinar mata mengandung penuh kasih sayang dan pengertian.

   "Aku setuju saja dengan rencanamu, Kwi-moi. Memang sebaiknya kita pergi jauh dari sini untuk melupakan hal-hal lalu dan agar jangan terjadi lagi hal-hal yang buruk."

   Malam itu dilewatkan oleh empat orang muda ini dengan bercakap-cakap dan baik Bi Lan maupun Sim Houw diam-diam merasa heran, kagum dan juga girang sekali melihat betapa sikap Siu Kwi yang dulu terkenal dengan julukan Bi-kwi (Setan Cantik) berubah sama sekali! Baik sinar matanya yang menjadi lembut penuh kasih sayang, terutama kalau ditujukan kepada Yo Jin, suaranya yang menjadi halus merdu bebas dari kebencian, gerak-geriknya, pendeknya orang akan pangling dan tidak mengenal-nya lagi sebagai Siu Kwi beberapa bulan yang lalu!

   Sudah lajim di antara kita manusia, perbuatan sesat mendatangkan akibat yang buruk bagi kita sendiri, dan kalau sudah demikian, timbul penyesalan dan janji bertaubat di mulut atau di hati. Bertaubat seperti ini seringkali tidak ada hasilnya sama sekali dan tak lama kemudian kita akan terjerumus lagi ke dalam kesesatan yang sama! Kesesatan dilakukan orang karena orang ingin meneguk kesenangan dari perbuatan itu dan bertaubat karena penyesalan setelah timbul akibat buruk bagi diri sendiri bukanlah bertaubat yang sesungguhnya lagi. Taubat macam ini tidak akan bertahan lama, dan setelah penyesalan sebagai akibat buruk itu menipis. rasa bertaubatpun ikut pula menipis dan tak lama kemudian, daya tarik untuk meneguk kesenangan kembali mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang sama. Seperti orang minum arak.

   Kalau kemudian mabok dan sakit-sakit seluruh badan, mulut dan hati menyatakan bertaubat tidak akan minum arak lagi. Akan tetapi, setelah rasa sakit-sakit itu hilang, kita akan lupa karena membayangkan enak dan nikmatnya minum arak, dan kitapun minum lagi. Demikian seterusnya seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus. Yang penting bukanlah bertaubat karena menyesal menerima akibat buruk, melainkan pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat. Pengamatan ini akan mendatangkan kesadaran dan kebijaksanaan, dan pengamatan ini akan merobah diri seketika, saat demi saat, sehingga tidak terjadi pengulangan-pengulangan. Kebaikan bukanlah suatu yang menjadi kebiasaan, melainkan harus dihayati detik demi detik dengan pengamatan terhadap diri sendiri. Yang penting itu membersihkan diri dari kotoran, bukan keinginan untuk bersih.

   Keinginan untuk bersih saja tidak membuat kotoran menjadi lenyap. Dan kalau kotoran sudah lenyap, untuk apa ingin menjadi bersih? Sesal dan taubatpun tidak ada kalau segala perbuatan kita didasari cinta kasih, bukan lagi menjadi pelaksanaan dari pada keinginan untuk mengejar dan memperoleh kesenangan, karena perbuatan didasari cinta kasih ini tanpa pamrih sehingga apapun yang menjadi akibat dari perbuatan ini tidak akan menimbulkan penyesalan apapun. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Bi Lan dan Sim Houw berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka. Siu Kwi menggandeng tangan Bi Lan dan diajaknya sumoinya itu agak menjauh dari Sim Houw dan Yo Jin karena ia ingin bicara empat mata dengan sumoinya itu. Setelah berada cukup jauh sehingga percakapan mereka tidak akan terdengar orang lain, Siu Kwi lalu merangkul adik seperguruannya.

   "Sumoi, aku mengucapkan selamat kepadamu!"

   "Eh, untuk apa, suci?"

   "Engkau telah memperoleh seorang pacar yang pilihan! Aku ikut merasa girang, adikku. Sim-taihiap adalah seorang pria pilihan yang amat mengagumkan hatiku. Engkau tentu beruntung sekali!"

   Wajah Bi Lan berubah merah. Heran ia mengapa sucinya dapat menduga dengan tepat bahwa ia memang diam-diam jatuh cinta sampai ke ujung rambutnya kepada Sim Houw! Akan tetapi, mengingat sikap Sim Houw yang tidak pernah menyatakan cintanya. ia menjadi sedih dan menarik napas panjang.

   "Aihh, aku tidak seberuntung engkau, suci."

   "Eh? Salahkah rabaanku bahwa engkau mencinta Sim-taihiap?"

   Siu Kwi tertawa dan merangkul sumoinya.

   "Anak bodoh! Tanpa pengakuan mulutpun, apakah engkau tidak dapat mengerti dan melihatnya? Aku sudah melihat dengan jelas sekali betapa Sim-taihiap amat mencintamu!"

   "Ehhh....?"

   Bi Lan terbelalak memandang wajah sucinya penuh selidik.

   "Percayalah, sumoi. Dia amat mencintamu, dan mungkin dia terlalu rendah hati untuk membuat pengakuan. Akan tetapi aku yakin bahwa dia cinta padamu, jelas nampak dalam pandang matanya kepadamu, suaranya, dan sikapnya. Hanya wanita yang buta saja yang tidak akan dapat melihat cintanya kepadamu, sumoi!"

   Wajah Bi Lan menjadi semakin merah akan tetapi kini wajah itu berseri dan mulutnya tersenyum manis sekali. Ia percaya akan keterangan sucinya, karena ia tahu benar bahwa encinya adalah orang yang sudah memiliki pengalaman luas dalam menilai pria.

   "Terima kasih suci!"

   Bi Lan merangkul dan Bi Lan mengangguk dan mencium pipi sucinya. Kini wajahnya yang manis nampak berseri penuh kebahagiaan.

   "Keteranganmu itu sungguh amat berharga, mendatangkan cahaya yang menerangi seluruh hati dan perasaanku. Terima kasih!"

   Ketika mereka berangkulan ini, terasa oleh masing-masing betapa keduanya saling mengasihi dan menyayang seperti kakak beradik sendiri saja.

   Dan Siu Kwi tidak dapat menahan air mata yang membasahi kedua matanya ketika melihat Bi Lan pergi bersama Sim Houw. Akan tetapi, ketika ia merasa ada tangan menyentuh pundaknya dengan lembut, iapun membalik dan merangkul Yo Jin, menyembunyikan mukanya di dada pria yang dicintanya itu. Cinta asmara memang hebat, kuasanya terhadap perasaan manusia amat besarnya sehingga cinta asmara mampu mendatangkan sorga ataupun neraka di dalam kehidupan seseorang. Mereka menemukan sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi di lereng bukit itu. Sudah hampir dua pekan mereka berpisah dari Siu Kwi dani Yo Jin dan kini mereka sudah tiba di deretan bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya dan yang nampaknya tak pernah habis itu,

   Gunung-gunung besar kecil yang bertaburan di sepanjang perbatasan sebelah utara. Tembok Besar nampak bagaikan seekor naga yang berlika-liku dan naik turun bukit-bukit dan gunung-gunung, amat indah dan megahnya. Mereka belum melewati Tembok Besar yang sudah nampak jauh di utara dari tempat mereka berhenti untuk melewatkan malam. Setelah makan malam dan membersihkan diri di sumber air di belakang kuil tua, makan yang cukup lezat walaupun yang mereka makan hanyalah bekal roti dan daging kering bersama air jernih karena perut lapar dan tubuh lelah, Bi Lan dan Sim Houw duduk di ruangan belakang kuil tua itu. Ruangan itu merupakan bagian yang masih paling baik di antara bagian lain yang sudah rusak dan banyak yang sudah runtuh.

   Mereka sore tadi sudah membersihkan tempat itu sehingga enak untuk dipakai beristirahat. Sim Houw sudah mengumpulkan kayu bakar yang diambilnya dari dalam hutan, ditumpuk di situ untuk dipakai malam nanti, pengusir nyamuk dan hawa dingin. Setelah menumpuk beberapa potong kayu bakar, Bi Lan lalu membuat api dan sebentar saja ruangan itu yang tadinya sudah mulai gelap menjadi terang kemerahan dan hawanya yang tadinya dingin menjadi hangat. Hal ini mendatangkan perasaan gembira di hati Bi Lan. Ia memandang wajah Sim Houw yang juga duduk di dekat api unggun, di depannya. Memandang sampai lama jarang berkedip, mulutnya tersenyum seperti orang mengejek. Tadinya Sim Houw tidak menyangka sesuatu karena selama melakukan perjalanan bersama dara ini,

   Hubungan mereka akrab dan setiap hari entah berapa puluh kali dia melihat dara yang memang lincah jenaka ini tersenyum. Dan memang wajah itu paling manis kalau tersenyum, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya. Akan tetapi ketika melihat bahwa dara itu menatap sejak tadi hampir tak pernah berkedip, diapun merasa canggung dan kikuk sekali, menjadi salah tingkah. Ingin mengalihkan pandang mata, merasa sayang karena pada saat itu wajah Bi Lan nampak cantik jelita dan manis seperti wajah seorang bidadari dalam dongeng, akan tetapi kalau dipandang terus dia merasa malu dan khawatir kalau dianggap kurang sopan. Dicobanya mengalihkan perhatian dengan menambah kayu bakar pada api unggun, akan tetapi karena matanya tidak mau diajak pindah, dia tidak melihat bahwa tangannya terjilat api.

   "Uhhh....!"

   Dia menarik tangannya. Untung dia bertindak cepat dan dua jari tangannya hanya terjilat dan terasa panas saja, belum sampai melepuh.

   "Eh, kau kenapa, Sim-koko? Tanganmu terbakar?' tanya Bi Lan kaget dan cepat ia menangkap lengan kiri pemuda itu untuk diperiksa. Ah, hanya terjilat sedikit, tidak terluka...."

   Bi Lan merasa lega melihat bahwa tangan itu tidak melepuh, hanya hangus sedikit.

   "Sakitkah, koko?"

   Melihat kesungguhan sikap Bi Lan yang amat memperhatikan dan meng-khawatirkan tangannya itu, diam-diam Sim Houw merasa gembira sekali. Akan tetapi dia meng-geleng kepalanya dan dengan lembut menarik kembali tangannya karena merasa malu diperlakukan seperti anak kecil oleh Bi Lan.

   "Tidak, Lan-moi, hanya panas sedikit saja. Salahku sendiri kurang hati-hati."

   Hening sampai agak lama. Sim Houw kini menunduk dan dia masih merasa bahwa gadis itu terus memandangnya, seolah-olah terasa olehnya sinar mata yang hangat itu menatapnya.

   "Sim-koko, ada satu hal yang sudah lama menjadi pertanyaan bagiku dan ingin sekali aku mendengar jawabannya secara terus terang darimu."

   Sim Houw mengangkat mukanya memandang dengan penuh keheranan, dan sinar matanya menyelidiki wajah dara itu seperti hendak menjenguk isi hatinya.

   "Pertanyaan apakah itu, Lan-moi?"

   "Sim-ko, perjalanan menuju ke Istana Gurun Pasir merupakan perjalanan yang amat jauh, sukar dan berbahaya, bukankah begitu?"

   Sim Houw mengangguk-angguk.

   "Benar sekali, Lan-moi, dan juga amat jauhnya."

   "Nah, inilah yang membuat aku terheran-heran dan tiada habis kupikirkan. Kenapa engkau bersusah payah mengantar aku ke sana, Sim-ko? Perjalanan ini mengandung resiko, berbahaya dan sukar, kenapa engkau yang bukan apa-apa denganku, berani mengambil resiko dan mengantarkan aku? Kenapa, Sim-ko?"

   Mendengar pertanyaan ini dan melihat betapa sinar mata dara itu memandang kepadanya dengan amat tajam penuh selidik, wajah Sim Houw berubah merah. Untung sinar api unggun itu juga berwarna merah sehingga menyembunyikan kemerahan mukanya, dan diapun menundukkan muka memandangi api unggun, seolah-olah hendak mencari jawabannya dari nyala api itu.

   "Bagaimana, Sim-ko? Jawablah dengan terus terang."

   Kata Bi Lan dan gadis ini yang sudah tahu dari Siu Kwi bahwa pemuda ini sebenarnya cinta kepadanya, memandang dengan hati tegang akan tetapi juga dengan senyum simpul melihat sikap Sim Houw yang seperti orang kebingungan dan canggung.
Akhirnya Sim Houw menarik napas panjang.

   "Kenapa hal itu saja kau tanyakan, Lan-moi? Bukankah sudah jelas bahwa kita adalah sahabat baik? Kita sudah banyak mengalami hal-hal yang berbahaya bersama, bahkan sudah bersama-sama terancam bahaya maut. Karena engkau seorang gadis, tentu saja aku tidak ingin membiarkan engkau seorang diri saja mencari Istana Gurun Pasir yang demikian jauhnya, melakukan perjalanan yang demikian berbahayanya seorang diri saja. Karena itulah aku mengantarmu, Lan-moi."

   "Akan tetapi,.... perjalanan ini selain sukar juga mempertaruhkan nyawa! Engkau tentu mempunyai banyak sahabat, apakah terhadap semua sahabatmu engkau akan melakukan hal yang sama? Akupun mempunyai banyak sahabat, akan tetapi kiranya selain engkau tidak akan ada yang mau melakukan perjalanan berbahaya ini untuk mengantar aku. Alasan bersahabat itu kurang meyakinkan hatiku, Sim-ko!"

   "Akan tetapi kita bukan sahabat biasa, Lan-moi, melainkan sahabat yang sangat baik! Melebihi saudara sendiri. Pendeknya, aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya dan aku.... aku siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu...."

   Bukan main girang dan terharu rasa hati Bi Lan. Jelas sudah jawaban itu membuktikan kebenaran keterangan Siu Kwi. Perdekar ini cinta padanya. Akan tetapi ia belum puas. Kenapa tidak secara langsung saja Sim Houw menyatakan cinta padanya? Bagaimanapun juga, tidak baik kalau ia terlalu mendesak, dan iapun tersenyum manis, dengan penuh keyakinan bahwa senyumnya menciptakan lesung pipit yang tidak pernah gagal mendatangkan sinar kagum dalam sepasang mata pendekar itu. Ia tidak menyadari bahwa malam ini, ditimpa sinar api unggun, senyumnya amat istimewa, membuat Sim Houw terpesona dan pendekar ini terpaksa menundukkan pandang matanya untuk menenang-kan hatinya yang terguncang oleh kekaguman.

   "Kalau begitu, terima kasih atas kebaikan hatimu. Sim-ko."

   Hening lagi sejenak. Sim Houw termenung memandang nyala api unggun. Bi Lan yang termenung, kadang-kadang mengangkat muka memandang wajah orang muda itu. Bukan seorang pemuda remaja lagi. Akan tetapi juga bukan seorang kakek tua, melainkan wajah seorang laki-laki. Seorang jantan yang sudah matang, denqan wajah memperlihatkan garis-garis pengalaman dan kepahitan hidup.

   "Sim-ko...."

   "Hemmm....?"

   Sim Houw sadar dari lamunan dan menatap wajah Bi Lan. Sesaat pandang mata mereka bertemu, bertaut dan kini Bi Lan yang menundukkan pandang matanya, merenung ke arah nyala api.

   "Sim-ko,"

   Katanya lirih, tetap merenung ke arah api unggun seolah-olah ia bicara kepada api.

   "Engkau pernah mencinta seorang wanita namun gagal karena ia mencinta pria lain. Sakitkah hatimu, Sim-ko?"

   Sim Houw menatap wajah itu penuh selidik namun tetap saja dia tidak tahu ke mana arah angin pertanyaan dara itu. Dia mengerutkan alisnya dan menjawab dengan tegas.

   "Sakit hati? Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Kenapa aku harus sakit hati? Ia mencinta pria lain yang lebih baik dari pada aku dan ia hidup berbahagia. Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati."

   "Maksudku bukan sakit hati dan menaruh dendam, Sim-ko. Akan tetapi, apakah engkau tidak patah hati, tidak putus asa dan menderita sakit dalam dirimu?"

   Sim Houw tersenyum dan memandang gadis itu yang kini juga menatapnya. Heran dia mendengar pertanyaan itu dan diapun menggeleng kepala dengan pasti.

   "Tidak, Lan-moi. Patah hati dan putus asa hanya dilakukan oleh orang yang lemah. Apapun yang terjadi di dalam hidup, suka maupun duka hanyalah bagaimana kita menilainya saja. Duka hanyalah gambaran iba hati yang berlebihan. Segala macam peristiwa hidup harus kita hadapi dengan tabah dan ikhlas, tanpa keluhan."

   "Tapi.... tapi.... apakah kegagalan cinta itu tidak membuat engkau jera, Sim-ko?"

   "Jera bagaimana maksudmu?"

   "Jera dan tidak berani untuk jatuh cinta kembali."

   "Cinta tidak pernah gagal, Lan-moi. Perjodohan bisa saja putus dan gagal. Akan tetapi cinta? Kurasa cinta itu abadi, Lan-moi."

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bi Lan memandang bingung, tidak mengerti.

   "Akan tetapi.... apakah semenjak engkau gagal.... eh, maksudku semenjak hubungan cintamu dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri Suma Ceng Liong itu engkau pernah jatuh cinta lagi dengan seorang gadis lain?"

   Sim Houw tersenyum, sampai lama tidak dapat menjawab. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Kam Bi Eng yang memilih Suma Ceng Liong sebagai jodohnya, dia tidak pernah lagi jatuh cinta, sampai sekarang, karena dia tahu benar bahwa dia jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi untuk mengakui cintanya, dia merasa sungkan dan segan, khawatir kalau-kalau hal itu akan menyinggung perasaan Bi Lan dan juga dia merasa ngeri kalau-kalau hal itu akan memisahkan dia dengan gadis ini.

   "Aku sudah tua sekarang, Lan-moi siapakah yang mau menaruh hati kepadaku?"

   Jawabnya menyimpang. Tiba-tiba Bi Lan tertawa, menutupi mulutnya.

   "Hi-hi-hik,"

   Ia seperti mengajak bicara kepada nyala api unggun karena ia memandang kepada api itu "coba dengarkan keluhan kakek tua renta ini, menyesali kehidupannya yang tua renta dan sepi. Kasihan sekali dia....!"

   "Lan-moi, sudahlah jangan goda aku. Kita bicara urusan lain saja...."

   "Aku justeru ingin bicara tentang cintamu, Sim-ko."

   Sim Houw menarik napas panjang dan dia sungguh tidak mengerti akan sikap dan watak gadis ini yang kini begitu tiba-tiba bicara tentang hal yang bukan-bukan!

   "Sesukamulah, Lan-moi."

   "Kau marah....?"

   Sim Houw tersenyum dan memandang dengan wajah berseri. Bagaimana mungkin dia dapat marah kepada dara ini, dara yang dicintanya? Pertanyaan yang aneh-aneh itu merupakan satu di antara keistimewaan Bi Lan, yang demikian lincah dan penuh gairah hidup.

   "Tidak, Lan-moi. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah marah kepadamu."

   "Kenapa?"

   Tiba-tiba dara itu mendesak.

   "Karena.... karena engkau tidak pernah bersalah, engkau wajar dan lincah gembira...."

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 5 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 2 Suling Emas Naga Siluman Eps 46

Cari Blog Ini