Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Pulau Es 25


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Biarlah kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami sekeluarga,! akhirnya Suma Kian Lee berkata dengan hati lega.

   Sampai Cin Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yaug agaknya sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali kegembiraannya dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka diapun berpamit dari keluarga Suma dan langsung dia pergi ke kota raja dengan maksud hati hendak meletakkan jabatannya, kemudian akan menyusu1 dan membantu Suma Hui menghadapi Louw Tek Ciang yang dibantu oleh datuk sesat.

   Pada keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka mencari jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.

   Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka mempelajari ilmu silat. Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukarpun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!

   Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.

   Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka diapun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari Hek-i Mo-ong mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.

   Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya.

   Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga. Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga setiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.

   Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mujijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dau Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan.

   Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tidak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang.

   Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka diapun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil meuguasai kedua ilmu ini.

   Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.

   "Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?!

   Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran, ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga.

   "Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?!

   "Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarangpun aku sudah mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat.!

   Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiripun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.

   "Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?! Tanyanya langsung saja.

   Hek-i Mo-ong tertawa.

   "Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Ketika aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur.!

   "Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?!

   "Tidak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu.!

   Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulunya terlalu mengagulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai daripadanya, dan karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.

   "Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu.!

   "Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!!

   Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak perduli. Siapapun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itupun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu! Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.

   "Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?!

   "Namanya Kam Hong dan dia tinggal di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga.!

   "Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat.!

   Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia rantai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok.

   Adapun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa, mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam. Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik.

   Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja.Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yalah kekalahan. Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat.

   Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapapun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dania persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.

   Para pembaca kisah Suling Emas Dan Naga Siluman tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat.

   Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoinya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisah Suling Emas Dan Naga Siluman .

   Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-han-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu.

   Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.

   Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, maupun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya.

   Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya. Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusnn di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.

   Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederha dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi.

   Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas.

   Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in. Selain ini, dia pernah digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang tcrmasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khi-kang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!

   Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini ia memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian, ia masih memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sin-kang Im dan Yang kepadanya. Selain itu, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang amat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya!

   Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia sendiripun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula mempergunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.

   Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tidak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.

   Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.

   Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Dan mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?

   Seperti telah kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju ke utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.

   Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.

   Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita berkata dengan suara memohon.

   "....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang....!

   Ceng Liong makin penasaran, akan tetapi Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata.

   "Cin Liong, perlu apa mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita.!

   Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.

   "Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya.! Dan pemuda inipun melangkah mendekati kuil.

   "Heh-heh, engkau cari perkara saja!! kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar ketika muridnya memasuki kuil tua itu.

   Ruangan depan kuil itu kator karena gentengnya sudah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liang terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.

   Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu.

   "Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat kalau aku sudah bosan padamu!!

   "Cici....!! Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.

   "Siauw-moi, bersabarlah....!! Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita inipun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.

   Ceng Liong semakin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainyapun agak bersih. Ketika dia melangkahi pintu tanpa daun itu masuk, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berobah merah karena malu.

   Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.

   Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dau kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentn dia tidak akan sudi masuk.

   Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinyapun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk? Biarpun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.

   "Apakah yang sedang terjadi di sini?! Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.

   Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak memperdulikan Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum! Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka diapun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itupun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.

   "Eh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?!

   Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi hanya mengeluarkan pertanyaan itu untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknyapun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!

   "Aku tadi mendengar suara tangis dan orang minta pulang....! katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.

   "Kamu hendak mencampuri urusan kami?! bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

   "Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong....!

   "Ha-ha-ha!! Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak perduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain. Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, lalu menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong.

   "Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik....!

   Barulah Ceng Liong mengerti dan diapun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka diapun tertawa lagi.

   "Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Engkau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!! Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.!Singgg....!! Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.

   "Huhhh!! Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang sedemikian tenangnya seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk dan terdengar suara "krekk!! lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkannya ke atas lantai!

   Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, kemudian mematah-matahkan pisaunya itu seperti orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka!

   Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru.

   "Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?!

   Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya.

   "Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi.!

   Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!

   "Setan cilik! Kau mau apa?!

   "Setan besar!! Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu.

   "Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!!

   Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya.

   "Keparat kau!!

   "Jahanam kau!! Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justeru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul.

   "Eh, apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?!

   Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong.

   "Mampuslah!! bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.

   Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak.

   "Wuuutt!! Pukulan yang mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut. Dia mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biarpun belum dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa diapun mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.

   "Desss....!! Dua tenaga sin-kang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya seorang yang usil dan lancang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!

   Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan diapun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil. Maka Jai-hwa Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan.

   Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu agar tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai. Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika karena mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.

   Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Kini Tek Ciang mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

   "Desss....!! Keduanya terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru dan murid ini yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat bergerak hendak maju berbareng.

   "Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?! Dan muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berobah pucat.

   "Hek-i Mo-ong....!! serunya dan seruan ini ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang juga teringat akan cerita itu, maka pemuda inipun cepat melangkah mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.

   "Ah, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka terjadi kesalahpahaman,! kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.

   Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai daripada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiripun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan? Maka diapun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.

   "Ah, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.!Suasana penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es dan dia sendiri melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan.

   Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya! Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan menyerahkan nyawa begitu saja. Muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat daripadanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menandingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang biarpun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tuhuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.

   Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar. Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, lari menyelamatkan diri sendiri tanpa memperdulikan kawan-kawan. Dan kini, Siauw-ok dan muridnya malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan "menghukum! mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.

   "Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!!

   Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Diapun merasa girang dan cepat berkata.

   "Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!!

   "Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalahpahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih.!

   "Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya.!

   "Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar dipertandingkan, engkau sendiripun tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itupun bukan barang murahan. Siauw-ok, kenapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?!

   "Bukit Nelayan....? Eh, Mo-ong, bagaimana.... bagaimana engkau bisa mengetahuinya....?!

   "Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?!

   Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk.

   "Agaknya Mo-ong telah mengetahui segalanya.!

   Kembali Hek-i Mo-ong tertawa "Tentu saja aku tahu. Coba kau ingat di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?!

   Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan.

   "Dan kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan maka melihat engkau di sini bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkanjuga kebiasaanmu!! Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan tahun itu.

   Jai-hwa Siauw-ok tersenyum.

   "Ah, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas dendam kematian guru-guruku.!

   "Ha-ha-ha-ha!! Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya maupun musuhnya. Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang diawali suara ketawa mengejek ini.

   "Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!!

   Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran, bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan alis berkerut. Bagaimanapun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan gurunya dan biarpun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah orang segolongan seperti itu.

   "Harap locianpwe suka menjelaskan!! katanya penasaran, sementara itu, Ceng Liong sejak tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat gadis itu.

   "Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah? Dan apa macam suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!!

   
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jai-hwa Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tidak perduli karena memang pemuda yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan, lebih tua daripada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok sudah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, maka dia terbelalak dan bertanya dengan suara terheran.

   "Ah, jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan tahun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah dengan dia yang sudah lama mati.!

   Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan lebih tahu.

   "Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan dengan keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana, selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai daripada Bu Ci Sian.!

   Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini memang sama sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu Ci Sian hidup di puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Sama sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai daripada pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Diapun mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu sudah pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja, tentu ada maksudnya tertentu yang amat penting.

   "Mo-ong, apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak mencari.... eh, orang she Kam yang lihai itu?!

   Hek-i Mo-ong tertawa bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga mulutnya.

   "Ha-ha-ha, engkau cerdik seperti srigala! Memang benar, aku hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong.!

   Kini mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya. Kiranya Raja Iblis inipun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan menyerbu puncak Bukit Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat saling bantu! Maka diapun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.

   "Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi sekutu dan sekawan dalam menghadapi apapun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya, aku dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pekerjaan kita menjadi jauh lebih ringan, bukan?!

   Hek-i Mo-ong tertawa.

   "Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja. Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan siasat yang baik....!

   Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah dapat menggali tanah yang cukup lebar dan panjang.

   "Eh, apa yang kau lakakan?! Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.

   Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab.

   "Mo-ong, aku tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini.! Dan diapun menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar, diapun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan sederhana namun cukup pantas.

   "Ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!! Jai-hwa Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.

   "Jai-hwa-cat! Kau majulah dan kau coba kelemahanku!! Tiba-tiba Ceng Liong membentak, memasang kuda-kuda dan kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.

   Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah, bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sama dengan pengakuan dan pujian! Bagaimanapun juga, andaikata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam ditantang oleh seorang muda.

   "Hemm, orang muda, gurumu dan aku adalah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh. Tidak baik kalau urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan kedudukan kita sendiri,! katanya.

   "Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan, bukan Jai-hwa Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti perempuan!! Mo-ong sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng Liong yang dikatakan berhati lemah tadi. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walaupun Tek Ciang memandang marah mendengar gurunya dimaki.

   Empat orang itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok berbincang-bincang membicarakan musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Buki Nelayan itu dengan mereka berdua. Kam Hong pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu.

   Hal ini membuat dia merasa penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas kekalahan itu. Adapun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian, pendekar wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam Hong. Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, tertama sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah gurunya dan juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk dapat membalas dendam (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman).

   Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman dahulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan mempunyai anggauta-anggauta yang berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal. Akan tetapi, walaupun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari nenek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek moyang Khong-sim Kai-pang.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang bernama Yu Hwi, kini telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum membaca kisah Suling Emas Dan Naga Siluman , marilah kita menjenguk riwayat singkat pendekar sakti ini.

   Kam Hong adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas dan sejak kecil dia diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan diapun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu pendiri Khong-sim Kai-pang, yang bernama Yu Hwi.

   Akan tetapi, agaknya Tuhan menghendaki lain. Kam Hong dan Yu Hwi yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati masing-masing. Karena itulah, usaha kedua keluarga untuk menjodohkan mereka gagal. Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas aseli, saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula.

   Kini Yu Hwi, yang sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong- sim Kai-pang dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suaminya tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu menjadi tunangannya.

   Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.

   Sudah menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang cerah itu.

   Kadang-kadang Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari, selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang berlatih silat seorang diri di taman bunga di samping istana dengan asyikya. Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Seperti ayah bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas.

   Suling ini terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas aseli di tangan ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat dan perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh. Akan tetapi, lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan mulailah terdengar suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk sulingpun lenyap berobah menjadi gulungan sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin nyaring, naik turun seperti melagu.

   Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus galungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum. Empat orang itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.

   Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan silatnya, lalu duduk bersila di atas tanah mengatur pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup suling itu, dan keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan merendah dengan indahnya.

   Akan tetapi, empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khi-kang yang amat kuat dan agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya. Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang mengandung getaran dan dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat mengerahkan sin-kang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi semakin kuat menusuk-nusuk telinga.

   Tek Ciang sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu berahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu. Siapapun adanya gadis itu harus dia dapatkan!

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 42 Suling Emas Naga Siluman Eps 20 Suling Emas Naga Siluman Eps 6

Cari Blog Ini