Kisah Pendekar Pulau Es 28
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 28
"Hek-i Mo-ong,! kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras.
"Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!! kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan tempat itu.
"Kam Hong, kau.... kau....!! Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.
"Suhu....!! Ceng Liong dengan sigap merangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas dalam pelukannya, tak bernapas lagi! Kakek itu tewas dengan muka membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap tenang.
Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian Kam Hong melangkah maju.
"Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu. Kini dia sudah mati, engkau lah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah, kalau memang engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan sikap bermusuh mendiang gurumu, silahkan agar urusan itu dapat diselesaikan sekarang juga.!
Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan tantangan. Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda remaja itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang, akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, juga sikap pemuda itu sama sekali tidak mirip penjahat, maka kini dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dan pihak Hek-i Mo-ong sampai di situ saja.
Dia mengharapkan pemuda itu agar mau menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau pemuda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan agar beres.
Bagaimanapun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas. Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang gurunya terhadap dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara, membelanya mati-matian.
Biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah melihatnya melakukan kejahatan, dan terhadap dirinya amat baik. Memang dia melihat dan mengalami sendiri betapa gurunya dengan bersekongkol dengan datuk-datuk lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan antara mereka.
Dia sendiri tidak menyetujui cara hidup gurunya, dan andaikata suhunya tidak menolong dan menyelamatkan nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga. Dan mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong.
Dia sendiri tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri, akan tetapi cara penolakan keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!
"Kam-locianpwe,! katanya dengan sikap dan nada suara menghormat.
"Aku tidak pernah mencampuri urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya mengingat dia guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut.
Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan rasa bencinya kepada suhu, dan setelah suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, akupun tidak akan mengelak. Kalau locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid suhu, akupun tidak akan melarikan diri.!
Ucapan pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi, walaupun dia bersikap hormat. Ucapannya mengandung penyambutan tantangan!
Kam Hong tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului isterinya yang berkata.
"Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan lebih jahat dari pada gurunya!! Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak begitu binal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Hemm, orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi akupun kematian enam orang muridku. Biarpun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas. Agaknya biarpun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Daripada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja. Nah, kau majulah, orang muda!!
Ini merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap tempur. Wajah Ceng Liong berobah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya seringkali mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat.
Dia sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merobah jalan kehidupan mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin menjauh dan ganas.
"Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, akupun tidak akan mundur selangkahpun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silahkan!! Diapun sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah memegang senjata, maka diapun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah Kam Hong juga menjadi merah.
"Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!!
Aku hanya memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!!
Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan suling emasnya, maka diapun menyelipkan snlingnya di ikat pinggangnya, kemudian dengan kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.
"Orang muda, lihat seranganku!! katanya dan diapun menerjang dengan amat cepatnya. Pada waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi dan serangannya itu membawa hawa pukulan yang dahsyat sehingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong, menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan itu menampar ke dada.
Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas menyerang, karena dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan yang lihai ini. Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu tidak melanjutkan pukulannya.
Tangan kiri ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar, mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikitpun. Heranlah hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama sekali tidak mengandung sin-kang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya sehingga sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa penasaran kalau dipandang rendah, maka diapun kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.
"Dukk!! Dan tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa melangkah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan mampu membuatnya terdorong mundur dua langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan merasa heran. Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sin-kang akan tetapi begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi.
Akan tetapi dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin waspada. Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekerasan. Maka Ceng Liong yang mempergunakan sin-kang tadi terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.
Ceng Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, diapun maklum akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Kini dia membalas serangannya yang dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh memandang ringan sama sekali, begitu menyerang diapun mempergunakan ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!
Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut.
"Ilmu keji....!! Serunya dan diapun tidak berani sembarangan menangkis melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini memang hebat, bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mujijat dan mengandung hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia.
Jari-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya tarik sembrani. Maka, biarpun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri seperti ular-ular yang ganas.
"Plak-plak-plakk!! Terpaksa Kam Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang lawan. Agaknya, mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sin-kang, barulah daya serang jari-jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh beradunya kedua tangan itu.
"Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!! Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya dan Ceng Liong.
Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam Hong sudah meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan alisnya berkerut.
"Apa katamu....?! Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah Ceng Liong.
"Dia.... dia she Suma....?!
"Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberitahu padaku,! kata Bi Eng.
Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur. Bahkan dia kini bertanya halus.
"Orang muda, benarkah engkau cucu Suma Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar demikian, bagaimana engkau dapat menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar dipercaya....!
Ceng Liong mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas.
"Kam-locianpwe, orang tidak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan aku menjadi murid Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!! Dia lalu menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.
"Ceng Liong....!! Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Dara remaja itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu saja ia merasa menyesal sekali melihat penolongnya itu berkelahi melawan ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.
"Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?! kini Bu Ci Sian bertanya.
Bi Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong.
"Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biarpun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik.!
Kam Hong mengangguk-angguk dan mengelus dagunya.
"Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku, Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri Milana yang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan bagaimana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya saja Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti....!
"Dan bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?! Bu Ci Sian bertanya, nada suaranya masih penasaran walaupun kini nadanya agak lunak karena pemuda yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti! Kita dapat memaafkan sikap Ci Sian ini karena kalau kita membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana termasuk juga diri kita, bukankah kita semua telah mempunyai penyakit yang sama? Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tidak lagi memandang orangnya, manusianya, melainkan kedudukannya, hartanya, kepandaiannya, namanya, agamanya, dan sebagainya lagi. Ketika mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan dengannya, hal itu menjadi lain sama sekali!
"Ibu, mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gurunya menyembuhkanku.!
Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa.
"Sudahlah, memang orang-orang sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk mengurus jenazah para pelayan.!
Biarpun mereka itu hanya pelayan, akan tetapi mereka menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong sehingga merekapun dapat disebut murid-muridnya. Maka, ketika menyembahyangi enam buah peti mati yang berjajar di halaman depan rumahnya, Kam Hong, Ci Sian dan Bi Eng merasa berduka sekali. Bahkan Ci Sian dan Bi Eng tak kuasa menahan air mata mereka. Enam orang itu tewas karena membela keluarga mereka. Akan tetapi, siapakah yang akan dikutuk? Hek-i Mo-ong yang agaknya menjadi biang keladi penyerbuan itu telah tewas, juga Jai-hwa Siauw-ok sudah tewas. Hanya tinggal murid-murid mereka.
Banyak juga tamu berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah enam orang itu. Mereka sebagian besar adalah penduduk dusun di sekitar pegunungan itu. Ada pula beberapa orang tokoh ilmu silat yang kebetulan mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga pendekar Kam lalu datang pula berkunjung untuk menyatakan belasungkawa.
Malam itu tidak ada tamu lain. Hanya tiga orang anggauta keluarga itu saja yang masih duduk di ruangan depan, menjaga enam buah peti jenazah. Bulan bersinar terang sehingga pekarangan depan pondok itu, yang merupakan istana tua, nampak jelas. Maka, ayah, ibu dan anak itupun dapat melihat dengan jelas ketika ada dua bayangan orang berkelebat di pekarangan mereka.
Kam Hong memberi isyarat dengan tangan kepada isteri dan puterinya agar waspada. Akan tetapi dua orang wanita itu juga sudah melihat berkelebatnya bayangan dua orang dan merekapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah peristiwa penyerbuan Hek-i Mo-ong dengan kawan-kawannya, keluarga Kam menjadi waspada dan selalu dalam keadaan tegang dan curiga.
Kini dengan gerakan gesit, dua bayangan itu telah tiba di tengah pekarangan, berdiri di situ dengan tegak. Di bawah sinar bulan, nampak jelas bahwa mereka adalah dua orang pria. Yang seorang berusia hampir empat puluh tahun, kira-kira tiga puluh enam tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah, dengan pakaian sederhana dan ringkas membayangkan tubuh yang masih kekar, wajahnya cerah dan mulutnya membayangkan senyum ramah.
Adapun pria yang ke dua, berusia kurang lebih enam belas tahun, wajahnya putih bundar dan alisnya tebal, nampak tampan dan gagah. Kalau pria setengah tua itu membawa sebatang pedang di punggung, pemuda itu membawa sebatang pedang di pinggang dan kedua orang itu jelas merupakan orang-orang yang datang bukan dengan maksud baik. Maka, terdorong oleh rasa duka dan marah kehilangan enam orang pelayan yang tewas, dara ini tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah melayang ke depan, agak tinggi dan membuat gerakan jungkir balik tiga kali baru tubuhnya itu hinggap dengan ringannya di depan dua orang pria itu yang memandang dengan kagum.
"Gin-kang yang bagus!! Pria setengah tua itu berseru memuji.
Sementara itu, Bu Ci Sian sudah bangkit berdiri dan wanita inilah yang lebih dulu mengenal pria itu.
"Hong Bu....! Dia Hong Bu, Sim Hong Bu....!! Dan sekali meloncat, tubuh nyonya inipun melayang sampai ke depan dua orang pria itu, di sisi puterinya yang memandang ragu mendengar seruan ibunya. Kam Hong juga melangkah keluar menyambut dengan wajah berseri.
Kini diapun mengenal pria yang gagah itu, dan diapun terkenang akan masa lalu, belasan tahun yang lalu. Pria itu bernama Sim Hong Bu, seorang ahli pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang amat lihai dan boleh dibilang masih seketurunan dalam ilmu silat dengannya, karena Ilmu Pedang Naga Sihunan berasal dari sumber yang sama dengan Ilmu Pedang Suling Emas (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman). Bukan itu saja. Sim Hong Bu dahulu, di masa mudanya, pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian.
Ketika masih gadis, Bu Ci Sian menjatuhkan hati banyak sekali pemuda-pemuda pilihan, di antaranya Jenderal Muda Kao Cin Liong dan pendekar pedang Sim Hong Bu ini. Akan tetapi akhirnya Bu Ci Sian memilih yang dekat, memilih dia yang menjadi suhengnya sendiri walaupun usianya belasan tahun lebih tua. Selain pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian, juga Hong Bu inilah yang merupakan lawan paling tangguh di antara semua jagoan yang pernah dilawannya.
Sian Hong Bu inilah yang paling gigih melawan Ilmu Pedang Suling Emas, merupakan lawan yang seimbang, dan sungguh tidak mudah mengalahkan Hong Bu pada belasan tahun yang lalu itu. Mereka pernah saling gempur, bertanding mati-matian, kemudian berpisah sebagai sahabat. Dan kini, setelah belasan tahun berpisah dan tidak saling memberi kabar, tahu-tahu pendekar itu muncul pada saat merekaberkabung atas kematian enam orang pelayan atau murid itu.
Pendekar bernama Sim Hong Bu itu menjura kepada Bu Ci Sian.
"Nona Bu Ci Sian.... eh, maaf, nyonya Kam Hong, selamat bertemu! Aku berani bertaruh bahwa nona ini tentulah puterimu!! Sikap Sim Hong Bu nampak gembira sekali.
Kam Hong yang sudah tiba pula di situ tersenyum.
"Saudara Sim Hong Bu, apa kabar? Dan akupun berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah puteramu!!
Sim Hong Bu tertawa bergelak, kemudian menepuk pundak pemuda di sebelahnya.
"Houw-ji (anak Houw), lihatlah baik-baik. Inilah keluarga yang sering kuceritakan kepadamu. Inilah Kam-taihiap yang perkasa, Pendekar Suling Emas yang tanpa tanding, dan isterinya yang lihai pula!!
Pemuda itu adalah putera tunggal Sim Hong Bu. Pendekar ini kemudian menikah dengan Cu Pek In, puteri dari gurunya sendiri yang bernama Cu Han Bu. Dia bersama isteri dan anak mereka itu tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Himalaya, di mana tinggal keluarga Cu yang merupakan keluarga sakti itu. Dan di sini pula Sim Hong Bu menggembleng putera tunggalnya yang kini diajaknya melawat ke timur mengunjungi bekas lawan, juga bekas sahabat yang menikah dengan wanita yang menjadi cinta pertamanya itu. Ketika dia diperkenalkan kepada keluarga Kam yang memang sudah seringkali diceritakan oleh ayahnya, Sim Houw memberi hormat.
"Saya Sim Honw memberi hormat kepada Kam-locianpwe dan....!
"Wah, anak baik. Kalau engkau putera saudara Sim Hong Bu, jangan menyebut locianpwe kepadaku. Sebut saja paman!! kata Kam Hong gembira.
Pemuda itu kembali menjura.
"Terima kasih, paman Kam Hong dan bibi!!
Bu Ci Sian memandang kepada pemuda itu sambil tersenyum. Ia merasa suka kepada pemuda yaug gagah ini, yang mengingatkan ia akan keadaan Sim Hong Bu di waktu mudanya. Sejak kecil Sim Hong Bu adalah seorang pemburu binatang buas di hutan sehingga sikapnya gagah dan jantan. Demikian pula sikap pemuda yang menjadi puteranya ini.
"Sim Houw, apakah seperti ayahmu, engkau juga suka berburu binatang?! tanya nyonya ini sambil tersenyum.
"Karena daerah tempat tinggal kami penuh dengan hutan-hutan, maka saya memang kadang-kadang suka pergi berburu, bibi,! jawab Sim Houw sederhana.
"Kam-taihiap,! kata Hong Bu yang memang sejak dahulu menyebut taihiap kepada Kam Hong.
"Maafkan kami yang datang mengganggu di waktu malam. Akan tetapi kami tadi menjadi ragu-ragu melihat adanya perkabungan di sini. Enam buah peti jenazah! Apakah yang telah terjadi dan siapakah yang meninggal dunia?!
"Mereka adalah enam orang muridku yang tewas di tangan penjahat-penjahat yang datang menyerbu tempat tinggal kami. Engkau tentu masih ingat kepada Hek-i Mo-ong?!
"Apa? Iblis tua itu yang datang menyerbu?! Sim Hong Bu bertanya kaget.
"Dia dan Jai-hwa Siauw-ok murid Im-kan Ngo-ok, bersama dua orang murid mereka.!
"Ahhh....!! Sim Hong Bu berseru kaget dan marah.
"Dan di mana mereka? Tentu taihiap telah dapat memukul mundur mereka.!
Kam Hong menarik napas panjang.
"Dua orang datuk sesat itu tewas dan murid-murid mereka melarikan diri. Mari, mari kita bicara di dalam, saudara Hong Bu,! ajak Kam Hong.
Sim Hong Bu dan Sim Houw lalu mengikuti Kam Hong sekeluarga setelah Bu Ci Sian memperkenalkan Kam Bi Eng yang segera memberi hormat kepada "paman Sim Hong Bu!. Ayah dan anak yang datang sebagai tamu itu lalu memasang hio di depan enam buah peti jenazah. Kemudian mereka duduk di ruangan depan sambil bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman-pengalaman mereka semenjak berpisah belasan tahun yang lalu.
"Tempat tinggal kalian terlalu jauh, di Himalaya, maka kami tidak pernah mendapat kesempatan untuk berkunjung ke tempat sejauh itu,! kata Bu Ci Sian kepada tamunya.
"Baik sekali kalian datang berkunjung, kami merasa gembira dan berterima kasih.
Sim Hong Bu menarik napas panjang.
"Bertahun-tahun kami seperti hidup terasing di Lembah Gunung Naga Siluman dan baru sekarang saya mendapat kesempatan mengajak anak kami memperluas pengetahuan dan menjelajah ke timur. Di dalam perjalanan menuju ke sini, saya mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa Kam-taihiap telah mempunyai seorang puteri. Maka ketika puteri kalian tadi muncul, saya dapat mengenalnya, apalagi karena wajahnya mirip benar dengan ibunya.
"Dan puteramu mirip sekali dengan ayahnya,! kata Bu Ci Sian.
"Kam-taihiap dan lihiap, begitu melihat puteri kalian, saya merasa terharu dan timbul suatu niat dalam hati, bahkan maksud hati ini pernah saya bicarakan dengan isteri saya sebelum saya berangkat.!
"Kenapa isterimu tidak ikut datang berkunjung?! Bu Ci Sian bertanya seperti baru teringat.
"Ibunya Houw-ji pasti akan datang berkunjung kalau maksud hati kami ini mendapatkan sambutan baik dari Kam-taihiap berdua.!
"Saudara Sim Hong Bu, katakanlah terus terang, apakah maksud baik kalian itu?! Kam Hong sudah dapat menduga, akan tetapi dia menginginkan kepastian maka dia mengajukan pertanyaan itu.
"Baiklah, saya akan berterus terang saja. Dan kehadiran anak-anak kita di sinipun saya kira tidak menjadi halangan, karena bukankah kita senantiasa menghargai keterbukaan dan kejujuran? Kam-taihiap, kita menikah dalam waktu yang tidak begitu jauh selisihnya, bahkan mungkin saya lebih dahulu beberapa bulan. Mengingat bahwa setahun kemudian terlahir Houw-ji, maka saya yakin Houw-ji lebih tua dari puteri taihiap berdua. Nah, maksud hati kami adalah untuk mengharapkan persetujuan Kam-taihiap berdua, kalau berkenan di hati, kami ingin sekali melihat anak kami yang bodoh dapat berjodoh dengan puteri taihiap yang mulia.!
Hening sejenak, keheningan yang terasa seperti mencekik leher Bi Eng. Sebagai seorang dara remaja, biarpun sejak kecil ia digembleng menjadi orang gagah yang berpikiran terbuka, namun kalau orang-orang membicarakan tentang perjodohannya, tentu saja ia merasa risi, rikuh dan malu. Akhirnya, keheningan yang menyambung akhir ucapan Sim Hong Bu yang jujur itu, begitu mencekam hatinya dan iapun tanpa bicara bangkit berdiri perlahan-lahan, dengan kepala tunduk lalu pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam kamarnya!
Adapun Sim Houw, pemuda remaja itu, juga tidak berani bergerak dari tempat duduknya, menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ayah dan ibunya tidak pernah mengajaknya bicara tentang perjodahan, apalagi tentang maksud hati ayahnya yang berkunjung ke rumah keluarga Kam yang ternyata adalah untuk membicarakan perjodohannya atau melamar gadis orang!
Kemudian terdengar Kam Hong menarik napas panjang, disusul suara ketawanya yang lembut.
"Aih, saudara Sim, sungguh pernyataanmu tadi seperti serangan mendadak yang membuat kami terkejut dan bungkam. Betapapun juga, kami merasa amat berterima kasih, bangga dan girang bahwa engkau mempunyai niat yang demikian mulia terhadap diri puteri kami yang bodoh. Karena pinanganmu ini datangnya terlalu tiba-tiba, dan untuk mengambil keputusan kami perlu mengadakan perundingan dalam keluarga lebih dahulu, maka harap engkau suka bersabar menanti. Tunggulah sampai kami selesai mengurus penguburan jenazah-jenazah ini, baru kami akan memberi jawaban dan keputusan.!
Sim Hong Bu cepat bangkit dan menjura dengan hormat.
"Maaf.... harap ji-wi maafkan karena memang aku telah tergesa-gesa dan lancang sekali. Baik, tentu saja aku harus tahu diri, lupa bahwa sekarang bukan saatnya yang baik. Saya akan menanti dengan sabar, Kam-taihiap.!
"Akan tetapi, kalian tinggal saja di sini,! kata Bu Ci Sian.
"Benar, tinggallah di sini selama beberapa hari,! sambung suaminya.
Hong Bu tidak menolak dan ayah bersama puteranya ini tinggal di rumah gedung tua itu, bahkan membantu pihak tuan rumah ketika mengurus penguburan enam buah peti jenazah. Pekerjaan ini dibantu pula oleh para penduduk yang berdekatan. Selama itu, biarpun seringkali jumpa, Bi Eng dan Sim Houw tidak pernah bicara. Bi Eng biasanya lincah jenaka dan gembira, pandai bicara, akan tetapi karena para orang tua membicarakan perjodohannya dengan pemuda ini, ia menjadi malu dan tidak berani mendahului meregur pemuda itu. Sebaliknya, Sim Houw memang seorang pemuda yang pendiam dan canggung kalau berhadapan dengan wanita, maka mereka hanya saling bertukar pandang saja sekilas tanpa saling menegur kecuali mengangguk tanda hormat.
Kam Hong selalu membicarakan perkara perjodohan itu dengan isterinya. Mereka sebetulnya merasa suka melihat putera Hong Bu itu. Mereka mengenal ayah pemuda itu sebagai seorang pendekar perkasa, juga ibunya adalah keturunan keluarga Cu yang sakti. Sim Houw adalah keturunan orang-orang gagah dan pemuda itupun cukup tampan dan bersikap baik, pantas kalau menjadi suami Bi Eng. Akan tetapi, mereka harus berhati-hati agar jangan sampai salah memilih calon suami puteri tunggal mereka. Oleh karena itu, setelah upacara penguburan para jenazah itu selesai, suami isteri ini mengadakan perundingan dan memanggil puteri mereka.
Keluarga ini selalu bersikap bebas dan dalam hal inipun mereka akan bersikap terbuka kepada puteri mereka.
"Eng-ji,! kata ibunya yang bertugas menyampaikan urusan itu kepada puteri mereka.
"seperti telah kau dengar sendiri, keluarga Sim datang meminangmu. Engkau telah melihat sendiri pemuda itu dan kami dapat menerangkan bahwa keluarga Sim adalah keluarga gagah perkasa dan ayah pemuda itn sejak dahulu telah menjadi sahabat baik kami. Betapapun juga, ayah ibumu ingin mengetahui isi hatimu karena engkau lah yang akan menjalani dan urusan pernikahan adalah urusan yang menyangkut diri selamanya. Bagaimana pendapatmu, Eng-ji, setujukah engkau kalau menjadi calon isteri Sim Houw?!
Biarpun pada waktu itu, belum dikenal orang tentang kebebasan memilih jodoh sendiri, dan hampir setiap perjodohan yang terjadi selalu terjadi atas pilihan orang tua masing-masing bahkan jarang ada pemuda atau pemudi yang dapat mengenal lebih dahulu siapa calon jodohnya dan tahu-tahu saling berjumpa di waktu upacara pernikahan, namun keluarga Kam memang menganut sikap bebas dalam kehidupan keluarga mereka.
Bagaimanapun juga, tentu saja pengaruh tradisi yang sudah mengakar dan menjadi kebiasaan dan kesopanan umum itu tidak dapat terlepas begitu saja, maka Kam Hong dan Ci Sian juga terpengaruh dan mereka lehih condong untuk menilai dan memilih calon jodoh puteri mereka, walaupun mereka kini menyerahkannya kepada penilaian Bi Eng sendiri. Di lain pihak, juga Bi Eng sebagai seorang dara muda yang hidup di jaman itu, tidak terlepas dari rasa kikuk dan malu untuk membicarakan urusan perjodohannya. Pada jaman itu, hubungan antara pria dan wanita merupakan suatu hal yang dianggap rahasia dan amat memalukan kalau dilihat atau didengar orang lain, sedangkan urusan pernikahan adalah urusan hubungan antara pria dan wanita, maka setiap orang, terutama gadisnya, tentu akan merasa malu sekali kalau diajak berunding tentang pernikahannya.
Bi Eng yang baru berusia lima belas tahun itu sebetulnya belum pernah berpikir tentar perjodohan, maka ketika tempo hari mendengar pinangan yang diajukan tamunya, ia tidak kuat mendengar terus saking malunya, dan ia melarikan diri bersembunyi ke dalam kamarnya. Kini, mendengar pertanyaan ibunya, iapun menunduk dan mukanya berobah merah sekali. Ia menjadi bingung karena sama sekali belum pernah membayangkan bahwa ia akan dilamar orang, akan menjadi isteri orang.
Harus diakuinya bahwa pemuda yang akan dijodohkan dengannya itu cukup ganteng dan gagah, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia akan suka menjadi isteri pemuda itu. Kini, ia merasa bingung harus berkata apa. Untuk menolak begitu saja tentu dia tidak sampai hati kepada orang tuanya, karena bukankah urusan jodoh adalah urusan orang tua dan anak yang berbakti tinggal mentaatinya saja? Demikianlah anggapan umum para muda pada jaman itu. Menyimpang dari anggapan ini akan dianggap hal yang amat tidak patut sekali! Maka, seperti sikap seorang gadis sopan yang diharapkan semua orang pada jaman itu, iapun menunduk ketika menjawab lirih.
"Aku.... aku tidak tahu, ibu.... hal ini.... terserah kepada ayah dan ibu saja!! setelah berkata demikian, Bi Eng lalu pergi meninggalkan orang tuanya, keluar dari rumah melalui pintu belakang dan memasuki kebun belakang yang luas. Hatinya bingung dan perasaannya masih terguncang oleh pertanyaan ibunya tadi. Selama ini belum pernah ia berpikir tentang perjodohan, maka datangnya pertanyaan itu sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan membingungkan hatinya.
"Ah, ia masih terlalu muda untuk dapat mengambil keputusan tentang perjodohannya sendiri.! kata Ci Sian kepada suaminya.
Suaminya mengangguk.
"Akan tetapi kita sudah menanyakan pendapatnya sehingga kelak ia tidak akan dapat menuduh kita melakukan pemaksaan dalam hal perjodohannya. Dan sebagai seorang anak yang amat baik ia telah menyerahkan urusan itu kepada kita untuk mengambil keputusan.!
"Apakah ini berarti bahwa engkau akan menerima begitu saja pinangan Sim Hong Bu?! isterinya bertanya.
Suaminya menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
"Memang, dilihat begitu saja tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak menerima pinangan Hong Bu. Dia seorang gagah perkasa yang sudah kita kenal benar wataknya, dan isterinyapun keturunan keluarga Cu yang perkasa. Pemuda itu sendiri kelihatan tidak ada cacatnya dan cukup gagah. Betapapun juga, kita harus berhati-hati sekali memilihkan jodoh anak kita. Akupun tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, maka aku mengajakmu berunding dan kitapun tadi sudah menanyakan pendapat Eng-ji sendiri.!
Suami isteri itu termenung, masih diliputi kebimbangan walaupun mereka berdua memang sudah condong sebelumnya untuk menerima pinangan itu dengan girang karena merasa bahwa puteri mereka telah mendapatkan jodoh yang cocok.
Setelah suami isteri itu termenung beberapa lamanya, akhirnya Ci Sian memperoleh suatu hasil pemikiran yang dianggapnya baik sekali.
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang kita harus berhati-hati, dan kurasa ada jalan yang amat baik. Kita berdua memang sudah merasa cocok, kalau anak kita menjadi mantu Sim Hong Bu. Bagaimana kalau kita menerima pinangan mereka akan tetapi menangguhkan pernikahannya sampai satu dua tahun lagi? Pertama, mengingat Bi Eng sekarang baru berusia lima belas tahun dan ke dua, penangguhan ini dapat kita pergunakan sebagai waktu untuk melakukan penyelidikan. Kita amati bagaimana tingkah laku calon mantu itu agar hati kita menjadi lega dan puas.!
Kam Hong menjawab hati-hati.
"Usulmu itu memang baik sekali, akan tetapi kurasa tidak mudah untuk dilaksanakan. Engkau tahu, keluarga itu tinggal jauh sekali di Pegunungan Himalaya. Dalam jarak sejauh itu, bagaimana mungkin kita akan dapat mengamati kelakuan calon mantu kita? Tidak, kita harus mencari jalan lain yang lebih baik.!
"Jalan lain bagaimana?!
"Aku mempunyai pikiran yang kukira baik sekali. Ingat, ilmu yang kita warisi, yaitu Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, merupakan lawan paling seimbang dan juga pasangan yang amat baik dari ilmu pedang warisan mereka, yaitu Koai-liong Kiam-sut. Kurasa Sim Houw telah memarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut, sedangkan anak kitapun sudah mewarisi Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut kita, walaupun belum sempurna benar dan tinggal memperdalam dengan latihan saja. Untuk dapat menilai keadaan Sim Houw, satu-satunya jalan adalah kalau dia tinggal bersama kita di sini.!
"Ehh? Bagaimana mungkin? Tidak pantas kalau dia tinggal dulu di sini sebelum menjadi suami Bi Eng....!
"Bukan begitu maksudku. Biarlah perjodohan itu kita ikat, akan tetapi masa pertunangan itu kita manfaatkan, baik juga sebagai syarat pernikahan. Biar Eng-ji mereka didik dan diajari Koai-liong Kiam-sut, sedangkan Sim Houw kita didik dan kita ajari Kim-siauw Kiam-sut. Dengan demikian, kita memperoleh dua keuntungan. Pertama, dengan menjadi murid kita beberapa tahun lamanya, tentu saja kita akan dapat mengenal wataknya yang sebenarnya dan kita dapat menilai apakah dia memang pantas menjadi jodoh anak kita. Dan ke dua, dengan penukaran ilmu itu, tentu anak kita akan menguasai dua ilmu itu dan menggabungnya sehingga ia akan menjadi seorang yang amat tangguh, lebih tangguh daripada kita. Bagaimana?!
Bu Ci Sian termenung. Usul suaminya itu sungguh baik sekali, akan tetapi kalau ia membayangkan harus berpisah dari puterinya selama beberapa tahun, hatinya merasa sedih. Agaknya Kam Hong dapat mengetahui isi hati isterinya. Dia memegang lengan isterinya dengan mesra lalu berkata, suaranya halus dan penuh kasih sayang.
"Isteriku, engkau tahu bahwa demi cinta kita kadang-kadang harus berani berkorban. Aku sendiripun tentu saja merasa berat harus berpisah dari puteri kita yang kita cinta. Akan tetapi, ingatlah bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Sekali waktu, pasti kita akan berpisah dari orang-orang yang kita cinta, termasuk Bi Eng. Akan tetapi, biarpun kita merasa tidak senang kalau harus berpisah dari anak kita, kita harus ingat bahwa perpisahan sementara ini adalah demi kebaikan anak yang kita cinta. Maka, demi anak kita, perasaan kita sendiri haruslah dikesampingkan. Setujukah engkau?!
Bu Ci Sian menghela napas panjang. Tentu saja, demi kebaikan Bi Eng sendiri, mau tidak mau ia harus menyetujui usul suaminya ini. Bagaimanapun juga, amat baik kalau Bi Eng memperdalam ilmunya dengan menguasai Koai-liong Kiam-sut. Ilmu yang amat tinggi dan penting untuk kehidupan puterinya. Bukankah ia dan suaminya sendiri, walaupun sudah memiliki kepandaian tinggi, tidak luput daripada bencana ketika Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya muncul? Dan Bi Eng pernah hendak dijodohkan oleh iblis itu dengan muridnya! Biarpun kemudian ternyata bahwa murid iblis itu adalah cucu Pendekar Super Sakti, namun sebagai murid iblis itu tentu saja ia tidak setuju kalau menjadi suami Bi Eng. Putera Sim Hong Bu jauh lebih baik dibandingkan dengan murid iblis itu. Maka iapun mengangguk setuju.
Tiba-tiba suami isteri ini terkejut mendengar suara angin dan lengkingan-lengkingan nyaring diseling suara mengaum dan berdesing. Lengkingan itu adalah suara senjata suling anak mereka, dan hal itu berarti bahwa Bi Eng sedang berkelahi mempergunakan sulingnya! Seperti disengat binatang berbisa karena teringat akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarga mereka dengan kemunculan datuk-datuk sesat, suami isteri perkasa ini sudah meloncat dan seperti berlumba saja mereka lari menuju ke arah datangnya suara itu, yalah dari kebun belakang.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Bu Ci Sian melihat bahwa puterinya itu sedang bertanding mati-matian melawan Sim Houw, pemuda yang direncanakan akan menjadi mantunya itu! Tentu saja ia marah dan hendak meloncat dan membentak, akan tetapi lengannya dipegang Kam Hong dan ketika isteri itu menoleh kepada suaminya, ia melihat suaminya memberi tanda agar ia diam saja.
"Agaknya mereka sedang berlatih.! bisik Kam Hong. Ci Sian memandang dengan mata terbelalak khawatir. Ia sama sekali tidak melihat mereka sedang berlatih, akan tetapi karena perkelahian yang nampak sungguh-sungguh itu agaknya dikuasai oleh Bi Eng yang lebih banyak menyerang dan mendesak dengan sulingnya dibandinakan dengan Sim Houw yang lebih banyak mengelak atau menangkis dengan pedangnya, maka iapun diam saja.
Apakah yang telah terjadi antara Sim Houw dan Bi Eng? Seperti kita ketahui, ketika ia diajak bicara tentang perjodohan oleh ayah ibunya, Bi Eng menyerahkan urusan itu kepada orang tuanya dan karena merasa risi, canggung dan malu, iapun meninggalkan orang tuanya dan memasuki kebun belakang rumahnya. Kebun ini luas, terdapat banyak pohon buah, sayur dan bunga-bunga yang dirawatnya sendiri dibantu oleh para pelayan yang kini telah tewas semua.
Melihat kebunnya, Bi Eng teringat kepada para pembantu yang juga merupakan murid-murid ayahnya dan hatinya bersedih. Apalagi teringat akan pembicaraan ayah ibunya tadi, hatinya menjadi semakin sedih. Ia belum mengenal Sim Houw dan ia tidak tahu apakah ia suka atau tidak menjadi isteri pemuda itu. Ia lebih suka kepada Ceng Liong, walaupun bukan suka sebagai isterinya. Masih terlalu jauh memikirkan hal itu. Ia suka kepada Ceng Liong yang dianggapnya amat baik kepadanya, juga seorang pemuda gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, cucu Pendekar Super Sakti pula!
Tentang Sim Houw, ia tidak tahu sama sekali. Pernah ayah ibunya bercerita tentang Sim Hong Bu, yang menurut ccrita ayahnya merupakan seorang pendekar gagah perkasa yang kepandaiannya setingkat dengan ayahnya. Bahkan menurut ibunya, pernah terjadi pertandingan antara ayahnya dan Sim Hong Bu dan ayahnya hanya menang tipis saja. Menurut orang tuanya, keluarga Sim mempunyai ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang masih sesumber dengan Kim-siauw Kiam-sut.
Hal ini membuat hatinya penasaran. Kalau begitu, keluarga Sim adalah musuh, atau setidaknya juga saingan! Mengapa sekarang ia akan dijodohkan dengan puteranya? Pikiran ini membuat hati dara remaja itu menjadi bimbang dan penasaran. Keputusan orang tuanya untuk menjodohkannya dengan putera keluarga Sim apakah tidak akan diartikan orang bahwa keluarga Kam merasa takut terhadap keluarga Sim sehingga ingin mengakhiri persaingan itu dengan perjodohan?
Api penasaran dan kemarahan yang mulai bernyala ini menjadi berkobar ketika tiba-tiba ia melihat seorang pemuda berjalan-jalan di dalam tamannya itu. Pemuda itu adalah Sim Houw. Karena ia sedang merasa penasaran dan marah, timbul tidak senangnya melihat pemuda itu dan di dalam pandangan mata yang dipengaruhi perasaan tidak seoang itu. Sim Houw kelihatan angkuh dan congkak! Hatinya menjadi semakin panas. Pemuda yang membawa pedang di pinggang itu kelihatan seperti memamerkan pedangnya!
Ketika Sim Houw melihat Bi Eng, mukanya berobah merah, akan tetapi dia melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.
"Selamat pagi, nona Kam. Maafkan, karena mengganggu, aku telah berjalan-jalan di dalam kebunmu yang indah ini tanpa ijin.!
Hemm, ternyata pemuda pendiam ini pandai juga bicara, pikir Bi Eng, akan tetapi perasaan marah dan penasaran membuat ia beranggapan bahwa sikap pendiamnya tempo hari itu tentu hanya palsu saja untuk menarik perhatian!
"Pedang di pinggangmu itu tentulah Koai-liong Po-kiam, bukan?! tanyanya, tanpa memperdulikan salam dan ucapan orang.
Sim Houw menunduk dan memandang ke arah pedangnya, merabanya sambil menahan senyum dan menggelengkan kepala.
"Bukan, nona. Koai-liong Po-kiam adalah senjata pusaka milik ayahku, pedangku ini biasa saja.!
"Akan tetapi engkau tentu telah mewarisi semua kepandaian ayahmu dan pandai memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut!!
"Memang aku pernah mempelajari ilmu silat ayah dan ibu, akan tetapi tidak berani aku mengatakan pandai,! jawab Sim Houw sederhana. Akan tetapi karena Bi Eng sedang marah, kesederhanaan jawaban itu dianggap sebagai kepura-puraan yang menyembunyikan kesombongan.
"Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya di dunia ini, bukan?!
"Aku tidak beranggapan begitu, nona.!
"Tak perlu berpura-pura. Keluarga Sim sangat membanggakan ilmu pedang itu dan aku ingin sekali merasakan seudiri sampai bagaimana kehebatannya!! Berkata demikian Bi Eng mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang suling emas kecil, panjangnya tidak sampai dua kaki, besarnya hanya seibu jari dan berlubang-lubang seperti sebatang suling biasa.
Sim Houw membelalakkan matanya.
"Ah, nona Kam, mana aku berani?! katanya bingung.
"Tak usah berpura-pura! Orang tua kita pernah saling bertanding, kini apa salahnya kalau kita melanjutkan dan menguji kehebatan ilmu masing-masing? Ingin kulihat apakah Koai-liong Kiam-sut sehebat Kim-siauw Kiam-sut kami. Cabutlah pedangmu!!
"Aku.... aku tidak berani, nona. Ayah akan marah....!
"Pengecut! Kau bukan anak kecil dan mau atau tidak, aku tetap akan menyerangmu!!
"Wuuuuttt.... singggg....!! Suling itu meluncur dan mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar di atas kepala Sim Houw yang cepat mengelak tadi. Pemuda yang pada dasarnya pendiam inipun memiliki keberanian besar dan hatinya keras. Dimaki pengecut, mukanya berobah pucat dan dia tidak mau bicara lagi. Ketika suling yang ternyata amat hebat itu berkelebat mendesaknya, pemuda inipun terpaksa mencabut pedangnya menangkis.
Bi Eng semakin penasaran karena jurus-jurus serangannya dapat dielakkan atau ditangkis lawan, maka ia melanjutkan serangannya semakin dahsyat. Sim Houw terus melindungi diri dan hanya membalas dengan serangan kalau dia betul-betul terdesak. Serangan balasan itu hanya untuk menahan hujan serangan lawan. Maka kini terdengarlah suara suling yang melengking-lengking dan suara pedang di tangan Sim Houw yang mengeluarkan suara mengaum seperti suara singa marah.
Kam Hong dan Ci Sian melihat pertandingan yang amat menarik itu dan diam-diam Kam Hong melihat kenyataan bahwa sesungguhnya tingkat kepandaian pemuda itu masih menang dibandingkan Bi Eng. Bukan karena ilmu silatnya lebih tinggi, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu menang matang dalam latihan, juga memiliki tenaga yang lebih kuat. Hati pendekar ini merasa puas, juga girang melihat kenyataan betapa pemuda itu bertanding dengan hati-hati dan selalu mengalah.
Hal ini menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki kelembutan hati, juga kegagahan yang membuat dia berpantang mengalahkan seorang dara remaja dalam suatu perkelahian latihan. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya sama sekali bukan berlatih, melainkan dengan sungguh hati menyerang pemuda itu untuk mengalahkannya!
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dekat dua orang yang bertanding itu muncul Sim Hong Bu.
"Tahan....! Houw-ji.... apakah engkau suaah gila? Berani engkau kurang ajar terhadap nona rumah?! bentak Sim Hong Bu dengan marah, mukanya merah dan matanya melotot memandang puteranya.
Sim Houw cepat meloncat mundur dan dengan gerakan kilat, tahu-tahu pedangnya sudah berada kembali di dalam sarung pedang dan diapun menunduk.
"Aku tidak berani, ayah....! katanya lirih. Jawaban ini cukup melegakan hati ayahnya dan Hong Bu kini menoleh kepada dara itu. Tadi dia melihat betapa puteranya mengalah dan betapa dara itu menyerang dengan sungguh hati, maka timbul kekhawatirannya dan mengira bahwa tentu puteranya melakukan suatu kesalahan maka dara itu menjadi marah.
Kam Hong dan isterinya juga sudah meloncat keluar dari tempat mereka menonton. Ci Sian segera mendekati puterinya dan menegur.
"Bi Eng, apa yang terjadi? Kenapa kau menyerang Sim Houw?!
Wajah dara itu menjadi merah. Dasar ia masih remaja dan berdarah panas, ia tidak merasa betapa pemuda itu tadi banyak mengalah dan ia mengira bahwa sulingnya dapat mengungguli pedang lawan sehingga biarpun ia belum dapat mengalahkan Sim Houw, setidaknya ia dapat mendesaknya dan ini berarti bahwa Kim-siauw Kiam-sut lebih lihai daripada Koai-liong Kiam-sut!
Akan tetapi kini ia ditegur ibunya. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia sengaja menantang pemuda itu, bahkan memaksa pemuda itu mengadu ilmu pedang. Dan ia merasa takut kepada ayahnya yang tentu akan marah kalau tahu akan tantangannya. Maka kini ia menjawab.
"Ibu, kami hanya berlatih. Dia.... dia mengajakku berlatih maka kulayani!!
"Houw-ji, benarkah kalian tadi sedang berlatih?! Sim Hong Bu tak danat menahan hatinya untuk bertanya dengan penuh harapan karena dia akan merasa lega kalau dua orang muda itu tadi hanya berlatih, bukan berkelahi sungguh-sungguh yang tentu akan membuat keadaan menjadi tidak enak sekali. Dia datang untuk melamar gadis itu sebagai calon isteri Sim Houw, maka akan repotlah hatinya kalau mereka berdua itu tadi berkelahi sungguh-sungguh.
Sim Houw melirik ke arah Bi Eng yang memandang kepadanya dengan senyum mengejek. Dia mengangguk.
"Benar, ayah, kami hanya berlatih, dan nona Kam telah memberi banyak pelajaran kepadaku.!
Mendengar ucapan ini, Bi Eng merasa bangga dan girang sehingga kedua pipinya merah berseri, matanya bersinar dan hidungnya kembang kempis. Ayahnya melihat hal ini dan diapun tertawa. Pendekar Kam Hong tertawa bergelak menghampiri puterinya.
"Anak bodoh! Kau kira engkau unggul dalam latihan tadi, ya? Hayo lekas mengucapkan terima kasih kepada kakakmu Sim Houw karena dia telah banyak mengalah dan memberi pelajaran kepadamu!!
Lenyaplah seri wajah dara itu, alisnya berkerut. Kegembiraannya lenyap dan berbalik ia menjadi marah. Benarkah pemuda itu tadi mengalah? Kalau begitu, dia mempermainkan aku dan diam-diam mentertawakan aku, pikirnya jengkel dan ketika ia melirik, sinar matanya panas mengejutkan Sim Houw.
"Locianpwe, nona Kam tadi benar-benar hebat ilmu sulingnya, saya merasa kewalahan....!
Kam Hong saling pandang dengan Sim Hong Bu dan keduanya tertawa, sama-sama maklum bahwa Sim Houw sengaja melindungi muka Bi Eng agar jangan sampai menjadi malu.
"Sudahlah, mari kita semua masuk ke dalam. Saudara Sim, kami ingin bicara denganmu sebagai jawaban atas maksud kedatanganmu.!
Mereka lalu masuk ke dalam dan duduk di dalam ruangan dalam. Dua orang pelayan baru yang diambil dari dusun terdekat, lalu menghidangkan arak dan makanan. Kemudian mereka disuruh mundur dan Kam Hong lalu berkata kepada Sim Hong Bu yang mendengarkan dengan hati penuh harapan.
"Saudara Hong Bu, kami sekeluarga mengulang pernyataan terima kasih kami kepada saudara yang telah mengajak kami untuk mengikat tali kekeluargaan. Pinangan saudara sangat kami hargakan dan dapat kami terima dengan baik, akan tetapi....!
Wajah Sim Hong Bu yang tadinya berseri itu kini berobah dan timbul kerut-merut di antara kedua alisnya karena ucapan tuan rumah itu seperti akan mengusir harapan yang sudah membesar tadi.
"Akan tetapi....?! Dia mengulang ketika Kam Hong menghentikan kata-katanya.
Kam Hong tersenyum.
"Jangan salah mengerti, saudara Sim. Kami mempunyai usul atau permintaan, akan tetapi usul kami ini adalah untuk kebaikan kedua pihak.!
Sim Hong Bu menggeser kursinya, bangkit dan memberi hormat.
"Saya percaya akan kebijaksanaan Kam-taihiap, katakanlah apa yang taihiap kehendaki dan saya tentu akan mempertimbangkannya dengan seksama.!
"Kami berdua sudah sepakat menerima pinanganmu dan kami akan merasa gembira kalau puteri kami kelak menjadi jodoh puteramu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa puteri kami baru berusia lima belas tahun, dan kamipun melihat betapa puteramu juga belum berusia dewasa benar, kami minta agar pernikahan antara mereka ditangguhkan.!
"Bagus! Memang itupun menjadi keinginan kami berdua ayah dan ibu Sim Houw. Kami sekeluarga sudah merasa terhormat dan berbahagia andaikata pinangan kami diterima, sedangkan mengenai upacara pernikahan, kami serahkan kepada taihiap berdua, kapan sekiranya waktu yang paling tepat. Kamipun tidak tergesa-gesa dan memang benar bahwa putera kamipun baru berusia enam belas tahun, jadi belum matang benar.!
"Syukurlah kalau begitu, dalam hal ini kita sudah ada kecocokan. Sekarang kami hendak menyampaikan keinginan kami. Sebelum tiba saatnya, biarlah urusan jodoh ini dirahasiakan dahulu, belum terdapat pengikatan apapun, dan kami minta agar saudara Sim suka mendidik puteri kami, mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepadanya....!
"Ahh....!! Sim Hong Bu terkejut setengah mati mendengar ini. Mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain merupakan pantangan besar dan tentu takkan diperkenankan oleh para gurunya. Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pusaka keluarga Cu yang dikuasai olehnya seorang, bahkan guru-gurunya, keluarga Cu tidak ada yang mampu menguasai ilmu itu. Juga pedang Koai-liong Po-kiam menjadi miliknya.
Ilmu itu hanya boleh diwariskan kepada keturunannya dan Sim Houw sudah pula mempelajarinya dengan baik. Kini, mendengar permintaan Kam Hong agar dia menurunkan ilmu itu kepada Bi Eng calon mantunya, dia menjadi ragu-ragu dan terkejut juga. Ada apakah di balik permintaan aneh ini? "Kalau boleh saya bertanya, mengapa Kam-taihiap mengajukan syarat seperti itu?!
Suling Emas Naga Siluman Eps 10 Jodoh Rajawali Eps 51 Jodoh Rajawali Eps 63