Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 51


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 51



Akan tetapi sebelum dia meninggalkan rombongan itu, dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak kurang dari seribu orang jumlahnya, nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan itu adalah pasukan yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah bersekongkol pula dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan puteranya bersama Syanti Dewi. Maka Tek Hoat lalu bergegas mendahului mereka menuju ke Bhutan, melintasi perbatasan yang terdiri dari gunung-gunung. Selagi dia berjalan cepat melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada jalan mendaki, tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Hek-tiauw Lo-mo yang muncul keluar dari balok pohon besar.

   "Ha-ha-ha, pengkhianat muda, kiranya kita dapat saling jumpa di sini!"

   Kata kakek itu sambil memandang dengan penuh ejekan. Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia sedang tergesa-gesa dan dia tidak sudi banyak bicara dengan kakek iblis itu.

   "Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku?"

   Bentaknya.

   "Ha-ha-ha, kita sama-sama petualang. Aku mencari puteriku. Apakah engkau melihatnya?"

   "Andaikata aku melihatnya juga, apa kau kira aku sudi memberi tahu padamu? Pergilah, jangan ganggu aku!"

   Bagaimana Hek-tiauw Lo-mo dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat? Kiranya kakek iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan melarikan diri dari dalam benteng itu dengan menunggang garuda. Ketika terjadi ribut-ribut oleh penyerbuan tentara kerajaan dan koksu bersama para pembantunya diberi kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo tiba-tiba melihat burung garudanya terbang berputaran tinggi di atas benteng yang kebakaran itu sambil mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu, telah mencari majikan-majikannya dan ketika melihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia bertempur, binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani terbang berputaran di atas tempat itu.

   Hek-tiauw Lo-mo lalu mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda itu mengenal suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu lalu meninggalkan semua rekannya, menunggang garuda untuk mencari puterinya karena dia mendengar bahwa puterinya telah dilarikan oleh Pangeran Nepal. Dia melakukan pengejaran ke barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia menghadang dan bersembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal yang menculik Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang segera dihadangnya untuk ditanya. Mendengar jawaban itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah.

   "Jari Maut, engkau sungguh manusia sombong sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan membunuhmu juga, sudah sepatutnya karena engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu."

   "Persetan dengan bentengmu, persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena hendak melindungi Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti engkau!"

   Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak.

   "Puteri Bhutan? Ha-ha-ha, Puteri Bhutan? Engkau memang sombong dan saat ini aku senang maka aku akan membunuhmu."

   Sebetulnya Tek Hoat tidak mau melayani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama karena memang dia tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, ke dua karena dia sedang tergesa-gesa hendak mendahului rombongan Mohinta menuju ke Bhutan sehingga dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk melayani penghuni Pulau Neraka itu. Akan tetapi ketika dia melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan matanya terbelalak.

   "Cui-beng-kiam....!"

   Serunya dan matanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu.

   "Ha-ha-ha, engkau masih mengenalnya? Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah tuannya sendiri, ha-ha-ha!"

   Terbayanglah semua peristiwa beberapa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Pedang Cui-beng-kiam itu adalah pedangnya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu peninggalan Cui-beng Koai-ong seorang datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi, dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan betapa pedang itu telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai ketua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang itu.

   Ketika Ang Tek Hoat menjadi panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia bertanya lagi ketika dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi itu membuat dia tidak terlalu membutuhkan bantuan sebatang pedang, biarpun pedang sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi, kini kakek itu mengeluarkan Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi marah bukan main. Begitu melihat Cui-beng-kiam, bangkitlah semangatnya dan kalau tadinya dia tidak bernafsu melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini timbul kemarahannya dan tekadnya untuk melawan kakek itu dan untuk merampas kembali Cui-beng-kiam!

   "Keparat, kembalikan pedangku!"

   Bentaknya dan dia sudah menerjang dengan tamparan-tamparan maut dari jari-jari tangannya yang ampuh. Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat ke arah kedua tengan pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara dua orang sakti ini. Hek-tiauw Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hilangnya Hwee Li. Dia memang telah menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran Nepal, akan tetapi tentu saja penyerahannya itu berdasarkan pamrih agar dia dapat mengangkat diri sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha pangeran untuk bersekutu dengan Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu telah melarikan puterinya.

   Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan melepaskan Hwee Li yang cantik jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan untuk dirinya sendiri. Kemurungannya itu kini ditimpakannya kepada Ang Tek Hoat dan dia menggunakan pedang Cui-beng-kiam, menyecang dengan amat ganasnya untuk membunuh pemuda ini menggunakan pedang pemuda itu sendiri. Namun, Ang Tek Hoat atau yang sebenarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini telah memiliki kematangan dalam ilmu silatnya. Pemuda ini mainkan Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetulnya ilmu gabungan ini adalah ciptaan dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari oleh Sai-cu Lo-mo.

   Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna karena dia memiliki tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, dalam hal ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun dan Pat-mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, sebanding dengan tingkat yang dimiliki penciptanya, bahkan mungkin lebih kuat karena tenaga Inti Bumi! Menghadapi serangan-serangan pedang dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar. Dengan ilmu silatnya yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat menghindarkan diri dari tusukan atau bacokan pedang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut. Dan yang membuat Hek-tiauw Lomo terkejut sekali adalah penggunaan totokan dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan jari maut yang mengangkat nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut.

   Betapapun juga, yang dilawan oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh, maka tidaklah mudah bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu. Bahkan dia harus bersikap hati-hati sekali karena dia maklum betapa ampuhnya pedang Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga memiliki hawa yang menyeramkan ini. Seratus jurus telah lewat dan Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak dapat lagi tertawa. Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu lamanya belum juga dia berhasil merobohkan lawannya yang masih muda. Mulailah dia membantu pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau yang amis ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Namun pemuda ini maklum akan bahaya pukulan itu dan selalu dapat menghindarkan sambil membalas dengan totokan-totokan mautnya.

   "Mampuslah!"

   Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah dada Tek Hoat. Pemuda ini terkejut karena pada saat itu dia sedang mengelak dari sambaran pukulan tangan kiri lawan. Tak disangkanya bahwa pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan belaka dan ketika dia mengelak, tubuhnya disambut oleh tusukan pedang. Cepat dia miringkan tubuhnya, maklum bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya maka dia pun lalu menggerakkan tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke arah lambung lawan.

   "Brettt!" "Brettt!"

   Mereka melangkah mundur dan masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang ternyata hampir saja terkena serangan masing-masing dan baju di bagian itu yang robek! Tek Hoat menggunakan kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya rebah ke atas tanah dan mendadak kedua kakinya meluncur ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Itulah tendangan yang menggunakan tenaga Inti Bumi sekuatnya. Angin yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis ini terkejut dan hendak meloncat ke belakang untuk meng-elak, akan tetapi kurang cepat gerakannya itu karena ujung kaki Tek Hoat telah mengenai tangannya yang memegang pedang Cui-beng-kiam.

   "Desss.... ahhh....!"

   Pedang itu terlepas dari pegangannya tanpa dapat dicegahnya lagi karena tangannya seperti dihantam palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya. Tubuh Tek Hoat berkelebat cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-bengkiam yang melayang terlepas dari tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di tangan, wajahnya beringas dan ter-senyum mengejek amat menyeramkan. Namun, Hek-tiauw Lo-mo yang tadi merasa terkejut itu kini menjadi bertambah marah.

   "Bocah setan!"

   Dengusnya dan kini tangan kanannya sudah memegang sebatang golok gergaji yang merupakan senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang jala tipis yang dikepal dan siap dipergunakan. Tek Hoat menghadapi dengan penuh kewaspadaan, karena biarpun kini Cui-beng-kiam tetah berada di tangannya kembali, dia maklum bahwa dengan golok gergaji dan jala tipis di tangan, kakek ini malah lebih berbahaya lagi.

   Mereka sudah saling berhadapan dengan mata beringas, siap menerjang seperti dua ekor ayam jago berlagak dan hendak bertanding mati-matian. Akan tetapi pada saat itu terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur. Kedua orang itu maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa itu adalah pasukan yang menyambut Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar karena dia pun tidak ingin bertemu dengan pasukan yang disangkanya adalah pasukan kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis melompat saling menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor burung garuda terbang dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas punggungnya. Dia pun tidak mempedulikannya lagi dan cepat melanjutkan perjalanannya, mendahului pasukan itu menuju ke Bhutan.

   Kapal yang berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot-perabotnya amat mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nampak berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat daripada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan terdorong air yang berombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali. Anak buah kapal! yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda. Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu bergerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok lagi.

   Apalagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari sutera-sutera halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biarpun mereka itu bekerja kasar seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit tangan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh. Pulau itu bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun dengan biaya amat mahal.

   Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai besarnya. Seperti telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi, kini tinggal di Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui ialu melatih ilmunya yang hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi. Selama setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa.

   Selain ilmu-ilmu meringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti terbang, mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh gurunya. Syanti Dewi sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat, melainkan juga ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan pendiamnya! Syanti Dewi yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias rapi, cantik jelita seperti bidadari,

   Pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan, kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari. Kalau dulu Syanti Dewi murah senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini di depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum, bahkan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh dingin dan pendiam seperti juga Ouw Yan Hui!

   Hubungannya dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat kecantikan yang aseli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali. Pagi hari itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka merupakan seorang ratu itu telah memberi perintah bahwa menjelang tengah hari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu. Wanita-wanita muda yang berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang cerah dengan matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi gembira dan sambil bekerja mereka itu bernyanyi-nyanyi.

   Tiba-tiba mereka menghentikan nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan mereka dan semua mata memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu mereka berkejaran dengan Syanti Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu! Para anak buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi ke-sempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka benar-benar merasa kagum dan ngeri. Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas laut.

   Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat penampung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya terapung di atas air. Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya terguling, cara menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di samping ini, juga kedua kaki harus digerakkan cepat. meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air! Cara berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor kijang berlari saja.

   Dan Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut! Pagi hari itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa! Hebatnya, biarpun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak bergelombang, mereka itu mengenakan pakaian yang istimewa, bersih dan mewah! Apalagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang disayang dan dimanja oleh gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali pakaian untuknya.

   Di pagi hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu dibiarkan teruirai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat daripada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya berkilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan di pundak kirinya. Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang sehingga nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang-kadang tertutup sari yang tipis dan tembus pandang, kadang-kadang terbuka sehingga pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang istimewa.

   Kain sarinya melambai-lambai tertiup angin kencang. Wajahnya demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga ketika berloncatan di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindarkan hempasan ombak sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Kedua tengan memainkan peranan penting dalam latihan seperti ini, karena untuk menjaga dan mengatur keseimbangan tubuh, kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap gerakan tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memper-lengkap suara air mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya yang luar biasa itu.

   Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak tinggi menutupi mata kakinya dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu, sehingga dua potong bambu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi, bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat. Tidak jauh di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan yang lebih ringan dan lebih cekatan daripada Syanti Dewi, namun tidak seindah gerakan Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari untuk menjaga keseimbangan tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya.

   "Enci Hui, mari kita berlomba ke kapal!"

   Syanti Dewi berseru gembira.

   "Baik, kau larilah dulu, nanti kukejar!"

   Jawab Ouw Yan Hui. Maka berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti terbang saja di atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Biarpun dia akhirnya dapat menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal, namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan moridnya itu sudah hampir menyamainya!

   "Bibi Maya Dewi....!"

   Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal.

   "Kapan Bibi datang....?"

   Syanti Dewi cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula, dan kedua lengannya dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian indah! Inikah "bibi Maya"

   Yang pernah disebut oleh Ouw Yan Hui itu? Memang cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui!

   "Aku baru saja datang, Yan Hui, dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang murid yang hebat.... ah, diakah orangnya?"

   Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik ke kapal.

   "Benar, Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!"

   Dengan gembira Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul pundak sahabat ini, diajak mendekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu,

   "Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!"

   "Ahhh....!"

   Kini Syanti Dewi melongo memandang kepada wanita itu.

   "Tidak mungkin!"

   Dia mengeluarkan kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran-heran bukan main. Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun?

   "Mari kita masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam."

   Tiga orang wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan kedua orang wanita itu saling memberi salam.

   "Syanti Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia hebat sekali, bukan? Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti."

   Syanti Dewi cepat menjura dan memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan merangkapkan kedua tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya. Akan tetapi, wanita itu lalu melangkah maju dan merangkulnya.

   "Tak perlu segala penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam perkenalan."

   Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang keras. Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan jari-jari tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit dan cepat dia menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak. Ouw Yan Hui segera memegang lengannya.

   "Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan salamnya."

   Wanita itu memejamkan matanya.

   "Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau sungguh seorang anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kalau kecantikanmu yang seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!"

   Rasa kaget sudah mereda, dari hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan mengecup bibir dan menggerayangi dada! Kini mendengar ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya,

   "Apa.... apa maksudmu....?"

   Ouw Yan Hui sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan gurunya ini amat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan seorang sahabat baik, akan tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia merasa betapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia merasa bulu tengkuknya dingin.

   "Adik Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih masih kelihatan muda? Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihara kecantikan, maka engkau akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi."

   "Ahhh....! Mana mungkin? Rambutku akan beruban dan putih...."

   "Hi-hik, lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang daripada rambut orang muda?"

   Maya Dewi membelai rambutnya sendiri.

   "Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun rambut uban!"

   "Tapi.... tapi...."

   "Apakah engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti?"

   Tanya Ouw Yan Hui.

   "Tentu.... tentu saja...."

   Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia muda?

   "Kalau begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang kalau kecantikan seperti yang kau miliki itu kelak habis dimakan keriput dan uban, atau ditelan oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua keperluan merendam Dewi dalam air ramuan!"

   Tak lama kemudian sibuklah para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat indah.

   Gentong besar ini diisi air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat di dalam air itu. Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi agak kemerahan. Sambil memejamkan mata membaca mantera-mantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan itu dan tiba-tlba saja air itu mendidih! Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan cantik sehingga seorag nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan secantik itu.

   "Sekarang tanggalkanlah semua pakaianmu, Dewi"

   Kata nenek itu dengan suara halus dan mesra.

   "Menanggalkan pakaian....?"

   Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia tidak merasa malu lagi.

   "Aihhh, Adik Syanti, mengapa meragu? Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya. Mengapa malu? Hayolah, kubantu kau...."

   Karena bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan dengan muka merah sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub.

   "Bukan main...."

   Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.

   "Adikku yang manis, engkau hebat...."

   Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah-olah tanpa cacat di depannya itu.

   "Apa.... apa yang harus kulakukan, Enci....?"

   Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan.

   "Kau masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang...."

   Nenek itu berkata dengan suara gemetar pula.

   "Aku akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya takkan pernah menjadi tua."

   Karena sudah terlanjur dan juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air itu dengan tangannya. Aneh! Biarpun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir guci, mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu mencapai lehernya.

   "Sekarang, kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu,"

   Kata nenek itu, kemudian Syanti Dewi merasa ada jarijari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke pundak, ke dada, terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti digelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa. Dia memejamkan kedua matanya, memeluk pundak menyilangkan kedua lengan depan dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui.

   "Sudah, Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan....!"

   Syanti Dewi membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia merasa terheran-heran, Maya Dewi berkata kepadanya,

   "Pejamkan matamu, Dewi, dan aku akan memandikanmu dengan air keramat Sungai Gangga!"

   Syanti Dewi menurut saja. Dia memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci air.

   Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu, Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu saja dia mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu bercucuran menimpa ubun-ubun kepalanya. Setelah menuangkan air suci itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi, dari tengkuk sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah "pengobatan"

   Dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan kembali pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.

   "Bagus! Kini di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!"

   Kata Maya Dewi dengan wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar.

   "Dan engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap sebagai dewi kahyangan!"

   "Kita harus rayakan peristiwa ini! Mari, mari kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah lautan,"

   Kata Ouw Yan Hui. Maya Dewi mengangguk-angguk.

   "Benar, sebaiknya Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di tengah lautan, jauh dari keramaian dunia."

   "Apakah.... apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi....!"

   Tanya Syanti Dewi yang merasa enggan dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.

   "Tentu saja, akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu dimaksudkan untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi engkau adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya."

   Mereka bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau itu menuju ke tengah lautan, perlahan-lahan digerakkan oleh hembusan angin lembut pada layar-layar kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang wanita cantik itu mulai makan minum. Nenek Maya Dewi menyerahkan sebutir pil merah kepada Syanti Dewi.

   "Kau telanlah ini bersama secawan arak merah, Dewiku."

   Syanti Dewi menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak.

   "Apakah saya harus pantang makan sesuatu?" "Tidak ada pantangan makanan apa-apa, hanya...."

   "Bibi Maya, biarkan Adik Syanti Dewi, membiasakan diri lebih dulu."

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga lain dan mulailah mereka makan masakan-masakan lezat. Kehidupan di atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman laut yang memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan beraneka warna di waktu air tenang. Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apabila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu membelai-belai, membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di tubuhnya meremang. Kalau tidak ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes, nenek itu menghiburnya.

   "Memang harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah."

   Dengan alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar!

   Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapapun juga, gerakan-gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang amat aneh dan menakutkan sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta sehingga jari-jari itu mengurangi gerakan-gerakannya. Tiga hari kemudian, kapal itu melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi secara kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat. Dia sudah hendak mengetuk pintu, akan tetapi tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu itu karena dia mendengar bahwa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia! Keheranannya mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai.

   Dan apa yang dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang bulat sedang bergulat di atas pembaringan! Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi perasaan heran membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti itu antara wanita dan wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran saja. Kemudian dia mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan.

   "Dia sungguh bodoh dan hatinya keras...."

   Terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik oleh Syanti Dewi.

   "Engkau harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa....! Sebaiknya menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat.... shhhhh...."

   Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi lalu sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek kapal seorang diri. Pada keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana di tengah pulau, istana yang megah dan mewah.

   "Tinggal satu malam ini lagi dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Malam ini aku akan menjagamu karena pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa semua telah berhasil baik,"

   Kata Maya Dewi, Syanti Dewi tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya mulai timbul kecurigaan bahwa agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama sekali, sesuatu yang aneh dan mengerikan!

   "Kau minumlah secawan arak ini. Inilah pengobatan minumlah terakhir, Dewi. Dan malam ini aku akan menemanimu semalam, maka selesailah sudah pengobatan ini dan engkau selamanya akan menjadi seorang wanita yang paling cantik di dunia ini! Besok aku akan meninggalkan Kim-coa-to. Minumlah."

   Syanti Dewi menerima cawan arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari biasanya, akan tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sampai habis arak itu.

   "Ke manakah Bibi akan pergi?"

   Tanyanya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja.

   "Aku?"

   Wanita itu tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat deretan gigi putih yang masih rapi itu, seperti gigi orang muda saja.

   "Ah, aku hidup seperti bayangan, ke mana saja hati ini menghenda-ki. Mungkin aku akan terus ke India dan kalau benar demikian, akan lamalah kita dapat berjumpa kembali, Dewi. Akan tetapi, aku takkan dapat melupakan engkau, karena sungguh mati, engkaulah dara tarcantik yang pernah kutemui selama hidupku dan aku girang sekali dapat membuat kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi."

   "Terima kasih atas kebaikan Bibi Maya."

   Malam itu, seperti biasa, Maya Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan mengurut-urut punggungnya. Syanti Dewi merasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat menahan kantuknya, dia pulas selagi punggungnya masih diurut oleh nenek yang cantik itu. Syanti Dewi bermimpi. Dia merasa seperti dikejar oleh seorang manusia ber-\muka iblis mengerikan.
(Lanjut ke Jilid 50)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 50
Dia sudah mempergunakan ginkangnya yang dia pelajari dari Ouw Yan Hui, namun iblis itu amat cepat larinya dan akhirnya dia tersusul dan dia diterkam dari belakang. Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis itu terlampau kuat baginya dan iblis itu berusaha untuk memperkosanya. Syanti Dewi mempertahankan diri sekuatnya dan akhirnya dia menjerit,

   "Tek Hoattt....!"

   Karena dalam keadaan berbahaya itu dia teringat kepada kekasihnya. Dengan tubuh penuh keringat Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa tubuhnya dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka mata melihat bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada yang bulat besar dari nenek ini menekan dadanya dan mulut nenek itu menciumnya, mencium mulutnya dengan penuh dengusan nafsu berahi! Sejenak Syanti Dewi merasa seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat bahkan ada dorongan hati aneh yang membuat dia condong membalas cluman itu! Dia merasa betapa tubuhnya hangat dan panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diperlakukan dengan mesra oleh seseorang, dan tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul leher nenek itu sambil mengeluh.

   "Syanti...., Dewiku.... kau sungguh cantik, hemmm....!"

   Ketika merasa betapa tangan nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih, Syanti Dewi teringat kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dan dia menahan jeritnya, lalu menggunakan tangan untuk mendorong pundak Maya Dewi. Dia mendorong sambil mengerahkan tenaga sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan!

   "Aduhhh.... ah, apa yang kau lakukan ini, Dewi....?"

   Maya Dewi merangkak bangun dan kini berdiri dalam keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi. Dara ini memandang dengan mata terbelalak. Biarpun dari dalam tubuhnya masih bergelombang gairah nafsu yang tidak normal, namun melihat wanita itu berdiri telanjang bulat, dengan mulut setengah terbuka mendengus-dengus, mata setengah terpejam, kedua tangan dikembangkan seperti hendak memeluknya, dia merasa ngeri bukan main!

   "Bibi.... jangan begitu....!"

   Dia terengah, menyambar pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaiannya.

   "Dewiku.... ke sinilah.... aih, aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kau layanilah aku, Dewi....!"

   Rayuan ini membuat Syanti Dewi menjadi makin ngeri dan dia meloncat untuk menghindarkan terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian dia lari keluar dari dalam kamar.

   "Dewiku.... kembalilah.... kembalilah kau....!"

   Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini hanya lihai dalam ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat dirinya awet muda saja, namun dalam hal ilmu silat apalagi ilmu berlari cepat, tentu saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah lari cepat dan lenyap dari situ. Dengan napas terengah-engah dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti Dewi berlari terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan teguran dan pertanyaan para anak buah Ouw Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah perahu kecil ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang layar.

   Selama ini dia sudah mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar maka sebentar saja karena angin sedang bertiup kencang perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan Kim-coa-to. Dia hanya ingat akan arah daratan besar, maka tanpa mempedulikan sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan, meninggalkan pulau itu. Angin yang bertiup kuat itu membuat rambutnya terurai ke belakang dan udara yang dingin mulai mengusir hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya, yang mendorong gairah nafsu aneh dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang diminumnya malam tadi bukan obat melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi, tetap saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya Dewi itu bisa tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula.

   Mengapa seorang wanita ingin membujuk rayu seorang wanita lain, bahkan kelihatan begitu bernafsu, seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak memperkosanya! Syanti Dewl bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak gila, mana mungkin ada wanita timbul berahinya melihat wanita lain? Tentu Eenci Yan Hui akan mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat pula akan adegan yang dilihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui yaitu ketika dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah yang mereka telah lakukan? Syanti Dewi makin ngeri dan bergidik, akan tetapi dia menjadi makin bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila? Dia tahu bahwa Ouw Yan Hui adalah seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti itu dengan sesama wanita? Mungkinkah itu? Syanti Dewi merasa makin bingung.

   Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu tengah malam dengan menggunakan perahu layar itu dan mari kita mengikuti perjalanan Kim Hwee Li yang dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu, dan Suma Kian Lee yang mengejar larinya pangeran dari Nepal itu. Setelah berhasil lari keluar dari dalam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang telah lemas ditotoknya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bharuhendra, tiba di luar pintu rahasia dan di tempat itu memang telah siap menanti beberapa orang pengawal pribadinya.

   Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda dan meloncat ke atas punggung kuda itu dan membalapkannya ke arah barat, ke pegunungan yang penuh dengan hutan-hutan lebat. Di tengah sebuah hutan di lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang tersembunyi di antara pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran Liong Bian Cu pula, untuk keperluan peristirahatan di waktu dia melakukan olah raga berburu binatang di waktu dia masih berkuasa di dalam benteng. Rumah itu biasanya terjaga oleh belasan orang perajurit, akan tetapi agaknya para perajurit itu telah mendengar akan bobol dan runtuhnya benteng sehingga ketika Pangeran Liong Bian Cu tiba di situ, dia mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak seorang pun penjaga.

   "Pengecut-pengecut rendah, gentong-gentong nasi kosong menjemukan"

   Pangeran Liong Bian Cu memaki dengan perasaan sebal melihat betapa tempat itu sudah ditinggal pergi oleh para penjaga. Sambil memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan kakinya, kemudian memasuki rumah yang cukup mewah biarpun kecil itu.

   "Pangeran, kau lepaskan aku....!"

   Liong Bian Cu merebahkan tubuh Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu dia sendiri duduk di atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa kali dengan hati murung. Gerakannya telah gagal sama sekali.

   "Engkau tahu, Hwee Li, bahwa aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku melepaskanmu. Engkau harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun gagal."

   Hening sejenak dan Hwee Li yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu mengerutkan alisnya, mencari akal. Namun agaknya sukar baginya untuk membebaskan diri karena kini pangeran yang murung dan kecewa itu telah mengenal segala siasat dan akalnya, maka tentu pangeran itu akan hati-hati.

   "Lalu apa yang akan kau lakukan terhadap diriku, Pangeran?"

   Tanyanya, suaranya mengandung keluhan dan kedukaan hebat yang sengaja dilakukan untuk meruntuhkan hati pangeran yang dia tahu amat mencintanya itu.

   "Kita beristirahat dulu di sini malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan datang menjemput. Kau tahu betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan kuajak ke Nepal di mana kita akan menikah dengan resmi.

   "Tddak, aku tidak mau!"

   Hwee Li berkata sambil memandang dengan mata terbelalak. Pangeran itu menghela napas panjang.

   "Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang! Kalau selagi bertunangan engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah menjadi isteriku engkau belajar membalas cinta kaslhku. Engkau akan hidup mulia di Nepal, Hwee Li."

   "Tidak.... ah, aku tidak mau.... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran kaukasihanilah aku, kau bebaskan aku, Pangeran...."

   Hwee Li yang tidak melihat jalan keluar itu kini menangis! Pangeran Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan.

   "Jangan dekati aku, jangan sentuh aku.... hu-hu-hu.... aku akan membunuh diri kalau kau jamah tubuhku...."

   Pangeran itu nampak berduka sekali,

   "Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk peraaaanku dan menyedihkan hatiku? Aku tidak akan mengganggumu, aku sungguh cinta padamu, dan aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang sekutu mendiang ayahku? Ayahku dan ayahmu adalah sekutu yang baik, kenapa kita tidak dapat malanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih erat lagl?"

   "Tidak.... hu-hu-hu.... tidak, aku tidak cinta padamu...."

   "Hemmm, aku adalah seorang pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!"

   Suara pangeran itu terdengar keras dan tegas.

   "Kau.... kau pengecut sungguh! Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak mencintamu?"

   Hwee Li berkata sambil terisak.

   "Hemmm, seorang pria berhak memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku akan mempertahankan dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga daripada segalanya, daripada nyawaku. Tanpa adanya engkau, hidupku akan hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan dirimu dengan siapapun juga di dunia ini!"

   "Bagus, Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau bukan pengecut, mari kau lawan aku!"

   Liong Bian Cu terkejut dan cepat mengangkat mukanya. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana, dan pemuda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee! Hwee Li yang masih rebah tertotok, menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya pemuda pujaan hatinya itu. Akan tetapi segera dia teringat kepada Siang In dan mulutnya cemberut, mukanya berubah merah, sinar matanya berapi-api. Sementara itu, Liong Bian Cu sudah bangkit dan menghampiri Kian Lee yang juga sudah melangkah memasuki ruangan.

   "Mau apa engkau ke sini? Hemmm, apakah janji para pendekar sekarang tidak dapat dipercaya lagi? Perang telah selesai, dan kami telah menerima janji untuk diperbolehkan pergi dengan aman...."

   "Aku datang menyusulmu bukan karena urusan negara, Pangeran, melainkan karena urusan pribadi. Engkau melarikan dan menculik Hwee Li, oleh karena itu aku menentangmu. Kembalikan dia kepadaku, bebaskan dia, baru aku akan membiarkan engkau pergi dengan aman."

   Pangeran Liong Bian Cu memandang keluar penuh perhatian dan setelah dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memang datang sendirian saja, hatinya merasa lega. Dia masih mampu mengan-dalkan kepandaiannya dan dia tidak takut melawan pemuda ini.

   "Kim Hwee Li adalah tunanganku, calon isteriku, calon isteri Pangeran Nepal. Engkau sungguh tidak tahu malu mencampuri urusan kekeluargaan orang lain! Ayahnya telah menyerahkan dia kepadaku untuk menjadi isteriku. Engkau ini mempunyai hak apakah untuk mencampuri?"

   Bentaknya.

   "Hak seorang gagah yang tidak ingin melihat seorang wanita dipaksa dan diperkosa! Aku sudah pasti tidak akan berani mencampuri kalau dia suka menjadi isterimu dengan hati rela. Akan tetapi engkau telah menculik dan melarikannya."

   "Kurang ajar! Ayahnya sendiri sudah meresmikan pertunangan kami, engkau ini orang luar berani mencampuri?"

   Kian Lee tersenyum.

   "Mana mungkin ada orang menotok tunangannya sendiri sehing-ga tidak berdaya? Biar dia sendiri yang menjawab bahwa dia dengan suka rela ikut bersamamu, baru aku mau pergi dan tidak mengganggu lagi."

   "Habis kau mau apa?"

   "Pangeran Liong Bian Cu, kita berdua adalah sama-sama jantan dan suka menjunjung kegagahan. Oleh karena itu, aku tantang engkau untuk memperebutkan nona itu. Kalau aku kalah, baru engkau boleh memaksa dan membawa lari dia. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menghentikan niat busukmu itu dan membebaskan dia."

   "Keparat....!"

   Liong Bian Cu sudah menjadi marah sekali dan dia telah menggerak-gerakkan kedua tangannya, digosok-gosoknya kedua telapak tangannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga Im-yang Sin-ciang, ilmunya yang amat di andalkan dan memang ampuh sekali itu.

   Melihat ini dari tempat dia rebah, Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia mengenal Im-yang Sin-ciang dari pangeran itu, dan tahu betapa dahsyatnya pukulan dengan ilmu itu. Dia amat khawatir akan keselamatan Kian Lee yang agaknya masih belum sadar akan bahaya maut yang mengancam. Akan tetapi karena dia masih teringat dan membayangkan Siang In, perasaan cemburu memenuhi hatinya dan kemarahannya terhadap Kian Lee membuat dia diam saja, hanya menonton dengan, mata terbelalak. Hampir dia berteriak ngeri ketika tiba-tiba Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan nyaring dan menyerang ke arah Kian Lee dengan hantaman tangan kirinya yang sudah diisi penuh tenaga Im-yang Sin-ciang!

   "Mampuslah.... haaaiiiittttt!"

   Kaki kirinya melangkah ke depan, dengan tubuh miring pangeran itu sudah menghantam dengan tangan kirinya yang dibuka, dari telapak tangan kiri itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah dada Suma Kian Lee. Namun, pemuda sakti dari pulau Es ini tentu saja sama sekali tidak merasa gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Dia mengenal pukulan sakti yang ampuh, akan tetapi dia sarma sekali tidak mengelak atau mundur, bahkan dia bergerak maju ke depan dan menggerakkan tangan kanan untuk menangkis dari samping ke arah lengan kiri lawan yang menyambar ke arah dadanya, tentu saja sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin.

   "Dukkk!"

   Pertemuan dua tenagga itu membuktikan betapa pangeran itu masih tidak mampu menandingi kekuatan pemuda Pulau Es dan serangannya tadi bukan hanya dapat digagalkan, bahkan tubuhnya menjadi condong ke depan ketika lengannya tertangkis. Namun, Pangeran Nepal yang marah itu sudah menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan Ilmu Pukulan Im-yang Sin-ciang kepada lawannya.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 24 Kisah Sepasang Rajawali Eps 27 Kisah Sepasang Rajawali Eps 49

Cari Blog Ini