Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 14


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Juga diam-diam pangeran ini selalu dilindungi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi! Memang luar biasa sekali! Banyak tokoh-tokoh besar dan partai-partai persilatan, tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan berilmu, bekerja sama melakukan penjagaan dan pengamatan siang malam atas diri pangeran ini sehingga ke mana pun pangeran ini pergi, selalu pasti ada tokoh-tokoh sakti yang mengawasi dan menjaganya, melindunginya tanpa diketahui oleh Si Pangeran itu sendiri! Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para pembesar yang setia kini menujukan pandang mata mereka kepada Pangeran Kian Liong dengan penuh harapan, sungguhpun pangeran itu sendiri tidak, memperlihatkan ambisi apa-apa kecuali sebagai seorang pangeran yang selalu bersikap melindungi rakyat yang tertindas.

   Empat lima tahun telah lewat semenjak terjadi keributan di Pegunungan Hi-malaya karena orang-orang kang-ouw memperebutkan Pedang Pusaka Naga Siluman. Dan pada waktu itu, berhubung dengan kelemahan kaisar di kota raja, di bagian barat mulai lagi timbul keributan-keributan, yaitu di negara bagian Tibet yang pernah ditundukkan dan dikuasai oleh pasukan pemerintah Ceng ketika masih berada di bawah pimpinan mendiang Kaisar Kang Hsi. Ada kabar bahwa mulai berdatangan mata-mata dan berkelompok-kelompok pasukan kecil dari luar Tibet yang memasuki daerah itu, dan kabarnya pasukan-pasukan Tibet kewalahan menghadapi gangguan-gangguan kecil ini. Pasukan-pasukan itu datang dari arah barat dan selatan, dari arah Negara Nepal dan mungkin juga dari India.

   Pada suatu pagi yang cerah, dengan sinar matahari mulai nampak di bagian yang dingin dari dunia itu, yaitu di kaki Pegunungan Himalaya yang berada di bagian paling timur dan utara, nampak seorang dara remaja menuruni lereng dengan sikap yang gembira dan lenggang seenaknya. Dara ini bertubuh ramping padat, caranya melangkahkan kaki seperti seekor rusa, Demikian ringannya namun di balik pakaiannya yang sederhana itu nampak tubuh yang padat berisi dan mengandung tenaga yang kuat. Wajahnya manis sekali, wajah yang amat cerah, secerah matahari pagi. Sepasang mata dan mulutnya membayangkan kesegaran, sesegar embun yang bergantung pada pucuk-pucuk daun, dan kulitnya yang nampak pada muka, leher dan tangannya mulus halus putih, seputih salju yang masih tersisa di puncak gunung yang nampak dari kejauhan. Dara cantik manis ini baru berusia kurang lebih enam belas tahun, seorang dara remaja yang baru menanjak dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar.

   Kedua pipinya yang halus itu kemerahan seperti buah tomat mulai masak, dan bibirnya yang menyungging senyum dikulum itu nampak merah delima dan membayangkan kesegaran tubuh yang sehat. Biarpun pakaiannya terbuat daripada kain kasar saja dan potongannya pun sederhana dan kasar, namun tidak mengurangi kecantikan dara itu, bahkan kesederhanaan pakaian itu lebih menonjolkan kejelitaannya yang wajar dan aseli. Dara itu sama sekali tidak memakai perhiasan, akan tetapi dari jauh dia nampak seperti memakai sebuah gelang emas yang cukup besar, sebesar jari tangannya, gelang emas berbentuk seekor ular yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Akan tetapi, kalau didekati, orang akan melihat bahwa "gelang emas"

   Itu bergerak-gerak, dari mulut ular itu keluar lidah hitam menjilat-jilat keluar masuk dan baru orang akan tahu bahwa gelang itu adalah seekor ular aseli, seekor ular hidup! Dan memang sesungguhnyalah.

   Ular itu seekor ular hidup yang memiliki sisik indah sekali, kuning keemasan, dengan mata, kecil merah dan lidah yang hitam! Melihat seorang dara remaja dengan pakaian biasa yang tipis, bukan pakaian bulu yang melindungi tubuh dari dingin, melakukan perjalanan seorang diri seenaknya saja menuruni lereng Pegunungan Himalaya yang terkenal dingin sekali itu, sungguh sudah merupakan hal yang aneh. Apalagi melihat gelang ular emas hidup itu! Melihat dua hal ini saja, mudah diduga
(Lanjut ke Jilid 13)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
bahwa di balik kelembutan seorang dara remaja yang cantik manis ini tentu terdapat kekuatan yang hebat, membayangkan seorang dara perkasa yang tidak jarang muncul di dunia kang-ouw pada waktu itu. Dugaan ini memang tidak keliru karena dara ini bukan lain adalah Bu Ci Sian! Seperti kita ketahui, Bu Ci Sian adalah seorang dara yang sejak muda sekali telah mengalami hal-hal yang amat hebat, yaitu ketika kita mula-mula melihat dia bersama mendiang kakeknya, yang sebetulnya adalah seorang tokoh besar selatan bernama Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun,

   Melakukan perjalanan di Pegunungan Himalaya dan mengalami banyak hal-hal yang hebat. Akan tetapi, Bu Ci Sian yang pada pagi hari yang cerah itu menuruni lereng bukit sama sekali tidak dapat disamakan dengan dara cilik yang kita kenal empat tahun yang lalu itu. Biarpun pada waktu itu Ci Sian telah merupakan seorang gadis cilik yang penuh keberanian dan memiliki dasar-dasar Ilmu silat, akan tetapi dibandingkan dengan sekarang, keadaannya sudah jauh lebih hebat. Sekarang dia merupakan seorang dara remaja yang berilmu tinggi setelah digembleng secara hebat dan tekun sekali oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong Nilagangga! Seperti kita ketahui, dara ini terpisah dari pendekar Suling Emas Kam Hong dan setelah ditolong oleh See-thian Coa-ong,

   Akhirnya dia menjadi murid kakek sakti perantau dari Nepal ini dan dibawa ke sebuah puncak bukit yang sunyi di mana dia menggembleng muridnya dengan berbagai ilmu silat yang aneh-aneh, di antaranya juga mengajarkan ilmu menaklukkan ular-ular kepada muridnya itu. Ci Sian yang memang suka sekali akan ilmu silat, belajar dengan tekun sekali setiap hari, sungguhpun dia merasa amat kesepian di tempat sunyi itu dan hatinya selalu terkenang kepada Kam Hong dan kepada ayah bundanya yang sedang dicarinya. Setelah belajar siang malam selama empat tahun dan merasa bahwa dia telah memiliki ilmu yang cukup untuk dapat diandalkan dalam mencari Kam Hong atau ayah bundanya sendirian saja, Ci Sian lalu menyatakan kepada gurunya bahwa dia ingin pergi turun gunung untuk mencari Kam Hong dan mencari ayah bundanya.

   "Ci Sian, engkau baru saja belajar empat tahun, dan sungguhpun hampir semua ilmuku telah kuajarkan kepadamu, akan tetapi engkau harus melatih dan mematangkan lagi selama setahun. Aku telah berjanji kepada Cui-beng Sian-li untuk mempertandingkan murid kami, yaitu engkau melawan muridnya. Maka engkau harus menanti setahun lagi."

   "Suhu, yang berjanji adalah Suhu, dan aku bukanlah seekor ayam aduan. Mengapa selalu Suhu membuat janji-janji aneh seperti anak-anak itu? Jangan layani dia. Aku harus turun gunung untuk mencari Paman Kam Hong atau ayah bundaku, dan kurasa dengan kepandaian yang kupelajari dari Suhu ini cudah cukup untuk bekal perjalananku mencari mereka."

   "Muridku, di dunia ini aku hanya mempunyai engkau seorang. Kalau bukan engkau yang menjaga namaku, habis siapa lagi? Kalau setahun kemudian engkau tidak mau menandingi murid Cui-beng Sian-li, bukankah nama See-thian Coa-ong akan menjadi bahan ejekan para penghuni Lembah Suling Emas dan kemudian menjadi bahan tertawaan seluruh dunia kang-ouw?"

   Ci Sian menarik napas panjang.

   "Kukira Suhu sudah tidak butuh apa-apa, ternyata masih membutuhkan nama besar! Begini saja, Suhu. Waktu berlatih yang setahun ini akan dapat kulakukan dalam perjalanan mencari orang tuaku. Dan perjanjian antara Suhu dan Cui-beng Sian-li itu hanya perjanjian untuk mempertandingkan murid Suhu dan muridnya, akan tetapi bukan janji bahwa aku akan datang mencari muridnya! Jadi, perjanjian itu berlaku juga untuk dia, dan muridnyalah yang harus pergi mencari aku! Nah, kalau sewaktu-waktu dia datang, Suhu katakan saja bahwa aku menanti-nantinya dan dia boleh mencariku sampai dapat!"

   Menghadapi kebandelan Ci Sian, See-thian Coa-ong tak berdaya, apalagi memang dia amat sayang kepada muridnya itu dan maklum betapa tersiksanya dara remaja seperti Ci Sian untuk hidup terasing di tempat seperti itu bersama dia.

   Anak itu dapat bertahan hidup seperti pertapa kesepian di tempat itu selama empat tahun sudah merupakan hal yang amat mengagumkan, dan dia pun tahu bahwa dasar ilmu kepandaian Ci Sian sudah lebih dari cukup untuk dipakai menjaga diri, maka akhirnya dia pun tidak menahan lebih lanjut dan memperbolehkan dara itu turun gunung! Demikianlah, pada pagi hari itu, dengan wajah yang cerah dan semangat yang bernyala-nyala, Ci Sian menuruni bukit dan tentu saja dia merasa seolah-olah seperti seekor burung yang baru saja terlepas dari sangkar di mana dia tekun mempelajari ilmu selama empat tahun dan di mana dia sering kali menahan-nahan rasa rindunya akan dunia luar! Kini dia merasa bebas! Dan kegembiraan mendebar-kan jantungnya kalau dia teringat akan kemungkinan bertemu dengan Kam Hong!

   Baru sekarang dia merasa betapa rindunya dia kepada pendekar itu! Dan dia pun harus mencari Toat-beng Hui-to Lauw Sek, yaitu Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana dia akan dapat mencari ayah bundanya, karena dia tahu bahwa piauwsu itulah yang telah menerima pesan terakhir dari mendiang kong-kongnya tentang tempat ayah bundanya. Dan kalau dia sudah tahu tempat itu, dia akan mencari ayah bundanya sampai dapat. Apalagi kalau dia dapat bertemu dengan Kam Hong dan minta bantuan pendekar itu, dia yakin pasti akan berhasil menemukan ayah bundanya. Dengan bayangan-bayangan ini dalam benaknya, Ci Sian menuruni bukit dengan hati riang dan penuh harapan. Akan tetapi, setelah belasan hari dia mencari-cari di sekitar tempat di mana dia terpisah dari Kam Hong, dia tidak dapat menemukan pendekar itu.

   Bahkan tempat di mana dia dan Kam Hong terasing ketika terjadi longsor itu, kini telah berubah pula dan tiada jejak Kam Hong di situ. Dia mulai menyusuri jalan di mana dia dan Kam Hong melalui ketika mereka berdua meninggalkan Lhagat. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk mencari Lauw-piauwsu ke kota Lhagat. Betapa kagetnya ketika dia tiba di daerah Lhagat, dia melihat banyak orang berbondong-bondong mengungsi dan meninggalkan daerah itu. Dari para pengungsi ini tahulah Ci Sian bahwa Lhagat, kota yang berada di perbatasan antara Tibet, Nepal dan India itu, yang menjadi tempat pemberhentian para pedagang dan orang-orang yang melakukan perjalanan dari atau ke tempat-tempat tersebut, kini telah diduduki oleh pasukan-pasukan asing yang menyerbu dari selatan!

   Itu adalah pasukan-pasukan yang amat kuat dari Nepal! Pasukan itu bentrok dan bertempur dengan pasukan Tibet, memperebutkan daerah Lhagat dan akhirnya pasukan Tibet dipukul mundur dan Lhagat pun diduduki oleh pasukan Nepal yang memang bermaksud untuk terus menyerbu ke utara dan timur, tentu saja hendak menundukkan Tibet untuk terus menggempur Tiongkok. Menurut cerita para pengungsi, berkali-kali pihak tentara Tibet kena digempur dan menderita kekalahan, mundur dan dikejar musuh memasuki daerah Tibet. Ketika Ci Sian mendengar betapa banyak orang-orang Tibet dan orang dari pedalaman telah ditawan oleh pasukan Nepal, apalagi mendengar keterangan bahwa Lauw-piauwsu yang dicari-carinya itu mungkin saja ikut tertawan, dia lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Lhagat!

   Semua pengungsi memberi nasihat agar dia jangan mendekati Lhagat, apalagi seorang wanita muda cantik seperti dia. Namun, tentu saja Ci Sian tidak mempedulikan semua peringatan ini dan dengan cepat dia melakukan perjalanan menuju ke kota yang sudah diduduki musuh itu. Setelah tiba dekat Lhagat, dia bertemu dengan serombongan pengungsi lagi yang membawa berita terakhir dari kota Lhagat. Dari mereka ini, dia mendengar berita yang lebih hangat, berita terakhir tentang apa yang terjadi di daerah itu. Kiranya, menurut penuturan para pengungsi ini yang terdiri dari orang-orang lelaki yang nampaknya kuat karena mereka adalah para pemuda Lhagat yang tadinya ikut pula mempertahankan kampung halaman mereka dari penyerbu asing, pada waktu itu kedudukan pasukan Nepal semakin kuat dengan datangnya bala bantuan lagi dari Nepal.

   Pasukan itu bahkan telah berhasil menggagalkan bantuan pasukan Kerajaan Ceng yang kini telah terperangkap, terkepung di lembah sebelah timur Lhagat! Ketika mendengar akan penyerbuan pasukan Nepal ke daerah Tibet, Kaisar Kerajaan Ceng cepat mengirim pasukan yang terdirl dari lima ribu orang, untuk membantu pasukan Tibet yang menjadi negara taklukan Kerajaan Ceng, dan untuk mengusir pasukan Nepal itu. Akan tetapi, sungguh di luar perhitungan Pemerintah Ceng bahwa sekali ini Nepal bersungguh-sungguh dalam serbuan mereka itu sehingga belum juga pasukan itu berhasil menyerbu untuk merampas kembali Lhagat, mereka telah terkepung ketika mereka sedang beristirahat di lembah gunung. Pihak musuh yang mengepung berjumlah tiga empat kali lebih banyak, maka pasukan Ceng itu tidak berhasil membobolkan kepungan dari hanya mampu bertahan saja.

   Berkali-kali pasukan Nepal yang mengurung itu menyerbu ke atas hendak menghancurkan musuh, akan tetapi ternyata dalam waktu singkat, komandan pasukan yang pandai dari barisan Ceng telah dapat menyusun benteng pertahanan yang kokoh kuat. Oleh karena itu, kini pasukan Nepal hanya mengurung ketat, hendak membiarkan pihak musuh mati kelaparan! Sudah setengah bulan pasukan yang terjebak itu dikepung, dan karena pihak Nepal maklum bahwa sewaktu-waktu dapat datang bala bantuan dari Kerajaan Ceng, maka penjagaan di sekitar daerah itu dilakukan dengan amat ketat.
Setiap orang yang lewat di daerah itu tentu digeledah dan diperiksa, kalau-kalau ada terselip mata-mata dari pihak musuh. Di mana-mana terdapat tentara Nepal dan seperti biasa yang terjadi dalam setiap huru-hara, dalam setiap peperangan, maka di daerah pegunungan itu pun terjadi pula hal-hal yang mengerikan setiap hari. Perampokan, perkosaan, pembunuhan, terjadi setiap saat.

   Manusia kehilangan prikemanusiaannya. Yang nampak hanyalah angkara murka dan di mana-mana manusia dicekam rasa takut yang hebat. Biarpun dia masih belum dewasa benar, baru berusia hampir tujuh belas tahun, namun Ci Sian adalah seorang anak yang tergembleng oleh keadaan dan memang pada dasarnya dia cerdik. Dia mengenal bahaya, maka dia pun mengambil jalan-jalan melalui hutan-hutan. Dia sudah mengenal daerah ini karena ketika dia berada di Lhagat beberapa tahun yang lalu, dia sering pergi berburu ke hutan-hutan. Oleh karena itu, dalam penyelidikannya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu, dia pun menyelinap-nyelinap di antara pohon-pohon di hutan dan tidak berani sembarangan memperlihatkan dirinya kepada pasukan Nepal yang berjaga di mana-mana.

   Ketika dia mencoba menyelidiki keadaan pasukan pemerintah Ceng yang terkurung di lembah gunung kecil itu, dia terkejut bukan main. Gunung kecil atau bukit di mana pasukan itu terkurung telah dikelilingi pasukan Nepal yang bersembunyi dan yang telah mempersiapkan segala macam jebakan dan barisan pendam dengan anak panah selalu siap di tangan. Pendeknya, kalau pasukan di lembah itu berani mencoba untuk membobolkan kurungan itu, mereka pasti akan dihancurkan! Diam-diam Ci Sian mencari akal bagaimana kiranya pasukan itu akan dapat diselamatkan. Dia teringat akan cerita kakeknya tentang kepahlawanan, tentang kegagahan para pendekar jaman dahulu, tentang perbuatan-perbuatan yang menggemparkan karena gagah perkasanya. Ingatan-ingatan itu mendorongnya untuk melakukan sesuatu guna menolong pasukan yang terkurung,

   Di samping dorongan rasa bahwa sudah menjadi tugasnya untuk menolong pasukan bangsanya yang terkurung tak berdaya itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin seorang dara remaja seperti dia, seorang diri saja, akan mampu menyelamatkan lima ribu orang tentara yang sudah terkurung tak berdaya itu? Apa dayanya menghadapi puluhan ribu pasukan Nepal? Pagi itu, Ci Sian berjalan di dalam hutan sambil termenung. Sudah beberapa hari lamanya dia mencari-cari akal, namun dia tetap tidak dapat menemukan siasat yang baik bagaimana dia akan dapat menolong pasukan pemerintah yang terkurung musuh itu. Hatinya menjadi kesal dan dia yang makin merindukan Kam Hong karena dia percaya bahwa kalau Kam Hong berada di sampingnya, tentu pendekar itu akan dapat mencari siasat untuk menolong pasukan yang terkepung rapat itu.

   Tiba-tiba dara itu berkelebat lenyap dan dia sudah menyelinap ke belakang sebatang pohon besar. Gerakannya memang cepat bukan main seolah-olah dia pandai menghilang saja. Dia mendengar suara ringkik kuda disusul suara kaki kuda dan suara manusia mendatangi dari depan! Tak lama kemudian nampaklah rombongan orang berkuda itu. Yang paling depan adalah seorang gadis yang cantik, usianya tentu hanya lebih satu dua tahun dibandingkan dengan dia. Seorang gadis yang berbentuk tubuh ramping agak kecil, wajahnya bulat telur dan cantik manis, terutama dagunya yang runcing. Melihat pakaiannya, gadis ini adalah seorang Han, akan tetapi dua losin tentara yang mengawalnya itu jelas bukanlah tentara kerajaan, melainkan tentara Nepal!

   Ci Sian bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada seorang gadis bangsanya yang kini dikawal oleh pasukan Nepal! Kini kuda yang ditungganggi gadis cantik itu, yang berbulu hitam dan bertubuh tinggi besar, seekor kuda yang amat baik, telah tiba di dekat pohon di belakang mana Ci Sian bersembunyi. Kuda hitam itu tiba-tiba meringkik mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, mendengus-dengus ke arah pohon besar itu! Jelas bahwa kuda itu bukan kuda sembarangan, dan agaknya seekor kuda yang amat terlatih, seperti seekor anjing yang cerdik, begitu mencium bau seorang asing lalu memperingatkan majikannya! Dan gadis cantik itu agaknya pun tahu akan ulah kudanya itu, dapat menduga bahwa di belakang pohon tentu ada seorang asing atau ada seekor binatang berbahaya.

   "Keluarlah!"

   Bentaknya dan begitu tangan kirinya bergerak, sebatang piauw kecil yang memakai ronce merah di gagangnya melucur ke arah belakang batang pohon itu! Ci Sian terkejut bukan main. Kehadirannya telah dilihat orang, maka dia pun cepat mengelak dari ancaman pisau dan dengan tenang dia lalu keluar dari balik pohon itu sambil memandang dengan sinar mata marah namun penuh ketabahan.

   "Orang kejam!"

   Dia membentak sambil menatap wajah gadis cantik itu.

   "Apa salahku maka kau datang-datang menyerangku dengan senjata rahasiamu?"

   Gadis cantik itu tercengang keheranan. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa yang mengejutkan kudanya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Juga dua losin pengawalnya semua mengeluarkan seruan kaget dan heran. Mana mungkin ada seorang dara seperti itu berkeliaran di daerah ini tanpa pernah dapat nampak oleh penjaga?

   Kini semua mata memandang Ci Sian dengan penuh kecurigaan. Sudah tersiar berita di kalangan para tentara Nepal bahwa Kerajaan Ceng mengirim seorang penyelidik yang sakti dari kota raja menuju ke tempat itu, tentu saja dalam usaha untuk menolong pasukan kerajaan yang terkepung itu. Maka, setiap orang asing dicurigai, apalagi orang-orang Han. Biarpun Ci Sian hanya merupakan seorang dara remaja, namun mereka semua tahu bahwa wanita-wanita Han, biarpun masih muda, tak boleh dipandang ringan karena di antara mereka banyak yang merupakan aeorang ahli silat yang amat lihai. Gadis cantik itu sendiri adalah seorang wanita yang agaknya berkepandaian tinggi, hal ini terbukti dari sambitannya dengan pisau kecil tadi. Kini gadis itu pun memandang dengan penuh curiga kepada Ci Sian, walaupun mulutnya sekarang tersenyum dan dia menjawab,

   "Salahmu sendiri! Orang baik-baik tidak bersembunyi-sembunyi seperti seorang pencuri, dan kudaku ini selalu marah kalau melihat orang yang memiliki niat buruk di dalam hatinya. Kemudian dia menggerakkan cambuk kudanya ke atas sehingga terdengar suara ledakan nyaring, lalu melanjutkan.

   "Engkau tentu seorang mata-mata, karena engkau berniat buruk maka engkau merasa takut dan bersembunyi!"

   "Siapa takut? Apa yang perlu ditakuti?"

   Ci Sian mengejek.

   "Aku tidak takut, dan aku bersembunyi hanya karena enggan bertemu dengan pasukan yang kabarnya merupakan orang-orang jahat yang suka merampok, memperkosa, dan membunuh."

   Gadis cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang marah.

   "Siapa bilang pasukan kami begitu jahat?"

   Ci Sian tersenyum pahit.

   "Uhh, masih pura-pura bertanya lagi? Apakah matamu buta, apakah telingamu tuli sehingga engkau tidak melihat atau mendengar ratap tangis rakyat di sini? Jangan pura-pura bodoh!"

   Wajah yang cantik itu berobah marah.

   "Bocah bermulut lancang! Dalam setiap peperangan tentu saja jatuh korban, itu sudah jamak! Akan tetapi jangan mengira bahwa kami membiarkan pasukan melakukan kejahatan, apalagi perkosaan! Soal menyita barang musuh, atau membunuh musuh, sudah wajar."

   "Wajar kalau yang disita itu barang musuh dan kalau yang dibunuh nyawa musuh, sesama tentara. Akan tetapi kalau rakyat yang tidak tahu apa-apa yang diganggu, dirampok, dibunuh, wanita-wanita diperkosa, lalu apa bedanya tentaramu dengan orang-orang biadab?"

   "Bocah sombong bermulut besar!"

   Gadis itu memaki dengan marah sekali.

   "

   Kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu di sini?"

   "Mengapa tidak? Apa kau kira aku takut menghadapi beberapa gelintir anjing-anjing pengawalmu ini?"

   Para pengawal sudah marah sekali mendengar ini dan mereka sudah gatal-gatal tangan akan tetapi mereka tidak berani bergerak sebelum menerima perintah dan agaknya mereka itu tidak berani mendahului gadis cantik yang mereka kawal itu.

   "Hemm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian juga maka berani bersikap lancang. Beranikah engkau melawanku?"

   "Kau?"

   Ci Sian sengaja mengejek dan memandang rendah.

   "Biar ada sepuluh orang seperti engkau aku tidak akan mundur selangkah pun!"

   Diam-diam gadis itu di samplng kemarahannya, juga kagum menyaksikan sikap Ci Sian yang sedemikian tabahnya. Dia meloncat turun dari atas kudanya, diturut oleh semua pengawalnya yang menambatkan kuda-kuda itu pada batang pohon lalu mereka membentuk sebuah lingkaran panjang, mengelilinginya dan agaknya para pasukan itu gembira dapat menyaksikan dua orang gadis cantik yang hendak mengadu ilmu itu. Ci Sian mengikuti gerak-gerik mereka itu dengan sikap gagah dan tenang. Kemudian, gadis cantik itu menghampirinya di tengah-tengah lingkaran.

   "Singgg!"

   Gadis cantik Itu sudah mencabut sebatang pedang dari pinggangnya dan sambil melintangkan pedang di dada, dia berkata.

   "Nah, kau keluarkanlah senja-tamu!"

   Akan tetapi Ci Sian memang tak pernah memegang senjata, bahkan "gelang"

   Ular hidup tadi pun telah dilepaskannya dan dibiarkannya merayap pergi ketika dia keluar dari tempat sembunyi-nya. Dia tersenyum dan memandang calon lawannya itu.

   "Aku tidak pernah memba wa senjata. Akan tetapi jangan dikira aku takut kalau engkau membawa pisau dapur itu!"

   Mendengar ejekan ini, tentu saja gadis itu menjadi marah. Dan menyarungkan kembali pedangnya, melepaskan tali ikatan sarung pedang dan melemparkan pedang dengan sarungnya kepada seorang pengawal.

   "Lihat, aku telah melepaskan pedangku, kita sama-sama tidak bersenjata. Nah, kau sambutlah seranganku ini"

   Tiba-tiba gadis cantik itu menyerang dengan pukulan yang amat cepat. Diam-diam Ci Sian terkejut melihat betapa cepatnya gadis ini bergerak dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli gin-kang yang berkepandaian cukup tinggi. Di samping itu juga sikap gadis itu yang menyingkirkan pedangnya membuat dia senang dan berkuranglah kebenciannya. Gadis ini betapapun juga telah membuktikan kegagahannya dan tidak mau menghadapi lawan bertangan kosong dengan pedang di tangan! Maka dia pun cepat mengelak dan membalas.

   Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang dara yang sama cantiknya ini, ditonton oleh para pengawal yang merasa yakin bahwa nona mereka akan menang karena mereka tahu bahwa nona mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka sendiri! Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang membuat semua pengawal menjadi bengong. Dara remaja itu ternyata bukan hanya dapat mengimbangi nona mereka, bahkan perkelahian itu terjadi amat seru dan cepat, membuat mata mereka berkunang dan sukar bagi mereka untuk mengikuti gerakan dua orang dara itu yang seolah-olah menjadi dua bayangan yang menjadi satu! Dan lebih hebat lagi, kini nona mereka mulai terdesak dan mundur terus sambil mengelak atau menangkis serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu!

   "Serbuuuu....!"

   Melihat nona mereka terdesak, kepala pasukan segera memberi aba-aba dan dua puluh empat orang pengawal itu sudah bergerak memperketat kepungan dan hendak mengeroyok Ci Sian. Tangan mereka sudah meraba gagang senjata karena mereka itu merasa ragu sendiri apakah mereka harus mengeluarkan senjata kalau hanya mengeroyok seorang dara remaja saja! Di lain pihak, ketika melihat betapa para pengawal itu bergerak maju, Ci Sian lalu mempercepat gerakannya, tubuhnya mencelat ke samping dan dari samping tangannya menampar ke arah pundak lawannya. Gerakannya itu demikian aneh dan cepatnya sehingga biarpun lawannya dengan cepat pula mengelak, tetap saja pundaknya kena diserempet oleh telapak tangan Ci Sian.

   "Plakk!"

   Tubuh wanita cantik itu terpelanting dan dia tentu terbanting roboh kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah. Ci Sian mennggosok-gosok kedua telapak tangannya, lalu dari tenggorokannya keluar suara melengking tinggi yang membuat para pengawal itu tersentak kaget dan tidak ada yang bergerak saking heran dan kagetnya karena tiba-tiba saja ada getaran aneh pada telinga mereka, getaran yang seperti menembus jantung!

   Sejenak keadaan menjadi sunyi sekali dan mendadak terdengar suara hiruk-pikuk ketika kuda-kuda mereka yang ditambat pada batang pohon-pohon itu meringkik dan meronta-ronta, kemudian memberontak dan terlepas dari ikatan lalu melarikan diri dengan panik! Semua pengawal terkejut dan bingung, akan tetapi segera terdengar suara mendesis-desis dan dari empat penjuru datanglah ratusan ekor ular menuju ke arah Ci Sian! Kiranya ular-ular inilah yang tadi membuat semua kuda lari ketakutan. Kini ular-ular itu kini telah berkumpul, ratusan ekor banyaknya, besar kecil dengan bermacam-macam warna, di sekeliling kaki Ci Sian, bahkan seekor ular emas yang kecil kini merayap naik mala-lui kaki Ci Sian dan terus ke atas, Ci Sian memegangnya dan memakai ular emas itu di lengan tangan kirinya seperti gelang. Ular itu melingkar di situ, persis sebuah gelang emas yang berkilauan!

   Setelah itu, Ci Sian menggerakkan bibirnya, dan terdengarlah suara melengking lain dan kini ular-ular itu bergerak menyerang ke arah para pengawal! Gegerlah para pengawal itu diserang oleh ratusan ekor, ular yang sebagian besar adalah ular-ular beracun! Wanita cantik tadi kini sudah bangkit dan dia pun menjadi terkejut dan jijik bukan main, akan tetapi aneh sekali, tidak ada ular yang merayap ke arahnya. Semua ular merayap ke dua puluh empat orang pengawal itu. Terjadilah pemandangan yang lucu dan juga mengerikan. Para pengawal itu ketakutan, dan mereka berusaha untuk menghalau ular-ular itu dengan golok mereka, akan tetapi karena banyaknya ular-ular itu, mereka menjadi ngeri dan bingung. Memang ada beberapa ekor yang mati kena bacokan, akan tetapi hampir semua pengawal telah kena digigit,

   Bahkan ada seorang pengawal gendut yang roboh karena tubuhnya dililit oleh seekor ular berwarna hitam! Pada saat itu, terdengar suara gaduh dan muncullah seorang wanita cantik yang dikawal oleh sedikitnya seratus orang perajurit! Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh lima tahun, wajahnya cantik, hidungnya mancung dan bentuk tubuhnya masih padat dan ramping. Dari pakaiannya saja mudah diketahui bahwa dia adalah seorang panglima wanita, dengan pakaian panglima yang dilindungi oleh lapisan baja di sana-sini, dengan wajah cantik yang bengis dan sepasang mata yang tajam penuh semangat! Wajah wanita ini pun membuktikan bahwa dia adalah seorang wanita berbangsa Nepal, namun rambutnya disanggul ke atas seperti model sanggul puteri-puteri bangsa Mancu!

   Rombongan ini datang berkuda dan kini dengan gerakan yang amat cekatan wanita itu meloncat turun dari atas kudanya dan dengan alis berkerut dia memandang ke arah dua puluh empat orang pengawal yang masih repot menghadapi amukan ular-ular itu, kemudian dia menoleh dan memandang kepada gadis cantik yang masih berdiri dalam keadaan kaget dan ngeri, kemudian menoleh ke arah Ci Sian dan sepasang matanya seperti mengeluarkan sinar berapi. Wanita itu lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan nampaklah sinar bercahaya keluar dari batu hijau yang dipegangnya itu. Kemudian, dengan tangan kirinya dia menyebar bubuk putih ke arah ular-ular itu dan.... ular-ular yang tadinya mengamuk itu seketika diam tak bergerak liar lagi, hanya menggeliat-geliat seperti lumpuh! Wanita itu lalu memandang kepada Ci Sian, kemudian mengangkat tangannya sambil membentak,

   "Bunuh siluman ular ini!"

   Para perajurit yang seratus orang banyaknya itu sudah mengeluarkan busur dan anak panah, siap untuk menghujankan anak panah kepada Ci Sian.

   "Tahan, Ibu....!"

   Tiba-tiba gadis cantik itu berseru dan dia pun meloncat ke dekat Ci Sian sehingga tentu saja para perajurit tidak berani melepaskan anak panah, takut kalau mengenai puteri panglima mereka itu.

   "Siok Lan, siluman ular ini telah mengganggumu dan merobohkan para pengawal, apalagi yang kaulakukan ini?"

   "Tidak, Ibu. Akulah yang mula-mula membuat dia terpaksa melawan. Kami berjumpa di sini dan aku menantangnya berkelahi. Aku hampir kalah dan para pengawalku, tanpa kuperintah, maju hendak mengeroyok, maka dia lalu memanggil ular-ularnya. Bukan salahnya, Ibu, maka harap kau suka ampunkan dia."

   Panglima wanita yang gagah perkasa itu mengerutkan alisnya, kelihatan meragu sejenak, akan tetapi setelah lama beradu pandang mata dengan puterinya, agaknya karena sayangnya kepada puterinya, dia mengalah,

   "Hemm, baiklah, akan tetapi kalau dia kelak memperlihatkan sikap tidak semestinya, aku akan membunuhnya!"

   Gadis yang bernama Siok Lan itu kelihatan girang sekali. Dia memegang tangan Ci Sian sambil tersenyum dan berbisik,

   "Lekas kau haturkan terima kasih kepada Ibuku."

   Dan dia mengguncang tangan Ci Sian. Melihat sikap gadis bekas lawannya ini demikian baik, dan karena melihat terbukanya kesempatan baginya untuk menyelidiki keadaan pasukan Nepal dan mencari Lauw-piauwsu, maka Ci Sian yang sebetulnya tidak mengenal takut itu lalu mengangguk ke arah panglima itu.

   "Terima kasih, Bibi."

   Akan tetapi panglima wanita itu bersikap tidak peduli.

   "Siapa namamu?"

   Siok Lan berbisik.

   "Namaku Ci Sian."

   Jawab Ci Sian tanpa menyebutkan nama keturunannya karena dia tidak ingin membuka atau memperkenalkan nama orang tuanya yang dirahasiakan.

   "Ci Sian, lekas kau usir ular-ularmu itu."

   Siok Lan berkata, nadanya penuh permintaan. Ci Sian memandang ke arah ular-ular itu. Dia tahu bahwa wanita perkasa itu tadi telah menyebar garam yang membuat ular-ularnya menjadi jinak dan lumpuh, juga amat menderlta. Maka dia lalu mengeluarkan saputangannya, dan beberapa kali dia mengebut ke arah ular-ular itu dengan pengerahan sin-kang.

   Bubuk putih yang mengenai tubuh ular dan yang tersebar di sekeliling ular itu terkena kebutan saputangannya lalu beterbangan ke mana-mana. Melihat ini, panglima wanita itu nampak terkejut sekali, akan tetapi dia hanya mengerutkan alis dan tidak berkata apa-apa, sungguhpun dia tahu bahwa dara penaluk ular itu sungguh-sungguh amat lihai Ilmu kepandaiannya. Ular-ular itu tidak menderita lagi setelah semua bubuk putih diterbangkan bersih dari tempat itu, dan begitu Ci Sian mengeluarkan suara melengking halus, ular-ular itu lalu bergerak pergi dari tempat itu, meninggalkan beberapa ekor ular yang telah mati dalam pertempuran tadi, seperti sekumpulan pasukan pulang dari medan perang meninggalkan mayat kawan-kawan mereka!

   "Terima kasih, Ci Sian, kau baik sekali. Sekarang kau obatilah pengawal-pengawalku yang luka oleh gigitan ular-ular berbisa itu."

   Kata pula Siok Lan. Ci Sian memandang ke arah dua puluh empat orang pengawal yang mengerang-erang kesakitan itu dan dia pun mengangguk, lalu menghampiri.

   "Tidak perlu, aku bisa mengobati mereka!"

   Tiba-tiba wanita perkasa itu berkata, nada suaranya tidak senang.

   "Siok Lan, apa sih sukarnya menolong mereka? Kau pergunakan batu bintang hijau ini untuk menyedot racun dari tubuh mereka!"

   Kata Sang Ibu dan tangannya bergerak. Batu berkilauan itu melayang ke arah Siok Lan yang menyambut dan menerimanya dengan cekatan sekali, menggunakan tangan kanannya. Dia menoleh kepada Ci Sian sambil tersenyum.

   "Adik Ci Sian, kau lihatlah betapa lihainya ibuku!"

   Dan dia pun menghampiri para pengawal itu, menempelkan sebentar batu hijau itu pada luka dan sungguh menakjubkan sekali, dalam waktu beberapa detik saja semua racun telah disedot oleh batu bintang hijau itu dan mereka semua tertolong, hanya menderita luka kecil bekas gigitan yang tentu saja tidak ada artinya lagi karena racunnya telah lenyap. Tentu saja Ci Sian memandang dengan kagum dan diam-diam dia juga heran atas kelihaian wanita yang menjadi ibu Siok Lan itu. Ketika mengembalikan batu hijau itu kepada ibunya, Siok Lan berkata, suaranya mengandung kemanjaan,

   "Ibu, aku suka bersahabat dengan Adik Ci Sian yang lihai ini, aku akan mengajaknya menjadi tamu di tempat tinggal kita. Boleh bukan?"

   Panglima itu mengerutkan alisnya, lalu mengerling ke arah Ci Sian sambil berkata singkat.

   "Sesukamulah, akan tetapi jangan suruh dia main-main dengan ular lagi, aku tidak akan mau mengampuninya lain kali!"

   Setelah berkata demtkian, dengan cekatan sekali walaupun dia berpakaian perang, wanita itu meloncat ke atas punggung kudanya dan memberi tanda kepada pasukannya untuk pergi dari situ. Siok Lan tersenyum memandang kepada Ci Sian.

   "Ibuku hebat, bukan?"

   Ci Sian mengangguk, bukan hanya untuk menyenangkan hati sahabat barunya ini, melainkan sesungguhnya dia pun menganggap wanita tadi hebat! Dan dia merasa suka kepada Siok Lan, karena dia melihat hal-hal yang baik pada diri gadis ini. Pertama, Siok Lan tidak mau melawannya yang bertangan kosong dengan senjata, hal ini sudah membuktikan kegagahannya, dan ke dua,

   Siok Lan malah mintakan ampun baginya kepada ibunya, yang tentu saja bermaksud menyelamatkannya dari bahaya maut, sungguh pun dia sendiri tadi sama sekali tidak takut menghadapi ancaman hujan anak panah. Dan hal itu saja sudah membuat Siok Lan patut menjadi sahabatnya, di samping keuntungan baginya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu. Setelah menyuruh para pengawalnya mengumpulkan kembali kuda yang tadi melarikan diri karena takut ular, Siok Lan lalu mengajak Ci Sian berkuda menuju ke Lhagat. Dia memberi seekor kuda kepada Ci Sian dan mengajak dara itu mendahului para pengawal menuju ke Lhagat, karena pengawal-pengawalnya selain masih luka dan kaget juga terpaksa mereka boncengan karena tidak semua kuda dapat mereka kumpulkan kembali.

   Hal ini saja sudah menimbulkan rasa suka dalam hati Ci Sian. Sudah jelas bahwa Siok Lan merupakan bekas lawan yang tidak mampu menandinginya, dan kalau dia menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat mencelakakan puteri panglima itu, apalagi kalau melakukan perjalanan berdua. Akan tetapi Siok Lan mengajak dia melakukan perjalanan bersama, berdua saja, hal ini menunjukkan betapa Siok Lan sudah percaya sepenuhnya kepadanya! Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota Lhagat tentu saja Ci Sian dapat memasuki kota itu dengan mudah, bahkan ketika dia dan Siok Lan lewat berkuda, para penjaga cepat memberi hormat yang tentu saja ditujukan kepada puteri panglima itu. Siok Lan membawa sahabat barunya itu ke dalam gedung besar yang tadinya menjadi tempat tinggal kepala daerah Lhagat.

   Kini, setelah pasukan Nepal menguasai Lhagat, kota itu menjadi semacam benteng dan gedung itu dipakai oleh panglima bala tentara Nepal yang melakukan penyerbuan ke daerah Tibet, yaitu panglima wanita yang kebetulan bertemu dengan Ci Sian itu, ialah ibu dari gadis cantik bersama Siok Lan. Setelah tinggal di dalam gedung di kota Lhagat itu sebagai tamu dan sahabat Siok Lan, kemudian mereka berdua bercakap-cakap panjang lebar, barulah Ci Sian mengerti mengapa Siok Lan suka kepadanya dan bersahabat dengannya. Kiranya Siok Lan adalah seorang gadis peranakan, ibunya seorang puteri Nepal sedangkan ayahnya seorang berbangsa Han yang menurut Siok Lan adalah seorang pendekar besar yang tak pernah dilihatnya dan juga Ibunya tidak pernah menyebut siapa nama pendekar itu.

   "Aku hanya diberi nama bangsamu di samping nama Nepal, yaitu Siok Lan, dan aku sendiri tidak tahu siapa nama she (nama keturunan) Ayah kandungku itu,"

   Kata gadis itu dengan nada kesal.

   "Ibu amat keras hati dan tidak pernah mau bercerita tentang Ayah kandungku. Bahkan ketika Ayah tiriku masih hidup, dia pun tidak pernah mau bercerita tentang Ayahku yang sebenarnya."

   "Ayah tirimu....?"

   Ci Sian bertanya, heran dan juga tertarik. Siok Lan memegang tangan Ci Sian dan menarik napas panjang.

   "Ibu melarang aku bercerita tentang ini, dan aku pun tidak, pernah bicara kepada orang lain tentang riwayat kami ini, akan tetapi aku suka kepadamu dan kau kuanggap adik sendiri, Ci Sian. Dengarlah Ibuku adalah seorang wanita perkasa, akan tetapi bukan bangsawan, melainkan puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari ilmu-ilmu silat. Ibu menikah dengan seorang pangeran Nepal, dan karena ibu pandai ilmu perang, maka dia lalu menduduki pangkat dalam kemiliteran. Ketika aku terlahir dan sudah agak besar, aku hanya tahu bahwa Ibu adalah isteri pangeran Nepal. Akan tetapi aku sejak kecil memakai pakaian anak bangsa Han. Kemudian Ibu mengatakan bahwa pangeran yang menjadi suaminya itu adalah Ayah tiriku, sedangkan Ayah kandungku adalah seorang pendekar Han. Hanya itulah! Ibu tidak mengatakan siapa pendekar itu dan apakah dia masih hidup...."

   Siok Lan tampak berduka, kemudian melanjutkan.

   "Karena wajahku adalah wajah wanita Han, juga kulitku, maka aku merasa terasing dan tidak mempunyai teman. Aku tekun belajar ilmu silat dari Ibu, akan tetapi aku tidak pernah hidup bahagia di kalangan Istana Nepal. Ada bisik-bisik bahwa aku adalah anak haram, bahwa aku adalah berdarah bangsa lain dan sebagainya. Maka, ketika Ibu memimpin tentara menyerbu Tibet, aku ikut! Dan aku pun ikut bertempur! Dan di sini aku bertemu dengan engkau, betapa menyenangkan hati!"

   Ci Sian yang kini mengerti mengapa gadis itu suka bersahabat dengan dia, yang dianggap merupakan orang sebangsa, dan pula juga sama-sama suka ilmu silat, bahkan puteri panglima itu agaknya kagum akan ilmu silatnya yang lebih tinggi, lalu bertanya sambil lalu,

   "Akan tetapi mengapa tentara Nepal menyerbu ke sini?"

   Dan dengan hati-hati ditambahnya,

   "Dan mengapa pula pasukan Kerajaan Ceng kabarnya dikurung di lembah?"

   Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sepasang mata itu nampak bercahaya penuh semangat, seperti mata ibunya yang menjadi pangllma itu.

   "Tentu saja! Sejak dahulu Tibet memiliki hubungan batin yang erat dengan Nepal, dan boleh dibilang Tibet merupakan daerah yang tunduk kepada Nepal. Akan tetapi semenjak Tibet diduduki dan ditaklukkan oleh Kerajaan Ceng di timur, sikap Tibet tidak bersahabat, bahkan sering memusuhi Nepal. Kedudukan Nepal agak kacau oleh seorang koksu yang ternyata seorang jahat yang hendak memberontak, maka selama itu kami diam saja. Kini, setelah kami dapat menghimpun kekuatan, di bawah pimpinan Ibuku kami menyerbu untuk menghajar orang-orang Tibet. Eh, tahu-tahu pasukan Kerajaan Mancu di negerimu itu mencampuri, tentu saja kami tidak tinggal diam."

   Mendengar ini, Ci Sian yang tidak ingin mencampuri urusan perang, juga yang tidak tahu apa-apa tentang politik, diam saja. Bahkan dia berpura-pura menaruh simpati karena dia ingin memperoleh kepercayaan agar dia mendapat kesempatan menyelidiki dan mencari Lauw piauwsu, satu-satunya orang yang agaknya dapat menunjukkan di mana adanya ayah kandungnya. Kota Lhagat memang sudah mulai ramai dan biasa kembali setelah kini perang tidak lagi terjadi di daerah itu. Pasukan Tibet telah didesak mundur terus sampai jauh masuk ke daerah Tibet sendiri, sedangkan pasukan yang tidak berapa kuat itu masih menanti-nanti bantuan dari timur, dari Kerajaan Ceng.

   Sementara itu, pasukan Ceng yang dikurung di lembah bukit juga tidak mampu menyerbu keluar, maka keadaan untuk sementara dapat dikatakan tenang, sungguhpun sewaktu-waktu diharapkan akan meledak pertempuran besar lagi, baik dari pasukan yang terkurung itu kalau menyerbu keluar kepungan maupun kalau datang bala bantuan dari Kerajaan Ceng. Sementara itu, panglima wanita itu telah mendatangkan bala bantuan pula dari Nepal untuk sewaktu-waktu mengadakan pukulan terakhir, menyerbu sampai ke ibu kota Tibet. Karena keadaan menjadi tenang kembali, kota Lhagat mulai ramai, para pedagang mulai berani berdagang, para pemburu mulai lagi bekerja dan para petani mulai lagi berladang. Juga ternyata kini oleh Ci Sian betapa sebenarnya Siok Lan tidak membohong,

   Bahwa Ibu gadis itu amat keras terhadap pasukan-pasukannya dan setiap kali terdapat gangguan pasukan yang menyeleweng dan melakukan kejahatan, terutama perkosaan, tentu akan dihukum berat. Namun, tentu saja kadang-kadang sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran. Maklum dalam keadaan perang di mana hawa napsu merajalela menguasai hati semua manusia. Ketika dia ditanya oleh Siok Lan, Ci Sian juga hanya mengatakan bahwa namanya Ci Sian bahwa dia pun tidak pernah melihat ayah bundanya dan bahwa dia tadinya ikut dengan kakeknya dan kakeknya itu tewas ketika mereka mengadakan perantauan di daerah Himalaya. Diceritakannya bahwa dia bertemu dengan Yeti dan kemudian dia berguru kepada seorang pertapa aneh yang berjuluk See-thian Coa-ong. Mendengar disebutnya nama ini, Siok Lan berseru girang,

   "Ah, sudah kuduga bahwa engkau tentu murid pertapa aneh itu! Tentu Ibu pun sudah menduganya, maka dia mau mengampunimu!"

   "Eh, kau mengenal Guruku?"

   "Siapa tidak pernah mendengar nama See-thian Coa-ong? Dia itu orang Nepal, akan tetapi kata Ibu, sejak muda dia merantau dan bertapa di daerah Himalaya. Ilmu kepandaiannya hebat sekali, kata Ibu, dan agaknya, Ibu mengingat dialah maka Ibu bersikap lunak terhadapmu, Ci Sian. Kalau tidak demikian, kiranya engkau tentu telah dibunuhnya. Ibu keras sekali terhadap musuh. Ceritakan kepadaku tentang orang aneh itu, Adikku, kabarnya dia itu.... eh, kawin dengan ular?"

   Ci Sian tertawa.

   "Mana ada manusia kawin dengan ular, Enci Lian? Suhu itu manusia biasa, hanya dia suka bertapa dan mempelajari ilmu, dan.... kesukaannya yang lain adalah mengadu ilmu, ilmu apa saja! Memang dia ahli menjinakkan ular, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia kawin dengan ular!"

   "Soal ilmu perularan ini di Nepal tidak asing lagi, Adik Sian. Akan tetapi aku sendiri selalu takut, ngeri dan jijik terhadap ular. Bukankah binatang itu jahat dan berbahaya sekali?"

   "Tidak lebih jahat dan berbahaya daripada manusia, Enci Lian."

   "Mengapa kau berkata demikian?"

   "Ular tidak pernah pura-pura. Sebagai sahabat dia setia dan sebagai musuh dia jujur dan tidak curang seperti manusia."

   Mereka lalu bicara tentang ilmu silat dan dengan sejujurnya karena dia pun mulai merasa suka kepada Siok Lan, Ci Sian memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada teman barunya ini sehingga hubungan mereka semakin akrab.

   Setelah tinggal selama beberapa hari di Lhagat, Ci Sian mendengar berita yang amat menggelisahkan semua orang, terutama sekali golongan atas, para pimpinan pasukan Nepal, yaitu bahwa ada seorang tokoh besar, seorang jenderal yang berilmu tinggi dari Kerajaan Ceng hendak datang melakukan penyelidikan ke Lhagat dengan tugas untuk menolong dan membebaskan pasukan Ceng yang terkepung di lembah itu. Bahkan Siok Lan membuka rahasia siasat ibunya yang menjadi panglima bahwa pengepungan pasukan itu memang sengaja dilakukan untuk memancing datangnya tokoh-tokoh Kerajaan Ceng untuk kemudian ditangkap dan dijadikan sandera untuk memaksa Kerajaan Ceng menarik mundur semua pasukannya dan tidak melakukan "campur tangan"

   Terhadap gerakan Nepal untuk menyerbu dan menguasai Tibet.

   Ci Sian mulai dipercaya oleh Siok Lan, bahkan panglima wanita yang bernama Puteri Nandini, ibu Siok Lan itu juga tidak begitu memperhatikan Ci Sian yang dianggapnya hanya seorang dara kang-ouw yang baru turun dari perguruannya, apalagi ketika dia mendengar dari puterinya bahwa Ci Sian adalah murid See-thian Coa-ong seperti yang memang te-lah diduganya semula ketika dia melihat dara itu pandai menguasai ular-ular. Begitu sukanya Siok Lan kepada sahabat barunya ini, dan begitu percayanya sehingga tidak jarang Ci Sian diajak oleh puteri panglima itu melakukan perondaan disekitar Lhagat untuk meneliti keadaan dalam tugasnya membantu pekerjaan ibunya. Pada suatu senja, dua orang dara remaja itu melakukan perondaan dan seperti biasa kalau melakukan perodaan seperti itu,

   Mereka menggunakan ilmu kepandaian mereka, berloncatan ke atas genteng-ganteng rumah untuk melihat kalau-kalau ada penjahat beraksi, atau untuk mendengar-dengarkan kalau-kalau mereka akan dapat menangkap rahasia apakah Jenderal Ceng atau tokoh pandai pihak musuh sudah ada yang menyelundup ke dalam kota Lhagat. Selagi dia menggunakan gin-kang dengan cepat berkelebat di atas genteng-genteng rumah, tiba-tiba Ci Sian berhenti karena telinganya menangkap rintihan atau keluhan wanita yang sedang keta-kutan, di antaranya tangis seorang bayi! Melihat Ci Sian berhenti lalu mendekati sahabatnya yang berdiri di atas genteng dan kemudian dia mengikuti Ci Sian yang meloncat ke atas genteng rumah di sebelah kiri, lalu keduanya berjongkok di atas sebuah kamar rumah darimana terdengar keluhan dan tangis bayi itu.

   "Kalau engkau tetap keras kepala dan menolak, bayimu ini akan kukirim ke neraka lebih dulu!"

   Terdengar suara bentakan tertahan, agaknya orang yang membentak itu pun tidak ingin membuat gaduh.

   "Jangan.... ohh, Jangan bunuh Anakku...."

   Terdengar suara seorang wanita sambil terisak ketakutan. Ci Sian cepat membuka genteng dan mereka berdua mengintai ke dalam.

   Apa yang mereka lihat di sebelah dalam kamar itu membuat keduanya terbelalak dengan muka berubah merah dan pandang mata penuh kemarahan! Seorang laki-laki tinggi besar bermuka bengis, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang perwira rendahan dari pasukan Nepal, sedang mencengkeram baju seorang anak kecil berusia kurang dari setahun, mengangkat anak itu dengan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya yang memegang sebatang golok besar itu diancamkan ke leher anak itu yang seolah-olah hendak disembelihnya! Anak itu meronta-ronta lemah dan menangis. Seorang wanita muda, paling banyak dua puluh dua tahun usianya, berwajah manis dan bertubuh montok karena masih menyusui, berlutut dengan air mata bercucuran dan kedua tangan menyembah-nyembah minta diampuni.

   "Engkau masih menolak kehendakku?"

   Bentak laki-laki itu bengis.

   "Aku mau.... ah, aku mau.... lepaskan Anakku...."

   Wanita itu menangis sambil dengan tangan gemetar mulai menanggalkan bajunya. Melihat ini, perwira rendahan itu tertawa, melemparkan anak itu ke atas pembaringan, menancapkan goloknya di atas meja dan dengan buas dia menubruk wanita itu lalu memeluk dan menciuminya penuh nafsu. Wanita itu, demi keselamatan anaknya, hanya merintih dan menangis, tidak berani menolak atau melawan lagi. Tentu saja Ci Sian dan Siok Lan marah bukan main. Akan tetapi sebelum dua orang dara ini mampu melakukan sesuatu, tiba-tiba jendela kamar itu jebol dan dari luar melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali.

   Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pria berpakaian perajurit Nepal akan tetapi wajah orang ini tidak dapat nampak jelas dari atas genteng. Perwira yang sedang menciumi wanita itu dan tangannya mulai merobeki pakaian korbannya, terkejut dan kelihatan marah. Akan tetapi, sebelum dia mampu mengeluarkan suara, tangan kiri perajurit itu bergerak dan terdengar suara benda pecah ketika tangan itu menampar dan mengenai kepala perwira itu! Tubuh perwira itu terpelanting dan tewas seketika! Wanita itu terbelalak ketakutan, lalu menghamplri anaknya yang masih menangis, mendekap anaknya sambil menangis sesenggukan. Perajurit yang tubuhnya tidak seberapa besar itu mengeluarkan sekantung uang dan menaruh kantung itu ke atas meja. Terdengar suaranya lembut, suara dalam bahasa daerah yang tidak kaku.

   "Jangan takut, aku akan menyingkirkan mayat. Sebaiknya engkau bawa pindah anakmu dari Lhagat, dan uang ini dapat kau pergunakan untuk biaya."

   Setelah berkata demikian, perajurit itu memondong tubuh yang sudah tewas itu, kemudian meloncat dengan gerakan yang amat tangkas keluar kamar melalui jendela. Akan tetapi sebelum ia melompat itu, dia menengadah ke atas, seolah-olah dapat memandang dua orang dara yang berada di atas genteng! Wajahnya tidak dapat nampak jelas, akan tetapi Ci Sian terkejut sekali melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, mengingatkan dia akan mata dari pendekar sakti Suling Emas atau Kam Hong!

   "Lekas.... kita kejar dia! Dia mencurigakan sekali, aku mau tahu siapa perajurit itu!"

   Bisik Siok Lan dan kedua orang dara ini cepat melayang turun dari genteng dan ketika mereka melihat tubuh perajurit yang memanggul mayat itu berlari cepat, mereka segera mengejarnya. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa perajurit itu dapat berlari cepat sekali!

   Mereka berdua sudah mengerahkan seluruh gin-kang mereka, namun tetap saja dalam waktu singkat perajurit itu telah lenyap, seolah-olah dapat terbang atau pandai menghilang! Tentu saja kedua orang dara ini menjadi penasaran. Mereka adalah dua orang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi, sedangkan yang dikejar hanya seorang perajurit biasa, yang malah sedang memanggul tubuh perwira yang tewas itu, namun ternyata mereka tidak mampu mengejarnya! Dengan penasaran sekali Siok Lan mengajak Ci Sian mencari-cari, namun hasilnya nihil. Perajurit yang memanggul mayat itu lenyap. Bahkan setelah Siok Lan memerintahkan pasukan untuk membantunya, tetap saja tidak dapat menemukan perajurit itu. Akhirnya mereka merasa putus harapan dan duduk beristirahat dengan hati mengandung penuh penasaran.

   "Dia itu pasti seorang mata-mata."

   Kata Siok Lan.

   "Tidak mungkin ada seorang perajurit biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti itu!"

   "Memang dia lihai sekali."

   Ci Sian membenarkan.

   "Cara dia dengan sekali tampar membunuh perwira itu dan ketika dia melarikan diri. Betapapun, kita harus mengaguminya, karena dia telah menolong wanita yang sengsara itu."

   Siok Lan mengerutkan alisnya.

   "Dia lancang! Dia telah membunuh seorang perwira pasukan kami dan dia tidak berhak!"

   "Akan tetapi, Enci Lan, engkau tidak adil! Bukankah perwira itu cabul dan jahat sekali? Andaikata orang itu tidak membunuhnya, aku sendiri tentu turun tangan membunuhnya!"

   Ci Sian yang berwatak jujur itu berkata terus terang.

   "Memang aku sendiri pun sudah ingin turun tangan. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa penjahat itu adalah seorang perwira, maka dia tunduk kepada hukum dan disiplin.

   "Mengapa harus orang lain yang menghukumnya, apalagi kalau orang lain itu agaknya adalah mata-mata musuh?"

   "Betapapun juga, sekarang terbukti lagi bahwa orang-orangmu jahat-jahat, Enci Lan. Perwira itu sungguh berhati binatang, bahkan seperti iblis jahatnya, patut sekali dia dibunuh sampai sepuluh kali!"

   Siok Lan menarik napas panjang.

   "Aahh, begitulah perang. Menurut ilmu perang yang kupelajari dari Ibuku, memang perang selalu mendatangkan akibat-akibat seperti itu! Pasukan yang berada dalam perang, selalu terancam nyawanya, penuh dengan dendam dan rasa takut, penuh dengan kebencian terhadap musuh. Hal ini baik sekali untuk semangat pasukan. Pula, mereka itu jauh dari keluarga, jauh dari isteri sehingga rata-rata menjadi lemah kalau melihat wanita. Nah, semua itu mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan seperti yang kita lihat, Adik Sian."

   "Jadi, menurut anggapanmu, perbuatan itu tidak salah dan sudah sepatutnya? Apakah engkau tidak membayangkan bagaimana seandainya engkau yang menjadi wanita itu, Enci yang baik?"

   Biarpun nada suaranya halus, namun penuh ejekan dan kemarahan. Siok Lan tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya.

   "Simpan kemarahanmu, Adik Ci Sian. Aku tadi sudah bilang bahwa aku sendiri akan membunuhnya kalau tidak didahului oleh mata-mata itu! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya, bukan melindunginya atau membelanya. Oleh karena itu, Ibu mengeluarkan peraturan keras dan disiplin. Akan tetapi, sudah tentu saja kadang-kadang terjadi pelanggaran oleh orang-orang yang lemah batinnya dan dan hal ini adalah lumrah. Kurasa di seluruh dunia pun terjadi hal-hal yang sama di waktu terjadi perang. Akan tetapi, kalau ada satu dua orang tentara yang dikuasai nafsu itu melakukan pelanggaran lalu engkau memberi cap bahwa semua pasukan Nepal seperti itu! Buktinya, aku sendiri adalah puteri panglima pasukan Nepal yang berkuasa di sini, akan tetapi aku menentang keras perbuatan jahat itu."

   Kini mengertilah Ci Sian dan dia pun mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kagum karena biarpun usia Siok Lan masih muda, paling banyak setahun lebih tua daripadanya, namun sudah memiliki pengetahuan yang luas.

   

Jodoh Rajawali Eps 56 Jodoh Rajawali Eps 45 Jodoh Rajawali Eps 22

Cari Blog Ini