Kisah Pendekar Pulau Es 9
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Suma-taihiap, tolonglah, selamatkanlah nyawa kekasihku ini....!
Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan memeriksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka hanya saling pandang setelah mengadakan pemeriksaan karena keduanya maklum bahwa nyawa wanita itu tak mungkin dapat diselamatkan lagi. Bagian dalam tubuhnya luka hebat oleh pukulan keras, dan juga lambungnya terluka parah oleh bacokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang terhias luka-luka yang cukup dalam dan parah. Mereka berdua memandang dengan hati iba dan diam-diam merekapun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu kekasih.
Memang sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang sejak lama menjadi kekasih hati Kaisar Kian Liong, sejak kaisar ini masih menjadi seorang pangeran. Beberapa tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada Kaisar Yung Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid Siauw-lim-pai wanita yang bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun.
Iapun mendendam kepada kaisar yang masih terhitung susioknya sendiri karena gurunya menderita sengsara ketika isteri gurunya itu pada suatu hari diperkosa oleh kaisar! Souw Li Hwa ikut rombongan para hwesio Siauw-lim-pai untuk membalas dendam dan menyerbu istana. Akan tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu rohoh dan tewas semua kecuali Souw Li Hwa yang berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu dengan Pangeran Kian Liong yang segera menolongnya, menyembunyikannya, bahkan mengawalnya keluar istana sampai selamat.
Ternyata sang pangeran itu jatuh cinta kepada Souw Li Hwa. Sebelum berpisah, pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran berjanji bahwa kelak dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar. Peristiwa ini diceritakan dengan jelas dalam cerita Suling Emas dan Naga Siluman .
Souw Li Hwa masih sadar dan gadis inipun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Iapun maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat ditolong lagi, maka iapun berkata lemah.
"Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat hidup....!
"Li Hwa.... ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku? Ini.... ah, ini cincinku masih kau bawa.... tapi kenapa engkau tidak muncul....?! Kaisar muda itu menarik sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa dan ternyata cincin pemberiannya tergantung pada tali itu.
"Sri baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu.... seorang mulia seperti paduka....?!
"Ahhh, Li Hwa kekasihku. Akulah yang bersalah, aku telah melupakanmu.... terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal, cintaku padamu tak pernah padam. Li Hwa, kaumaafkan aku....!
"Sudahlah, sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ah, hamba puas.... ternyata paduka masih mencinta....! Gadis itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah.
Melihat wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar Kian Liong menjadi panik.
"Taihiap.... ah, tolonglah dia....!
Akan tetapi Kian Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang.
"Luka-lukamya terlampau parah, sri baginda.!
Jawaban ini cukup bagi Kian Liong. Dia merangkul dan menciumi muka yang pucat itu sambil menangis.
"Li Hwa.... ah, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku sebagai isteri tercinta....!
Souw Li Hwa membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu walaupun bibirnya mengarah senyum dan wajahnya berseri.
"Sri baginda.... kekasih hamba.... hamba rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta....! Dan iapun terkulai karena nyawanya telah melayang.
"Li Hwa....!!
"Sri baginda, ia telah tiada....! Siang In berkata halus dan mengambil mayat itu dari pangkuan kaisar. Kaisar Kian Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu, air matanya turun dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian dia membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar yang tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan perahu mereka, dia cepat memberi perintah.
"Tangkap penjahat-penjahat itu dan beri hukuman berat kepada mereka!!
Menerima perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung, akan tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam, mencari lima oraug penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap lima mayat saja karena lima oraug penjahat tadi telah mati semua.
Suma Kian Bu dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi pangkat selir pertama kepada wanita yang telah mati itu, dan jenazahnya dikubur dengan upacara kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.
Setelah ikut menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa, suami isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan istana dan merekapun mulai melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah menculik dan melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar tentang datuk itu dan tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri itu. Mereka makin giat menyelidiki dan mengambil keputusan takkan berhenti mencari sebelum mereka berhasil menemukan putera mereka.
Peralihan dari kehidupan kepada kematian merupakan rahasia besar yang mentakjubkan. Kalau memang kematian sadah saatnya tiba, maka ada saja yang menjadi lantaran dan kematian itu tidak dapat ditolak dengan cara bagaimanapun juga. Betapapun pandainya manusia, namun semua harus tunduk terhadap hukum alam ini, ialah kehidupan tentu berakhir dengan kematian dan tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya atau memperpanjang waktu tibanya kematian.
Kalau sadah tiba saatnya, biar hendak bersembunyi di lubang semut, tetap saja kematian datang menjemput. Sebaliknya, kalau saat kematian belum tiba, biar kita berada di bawah ancaman maut yang bagaimana hebatpun, yang nampaknya tidak mungkin kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang membuat kita terluput daripada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus. Sudah terlalu banyak contoh-contoh tentang kematian yang datang tiba-tiba tanpa tersangka-sangka, dan tentang orang-orang yang selamat dan luput dari kematian padahal sadah terkurung maut dan agaknya tak ada harapan untuk lolos lagi.
Ada orang yang sejak mudanya menjadi perajurit sampai tua, puluhan tahun berada dalam kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut merenggut nyawanya, namun ternyata dia selamat, terlukapun tidak, sampai dia meugundurkan diri dari pekerjaan sebagai perajurit karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit seekor nyamuk saja bisa mendatangkan penyakit yang akan memyeretnya ke lubang kubur!
Inikah yang disebut nasib? Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita kehabisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut nasib, yang penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati melainkan untuk memelihara badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari bencana.
Dilihat keadaannya, ketika perahu yang ditumpangi para cucu penghuni Pulau Es itu terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Ceng Liong yang terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak terbunuh, bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin Liong ternyata juga tidak tewas walaupun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang penjahat cabul yang kejam dan Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai. Demikian pula dengan Suma Ciang Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai seperti yang dikhawatirkau saudara-saudaranya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, seperti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang. Seorang ahli renang yang bagaimana pandaipun takkan mungkin dapat melawan gelombang dahsyat dalam badai itu. Apalagi Ciang Bun yang kepandaiannya dalam air terbatas. Dia mencoba untuk berenang mendekati perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh dari perahu. Dia berusaha mempertahankan dirinya agar tidak minum tcrlalu banyak air laut. Tubuhnya terbawa ombak, diangkat tinggi-tinggi sampai dia merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke bawah, dalam sekali dan hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sin-kang kuat saja maka isi perutnya tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali dibanting oleh gelombang.
Bagaimanapun juga, tenaga manusia adalah terbatas dan ketika Ciang Bun sudah hampir tidak kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong papan kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu mencengkeram kuat-kuat dan dipeluknya papan kayu itu, di mana dia bergantung dalam keadaan setengah pingsan, membiarkan dirinya dibawa ke manapun juga oleh papan kayu yang dipermainkan gelombang membadai itu. Kalau memang belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman maut, di tengah lautan bergelora yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul sepotong papan kayu yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan lolos dari cengkeraman maut.
Untung bagi Ciang Bun bahwa agaknya nalurinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau tidak demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang menggerakkan pemuda ini sehingga tanpa disadarinya, kedua tangannya tak pernah melepaskan papan kayu itu.
Air lautan tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar cerah matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan itu. Dia teringat bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar menyentuh hatinya dan cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah payah dia duduk di atas papan kayu yang tidak berapa besar itu. Dia menggigil karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawan hawa dingin dan sebentar saja tubuhnya sudah terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah, lapar dan mengantuk.
Di samping perasaan yang bercampur aduk ini, diapun teringat kepada Cin Liong, Ceng Liong dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wajah Ceng Liong dan hatinya merasa berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas. Kemudian, wajah Cin Liong terbayang dan diapun merasa kasihan sekali kepada pemuda perkasa yang telah banyak berjasa terhadap keluarganya itu. Baru kemudian dia teringat kepada encinya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.
Semenjak mereka tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng Liong daripada dengan encinya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia selalu membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal muda yang gagah perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda itu.
Memang akhir-akhir ini terjadi suatu perobahan dalam batin Ciang Bun, perobahan yang dia sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya biasa saja, akan tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di Pulau Es dan hidup bertiga dengan Ceng Liong dan Suma Hui, tanpa disadarinya timbul suatu perobahan.
Dia merasa suka sekali untuk berdekatan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul, ada daya tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang membuat dia kadang-kadang merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin selalu kelihatan rapi dan elok seperti encinya. Padahal Suma Hui sendiri termasuk dara yang sederhana sehingga dalam hal berpakaian, Ciang Bun lebih rapi daripada kakaknya. Apakah gejala ini timbul karena sejak kecil dia hanya berdua saja dengan encinya sebagai saudara kandung yang tunggal?
Selalu berdekatan dengan kakak wanita sehingga dia meniru-niru encinya dan mempunyai ciri-ciri seperti seorang wanita? Dia sendiri tidak sadar dan juga tidak tahu, akan tetapi yang diketahuinya hanyalah bahwa setelah menginjak usia lima belas tahun, dia merasa tertarik sekali kepada lelaki dan menyukai wajah dan bentuk tubuh laki-laki yang jantan.
"Aduh, lapar sekali perutku....!! Ciang Bun mengeluh dan mengusir renungan memedihkan tentang saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, hidup atau mati.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang, teriakan-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia yang sedang bermain-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun tertegun, terbelalak, juga mengkirik melihat betapa dua orang muda remaja itu, seorang pria dan seorang lagi wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan!
Bukan manusia, pikirnya. Mana mungkin ada manusia pandai berlari-larian di atas air? Walaupun dia pernah menyaksikan mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik lamanya. Akan tetapi dua orang muda-mudi itu bermain-main, berloncatan dan berlarian sambil tertawa-tawa!
"Kalau bukan sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman....! bisik Ciang Bun dalam hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang. Dia mengucek matanya akan tetapi ketika membuka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih ada, bahkan kini mereka mendekat ke arahnya.
"Heii, lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!! teriak si dara.
"Benar, tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu? Bukankah dia manusia di atas papan itu?!
"Benar, koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!! teriak si dara dan mereka lalu menggerakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang itu sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu yang panjang runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, dan dengan menggerakkan kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan, alas kaki yang seperti dua perahu kecil itu meluncur ke depan!
Akan tetapi, untuk dapat mengatur keseimbangan tubuh di atas dua perahu kecil itu dan untuk dapat bergerak demikian leluasa, tentu membutuhkan keringanan tubuh dan latihan yang hebat, juga tenaga sin-kang amat diperlukan ketika mengayun tubuh ke depan. Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang sembarangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi bukan itu saja yang membuatnya bengong terlongong. Dua orang itu kelihatan demikian eloknya!
Yang perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan ranum itu amat indah dan Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara itu yang mengingatkan dia akan keindahan tubuh encinya. Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh melampaui encinya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan manis sekali, dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang amat manis. Akan tetapi, hanya sebentar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah dan tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan basah karena air lautan sehingga pakaian itu menempel ketat pada tuhuhnya, mencetak tubuh yang menggairahkan itu.
Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Ciang Bun. Kini dia terpesona, ya terpesona, memandang ke arah pemuda yang meluncur di samping dara itu. Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau.
Wajahnya yang agak kecoklatan karena kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah dan tampan, sepasang matanya juga mencorong seperti bintang, hidungnya mancung dan mulutnya juga manis seperti mulut si dara, hanya dagu pemuda ini membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-benar terpesona. Apalagi tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah, tegap, bidang dan mengandung kekuatan yang mentakjubkan. Baru sekarang Ciang Bun melihat bentuk tubuh yang demikian tegap dan gagahnya, dan tanpa disadarinya, jantungnya berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba saja dia merasa sungkan dan malu-malu.
"Eh, apa yang kau lihat? Apakah engkau belum pernah melihat orang?! Tiba-tiba gadis remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak. Pemuda yang bertelanjang baju hanya memandang sambil tersenyum ramah. Bukan pertanyaan dara itu yang membuat Ciang Bun gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda itu.
"Aku.... aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas lautan seperti kalian ini....!
"Hi-hi-hik....!! Dara itu tertawa terkekeh geli.
"Ha-ha-ha-ha....!! Pemuda itupun tertawa. Sikap mereka demikian gembira, suara ketawa mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang biasanya pendiam dan serius, terseret oleh kegembiraan mereka dan dia sama sekali tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama sekali tidak seperti mentertawakannya. Maka diapun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walaupun dia tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.
"Ha-ha-ha-ha!! Dia tertawa. Melihat pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin keras.
Ketawa itu sepertitangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki. Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan merekapun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.
"Byuurrrr....!! Air muncrat tinggi.
"Heiii....!! Si pemuda berteriak dan diapun terpelanting dan jatuh pula. Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali dan diapun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.
Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya terhenti sama sekali, matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali! Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam?
Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air. Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu. Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlumba!
Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka diapun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadimenahan napas. Dengan mengandalkan sin-kangnya, memang dia dapat bertahan lebih lama daripada orang biasa.
Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air amat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.
Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya! Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapuya papan itu dan diapun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya.
Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir. Dua orang muda itu sudah demikian lamanya di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sin-kang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu dan kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka? Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!
Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.
"Nih, sobat, kau bawakan ikan-ikanku!! kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk. Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandinakan dengan dia sendiri kalau berenang, walaupun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan iti menggelepar dan meronta.
Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dau empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.
"Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,! kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun.
"Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?!
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan diapun mengangguk.
"Ke pulau? Pulau manakah?!
"Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.!
Ciang Bun terkejut.
"Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?!
"Heii, orang muda aneh, apa yang kau ketahui tentang Pulau Nelayan kami?! gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.
Ciang Bun mengangguk.
"Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....!
Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.
"Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yaug mengetahui rahasia daerah lautan ini?! tanya pemuda ganteng itu.
"Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.!
"Aihhh....!! Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh hormat dan kagum.
"Kiranya engkau adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?! kata pemuda itu.
"Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....! sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.
"Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!! Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.
"Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!! kata pemuda itu.
Ciang Bun memandang dan mukanya berobah merah.
"Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.!
"Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.!
"Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,! kata Ciang Bun ramah.
"Bun-hiante....!! Lee Siang menyebut girang.
"Bun-koko....!! Dara itupun menyebut dengan sikap agak malu-malu namun iapun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.
"Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?! tanya Ciang Bun.
"Hi-hik!! Lee Hiang tertawa.
"Bukankah engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?!
"Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?!
Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.
"Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!!
Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pcmuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.
"Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!! kata Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta. Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Dua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan. Tubuh kedua orang muda itupun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bnn ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.
"Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?! Ciang Bun bertanya.!Apa katamu, Bun-hiante?! Lee Siang balas bertanya sambil menoleh tanpa menghentikan gerakan tubuhnya. Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia mengulang pertanyaannya, sekali ini mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.
Ciang Bun menggeleng kepala.
"Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dau disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.!
Kakek yang bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk.
"Mungkin begitu dan memang aku sendiripun masih merasa heran mengapa di antara seratus lebih penghuni pulau ini, hanya aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh.!
Kakek Liu Ek Soan lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, pada suatu malam, tanpa diduga-duga badai yang amat dahsyat mengamuk di daerah itu. Belum pernah ada badai sehebat itu dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik tinggi ke pulau, menyapu seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di pulau itu.
Habis binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah merekapun terseret bersih dan pulau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan yang menjadi ketua pulau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni Pulau Nelayan, berhasil menyelamatkan diri walaupun dia sendiri terseret sampai jauh sekali ke tengah lautan.
Dalam keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan ngeri menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada keesokan harinya muneul sebuah pernau kecil yang ditumpangi oleh dua orang cucunya, yaitu Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun dan empat tahun!
Kiranya dua orang kakak beradik ini, pada sore harinya sebelum badai datang, telah berperahu dan mencari ikan, akhirnya tertahan di sebuah pulau kosong kecil dan tidak berani pulang karena ombak mulai bergelora. Malam itu, sambil menangis keduanya berangkulan di tengah pulau kosong. Badai mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit dan air laut tidak sampai menyapu permukaan bukit.
Baru pada keesokan harinya ketika laut tenang kembali, keduanya turun dari atas bukit menuju pantai di mana mereka tidak melihat lagi perahu mereka. Dua orang auak-anak itu sudah biasa dengan lautan, bahkan sebelmn mereka mampu berjalan kaki, mereka sudah pandai berenang! Maka ketika mereka melihat ada perahu kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke air, berenang dan menuju ke perahu itu.
Dia tidak tahu bahwa itu adalah satu di antara perahu-perahu dari Pulau Nelayan yang tersapu air laut dalam amukan badai semalam. Didayungnya perahu ke pautai dan bersama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di pulau ini mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau menjadi gundul dan hanya ada seorang manusia di situ yang menyambut mereka, yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang merangkul mereka sambil menangis sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan bibi mereka, saudara-saudara misan mereka, para tetangga, semua habis lenyap ditelan gelombang samudera mengganas.
"Demikianlah, kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorangpun yang tahu akan hal ini. Aku merawat dan mendidik dua orang cucuku ini, kami hidup sederhana dan cukup bahagia di pulau kami.!
Ciang Bun memandang kagum.
"Berkat pendidikan locianpwe, Siang-twako dan Hiang-siauwmoi ini menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.!
"Ah, Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es? Kami hanya mempelajari sedikit ilmu dalam air.!
"Itulah yang amat mengagumkan hatiku. Mereka berdua ini dapat bergerak di air seperti ikan saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat bergerak di permukaan air sedemikian gesit dan ringannya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu itu.!
"Bun-ko, kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?! tiba-tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.
"Benar, kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu, Bun-hiante!! Lee Siang menyambung. Pemuda inipun suka sekali kepada Ciang Bun yang tampan gagah dan pendiam itu, apalagi mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang mereka bertemu dengan manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan persahabatan dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang amat menggembirakan hati mereka.
Lain lagi yaug dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan kakek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cucu Pendekar Super Sakti, putera Suma Kian Lee keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. Pemuda ini adalah keturunan pcndekar besar dan alangkah baiknya, alangkah akan bangga dan puas rasa hatinya kalau cucunya yang terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan pemuda ini! Dia akan berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat! Dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik manis dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak demikian akrab. Mengapa tidak?
"Tentu saja aku akan merasa gembira sekali dapat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu bergerak di air,! katanya dengan wajah berseri.
"Dan untuk itu sebaiknya kalau Suma-kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu, kongcu?!
Suma Ciang Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini dan rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda hebat itu. Dan diapun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik dan mengenal keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti mereka, agaknya dia tidak perlu takut lagi menghadapi amukan badai seperti semalam.
"Baiklah, locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara dan mempelajari ilmu itu.!
"Tapi, harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa malu kalau kau sebut begitu, terlalu tinggi bagiku....!
"Lalu aku harus menyebut bagaimana?!
Kakek itu tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat! "Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan dua orang cucuku, bagaimana kalau engkau pun menyebut kakek kepadaku?!
Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ciang Bun menjadi girang sekali "Baik, Liu-kong-koug, akan tetapi karena kong-kong menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga sebaiknya kalau kong-kong menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam.!
"Ha-ha-ha, baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es.!
Demikianlah, mulai hari itu, Ciang Bun tinggal!Bun-koko, mari kita latihan menyelam dan mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air sudah kau pelajari dari kong-kong, hanya tinggal mematangkan latihan saja,! kata Lee Hiang yang berdiri di atas perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri dengan alas kaki kayunya. Dia berlatih membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya pemuda ini sudah mahir sekali. Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu duduk di atas perahu memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.
Mendengar ajakan dara itu, dia mengangguk.
"Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu terlalu cepat dan gesit untukku. Pula, tubuhnya amat licin sehingga sukar untuk ditangkap.!
"Aku akan membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiripnn tanpa dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan dalam kebingungan baru dia dapat ditangkap karena kalau bingung dia menyusupkan kepalanya ke dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi dia merupakan bahan latihan bergerak dalam air yang baik sekali.!
"Baiklah, mari!! kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air. Akan tetapi lengannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang mata saling bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata Ciang Bun memandang biasa saja, agak heran.
"Ada apakah, Hiang-moi?!
"Engkau lupa penutup telingamu,! kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berobah merah karena pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh ketegangan aneh.
"Ah, engkau benar. Pelupa sekali aku!! kata Ciang Bun dan diapun memasang alat pelindung telinganya. Untuk melakukan penyelaman sampai lama di dalam lautan, telinga perlu dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu meloncat ke air dan menyelam.
Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air. Ciang Bun hanya mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya telanjang. Kulitnya putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air itu. Kini, dia telah pandai menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air dan gerakan ombak. Memang pada dasarnya dia memiliki sin-kang yang amat kuat, maka setelah diberi petunjuk oleh kakek Liu, sebentar saja dia telah menguasai ilmu itu dan berkat sin-kangnya, dia malah lebih kuat menahan napas dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.
Juga pandang mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun. Hal inipun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang menjadi penunjuk jalan. Tiba-tiba dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor belut merah berenang perlahan di depan. Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan bahwa dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari belakang.
Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti. Dara itu lalu mempercepat gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk mendahului belut itu, kemudian membalik dan menghadang di depan! Belut itu panjang, ada satu meter panjangnya dan sebesar lengan dara itu. Melihat ada mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan tubuhnya. Akan tetapi Ciang Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari tangannya terbuka dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya.
Melihat ini, belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan belakangnya ada mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri, akan tetapi Lee Hiang sudah mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan. Belut itu mengelak dan membalik, akan tetapi sudah ada Ciang Bun yang menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun mencengkeram dan berhasil menangkap belut itu pada perutnya. Belut itu meronta, dan membelit hendak menggigit.
Akan tetapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula, tepat pada lehernya. Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir yang licin, dua orang muda itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu tidak terlepas kembali. Dalam pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu lengan Ciang Bun sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu merangkul lehernya. Kemudian tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu dengan mulut Ciang Bun.
"Ihhh....!! Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan diapun melepaskan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu tcrlepas dan melarikan diri, sedangkan pelukan merekapun terlepas.
Ciang Bun berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur dari arah kiri. Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang Bun yang masih belum mengenal benar keadaan di lautan itu, melihat adanya seekor belut putih yang panjangnya ada satu meter akan tetapi lebih kecil daripada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat dia menyambar dan menangkap belut itu.
"Pratttt!! Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun. Pemuda itu tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri. Melihat ini, Lee Hiang cepat menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah ia menyembulkan kepalanya di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang pingsan itu dengan menjambak rambutnya, ia melihat kakaknya duduk di dalam perahu dan beristirahat.
"Siang-ko....! Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!!
Mendengar ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil mereka. Melihat Ciang Bun rebah tcrlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas nampaknya berhenti sama sekali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee Hiang menjerit dan menubruk tubuh itu dan menangis.
"Bun-ko....! Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!! Ia menangis sesenggukan. Tangan Lee Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda itu yang keren.
"Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukulmu kalau melihat sikapmu yang cengeng ini! Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan oleh kong-kong.!
Lee Hiang melepaskan rangkulammya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum berhenti menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee Siang lalu memeriksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan bahwa urat nadi itu masih berdetak, walaupun lemah sekali. Kalau tidak cepat ditolong, tentu urat nadi itu akau berhenti berdetak pula.
Maka tanpa ragu-ragu dia lalu mengangkat kepala Ciang Bun dengan menaruh tangan kiri pada bawah tengkuk, membuka mulut Ciang Bun, menggunakan tangan kanan menutup lubang hidung pemuda itu dan merapatkan mulutnya ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang Bun. Dada Ciang Bun bergerak mekar dan ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang melepaskan "ciumannya!, dada itu mengempis lagi. Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya pernapasan Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah berjalan kembali, melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.
"Bun-koko.... sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!!
Suara inilah yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Dia sudah sadar kembali akan tetapi belum membuka matanya, bahkan kiri hampir tidak berani membuka matanya ketika mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya! Hatinya merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan pengalamannya tadi. Dia berhasil menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium mulutnya! Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih yang hendak ditangkapnya lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan tidak ingat apa-apa lagi.
Ciang Bun membuka matanya, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang Lee Siang merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan Lee Siang ini! Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk dan bertanya.
"Apakah yang terjadi? Di mana.... eh, belut itu....?!
Lee Hiang memegang tangan kirinya dengan kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang Bun merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut kalau-kalau menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja.
"Bun-ko, tahukah engkau bahwa engkau nyaris tewas sehingga aku menjadi amat khawatir?!Ciang Bun memandang wajah yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya masih basah, bukan hanya basah air laut melainkan juga air mata.
"Apa yang terjadi?!di Pulau Nelayan bersama Liu Ek Soan, Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang. Dengan tekun dia mempelajari ilmu di dalam air, dibimbing dengan penuh perhatian oleh Lie Ek Soan, dan dibantu pula oleh Lee Siang dan Lee Hiang.
Seperti yang diidam-idamkan oleh kakek itu, pergaulan antara cucu keluarga Pulau Es dan cucunya itu berjalan lancar dan mereka nampak akrab sekali. Bahkan pada bulan-bulan berikutnya, pandang mata kakek yang sudah berpengalarnan ini dapat melihat dengan jelas bahwa cucunya perempuan, Lee Hiang, telah jatuh hati kepada Ciang Bun! Akan tetapi kakek ini merasa ragu apakah cucu Pendekar Super Sakti itu juga "ada hati! kepada dara itu.
Ciang Bun orangnya pendiam dan sukar menjenguk isi hatinya. Sikapnya kepada Lee Hiang memang ramah dan baik, akan tetapi tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda ini tertarik kepada dara yang sedang manis-manisnya, bagaikan bunga sedang mekar semerbak itu. Sikap Ciang Bun biasa saja, bahkan nampaknya pemuda ini lebih akrab dan lebih dekat dengan Lee Siang daripada dengan Lee Hiang!
"Belut putih yang kau tangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir. Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang mengandung kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena lecutan belut itu tentu akan mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak diserang lebih dulu dan karena engkau hendak menangkapnya, maka dia menyerangmu. Ah, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko. Untung ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati dilecut binatang itu.!
Lee Siang juga menyambung.
"Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sin-kang yang amat kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat, seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat sin-kangmu, maka hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu masih berdetak lemah. Aku hanya tinggal membantu pernapasanmu saja.!
"Membantu pernapasan?! Ciang Bun bertanya heran.
"Ya, membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti oleh guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti, baru aku akan membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat. Hal itu amat berbahaya karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung tulang igamu! Syukur engkau selamat berkat kekuatan sin-kangmu.!
Ciang Bun memandang dengau kagum.
"Ah, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu, twako.!
Lee Siang menggerakkan tangan dengan jengah "Aih, mengapa engkau begitu sungkan? Sudah sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu.!
"Akupun ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang di antara kalian, atau orang lain.! Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan.
"Bagaimana sih cara pengobatan itu? Menggunakan obat? Bagaimana engkau bisa membantu pernapasan orang lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti? Apakah dengan totokan-totokan tertentu?!
"Tidak, maelainkan dengau meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut,! jawab Lee Siang.
"Ehhh....? Bagaimana caranya? Coba kau beri contoh, twako, bagaimana cara engkau menolongku tadi?!
Mendadak saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang tersenyum-senyum aneh.
"Hei, kalian kenapa?!
"Pengobatan itu dilakukan dengan cara mencium....! dara itu berkata jenaka.
"Ehh? Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara pengobatan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini.
"Siang-koko, kenapa tidak kau beri contoh saja dia ini. Biar puas hatinya,! Lee Hiang menggoda.
Lee Siang menghela napas.
"Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau pingsan.! Setelah Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata.
"Mula-mula engkau periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan, pernapasanmu terhenti sama sekali akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walaupun lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu masih bekerja. Lalu aku mengangkat lehermu begini, maksudnya agar lubang kerongkonganmu terbuka lebar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu begini.! Biarpun sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup mulut Ciang Bun yang dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan diapun meniup keras-keras!
Ciang Bun terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam air tadi, kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan tetapi dia terbatuk-batuk ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuatnya ke dalam paru-parunya. Hal ini terjadi karena dia terkejut dan tentu saja timbul perlawanan dari kerongkongannya.
Lee Hiang memandang sambil tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum saja.
"Nah, usaha itu kau ulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau sampai paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau nadinya sudah tidak berdenyut lagi yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat itu, engkau totok dia di sini.! Dia meraba dua jalan darah di pungung dan atas lambung dan menambahkan.
"Kemudian engkau tekan dan pijit arah jantung dari dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung tulang iga, akan tetapi hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk meughimpit dan mendorong jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja kemhali.!
Akan tetapi perhatian Ciang Bun sudah kurang dapat dipusatkan. Jantungnya berdebar keras ketika dia memandang Lee Siang, terutama memandang ke arah mulut itu, ke arah bibir yaug baru saja menempel pada bibirnya. Mukanya menjadi merah sekali dan kakak beradik itu tentu saja mengira bahwa merahnya muka itu karena tersedak ketika ditiup tadi.
"Bun-ko, kau belajarlah yang baik agar lain kali kalau aku yang menjadi korban belut petir, engkau dapat menolongku,! kata Lee Hiang dengan wajah berseri dan bibir terseryum nakal.
"Eh, bocah nakal! Kenapa engkau ingin benar ditolong Bun-hiante?! kakaknya menggoda.
"Aku lebih senang dicium oleh Bun-ko daripada oleh orang lain!! jawab Lee Hiang dengan polos dan jujur.
Kakak dara itu tertawa.
"Ha-ha-ha, agaknya engkau sungguh jatuh cinta mati-matian kepada Bun-hiante. Bagaimana dengan engkau, Bun-te?!
Ciang Bun menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan dia mengerutkan alisnya. Kakak beradik ini sungguh terlalu terbuka dan polos, bicara soal cinta begitu saja dan dara ini menyatakan keinginan diciumnya, menyatakan cintanya begitu terang-terangan sedangkan kakaknya tidak menegurnya bahkan membantunya dan mendorongnya bicara tentang cinta. Dia sendiri tentu saja merasa malu dan jengah, dan tidak dapat menjawab sama sekali.
Melihat ini, kakak beradik itu hanya tersenyum, bahkan Lee Siang lalu tertawa keras.
"Ha-ha-ha, Bun-hiante nampak malu-malu, jangan kita membuat dia bingung, Hiang-moi. Marilah kita pulang agar kong-kong tidak mengharap cemas.!
Mereka berperahu kembali ke pulau dan Ciang Bun menjadi termenung seorang diri, memikirkan keadaan dua orang kakak beradik ini, juga memikirkan keadaan batinnya sendiri yang mengalami gejolak amat hebatnya, membuat matanya terbuka dan dia melihat hal-hal aneh terjadi pada dirinya yang membuatnya cemas dan gelisah.
Tentu saja kepolosan dan kejujuran kakak beradik itu membuat Ciang Bun terkejut dan heran bukan main, bahkan ada kesan di hatinya bahwa mereka itu tidak sopan! Apakah soal cinta, bahkan soal sex, merupakan hal yang tidak patut untuk dibicarakan secara terbuka? Benarkah bahwa membicarakan hal itu secara jujur merupakan hal yang "tidak sopan!? Tentu saja tidak sopan kalau diukur dari ukaran kesopanan umum, tidak susila kalau dipandang dari kacamata kesusilaan umum.
Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang sejak kecil hidup di pulau kosong bersama kakeknya, dan mereka itu hanya sekali waktu saja bertemu dengan orang-orang lain jika kebetulan mereka ikut kakek mereka untuk berbelanja ke daratan besar atau ke pulau-pulau lain. Mereka mendapatkan pendidikan bun (tulisan) dan bu (silat) dari kakek mereka sendiri. Akan tetapi kakek mereka ini cukup bijaksana untuk memberi pengertian kepada mereka tentang cinta antara pria dan wanita dan tentang hubungan antara pria dan wanita, walaupun secara sederhana.
Kemudian, dengan menyaksikan hubungan-hubungan kelamin antara binatang-binatang di sekitar tempat itu, antara ikan-ikan, burung-burung dan binatang hutan yang mereka dapatkan di kepulauan lain, kedua orang kakak beradik ini tumbuh dengan pengertian tentang cinta dan sex secara wajar.
Mereka tahu bahwa hubungan itu antara kakak dan adik adalah hal yang tidak baik, tidak wajar dan menurut kakek mereka, berbahaya bagi kesehatan mereka, maka mereka menganggapnya sebagai hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Pengertian ini membuat cinta mereka sebagai kakak beradik tidak dipengaruhi berahi sama sekali. Namun, mereka sudah biasa untuk bicara tentang cinta, bahkan tentang sex, secara terbuka dan tanpa malu-malu, seperti kalau mereka bicara tentang penderitaan lapar dan haus, dan tentang kenikmatan makan dan minum. Keterusterangan inilah yang membuat Ciang Bun menjadi terkejut, heran dan juga malu dan canggung.
Suling Emas Naga Siluman Eps 11 Suling Emas Naga Siluman Eps 50 Suling Emas Naga Siluman Eps 31