Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 11


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



"Ci Sian...."

   Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu terkandung tenaga khi-kang yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan seluruh permukaan bukit es itu. Tak disangkanya bahwa latihan selama tiga bulan meniup suling itu telah mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya, padahal dia baru saja dapat menutup sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah. Akan tetapi kenyataan yang menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh dengan kekhawatiran tentang Ci Sian.

   "Ci Sian, di mana engkau....?"

   Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak memanggil nama dara itu. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat itu, seolah-olah ditelan bumi. Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi ataukah ditelan jurang yang mengerikan itu? Jantungnya seperti ditu-suk rasanya. Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang sedemikian curamnya sehingga tidak nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin gadis cilik itu tertolong nyawanya!

   "Ci Sian....!"

   Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang demikian mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami kematian menyedihkan jauh di bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki dan mencari-nya. Kakinya sudah sembuh benar, dia hendak mencoba untuk mencari jalan, kalau perlu menuruni jurang yang suram sekali itu! Ke manakah perginya Ci Sian? Kekhawatiran dalam hati Kam Hong memang benar, dan malapetaka menimpa dara itu seperti yang dibayangkannya.

   Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti biasa Ci Sian mencari burung untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika dia melihat seekor burung putih seperti dara di antara kelompok burung yang biasa, timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa dagingnya lain, pikirnya. Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa kali disambitnya burung itu dapat mengelak dan berpindah-pindah tempat. Ci Sian terus mengejarnya dan akhirnya, ketika burung itu melayang turun di tepi jurang, dia menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci Sian bersorak girang dan berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah kecewa hatinya melihat burung itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai burung itu kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing.

   Burung itu telah mati, angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak tersingkap memperlihatkan kulit dada yang putih dan mulus, montok dan berdaging menimbulkan selera Ci Sian. Hanya dua meter dan di situ ada batu besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu akan cukup kuat menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging burung itu. Ci Sian lalu merayap turun dari tepi tebing yang amat curam itu. Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu mengambil burung yang gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di telapak tangan. Akan tetapi, tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci Sian terkejut bukan main dan sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan membawa tubuhnya bersama-sama melayang ke bawah!

   Ci Sian mengeluarkan suara jerit melengking yang terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja tubuhnya sudah ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah menyusul batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri, akan tetapi tubuh Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus meluncur ke bawah. Dara itu pingsan! Ketika Ci Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia masih memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan meraba-raba tubuhnya yang terbungkus mantel tebal. Ah, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi, pikirnya dengan girang dan juga geli. Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!

   Ci Sian membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan kagetnya. Dia tidak lagi berada di dalam guha di mana biasa dia tidur! Dia berada di tempat lain! Tempat yang seperti istana es! Banyak terdapat batu-batu runcing tergantung dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus es, putih berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di sebuah guha yang lain, di mulut guha yang aneh sekali. Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah guha, hampir dia berteriak saking kagetnya. Di mulut guha itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak seorang kakek duduk di atas batu bulat. Kakek yang tubuhnya telanjang, hanya bercawat saja. Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari kepalanya yang gundul kelimis sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek!

   Dan dari kepala gundul yang besar itu nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi, seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai ke pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar, perutnya sebesar paha kakek itu! Ci Sian makin mengkirik kegelian melihat ular yang panjang besar itu, dan dia merasa gentar dan ngeri melihat kakek yang kurus tinggi dengan hidung besar mancung melengkung itu. Seorang kakek bangsa asing melihat bentuk mukanya yang kurus dengan alis yang amat lebat, mata lebar tajam sekali, hidung seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting, dan kumis jenggot yang tak terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap. Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan tetapi dengan logat yang ageh dan asing.

   "Jangan takut, anak baik, ular inilah yang menyelamatkan engkau ketika jatuh dari sana tadi."

   "Jatuh....? Dari atas....?"

   Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke arah tebing tinggi yang puncaknya tidak nampak dari bawah, tertutup awan atau kabut.

   "Ya, engkau jatuh dari atas sana."

   Jadi, kalau begitu bukan mimpi! Dia benar-benar telah jatuh dari atas. Dia lalu memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung putih menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat dan diambilnya bangkai burung itu. Benar! Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia terjatuh ke dalam jurang! Ci Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju mendekati kakek aneh itu, kini tidak takut lagi.

   "Aku hendak menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular itukah yang menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?". Dia berkata, tak percaya bahwa seekor ular, betapapun panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang dari tempat sedemikian tingginya.

   "Anak baik, engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu di dinding tebing dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia menerima tubuhmu dan membelit-mu dan dengan demikian engkau terhindar dari bencana maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya masih rusak dan luka-luka karena tertarik oleh tenaga luncurannya ketika dia menahanmu."

   Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan berdarah, akan tetapi telah diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu ketika melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilat lidahnya seperti seekor anjing yang jinak. Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar betapa ular itu telah menolongnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.

   "Ah, kalau begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!"

   Katanya dan wajahnya berseri. Kakek itu menggeleng kepala.

   "Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara kebetulan. Semua ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka! Kalau tidak begitu mengapa kebetulan sekali ular ini melingkar di tempat engkau akan jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu dengan tepat, dan kebetulan sekali ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau dapat bertemu dengan aku dan menggugahku dari samadhiku? Bukankah semua kebetulan ini sudah diatur? Hanya kita yang bermata ini selamanya seperti orang buta saja."

   Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga dikeluarkan dengan logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila di atas batu itu sambil berkata,

   "Aku menghaturkan terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang baik."

   Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotong pun.

   "Siapakah engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana!"

   "Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika hendak menangkap burung putih keparat itu!"

   "Ho-ho, engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh burung itu, untuk kau makan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya engkau hendak mengambil bangkainya lalu terjatuh, dan engkau memaki-maki burung yang sudah kau bunuh itu!"

   Akan tetapi Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata.

   "Di atas sana masih ada Pamanku, Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?"

   "Ah, yang suka meniup suling itu?"

   "Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?"

   "Aku dapat mendengar getaran suara sulingnya dalam samadhiku. Dia berkepandaian hebat!"

   "Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana."

   Kakek itu menggeleng kepala.

   "Tidak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik ke langit saja. Salju dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung jurang. Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya dia, kalau dia tidak memiliki sayap untuk terbang, selamanya dia pun tidak akan dapat turun."

   "Ah.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke sini."

   "Menolong dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai saja tidak mampu turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?"

   "Akan tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi."

   "Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah kalah bertaruh melawan se-orang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum selama tiga tahun di guha ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh melawan seorang wanita."

   "Apa? Ada wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu silatnya!"

   "Bukan kalah dalam ilmu silat...."

   "Habis, kalah dalam hal apakah?"

   "Kalah dalam menebak teka-teki."

   "Eh?"

   Ci Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak teka-teki. Dia tertarik sekali.

   "Kek, ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku dapat membantumu!"

   Memang Ci Sian adalah seorang anak yang suka akan teka-teki dan dahulu ketika dia tinggal bersama Kong-kongnya, setiap kali berkumpul dengan anak dusun sebaya, dia lalu bermain teka-teki dan dialah yang selalu menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulit-sulit. Wajah kakek yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri.

   "Ah, siapa tahu engkau yang akan dapat membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara singkat agar engkau tahu akan duduknya perkara."

   Kakek itu adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa berbangsa Nepal yang bernama Nilagangga.

   Semenjak muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah Pegunungan Himalaya, bahkan dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke Tiongkok dan akhirnya setelah tua dia kembali ke Pegunungan Himalaya. Selama dalam perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan terutama sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan See-thian Coa-ong (Raja Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti juga mereka yang telah "menjatuhkan"

   Diri dari dunia ramai, ada semacam penyakit menghinggapi diri kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu ilmu dan di samping itu, dia gemar pula untuk berdebat tentang ilmu kebatinan dan suka pula bermain teka-teki! Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya.

   Di dalam batin sebagian besar dari kita manusia terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan dan agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia lain, baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan, kedudukan tinggi, kepintaran luar biasa, kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi, pendeknya yang dapat membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi daripada orang-orang lain! Kebanggaan diri ini telah menjadi "kebudayaan"

   Kita manusia, semenjak kecil ditanamkan pada batin kita oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh guru-guru dalam pendidikan kita. Betapa sampai kinipun kita selalu menganjurkan anak-anak kita agar tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi paling menonjol, paling pintar, paling rajin dan segala macam "paling"

   Lagi.

   Bukankah pendidikan semacam ini yang menanam sifat tidak mau kalah, sifat ingin menonjol dalam batin anak-anak kita? Kemudian, setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol, ingin dipuji ini membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita sadar bahwa sifat inilah yang menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat inilah yang mendatangkan permusuhan dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari kita lalu melarikan diri! Seperti halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, lalu menyepi, menjauhkan diri dari tempat ramai. Namun, apakah gunanya pelarian ini? Sifat itu berada di dalam batin, kita bawa ke manapun juga kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidak terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita melarikan diri darinya, yang berarti kita melarikan diri dari kita sendiri.

   Sungguh tidak mungkin ini! Maka, tidaklah mengherankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain, seperti halnya Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki dan sebagainya lagi. Kita sudah biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, lalu kita lari ke dalam kesabaran! Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita lupa bahwa yang marah, yang duka, adalah kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak pernah terpisah dari kita, berada di dalam batin kita, oleh karena itu, kalau kita lari ke dalam kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan terlupa atau terbius sebentar saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di dalam batin kita, seperti api dalam sekam, dan sewaktu-waktu dapat meletus dan berkobar lagi!

   "Pada suatu hari, ketika aku merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah Gunung Suling Emas tanpa kusengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku memasuki lembah. Karena aku menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan dengan pertandingan silat. Wanita itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggauta keluarga penghuni lembah itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan tenaga, kami ternyata seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku kalah!"

   Demikian kata kakek itu melanjutkan ceritanya.

   "Bagaimanakah teka-tekinya, Kek?"

   Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu bertanya, hatinya tertarik sekali. Kakek itu melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-masing mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan menganggap janji lebih berharga daripada nyawa, bahwa siapa yang tidak dapat menjawab teka-teki harus bertapa dalam guha itu dan sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan guha sebelum dapat menjawab teka-teki itu!

   "Aku mengajukan teka-teki, akan tetapi sungguh hebat dia, teka-tekiku dapat dijawabnya dengan mudah. Dan dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku, sampai sekarang sudah tiga tahun aku bertapa di dalam guha ini, tetap saja aku belum dapat menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang menolongku, agaknya aku terpaksa harus bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini."

   Tentu saja Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa orang memegang janji sampai mati-matian begitu? Andaikata kakek itu meninggalkan guha, tentu lawannya itu pun tidak akan tahu!

   "Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kauberitahukan, Kek, siapa tahu aku akan-dapat menebaknya untukmu." "Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat menebaknya!" "Teruskanlah!"

   Ci Sian menjadi tidak sabar.

   "Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?"

   Kakek itu berhenti sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu hafal olehnya itu, yang agaknya sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat memberi jawaban.

   "Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku tidak mampu menjawab. Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Akan tetapi dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami berdebat, dia bilang bahwa dia adalah wanita maka dia tahu akan perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku tidak tahu, apalagi bedanya, bahkan aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya cinta itu.... wah, aku kalah."

   Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak tahu apa-apa tentang cinta! Dalam urusan cinta, dia sama "buta hurufnya"

   Dengan kakek tua renta itu.

   "Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dan memberikan jawabannya?"

   Memang tentu saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak dewasa, belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang amat cerdik. Dia lalu membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya pria yang pernah mendatang-kan rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu membayangkan dirinya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada pendekar sakti itu! Setelah mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil memejamkan kedua matanya sehingga kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba dia membuka mata memandang kakek itu, sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar.

   "Coa-ong, engkau sebagai seorang pria, coba kau beritahukan bagaimana perasaanmu, apa yang kau inginkan andaikata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita."

   Ci Sian menyebut Coa-ong (Raja Ular) kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya adalah Raja Ular dari Barat! Dan kakek itu agaknya malah senang disebut demikian. Hanya karena pertanyaan itu justeru merupakan pertanyaan yang dianggapnya amat sulit, dia mengerutkan alisnya.

   "Wahhh.... engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?"

   "Coa-ong, engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru dapat dijawab kalau aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang wanita. Tanpa mengetahui perasaan pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita? Dan tanpa diberi tahu oleh seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu? Hayo pikirlah, Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, akan tetapi setidaknya kita sama-sama dapat membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita kalau kita masing-masing jatuh cinta kepada seseorang."

   "Wah-wah.... ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi...."

   Kakek itu mengomel, akan tetapi dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang dilakukan oleh Ci Sian tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia jatuh cinta! Juga Ci Sian sudah memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri. Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua renta dan seorang dara menjelang dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis, membayangkan tentang mereka jatuh cinta!

   Cinta adalah suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak lika-likunya sehingga menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan perdebatan para sastrawan, para cerdik pandai, dari jaman dahulu sampai sekarang, tanpa ada yang mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat! Apalagi bagi dua orang ini, yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini keduanya membayangkan bagaimana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita adalah sedemikian ruwetnya dan banyak sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya! Betapapun juga, Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba apa yang dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula itu!

   Maka dia langsung menuju kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan seorang pria dan seorang wanita yang jatuh cinta, apa yang paling dikehendakinya dari orang yang dicinta. Ada satu jam lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biarpun hawa udara amat dinginnya, namun kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai berkeringat! Keringatnya besar-besar menempel di seluruh tubuhnya, dan uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal. Tiba-tiba dia menarik napas panjang, membuka matanya dan mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah sejak tadi membuka matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor anjing kalau mengusir air yang membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan ketika keringat yang telah membeku itu berjatuhan rontok dari tubuhnya, merupakan butiran-butiran es kecil!

   "Wah, memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu mendatangkan bayangan yang amat mengerikan dan menakutkan!"

   Katanya. Diam-diam Ci Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa begitu mengerikan dan menakutkan?

   "Yang penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan bagaimana perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?"

   "Aku sudah membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh...."

   Kakek itu menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut!

   "Yang terbayang adalah cerewetnya, manjanya, dan betapa dia merongrong hidupku sehingga hidupku tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan, betapa dia ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku. Ihhhh....!"

   Kembali Ci Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja. Betapa anehnya kakek ini!

   "Bukan itu maksudku, Kek. Akan tetapi bagaimana perasaanmu dan apa yang paling kau inginkan andaikata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita?"

   Kakek itu mengingat-ingat.

   "Keinginanku hanya ingin menyenangkan dia, membahagiakan dia, memanjakan dia."

   Akhirnya dia berkata, dengan alis berkerut, seolah-olah dia harus menjawab sesuatu persoalan yang amat rumit!

   "Nah, itulah!"

   Ci Sian bersorak dan wajahnya berseri-seri.

   "Ketemu sekarang! Biarpun hanya hasil bayangan kita berdua, akan tetapi agaknya tidak salah lagi, Coa-ong!"

   "Sudah kau temui jawaban teka-teki itu."

   Ci Sian mengangguk.

   "Agaknya tidak akan keliru lagi."

   "Bagaimana itu?"

   Wajah hitam itu pun berseri, penuh harap.

   "Coba jawab, apakah perbedaan antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?"

   "Seperti keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta seorang pria adalah ingin selalu menyenangkan dan memanjakan, sedangkan cinta seorang wanita adalah sebaliknya, yaitu menurut hasil khayalan dan bayanganku tadi, cinta seorang wanita justeru menjadi kebalikannya. Dalam cintanya, wanita ingin selalu disenangkan, dimanjakan oleh pria yang dicintanya."

   Kakek itu melompat bangun dan baru nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya kakek itu. Jangkung kurus sehingga potongan tubuhnya tidak menarik sama sekali! See-thian Coa-ong Nilagangga kini bertepuk tangan dan mengeluarkan suara melengking seperti suara suling. Dan tiba-tiba Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan ketakutan ketika mendengar suara mendesis dan berdatanganlah ular-ular dari empat penjuru mengurung tempat itu! Heran dia bagaimana di tempat bersalju bisa terdapat begitu banyak ular!

   "Coa-ong, aku takut....!"

   Katanya dan dia bersembunyi di belakang tubuh kakek itu. Dia bukan takut, melainkan jijik.

   "Kenapa takut? Engkau akan kujadikan puteri ular, mengapa takut?"

   "Jadi puteri ular? Aku.... aku tidak mau!"

   "Eh, bocah bodoh. Kalau engkau menjadi puteri ular, siapa lagi berani mengganggumu? Sahabatmu ular-ular itu berada di mana-mana dan jika engkau terancam bahaya, engkau dapat sewaktu-waktu memanggil mereka! Engkau telah berjasa kepadaku, maka aku ingin menurunkan ilmuku kepadamu. Apakah kau tidak mau?"

   Ci Sian menelan ludah! hatinya tertarik juga.

   "Kalau... kalau begitu, aku mau, kukira tadi.... aku hendak kau jadikan ular...."

   "Ha-ha-ha, bagus! Nah, coba kau dekati mereka dan kau pegang-pegang mereka. Ke sinikan dulu kedua telapak tanganmu!"

   Ci Sian menghampiri ke depan kakek itu dan mengulurkan kedua tangannya, ditelentangkan. Tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak cepat ke depan.

   "Plak! Plak!"

   "Aduhhh....!"

   Ci Sian berteriak ketika kedua telapak tangannya terasa panas sekali ditampar oleh tangan kakek itu dan dia memandang terbelalak marah.

   "Ha-ha-ha, sekarang semua ular akan tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian."

   Kata kakek itu, Ci Sian menelan kembali kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan itu merupakan semacam pemin-dahan ilmu untuk menaklukkan ular! Dia lalu menghampiri ular-ular itu yang nampak diam tak bergerak di atas tanah, hanya lidah mereka yang bergerak keluar masuk di mulut masing-masing. Biarpun hatinya merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci Sian segera meraba kepala ular-ular itu dan sungguh aneh, ular-ular itu nampak takut dan jinak sekali! Giranglah dia dan di lain saat dia sudah mengangkat seekor ular kemerahan yang sebesar jari kakinya, membelainya dan mempermainkannya. Ular itu sama sekali tidak berani berkutik!

   "Ha-ha-ha, tahukah engkau betapa satu gigitan ular itu akan dapat membunuh seorang manusia seketika juga?"

   "Ihhh!"

   Mendengar ini, Ci Sian melemparkan ular merah itu.

   "Anak bodoh, kepadamu dia tidak akan berani berbuat apa-apa!"

   See-thian Coa-ong lalu mengeluarkan suara melengking tiga kali dan.... ular-ular itu lalu membalikkan tubuh dan merayap pergi dengan cepat dari tempat itu, seperti sekumpulan anjing yang ketakutan diusir pergi oleh majikan mereka.

   "Ha-ha, ternyata aku yang bodoh sekali, Ci Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat, ha-ha, begitu mudahnya! Mengapa aku tidak ingat akan hukum alam? Wanita adalah Im dan pria adalah Yang. Wanita adalah Bumi dan pria adalah Matahari! Sinar matahari menembus apa pun juga untuk mencari bumi, untuk menyinari bumi, untuk membuat bumi hidup dan subur, untuk memberikan semangat dan kekuatan kepada bumi. Sebaliknya, bumi menanti-nanti untuk disinari, untuk dibelai, untuk disuburkan, untuk menerima. Ha-ha-ha, benar sekali. Pria ingin mencinta, ingin menyenang-kan, ingin memiliki. Sedangkan wanita ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa raganya, kepada pria untuk dimiliki dan dicinta dan dipuja! Ha-ha-ha, betapa bodohnya tidak mampu menjawab teka-teki yang amat sederhana itu!"

   Melihat sikap kakek itu yang kegirangan, Ci Sian memperingatkan.

   "Jangan anggap sederhana dan mudah, Coa-ong. Tanpa bantuan seorang wanita, tak mungkin engkau dapat menjawab teka-teki itu."

   "Ha-ha, benar sekali. Karena itulah maka aku akan menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu."

   "Aku ingin kembali kepada Paman Kam Hong."

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, tidak mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak mungkin pula bagi Pamanmu untuk turun dari sana. Longsoran bukit itu telah merobah keadaan dan kita hanya bisa mengharapkan terjadi longsoran lain sehingga tempat di mana Pamanmu terkurung itu akan dapat dihubungkan dengan tempat lain. Sementara ini, marilah kau ikut denganku untuk menjumpai musuhku itu. Hati Ci Sian menjadi tertarik.

   "Wanita yang memberimu teka-teki itu?"

   "Ya, dan kuharap engkau suka membantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara dan pandai berdebat, dan engkau pun agaknya tidak kalah pandai. Maka bantuanmu kuharapkan. Mari kau temani aku menghadapinya, dan kelak aku akan membantumu mencari Pamanmu itu."

   Ci Sian berpikir sejenak. Omongan kakek ini tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak terdapat jalan yang boleh membawanya kembali kepada Kam Hong. Dia memerlukan bantuan Kam Hong untuk mencari orang tuanya, setelah kini dia terpisah dari Kam Hong dan agaknya tidak mungkin dapat berkumpul kembali, apa salahnya kalau kini Coa-ong ini yang membantunya mencari orang tuanya? Akan tetapi, dia belum mengenal betul kakek asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu menceritakan tentang orang tuanya dan mendiang kakeknya. Sementara ini, daripada sendirian saja di daerah liar dan berbahaya dari Pegunungan Himalaya ini, lebih baik dia berteman dengan seorang pandai seperti See-thian Coa-ong. Apalagi akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja dia merasa girang.

   "Baiklah, Coa-ong. Aku akan membantumu."

   Kakek itu menjadi girang sekali, wajahnya yang berkulit hitam itu berseri dan dia lalu menggandeng tangan Ci Sian sambil berkata,

   "Kalau begitu, hayo kita berangkat sekarang. Ingin sekali aku melihat wajah Cui-beng Sian-li kalau mendengar aku menebak teka-tekinya!"

   "Cui-beng Sian-li? Itulah julukan lawanmu?"

   Tanya Ci Sian, diam-diam dia bergidik ngeri karena julukan itu sungguh menyeramkan. Dewi Pengejar Arwah! Tentu saja orangnya mengerikan juga!

   "Ya, dan dia lihai sekali. Sebetulnya dia adalah warga dari penghuni Lembah Gunung Suling Emas, akan tetapi semenjak suaminya meninggal, dia kini tinggal di Lereng Batu Merah tak jauh dari lembah itu hanya di sebelah bawahnya. Seperti juga Lembah Gunung Suling Emas, Lereng Batu Merah itu pun sukar didatangi manusia dari luar kecuali mereka yang sudah tahu jalannya."

   "Dan engkau tahu jalannya, Coa-ong?"

   "Tentu saja!"

   Maka berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu. Menurut keterangan See-thian Coa-ong, tempat tinggal lawannya itu, yaitu Lereng Batu Merah, sebetulnya tidak jauh dari situ, masih merupakan satu daerah gunung, akan tetapi karena terjadi longsor, terpaksa mereka harus mengambil jalan memutar yang amat jauh! Kini See-thian Coa-ong tidak bertelanjang lagi. Kalau tadinya dia hanya bercawat ketika untuk pertama kali Ci Sian melihatnya, kini kakek itu telah mengambil pakaiannya yang disimpan di dalam guha. Sesungguhnya bukan pakaian, hanya kain kuning panjang yang dilibat-libatkannya di tubuhnya, sebelah pundaknya dan dari pinggang ke bawah sampai ke lutut, seperti pakaian para pendeta pada umumnya. Ular panjang besar yang telah menolong Ci Sian itu ditinggalkan.

   "Tanggalkan saja jubahmu itu. Aku akan mengajarkan ilmu untuk membuat tubuhmu hangat dan tahan menghadapi hawa yang bagaimana dingin pun."

   Kata See-thian Coa-ong kepada Ci Sian. Mantel bulu itu memang sudah kotor, maka mendengar bahwa dia akan diajari ilmu yang aneh itu, Ci Sian merasa girang. Dia percaya penuh karena dia sudah melihat sendiri betapa kakek itu hampir telanjang di dalam hawa udara yang sedemikian dinginnya. Demikianlah, mereka melakukan per-jalanan dan di waktu mereka beristirahat, See-thian Coa-ong memberi petunjuk kepada Ci Sian untuk mengerahkan hawa murni dan membuat tubuhnya terasa hangat biarpun berada dalam hawa udara yang amat dingin. Tentu saja ilmu ini tidak mudah karena sesungguhnya membutuhkan tenaga sin-kang yang amat kuat,

   Akan tetapi kakek itu membantu Ci Sian dan menempelkan telapak tangannya yang panjang dan lebar ini ke punggung Ci Sian, maka dara remaja ini pun dapat dengan cepat menguasai hawa murni yang mengalir di tubuhnya. Pada suatu pagi, ketika mereka sedang mendaki lereng, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang turun dari puncak. See-thian Coa-ong cepat menarik tangan Ci Sian dan diajaknya dara itu bersembunyi di balik batu besar. Akan tetapi Ci Sian dapat mengenal wanita yang berjalan di depan bersama dua orang anak laki-laki itu. Wanita itu bukan lain adalah A-ciu, wanlta baju hijau dari rombongan empat wanita bertandu yang pernah dia pukuli dengan bantuan Kam Hong! Dia tidak mungkin salah mengenalnya biarpun dari jauh, karena di belakang wanita itu terdapat orang-orang yang memikul tiga buah tandu.

   Tentu tiga buah tandu itu berisi tiga orang wanita lainnya, pikir Ci Sian. Akan tetapi yang amat menarik perhatiannya adalah keadaan dua orang anak laki-laki itu. Mereka itu sebaya dengan dia, dan lucunya, dua orang anak laki-laki itu serupa benar, baik pakaiannya, wajahnya maupun gerak-geriknya. Mudah saja diduga bahwa mereka tentulah dua orang anak kembar. Akan tetapi, Ci Sian tidak merasa lucu karena dia melihat betapa dua orang anak laki-laki itu berjalan dengan kedua lengan di belakang tubuh, tanda bahwa mereka itu tidak bebas, terbelenggu kedua lengan mereka! Mereka itu tentu ditawan oleh wanita-wanita jahat itu. Teringatlah Ci Sian akan pertanyaan wanita-wanita itu di depan warung dahulu.

   Mereka bertanya-tanya tentang dua orang pemuda remaja kembar! Tentu itulah mereka yang ditanyakan dan kini agaknya mereka telah tertangkap dan menjadi tawanan. Karena hatinya merasa amat tidak suka kepada empat orang wanita itu yang dianggapnya jahat, maka biarpun dia tidak mengenal dua orang pemuda tanggung itu, hati Ci Sian condong berpihak kepada dua orang pemuda yang menjadi tawanan itu dan dia mengambil keputusan untuk menolong mereka dari tangan wanita-wanita itu. Akan tetapi dia pun maklum bahwa empat orang wanita itu lihai bukan main. Dia pernah dapat mempermainkan mereka hanya karena pertolongan Kam Hong dan kini pendekar sakti itu tidak berada di situ. Yang ada hanya See-thian Coa-ong. Maka dia lalu menyentuh lengan kakek itu dan berkata dengan suara berbisik.

   "Coa-ong, sekarang engkau harus membantuku, baru aku nanti membantu menghadapi lawanmu."

   "Membantu apa, Ci Sian? Tanpa kau minta sekalipun tentu perlu aku membantumu. Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik yang saling membantu?"

   Girang hati Ci Sian mendengar ini.

   "Coa-ong, wanita itu dan tiga orang temannya yang berada di dalam tandu adalah wanita-wanita jahat sekali, akan tetapi mereka juga lihai. Dan aku pernah bentrok dengan mereka, maka sekarang aku hendak membebaskan dua orang pemuda yang mereka tawan itu. Engkau mau membantuku, bukan?"

   "Siapakah dua orang pemuda kembar itu? Apa kau mengenal mereka?"

   "Tidak, melihat pun baru sekarang."

   See-thian Coa-ong menghela napas.

   "Ah, Ci Sian, mengapa engkau mencari penyakit? Bukankah engkau merupakan seorang anak yang sudah lama berkecimpung di dunia, kang-ouw? Mengapa harus mencampuri urusan orang lain?"

   "Coa-ong, mana kita dapat terlepas dari urusan orang lain? Engkau menyelamatkan aku, dan kini aku ikut denganmu untuk menghadapi lawanmu. Bukankah itu berarti bahwa engkau dan aku telah mencampuri urusan orang lain? Hayo, engkau mau membantuku atau kau ingin melihat aku mati di tangan mereka?"

   "Baiklah.... baiklah.... akan tetapi aku tidak mau kalau engkau menyuruhku membunuh orang."

   "Siapa mau bunuh siapa? Aku hanya ingin menolong dua orang pemuda yang tertawan itu, kata Ci Sian. Sementara itu, rombongan yang menuruni puncak telah tiba dekat dengan mereka. Memang benar dugaan Ci Sian. Wanita yang berjalan di depan itu adalah A-ciu, wanita baju hijau yang cantik dan berwajah bengis. Wanita itu membawa sebatang pedang yang tergantung di belakang pundaknya, berjalan dengan langkah gagah mendahului di depan dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan dan yang melangkah tenang berdampingan dengan kedua lengan terbelenggu di belakang tubuh, lalu diikuti oleh tiga buah tandu yang masing-masing dipakai oleh empat orang. Siapakah adanya dua orang anak laki-laki kembar itu?

   Usia mereka kurang lebih dua belas tahun, pakaian mereka sederhana dan wajah mereka tampan, sikap mereka tenang sekali. Wajah dua orang ini serupa benar, sukar membedakan satu dari yang lain, wajah yang membayangkan kegagahan dan rambut kepala mereka yang hitam gemuk itu dikuncir ke belakang punggung. Melihat sikap mereka, biarpun mereka itu masih remaja dan mereka menjadi tawanan, dibelenggu kedua tangan mereka, namun mereka nampak begitu tenang. Hal ini saja sudah jelas menunjukkan adanya kegagahan dalam diri mereka. Dan memang demikianlah. Dua orang anak laki-laki kembar ini memang bukan sembarang anak. Mereka adalah putera-putera dari pendekar sakti Gak Bun Beng dan pendekar wanita yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan terkenal sebagai puteri istana,

   Juga seorang panglima wanita yang disamakan dengan nama Hwan Lee Hwa di jaman cerita Sie Jin Kwie Ceng Tang. Wanita yang menjadi ibu mereka ini bukan lain adalah Puteri Milana, keponakan dari kaisar! Gak Bun Beng dan Puteri Milana, suami isteri yang keduanya memiliki nama besar di dunia kang-ouw itu, telah lama mengundurkan diri dan hidup aman tenteram di puncak Telaga Warna, di Pegunungan Beng-san, di mana mereka hidup saling mencinta dan rukun bersama dua orang putera kembar mereka yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Di dalam bagian-bagian terdahulu dari rangkaian cerita ini, yaitu dalam kisah-kisah SEPASANG PEDANG IBLIS, SEPASANG RAJAWALI, dan JODOH SEPASANG RAJAWALI, pasangan pendekar sakti ini muncul dengan ilmu-ilmu mereka yang menggemparkan.

   Bagaimanakah tahu-tahu dua orang saudara kembar itu, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yang tinggal di puncak Pegunungan Beng-san dapat berada di Pegunungan Himalaya dan menjadi tawanan Su-bi Mo-li? Su-bi Mo-li adalah empat orang wanita cantik yang lihai sekali karena mereka itu adalah murid-murid gemblengan dari Im-kan Ngo-ok! Mereka berempat oleh guru-guru mereka sengaja diperbantukan kepada Sam-thaihouw yang diam-diam mengadakan hubungan dengan kelima Ngo-ok. Ketika mendengar dari para mata-mata yang disebarnya bahwa dua orang putera dari Puteri Milana itu meninggalkan rumah orang tua mereka untuk ikut beramai-ramai berkunjung ke Himalaya, Sam-thaihouw cepat memerintahkan Su-bi Mo-li untuk melakukan pengejaran dan berusaha menawan dua orang kakak beradik kembar itu, untuk melampiaskan kebenciannya terhadap Puteri Milana!

   Mengapa Ibu Suri ke Tiga ini membenci Puteri Milana dan karena tidak berdaya terhadap puteri itu kini hendak melampiaskan dendamnya kepada kedua orang putera dari Puteri Milana? Sam-thaihouw adalah satu-satunya selir yang masih hidup dari mendiang Kaisar Kiang Hsi. Sebagai selir mendiang ayahnya, maka tentu saja kaisar yang sekarang, yaitu Kaisar Yung Ceng, tetap meng-hormati ibu tiri itu, satu-satunya di antara para selir ayahnya yang masih hidup, dan memberinya kedudukan sebagai Sam-thaihouw atau Ibu Suri ke Tiga dan menempati sebuah istana yang cukup mewah. Ketika Sam-thaihouw ini masih muda, pernah terjalin cinta asmara antara selir ini dengan mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yaitu pangeran yangmemberontak itu (baca KISAH SEPASANG RAJAWALI).

   Mereka mengadakan perjinahan di luar tahunya mendiang Kaisar KiangHsi. Maka ketika pemberontakan dari kekasihnya itu gagal dan Pangeran Liong Khi Ong bersama saudaranya, Pangeran Liong Bin Ong, tewas, diam-diam Sam-thaihouw merasa berduka sekali. Maka, ditimpakanlah semua rasa benci dan sakit hatinya kepada keturunan Puteri Nirahai atau keturunan dari Pendekar Super Sakti. Terutama sekali kepada Puteri Milana yang berjasa pula memberantas pemberontakan kekasihnya itu. Kini, setelah selir kaisar ini menjadi tua, satu-satunya nafsu yang berkobar di dalam dadanya hanyalah membalas dendam dan membasmi keturunan Pendekar Super Sakti atau keturunan Milana, kalau tidak mungkin menghancurkan kehidupan puteri itu sendiri.

   Inilah sebabnya mengapa Sam-thaihouw mengadakan kontak dengan Im-kan Ngo-ok melalui orang-orang kepercayaannya, dan ini pulalah yang menjadi sebab mengapa Su-biMo-li menjadi pembantu-pembantunya dan kini empat orang wanita cantik yang lihai itu bersusah payah pergi keHimalaya untuk mengejar dua orang putera kembar dari Puteri Milana ketika mereka mendengar bahwa dua orang anak kembar itu ikut beramai-ramai keHimalaya mencari pedang pusaka yang hilang dari istana. Sungguh tak terduga oleh Su-bi Mo-li betapa di daerah Himalaya itu mereka berempat harus kehilangan muka ketika mereka bentrok dengan Kam Hong yang ternyata adalah keturunan Pendekar Suling Emas yang amat lihai!

   Akan tetapi, rasa penasaran dan kecewa ini terobatlah ketika mereka akhirnya dapat menemukan di mana adanya dua orang pemuda tanggung yang kembar itu! Mereka menemukan Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang sedang berkeliaran di dalam sebuah hutan dalam keadaan bingung dan sesat jalan! Memang dua orang anak ini dengan keberanian luar biasa telah meninggalkan rumah orang tua mereka tanpa pamit untuk "mencari pengalaman"

   Di daerah Himalaya yang luas itu. Su-bi Mo-li tidak perlu mempergunakan kekerasan. Ketika melihat mereka dikurung oleh empat orang wanita lihai yang mengaku utusan Sam-thaihouw yang minta kepada mereka berdua agar ikut untuk menghadap ke kota raja, dua orang anak muda itu menyerah tanpa perlawanan.

   Mereka berdua bukan merasa takut. Sama sekali tidak. Sejak kecil mereka telah digembleng oleh ayah bunda mereka sehingga mereka tidak pernah mengenal takut, dan biarpun keduanya baru berusia sekitar tiga belas tahun, namun mereka telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang hebat. Akan tetapi, mereka takut kepada ayah bunda mereka yang selalu menekankan agar mereka berdua tidak mencari permusuhan di dunia kang-ouw dan agar tidak menimbulkan keributan. Kini, mendengar bahwa Su-biMo-li adalah utusan Sam-thaihouw yang "memanggil"

   Mereka, maka kedua orang anak kembar ini menyerah dan bahkan tidak membantah ketika A-cium embelenggu kedua tangan mereka kebelakang dengan alasan agar "jangan lari".

   Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong bukanlah anak-anak yang bodoh, mereka menyerah bukan hanya untuk menghindarkan bentrokan dan keributan, akan tetapi juga mereka percaya penuh bahwa kalau mereka dibawa ke kotaraja, apalagi ke istana, mereka akan selamat dan tidak akan ada yang berani mengganggunya! Bukankah Kaisar masih terhitung paman mereka sendiri, masih keluarga dengan ibu mereka? Dan siapakah yang tidak mengenal Puteri Milana, ibu mereka? Siapa yang akan berani mengganggu mereka, putera dari Puteri Milana yang terkenal? Mereka tidak tahu tentang Sam-thaihouw! Ketika rombongan ini tiba di tempat Ci Sian dan See-thianCoa-ong bersembunyi, tiba-tiba Ci Sian meloncat keluar dari balik batu besar, mengembangkan kedua lengannya dan dengan suarayang lantang dia membentak.

   "Su-biMo-li! Kalian masih berani melakukan kejahatan dan menawan dua orang bocah itu? Hayo kalian bebaskan mereka!"

   A-ciu tentu saja segera mengenal dara remaja itu dan wajahnya tiba-tiba berobah pucat. Cepat dia menoleh kearah dua orang pemuda tanggung itu. Akan tetapi dua orang pemuda kembar itu hanya saling lirik dan bersikap biasa saja, sikap yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal dara cilik yang menghadang itu. A-ciu juga menoleh kekanan kiri, merasa ngeri karena mengira bahwa tentu dara itu muncul bersama dengan Suling Emas, sastrawan muda yang membuat dia dan tiga orang sucinya tak berdaya. Melihat A-ciu hanya bengong dan memandang kekanan kiri, Ci Sian membentak lagi dengan marah.

   "Heii, apakah engkau sudah menjadi tuli? Hayo kau bebaskan dua orang bocahitu! Apa engkau ingin kugampar lagi mukamu sampai bengkak-bengkak?"

   Ucapan itu mengingatkan kepada A-ciu akan penghinaan yang diterimanya dari dara remaja ini. Sepasang mata wanita cantik itu berkilat seperti mengeluarkan api dan dengan menahan rasa marah karena dia masih takut pada Kam Hong, dia berkata, suaranya nyaring,

   "Bocah setan! Hayo suruh Pendekar Suling Emas keluar bicara dengan kami, jangan engkau mengacau di sini! Aku percaya bahwa Pendekar Suling Emas tidak akan selancangmu mencampuri urusan kami yang tiada sangkut-pautnya dengan dia!"

   Ci Sian juga seorang yang amat cerdik. Melihat sikap A-ciu itu, dia pun tahu bahwa wanita itu masih merasa gentar kepada Kam Hong, maka dia tersenyum. Biarpun Kam Hong tidak bersamanya, namun dia tidak merasa takut kepada wanita itu, mengingat bahwa See-thian Coa-ong berada di belakang batu besar, siap untuk melindunginya.

   "Hemm, Paman Kam tidak datang bersamaku, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau boleh membangkang terhadap perintahku. Hayo kau bebaskan dua orang bocah itu."

   Mendengar ucapan ini, tentu saja A-ciu menjadi girang bukan main,

   "Bagus! Sekarang bersiaplah engkau untuk mampus, bocah setan!"

   Teriaknya dan dia sudah mencabut pedangnya.

   Walaupun tanpa pedang juga dengan mudah dia akan mampu membunuh Ci Sian, namunsaking marahnya, dia menghunus pedangnya dan siap menerjang dara remaja itu. Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi lengking nyaring yang tinggi sekali, sedemikian tinggi suara itu sehingga amat halus menggetarkan jantung! A-ciu menahan gerakannya. Hatinya memang masih gentar terhadap KamHong dan kalau memang pendekar itu berada di situ, sampai bagaimana pun dia tidak akan berani menyentuh Ci Sian. Maka, mendengar lengking yang tidak wajar ini, wajahnya berobah dan jantungnya berdebar. Siapa tahu kalau-kalau bocah setan itu menipu dan membohong, pikirnya dan dia menoleh ke kanan kiri. Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan bermunculanlah ular-ular darisegala jurusan datang ke tempat itu.

   "Ular....!Ular.... !"

   Para pemikul tandu berteriak-teriak ketakutan karena amat banyaklah binatang-binatang itu bermunculan dari segala tempat. Ular-ular besar kecil dan bermacam-macam warnanya. Dan ular-ular itu seperti digerakkan atau dikendalikan oleh suara melengking tinggi itu langsung menyerang kepada A-ciu dan para anggauta rombongan itu! A-ciu mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang. Ci Sian juga tertawa dan sekali meloncat dia telah menghampiri dua orang anak laki-laki yang tertawan itu.

   "Kalian jangan bergerak keluar dari sini!"

   Katanya dan dengan telunjuk tangan kanannya dia menggurat tanah di sekeliling dua orang pemuda tanggung itu. Sungguh ajaib, ratusan ekor ular yang berkeliaran di situ, tidak seekorpun yang berani melanggar garis bulat yang mengelilingi Si Kembar itu! Keadaan rombongan itu menjadi kacau balau. Karena takutnya dan jijiknya, para pemikul tandu itu melepaskan tandu-tandu mereka dan berlompatanlah tiga orang wanita dari dalam tiga buah tanduyang dilepaskan itu. Su-bi Mo-li tentu saja merasa jijik dan mereka berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri dari serbuan ular-ular itu yang makin banyak berdatangan ke tempat itu!

   Akan tetapi, dua belas orang pemikul tandu itu kurang gesit gerakan mereka dan dalam waktusingkat mereka itu sudah tergigit ular dan mereka berteriak-teriak ketakutan. Su-bi Mo-li tidak tahu siapa yangmemanggil ular secara luar biasa ini, akan tetapi mereka maklum bahwa di belakang dara cilik yang bengal itu terdapatseorang sakti yang membantu. Tidak nampak Pendekar Suling Emas membantu, akan tetapi kini muncul seorang aneh lain yang dapat memanggil datang ular-ular sedemikian banyaknya! Apalagi melihat betapa dara cilik itu mampu menyelamatkan dua orang tawanan mereka dengan menggurat tanah dengan telunjuk dan ular-ular itu sama sekali tidak berani menghampiri dua orang pemuda itu, maklumlah Su-bi Mo-li bahwa orang sakti pemanggil ular itu tentu ada hubungan baik dengan dara cilik itu yang ternyata juga menguasai ilmu menaklukkan ular.

   Karena mereka berempat masih jerih dan belum hilang rasa takutnya terhadap Kam Hong maka kini melihat dua belas orang pemikul tandu itu roboh semua, mereka menjadi semakin jerih dan dengan cepat, mempergunakan gin-kang, mereka lalu berloncatan meninggalkan tempat itu! Setelah mereka pergi, barulah See-thian Coa-ong muncul. Kakek ini memang tidak mau menanam bibit permusuhan, maka dia tadi hanya menggerakkan ular-ularnya tanpa muncul sendiri. Kini dia sudah mengusir ular-ularnya yang merubuh tubuh dua belas orang pemikul tandu, dan beberapa kali tangannya mengusap tubuh orang-orang itu yang tadi kelihatan seperti sudah mati atau pingsan. Sungguh aneh, begitu kena di-usap oleh tangan kakek Raja Ular ini dua belas orang itu dapat bergerak kembali lalu bangkit.

   "Pergilah kalian dengan tenang."

   Kata See-thian Coa-ong dan dua belas orang itu lalu mengangguk hormat, lalu pergi dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Sementara itu, Ci Sian sudah menghampiri Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong berdua yang masih berdiri di dalam lingkaran. Ci Sian tersenyum ramah dan berkata.

   "Kalian sudah terbebas dari bahaya, biarlah kubukakan belenggu kedua tangan kalian."

   "Jangan sentuh aku!"

   Tiba-tiba Gak Jit Kong berseru, alisnya berkerut dan sinar matanya memancarkan kemarahan.

   "Engkau siluman ular!"

   Bentak Gak Goat Kong. Ci Sian terkejut dan melangkah mundur, matanya memandang terbelalak dan mukanya berobah merah. Dua orang bocah kembar yang telah diselamatkannya itu sekarang malah menghinanya! Akan tetapi, dia makin menjadi terkejut melihatdua orang anak laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan tangan mereka dan.... belenggu-belenggu itu putus semua, kemudian pada saat berikutnya,

   Tubuh kedua orang anak kembar itu bergerak dan mereka sudah meloncat jauh dan tinggi melewati semua ular dan mereka lalu berlari sangat cepatnya menuju ke arah perginya Su-bi Mo-li dan dua belas orang pemikul tandu tadi! Tentu saja Ci Sian menjadi bengong. Dia terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kiranya dua pemuda tanggung tadi bukan sembarangan, melainkan memiliki kepandaian yang cukup hebat, bahkan jauh lebih lihai daripada dia sendiri. Ketika mematahkan belenggu, ketika meloncat, jelas nampak betapa tinggi ilmu kepandaian mereka! Akan tetapi mengapa mereka tidak memberontak dan melawan ketika dijadikan tawanan? Dan mengapa mereka itu marah-marah kepadanya yang telah berusaha menolong mereka? Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli di belakangnya. Ci Sian menengok dan melihat bahwa yang tertawa adalah See-thian Coa-ong.

   "Kenapa kau tertawa?"

   Ci Sian bertanya dengan suara seperti membentak karena hatinya terasa semakin mengkal.

   "Ha-ha-ha, Ci Sian. Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kita tidak perlu mencampuri urusan orang lain? Kau lihat, karena engkau mencampuri urusan mereka, maka engkau hanya merasa kecewa saja. Dua orang pemuda kembar itu bukan orang sembarangan, dan tentu ada sebabnya mengapa mereka mau saja ditawan oleh wanita-wanita itu. Dan empat orang wanita itu pun lihai-lihai sekali."

   "Akan tetapi.... bocah-bocah tak kenal budi dan kurang ajar itu malah memaki aku siluman ular!"

   Ci Sian berseru dengan hati panas dan dia mengepal tinju,kini kemarahannya bukan lagi ditujukan kepada Su-bi Mo-li, melainkan kepada dua orang pemuda tanggung kembar itu! Memang demikianlah. Kemarahan yang mendatangkan kebencian itu merupakan api dalam batin yang tidak dapat dilenyapkan dengan jalan menutup-nutupinya dengan kesabaran atau dengan mencoba untuk
(Lanjut ke Jilid 11)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
melupakan melalui hiburan-hiburan. Kalau kita marah kepada seseorang, kepada isteri atau suami umpamanya, lalu kita sabar-sabarkan dengan alasan-alasan yang kita buat sendiri, memang dapat kita menjadi sabar dan tenang.

   Akan tetapi, api kemarahan itu sendiri belum padam, masih bernyala di dalam batin, hanya tidak berkobar-kobar, tidak meledak karena ditutup oleh kesabaran yang kita ciptakan melalui pertimbangan-pertimbangan dan akal budi. Seperti api dalam sekam. Kalau mendapatkan ketika, maka api kemarahan yang masih bernyala itu akan berkobar lagi, akan meledak lagi dalam kemarahan yang mengambil sasaran lain, mungkin kita lalu akan marah-marah kepada anak kita, kepada pembantu kita, kepada teman dan sebagainya! Maka kita akan terperosok kedalam lingkaran setan yang tiada berkeputusan, marah lagi bersabar lagi, marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya, melakukan perang terhadap kemarahan yang pada hakekatnya adalah diri kita sendiri.

   Terjadilah konflik di dalam batin yang terus-menerus antara keadaan kita yang marah dan keinginan kita untuk tidak marah! Akan terjadi hal yang sama sekali berbeda apabila di waktu kemarahan timbul kita hanya mengamatinya saja! Mengamati tanpa penilaian buruk atau baik, tanpa menyalahkan atau membenarkan. Ini berarti tanpa adanya aku atau sesuatu yang mengamati, karena begituada si aku yang mengamati, sudah pasti timbul penilaian dari si aku. Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, mengamati dan menyelidiki kemarahan itu, mengikuti segala gerak-geriknya penuh perhatian. Yang ada hanya PERHATIAN saja, tanpa ada yang memperhatikan. Pengamatan tanpa si aku yang mengamati inilah yang akan melenyapkan atau memadamkan api kemarahan itu, tanpa ada unsur kesengajaan atau daya upaya untuk memadamkan!

   Dari manakah timbulnya kebencian? Kalau kita semua membuka mata memandang, akan nampak jelas bahwa benci timbul karena si aku merasa dirugikan, baik dirugikan secara lahiriah, misalnya dirugikan uang, kedudukan nama dan sehagainya, maupun dirugikan secara batiniah, seperti dihina, dibikin malu dan sebagainya. Karena merasa dirugikan, maka timbullah kemarahan yang melahirkan kebencian. Kebencian ini seperti racun menggerogoti batin kita, menuntut adanya pembalasan, ingin mencelakakan orang yang kita benci, menimbulkan perasaan sadis yang dapat dipuaskan oleh penderitaan dia yang kita benci sehingga tidak jarang mendatangkan perbuatan-perbuatan kejam yang kita lakukan terhadap orang yang kita benci demi untuk memuaskan dendam! Kebencian ini dipupuk oleh pikiran yang bekerja dan yang sibuk terus, mengoceh, menilai, mendorong, menarik, mengendalikan.

   

Jodoh Rajawali Eps 59 Jodoh Rajawali Eps 52 Jodoh Rajawali Eps 31

Cari Blog Ini