Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 31


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



"Hemmm, aku tidak takut. Habis kalau kita tidak menyerbu ke sana, bagaimana kita dapat menolong Syanti Dewi?"

   "Tentu kita tidak akan membiarkan saja, kita akan menyerbu ke sana. Akan tetapi tidak sekarang. Aku akan mencari kawan-kawanku di pantai ini. Mereka akan membantu kita dan dengan bantuan mereka, maka aku baru berani mengajakmu menyerbu. Bukankah ketika kau berusaha menolong puteri itu dari benteng Liong-sim-pang, engkau pun membutuhkan bantuan Hek-eng-pang?"

   "Ketika itu lain lagi keadaannya, Mo-li. Liong-sim-pang adalah benteng dan selain kuat, juga mempunyai banyak anggauta, maka aku membutuhkan bantuan Hek-eng-pang. Akan tetapi sekarang, kita hanya menghadapi seorang kakek...."

   "Hemmm, kau tidak tahu kakek macam apa yang kita hadapi. Kita harus menggunakan bantuan kawan-kawanku itu agar mereka memancingnya keluar dari sarangnya sehingga engkau akan mudah merampas kembali puteri itu."

   Tek Hoat mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak menyukai cara yang curang ini, akan tetapi yang terpenting baginya adalah menyelamatkan Syanti Dewi, maka dia tidak mau mengecewakan wanita iblis yang hendak membantunya ini, maka dia tidak membantah lagi.

   "Mari kita mencari kawan-kawanku itu!"

   "Siapakah mereka?"

   "Siapakah mereka? Ha-ha-ha, mereka pun amat terkenal di wilayah ini, Tek Hoat, sungguhpun sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan Raja Maling. Mereka adalah raja-raja di perairan Teluk Po-hai! Marilah!"

   Tek Hoat pergi mengikuti wanita itu menuju ke utara dan memasuki hutan di pantai Po-hai. Hutan itu sunyi sekali dan tidak nampak seorang pun manusia sehingga kelihatan menyeramkan sekali. Belum lama mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar suitan-suitan nyaring di sana-sini. Suara-suara suitan itu susul-menyusul dan agaknya saling menjawab, makin lama makin dekat sehingga akhirnya terdengar di sekeliling mereka, dari depan, belakang, kanan dan kiri. Mereka telah dikepung oleh suara-suara itu. Tek Hoat bersikap waspada, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tertawa-tawa saja.

   "Lihat, betapa cepat mereka itu tahu akan kedatangan kita dan telah berkumpul mengurung. Bukankah berguna sekali bantuan-bantuan seperti mereka itu?"

   Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,

   "Berhenti kalian berdua yang berjalan dalam hutan! Kalian telah memasuki daerah kami tanpa ijin!"

   Mauw Siauw Mo-li dan Tek Hoat berhenti, dan wanita itu berseru nyaring,

   "Lo Kwa, bukankah engkau yang bicara itu? Keluarlah, jangan main kucing-kucingan!"

   Ucapan wanita ini diikuti suasana sunyi, agaknya semua orang yang mengurung tempat itu menjadi terkejut dan heran. Lalu terdengar seruan yang mengandung keheranan dan juga kegembiraan,

   "Lauw-lihiap....!"

   Bermunculanlah kini belasan orang laki-laki dari empat penjuru, berloncatan keluar dari balik-balik pohon dan semak-semak. Mereka itu rata-rata adalah laki-laki kasar dan tinggi besar, nampaknya kuat dan keras. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang usianya antara tiga puluh lima tahun, bertubuh tegap dan berwajah tampan akan tetapi mukanya tertutup brewok.

   "Lihiap....!"

   Pemimpin gerombolan ini melangkah maju dan menjura kepada Lauw Hang Kui sambil tersenyum lebar. Diam-diam Tek Hoat terheran-heran melihat mereka itu menyebut lihiap (pen-dekar wanita) kepada Siluman Kucing ini. Dia tidak tahu bahwa julukan itu hanyalah julukan yang diberikan oleh mereka yang menganggap wanita ini sebagai iblis, akan tetapi gerombolan bajak laut dari Po-hai yang bersarang di dalam hutan ini merupakan sahabat-sahabatnya yang tentu saja menganggapnya sebagai seorang wanita perkasa yang patut disebut lihiap! Lauw Hong Kui menghampiri laki-laki tampan itu dan mengangkat tangan kirinya mengusap dagu yang penuh jenggot itu.

   "Aihhh, Lo Kwa, hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi. Ihhh, aku baru mau bicara berdua denganmu kalau kau sudah membuang semua brewokmu yang menggelikan itu! katanya dengan sikap genit dan manja. Orang she Kwa yang disebut Lo Kwa (Kwa yang Tua) itu tertawa dan menangkap lengan Hong Kui, ditariknya dan hendak dipeluknya wanita itu. Akan tetapi sambil tersenyum manja Hong Kui melepaskan dirinya dan berkata,

   "Kau cukur dulu semua brewokmu!"

   Orang she Kwa itu tertawa dan semua anak buahnya juga tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kedatanganmu mendatangkan cahaya kegembiraan di hutan yang gelap ini, Lauw-lihiap!"

   Kata orang she Kwa itu.

   "Akan tetapi aku adalah Siluman Kucing, apakah kalian tidak takut?"

   Lauw Hong Kui berkata sambil bertolak pinggang, senyumnya lebar dan dia kelihatan gembira sekali, merasa berada di antara teman-teman baiknya.

   "Hidup Lauw-lihiap!"

   "Selamat datang, Mauw Siauw Mo-li!"

   "Biar besok pagi aku mampus, aku rela asal semalam suntuk boleh membelai kucing!"

   "Aku pun bersedia!"

   Riuh-rendah suara mereka dan pernyataan kagum mereka dinyatakan secara terang-terangan, bahkan ada yang mengeluarkan pernyataan kasar dan tidak sopan, akan tetapi semua itu agaknya sudah biasa diantara mereka dan Lauw Hong Kui juga menyambutnya dengan tersenyum saja.

   "Akan kulihat nanti siapa di antara kalian yang patut untuk menghiburku,"

   Katanya. Tek Hoat merasa muak juga, dan diam-diam dia merasa malu juga, mengapa dia pernah merasa tertarik dan timbul berahinya terhadap wanita ini. Padahal, wanita ini benar-benar merupakan siluman yang tak tahu malu, seorang wanita yang biasa mempermainkan pria seperti kucing mempermainkan tikus lebih dulu sebelum diterkam dan dibunuhnya!.

   "Lo Kwan, di mana para Ong-ya?"

   Pertanyaan ini membuat Tek Hoat menjadi maklum bahwa orang she Kwa ini hanya seorang bawahan saja, dan kini iblis betina ini menanyakan para ong-ya, yaitu para raja bajak!

   "Semua berada di sarang, Lihiap. Tentu mereka akan menjadi gembira sekali mendengar akan kedatanganmu. Marilah kita ke sana, ataukah kita berdua bersenang-senang dulu?"

   Kata orang she Kwa itu sambil memandang dengan mata mengandung penuh gairah.

   "Hushhh, brewokmu itu menggelikan. Dan mungkin kelak kalau ada waktu bagiku, boleh kita bersenang-senang. Mari antar aku kepada para Ong-ya."

   "Tapi, dia ini....?"

   Orang she Kwa itu menuding ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang dan penuh curiga. Diam-diam Tek Hoat merasa mendongkol juga. Sejak tadi sama sekali tidak diacuhkan dan kini dicurigai. Kalau tidak ingat akan kepentingannya, tentu sekali pukul dia sudah membunuh bajak-bajak ini. Agaknya Hong Kui dapat mengerti akan kegemasan hati Tek Hoat dengan melihat wajah dan sinar matanya, maka dia lalu berkata,

   "Dia ini adalah sahabatku yang akan menjadi tamu agung kalian. Jangan kau main-main, Lo Kwa, dialah yang berjuluk Si Jari Maut!"

   "Ahhhhh....?"

   Agaknya orang she Kwa ini pernah mendengar julukan ini, maka dia memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah pucat.

   "Maaf, kami tidak tahu...."

   Katanya.

   "Sudahlah, mari kita jalan,"

   Kata Tek Hoat tidak sabar. Di sepanjang perjalanan memasuki hutan itu, dengan ramahnya Hong Kui bercakap-cakap dengan orang she Kwa dan beberapa orang anak buah bajak yang muda-muda, beramah-tamah dan kadang-kadang mereka berkelakar dengan omongan-omongan yang kotor sehingga Tek Hoat merasa makin muak. Tibalah mereka kini di tengah hutan yang berada di tepi tebing yang agak tinggi. Dari sini nampak Teluk Po-hai terbuka luas di depan.

   Memang tempat ini merupakan tempat yang paling indah dan juga paling tepat untuk dijadikan sarang para bajak laut itu karena dari tepi tebing mereka dapat melihat keadaan di seluruh Teluk Po-hai, melihat perahu-perahu yang seperti semut-semut kecil hitam di teluk itu. Dari sini mereka dapat melihat dan mengenal kapal-kapal besar yang patut mereka hadang dan mereka bajak, juga mereka dapat mengadakan pengawasan terhadap anak buah mereka. Tempat yang amat cocok untuk menjadi sarang bajak laut! Bajak laut itu terdiri dari tiga puluh orang lebih, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang disebut twa-ong dan ji-ong sebagai ketua atau raja pertama dan ke dua. Mereka itu bernama Ma Khong dan Ma Ti Lok, dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar, kokoh kuat, dan memiliki ilmu golok yang cukup hebat sehingga mereka sejak belasan tahun telah terkenal sebagai kepala-kepala bajak yang ditakuti dan disegani.

   Kini mereka hanya mau membajak kapal-kapal asing, tidak mau mengganggu perahu-perahu nelayan dan pedagang pedalaman karena mereka tidak berani menghadapi hukuman pemerintah. Akan tetapi, hal ini malah menguntungkan mereka karena para pedagang dan nelayan tidak segan-segan untuk "membagi hasil keuntungan"

   Kepada mereka asal para bajak itu tidak mengganggu pekerjaan mereka itu. Ketika melihat munculnya Hong Kui, Ma Khong dan Ma Ti Lok menjadi gembira bukan main, demikian pula para anak buah mereka. Tek Hoat dapat mu-dah saja menduga bahwa di antara Hong Kui dan dua orang kakak beradik yang gagah dan cukup tampan itu tentu terdapat hubungan gelap, dan juga dengan banyak anak buah mereka termasuk orang she Kwa tadi.

   Dugaan itu memang benar. Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang gila laki-laki, seorang wanita yang diperhamba oleh nafsu berahinya sehingga menjadi tidak normal lagi. Dia merasa tersiksa kalau terlalu lama tidak ditemani pria, maka ketika dia melakukan perjalanan bersama Tek Hoat yang tidak mau melayaninya, dia merasa amat tersiksa. Dan wanita yang seperti iblis betina ini memiliki kebiasaan yang mengerikan pula, yaitu dia akan membunuh setiap orang pria yang sudah memuaskannya semalam suntuk, yaitu pria yang asing baginya karena dia tidak mau kalau pria itu akan menceritakan semua pengalamannya dan membuat namanya sebagai seorang wanita tercemar. Akan tetapi, tentu saja dia tidak akan membunuh pria-pria yang menjadi sahabatnya, yang akan merahasiakan dan menjaga namanya seperti para bajak yang telah menjadi teman-temannya sejak belasan tahun yang lalu ini.

   Ada pula yang dibunuhnya secara tidak sengaja, yaitu kalau dia bertemu dengan seorang pria yang benar-benar memuaskan hatinya dan amat menyenangkannya sehingga dia akan terus merayu pria ini, dan memaksanya bermain cinta sampai pria itu tewas! Dan dengan ilmunya yang luar biasa, Siluman Kucing ini bisa saja memaksa pria melayani dan memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam itu sampai pria itu mati. Ketika Hong Kui memperkenalkan Ang Tek Hoat sebagai Si Jari Maut, dua orang kepala bajak itu bersikap hormat kepada pemuda ini. Mereka lalu mengadakan pesta perjamuan untuk menyambut kedatangan Hong Kui dan Tek Hoat. Mereka makan minum dengan gembira dan beberapa kali Tek Hoat memberi isyarat kepada Hong Kui untuk cepat menceritakan maksud kedatangan mereka. Akan tetapi Hong Kui akhirnya berbisik kepadanya,

   "Tidak perlu tergesa-gesa, nanti setelah makan minum selesai."

   Tek Hoat merasa mendongkol, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat memaksa. Setelah ruangan itu dibersihkan dan mereka duduk mengobrol, barulah Hong Kui berkata kepada dua orang kepala bajak itu,

   "Twa-ong dan Ji-ong, sebetulnya kedatangan kami ini selain terdorong oleh rasa rindu hatiku terhadap semua teman di sini, juga kami bermaksud minta bantuanmu untuk urusan sahabatku Si Jari Maut ini, urusan yang amat penting."

   Ma Khong dan Ma Ti Lok memandang kepada Tek Hoat penuh perhatian. Pemuda sakti ini pun balas memandang mereka. Ma Khong adalah seorang laki-laki yang tinggi besar dan agak pendek, usianya kurang lebih empat puluh tahun, matanya lebar dan kumisnya lebat.

   Adiknya, Ma Ti Lok, berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya kekar dan jangkung, mukanya bersih tidak ada brewoknya karena tercukur rapi, rambutnya panjang dan hitam dijalin menjadi kuncir besar. Seperti juga kakaknya, tubuhnya berotot dan nampaknya kuat sekali. Di lain fihak, dua orang kepala bajak itu memandang Tek Hoat dengan ragu-ragu, karena mereka merasa sukar untuk percaya apakah pemuda yang kelihatan amat muda dan lemah ini benar-benar Si Jari Maut yang demikian menggemparkan? Tentu saja mereka bukan tidak percaya bahwa mungkin saja seorang pemuda yang kelihatan lemah memiliki kepandaian hebat, karena mereka tahu bahwa Lauw Hong Kui, seorang wanita yang cantik jelita itu pun kepandaiannya hebat bukan main, jauh melebihi kepandaian mereka sendiri.

   "Urusan apakah itu, Lihiap?"

   Tanya Ma Khong akhirnya sambil memandang wanita itu.

   "Ketahuilah, Ang-taihiap ini mempunyai seorang sahabat baik, seorang wanita yang terculik dan karena penculiknya membawanya ke daerah Po-hai, maka kami minta bantuan kalian untuk merampas kembali sahabat Ang-taihiap ini."

   Dua orang kepala bajak itu saling pandang, lalu tersenyum lebar dan berkatalah Ma Khong.

   "Ahhh, itu urusan kecil sekali, Lihiap. Tentu saja kami mau membantu. Siapakah penculik itu yang berani mati sekali, berani mengganggu sahabat Si Jari Maut, padahal ada Lihiap pula di samping Si Jari Maut?"

   "Jangan bilang bahwa urusan ini kecil, Twa-ong, sebelum kalian mengetahui siapa penculik itu."

   "Siapakah dia?"

   Tiba-tiba Ma Ti Lok bertanya sambil memandang tajam penuh selidik.

   "Kalau orang biasa, agaknya kami tidak perlu minta bantuan kalian. Menurut dugaanku, penculik itu bukan laln adalah Hek-sin Touw-ong...."

   "Ahhhhh....!"

   Dua orang Saudara Ma itu melonjak kaget dan bangkit berdiri dari bangku mereka dan muka mereka berubah pucat.

   "Tidak mungkin....!"

   "Apanya yang tidak mungkin? Dia yang menculik ataukah kalian yang membantu kami?"

   Tanya Lauw Hong Kui.

   "Kedua-duanya....!"

   Kata Ma Khong yang sudah duduk kembali dan dia belum pulih kembali ketenangannya karena dia bersama adiknya benar-benar terkejut mendengar disebutnya nama Hek-sin Touw-ong Itu.

   "Yang pertama, tidak mungkin Touw-ong sudi melakukan penculikan terhadap seorang wanita, dan ke duanya, andaikata benar dia yang melakukannya, tidak mungkin bagi kami untuk mencampurinya. Kami selamanya tidak pernah dan tidak akan mencampuri urusan Touw-ongya karena locianpwe itu pun tidak pernah mengganggu kami."

   Jelas bahwa Ma Khong kelihatan jerih sekali terhadap nama itu.

   "Kalian tidak tahu siapa wanita yang diculiknya itu, Twa-ong dan Ji-ong. Dengarlah, wanita yang diculiknya itu, sahabat dari Ang-taihiap ini, adalah seorang puteri dari Kerajaan Bhutan, bukan sembarang wanita belaka. Baru-baru ini, puteri itu terjatuh ke tangan ketua Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Lu-liangsan, tempat yang amat kuat seperti benteng dan Liong-sim-pamg dipimpin orang-orang pandai dan mempunyai banyak sekali anak buah. Namun, seorang kakek mampu menculiknya dari ternpat itu dan jejaknya menuju ke pantai Po-hai. Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong yang melakukan penculikan itu?"

   Mendengar ini, dua orang kepala bajak itu saling pandang dan mengerutkan alis, berpikir keras.

   "Agaknya tidak mungkin Touw-ong yang melakukan penculikan,"

   Kata Ma Ti Lok.

   "Biarpun Touw-ongya dan puterinya berilmu tinggi dan tentu saja bukan merupakan pantangan bagi mereka untuk mencuri apa saja yang mereka sukai, akan tetapi agaknya tidak masuk di akal kalau Touw-ongya menculik wanita, biarpun Wanita itu seorang puteri kerajaan sekalipun!"

   "Benar,"

   Kata pula Ma Khong.

   "Agaknya bukan dia...."

   "Habis siapa lagi kalau bukan dia? Hanya dia seorang saja kakek berilmu tinggi yang berada di pantai Po-hai,"

   Kata Hong Kui.

   "Ah, bukan hanya dia,"

   Kata Ma Khong.

   "Ada seorang lagi dan kurasa dia inilah yang melakukan penculikan. Ya benar, tidak salah lagi. Tentu kakek aneh itu yang bertapa di tepi pantai sebelah ujung utara, di tempat yang sukar didatangi orang, yaitu di Gua Tengkorak."

   "Hemm, siapa dia?"

   Tanya Hong Kui.

   "Seorang kakek tua renta yang kabarnya aneh dan lihai bukan main, bahkan orang-orang pernah melihat dia menghilang seperti setan, dan.... berjalan di atas air!"

   "Bohong....!"

   Kata Hong Kui.

   "Mungkin bohong mereka itu, akan tetapi jelas bahwa kakek itu amat lihai, mungkin juga pandai bermain sihir, dan karena kami pun tidak mengenal benar siapa dia dan orang macam apa adanya dia, maka besar kemungkinan dialah yang melakukan penculikan,"

   Kata Ma Khong.

   "Kalian berdua tentu suka membantu kami, bukan? Kumaksudkan, membantu aku!"

   Tanya Hong Kui sambil mengerling tajam.

   "Tentu.... tentu....!"

   Mereka berdua menjawab serentak.

   "Kalau begitu, harap kalian membawa anak buah dan mengantar kami mencari kakek aneh di Gua Tengkorak itu untuk menyelidiki."

   "Baik,"

   Jawab mereka.

   "Dan kalau kemudian ternyata bahwa bukan kakek aneh itu yang menculik Puteri Bhutan, kalian harus mmebantu kami menyelidiki keadaan Hek-sin Touw-ong."

   "Akan tetapi.... ini.... ini...."

   Ma Khong dan Ma Ti Lok menjawab penuh keraguan dan jelas membayangkan perasaan takut-takut.

   "Kalian tidak mau membantu aku?"

   Hong Kui mendesak dan kini senyumnya menantang.

   "Kami tentu saja mau membantu Lihiap!"

   Tiba-tiba Ma Ti Lok berkata.

   "Benar, kami suka membantu Lihiap, dan harap Lihiap suka menghargai bantuan kami ini yang sesungguhnya kami lakukan dengan nekat demi rasa sayang kami kepada Lihiap. Sungquh kami tidak berani main-main terhadap Touw-ong, akan tetapi demi Lihiap.... kami mau melakukan segalanya, asal Lihiap tidak melupakan kami dan malam ini...."

   Lauw Hong Kui tertawa.

   "Hi-hik, kalian sungguh bodoh! Pernahkah aku Lauw Hong Kui melupakan kebaikan orang? Kalian adalah sahabat-sahabatku yang baik, dan aku sudah rindu kepada kalian. Akan tetapi nanti kalau urusan ini sudah selesai dengan baik, tunggu saja dan lihatlah betapa aku adalah seorang yang tahu terima kasih, yang mengenal budi dan kutanggung kalian berdua tidak akan menyesal telah membantu aku. Akan tetapi nanti kalau sudah berhasil, karena malam ini.... hemmm, aku ingin dilayani oleh dia itu."

   Tiba-tiba Lauw Hong Kui menuding ke arah seorang pelayan pria yang sejak tadi memang menarik perhatiannya.

   Tek Hoat ikut memandang bersama dua orang kepala bajak itu. Pria yang ditunjuk oleh Lauw Hong Kui itu adalah seorang pria muda, usianya paling banyak enam belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tidak tampan namun gagah dan membayangkan kejantanan. Dia berpakaian sederhana sebagai seorang pelayan, namun kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan tubuhnya yang mulai dewasa, kekar dan kuat. Sepasang matanya lembut dan sejak tadi dia memandang kepada Lauw Hong Kui penuh kekaguman karena sudah banyak dia mendengar dari kawan-kawannya di tempat itu tentang kehebatan wanita ini, hebat ilmu silatnya, hebat pula kepandaiannya merayu pria.

   "Ah, si A-cun itu? Dia seorang yang baru di sini, baru belajar. Belum ada dua tahun dia ikut kami...., eh, dia masih bodoh dan hijau...."

   "Hi-hik, justeru kebodohan dan kehijauannya itu menarik hatiku dan malam ini dia akan melayani aku. Adapun kalian berdua, tunggu sampai selesai urusan yang kalian bantu, tentu kalian akan mendapatkan bagian sepenuhnya."

   Wanita itu lalu bangkit berdiri, menoleh kepada Tek Hoat dan berkata,

   "Tek Hoat, kau bercakap-cakaplah dulu dengan mereka, aku akan pergi dan mengaso."

   Dia lalu menghampiri pemuda pelayan yang di sebut A-cun tadi, menggandeng tangannya dan berkata,

   "Marilah, kau tunjukkan aku di mana bagian-bagian yang paling indah di daerah ini."

   Pelayan muda itu memandang dengan mata terbelalak, kelihatan bingung dan gugup, akan tetapi dia tidak membantah ketika ditarik dan diajak pergi oleh Hong Kui, diikuti suara ketawa dua orang kepala bajak itu yang memandang dengan mata mengandung iri.

   Malam itu, Tek Hoat rebah di atas pembaringan dalam kamar tamu dengan hati gelisah memikirkan Syanti Dewi. Benarkah kakek yang aneh seperti setan itu yang menculik kekasihnya? Ataukah si Raja Maling? Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya ketika dia membayangkan keadaan Syanti Dewi yang menderita bermacam kesengsaraan. Melakukan perjalanan jauh dari Bhutan, mungkin menyusulnya, dan tiba di tangan orang-orang jahat, bahkan hampir dikawin oleh Hwa-i-kongcu secara paksa dan kini entah berada di tangan siapa dan di mana dan bagaimana keadaannya. Semua ini terjadi karena ibunya yang muncul di Bhutan! Ah, dia tidak akan menyalahkan ibunya yang telah meninggal. Ibunya yang meninggal dalam keadaan demikian menyedihkan, terbunuh oleh orang dan sampai kini pun dia belum berhasil memecahkan rahasia pembunuhan terhadap ibunya itu.

   Dia terpaksa menunda penyelidikannya ketika muncul persoalan Syanti Dewi. Dia harus lebih dulu menyelamatkan kekasihnya itu, baru dia akan melanjutkan usahanya mencari pembunuh ibunya Malam itu sunyi sekali di hutan itu. Akan tetapi bagi para anggauta bajak yang beringas di malam hari itu dan mengadakan penjagaan di sekitar sarang mereka, kadang-kadang mereka itu mendengar suara yang aneh, suara seperti rintihan seekor kucing, yang terdengar jauh di luar hutan itu. Mereka hanya saling berbisik-bisik dan tertawa, akan tetapi tidak berani mendekati tempat dari mana suara itu terdengar, karena mereka maklum bahwa itulah suara Siluman Kucing yang sedang mempermain-kan korbannya, yaitu A-cun yang masih muda remaja itu.

   Baru pada keesokan harinya, setelah mereka melihat Mauw Siauw Mo-li dengan wajah berseri dan segar, rambut kusut dan bibir tersenyum datang menggandeng A-cun, mereka para penjaga itu, atas isyarat wanita itu, menghampiri dan mereka memapah A-cun yang keadaannya payah, hampir pingsan, pucat dan seperti orang mabuk itu. Mereka cepat menggotong pemuda remaja itu ke kamarnya dan membiarkan pemuda remaja itu tidur setelah memaksa pemuda itu minum obat yang diberikan Mauw Siauw Mo-li. Tek Hoat yang mendengar akan hal ini sama sekali tidak mengambil peduli. Begitu dia terbangun dan membersihkan badan, dia lalu mencari dua orang kepala bajak itu dan bertanya tentang usaha mereka menyelidiki ke Gua Tengkorak.

   Ternyata Hong Kui sudah siap pula bersama dua orang kepala bajak. Biarpun semalam suntuk tidak tidur, wanita itu kelihatan segar dan wajahnya berseri, bibirnya tersenyum, dan hanya mukanya agak pucat. Dia telah memperoleh kepuasan setelah berhari-hari melakukan perjalanan bersama Tek Hoat, setelah banyak malam dilewatkan dengan gelisah sendirian tanpa kawan, dan ternyata pemuda remaja anak buah bajak itu bukan hanya memenuhi harapannya, bahkan melampaui yang diharapkannya sehingga dia merasa gembira dan puas. Mereka melakukan perjalanan berempat dan agar dapat melakukan perjalanan cepat, Ma Khong dan Ma Ti Lok mengajak mereka naik perahu dan menyusuri tepi pantai menuju ke utara. Ketika perahu itu melewati tebing yang amat tinggi, Ma Khong menuding ke atas tebing dan berkata,

   "Disanalah tempat tinggal Hek-sin Touw-ong. Tidak kelihatan dari sini, di atas tebing itu terdapat sebuah rumah gedung yang menjadi tempat tinggalnya. Terus terang saja, kami sendiri belum pernah pergi ke tempat itu. Siapa pula orangnya yang berani mendekati tempat tinggal Touw-ongya? Mudah-mudahan saja dugaan kami benar bahwa kakek aneh di ujung pantai itu yang menculik Puteri Bhutan itu sehingga kita tidak perlu mendatangi Touw-ong."

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah hari menjadi sore, baru mereka mendarat di ujung utara dari pantai teluk itu dan mereka menuju ke daerah yang penuh dengan batu dan gua, daerah yang merupakan tebing dan pegunungan batu kapur.

   Tak lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah gua yang bentuknya memang seperti tengkorak manusia, gua yang menyeramkan. Akan tetapi sunyi saja di tempat itu dan ketika mereka memasukinya, mereka mendapatkan gua itu kosong. Memang ada tanda-tanda bahwa gua itu pernah ditinggali manusia, bahkan agaknya belum lama penghuninya meninggalkan tempat itu. Mereka memeriksa Gua Tengkorak itu dan tiba-tiba Tek Hoat berdiri termenung di depan dinding gua sebelah kiri, memandang dan membaca tulisan yang diukir dengan indahnya di dinding batu itu. Dia melihat guratan-guratan huruf kecil-kecil itu dengan teliti dan diam-diam dia merasa kagum karena dari bekasnya dia dapat menduga bahwa orang itu menggurat-guratkan jari tangannya untuk menuliskan huruf-huruf itu! Dia membaca dengan hati tertarik.

   "Sayang, sungguh sayang Belum pernah aku bertemu seseorang yang setelah melihat kesalahan sendiri! Lalu benar-benar menyesalkan kesalahannya itu dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri!"

   Tek Hoat membaca tulisan itu berkali-kali dan termenung. Dia merasa seperti pernah mendengar kata-kata itu, akan tetapi karena pelajarannya tentang sastra memang tidak begitu mendalam, maka dia lupa lagi di mana dan bilamana.

   "Hi-hik, orang tolol yang menuliskan itu. Mana di dunia ini ada orang yang mampu melihat kesalahan sendiri?"

   Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan ejekan Mauw Siauw Mo-li itu dan dia termenung. Keluhan orang yang menuliskan kata-kata di dinding batu itu memang merupakan kenyataan. Adalah mudah melihat kesalahan sendiri,akan tetapi sukarlah untuk memperbaiki diri sendiri sungguhpun dari penglihatan itu selalu timbul penyesalan. Sesungguhnya, tulisan itu adalah petikan dari ujar-ujar dalam kitab Lun Gi bagian ke lima dan pasal ke dua puluh tujuh, ujar-ujar dari Nabi Khong Cu dan kata-kata itu berasal dari Nabi Khong Cu sendiri.

   Memang sudah menjadi kebiasaan kita untuk merasa menyesal setelah kita melihat kesalahan sendiri. Akan tetapi, biasanya penyesalan itu bukan datang karena benar-benar kita menyadari akan kesalahan sendiri, melainkan penyesalan yang timbul karena akibat buruk yang timbul karena kesalahan perbuatan kita itu! Jadi, sama sekali bukan penyesalan akan perbuatan kita yang salah, melainkan penyesalan karena kita dirugikan oleh perbuatan itu sebagai akibatnya. Misalnya, kita melakukan perbuatan yang salah, yaitu mencuri. Akibatnya, kita tertangkap dan dihukum. Menyesaliah kita, akan tetapi penyesalan ini timbul karena JATUHNYA HUKUMAN itulah atas diri kita. Oleh karena keadaan seperti inilah maka di lain kesempatan, kita dapat saja mengulangi perbuatan itu asal saja tidak terlihat ancaman hukumannya.

   Itulah sebabnya maka Nabi Khong Cu tidak pernah melihat orang yang melihat kesalahan sendiri lalu benar-benar menyesalkan perbuatannya dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri. Perbaikan diri sendiri yang dimaksudkan TIDAK MENGULANGI lagi perbuatannya yang salah itu. Mempelajari atau menghafal ayat-ayat suci saja sesungguhnya tidak ada artinya sama sekali bagi jalannya kehidupan. Yang penting adalah menyelami sedalam-dalamnya segala hal yang berhubungan dengan kahidupan kita. Kalau kita melakukan suatu kesalahan tidak hanya cukup untuk disesalkan saja, melainkan kita hadapi secara menyeluruh, kita selidiki diri kita sendiri mengapa kita melakukan kesalahan itu, apa yang mendorongnya dan apa yang menimbulkan terjadinya hal itu.

   Kalau kita selalu waspada akan gerak-gerik diri sendiri setiap saat, maka akan timbul kesadaran yang menyeluruh, bukan kesadaran sepintas lalu yang didapat dari membaca ayat. Kesadaran membaca ayat hanya terbatas pada saat membaca ayat itu saja, untuk kemudian dilupakan lagi sehingga di waktu kita memikirkan atau melakukan sesuatu menurut pikiran, ayat-ayat itu sama sekali terpendam dan terlupa. Dan biasanya, ayat-ayat itu yang kesemuanya amat muluk-muluk dan baik, hanya teringat oleh kita kalau kita ingin menasihati orang lain saja, sebaliknya sama sekali terlupa kalau kita melakukan segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Ayat-ayat itu seperti nyanyian-nyanyian merdu yang hanya mampu menggerakkan hati nurani kita pada saat kita mendengarnya atau membacanya, dan apakah artinya itu bagi kehidupan kita kalau hanya dinikmati sepintas lalu saja tanpa adanya PENGHAYATAN DALAM HIDUP?

   Menerapkan ayat-ayat suci di dalam kehidupan sehari-hari pun hanya merupakan kepalsuan yang dipaksa-paksakan belaka, mungkin dengan tujuan agar kita dipuji, agar kita menjadi orang baik dan sebaiknya. Kebaikan tidak mungkin dilatih, karena kalau kebaikan itu muncul karena dilatih, maka dia bukan kebaikan lagi melainkan kepalsuan. Kebaikan adalah kewajaran, tidak dilatih tidak dibuat-buat, tidak mencontoh ini atau itu, melainkan keadaan bebas dari kekotoran. Kalau kebusukan-kebusukan sudah tidak ada maka munculiah kebaikan, seperti kalau awan-awan gelap sudah sirna maka nampaklah sinar matahari. Melatih kebaikan hanya akan menciptakan manusia-manusia munafik.

   Yang penting, mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kekotoran-kekotoran dan kebusukan-kebusukan diri sendiri dengan mengamatinya setiap saat, dengan waspada setiap saat akan segala gerak-gerik lahir batin diri sendiri. Pengamatan seperti ini adalah tanpa pamrih sama sekali, tanpa pengejaran akan sesuatu, tanpa ingin menjadi baik, tanpa adanya aku yang berpamrih, tanpa adanya aku yang mengejar dan menginginkan apa pun. Yang ada hanya batin mengamati diri sendiri, gerak-geriknya setiap saat yang menimbulkan segala macam perbuatan, tanpa ada keinginan mengubah, memperbaiki, mengendalikan, dan keinginan-keinginan ini tentu tidak ada kalau YANG MENGAMATI tidak ada pula!. Sampai lama mereka berempat memeriksa keadaan di dalam gua tengkorak, akan tetapi tetap saja mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada bekas-bekas yang menunjukkan bahwa Syanti Dewi pernah berada di dalam gua itu.

   "Jelas bahwa bukan penghuni gua ini yang menculiknya. Tentu Hek-sin Touw-ong!"

   Kata Tek Hoat.

   "Kalau begitu kita akan menyelidiki ke rumah Raja Maling itu,"

   Kata Mauw Siauw Mo-li. Dua orang Saudara Ma itu kelihatan gentar.

   "Kalau begitu kita sebaiknya pulang dulu, kami akan mengerahkan anak buah kami."

   "Tidak perlu,"

   Kata Tek Hoat sambil mengerutkan alisnya.

   "Kita berempat sudah cukup. Kalian hanya menunjukkan saja jalan menuju ke gedung itu, setelah bertemu dengan Hek-sin Touw-ong, serahkan saja kepadaku untuk menghadapinya."

   "Tapi.... tapi dia amat sakti, dan puterinya juga amat lihai. Kami.... kami tidak berani. Kalau engkau gagal, Taihiap, kami pun tentu akan celaka."

   "Jangan takut, Twa-ong. Ang-taihiap cukup kuat untuk menghadapi Touw-ong, dan selain itu ada aku di sini, bukan?"

   Kata Hong Kui. Karena takut kepada wanita itu, akhirnya dua orang itu terpaksa menurut. Malam itu mereka bermalam di dalam gua tengkorak. Hong Kui tidak mempedulikan dua orang kepala bajak yang membuat api unggun di dalam gua itu.

   Dia mendekati Tek Hoat dan berusaha merayu pemuda ini. Akan tetapi Tek Hoat menjadi merah mukanya dan marah. Hampir saja dia memukul wanita tak tahu malu itu dan akhirnya dia keluar, lebih suka tidur di luar gua yang dingin daripada di dalam gua di mana dia harus menghadapi godaan Hong Kui yang amat mengganggunya. Tak lama kemudian dia mendengar suara dua orang kepala bajak itu tertawa-tawa, dan menjelang tengah malam, dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat memuakkan hatinya. Dia pergi menjauh dari gua, tidur di antara batu-batu karang, menerawang ke langit yang penuh bintang dan mengenangkan semua kehidupannya yang telah lalu. Timbul perasaan malu di dalam hatinya. Teringat akan tulisan di dinding batu, kini dia melihat betapa dia telah memenuhi kehidupan yang lalu dengan segala hal yang amat memalukan dan jahat.

   Betapa dia dapat mengubah itu semua setelah dia bertemu dengan Syanti Dewi, bahkan di Bhutan dia telah menjadi seorang terhormat, sebagai panglima dan calon suami Syanti Dewi. Cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi selain membuat dia hidup bahagia, Juga membuat dia hidup barsih, Jauh dari pikiran kotor sama sekali. Bahkan dia mulai menganggap dirinya berharga dan patut menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es dan menjadi calon suami Syanti Dewi yang berbudi mulia. Akan tetapi terjadi perubahan. Dia terusir dengan cara yang amat merendahkan dari Bhutan. Dia meninggalkan Syanti Dewi dan kebahagiaannya hancur, kehidupannya hancur dan hatinya juga remuk-rendam. Dia menjadi tidak peduli akan kehidupannya, apalagi setelah melihat ibunya terbunuh.

   Dia tidak peduli lagi apakah dia hidup melalui jalan kotor atau bersih. Dia tidak peduli! Akan tetapi sekarang, kembali dia terombang-ambing antara kehancuran hidupnya dan pertemuannya kembali dengan Syanti Dewi. Bagaimana kalau bertemu kembali? Apakah dia masih berharga untuk puteri itu? Apakah puteri itu dapat mencintanya? Dia mulai merasa menyesal! Penyesalan yang timbul karena kekhawatirannya akan kehilangan Syanti Dewi lagi! Dia telah melalui jalan kotor dan sesat! Dengan hati gelisah, akhirnya dia dapat pulas juga dan dapat-lapat seperti dalam mimpi dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat dibencinya. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya diseret ke dalam lumpur kehinaan oleh Mauw Siauw Mo-li! Dia harus membuktikan bahwa dirinya masih berharga untuk mencinta Syanti Dewi!

   "Suhu, lihat apa yang kudapatkan ini!"

   Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berkata bangga di depan kakek itu sambil membuka buntalan besar yang dibawanya masuk ke dalam gedung besar di tebing itu, buntalan yang tadi diseret masuk oleh dua orang pelayan yang menyambut kedatangannya bersama beberapa orang pelayan lain. Rumah itu merupakan gedung besar dan sama sekali tidak pantas menjadi rumah seorang yang berjuluk Raja Maling! Rumah itu teratur rapi, biarpun tidak terlalu mewah namun amat menyenangkan dengan hiasan-hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf indah. Pot-pot kembang kuno menghias di sudut-sudut ruangan, lantainya bersih dan kesemuanya menunjukkan bahwa rumah itu terpelihara dan penghuninya suka akan kebersihan.

   Ada kurang lebih sepuluh orang pelayan bekerja di luar dan dalam rumah, kesemuanya biarpun berpakaian pelayan namun sebetulnya adalah anak buah Hek-sin Touw-ong dan mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan ilmu mencuri yang lihai. Akan tetapi tentu saja kini mereka tidak lagi mencuri, setelah menjadi anak buah dan pelayan dari Raja Maling itu. Kakek yang berjuluk Hek-sin Touw-ong itu adalah seorang lakl-laki tua berusia enam puluh tahun lebih. Mukanya hitam seperti dicat, sesuai dengan julukannya si Raja Maling Bermuka Hitam. Sebenarnya, sudah bertahun-tahun yang lalu kakek ini menjalankan pekerjaannya sebagai Raja Maling, yaitu ketika dia masih beroperasi di perbatasan Ho-nan dan Ho-pei. Namanya amat terkenal di daerah itu dan semua kaum pencuri tunduk kepadanya dan menganggapnya sebagai datuk atau raja.

   Karena kepandaiannya yang hebat, dan karena semua pencuri menganggapnya sebagai raja, kemudian karena mukanya hitam, maka dia memperoleh julukan Hek-sin Touw-ong. Akan tetapi sesungguhnya dia bukanlah maling sembarang maling! Dia hanya mau melakukan pencurian di dalam istana-istana saja! Dan biarpun mukanya hitam, ternyata hatinya tidaklah sehitam mukanya. Kakek yang terkenal dengan julukan Raja Maling ini terkenal dermawan dan suka menolong orang-orang yang menderita kekurangan dan kesengsaraan. Pernah dia mencuri satu peti besar terisi ratusan tail uang emas milik gubernur di Ho-nan dan menggunakan seluruh uang itu untuk membeli ratusan ton gandum untuk dibagikan kepada rakyat yang kelaparan di daerah lembah Huang-ho di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei ketika Sungai Huang-ho mengamuk dan membanjiri!

   Perbuatannya ini menimbulkan kegemparan dan selain dia dimusuhi oleh para pembesar, juga perbuatannya itu menimbulkan rasa kagum dalam hati para pendekar. Ketika kakek itu mendengar akan kedatangan muridnya, dia cepat keluar menyambut di ruangan tengah dengan wajah berseri-seri. Kakek ini amat sayang kepada muridnya, bahkan murid itu juga sekaligus menjadi anak angkatnya, sungguhpun Swi Hwa masih belum dapat mengubah sebutan suhu kepadanya. Sudah berbulan-bulan muridnya pergi merantau, dan kini muridnya pulang dan membawa "oleh-oleh"

   Yang demikian banyaknya. Ketika buntalan dibuka dan kakek itu melihat tumpukan perhiasan emas permata, uang dan juga kitab-kitab, dia terbelalak dan menatap wajah muridnya dengan alis berkerut.

   "Swi Hwa, apa yang telah kau lakukan? Dari mana engkau memperoleh semua benda berharga ini?"

   Biarpun dia berjuluk Raja Maling, akan tetapi kakek ini selalu melarang muridnya untuk melakukan pencurian, apalagi pencurian kecil-kecilan yang akan merendahkan nama mereka, sungguhpun muridnya sudah pandai sekali dalam hal ilmu mencuri dan ilmu menyamar. Gadis itu tertawa.

   "Suhu, harap jangan mengira, bahwa aku sembarangan saja mencuri segala macam benda. Benda-benda ini bukan benda-benda sembarangan, juga bukan milik orang-orang sembarangan pula."

   "Hemmm, kantung itu terisi uang tidak berapa banyak dan kau bilang bahwa itu bukan benda sembarangan?"

   Gurunya mencela dan menegur.

   "Benar, Suhu. Hanya sekantung uang yang tidak berharga. Akan tetapi tahukah Suhu dari siapa aku mengambil kantung ini? Hemmm, Suhu tentu tidak akan pernah dapat menerkanya. Kantung ini kuambil dari buntalan yang dibawa oleh pendekar Siluman Kecil!"

   "Wahhhhh....!"

   Suhunya terbelalak dan memandang kepada muridnya dengan heran. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama pendekar yang baru muncul dalam waktu beberapa tahun ini, yang
(Lanjut ke Jilid 31)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 31
namanya amat terkenal di antara para tokoh besar dunia hitam, bahkan amat disegani. Dia mendengar betapa ilmu kepandaian pendekar Siluman Kecil itu amat hebat dan kini muridnya berani mencopet kantung uangnya! Melihat kekagetan, dan keheranan suhunya, Swi Hwa menjadi bangga dan senang, maka dia lalu menuding ke arah peti terbuka yang terisi barang-barang perhiasan emas permata.

   "Dan Suhu lihat peti itu! Isinya adalah harta pusaka dari keluarga yang amat terkenal pula. Keluarga panglima besar kota raja, Jenderai Kao Liang!

   "Ehhh....?"

   Sepasang mata Raja Maling itu makin terbelalak lebar ketika mendengar laporan itu. Nama Jenderal Kao malah lebih terkenal lagi daripada nama Siluman Kecil. Siapa yang tidak mengenal nama jenderal yang amat hebat itu? Baru mendengar namanya saja orang menjadi gentar dan segan, akan tetapi muridnya ini berani mencuri harta pusaka keluarga jenderal itu! Hati Swi Hwa makin besar dan bangga.

   "Dan kitab-kitab ini, Suhu. Tentu Suhu tidak akan dapat menerka dari mana aku mencurinya. Kitab-kitab ini adalah milik si tua renta yang amat lihai itu, Sin-siauw Seng-jin...."

   "Apa....?"

   Sekali ini kakek itu hampir berteriak dan mukanya berubah, lalu tiba-tiba dia tertawa bergelak dan membuka-buka kitab itu.

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Lucu....! Lucu sekali! Muridku, anakku, hayo cepat kau ceritakan bagaimana engkau dapat melakukan semua itu, terutama sekali kitab-kitab palsu ini!"

   "Palsu?"

   Swi Hwa mengerutkan alisnya.

   "Bagaimana Suhu tahu bahwa ini palsu? Aku mengambilnya dari rumah Sin-siauw Seng-jin sendiri setelah dia dikalahkan oleh Siluman Kecil."

   Kembali kakek itu terkejut.

   "Sin-Siauw Seng-jin dikalahkan oleh Siluman Kecil? Bagaimana pula itu? Ah, Swi Hwa, ceritakan.... ceritakan....!"

   Melihat kegembiraan gurunya, Swi Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya. Mula-mula dia menceritakan tentang keluarga Jenderal Kao Liang yang membawa keluarganya pulang ke kampung halamannya di selatan, kemudian betapa muncul beberapa kelompok gerombolan yang hendak membunuh dan hendak merampok keluarga itu. Dalam keributan ketika para kelompok gerombolan itu saling bertempur sendiri, dia lalu menggunakan kesempatan itu untuk merampas peti terisi harta pusaka itu dan melarikannya.

   Kemudian dia menceritakan tentang penyamarannya sebagai tukang penjual sepatu dan berhasil mencopet kantung uang milik Siluman Kecil, dan akhirnya dia menceritakan bagaimana dia telah mencuri kitab-kitab pusaka milik Sin-siauw Seng-jin. Akan tetapi tentang dia masuk menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dan tentang rahasianya yang terbuka oleh Siauw Hong, dia sama sekali tidak berani mencerita-kan kepada suhunya. Kakek itu mendengarkan penuturan muridnya dan berkali-kali dia berseru kagum. Apalagi ketika dia mendengar tentang pertandingan antara Siluman Kecil dan Sin-siauw Seng-jin sampai kakek Suling Sakti itu kalah, berulang kali dia mengeluarkan suara heran dan memuji

   "Hebat.... hebat sekali orang muda yang berjuluk Siluman Kecil itu. Tadinya kukira bahwa Sin-siauw Seng-jin tidak ada lawannya. Kiranya dia kalah oleh seorang pemuda. Ha-ha-ha!"

   Kelihatan kakek ini girang sekali mendengar akan kekalahan Suling Sakti itu.

   "Suhu, tadi Suhu mengatakan bahwa kitab-kitab ini palsu padahal Suhu belum memeriksanya dengan teliti. Benarkah itu?"

   "Ha-ha, tentu saja, Swi Hwa. Aku sudah mengenal baik siapa kakek tua bangka itu! Kalau kitab-kitab peninggalan Suling Emas dapat dicuri orang begitu saja, tentu ilmu-ilmu itu tidak akan menjadi rahasia sampai sekarang. Kau boleh bakar kitab-kitab itu, karena semua itu palsu, apalagi kalau telah dia tinggalkan begitu saja."

   "Betapapun juga, aku telah merampasnya dari dalam rumahnya, Suhu."

   "Ha-ha-ha, itulah yang menggirangkan hatiku. Kalau saja dia mendengar bahwa rumahnya kemasukan maling dan maling itu adalah engkau, muridku, ha-ha-ha.... ingin aku melihat mukanya, ha-ha-ha!"

   Kakek itu tertawa-tewa, akhirnya lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh,

   "Muridku, anakku, apa yang telah kau lakukan ini benar-benar hebat dan mengagumkan hatiku. Aku girang dan puas mempunyai murid seperti engkau. Akan tetapi, engkau telah bermain-main dengan api, anakku. Kurasa perbuatanmu ini akan berekor dan siapa tahu akan ada orang-orang pandai yang mencarimu di sini untuk merampas kembali benda-benda ini. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita menyembunyian di tempat aman."

   "Di gua rahasia di tebing?"

   Kakek itu mengangguk dan mereka lalu membawa benda-benda itu ke tepi tebing, lalu mereka merayap turun melalui tebing yang amat curam itu dan menyembunyikan benda-benda itu di dalam sebuah gua di tebing yang tertutup oleh batu dan tumbuh-tumbuhan sehingga kalau bukan mereka yang sudah mengenal tempat itu, kiranya tidak mungkin orang lain akan dapat mencari dan menemukan tempat itu. Malam itu, di atas meja makan, Swi Hwa dengan hati-hati lalu menceritakan pengalamannya kepada gurunya. Tanpa menyinggung perasaan hatinya yang mula-mula tertarik terhadap Siluman Kecil, dia akhirnya menceritakan juga tentang petualangannya memasuki sayembara di Ho-nan.

   "Eh, Swi Hwa, apa yang kau lakukan itu? Mau apa engkau memasuki sayembara untuk menjadi pengawal?"

   Tegur gurunya. Swi Hwa memang amat dimanja oleh gurunya ini dan sejak kecil dia menganggap gurunya sebagai ayah sendiri. Oleh karena inilah, maka biarpun ketika datang tadi dia tidak berani bercerita tentang semua itu, namun akhirnya dia bercerita juga karena dia tidak dapat menahan semua itu di dalam hatinya dan dia tidak mempunyai orang lain untuk diajak bicara.

   "Suhu, aku hanya ingin meluaskan pengalaman saja. Apalagi aku terbawa oleh orang-orang lain yang melakukan perjalanan bersamaku. Dan Siluman Kecil juga melakukan perjalanan bersama, maka aku pun ingin memperli-hatkan kepandaian."

   "Hemmm.. kau seorang wanita sungguh terlalu berani beraksi di depan umum."

   Lalu dia memandang tajam.

   "Apa sebabnya kau ingin agar orang-orang mengetahui kepandaianmu?"

   "Suhu, tentu saja dengan maksud untuk mengangkat nama Suhu!"

   "Eh, bocah lancang! Apa kau mengaku bahwa kau muridku?"

   Ditegur begitu oleh gurunya, Swi Hwa terkejut.

   "Aku.... aku.... hanya mengaku sebagai wakil Suhu dalam pertemuan di lembah Huang-ho...."

   "Itu memang atas kehendak-ku. Engkau kusuruh mewakili aku menghadiri pertemuan itu di sana. Akan tetapi tidak di tempat umum!"

   "Suhu, maafkan, aku.... aku hanya mengakui nama dan nama Suhu di depan.... eh, Siluman Kecil ketika aku mengambil kitab-kitab Sin-siauw Sengjin."

   Gurunya menarik napas panjang.

   "Engkau sungguh mencari penyakit. Nah, karena sudah terlanjur, bagaimana nanti sajalah, akibatnya kita hadapi bersama. Lanjutkan ceritamu."

   Setelah mulai menu-turkan tentang sayembara itu, Swi Hwa tentu saja tidak dapat menutupi apa-apa lagi dan kata-kata pun mulai lancar keluar dari mulutnya. Dibukanya segala peristiwa itu kepada suhunya. Betapa dia terlibat dalam urusan perebutan Pangeran Yung Hwa yang ditawan oleh Gubernur Ho-nan, betapa dia terpukul oleh Siluman Kecil.

   "Ah, engkau benar-benar sembrono sekali, muridku. Untung engkau tidak sampai terpukul mati oleh pendekar itu,"

   Kata kakek itu dengan mata terbelalak, terheran-heran akan petualangan muridnya yang berani itu. Swi Hwa lalu menceritakan bahwa perkelahian itu membuat dia tidak suka lagi tinggal di gubernuran, apalagi karena teman-temannya telah pergi, yaitu si gagu yang ternyata adalah kakak sendiri dari Siluman Kecil, Siauw Hong, Siluman Kecil dan seorang kakek gagah perkasa yang dia mendengar dari para pengawal adalah seorang tokoh bernama Sai-cu Kai-ong yang memimpin pasukan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa. Mendengar nama ini, Hek-sin Touw-ong menjadi makin heran, matanya terbelalak dan dia berseru,

   "Sai-cu Kai-ong....? Ahhh.... betapa aneh dan kebetulan....!

   "Apa maksudmu, Suhu?"

   Gurunya menarik napas panjang.

   "Tidak apa-apa, aku kenal dengan tua bangka itu, kelak engkau pun akan tahu sendiri. Teruskan, teruskan, ceritamu makin menarik"

   "Setelah aku pergi meninggalkan gubernuran Ho-nan karena aku tidak ingin lagi melanjutkan sebagai pengawal gubernur, setelah terjadi peristiwa perebutan Pangeran Yung Hwa itu, aku bertemu dengan Jenderal Kao Liang yang sedang diserang oleh seorang wanita baju hijau yang lihai. Melihat jenderal yang sudah kudengar kegagahannya itu roboh, aku merasa kasihan dan aku lalu membantunya, kuserang wanita baju hijau yang lihai itu, Suhu."

   Gurunya mengangguk-angguk.

   "Sekali ini kau benar, muridku. Pertama, karena engkau telah melaku-kan kesalahan terhadap jenderal itu dengan mencuri harta pusakanya, maka sudah selayaknya engkau menebusnya dengan membantunya, apalagi engkau belum mengenal wanita penyerangnya itu."

   "Akan tetapi dia lihai bukan main, Suhu! Pukulan Kiam-to Sin-ciang yang kupergunakan tidak merobohkannya...."

   "Ah, ilmumu belum cukup tinggi untuk menggunakan Kiam-to Sin-ciang dengan sempurna."

   "Pada saat itu, muncul pula Siluman Kecil dan Siauw Hong. Mereka melerai, akan tetapi aku sudah terpukul oleh wanita baju hijau itu sehingga aku roboh pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi...."

   "Ah, begitu hebat dia? Siapakah wanita itu?"

   "Aku tidak tahu, Suhu. Usianya lebih tua dua tiga tahun daripada aku, pakaiannya serba hijau, wajahnya cantik dan sikapnya dingin. Pukulannya itu hebat bukan main, aku merasa betapa seluruh tubuhku seperti dimasuki salju yang dinginnya menyusup tulang sumsum dan menyerang rongga dada sehingga aku tidak kuat dan roboh tidak ingat apa-apa lagi."

   Kakek itu mengerutkan alisnya.

   "Dingin....? Hemmm, tentu dia memiliki ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat kuat. Lalu bagaimana, Swi Hwa? Kemudian apa yang terjadi denganmu?"

   Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah sekali. Dia sudah kepalang, sudah menceritakan segala-galanya kepada gurunya, maka sukarlah untuk menyembunyikan peristiwa yang terjadi atas dirinya, apa yang dilakukan oleh Siauw Hong itu. Teringat akan ini tiba-tiba saja gadis itu merasa amat malu dan terhina, lalu menangis! Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi terkejut sekali. Dia memandang muridnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia bertanya,

   "Apakah yang menimpa dirimu, muridku? Mengapa kau menangis?"

   Suaranya mengandung kekhawatiran karena mendengar muridnya roboh pingsan laiu kini menangis itu, dia menyangka bahwa jangan-jangan terjadi hal yang buruk atas diri muridnya. Swi Hwa menyusut air matanya dan setelah tangisnya mereda dan hatinya mulai tenang kembali, dia melanjutkan ceritanya,

   "Pukulan itu membuat aku pingsan, Suhu. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Ketika aku siuman kembali, aku telah berada di bawah pohon, di atas rumput terlentang dan.... dan...."

   "Ya? Bagaimana?"

   Gurunya bertanya dengan tangan terkepal karena hatinya tegang menanti lanjutan cerita muridnya itu.

   "Ketika aku siuman kembali, aku melihat dia duduk di dekatku dan.... tangannya diletakkan di atas dadaku, Suhu...."

   Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

   "Dia? Dia siapa?"

   "Siauw Hong...."

   "Keparat! Berani benar dia!"

   Kakek itu membentak marah.

   "Suhu tentu mengerti betapa kaget dan malu rasanya hatiku. Tangannya itu meraba dadaku di balik bajuku.... maka aku lalu bangkit dan memukulnya sekuat tenaga sehingga dia terlempar dan mungkin dia mampus!"

   "Bagus! Benar itu! Kalau dia belum mampus, biar aku yang akan mencarinya dan memukulnya sampai mampus benar-benar! Laki-laki keparat dia itu! Siapa sih Siauw Hong itu?"

   "Dia adalah pemuda yang melakukan perjalanan bersama aku dan Siluman Kecil, yang juga memasuki sayembara dan diterima menjadi pengawal, akan tetapi ketika terjadi keributan perebutan Pangeran Yung Hwa, dia membantu Siluman Kecil.

   "Hemmm, jadi dia memiliki kepandaian juga, ya? Orang macam apa dia berani berbuat kurang ajar seperti itu?"

   "Dia.... dia masih muda, mungkin tidak lebih tua daripada aku, Suhu, dan dia dikenal sebagai pangeran pengemis...."

   "Pengemis??"

   Gurunya makin penasaran. Anak angkatnya, muridnya yang tersayang itu diganggu oleh seorang pemuda pengemis?

   "Ya, dia seorang pengemis aneh, dan ternyata kemudian bahwa dia adalah murid dari kakek pengemis aneh yang memimpin pasukan memperebutkan Pangeran Yung Hwa itu, Suhu."

   "Siapa? Murid siapa?"

   Muka kakek itu berubah. Swi Hwa terkejut melihat perubahan muka gurunya.

   "Dia murid Sai-cu Kai-ong...."

   "Ahhhhh....! Ya Tuhan....!"

   "Ada apakah, Suhu? Mengapa Suhu demikian kaget?"

   Kakek itu masih terbelalak, kemudian dia memegang lengan gadis itu dengan cepat sehingga gadis itu menjadi kaget dan takut kalau-kalau gurunya marah. Belum pernah gurunya marah kepadanya, akan tetapi sikapnya sekarang benar-benar mengagetkan hatinya.

   "Hayo katakan, apakah dia melakukan hal itu, meraba dadamu, untuk berbuat kurang ajar dan melanggar susila? Apakah dia berusaha.... memperkosamu?"

   Kini Swi Hwa yang memandang dengan mata terbelalak.

   "Memperkosa? Apa maksudmu, Suhu? Sama sekali tidak! Dia meraba dadaku untuk menyembuhkan aku, terasa olehku dia menyalurkan sinkang yang amat kuat dan mengusir hawa dingin akibat pukulan gadis pakaian hijau itu."

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ahhh....!"

   Kakek itu tertegun dan melongo.

   "Jadi dia malah menolongmu? Kalau dia menyelamatkanmu dengan mengobati lukamu, mengapa kau menghantamnya sampai.... mungkin dia mati?"

   Wajah Swi Hwa menjadi merah dan dia menunduk.

   "Habis.... habis dia.... meraba dadaku dan aku malu karena rahasiaku terbuka. Tadinya dia dan mereka semua mengira aku seorang pemuda sejati Suhu, aku selalu menyamar. Ketika aku melihat dia meraba dadaku, di balik baju, tentu saja aku merasa malu dan marah karena rahasiaku terbuka dan aku lalu memukulnya, kemudian aku melarikan diri, dan pulang ke sini. Kakek itu menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal.

   "Ah, aku menjadi bingung, Swi Hwa. Sebentar aku marah, sebentar aku khawatir, dan kemudian aku terheran dan bingung lagi. Jadi pemuda yang mengobatimu dan juga yang berani meraba dadamu itu adalah murid Sai-cu Kai-ong?"

   "Benar, Suhu."

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Aaahhhhh.... kekuasaan Thian sungguh amat hebat dan luar biasa, penuh rahasia ajaib...."

   "Maksud Suhu?"

   "Swi Hwa, engkau adalah seorang gadis yang sudah cukup umur. Sudah menjadi kewajibanku sebagai guru dan ayah angkatmu untuk memikirkan perjodohanmu...."

   "Ah, Suhu! Harap jangan bicara tentang itu!"

   Swi Hwa berseru dan mukanya menjadi merah sekali. Dia teringat kepada Siluman Kecil, pemuda yang amat dikagumi itu, akan tetapi hatinya kecewa dan tawar kembali melihat betapa Siluman Kecil sama sekali tidak memperhatikannya, bahkan memusuhinya!

   "Swi Hwa, hanya ada tiga peristiwa dalam kehidupan manusia yang kuanggap penting, bahkan yang diakui kepentingannya oleh semua orang, menjadi pusat perhatian dan didatangi sanak keluarga dan handai-taulan. Pertama adalah kelahiran, ke dua adalah pernikahan dan ke tiga kematian. Usiamu sudah hampir sembilan belas tahun, sudah cukup untuk memikirkan tentang jodoh. Dan setelah kau menceritakan tentang pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, hemmm.... timbul pikiranku untuk menyelidikinya lebih jauh dan melihat kalau-kalau dia berjodoh denganmu."

   "Suhu....!"

   "Swi Hwa, bagi seorang wanita terhormat dan bersusila, merupakan pantangan besar untuk membiarkan tubuhnya diraba oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya tentu saja! Siapa berani merabanya berarti telah melakukan penghinaan dan hanya layak ditebus dengan nyawa. Oleh karena itu, pemuda bernama Siauw Hong yang telah meraba tubuhmu itu pun hanya mempunyai dua pilihan, pertama menjadi jodohmu atau ke dua dia harus dibunuh!"

   "Tapi.... tapi.... dia telah menolongku, Suhu, dia telah mengobatiku."

   "Nah, itulah sebabnya mengapa aku pun hendak menyelidiki dia. Aku pun lebih condong untuk menjodohkan dia denganmu, apalagi mengingat bahwa dia adalah murid seorang seperti Sai-cu Kai-ong yang biarpun berkepala besar dan berhati baja, namun kurasa tentu dapat memilih seorang murid yang baik."

   "Akan tetapi, Suhu, aku belum....!"

   "Ssshhhhh....!"

   Gurunya memberi isyarat agar muridnya diam dan dia lalu meloncat ke luar dari kamar itu, diikuti oleh Swi Hwa yang juga mendengar suara ribut-ribut di luar rumah itu.

   Ketika mereka tiba di luar rumah, mereka terkejut bukan main melihat para pelayan mereka telah menggeletak di sana-sini dalam keadaan tertotok, pingsan atau terluka! Pelayan-pelayan mereka adalah orang-orang yang cukup lihai, akan tetapi bagaimana dalam waktu singkat saja mereka roboh semua? Hek-sin Touw-ong yang baru muncul itu tiba-tiba meloncat ke samping ketika dia melihat bayangan orang berkelebat dan sinar hijau menyambarnya. Dia mengelak dan memandang. Ternyata yang menyerangnya adalah seorang wanita cantik yang pesolek, dari pakaiannya tersebar bau semerbak harum dan pedangnya yang bersinar hijau itu lihai sekali. Segera dia mengenal wanita ini dan dia berseru marah.

   "Mauw Siauw Mo-li, mau apa kau? Berani benar kau mengacau di tempatku?"

   "Tek Hoat, cepat....!"

   Mauw Siauw Mo-li sudah berseru dan tanpa mempedulikan pertanyaan Hek-sin Touw-ong, dia sudah menerjang lagi dan mengirim se-rangan-serangan kilat kepada lawannya. Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi karena dia maklum bahwa adik seperguruan Hek-tiauw Lo-mo ini adalah seorang yang amat lihai maka dia tidak berani sembrono menyambut serangan pedang itu, melainkan mengelak lagi dan mulai membalas dengan tendangan kilat yang dapat dielakkan pula oleh wanita itu. Sementara itu, Tek Hoat yang datang bersama Mauw Siauw Mo-li, sudah berkelebat ke sebelah dalam rumah. Dia melihat bayangan merah berkelebat dan di dalam keadaan remang-remang itu dia mengira bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi. Bukan main girang rasa hatinya.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 25 Kisah Sepasang Rajawali Eps 27 Kisah Sepasang Rajawali Eps 49

Cari Blog Ini