Suling Emas Naga Siluman 13
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Perlakuan yang diperlihatkan Tek Hoat ini begitu menyakitkan hatinya, sehingga dia meninggalkan pemuda kekasihnya itu dan mengambil keputusan untuk membiarkan Tek Hoat merana dan sengsara, dan dia tidak akan mau kembali kepada pemuda itu sebelum Tek Hoat datang mencarinya dan minta ampun kepadanya! Semua ini diceritakan di dalam cerita JODOH RAJAWALI. Puteri Syanti Dewi melarikan diri ke tempat tinggal subonya, atau gurunya, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Tentu saja, sebagai seorang wanita lesbian, yang selera seksuilnya sudah berubah seperti selera seorang pria, Ouw Yan Hui seperti tergila-gila melihat kecantikan Syanti Dewi dan keindahan lekuk-lengkung tubuhnya. Namun, Syanti Dewi adalah seorang wanita seratus prosen,
Oleh karena itu, dia tidak sudi melakukan permainan cinta yang tidak wajar itu. Bahkan ketika seorang nenek yang masih cantik, guru dari Ouw Yan Hui dalam hal awet muda yang bernama Maya Dewi, seorang wanita India, hendak mendekap dan membelainya, mengajak bermain cinta, Syanti Dewi melarikan diri dari pulau itu! Karena Ouw Yan Hui benar-benar amat mencinta Syanti Dewi, maka setelah Syanti Dewi mau kembali ke Kim-coa-to, dia berjanji bahwa dia tidak akan lagi mengganggu muridnya itu. Hanya dengan janji inilah Syanti Dewi mau kembali dan tinggal di pulau itu setelah dia melarikan diri dari Ang Tek Hoat. Pada waktu itu, Maya Dewi telah meninggalkan pulau itu untuk kembali ke negaranya sendiri, meninggalkan Ilmu yang membuat Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi seolah-olah kebal terhadap usia tua dan menjadi tetap awet muda!
Sampai bertahun-tahun Syanti Dewi tinggal bersama gurunya di pulau itu, mempelajari ilmu gin-kang yang amat tinggi dari Bueng-kwi Ouw Yan Hui sehingga kini Syanti Dewi merupakan seorang wanita ke dua yang memiliki gin-kang amat hebatnya, Ouw Yan Hui amat bangga dengan muridnya yang dikasihinya seperti anak atau adik sendiri ini, dan mereka hidup rukun dan saling menyayang di
(Lanjut ke Jilid 12)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
pulau itu seperti seorang ratu dan seorang puteri. Akan tetapi, semenjak nama Syanti Dewi dikenal, pulau itu seringkali menerima kunjungan tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal atau bangsawan-bangsawan tinggi, atau hartawan-hartawan yang semua ingin mempersembahkan milik mereka demi untuk menundukkan hati Syanti Dewi, puteri yang seperti bidadari cantiknya itu! Nama Syanti Dewi menjadi buah bibir setiap orang pria dan setiap orang yang pernah melihat senyumnya,
Tak mungkin dapat melupakannya lagi, bahkan senyum manis itu selalu membayang di depan mata, wajah jelita itu selalu menjadi kembang mimpi dan banyaklah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan, dan hartawan-hartawan besar yang tergila-gila kepada Syanti Dewi. Syanti Dewi walaupun karena kegagalan cintanya dengan Ang Tek Hoat berubah menjadi agak keras hati terhadap pria, namun dia bukanlah pembenci pria seperti gurunya. Oleh karena itu, dia tidak menolak perkenalan dengan para pria tingkat atas itu, bahkan menyambut mereka sebagai sahabat-sahabat dengan sikap manis. Akan tetapi, setiap pernyataan cinta, setiap sanjungan, setiap pujaan, setiap pinangan, selalu ditolaknya dengan halus sehingga tidak menyinggung yang ditolaknya, bahkan membuat mereka semakin tergila-gila!
Pendeknya, semenjak beberapa tahun ini, nama Syanti Dewi terkenal sekali di sepanjang pantai timur, bahkan sampai jauh ke pedalaman dan akhirnya nama itu terdengar pula sampai ke istana kaisar! Tentu saja Ouw Yan Hui sendiri tidak sudi menemui para pria itu, akan tetapi dia juga tidak tega untuk melarang muridnya menerima kunjungan para pria tingkat atas itu, dan kalau Syanti Dewi dikelilingi pria-pria muda yang rupawan dan seolah-olah berebut untuk menundukkan hati puteri juita ini, Ouw Yan Hui yang merasa sebal lalu mencurahkan semua ketidaksenangan hatinya dengan hiburan yang biasa dilakukannya, yaitu dia lari ke dalam pelukan lembut wanita-wanita pelayan yang biasa menjadi kekasihnya! Pulau Ular Emas kini seolah-olah menjadi ramai dengan kunjungan perahu-perahu besar yang mewah dan indah.
Para pemuda yang tergila-gila itu ada yang mendatangkan ahli-ahli bermain musik, penari dan penyanyi-penyanyi yang kenamaan untuk mengadakan hiburan di tempat itu, yang tentu saja kesemuanya ditujukan untuk menarik hati Syanti Dewi. Juga di dalam gudang-gudang istana Ouw Yang Hui bertumpuk banyak barang-barang hadiah yang berharga, yang seolah-olah dilimpahkan tanpa mengenal hitungan oleh para pemuda itu di depan kaki Syanti Dewi. Namun sang puteri itu hanya membalas dengan senyum manis, senyum yang demikian gemilangnya sehingga untuk sebuah senyum kiranya setiap orang pemuda rela untuk bertekuk lutut! Saking terkenalnya nama Syanti Dewi, sampai-sampai para sastrawan tertarik untuk mengunjungi pulau itu dan di antara mereka terdapat seorang sastrawan ahli lukis dan ahli sajak yang bernama Pouw Toan.
Sastrawan ini sudah berusia lima puluh tahun, dan ketika perahu kecilnya mendarat di Kim-coa-to, para penjaga memandangnya penuh curiga. Biasanya, yang melakukan pendaratan dan kunjungan di pulau itu hanyalah pemuda-pemuda yang rupawan dan gagah perkasa, yang datang membawa kesan yang nampak dari sikap mereka yang gagah perkasa dari seorang ahli silat, atau dari perahu mereka yang mewah dan pakaian mereka yang indah dari seorang hartawan, atau dari pengawal-pengawal dan sikap angkuh seorang bangsawan. Akan tetapi kakek ini berperahu kecil, berpakaian sederhana, dan sudah tua lagi. Apa yang diharapkan dari seorang kakek seperti itu? Maka, seorang di antara para penjaga yang diadakan oleh Syantti Dewi setelah tempat itu sering dikunjungi orang, cepat menghampiri dan menegur.
"Lopek, mau apakah engkau mendaratkan perahumu di sini? Dilarang untuk mencari ikan ditepi pulau ini!"
Kakek Pouw Toan tersenyum. Harus diakui bahwa kakek berusia lima puluh tahun ini pernah menjadi seorang pria yang tampan sekali, dan hal ini nampak ketika dia tersenyum.
"Sahabat,seperti juga para pendatang lain, aku ingin sekali berjumpa dengan Nona Syanti Dewi."
Beberapa orang penjaga sudah mendekati tempat itu dan mereka tertawa mendengar kata-kata ini. Biarpun pria ini tampan, akan tetapi dia sudah tua dan miskin! Mau apa hendak bertemu dengan Siocia, pikir mereka.
"Eh, orang tua. Siocia kami tidak pernah menerima kunjungan orang-orang tua! Yang menjadi tamu-tamunya hanyalah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan atau pemuda-pemuda hartawan. Lebih baik engkau lekas pergi dari sini, kalau sampai Toanio majikan pulau ini mendengar tentang kedatanganmu, tentu dia akan marah dan nyawamu tidak akan tertolong lagi."
Yang dimaksudkan oleh para penjaga dengan toanio itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Kalau Syanti Dewi yang mereka sebut siocia itu merupakan seorang yang amat mereka sayang dan hormati karena sikapnya yang ramah-tamah dan lemah lembut terhadap semua orang, sebaliknya Ouw Yan Hui amat mereka takuti karena memang wanita ini selalu bersikap dingin dan galak terhadap para pria, termasuk para penjaga itu. Kakek itu tertawa.
"Ha-ha, dunia memang penuh kepalsuan. Penghargaan terhadap manusia dinilai dari lahirnya, bukan batinnya. Sahabat, kalian bermaksud baik, maka aku berterima kasih atas nasihat kalian. Akan tetapi, aku mempunyai suatu hal yang perlu kusampaikan kepada Nona Syanti Dewi. Maukah engkau menyampaikan hal ini kepadanya?"
Tanpa menanti jawaban, kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kipas yang permukaannya terbuat daripada kertas putih bersih. Lalu dia mengeluarkan alat tulis dan dengan gerakan yang cekatan sekali dia mencorat-coret di atas kipas itu. Para penjaga memandang dan melongo penuh kekaguman ketika melihat betapa corat-coret itu merupakan tulisan huruf-huruf yang amat indah dan dilihat dari jauh merupakan sebuah petak rumput dengan bunga-bunganya mencuat di sana-sini. Dan bukan hanya huruf-hurufnya yang indah, akan tetapi bahkan huruf-huruf itu tersusun merupakan sebuah sajak yang rapi pula!
"Nah, inilah pesanku itu, harap kalian suka menyampaikan kepada Siocia kalian."
Seorang di antara para penjaga itu, yang berkumis lebat, mengerutkan alisnya dan menghampiri sambil bertolak pinggang, lalu membentak,
"Eh, engkau ini tua bangka tidak tahu diri! Bercerminlah dulu sebelum engkau berani menulis surat cinta kepada Siocia! Lagakmu seperti seorang pemuda saja, pakai hendak mengirim surat cinta kepada Siocia!"
Bentakan ini disambut suara ketawa penjaga lainnya. Kakek itu juga tersenyum, kemudian dengan alat tulisnya dia mencorat-coret di atas ujung perahunya. Semua orang memandang dan kembali mereka terbelalak memandang corat-coret yang agaknya dilakukan secara sembarangan itu ternyata telah membentuk wajah penjaga berkumis lebat itu, mirip sekali sehingga sekali pandang saja semua orang mengenal wajah Si Kumis Lebat, lengkap de-ngan kumisnya yang pada gambar di atas papan perahu itu bahkan nampak lebih menyeramkan daripada aselinya. Sastrawan tua itu tersenyum ketika dia mengangkat muka memandang kepada penjaga berkumis yang menegurnya tadi, sambil berkata,
"Nah, sudah kucatat baik-baik gambar wajahmu agar mudah kulaporkan kelak kepada penghuni pulau ini siapa di antara para penjaga yang bersikap kasar terhadap seorang tamu."
Mendengar ini, tiba-tiba wajah penjaga berkumis tebal itu berobah ketakutan. Memang siapakah yang tidak takut membayangkan bahwa jangan-jangan sastrawan sederhana ini adalah seorang kenalan baik Toanio dan kalau betul demikian dan kakek ini melaporkan kepada Toanio, dia tentu akan celaka! Maka cepat Si Kumis Tebal itu menjura kepada sastrawan itu sambil berkata,
"Harap Tuan sudi memaafkan kelakar kami tadi.... dan kalau Tuan menghendaki, biarlah saya menyampaikan pesan Tuan kepada Siocia...."
"Nah, itu baru seorang petugas yang baik, seorang penjaga yang gagah perkasa seperti harimau!"
Kata sastrawan itu dan kembali dengan alat tulisnya dia mencorat-coret ke arah lukisan wajah penjaga itu dan semua orang memandang kagum karena kini lukisan itu berobah menjadi kepala seekor harimau yang bagus sekali! Penjaga berkumis lebat itu tidak berani main-main lagi, cepat diterimanya kipas yang sudah ditulisi itu dengan hormat sambil berkata.
"Saya akan menyampaikan kipas ini kepada Siocia."
"Dan aku akan menanti balasan di sini."
Kata sastrawan itu sambil mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci arak, kemudian duduklah dia di kepala perahunya sambil makan roti, minum arak dan bersenandung kecil, kelihatannya riang dan gembira sekali. Pada pagi hari itu,
Syanti Dewi sedang duduk di dalam taman bunga bersama gurunya yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, menghadapi sarapan pagi di dalam taman yang indah itu, dilayani oleh para pelayan yang cantik muda dan berpakaian bersih rapi. Taman itu memang indah sekali, dibangun oleh Syanti Dewi sendiri yang mendatangkan berbagai macam bunga dari daratan untuk ditanam di pulau itu. Mereka duduk di bangunan kecil di tepi danau buatan yang penuh dengan ikan-ikan emas beraneka macam dan warna, yang nampak berenang ke sana kemari di dalam air yang amat jernih itu. Jembatan-jembatan kecil dicat indah dan nyeni menambah semarak pemandangan di taman dan batang-batang pohon yang-liu yang lentik itu menari-nari tertiup angin pagi yang lembut.
"Dewi."
Kata Ouw Yan Hui dengan halus. Dia selalu menyebut Dewi kepada muridnya itu, dan tak pernah dia bosan untuk memandang wajah yang jelita itu. Ouw Yan Hui biasanya bersikap dingin dan kasar angkuh kepada orang lain, akan tetapi terhadap Syanti Dewi dia bersikap lembut dan manis budi.
"Kabarnya hari ini pangeran akan datang mengunjungi pulau kita, benarkah?"
"Benar, Enci Hui."
Syanti Dewi biasa menyebut gurunya itu Enci dan hubungan mereka memang lebih mirip kakak dan adik daripada guru dan murid.
"Kemarin seorang pengawalnya telah menyampaikan berita itu."
"Dewi, sahabatmu itu adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menjadi kaisar! Dan kulihat hubungan antara kalian demikian akrab. Hemm, daripada engkau dikelilingi begitu banyak pria muda, apakah tidak lebih baik kalau menentukan pilihanmu sekarang juga? Dan kurasa, paling tepatlah kalau engkau memilih pangeran itu. Bayangkan saja kelak engkau menjadi permaisuri dan...."
"Enci Hui, harap jangan sebut-sebut tentang hal itu!"
Syanti Dewi memotong dengan alis agak berkerut, sungguhpun wajahnya masih tetap berseri dan senyumnya masih membayang di bibirnya yang merah basah dan sudah begitu segar nampaknya di pagi hari itu. Kini Ouw Yan Hui yang memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sinar matanya serius.
"Dewi, marilah kita bicara dari hati ke hati secara terbuka saja karena yang kita akan bicarakan ini menyangkut masa depan kehidupanmu. Tak perlu kusebutkan lagi karena engkau sudah mengenalku, bahwa aku pribadi tidak sudi berdekatan dengan pria, apalagi menjadi isteri. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau menentang sikap hidupku dan engkau mengatakan bahwa sekali waktu engkau tentu akan menjadi isteri seorang pria. Nah, usiamu sudah dua puluh enam tahun dan selagi sekarang terbuka kesempatan yang amat baik ini, mengapa engkau masih hendak bertahan? Kalau memang engkau suka hidup sebagai isteri orang, sekaranglah saatnya dan pangeran mahkota itulah orangnya yang patut menjadi suamimu. Bayangkan, kelak engkau menjadi permaisuri. Hemm, bahkan aku sendiri pun yang tidak suka kepada pria akan ikut merasa bangga disebut seorang kakak angkat dari permaisuri!"
"Enci, lupakah kau bahwa aku selalu menganggap perjodohan itu hanya mungkin apabila terdapat cinta kasih di situ? Apakah kau kira aku akan serendah itu, menikah dengan seorang pria hanya berdasarkan kedudukan belaka? Ingat, di Bhutan aku adalah seorang puteri tunggal Raja Bhutan!"
"Hemm, apa artinya kedudukanmu di Bhutan kalau dibandingkan dengan menjadi permaisuri kaisar? Dewi, apa artinya cinta kasih? Apa kau kira ada cinta kasih dalam hati seorang pria? Huh, aku tidak percaya itu! Pria hanya mempunyai nafsu berahi, nafsu binatang, dan selalu hanya ingin memuaskan nafsunya terhadap wanita, ingin mempermainkan wanita sampai akhirnya dia menjadi bosan dan mencari wanita baru yang lain! Kalau engkau dapat menjadi permaisuri dari sebuah pernikahan, tidak peduli Kaisar yang menjadi suamimu itu kelak mengumpulkan seribu orang selir, tetap saja engkau sudah memperoleh kedudukan dan kekuasaan tertinggi bagi seorang wanita, dan...."
"Cukup, Enci. Aku tidak mau lagi bicara tentang itu! Kau tahu, Pangeran Kian Liong hanya menjadi sahabat baikku, kami saling cocok dan saling suka, saling menghormat, sama sekali tidak ada perasaan yang kau maksudkan itu...."
"Hi-hi-hik, kau kira aku ini anak kecil, Dewi? Aku melihat jelas betapa pada sinar matanya terdapat kekaguman dan gairah berahi...."
"Usianya baru delapan belas tahun, aku jauh lebih tua...."
"Apa salahnya? Melihat wajahmu, engkau lebih pantas dikatakan baru berusia delapan belas tahun! Dan perbedaan usia itu akan membuat engkau lebih mudah mengatasinya."
"Sudahlah, kau tahu, Enci. Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga, betapapun kaya raya dan berkuasanya pria itu, kecuali dengan pria yang kucinta."
"Tek Hoat itu lagi, ya? Betapa bodohnya engkau...."
"Tidak! Dia sudah kuhapus dari dalam lubuk hatiku. Setelah bertahun-tahun ini dia tidak muncul, aku mulai percaya bahwa dia memang berhati palsu!"
Ouw Yan Hui tertawa lagi.
"Bukan hanya dia, semua laki-laki di dunia berhati palsu! Oleh karena itu, aku lebih suka berdekatan dengan sesama wanita yang memiliki kelembutan, baik jasmani maupun rohaninya. Dunia ini seharusnya dikuasai wanita dan semua pria sebaiknya dibinasakan saja!"
Pada saat mereka berdua tertawa santai terbebas dari percakapan tentang hal yang mendatangkan kenangan tidak menyenangkan dalam hati Syanti Dewi itu, muncullah penjaga berkumis lebat. Melihat bahwa Siocia berada di dalam taman bersama Toanio, wajahnya menjadi pucat dan cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut ketika Ouw Yan Hui menoleh dan memandang kepadanya.
"Harap Toanio sudi mengampuni saya yang berani lancang masuk ke sini, karena saya tidak tahu bahwa Toanio di sini."
Syanti Dewi yang maklum akan tabiat gurunya yang membenci kaum pria dan mudah menjatuhkan tangan kejam terhadap pria yang bersalah sedikit saja, cepat berdiri menghampiri pria penjaga itu dan bertanya dengan sikap ramah, mendahului Ouw Yan Hui yang sudah memandang dengan alis berkerut kepada pria berkumis lebat itu.
"Ada keperluan apakah engkau datang ke sini?"
"Maaf, Siocia. Di pantai pulau ada seorang sastrawan berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermaksud berjumpa dengan Siocia...."
"Siapa dia? Apa keperluannya?"
Tanya Syanti Dewi.
"Usir dia pergi!"
Bentak Ouw Yan Hui suaranya melengking marah sehingga mengejutkan Si Penjaga berkumis tebal yang masih berlutut.
"Saya.... sudah berusaha mengusirnya.... akan tetapi dia menuliskan sesuatu di atas kipas ini dan minta untuk disampaikan kepada Siocia...."
Cepat-cepat dia mengeluarkan kipas itu dari saku bajunya.
"Keparat berani kau....?"
Penjaga itu terkejut bukan main karena yang nampak hanya berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu dia merasa kepalanya seperti disambar petir dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia merangkak bangkit duduk, dengan kedua tangan dia cepat memegangi kepalanya untuk melihat apakah kepalanya tidak copot dan masih menempel di lehernya! Ternyata tadi dalam kemarahannya, Ouw Yan Hui telah menendangnya, dan dengan sama cepatnya Syanti Dewi telah mengambil kipas itu dan selanjutnya nona yang jelita ini menyabarkan gurunya.
"Enci, dia hanya petugas, harap ampuni dia."
Kata Syanti Dewi yang segera membuka kipas itu dan membacanya. Sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar, mulut yang manis sekali itu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia membaca sajak yang ditulis dengan huruf-huruf biasa yang amat indahnya itu. :
Kembang indah jelita nan cantik menarik datangnya kumbang-kumbang beterbangan membuat banyak tangan ingin memetik banyak pria berlumba bersaing! Aku, sastrawan tua pengagum segala nan indah hanya ingin menikmati dengan pandangan mata sebelum kembang jelita dilayukan usia! Kasihan kumbang, belum kenyang madu tertusuk duri! Kalian kembang, habis madu layu sendiri!
"Di mana dia sekarang?"
Syanti Dewi bertanya kepada penjaga yang masih berlutut dan mandi keringat karena ketakutan itu. Kumisnya nampak miring dan sama sekali tidak membayangkan kegalakan lagi.
"Dia.... menanti.... di dalam perahunya, Siocia."
Jawabnya dengan lirih dan matanya mengerling ketakutan ke arah Ouw Yan Hui.
"Kau persilakan dia menanti di ruangan tamu, aku akan menemuinya."
Kata Syanti Dewi dengan halus.
"Nah, pergilah!"
Penjaga itu merasa lega sekali. Cepat dia bangkit dan memberi hormat, kemudian dengan penuh kehormatan dia menjura ke arah Ouw Yan Hui.
"Terima kasih atas pengampunan Toanio...."
Dan pergilah dia dengan cepat-cepat meninggalkan taman indah dan yang baginya seperti neraka menakutkan itu.
"Enci, dia itu hanya seorang sastrawan tua yang tulisannya indah syairnya bagus sekali. Aku mau menemuinya."
Ouw Yan Hui bangkit berdiri, sejenak memandang kepada puteri itu, lalu membuang muka dan mendengus.
"Huhh! Segala tua bangka menjemukan....!"
Dan dia pun pergi meninggalkan Syanti Dewi dengan wajah cemberut. Syanti Dewi yang sudah mengenal watak gurunya itu hanya tersenyum saja. Gurunya itu memang tidak suka kepada pria, akan tetapi dia tahu bahwa wanita itu amat sayang kepadanya dan tidak akan merintangi kehendaknya. Maka dia pun cepat-cepat pergi meninggalkan taman untuk memasuki bangunan seperti istana itu.
"Siapa namamu?"
Begitu bertemu dengan sastrawan tua yang masih menanti di perahu itu, penjaga berkumis membentak. Dia masih merasa marah karena telah dihadiahi tendangan oleh toanio dan karena hal ini adalah gara-gara munculnya sastrawan ini maka dia menjadi marah kepada sastrawan itu. Sastrawan tua itu tersenyum dan membungkuk.
"Namaku Pouw Toan, seorang sastrawan perantau. Bagaimana, apakah Nonamu telah menerima pesanku dalam kipas?"
"Dengar, orang she Pouw!"
Kata penjaga itu dengan mata merah, dan telunjuknya menuding ke arah hidung sastrawan itu.
"Kalau engkau tidak menceritakan yang baik-baik tentang aku di depan Siocia agar aku mendapat hadiah, ingat, kalau engkau kembali tentu akan kubikin lukisan di mukamu dengan kedua kepalan tanganku ini!"
Dia mengamangkan tinjunya yang besar kepada sastrawan itu.
"Gara-gara kedatanganmu aku telah kena marah oleh Toanio!"
Sastrawan itu tersenyum,
"Ah, kiranya aku telah menyusahkanmu, sobat. Jangan khawatir, setelah aku berhasil bertemu dengan Siociamu, kalau pulang aku tentu akan memberi hadiah kepadamu. Nah, sekarang antarkan aku kepada Siociamu."
Penjaga itu lalu mengantarkan Pouw Toan menuju ke ruangan tamu di samping istana yang megah itu.
"Kau tunggu di sini, demikian pesan Siocia tadi."
Kata Si Penjaga lalu meninggalkan Pouw Toan seorang diri di dalam ruangan tamu yang luas itu. Pouw Toan memeriksa keadaan kamar tamu yang cukup luas itu dengan hati tertarik. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja dia kagum sekali melihat ruangan tamu yang dihias dengan amat menyenangkan itu, dengan warna-warna sejuk pada dinding yang digantungi lukisan-lukisan indah.
Akan tetapi dia tertarik sekali akan serangkaian tulisan indah di sudut ruangan, dan dia berdiri seperti patung di depan tulisan ini, dengan alis berkerut dan dia masih berdiri seperti itu ketika Syanti Dewi muncul dari dalam pintu yang tertutup tirai hijau muda. Melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun berdiri di depan tulisan itu dengan alis berkerut dan agaknya tertarik sekali sehingga tidak melihat dia muncul, Syanti Dewi tersenyum. Dia tertarik melihat pria yang tidak seperti para pengunjungnya yang lain itu. Biasanya, di kamar tamu ini dia menerima kunjungan orang-orang muda yang menarik dan dengan pakaian serba indah seolah-olah bergaya dan bersaing. Akan tetapi pria ini sudah setengah tua, dan pakaiannya sederhana saja, seperti pakaian orang yang miskin.
"Pamankah yang ingin bertemu dengan aku?"
Syanti Dewi akhirnya menegur karena pria itu seperti terpesona oleh tulisan-tulisan di dinding.
Pouw Toan menengok dan sejenak dia terbelalak memandang dara yang berdiri tak jauh di depannya. Sudah banyak dia mendengar nama puteri yang berada di Kim-coa-to ini, sehingga menarik hatinya dan membuatnya datang singgah di pulau itu untuk menyaksikan sendiri seperti apa puteri yang dikabarkan orang seperti bidadari dari sorga itu. Dan setelah kini dia berhadapan, dia terpesona dan tercengang karena dia seolah-olah melihat Kwan Im Pouwsat sendiri berdiri di depannya. Kecantikan dara ini sungguh jauh melampaui apa yang didengarnya dalam berita angin itu. Kecantikan yang luar biasa sekali! Sepasang matanya seperti orang dahaga bertemu dengan air jernih, menghirup dan meneguk keindahan depannya itu sepuasnya!
"Nona, yang dikabarkan sebagai bidadari Kim-coa-to dan bernama Syanti Dewi itu?"
Syanti Dewi mengangguk dan tersenyum. Dia merasa aneh sekali. Sudah biasa dia disanjung dan dipuji oleh bibir-bibir para pria muda, bahkan dengan kata-kata sanjungan yang berlebihan, akan tetapi anehnya, ucapan yang keluar dari mulut kakek ini membuat dia merasa senang, bangga dan jantungnya berdebar. Mengapa? Mungkin karena kata-kata dan sikap pria ini begitu jujur, bukan seperti sanjungan para muda yang penuh dengan lagak dan jelas membayangkan pamrih bersembunyi di balik sanjungan itu. Akan tetapi pria ini tidak demikian.
"Ah, Paman, berita itu hanya isapan jempol belaka. Mana mungkin seorang manusia biasa seperti aku dibandingkan dengan seorang bidadari?"
Kakek itu menarik napas panjang, masih terpesona.
"Kau keliru! Engkau malah melebihi yang dibayangkan orang, engkau lebih dari seorang bidadari! Kau tahu, seorang bidadari hanya suatu gambaran yang tanpa cacat, sebaliknya engkau adalah seorang manusia berikut cacat-cacatnya, karena itu jauh lebih mempesona daripada sekedar gambaran kosong belaka!"
Heran sekali, ucapan ini jelas mengandung pujian yang disertai celaan akan kecantikannya, akan tetapi Syanti Dewi malah merasa girang! Dia merasa kembali menjadi manusia biasa bertemu dengan kakek ini.
"Silakan duduk, Paman dan katakanlah apa cacat-cacatku? Engkau tentu tahu bahwa sebagai manusia biasa, aku pun tidak pandai melihat cacat-cacat sendiri sungguhpun aku pandai melihat cacat-cacat lain orang."
Kakek itu duduk dan mengangguk-angguk.
"Hemm, selain kecantikan engkau memiliki kebijaksanaan pula, Nona. Cacat-cacatmu adalah bahwa di balik ke-cantikanmu itu engkau mengandung kedukaan yang mendalam yang kau coba sembunyikan di balik senyum manis dan sinar mata yang seindah bintang. Dan selain kedukaan, juga engkau menaruh dendam besar, hal itulah yang merusak kecantikanmu. Akan tetapi cacat-cacat itu malah menghidupkanmu, bukan sekedar gambar bidadari, melainkan seorang manusia berikut kelebihan dan kekurangannya. Sayang cacat-cacatmu itulah yang menciptakan kepedihan dalam hidupmu, Nona."
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan memandang tajam penuh selidik, karena merasa tepatnya ucapan itu.
"Engkau seorang ahli peramal?"
"Ha-ha-ha!"
Melihat kakek itu tertawa, Syanti Dewi merasa makin tertarik karena ketawa itu begitu wajar sehingga dia pun ikut tertawa dan bergembira, seperti sinar matahari memasuki ruangan itu yang biasanya lembab oleh sikap Ouw Yan Hui yang selalu muram dan dingin.
"Nona, segala peramal itu hanya omong kosong belaka. Aku dapat membaca keadaan batinmu dari wajahmu, bukankah wajah adalah cermin dari keadaan hati seseorang?"
"Paman, siapakah engkau?"
"Namaku Pouw Toan, aku seorang sastrawan tua yang tidak tinggal di tempat tertentu, selalu merantau untuk menikmati keindahan alam semesta."
"Paman Pouw, ketika aku memasuki ruangan ini, kulihat engkau amat memperhatikan tulisan di dinding itu. Mengapa?"
Syanti Dewi memandang karena tulisan di dinding itu sebetulnya adalah buatannya sendiri!
"Apakah tulisan itu buruk?"
Pouw Toan menoleh ke arah tulisan itu.
"Buruk? Tidak, tulisan wanita itu cukup halus dan indah, akan tetapi bunyi tulisannya itulah yang palsu dan buruk!"
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan penasaran.
"Ah, aku menganggap tulisan itu benar dan baik, mengapa kau katakan palsu dan buruk? Kurasa engkau bukan termasuk orang yang hanya pandai mencela tanpa dapat mengemukakan alasannya."
"Tentu saja! Coba kubaca tulisan itu!"
Dia lalu bangkit berdiri, menghadapi tulisan itu lalu membaca dengan suara latang dan iramanya bagus seperti bernyanyi. :
"Cinta membutakan mata menulikan telinga pedih perih nyeri merobek-robek hati Akan tetapi mengapa seluruh raga dan jiwa selalu mendambakan cinta?"
Pouw Toan lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Syanti Dewi yang diam-diam merasa terharu mendengar cara kakek itu membacakan sajaknya, demikian indah terdengarnya dan belum pernah selamanya dia mendengar ada orang mampu membaca sajaknya dengan irama sedemikian cocok, tepat dan indahnya. Hatinya seperti merasa tersentuh dan keharuan membuat kedua matanya terasa panas dan basah air mata karena mendengar suara kakek itu hatinya terasa seperti terobek-robek mengenangkan nasib dirinya dalam cinta yang gagal.
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Isi sajak ini buruk dan palsu, harus dirobah sama sekali karena hanya akan mendatangkan duka dan keharuan, dan sama sekali mengandung gambaran yang sama sekali salah tentang cinta kasih!"
Kakek itu berkata-kata, nada suaranya penuh rasa penasaran. Perasaannya ini seperti yang dirasakan oleh seorang pelukis melihat lukisannya yang buruk, atau seorang ahli musik mendengarkan musik yang sumbang. Syanti Dewi sudah dapat menguasai perasaannya lagi yang kini menjadi penasaran. Kakek itu dapat membaca sajaknya sedemikian indah penuh perasaan, akan tetapi mengapa malah mencela habis-habisan? Timbul keinginan tahunya.
"Paman Pouw, kalau begitu, cobalah kau robah sajak itu bagaimana baiknya."
Kakek itu menggeleng kepalanya.
"Kau kira aku ini orang macam apa Nona. Aku tidak berani selancang itu. Merobahnya tanpa ijin berarti menghina penulisnya!"
Syanti Dewi tersenyum.
"Jangan khawatir, Paman, aku telah memberi ijin dan akulah penulisnya."
"Ahh....!"
Kakek itu nampak tercengang akan tetapi tidak minta maaf! Dan hal ini makin menarik hati Syanti Dewi karena kakek itu ternyata selain jujur, juga tidak bersifat penjilat seperti semua pemuda yang pernah mengunjunginya.
"Di atas meja di sudut sana itu ada kotak terisi alat-alat tulis, harap kau suka berbaik hati untuk membetulkan dan merobahnya, Paman."
Akan tetapi Pouw Toan sudah mengeluarkan alat tulisnya sendiri dari saku bajunya yang besar.
"Seorang pendekar tak pernah terpisah dari pedangnya, dan seorang sastrawan tak pernah berpisah dari alat tulisnya. Kalau Nona sudah mengijinkan, nah, biar kurobah tulisan ini!"
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggosok bak dan mendekati kain yang terisi tulisan indah dari Syanti Dewi, kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia menggerakkan alat tulisnya di atas kain putih itu.
Mula-mula dia mencoret huruf-huruf itu dengan coretan dari atas ke bawah, coretan kasar namun tarikannya mengandung tenaga yang halus sehingga coretan itu nampak "hidup", sama sekali tidak membuat buruk tulisan itu, bahkan seperti menjadi bayangan yang menghiasinya! Kemudian, ditempat yang masih kosong dia menuliskan beberapa buah huruf, dilakukan dengan cepat akan tetapi huruf-huruf yang tercipta di situ sungguh amat indah dan hidup membuat Syanti Dewi terbelalak memandang penuh kagum. Sajak baru yang dibuat di samping sajak lama yang dihias coretan itu singkat-singkat sekali, setiap baris hanya terdiri dari satu huruf saja!
Api....?
Asap....!
Abu....!
Cinta....?
Kepuasan....!
Kesenangan....!
Akhirnya....?
Kecewa....!
Sengsara....!
Benci....!
Aku ada Cinta tiada!
Setelah selesai menuliskan sajak yang terdiri dari huruf-huruf singkat itu, Pouw Toan menyimpan kembali alat tulisnya, sedangkan Syanti Dewi masih menatap tulisan itu dan membacanya berkali-kali. Hanya sebuah huruf setiap baris, namun huruf-huruf itu demikian jelas menusuk perasaannya, mendatangkan kesan mendalam dan menimbulkan pengertian yang lengkap. Namun dia masih penasaran!
"Akan tetapi, Paman Pouw. Mengapa orang mencinta tidak boleh mengharapkan kepuasan dan kesenangan? Bukankah kita mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan tertentu?"
Mereka sudah duduk kembali saling berhadapan, menghadapi poci dan cawan teh harum yang dihidangkan oleh pelayan yang sudah disuruh pergi lagi oleh Syanti Dewi. Pouw Toan menghirup teh harum kental itu, lalu menjawab.
"Mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan merupakan cinta yang hanya ingin menyenangkan diri sendiri. Dasarnya adalah irngin menye-nangkan diri sendiri melalui sesuatu yang menarik dan dianggap kebaikan itu. Kebaikan itu boleh saja merupakan wajah tampan menarik, atau harta berlimpah-limpah, atau kedudukan tinggi, dan semua itu dianggap menarik dan menyenangkan...."
"Tetapi bisa saja kebaikan itu berupa sifat-sifat baik dari orang yang dicinta, kegagahan misalnya, kebijaksanaan atau sifat-sifat budiman...."
Bantah Syanti Dewi.
"Tiada bedanya. Sifat-sifat yang dianggap baik dan akan mendatangkan kesenangan, kebanggaan dan sebagainya. Akan tetapi kita lupa bahwa setiap orang manusia itu kalau sudah dinilai, sudah pasti mengandung dua sifat bertentangan, ada baik tentu ada buruknya. Mencinta dengan dasar ketampanan, padahal ketampanan itu dapat pudar, dapat lenyap dan dapat berkurang menurut suasana hati yang memandangnya. Kalau ketampanannya pudar, lalu ke mana perginya cinta? Dengan dasar kekayaan, kedudukan, kejantanan atau apa saja pun sama pula, begitu yang menjadi pendorong cinta itu pudar atau lenyap maka cintanya turut lenyap. Dan harus diingat lagi bahwa hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan itu hanya dianggap demikian karena belum tercapai oleh kita, akan tetapi apabila sudah berada di tangan kita, biasanya muncul penyakit bosan dan segala keindahan itu sudah tidak nampak sebaik sebelum terdapat!"
Syanti Dewi memejamkan mata. Di dalam kepala yang berbentuk indah itu, otaknya sedang bekerja keras sekali. Nampaklah olehnya betapa kadang-kadang dia menjadi benci sekali kepada Tek Hoat kalau dia mengingat akan sikap-sikap Tek Hoat yang tidak menyenangkan hatinya, cintanya berobah benci! Nampak jelas olehnya betapa kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya baik dan menyenangkan, cintanya berkobar-kobar, akan tetapi sebaliknya kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya buruk dan tidak menyenangkan, cintanya melayu dan muncullah kebencian. Dia membuka mata dengan penuh kengerian di dalam hatinya. Seperti itukah cintanya terhadap Tek Hoat? Hanya berdasarkan menyenangkan dirinya sendiri? Dia ber-gidik!
"Paman Pouw.... Paman.... katakanlah, kalau begitu.... apa dan bagaimana cinta kasih itu?"
Suaranya lirih seperti memohon, pandang matanya sayu. Sejenak sastrawan itu terpesona. Belum pernah dia melihat kelembutan dan kecantikan seperti ini.
"Nona.... eh.... aku memohon padamu.... bolehkah aku melukis wajahmu....?"
Dia pun berbisik. Sikap kakek ini membuat Syanti Dewi tersenyum dan keharuannya pun membuyar. Sikap dan bisikan kakek itu hampir sama dengan sikap para muda, hanya perbedaannya yang teramat besar, kalau pemuda-pemuda itu membujuknya untuk dilayani atau dibalas cinta mereka, kakek ini sebaliknya membujuk untuk diperbolehkan melukis wajahnya!
"Tentu saja, Paman, Akan tetapi lebih dulu aku minta Paman menjawab pertanyaanku tadi."
"Apa dan bagaimana cinta kasih itu? Ahh, Nona, mana mungkin manusia biasa macam kita dapat menggambarkan bagaimana adanya cinta kasih itu? Sama dengan harus menggambarkan bagaimana adanya Tuhan itu! Yang penting bagi kita, Nona, adalah kita tahu apa sesungguhnya yang bukan cinta itu! Selama ada si aku yang ingin disenangkan melalui orang yang kita cinta, maka mana mungkin ada cinta kasih? Yang ada tentulah hanya kekecewaan, kedukaan, kebencian dan permusuhan belaka!"
Syanti Dewi tidak berani bicara lagi tentang cinta. Kini baru terbuka matanya, betapa sesungguhnya cinta kasih merupakan hal yang amat agung dan pelik, yang tidak mudah dibicarakan dan dipikirkan begitu saja.
Yang biasa kita pikirkan dan bayangkan adalah cinta yang sesungguhnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri kita dengan menggunakan sampul yang kita namakan cinta! Senang sekali Syanti Dewi bercakap-cakap dengan sastrawan itu. Setiap kata-katanya mengandung makna mendalam. Maka mulailah dia dilukis. Dia diminta duduk dan bercakap-cakap seperti biasa saja, dan kakek itu setelah menerima sehelai kain putih yang bersih dan kuat, lalu mulai melukisnya, sambil omong-omong pula! Maka Syanti Dewi tidak lelah dan hanya duduk santai saja seperti biasa kalau dia bercakap-cakap. Banyak hal yang dibicarakan. Syanti Dewi teringat akan pengakuan kakek itu yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu dan seorang perantau yang menikmati keindahan alam semesta.
"Kau tentu miskin sekali, Paman?"
Kakek itu terbelalak memandang Sang Puteri lalu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, justeru sebaliknya, Nona. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaya di dunia ini! Segala keindahan dunia ini adalah untukku! Aku dapat menikmati alam semesta di manapun juga, tanpa memilikinya. Sekali orang memiliki se-suatu, maka berarti bahwa dia sesungguhnya telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya itu!"
"Eh, apa pula maksudmu, Paman?"
"Jelas sekali. Begitu kita memiliki sesuatu, yang kita miliki itu akan kehilangan keindahan-nya karena kita telah terjangkit penyakit tamak, ingin memiliki yang lebih dari yang telah kita punyai. Memiliki hanya menimbulkan sengketa, persaingan, perebutan, iri hati. Dan siapa yang memiliki, dialah yang akan kehilangan dan agar jangan sampai kehilangan itu, kalau perlu dia menjaganya dengan taruhan segala kebahagiaan, bahkan nyawanya. Bukankah demikian?"
"Jadi, kau tidak memiliki apa-apa, Paman?"
"Ha-ha-ha, justeru karena aku tidak memiliki apa-apa, maka segala sesuatu ini adalah untukku belaka!"
Syanti Dewi masih belum mengerti betul akan inti dari semua kata-kata sastrawan itu. Tiba-tiba timbul pikirannya bahwa orang aneh seperti Pouw Toan ini tentu banyak pengalamannya di dunia kang-ouw dan mengenal banyak orang sakti.
"Paman Pouw, apakah Paman mengenal seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng dan isterinya yang bernama Puteri Milana?"
Dia memancing.
"Ah, tentu saja! Kami adalah sahabat-sahabat baik dan sungguh menggembirakan kalau bicara dengan Gak-taihiap dan keluarganya! Dia tinggal di Puncak Telaga Warna yang indah di Pegunungan Beng-san."
"Tentu Paman mengenal pula keluarga Majikan Pulau Es, kalau begitu?"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Memang aku tahu, akan tetapi seorang sastrawan macam aku ini mana mungkin bisa berdekatan dengan mereka? Terlalu jauh.... terlalu tinggi, dan aku tidak mampu membawa perahu mencapai Pulau Es. Tentu pendekar sakti itu, Suma Han Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, kini telah tua dan tidak pernah kudengar beritanya di dunia kang-ouw. Bahkan putera-puteranya pun tidak terdengar beritanya. Agaknya kini semua pendekar sedang menikmati ketenangan hidup di tempat masing-masing, sungguhpun belum lama ini terjadi geger di dunia kang-ouw karena lenyapnya Pedang Pusaka Naga Siluman dari istana kaisar."
Dengan singkat namun jelas sastrawan itu lalu bercerita sekedarnya tentang pedang pusaka yang kabarnya dilarikan maling sakti ke Pegunungan Himalaya itu dan betapa banyak orang kang-ouw melakukan pengejaran ke sana untuk memperebutkan pedang pusaka keramat itu.
"Akan tetapi, kurasa pendekar-pendekar sakti seperti keluarga istana Pulau Es itu tidak akan merendahkan diri memperebutkan pedang pusaka itu."
Tambahnya. Syanti Dewi mendengarkan dengan hati tertarik. Kemudian, pertanyaan inti yang sejak tadi berada di ujung lidahnya, diajukan dengan suara yang dibikin setenang mungkin,
"Paman Pouw, pernahkan Paman mendengar atau bertemu dengan seorang tokoh Kang-ouw yang berjuluk Si Jari Maut?"
Sastrawan itu mengerutkan alisnya, kemudian menggeleng kepalanya.
"Aku belum pernah bertemu muka, akan tetapi aku sudah banyak mendengar tentang tokoh muda itu. Akan tetapi menurut berita terakhir, pendekar muda yang terkenal dan bahkan kabarnya masih anak keluarga penghuni Istana Pulau Es itu kini menjadi gila...."
"Ehh....?"
Syanti Dewi hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangan.
"Atau menurut kabar, keadaannya seperti orang kehilangan ingatan, pakaiannya seperti pengemis, rambut dan brewoknya tak terpelihara dan dia seringkali tertawa dan menangis. Memang aneh sekali tokoh itu.... heei, kenapa....?"
Sastrawan itu terkejut melihat Syanti Dewi tiba-tiba menutup muka dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu! Sejenak sastrawan itu termangu, akan tetapi dia lalu mengangguk-angguk maklum.
Dihubungkannya bunyi sajak tulisan puteri itu dan sikapnya sekarang ketika mendengar tentang pendekar muda berjuluk Si Jari Maut itu, dan mengertilah dia bahwa tentu ada hubungan cinta yang gagal atau patah antara dara ini dan Si Jari Maut itu. Sebagai seorang yang bijaksana dia tidak mengganggu, membiarkan dara itu menangis melampiaskan duka yang agaknya sudah terlalu lama ditahan-tahannya itu dan dia enak-enak saja melanjutkan dan menyelesaikan lukisannya. Memang lapanglah rasa dada Syanti Dewi setelah menangis, sungguhpun kini dia merasa seluruh tubuhnya lemah dan hatinya penuh dengan haru dan iba terhadap kekasihnya yang dikabarkan menjadi berobah ingatan itu! Dia mengusap air matanya dan memandang kepada sastrawan itu dengan mata merah.
"Maafkan sikapku, Paman. Akan tetapi aku ingin beristirahat dan tidak dapat menemanimu lebih lama lagi...."
"Tidak mengapa, Nona. Lukisan ini sudah rampung dan terimalah ini sebagai persembahan dan terima kasihku bahwa Nona telah sudi menerimaku dan memberi kesempatan kepadaku untuk menikmati kecantikanmu dan sungguh pertemuan ini takkan terlupakan selama hidupku."
Dia menyerahkan lukisan itu kepada Syanti Dewi. Syanti Dewi menerima lukisan itu dan dia terkejut dan kagum. Lukisan itu tidaklah dapat dibilang indah, dalam arti kata indah menurut keinginannya dilukis secantik mungkin, akan tetapi beberapa goresan-goresan itu amat kuatnya mencerminkan segala bentuk dan sifat-sifat, bukan hanya lahiriah akan tetapi juga batiniah. Melihat lukisan itu dia merasa seolah-olah melihat dirinya sendiri dibalik cermin dalam keadaan yang sewajarnya tanpa ditutup hiasan apa pun, wajahnya "telanjang"
Sama sekali dalam lukisan itu dan nampaklah bayangan-bayangan duka yang mendalam! Tiba-tiba dia teringat kepada Tek Hoat dan dengan jari-jari gemetar dia mengembalikan lukisan itu.
"Paman Pouw, terima kasih atas pemberianmu. Akan tetapi, kuharap engkau.... kalau kebetulan bertemu dengan dia.... sudilah kau memberikan lukisan ini kepadanya, siapa tahu.... dapat meno-longnya...."
Suaranya gemetar dan makin lirih. Tanpa disebut namanya pun kakek yang bijaksana itu sudah tahu siapa yang dimaksudkan, maka dia menerima lukisan itu, digulungnya dan dia bangkit berdiri.
"Baiklah, mudah-mudahan saja aku dapat berjumpa dengan dia. Nah, selamat tinggal, Nona dan terima kasih atas keramahanmu telah sudi menyambut aku sebagai seorang tamu."
"Aku merasa girang sekali dapat berkenalan dengan seorang seperti engkau, Paman Pouw. Selamat jalan.... mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu lagi."
Pouw Toan lalu meninggalkan ruangan tamu itu, tiba-tiba dia teringat akan penjaga berkumis, maka dia berhenti, menoleh sambil tersenyum dan berkata,
"Nona, penjaga berkumis tebal itu menerima pukulan gara-gara kedatanganku, harap kau suka ingat kepadanya."
Syanti Dewi tersenyum dan meng-angguk. Maka pergilah Pouw Toan. Benar saja, baru dia tiba di luar istana, dia sudah disambut oleh penjaga itu yang memandangnya dengan penuh perhatian dan sinar matanya mengandung pertanyaan.
"Siociamu tentu akan memperhatikan nasibmu."
Kata Pouw Toan dan giranglah penjaga itu. Dengan ramah dia lalu mengantar Pouw Toan kembali ke perahunya dan tak lama kemudian perahu yang didayung perlahan-lahan oleh sastrawan itu pun meninggalkan Kim-coa-to. Sementara itu, Syanti Dewi memanggil penjaga dan memesan bahwa hari itu dia tidak mau menerima tamu lagi.
"Tapi, Siocia! Ouw-kongcu dan Ang-kongcu sudah sejak tadi menunggu!"
Penjaga itu berkata. Dia yang sudah sering kali menerima hadiah dari dua orang pemuda itu tentu saja mencoba untuk membujuk nona majikannya untuk mau menerima dua orang pemuda itu. Pemuda she Ouw adalah pemuda hartawan yang kaya-raya, sedangkan pemuda she Ang adalah sahabatnya, putera seorang pembesar. Pemuda hartawan dan bangsawan itu datang dari seberang, dari daratan, menggunakan sebuah perahu besar yang mewah milik Ouw-kongcu.
"Biar siapapun juga yang datang, aku tidak akan menemui mereka. Katakan bahwa aku sedang tidak enak badan dan tidak dapat menemui tamu."
Setelah berkata demikian, Syanti Dewi pergi ke kamarnya, mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, kedua matanya menatap langit-langit dan membayangkan keadaan Tek Hoat yang menyedihkan. Timbul keinginan besar di dalam hatinya untuk pergi sendiri, meninggalkan pulau dan mencari Ang Tek Hoat, menghiburnya, mengobatinya. Akan tetapi, dia membayangkan pengalamannya yang lalu dan dia mengeraskan hati.
Dia harus melihat sikap Tek Hoat lebih dulu, harus melihat pemuda itu datang ke pulau ini, baru dia akan mengambil keputusan apakah dia menganggap baik untuk melanjutkan hubungan cinta mereka yang telah putus. Dia tidak mau menderita lagi, tidak mau bertepuk tangan sebelah. Dia hanya mendengar keadaan pemuda itu yang menyedihkan, akan tetapi dia belum melihat sendiri bagaimana sikap Tek Hoat sekarang terhadap dirinya. Dua orang pemuda yang menerima kabar bahwa Syanti Dewi tidak dapat menerima mereka karena dia tidak enak badan, tidak menjadi marah sungguhpun mereka kecewa sekali. Mereka tidak putus asa dan mereka juga tidak mau pulang, hanya menanti di perahu itu sampai Syanti Dewi sembuh. Bahkan mereka mengirim buah-buah dan makanan-makanan lain yang mereka bawa dari daratan,
Mereka berikan kepada Sang Puteri yang katanya sedang sakit itu melalui para pelayan yang tentu saja mau menyampaikan semua itu karena menerima hadiah-hadiah! Syanti Dewi membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan dan makin diingat, makin beratlah duka menindih hatinya. Dia merasa amat sengsara dan tidak bahagia dalam cintanya, namun dia pun merasa pula betapa cintanya terhadap Tek Hoat selama ini tidak pernah mati, sungguhpun dia mencoba dengan segala daya upaya untuk menyatakan kepada diri sendiri bahwa hubungan cinta mereka telah putus! Maka, teringat akan semua itu, tak tertahankan lagi puteri ini menangis seorang diri di dalam kamarnya, menangis sesenggukan dan menyembunyikan mukanya dalam himpitan bantal yang telah menjadi basah oleh air matanya.
Betapa menyedihkan melihat kehidupan begini penuh dengan duka dan penderitaan, kekecewaan dan penyesalan, kesengsaraan dan hanya kadang saja diseling sedikit sekali suka yang hanya kadang-kadang muncul seperti berkelebatnya kilat sejenak saja di antara awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan dari mana timbulnya? Jelaslah bahwa duka pun bukan merupakan hal di luar diri kita. Duka tidak terpisah dari kita sendiri dan kita sendirilah pencipta duka! Kita merasa berduka karena iba diri, dan iba diri timbul kalau si aku merasa kecewa karena dirampas apa yang menjadi sumber kesenangannya. Karena merasa di jauhkan dari kesenangan yang mendatangkan nikmat lahir maupun batin, maka si aku merasa iba kepada dirinya sendiri. Pikiran, tumpukan ingatan dan kenangan, gudang dari pengalaman-pengalaman masa lalu, mengenangkan semua hal-hal yang menimpa diri dan memperdalam perasaan iba diri itu.
Pikiran seperti berubah menjadi tangan iblis yang meremas-remas perasaan hati, maka terlahirlah duka! Tanpa adanya pikiran yang mengenang-ngenang segala hal yang menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada duka. Biasanya, kalau duka timbul, kita lalu melarikan diri pada hiburan dan sebagainya untuk melupakannya. Akan tetapi, hal ini biasanya hanya berhasil untuk sementara saja, karena si duka itu masih ada. Sekali waktu kalau pikiran mengenang-ngenang, akan datang lagi duka itu. Sebaliknya, kalau kita waspada menghadapi perasaan yang kita namakan duka itu, mempelajarinya, tidak lari darinya melainkan mengamatinya tanpa ingin melenyapkannya, maka duka itu sendiri akan lenyap seperti awan tertiup angin. Justeru usaha-usaha dan keinginan untuk menghilangkan duka itulah yang menjadi kekuatan si duka untuk terus menegakkan dirinya!
Bicara tentang duka tidaklah lengkap kalau kita tidak bicara tentang suka atau kesenangan, karena kesenangan tak terpisahkan dari kesusahan, ada suka tentu ada duka! Justeru pengejaran kesenangan inilah yang merupakan sebab utama dari lahirnya duka! Sekali mengenal dan mengejar kesenangan, berarti kita berkenalan dengan duka, karena duka muncul kalau kesenangan dijauhkan dari kita! Kesenangan mendatangkan pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri dengan kesenangan, maka sekali yang menyenangkan itu dicabut dari kita, akan menyakitkan dan menimbulkan duka. Kesenanganlah yang membius kita sehingga kita mati-matian mengejarnya, dan dalam pengejaran inilah timbulnya segala macam perbuatan yang kita namakan jahat. Dan kesenangan ini pun merupakan hasil karya dari pikiran, yaitu si aku yang mengenang dan mengingat-ingat.
Pikiran mengunyah dan mengingat-ingat, membayangkan segala pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, maka timbullah keinginan untuk mengejar bayangan itu! Kita tak pernah waspada sehingga seperti tidak melihat bahwa yang kita kejar-kejar itu, bayangan yang nampaknya amat nikmat dan menyenangkan itu, setelah tercapai ternyata tidaklah seindah atau senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran sudah mengejar kesenangan lain yang lebih hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi! Maka terperosoklah kita ke dalam lingkaran setan dari pengejaran kesenangan yang tiada habisnya. Kita tidak mau melihat bahwa di akhir sana terdapat dua kemungkinan, yaitu kecewa dan duka kalau gagal, dan bosan yang membawa duka lagi kalau berhasil, dan rasa takut kalau kehilangan.
Dalam duka baru kita ingat kepada Tuhan, minta ampun, minta bantuan dan sebagainya dan semua ini wajar, timbul dari rasa iba diri. Dalam bersenang-senang kita lupa kepada Tuhan, karena pementingan diri yang berlebihan, mengejar kenikmatan diri sendiri. Semua ini bukanlah berarti bahwa kita harus menjauhi atau menolak kenikmatan hidup. Sama sekali tidak! Kita berhak menikmati hidup, berhak sepenuhnya! Akan tetapi, PENGEJARAN terhadap kesenangan itulah yang menyesatkan! Ini merupakan kenyataan, bukan teori atau pendapat kosong belaka. Kita harus waspada dan sadar akan kenyataan ini, karena kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan diri sendiri akan mendatangkan tindakan langsung tersendiri yang akan melenyapkan semua itu!
Seperti telah tercatat dalam sejarah, Kaisar Kang Hsi (1663-1722) sebagai kaisar dari Dinasti Ceng atau bangsa Mancu yang besar telah berhasil mengembangkan kekuasaan kerajaan itu sehingga terkenal sampai di luar negeri. Akan tetapi semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Yung Ceng, kekuasaan atau pengaruh itu mulai menyuram. Kaisar Yung Ceng telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Ceng, namun dia tidak dapat mencapai keadaan seperti ketika kekuasaan berada di tangan Kaisar Kang Hsi. Hal ini adalah karena banyaknya terjadi pertentangan di dalam keluarga kaisar sendiri semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya pemberontakan di tempat-tempat yang jauh dari kota raja sehingga tentu saja peristiwa-peristiwa ini melemahkan keadaan Kerajaan Ceng diwaktu itu.
Pemberontakan terjadi di mana-mana, pemberontakan kecil-kecilan yang cukup merongrong kewibawaan pemerintah. Terutama sekali karena di sebelah dalam istana sendiri terdapat pertentangan yang digolakkan oleh seorang selir dari Kang Shi yang disebut Sam-thai-houw, yaitu Ibu Suri ke Tiga. Sam-thaihouw ini tentu saja masih mempunyai pengaruh yang besar, dan terutama sekali karena di antara pembesar militer banyak yang membantu atau mendukungnya.Tentu saja pembesar-pembesar itu adalah mereka yang selain masih terhitung keluarga dengan Ibu Suri ke Tiga ini, juga yang pernah banyak menerima budi dari ibu suri ini, bahkan yang memperoleh kedudukan tinggi karena jasa ibu suri.
Kaisar sendiri tahu akan sepak terjang Ibu suri yang kadang-kadang bertindak sewenang-wenang terhadap para pembesar yang menentangnya dan dianggap musuhnya. Akan tetapi Kaisar Yung Ceng memiliki kelemahan, yaitu tidak berani banyak bertindak terhadap keluarga angkatan tua. Dia terlalu "berbakti"
Terhadap angkatan tua, hal yang sesungguhnya hanya menunjukkan kelemahannya. Bahkan pada akhir-akhir ini, secara terang-terangan Sam-thaihouw yang merasa sakit hati dan menaruh dendam kepada keluarga puteri Nirahai yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti di Istana Pulau Es, memusuhi keluarga itu dan mengumpulkan orang-orang kang-ouw yang pandai dan sakti dalam usahanya untuk membalas dendam kepada keluarga itu dan juga kepada para pembesar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang dianggap memusuhinya.
Maka sering kali terjadi pembunuhan yang aneh dan keji di malam hari terhadap "musuh"
Sam-thaihouw, pembunuhan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Hal ini selain menggegerkan kota raja, juga menggegerkan dunia kang-ouw dan nama Sam-thaihouw sebentar saja disebut-sebut dan terkenal di antara orang-orang kang-ouw sebagai seorang yang amat berbahaya dan ditakuti. Kegawatan memuncak dan kemerosotan pengaruh Kerajaan Ceng terasa paling rendah ketika terjadi pencurian pedang pusaka keramat dari gudang pusaka keraton! Sungguh hal ini merupakan tamparan bagi istana. Gudang pusaka merupakan tempat yang terjaga dengan amat ketat,
Namun ada sebatang pedang pusaka yang berada di dalamnya dicuri orang tanpa ada yang mengetahuinya. Peristiwa ini disimpulkan oleh para golongan yang menentang pemerintah sebagai bukti-bukti kelemahan, maka semakin beranilah mereka memperlihatkan sikap menentang! Para pembesar mulai gelisah melihat kelemahan pemerintah. Banyak pembesar setia yang menasihati kaisar untuk mengambil tindakan dan bertangan besi, bukan hanya terhadap pemberontak, akan tetapi juga terhadap keluarga istana sendiri. Namun, Kaisar tetap tidak berani sembarangan bertindak terhadap Samthaihouw, maka hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pembesar. Mereka mulai memasang mata mencari-cari orang yang kiranya dapat mereka harapkan untuk dapat menolong kerajaan. Dan orang itu bukan lain hanyalah Pangeran Kian Liong!
Pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, pandai dalam ilmu sastra dan sering kali pangeran ini menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyelidiki kehidupan rakyat, mendengarkan keluh-kesah mereka, kritik-kritik dan usul-usul mereka untuk kemudian dia lanjutkan dengan tindakan-tindakan yang tepat untuk merubah keadaan yang memberatkan rakyat jelata. Karena ini, mana Pangeran Kian Liong segera terkenal sebagai seorang pangeran muda yang budiman dan juga kalau perlu dapat bertangan besi terhadap pembesar-pembesar yang korup dan menindas rakyat. Sam-thaihouw tidak suka kepada pangeran ini, akan tetapi dia dan kaki tangannya tidak berani sembarangan bertindak terhadapnya, karena selain pangeran ini merupakan pangeran yang mempunyai harapan menggantikan kaisar,
Jodoh Rajawali Eps 5 Jodoh Rajawali Eps 24 Jodoh Rajawali Eps 37