Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 37


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 37



"Nyesssss....!"

   Kian Bu terkejut bukan main. Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas itu seperti terjun ke dalam air dingin saja rasanya, seperti api yang disiram air dingin. Nampak asap hitam mengepul di antara mereka ketika kedua pukulan itu bertemu dan Kian Bu merasa betapa hawa pukulan Hwi-yang Sin-ciang itu membalik, seperti seekor naga yang kembali ke gua karena takut bertemu lawan yang kuat! Namun, pemuda ini sudah menguasai sinkang dari Pulau Es itu dengan sempurna, maka dia dapat menyimpan kembali hawa itu tanpa melukai dirinya sendiri. Dia melihat tubuh kakek bermuka tengkorak itu juga tergoyang, berarti bahwa hawa pukulan kakek itu pun membalik. Maka dia merasa penasaran.

   Siluman Kecil ini belum mau mempergunakan pukulan gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang dilatihnya atas petunjuk Kim Sim Nikouw, karena pukulannya itu dianggapnya terlalu berbahaya sehingga membahayakan nyawa lawan, padahal dia tidak mau membunuh lawan ini. Bahkan dia sekarang merasa ngeri sendiri mengingat betapa pukulan gabungannya yang amat hebat itu hampir saja menewaskan kakaknya sendiri, maka diam-diam dia berjanji di dalam hatinya bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak mau mengeluarkan pukulan gabungan itu. Kini, melihat betapa Hwi-yang Sin-ciang dapat ditangkis lawan dan tidak berhasil, dia lalu mengganti sinkangnya menjadi Swat-im Sin-kang dan dia lalu memukul lagi, sekali ini dengan pukulan hawa dingin, yaitu Swat-im Sin-ciang. Serangkum angin yang mengandung hawa dingin melebihi salju menyambar ke depan. Kakek itu memandang tajam.

   "Bagus....!"

   Hek-hwa Lo-kwi berseru girang dan seperti juga tadi, dia telah menggerakkan kedua tangan mendorong ke depan. Serangkum angin dahsyat didahului sinar putih bergulung-gulung menyambar serangan Kian Bu itu. Kembali kakek itu menggunakan ilmu pukulannya yang sakti, yaitu Pek-hiat-hoat-lek. Kembali dua macam hawa pukulan sakti bertemu di udara.

   "Cesssss....!"

   Dan sekali lagi nampak asap mengepul, akan tetapi asap itu tidak hitam seperti tadi, melainkan berupa uap putih. Seperti juga tadi, Kian Bu merasa betapa hawa sakti yang dipergunakannya membalik, membuat tubuh atasnya bergoyang. Akan tetapi dia melihat Hek-hwa Lo-kwi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dia sudah merasa girang ketika dengan heran dia melihat kakek itu meloncat bangun sambil tertawa girang. Mendadak Kian Bu berteriak,

   "Celaka....!"

   Dan dia pun terhuyung. Kepalanya terasa pening dan matanya berkunang, dadanya terasa gatal-gatal dan sesak! Tahulah dia bahwa dia telah terkena racun yang amat hebat. Memang itulah kelihaian Pek-hiat-hoat-lek! Ketika tadi Kian Bu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang untuk menyerang, kakek itu menangkis dengan ilmunya yang mujijat, yang mengandung racun amat hebat. Dia sudah merasa penasaran dan heran melihat pemuda itu tidak apa-apa, akan tetapi dia segera tahu bahwa pemuda itu tadi menggunakan inti tenaga panas, maka tentu hawa beracun dari pukulannya telah terbakar dan buyar oleh hawa panas itu. Ketika pemuda itu kini memukul kembali dengan penggunaan tenaga dingin, dia merasa girang dan menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

   Dan sekali ini dia berhasil! Memang dalam hal tenaga sinkang dia masih kalah setingkat oleh Kian Bu, akan tetapi pemuda Pulau Es ini tidak tahu bahwa ketika tangan saktinya membalik, tenaga itu sudah mengandung racun dari Pek-hiat-hoat-lek! Kalau tadi hawa beracun itu terbakar oleh panasnya Hwi-yang Sin-kang, kini hawa beracun itu malah menjadi kuat terbawa oleh Swat-im Sin-kang yang kembali dan otomatis tertarik ke dalam tubuh dan melukai dadanya! Hek-hwa Lo-kwi maklum bahwa pukulannya yang beracun itu telah melukai kawan, maka sambil tertawa dia lalu menubruk maju dengan pukulanpukulan itu yang dilakukan dengan bertubi-tubi. Memang hebat sekali ilmu mujijat ini. Angin berpusing-pusing dan sinar putih bergulung-gulung mengejar Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu pun sudah menjadi marah.

   Cepat tubuhnya berkelebatan dan dia sudah menggunakan Ilmu Sin-ho-coan-in yang membuat tubuhnya seperti kilat menyambar-nyambar saja, mencelat ke sana-sini sampai tak dapat diikuti oleh pandang mata saking cepatnya. Hek-hwa Lo-kwi terkejut dan menjadi bingun, namun dia terus mengejar. Kian Bu tidak mengerahkan lweekang untuk melakukan pukulan mautnya, yaitu penggabungan Yang-kang dan Im-kang itu, karena dadanya telah terluka dan terkena hawa beracun. Kalau dia mengerahkan lweekang terlalu kuat, maka tentu racun itu akan menjalar dan lukanya akan menjadi parah. Maka kini dia mengandalkan kecepatannya dan berusaha untuk menotok lawan. Namun, dia harus berlaku hati-hati dan gerakannya menjadi kurang gesit karenanya, tidak seperti biasa, sungguhpun kecepatan itu masih membuat Hek-hwa Lo-kwi menjadi bingung.

   "Dia sudah terluka! Lo-mo, hayo cepat bantu aku. Sialan kau!"

   Hek-hwa Lo-kwi berteriak-teriak. Hek-tiauw Lo-mo tentu saja melihat hal itu. Diam-diam dia juga merasa girang dan kagum terhadap kelihaian ilmu pukulan kawan yang tidak disukainya itu. Maka dia lalu menubruk Hwee Li yang sejak tadi hanya dikejar-kejar dan di desaknya itu. Hwee Li tidak dapat mengelak, lalu menyambut dengan tendangan dan pukulan.

   "Dukkk!"

   Tendangan kakinya mengenai perut bekas ayahnya, akan tetapi tendangan itu membalik dan kakinya terasa nyeri. Cepat dia meloncat ke belakang, kedua tangannya diayun ke depan dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah muka dan dada Hek-tiauw Lo-mo. Itulah "senjata"

   Tanah dan pasir yang telah berubah menjadi senjata beracun itu. Dia memang menanti saat baik dan kinilah saatnya.

   Bukan hanya karena dia telah terdesak, akan tetapi juga melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruknya sambil tertawa dan kelihatan lengah. Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya. Diserang secara mendadak seperti itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan suara ketawanya tidak berhenti, dia hanya menggerakkan kedua lengan yang tadinya hendak menubruk itu, kini digerakkan cepat sehingga ujung kedua lengan bajunya yang lebar itu bergerak seperti bendera berkibar dari mana menyambar angin yang keras dan senjata rahasia hitam yang lembut terdiri dari tanah dan pasir itu tentu saja menjadi buyar dan tertiup ke kanan kiri. Sebelum Hwee Li dapat mengelak, dia telah kena ditendang lututnya dan jatuh terpelanting. Sebuah totokan kilat menyusul dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi, hanya memaki-maki kalang-kabut,

   "Iblis tua bangka keparat! Anjing babi monyet tua mau mampus!"

   Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo hanya tertawa dan kini tiba-tiba dia menubruk ke samping, menyerang Kian Bu sambil mencabut keluar dua senjatanya yang hebat, yaitu golok gergaji di tangan kanan dan jala hitam itu dikepalnya di tangan kiri. Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher pemuda itu. Namun, tubuh Kian Bu berkelebat lenyap dan biarpun kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang amat lihai itu, namun mereka berdua tidak pernah dapat memukul atau membacoknya. Tubuhnya berkelebatan terlalu cepat, dan tempat itu luas sekali sehingga leluasalah bagi Kian Bu untuk memainkan ilmunya yang berdasarkan ginkang sempurna itu. Akan tetapi, setelah kini dikeroyok dua, tipislah harapannya untuk dapat merobohkan dua orang lawannya. Dia sama sekali tidak berani mengerahkan sinkang terlalu kuat, padahal kalau hanya mengandalkan ilmu silat biasa saja, sukarlah merobohkan dua orang raksasa ini.

   Dan rasa gatal dan sesak di dadanya makin menghebat, apalagi melihat betapa Hwee Li telah roboh tertotok, hatinya menjadi agak gelisah dan hal ini makin mengacaukan gerakannya! Hampir saja dia kena disabet golok Hek-tiauw Lo-mo ketika dia melirik Hwee Li, maka dia cepat melempar diri ke belakang dan kini dia tidak mau membagi perhatiannya. Sebetulnya, kalau dia mau pergi dan melarikan diri, dengan mengandalkan ilmu Sin-ho-coan-in, dengan mudah dia dapat meninggalkan dua orang kakek itu dan mereka tidak mungkin dapat mengejar larinya, biar mereka itu menunggang garuda sekalipun. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan Hwee Li. Maka kini Kian Bu mencari kesem-patan untuk dapat menolong Hwee Li dan membawanya pergi dari situ secepatnya. Akan tetapi, dua orang kakek itu adalah tokoh-tokoh besar yang selain lihai ilmu mereka, juga amat cerdik.

   "Ha-ha-ha, Lo-mo, dia sudah terluka, jangan sampai dia melarikan anakmu yang puthauw (tidak berbakti) itu!"

   Kata Hek-hwa Lo-kwi dan setelah berkata demikian, dia menyerang lagi dengan pukulan beracunnya. Untuk ke sekian kalinya, Kian Bu tidak berani menangkis dan hanya mengelak. Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan sebotol benda cair berwarna kuning dan menuangkan benda cair itu di sekeliling tubuh Hwee li yang rebah. Nampak asap mengepul dan tanah yang terkena benda cair itu mendidih!

   Melihat ini, agaknya Hek-tiauw Lomo tidak mau kalah. Dia mengeluarkan segenggam paku berwarna hijau dari saku jubahnya yang lebar, lalu sekali tangannya bergerak, paku-paku itu menancap di sekeliling tempat Hwee Li rebah dan anehnya, paku-paku itu menancap berdiri dengan ujungnya yang runcing di atas sehingga siapapun yang akan menolong Hwee Li harus melalui asap beracun dan juga paku-paku beracun itu. Kian Bu menjadi makin khawatir. Kalau tidak dihalangi oleh dua orang ini, tentu saja dia tidak merasa berat untuk mengeluarkan Hwee Li dari kurungan asap dan paku itu. Merobohkan mereka sementara ini tidak mungkin karena dia tidak dapat mengerahkan lweekangnya yang terlalu kuat. Melarikan diri tanpa membawa Hwee Li juga dia tidak mau melakukannya, maka dia menjadi serba salah! Tiba-tiba terdengar suara parau,

   "Benarkah katamu bahwa dia itu Siluman Kecil?"

   Pertanyaan parau ini dijawab oleh suara merdu seorang gadis,

   "Mana bisa keliru, Suhu? Teecu mengenalnya dengan baik."

   Kian Bu yang sedang berloncatan ke sana-sini menghindarkan terjangan dua orang itu, cepat melirik.

   Dia melihat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bermuka hitam dan berpakaian sederhana berwarna hitam pula, telah berdiri di situ bersama seorang gadis cantik yang pakaiannya serba merah muda, di punggungnya membawa sebatang pedang yang dihias ronce merah tua. Dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Ang-siocia, gadis maling yang pernah mencuri pusaka-pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin itu! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak pernah mimpi bahwa gadis ini, yang dikenalnya sebagai Ang-siocia, sesungguhnya bukan lain adalah Kang Swi yang pernah menemaninya dalam perjalanan menuju ke Ho-nan, si kongcu royal itu, dan juga gadis inilah nenek penjual sepatu yang telah mencuri uangnya sekantung!

   "Hemmm, aneh....!"

   Kata kakek bermuka hitam itu yang bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling Sakti Hitam, guru dari Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu.

   "Gerakannya demikian hebat dan lincah, dua orang iblis tua ini sama sekali tidak akan mampu memukulnya roboh. Hebat bukan main, akan tetapi mengapa dia tidak balas menyerang?"

   Setelah menonton pertempuran itu, Hek-sin Touw-ong berkata dengan heran.

   Dia melihat gerakan pemuda berambut putih itu memang luar biasa sekali. Dia sendiri yang di juluki Raja Maling dan memiliki ginkang yang cukup tinggi, menjadi silau menyaksikan gerakan yang secepat itu. Akan tetapi mengapa pemuda itu tidak balas menyerang, padahal kalau pemuda itu menggunakan lweekang dan balas menyerang, mengandalkan kecepatan gerakannya, dua orang kakek itu mana mampu mengelak atau menangkis? Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kian Bu telah menderita luka dan keracunan di dadanya, juga dia tidak tahu bahwa kecepatan Kian Bu itu belum sepenuhnya, baru tiga perempat bagian saja karena gerakannya sudah menjadi berkurang kecepatannya karena lukanya.

   "Suhu, tentu ada sebabnya dia tidak dapat membalas. Dan lihat gadis itu.... ah, dia agaknya terluka, tidak mampu bergerak.... dan dia dikurung asap aneh dan paku-paku hijau."

   Kang Swi Hwa mendekati Hwee Li.

   "Awas, Hwa-ji, jangan kau menyentuh paku atau terlalu dekat dengan asap itu!"

   Gurunya memperingatkan karena dia merasa curiga. Hwee Li juga melihat munculnya dua orang ini. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka, terutama kakek itu, tentu memiliki kepandaian. Dan melihat sikap mereka, agaknya mereka itu bukan orang-orang jahat dan bukan pula sekutu dua orang iblis tua itu.

   "Heiii, kalian ini apakah orang-orang pengecut, ataukah orang-orang jahat yang menjadi kaki tangan dua orang kakek iblis jahanam ini?"

   Tanya Hwee Li dengan suara lantang. Kakek itu mengerutkan alisnya dan Swi Hwa yang juga berwatak galak lalu mendamprat,

   "Kau ini bocah bermulut lancang dan rusak! Rasakan saja sekarang, memang sudah pantas sekali kalau kau mengalami nasib seperti itu. Huh! Mengatakan orang pengecut dan jahat! Manusia seperti engkau ini yang agaknya jahat dan pengecut!"

   "Swi Hwa, jangan sembrono dan jangan layani orang!"

   Gurunya memperingatkan, karena dia masih kagum sekali terhadap gerakan orang muda yang telah lama dia kenal namanya sebagai Siluman Kecil itu.

   "Kalau kalian bukan pengecut dan bukan orang jahat, mengapa tidak lekas membantu dia yang dikeroyok oleh dua orang iblis tua bangka itu? Mereka hendak memperkosa aku dan dia itu telah membelaku, kalau kalian diam saja berarti kalian membantu dua iblis jahat itu!"

   Hwee Li berkata lagi.

   "Hemmm, kau bocah bermulut jahat ini memang sepatutnya mengalami nasib seperti itu! Aku malah ingin menontonnya!"

   Kang Swi Hwa balas membentak.

   "Wah, kau perempuan cabul....!"

   Hwee Li memaki dan kehabisan akal. Lalu dia berkata kepada Hek-sin Touw-ong,

   "Orang tua yang baik, aku melihat engkau bukan orang lemah, apakah kau tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu?"

   "Apa? Mereka itu adalah...."

   "Benar, Suhu. Kakek yang mukanya seperti tengkorak itu adalah ketua dari Kui-liong-pang di lembah. Dialah Hek-hwa Lo-kwi yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Nepal itu. Dan gadis berpakaian hitam galak itu bukan lain adalah puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka, maka jangan dipercaya omongannya. Mana mungkin Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi ayahnya sendiri itu hendak memperkosanya?"

   Kata Kang Swi Hwa. Seperti kita ketahui, ketika diadakan pertemuan para tokoh kang-ouw, Swi Hwa atau Ang-siocia ini juga hadir mewakili gurunya yang tidak berkenan hadir. Dan di dalam pertemuan di lembah itu, dia juga bertemu dengan Hwee Li yang mewakili ayahnya yang juga tidak dapat hadir.

   "Aihhh, kiranya engkau si maling betina itu? Wah, celaka, kiranya kalian ini maling-maling besar dan kecil, tentu cocok sekali dengan iblis-iblis itu! Mampuslah kalian dimakan api neraka!"

   Hwee Li memaki-maki dan putus harapan. Baru sekarang dia mengenal Ang-siocia. Kalau gadis itu datang bersama gurunya yang dikenalnya sebagai maling tua atau raja maling itu, dan yang dulu datang menghadiri pertemuan di lembah, tentu mereka ini juga menjadi anak buah dari pangeran pula!

   Akan tetapi, Hek-sin Touw-ong sudah mencegah muridnya membuka mulut lagi. Dia merasa amat heran. Memang aneh yang dia hadapi ini. Muridnya tidak mungkin bisa keliru. Gadis itu jelas ditotok orang. Sepantasnya, kalau gadis itu benar puteri dari Hek-tiauw Lo-mo yang mainkan golok gergaji secara lihai itu, tidak mungkin gadis itu dirobohkan oleh ayahnya sendiri, apalagi hendak diperkosa seperti yang diceritakan oleh gadis baju hitam itu. Jadi, tentu pemuda rambut putih itulah yang telah menotoknya. Dan kalau pemuda rambut putih itu yang menotok dan hendak memperkosanya, barulah benar dan masuk di akal. Akan tetapi, dia mengenal nama Siluman Kecil sebagai seorang pende-kar besar yang amat terkenal, masa sekarang ternyata hanyalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang rendah saja?

   "Ha, apakah Lote ini Hek-sin Touw-ong?"

   Tiba-tiba Hek-hwa Lo-kwi yang merasa penasaran karena dia dan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang belum juga mampu merobohkan Kian Bu, berkata.

   "Kebetulan sekali, marilah bantu kami menangkap Siluman Kecil ini yang berani melarikan tunangan Pangeran Liong Bian Cu. Mari bantu kami merobohkan dia dan membawa kembali tunangan pangeran itu ke lembah!"

   "Tunangan pangeran....?"

   Kang Swi Hwa berkata lirih penuh keheranan, lalu dia mengangguk-angguk.

   "Ahhh, kiranya dia telah diangkat menjadi tunangan pangeran. Cocok sekali!"

   "Cocok hidungmu!"

   Hwee Li membentak dan matanya melotot.

   "Boleh kau gantikan saja kalau kau sudah ingin sekali menjadi kekasihnya. Kalau aku sih tidak sudi!"

   Kang Swi Hwa tidak menjawab. Se-perti juga gurunya, dia bingung menghadapi keadaan yang serba runyam dan bertentangan itu. Gadis itu tunangan pangeran, puteri Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi kini tertawan dan tertotok, dan gadis itu malah membantu Siluman Kecil agaknya. Melihat betapa guru dan murid itu bengong saja, memandang kepadanya dan kepada pertempuran itu seperti orang-orang tolol, Hwee Li menjadi mendongkol sekali. Melihat betapa kakek bermuka hitam itu tidak melayani ajakan Hek-hwa Lo-kwi, timbul harapannya dan dia lalu berkata nyaring,

   "Hek-sin Touw-ong, biarpun julukanmu Raja Maling, kulihat engkau tidak sejahat muridmu itu. Ketahuilah bahwa aku dipaksa dan ditawan di lembah oleh pangeran brengsek dari Nepal itu yang dibantu oleh anjing-anjing tua termasuk Hek-tiauw Lo-mo ayah palsu dan bukan ayahku itu. Aku dapat diloloskan oleh Siluman Kecil, akan tetapi dikejar dan.... entah mengapa, dia agaknya belum juga mampu merobohkan dua ekor anjing tua bangka itu. Maka, kalau engkau masih mengaku sebagai orang tua yang gagah, yang pantas ku-sebut locianpwe, harap kau suka membantunya. Lekaslah, Locianpwe!"

   "Ha-ha, kita adalah orang segolongan, kalau membantu Pangeran Nepal tentu kelak kita akan memperoleh kedudukan besar. Mari bantu kami menangkap Siluman Kecil yang sombong ini, Hek-sin Toauw-ong!"

   Kata pula Hek-hwa Lo-kwi.

   "Swi Hwa, kau bebaskan totokannya, akan tetapi hati-hati, jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu!"

   Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata dan dia lalu meloncat ke dalam gelanggang pertempuran, tangan kirinya mengirim serangan dengan tangan dimiringkan seperti pedang dan menyambar ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Si muka tengkorak ini terkejut dan marah sekali melihat si Raja Maling itu ternyata malah membantu Siluman Kecil. Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan mengelak.

   "Srattt!"

   Dan ujung lengan bajunya putus seperti terbabat pedang yang amat tajam!

   "Ahhh....!"

   Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Kiranya maling tua ini memiliki ilmu pukulan yang demikian hebatnya. Teringatlah dia akan kepandaian murid raja maling ini, yang pernah mendemonstrasikan Ilmu Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok). Kalau murid perempuan itu memperlihatkan ilmu itu menggunakan pedang, kini si raja maling ini menggunakan tangan seperti pedang! Dia balas menyerang dan karena Hek-sin Touw-ong juga maklum akan kelihaian ketua Kui-liong-pang ini, maka dia pun cepat mengelak dan balas menyerang. Segera terjadi pertempuran hebat, saling menyerang antara dua orang kakek ini. Masuknya Hek-sin Touw-ong ke dalam pertempuran ini benar-benar amat menolong Kian Bu.

   Tentu saja dia tidak akan dapat dirobohkan oleh dua orang lawannya, akan tetapi dia pun sama sekali tidak mungkin dapat merobohkan mereka berdua tanpa mengerahkan sinkang. Kini, setelah Hek-hwa Lo-kwi meninggalkannya dan dia hanya menghadapi Hek-tiauw Lo-mo seorang, Kian Bu mempercepat gerakannya sehingga Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung. Dia seperti seekor biruang besar yang menghadapi seekor lebah, dia menyerang ke sekelilingnya dan lebah itu beterbangan mengelilinginya. Beberapa kali jala hitamnya menyambar di antara sinar goloknya yang bergulung-gulung, namun tak pernah berhasil karena gerakan Kian Bu terlalu cepat. Tiba-tiba Kian Bu yang mendapat kesempatan meloncat ke belakang tubuh kakek itu mengulurkan tangan dan menotok tengkuk Hek-tiauw Lo-mo.

   "Dukkk....!"

   Tubuh Hek-tiauw Lomo terguling, akan tetapi karena Kian Bu tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga dalam totokannya tadi, kakek raksasa itu tidak lumpuh sama sekali, hanya sebagian saja dan dia masih berusaha memulihkan jalan darahnya. Kian Bu cepat menyusulkan sekali totokan lagi dan robohlah kakek itu dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi! Sementara itu, Kang Swi Hwa sudah mendekati tempat Hwee Li rebah. Nona ini boleh jadi lihai dalam ilmu silat, terutama sekali dalam ilmu mencopet dan ilmu penyamaran, akan tetapi tentang racun, pengertiannya baru kelas nol.

   Maka dia menghampiri lingkaran asap dan barisan paku hijau itu dengan ragu-ragu. Jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu, pesan gurunya. Dengan hati-hati sekali Swi Hwa menghampiri lingkaran itu. Melihat bahwa lingkaran asap dan paku-paku itu hanya memisahkan tempat dara pakaian hitam itu rebah dengan tempat dia berdiri sejauh kurang lebih tiga meter saja, maka dia lalu menggunakan ginkangnya dan melompat melewati lingkaran asap dan paku yang berjajar. Hwee Li melihat itu semua dan tersenyum. Mampuslah, pikirnya! Akan tetapi dia, diam saja. Dara ini semenjak kecil dirawat dan dididik oleh seorang manusia ganas dan kejam macam Hek-tiauw Lo-mo, maka tentu saja dia pun mempunyai watak yang ganas dan tidak mengenal kasihan,

   Sungguhpun sering pula timbul sifat-sifat baiknya yang banyak tertutup oleh pendidikan Hek-tiauw Lo-mo. Apalagi setelah dia ikut bersama gurunya yang baru, yaitu Ceng Ceng, sering kali dia menerima teguran-teguran dan petunjuk-petunjuk, juga dia melihat sifat-sifat dan watak-watak Ceng Ceng dan suaminya sebagai pendekar-pendekar besar yang gagah perkasa, maka banyak kegagahan yang menular pula kepadanya. Akan tetapi kadang-kadang, timbul keganasannya yang dia bawa dari Pulau Neraka, apalagi kalau dia sedang marah. Dan saat itu dia memang sedang marah. Dia ditotok orang, tak mampu bergerak, lalu muncul gadis baju merah yang menggemaskan hatinya. Swi Hwa berhasil meloncat ke dekat Hwee Li. Dia mencium sesuatu yang aneh dan kepalanya merasa agak pening, akan tetapi dia tidak tahu sebabnya.

   "Bocah galak, akhirnya toh engkau membutuhkan pertolonganku...."

   Kata Swi Hwa akan tetapi begitu dia bicara, rasa pening di kepalanya bertambah. Hwee Li menjebikan bibirnya yang merah.

   "Huh, siapa membutuhkan pertolonganmu? Kau lihat saja, bukan aku yang membutuhkan pertolonganmu, melainkan engkaulah yang akan mampus kalau tidak ada aku yang menolongmu!"

   Tentu saja Swi Hwa menjadi marah. Ingin dia menampar muka yang cantik itu. Akan tetapi gurunya telah memerintahkan dia untuk membebaskan totokan yang membuat gadis baju hitam ini tak dapat bergerak. Dia tidak berani membangkang terhadap perintah gurunya. Pula, dia kini tahu bahwa gadis ini ternyata bukanlah anak Hek-tiauw Lo-mo, bukan sekutu si pangeran bahkan dipaksa untuk menjadi isteri pangeran itu. Malah gadis ini ditolong oleh Siluman Kecil! Hal ini sedikit banyak membuat dia mengiri juga.

   "Huh, manusia macam engkau ini mana pantas ditolong orang?"

   Dia bersungut-sungut akan tetapi kembali kepalanya seperti dihantam orang rasanya kalau dia bicara. Maka dia tidak mau bicara lagi dan cepat dia menggerakkan tangan hendak membebaskan totokan yang melumpuhkan Hwee Li.

   "Nanti dulu!"

   Kata Hwee Li.

   "Totokan ini dilakukan oleh Hek-tiauw Lo-mo, orang macam engkau mana mampu membuyarkannya? Hayo kau totok jalan darah in-thai-hiat. Yang keras, karena ilmu totok iblis tua itu adalah Su-sat-jiu, tidak mudah dibuyarkan!"

   Sikap dan kata-kata Hwee Li benar-benar membuat Swi Hwa menjadi mendongkol bukan main. Bocah ini benar-benar sombong, pikirnya. Akan tetapi karena dia tentu akan makin diejek dan makin dipermainkan kalau dia gagal membuyarkan totokannya, maka dia lalu menotok dengan pengerahan lweekangnya ke arah jalan darah in-thai-hiat di punggung Hwee Li.

   "Dukkk....!"

   Totokan itu keras sekali, membuat punggung Hwee Li terasa sakit akan tetapi segera dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebaliknya, Swi Hwa mengeluh dan roboh terguling dalam keadaan pingsan! Hwee Li bangkit berdiri, mengurut-urut lengan dan kakinya yang terasa kaku sambil memandang kepada Swi Hwa dengan senyum mengejek. Tiba-tiba terdengar seruan Hek-sin Touw-ong.

   "Hei, apa yang terjadi dengan Swi Hwa?"

   Dia hendak melompati lingkaran asap itu, akan tetapi Hwee Li cepat mencegahnya dengan teriakan,

   "Touw-ong, jangan meloncat ke sini! Dia juga keracunan setelah meloncat ke sini, biar aku membawanya keluar!"

   Kiranya Hek-hwa Lo-kwi juga sudah dapat dirobohkan dengan totokan. Ketika Kian Bu tadi berhasil merobohkan Hek-tiauw Lo-mo, dia melihat betapa pertempuran antara Hek-hwa Lo-kwi dan Raja Maling itu masih berlangsung dengan amat hebatnya. Si Raja Maling itu memang lihai sekali.

   Ilmu Kiam-to Sinciang membuat kedua tangannya seperti golok dan pedang, bahkan hawa pukulannya saja telah berubah menjadi seperti sinar pedang yang mampu merobohkan lawan tangguh. Sebaliknya, Hek-hwa Lo-kwi juga mengeluarkan ilmunya yang mujijat itu, Pek-hiat-hoat-lek yang telah berhasil membuat Kian Bu terluka dan keracunan. Kian Bu mengkhawatirkan keselamatan si Raja Maling, mengingat akan jahatnya Ilmu Pukulan Darah Putih itu, maka dia cepat meloncat dan mempergunakan kecepatannya untuk menotok jalan darah di tengkuk Hek-hwa Lo-kwi. Kakek itu mengeluh dan terpelanting, dan saat itu dipergunakan oleh Hek-sin Touw-ong untuk menyusulkan totokannya sendiri yang dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga Hek-hwa Lo-kwi roboh dan pingsan. Mendengar ucapan Hwee Li, Hek-sin Touw-ong terkejut dan ragu-ragu.

   "Harap turut saja kata-katanya, Locianpwe, dia memang ahli dalam hal racun,"

   Kata Kian Bu dan dia sendiri pun cepat duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya untuk mengumpulkan hawa murni dan melawan hawa beracun yang melukai dadanya. Hwee Li mengempit tubuh Swi Hwa, menggunakan saputangan untuk menutupi mulut dan hidung gadis baju merah itu dengan mengikatkan sapu-tangan di depan muka gadis itu, kemudian dia melompat keluar melalui atas lingkaran asap yang mulai mengecil dan padam itu. Akan tetapi, begitu dia melihat Kian Bu duduk bersila sambil me-mejamkan kedua matanya, Hwee Li terkejut dan dia melepaskan tubuh Swi Hwa yang masih pingsan itu ke atas tanah dan tergopoh-gopoh dia menghampiri Kian Bu tanpa mempedulikan lagi kepada Swi Hwa. Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan sibuk memeriksa dan mencoba membuat sadar muridnya yang pingsan itu.

   "Kian Bu, kau.... kau kenapa? Apakah kau terluka?"

   Hwee Li berlutut di dekat Kian Bu dan bertanya dengan penuh kekhawatiran. Kian Bu membuka matanya, tersenyum.

   "Hek-hwa Lo-kwi mempunyai pukulan aneh, tanpa kuketahui lebih dulu terkena hawa beracun dari pukulannya...., akan tetapi perlahan-lahan dapat kuusir dengan sinkang...."

   "Ahhh? Kau terkena Pek-hiat-hoat-lek! Aku tahu macam apa pukulan iblisnya itu! Dan kau bilang perlahan-lahan? Aku mempunyai obat penawar segala racun, buatan Subo yang amat ces-pleng (manjur) sekali!"

   Gadis itu segera mengeluarkan buntalan besar dari dalam saku bajunya dan membuka buntalan itu, memilih-milih obat. Kemudian dia mengeluarkan sebungkus obat pulung berbentuk bundar-bundar kecil seperti tahi kambing dan memberikan dua butir kepada Kian Bu.

   "Kau telan ini dan tentu hawa itu akan mudah terusir!"

   Katanya. Kian Bu maklum akan kelihaian dara ini tentang segala racun, maka dia percaya, menerima dua butir obat pulung seperti tahi kambing itu dan menelannya sekaligus. Rasanya agak pahit, akan tetapi mengandung manis dan baunya tidak seperti tahi kambing, melainkan agak harum. Begitu dua butir obat pulung itu memasuki perutnya, terdengar perutnya berkeruyuk dan ada hawa panas berkumpul di situ.

   Kian Bu kaget dan girang sekali. Tak disangkanya obat tahi kambing itu benar-benar hebat sekali, maka dia lalu menggunakan sinkangnya, perlahan-lahan mendorong hawa panas itu ke arah dadanya. Benar saja, hawa panas yang terdorong sinkangnya itu seolah-olah seperti api yang membakar hawa beracun yang menyesakkan dadanya. Hawa beracun itu menjadi asap dan membubung naik melalui hidung dan mulutnya dan dia mencium bau yang amis bercampur bau harum obat tadi. Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang sakti, memiliki sinkang yang amat hebat. Andaikata dia tidak diberi obat sekalipun dengan sinkangnya dia tentu akan mampu mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi hal itu akan memakan waktu agak lama karena dia harus berhati-hati mengerahkan sinkangnya. Kini, obat yang manjur itu membuat dia dalam waktu singkat dapat mengusir hawa beracun dari pukulan Pek-hiat-hoat-lek.

   "Taihiap...., Lihiap...., harap Ji-wi (Anda berdua) sudi menolong muridku ini!"

   Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata sambil mendekati Kian Bu dan Hwee Li setelah dia melihat pemuda itu kini membuka mata dan tersenyum, mukanya juga tidak sepucat tadi tanda bahwa pemuda itu telah sehat kembali. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tokoh kang-ouw yang pandai, akan tetapi tentang urusan racun dia pun tidak banyak tahu, maka melihat keadaan muridnya dia merasa khawatir bukan main. Sudah dicobanya dengan segala kekuatannya untuk menyadarkan muridnya, akan tetapi usahanya sia-sia belaka dan wajah Swi Hwa kini malah menjadi kebiruan, maka dia menjadi gelisah dan tanpa sungkan-sungkan dia lalu minta tolong kepada Siluman Kecil dan puteri Hek-tiauw Lo-mo itu. Hwee Li yang melihat Kian Bu telah sembuh, lalu bangkit berdiri dan meng-hampiri Swi Hwa.

   "Touw-ong, muridmu ini mulutnya jahat sekali, maka sudah sepantasnya dia menerima hajaran ini, Kuharap saja lain kali engkau suka menjaga agar mulutnya jangan suka menghina orang!"

   "Enci Hwee Li, jangan kurang ajar, harap lekas sembuhkan dia!"

   Kian Bu berkata dengan alis berkerut.

   "Hemmm, baru saja kusembuhkan kau sudah lupa lagi, ya? Engkau ini adik macam apa berani bicara kasar kepada encinya!"

   Dalam keadaan biasa, tentu Hek-sin Touw-ong akan merasa heran sekali mendengar ucapan mereka berdua itu, akan tetapi karena dia amat khawatir melihat muridnya, dia tidak mempedulikan hal lain dan cepat berkata kepada Hwee Li,

   "Nona yang baik, harap Nona sudi menolong muridku dan aku Hek-sin Touw-ong tidak akan melupakan kebaikanmu ini."

   Wajah Hwee Li berseri-seri dan mulutnya yang manis itu tersenyum, matanya bersinar-sinar penuh kebanggaan. Biarpun hanya seorang maling, namun kakek ini adalah Raja Maling! Seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, namanya menjulang tinggi di seluruh perbatasan Ho-nan dan Ho-pei, juga di seluruh pantai Po-hai. Dan kini raja ini, biarpun raja maling, telah minta tolong kepadanya dengan ucapan yang demikian halus dan menghormat! Tentu saja dia bangga sekali!

   "Aku akan mengobatinya dan pasti cepat sembuh. Aku mengenal racun-racun itu. Racun yang membakar tanah itu adalah racun yang amat berbahaya, cairan itu kalau mengenai kulit akan mem-buat kulit daging dan tulang hancur sama sekali, kecuali rambut saja cairan itu tidak mampu menghancurkan. Dan baunya juga berbahaya, karena asap racun itu dapat memabukkan orang. Iblis tua muka tengkorak itu memang paling suka memakai racun cuka busuk seperti itu! Dan tentang paku yang digunakan oleh ayah.... eh, oleh tua bangka Pulau Neraka itu hanyalah mainan kanak-kanak saja bagiku. Kau lihat!"

   Dia lalu menghampiri paku-paku itu setelah asap beracun itu kini padam, dan menggunakan kedua tangannya, sembarangan saja dia mencabuti paku-paku itu dan melempar-lemparkannya ke samping. Paku-paku itu mengeluarkan bunyi bercuitan, menancap pada batang dua pohon yang berdekatan. Dan seketika, pohon-pohon itu menjadi layu, daun-daunnya melayu dan rontok, menjadi gundul dan mati dalam waktu sebentar saja! Wajah Hek-sin Touw-ong menjadi pucat.

   "Bukan main! Ah, Nona yang baik, tolonglah muridku ini...."

   "Tapi dia tadi bicara kasar kepadaku...."

   Hwee Li berlagak jual mahal!

   "Hwee.... eh, Enci Hwee Li! Cepat kau obati dia!"

   Kian Bu berkata dengan suara keras. Hwee Li mengerling kepadanya.

   "Hem, agaknya engkau sudah jatuh tergila-gila kepada seorang gadis berpakaian merah muda, ya? Aihhh, siapa tahu Siluman Kecil kiranya paling suka pada pakaian merah, hemmm....!"

   "Enci Hwee Li, jangan main-main begitu! Orang sedang terancam bahaya maut, mengapa kau main-main seperti itu? Ingat, kedatangan mereka berdua ini telah menyelamatkan kita. Engkau tidak membalas budi malah menggoda orang!"

   Hwee Li bersungut-sungut ditegur oleh Kian Bu, dan makin segan saja untuk turun tangan mengobati Swi Hwa. Melihat ini, Hek-sin Touw-ong yang sudah berpengalaman itu segera dapat mengenal watak si gadis yang aneh, ganas dan manja ini, maka dia lalu berkata,

   "Nona, aku berjanji akan menegur muridku dan selanjutnya dia tidak akan berani lagi bersikap kasar terhadapmu."

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kakek itu lalu menjura kepada si gadis galak dan berkata,

   "Kalau muridku telah berlaku salah, biarlah aku sebagai gurunya mintakan maaf kepadamu!"

   Hwee Li memang seorang dara yang aneh. Dia memang dahulunya selalu dimanja oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi pada dasarnya dia mempunyai watak yang baik dan ramah. Kini, melihat kakek itu begitu menghormat kepadanya, dia Cepat-cepat menjura dan berkata dengan muka merah sekali,

   "Aihhh, Touw-ong.... jangan begitu. Sebetulnya aku pun telah bersikap kasar, kau maafkanlah aku yang muda. Biar kuobati muridmu sekarang juga."

   Dia lalu berlari menghampiri Swi-Hwa yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan itu.

   Diambilnya obat bubuk dari bungkusannya, lalu diambilnya pula sebotol obat cair seperti arak. Dengan tutup guci arak yang berbentuk cangkir itu, dia menuangkan arak obat ke dalamnya, mencampurnya dengan obat bubuk itu. Nampak cairan seperti arak itu mengeluarkan suara mendesis dan asap mengepul dari dalam cangkir tutup guci. Kemudian, Hwee Li membuka sebuah bungkusan lain dan menaburkan sedikit bubuk merah ke dalam hidung Swi Hwa, Semua gerakannya ini diikuti penuh perhatian oleh Hek-sin Touw-ong dan Kian Bu. Diam-diam pemuda berambut putih itu merasa kagum dan juga geli menyaksikan sikap Hwee-li yang benar-benar menjadi seorang tukang obat atau seorang yang hendak bermain sulap sebelum menjual obatnya! Jari-jari tangannya begitu cekatan dan sikapnya begitu pasti.

   "Haaa.... cinggggg...!"

   Tiba-tiba Swi Hwa berbangkis dan dia menjadi setengah sadar. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwee Li untuk mengangkat kepala gadis itu dan mencekokkan obat dari cangkirnya. Terdengar suara clegak-cleguk karena Swi Hwa terpaksa menelan obat itu, kemudian Hwee Li merebahkan kembali kepala gadis itu dan bangkit berdiri, membereskan bungkusan obatnya dan menoleh kepara Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.

   "Dia sudah sembuh, sudah terbebas dari cengkeraman maut racun itu,"

   Katanya seenaknya, lalu menoleh dan memandang kepada dua orang kakek yang masih rebah tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka.

   "Eh, akan tetapi.... mengapa dia belum sadar, Nona?"

   Hek-sin Touw-ong bertanya dengan suara yang nadanya masih khawatir. Hwee Li menoleh ke arah Swi Hwa dengan sikap tak acuh, lalu berkata,

   "Dia belum kentut, sih!"

   "Eh, apa....?"

   Kakek itu bertanya sambil membelalakkan matanya, bingung dan tidak mengerti, mengira dara berpakaian hitam itu masih marah.

   "Racun itu sudah buyar, akan tetapi kalau dia belum kentut, dia tidak akan sadar. Kalau dia sudah kentut, itu tanda-nya dia sembuh benar-benar dan sadar...."

   Sambil berkata demikian, Hwee Li kini melangkah menghampiri Hek-tiauw Lo-mo.

   "Enci, benarkah kata-katamu itu?"

   Tanya Kian Bu sambil mengikutinya, khawatir kalau gadis itu melakukan hal-hal yang tak dikehendakinya. Akan tetapi baru saja Kian Bu bertanya demikian, dari sebelah belakangnya terdengarlah suara itu.

   "Puiiittttt....!"

   Suara kentut yang nyaring. Nyaring dan merdu! Hampir Kian Bu tertawa. Mengapa kentut seorang dara cantik juga cantik terdengarnya? Bisa merdu? Bukan main!

   "Suhu....!"

   "Ah, syukurlah, kau telah sembuh, Swi Hwa. Dengar, yang menyembuhkanmu adalah Nona berbaju hitam itu, maka jangan sekali-kali kau bersikap kasar kepadanya. Kalau tidak ada dia...."

   Selanjutnya Kian Bu tidak lagi mendengarkan kata-kata kakek Raja Maling itu kepada muridnya karena perhatiannya tertumpah kepada Hwee Li. Gadis ini menghampiri Hek-tiauw Lo-mo, berdiri dan memandang sebentar dengan sepasang mata terbelalak dan berapi-api, kemudian dia mengambil golok gergaji milik bekas ayahnya itu dan tanpa berkata apa pun dia lalu mengayun golok itu ke arah leher Hek-tiauw Lo-mo.

   "Singgggg.... trakkk....!"

   Golok itu terpental oleh hantaman batu kecil yang dilontarkan oleh Kian Bu, sabetannya menceng dan hanya mengenai pundak Hek-tiauw Lo-mo sehingga pundak kiri kakek itu terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Hwee Li juga tidak mampu memegang gagang golok lebih lama lagi karena hantaman batu itu membuat tangannya tergetar hebat dan terpaksa dia melepaskan golok dan menoleh kepada Kian Bu dengan mata ber-api karena marahnya.

   "Kau.... kau malah membantu dia?"

   Bentaknya marah, kedua tangannya siap dengan pasangan kuda-kuda, siap untuk bersilat dan menyerang Kian Bu! Kakinya memasang kuda-kuda dengan satu kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat ke lutut seperti jurus Kim-ke-tok-lip, dan tangan kanan dengan telapak ke atas ditarik ke depan pusat, tangan kiri terbuka miring di depan dada. Dia telah memasang kuda-kuda jurus Jeng-pai-kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring), dan menghadapi Kian Bu dengan sikap marah! Kian Bu sejak tadi sudah merasa curiga dan menduga bahwa tentu gadis itu akan melakukan serangan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kalau orang lain yang melakukan serangan dan membunuh kakek iblis itu, agaknya dia tidak akan mencampurinya dan akan membiarkan saja.

   Memang kakek iblis Pulau Neraka ini adalah seorang manusia yang berwatak iblis, sudah sepantasnya kalau dibunuh seratus kalipun! Akan tetapi, dia teringat bahwa Hwee Li adalah seorang yang sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakek itu, dan betapa kakek itu amat menyayangi Hwee Li. Maka, kalau dia membiarkan gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo, berarti dia membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia bong-im-pwe-gi (manusia yang tidak ingat budi orang lain). Padahal, dia merasa suka sekali kepada Hwee Li dan bahkan diam-diam mengharapkan agar gadis yang dia tahu mencinta kakaknya ini kelak akan menjadi jodoh kakaknya. Tentu saja dia tidak membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia durhaka dan dia telah meng-halangi gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo.

   "Enci Hwee Li, tidak sepantasnya kalau engkau membunuh dia!"

   Kian Bu menegur, suaranya tegas dan berwibawa. Hwee Li membalikkan tubuhnya menghadap Hek-tiauw Lo-mo dengan mengubah kedudukan kakinya, sikapnya menyerang, akan tetapi dia mengerling ke arah Kian Bu, lalu menggeser lagi kaki-nya menghadapi pemuda itu, kembali memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang, semua gerakannya dilakukan dengan gerak silat sehingga nampak lucu sekali, akan tetapi wajahnya sungguh-sungguh dan matanya berapi-api.

   "Kau tahu apa tentang pantas atau tidak?"

   Akhirnya dia berkata lantang.

   "Kau tahu apa tentang balas-membalas? Hutang luka dibayar luka, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang kebaikan dibayar kebaikan! Dia telah membunuh ibu kandungku, maka aku harus membunuhnya! Apakah kau hendak menghalangiku?"

   Kian Bu menarik napas panjang.

   "Sama sekali bukan hendak menghalangimu membunuhnya, melainkan menghalangimu menjadi seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi, dan yang namanya akan dikutuk manusia di seluruh dunia selama-lamanya!"

   "Eihhh....?"

   Saking heran dan penasaran, Hwee Li lupa akan kuda-kuda silatnya dan kini dia melangkah biasa menghampiri Kian Bu, lalu berdiri di depan pemuda itu dengan kedua tangannya bertolak pinggang sehingga jari-jari kedua tangannya melingkari pinggangnya dan saling bertemu karena pinggangnya kecil ramping seperti pinggang lebah kemit (lebah hitam coklat yang pinggangnya kecil sekali).

   "Aku hendak membunuh orang yang telah membunuh ibuku dan kau bilang aku seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi? Kian Bu, apa artinya ucapanmu itu?"

   Tanyanya, lebih heran daripada marah karena dia tidak percaya bahwa pendekar sakti ini mau mempermainkannya.

   "Enci, bukankah kau tadi mengatakan bahwa hutang luka dibayar luka, hutang nyawa bayar nyawa, dan hutang kebaikan...."

   "Bayar kebaikan!"

   Sambung Hwee Li melihat pemuda itu berhenti seolah-olah lupa lanjutannya.

   "Nah, belasan tahun lamanya Hek-tiauw Lo-mo merawat dan mendidikmu dengan segala rasa kasih sayang, bukankah itu berarti bahwa engkau hutang kebaikan kepadanya? Engkau harus membayar hutang kebaikan itu dengan kebaikan, Enci. Sebaliknya engkau hendak membunuhnya, bukankah itu berarti bahwa Enci akan menjadi orang yang tidak ingat budi?"

   Hwee Li tertegun dan melongo, bingung. Akhirnya dia berkata ragu,

   "Akan tetapi dia telah membunuh ibuku..."

   "Heh, siapa membunuh ibumu? Dia mati sendiri, tidak kubunuh!"

   Terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata. Dia adalah seorang manusia iblis, maka biarpun tadi nyaris tewas dan kini pundaknya terluka, dia tidak kelihatan gentar sedikit pun juga.

   "Tutup mulutmu yang busuk!"

   Hwee Li memaki.

   "Engkau memaksa dia, biarpun tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi engkau yang menyebabkan ibuku mati! Kian Bu, dia menyebabkan kematian ibu, kalau aku tidak membalas, bagaimana kelak aku dapat menghadapi arwah ibuku di alam baka?"

   "Enci, sebaiknya engkau memenuhi semua peraturan balas-membalas itu. Engkau memang berhak membalas kematian ibumu, akan tetapi engkau pun harus membalas kebaikannya terhadap dirimu. Kalau sekarang kau balas kematian ibumu dan kau membunuhnya, mana bisa engkau membalas kebaikannya terhadap dirimu selama belasan tahun itu? Sebaliknya, kalau engkau lebih dulu membalas kebaikannya, lalu kelak engkau membalas kematian ibumu dan membunuhnya, juga belum terlambat."

   Kian Bu menggunakan segala akalnya untuk mencegah gadis ini membunuh Hek-tiauw Lo-mo. Dia memang bisa saja menggunakan kepandaian untuk mencegah pembunuhan itu, namun hal itu tentu akan menjadi kurang baik. Sebaiknya kalau dia dapat menginsyafkan gadis ini dengan omongan saja.

   "Benar sekali, Adik Hwee Li. Omongannya itu benar sekali! Tak mungkin seorang gadis gagah perkasa dan baik budi seperti engkau sampai tidak membalas budi kebaikan orang!"

   Tiba-tiba terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara itu adalah Swi Hwa. Tadi gadis ini telah siuman dan benar saja, dia telah sembuh sama sekali. Dia mendengar penuturan gurunya bahwa yang menyelamatkan dia adalah Hwee Li. Kemudian dia mendengar percakapan antara Hwee Li dan Kian Bu atau yang dikenalnya sebagai Siluman Kecil. Dia ikut merasa terharu mendengar bahwa ibu gadis itu mati karena Hek-tiauw Lo-mo. Jadi terang bahwa gadis itu bukanlah anak iblis jahat itu. Juga mendengar bahwa Hwee Li disebut "enci"

   Oleh Siluman Kecil, lenyap rasa iri dan tidak senangnya terhadap Hwee Li.

   Tadinya dia mengira bahwa gadis secantik jelita itu tidaklah mengherankan kalau menjadi pacar Siluman Kecil dan dia merasa iri karena memang dahulu pernah dia kagum sekali terhadap Siluman Kecil. Hwee Li yang mendengar ucapan ramah itu lalu melirik ke arah Swi Hwa. Kemarahannya terhadap Swi Hwa sudah lenyap dan kini beralih kepada Kian Bu yang hendak menghalangi dia. Akan tetapi uraian Kian Bu yang diperkuat oleh Swi Hwa itu membuat dia menjadi bingung dan ragu-ragu.

   "Kalau begitu, apa kau minta agar aku membalas segala kebaikannya selama belasan tahun ini? Dia telah memondong dan menimangku, apakah aku pun harus menggendong dan menimang-nimangnya? Apakah aku harus merawatnya sampai belasan tahun?"

   Dia makin penasaran. Kian Bu tertawa.

   "Tidak usah sejauh itu, Enci Hwee Li. Cukup kalau engkau tidak membunuhnya sekarang, berarti engkau telah melepas kebaikan yang boleh menebus semua kebaikannya itu. Kalau kelak ada kesempatan dan engkau membunuhnya, bukankah berarti hari ini engkau telah menebus kebaikannya itu?"

   "Waaahhhhh, terlalu enak buat dia!"

   Hwee Li berkata dengan alis berkerut.

   "Kalau begitu, apakah kita harus membebaskan dua orang monyet tua ini dan minta maaf dan menghaturkan selamat jalan kepada mereka, membekali uang untuk mereka sebagai bekal biaya perjalanan?"

   Karena jengkel Hwee Li mengeluarkan kata-kata yang berlebihan itu. Swi Hwa adalah seorang yang ter-didik. Dia tahu bahwa kejengkelan hati nona berpakaian hitam itu betapapun juga harus dipuaskan. Maka dia lalu maju dan berkata,

   "Adik Hwee Li, kalau aku boleh mengusulkan, mereka itu tidak perlu dibunuh agar engkau tidak dianggap tak kenal budi, akan tetapi perbuatan mereka pun harus dihukum. Mereka tertotok, bagaimana kalau mereka itu dikubur hidup-hidup di tempat ini?"

   "Wah, cocok!"

   Hwee Li bersorak. Dia merasa mendapat teman untuk menentang Kian Bu,. dan dia sudah mendekati Swi Hwa dan memegang lengannya.

   "Kau memang orang cerdik, Enci. Nah, Siluman Kecil, kau bisa bicara apa menghadapi dua orang dara yang cerdik seperti kami?"

   Siluman Kecil memandang Swi Hwa dengan heran, akan tetapi dia melihat dara berpakaian merah itu berkedip kepadanya, maka dia mengangkat pundak dan berkata,

   "Terserah, asal kalian tidak membunuhnya."

   "Adik Hwee Li, terang bahwa kau tidak bisa membunuhnya sebelum kau membalas kebaikannya. Nah, kau membebaskan dia dari kematian, itu berarti sudah membalas kebaikannya. Sekarang, mari kita kubur mereka, mengubur hidup-hidup asal jangan sampai mereka mati."

   "Lhoh! Dikubur hidup-hidup mana bisa tidak mampus?"

   Tanya Hwee Li bingung.

   "Kita kubur tubuhnya saja biar kepalanya di atas tanah. Bukankah dengan demikian mereka akan tersiksa sekali? Mereka tertotok, kalau sudah tiba saatnya terbebas dari totokan, tentu orang-orang selihai mereka itu akan mampu membebaskan diri. Sementara itu, biar mereka tahu rasa. Dengan demikian engkau telah melaksanakan dua macam pembalasan budi, budi baik dibalas baik dan budi busuk dibalas busuk."

   Hwee Li girang sekali dan bersorak, bertepuk tangan seperti anak kecil mendapatkan mainan baru yang menarik.

   "Bagus sekali, Enci. Hayo kita kerjakan, kau bantulah aku."

   Dua orang dara yang sama cantik manisnya itu lalu mengerahkan tenaga mereka untuk menggali lubang di atas tanah. Mereka adalah gadis-gadis remaja yang cantik dan halus. Akan tetapi jangan kira bahwa tangan yang berkulit halus itu tidak mampu menggali lubang yang besar dengan cepat.
(Lanjut ke Jilid 37)

   Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 37
Tangan-tangan halus itu mengandung tenaga Iweekang yang hebat sehingga sebentar saja mereka masing-masing telah menggali sebuah lubang. Kini keduanya menyeret tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi, melempar mereka ke dalam lubang lalu menutupi lubang itu sehingga dua orang kakek iblis itu dikubur sampai ke leher mereka! Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kalang-kabut. Mereka adalah dua orang kakek sakti dan kalau hanya ditanam seperti itu saja, mereka tidak merasa takut. Biar dikubur seluruh tubuh mereka pun mereka tidak merasa jerih dan tentu akan dapat mempertahankan nyawa. Akan tetapi yang membuat mereka marah besar adalah penghinaan itu! Mereka dipermainkan oleh dua orang gadis remaja!

   "Hi-hik, biar mereka digerayangi dan digigiti semut-semut dan cacing-cacing sebelum mereka dapat membebaskan diri!"

   Kata Hwee Li bertepuk-tepuk tangan. Kian Bu dan Hek-sin Touw-ong mendiamkan saja kedua orang gadis itu. Mereka maklum akan akal Swi Hwa untuk meredakan kemarahan Hwee Li. Setelah dua orang itu selesai mengubur dua orang kakek tadi, mereka kini duduk berhadapan di atas rumput. Swi Hwa merangkul Hwee Li dan berkata sambil tertawa,

   "Adik Hwee Li yang gagah dan cantik, aku berterima kasih sekali kepadamu atas pertolonganmu tadi dan harap kau maafkan sikapku yang kasar karena aku belum mengenal siapa engkau."

   Hwee Li memang seorang gadis aneh. Kalau dia diganggu, dia akan berubah menjadi iblis jahat. Kalau dia dijahati, dia akan lebih jahat lagi. Akan tetapi kalau dia dibaiki, dia akan lebih-lebih baik lagi. Maka kini dia mencium pipi halus dari Swi Hwa dan berkata,

   "Akulah yang telah bersikap kasar. Kau maafkan aku, Enci yang baik, dan engkau pun tadi telah menolongku, maka akulah yang menghaturkan terima kasih kepadamu."

   Sementara itu, matahari telah terbit dan Hwee Li menjauh dari mereka lalu bersuit panjang dan nyaring disusul suara melengking memanggil-manggil. Tak lama kemudian terdengar lengking panjang sebagai jawaban dan dari atas udara menyambar turun burung garuda tadi. Burung ini memang sudah biasa dengan Hwee Li, malah dia merasa girang karena dia lebih senang melayani Hwee Li yang selalu bersikap manis kepadanya, daripada melayani Hek-tiauw Lo-mo yang suka bersikap kasar dan kejam kepadanya. Hwee Li mengelus kepala burung itu dan berkata,

   "Paman garuda, kau baik saja bukan? Nah, kau boleh beristirahat dulu, nanti aku mungkin akan membutuhkan bantuanmu."

   Garuda itu mengeluarkan suara nguk-nguk seperti seekor anjing jinak, lalu terbang ke atas pohon. Hwee Li lalu kembali ke tempat tiga orang yang sedang bercakap-cakap itu. Kian Bu, menceritakan bahwa dia baru saja keluar dari dalam benteng lembah, atas pertanyaan Hek-sin Touw-ong.

   "Sekarang, kami berdua harus kembali ke sana untuk mencoba menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan."

   Dia menutup ceritanya dengan singkat karena dia tidak mau banyak menyebut nama puteri itu. Setelah dia mendengar penuturan Hwee Li bahwa Syanti Dewi juga menjadi tawanan, maka hatinya telah bertekad bulat untuk menolong puteri itu, biarpun keadaan di dalam benteng itu amat berbahaya. Kalau perlu, dia siap mengorbankan nyawanya demi menolong puteri itu!

   "Suhu, mari kita ikut membantu mereka ini!"

   Tiba-tiba Swi Hwa berkata kepada gurunya dan kakek itu pun mengangguk-angguk tanda setuju biarpun alisnya berkerut karena dia merasa sangsi apakah mereka berempat akan sanggup menembus benteng yang dihuni demikian banyaknya orang pandai dan di mana terdapat banyak pula anak buah Kui-liong-pang. Akan tetapi sebelum kakek itu mengeluarkan, Kian Bu telah lebih dulu berkata dengan suara yang menyatakan ketidaksenangan hatinya,

   "Terima kasih atas kebaikan Nona hendak membantu kami, akan tetapi kami rasa tidak perlu kalian membantu kami, karena.... karena.... hemmm...."

   Kian Bu merasa tidak enak untuk melanjutkan kata-katanya. Dahulu Ang-siocia ini telah mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Urusan itu pun belum diselesaikan, dan bukankah nona ini menantang dia untuk menyusul ke pantai Po-hai?

   Dengan demikian, antara mereka tidak ada hubungan persahabatan, bahkan ada urusan yang membuat mereka berdiri sebagai fihak yang bertentangan. Akan tetapi, melihat sikap guru dan murid yang baik itu tadi, dia merasa tidak enak kalau harus mengemukakan hal itu. Ang-siocia ini telah mencuri pusaka Sin-siauw Seng-jin, bukan pusakanya! Dan kalau Ang-siocia mencuri, hal itu tentu saja bukan merupakan suatu keanehan karena memang dia murid Raja Maling! Sebetulnya hanya kecil saja sangkut-pautnya dengan dirinya, karena pencurian itu dilakukan sehabis dia memenangkan pertandingan melawan Sin-siauw Seng-jin. Urusan kecil itu mana dapat disamakan dengan perbuatan guru dan murid ini yang sekarang telah menolongnya, bahkan dapat dikatakan telah menyelamatkan Hwee Li pula?

   "Aihhh, Kian Bu. Kenapa kau menolak? Enci ini.... eh, siapa namamu tadi, Enci?"

   Swi Hwa tersenyum.

   "Namaku Swi Hwa, she Kang...."

   Katanya sambil mengerling ke arah Siluman Kecil. Mendengar nama ini, Kian Bu mengerutkan alisnya. Kenapa dia merasa seperti tidak asing dengan nama itu? Seolah-olah nama itu sudah dikenalnya benar, padahal dia tahu betul bahwa baru satu kali saja dia bertemu dengan Ang-siocia ini, yaitu ketika gadis ini mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Ketika itu, dia mengira bahwa nona ini she Ang, tidak tahunya, sebutan "Ang"

   Itu bukan she, melainkan berarti merah dan tentu karena nona ini selalu memakai pakaian berwarna merah.

   "Enci Swi Hwa ini lihai sekali, dan gurunya lebih lagi. Di benteng itu terdapat banyak sekali orang pandai dan berbahaya, maka bantuan Enci Swi Hwa dan gurunya amatlah baik dan menguntungkan bagi kita. Kenapa engkau menolak?"

   "Aku percaya bahwa mereka ini lihai sekali, akan tetapi...."

   Dia memandang kepada Swi Hwa dan ada sinar tidak senang menyorot dari pandang mata pendekar itu. Swi Hwa tersenyum dan menjura kepada Kian Bu, katanya halus,

   "Ah, tentu Taihiap masih mendendam karena uangnya pernah kuambil dahulu itu, ya? Ketahuilah, Taihiap, aku mengambil uangmu karena ingin memperkenalkan engkau kepada Suhu. Nah, ini uangmu itu, lengkap dengan kantungnya, kukembalikan kepadamu disertai ucapan maaf sebesar-nya!"

   Seperti bermain sulap saja, sekali meroboh sakunya, Swi Hwa telah mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang dan menyerahkannya kepada Kian Bu.

   "Tidak ada satu sen pun berkurang, Taihiap!"

   Kian Bu mengenal pundi-pundi uangnya dan dia terkejut, juga terheran. Jadi, kiranya kantung uangnya dahulu itu pun dicuri oleh gadis maling ini? Bukan main! Bagaimana hal itu dapat dilakukannya padahal dia sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan nona ini dalam perjalanan? Sambil melongo, diterimanya kantung itu dan dia lalu berkata,

   "Terima kasih, Nona. Memang ini pundi-pundi uangku. Akan tetapi bukan soal kecil inilah yang membuat aku meragu, akan tetapi...."

   Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong menjura kepada Siluman Kecil dan berkata,

   "Taihiap, muridku yang jahat ini pernah bercerita bahwa dia telah mengambil pusaka-pusaka dari dalam rumah Sin-siauw Seng-jin mendahului Taihiap, tentu hal itu yang membuat Taihiap meragu, bukan?"

   Hati Kian Bu terasa tidak enak, akan tetapi dia mengangguk.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 59 Kisah Sepasang Rajawali Eps 56 Sepasang Pedang Iblis Eps 46

Cari Blog Ini