Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 16


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Saudara Liong Cin, sudah jelas kini dari pelaporan para penyelidik bahwa benar seperti dugaanmu, semua kawanmu, rombongan pemburu yang tadinya berkemah di bukit itu telah melarikan diri semua, entah ke mana. Oleh karena itu, tidak baik kalau engkau pergi mencari mereka, dalam keadaan gawat dan dalam ancaman perang ini. Sebaiknya engkau beristirahat dulu di sini bersama kami, kelak kalau keadaan sudah aman barulah engkau pergi mencari kawan-kawanmu. Setidaknya, berilah kesempatan kepadaku untuk menyatakan terima kasih. dan membalas budimu."

   Meghadapi ucapan Siok Lan ini, Liong Cin tidak dapat membantah dan demikianlah, mulai hari itu dia tinggal di gedung panglima dan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat dan memperoleh kebebasan. Dia bergaul dengan akrab sekali dengan Siok Lan, dan tentu saja Ci Sian juga sering menemani mereka bercakap-cakap, akan tetapi agaknya di antara dua orang muda ini, keduanya merupakan tamu dan sahabat Siok Lan, terdapat sesuatu yang membuat mereka agak renggang. Ada celah di antara keduanya, dan kadang-kadang mereka saling pandang dengan sinar mata membayangkan kecurigaan dan keraguan.

   Memang sesungguhnyalah, Ci Sian menaruh rasa curiga kepada pemuda itu, rasa curiga yang sama sekali bukan tanpa alasan. Semenjak pemuda itu datang, dia selalu mengamati gerak-geriknya dan biarpun dia melakukan hal ini secara diam-diam, agaknya terasa juga oleh Liong Cin sehingga pemuda ini pun merasa tidak enak terhadap Ci Sian. Bahkan semenjak Liong Cin berada di gedung itu, setiap malam Ci Sian kurang dapat tidur nyenyak karena pikirannya selalu membayangkan pemuda itu dengan penuh curiga, dan sering kali dia bahkan diam-diam keluar dari dalam kamarnya untuk bersembunyi dan melakukan pengintaian! Dan beberapa hari kemudian, pada suatu malam kecurigaannya ini memperoleh bukti.

   Dia melihat bayangan berkelebat cepat dan dia dapat mengenal Liong Cin yang bergerak cepat melakukan penyelidikan di dalam gedung dan keluar dari gedung itu menuju ke taman bunga dengan sikap yang mencurigakan sekali. Akan tetapi, pemuda itu ternyata lihai bukan main. Biarpun Ci Sian sudah membayangi dengan amat hati-hati, mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya bergerak cepat dan ringan tanpa menimbulkan suara berisik, agaknya pemuda itu telah tahu bahwa ada orang yang membayanginya dan tiba-tiba pemuda itu berhenti dan menoleh ke belakang, tahu-tahu telah berhadapan dengan Ci Sian yang bersembunyi di balik pohon dan semak-semak! Keduanya terkejut ketika saling berhadapan itu. Sejenak mereka hanya saling pandang dengan alis berkerut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Ci Sian tersenyum berkata.

   "Terkejut? Aku tahu siapa engkau, Liong Cin!"

   Pemuda itu memandang dengan sinar mata penuh selidik.

   "Apa maksudmu? Tentu saja engkau mengenalku. Aku sedang jalan-jalan dan kau mengejutkan aku, Nona...."

   "Hemm, tak perlu engkau berpura-pura sebagai pemburu yang tolol! Engkaulah Si Pengail yang kami tanya tentang perajurit itu, dan engkau pula perajurit yang membunuh perwira yang hendak memperkosa wanita itu, engkau mata-mata...."

   Cepat seperti kilat tangan pemuda itu sudah menangkap pundak Ci Sian dan jari-jari tangan kirinya sudah menempel di ubun-ubun kepala dara itu, ancaman maut mengerikan karena sekali jari-jari tangan itu bergerak, dara itu pasti akan tewas seketika! Ci Sian sendiri terkejut bukan main karena biarpun dia sudah waspada, ternyata dia sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tahu-tahu dia sudah "ditodong"

   Seperti itu, sama sekali tidak berdaya! Akan tetapi dia tersenyum, sedikit pun tidak menjadi gentar sehingga berbalik pemuda itulah yang terheran-heran. Dan apa yang keluar dari mulut Ci Sian membuat dia semakin heran dan sedemikian kaget sehingga pegangannya pada pundak dara itu terlepas.

   "Jenderal, engkau salah tangkap!"

   Wajah pemuda itu berobah pucat, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara tegas,

   "Siapa engkau?"

   Ci Sian tersenyum.

   "Aku? Aku bernama Ci Sian dan menjadi sahabat Siok Lan seperti yang kau ketahui."

   "Tidak! Kalau demikian keadaanmu, tentu engkau sudah membuka rahasiaku. Ci Sian, jangan main-main, katakan siapa engkau, jangan sampai aku kesalahan tangan."

   Ucapan itu mengandung kesungguhan yang membuat bulu tengkuk Ci Sian meremang. Tahulah dia bahwa kalau dia main-main dan salah bicara, tentu bagi orang ini tidak akan ragu-ragu lagi untuk turun tangan membunuhnya karena dia tentu dianggap berbahaya telah mengetahui rahasia orang itu.

   "Aku bukan kaki tangan orang Nepal! Aku ke sini juga hendak mencari seseorang yang ditahan, seorang piauwsu bernama Lauw Sek. Harap kau jangan curiga aku."

   Pemuda itu kelihatan lega hatinya dan dia menarik napas panjang.

   "Katakan, bagaimana engkau dapat mengetahui keadaanku?"

   "Dari sinar matamu."

   Jawab Ci Sian.

   "Engkau boleh menyamar, merobah bentuk muka dan berganti pakaian, berganti suara, akan tetapi engkau tak mungkin menyembunyikan sinar matamu."

   "Sinar mataku....? Mengapa dengan sinar mataku?"

   "Sinar matamu mencorong seperti sinar mata seseorang yang tak pernah dapat kulupakan. Sinar matamu persis seperti sinar mata Pendekar Suling Emas."

   "Pendekar Suling Emas? Siapa itu?"

   "Dia she Kam, bernama Hong."

   Pemuda itu menggeleng kepala.

   "Aku tidak mengenalnya. Ternyata pandang matamu tajam betul, Ci Sian. Sekarang katakan, bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku seorang jenderal....?"

   Ci Sian tersenyum.

   "Hanya orang tolol saja yang tidak dapat menduga. Begitu mudah seperti dua tambah dua sama dengan empat. Desas-desusnya sudah santer dikabarkan orang bahwa akan ada seorang jenderal sakti dari Kerajaan Ceng yang datang menyelidik ke sini untuk membebaskan pasukan yang terkepung. Kini, melihat keadaanmu, melihat kelihaianmu, siapa lagi engkau kalau buka Si Jenderal yang didesas-desuskan orang itu?"

   "Engkau luar biasa!"

   Pemuda itu berseru dan berbisik.

   "Mari kau ikut aku. Tidak leluasa bicara di sini!"

   Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dengan cepat sekali dari taman itu. Ci Sian terpaksa harus mengerahkan seluruh gin-kangnya untuk mengejar, akan tetapi betapa pun dia mengerahkan tenaga, tetap saja dia tertinggal jauh dan kadang-kadang pemuda itu terpaksa harus menunggunya dan akhirnya mereka tiba di sebuah tanah kuburan di pinggir kota yang amat sunyi. Sunyi dan menyeramkan, membuat Ci Sian bergidik. Biarpun ia seorang dara perkasa yang dapat dibilang tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga,

   Akan tetapi pada malam hari gelap itu berada di dalam tanah kuburan, benar-benar merupakan pengalaman yang belum pernah dihadapinya. Malam itu bulan sepotong menyinari permukaan tanah kuburan, menambah seramnya pemandangan. Gundukan-gundukan tanah itu seolah-olah dalam cuaca remang-remang merupakan tubuh-tubuh manusia raksasa yang telentang, dengan perut besar dan seperti bergerak dan bernapas. Hembusan angin pada daun-daun pohon yang tumbuh di tanah kuburan itu seperti bisikan-bisikan, agaknya dalam keadaan mati pun manusia masih tidak dapat melepaskan kebiasaannya yang lama yaitu mengoceh dan membicarakan keadaan orang-orang lain, terutama tentang kesalahan-kesalahan orang lain. Ci Sian merasa seolah-olah dialah yang kini menjadi bahan pergunjingan dalam bisikan-bisikan itu dan dia menggigil.

   "Nah, kau mau bicara apa?"

   Katanya dan suaranya agak gemetar menahan rasa ngeri. Pemuda itu tersenyum di bawah sinar bulan yang pucat, membuat wajahnya yang tampan nampak pucat juga.

   "Kau takut dan seram juga? Ah, tempat ini merupakan tempat paling aman bagi kami...."

   "Kau dan anak buahmu?"

   Pemuda itu mengangguk.

   "Engkau memang luar blasa dan aku kagum padamu, Nona Ci Sian, atau.... namamu itu juga nama palsu?

   "Namaku tidak palsu, perlu apa aku harus memakai nama palsu seperti engkau, Jenderal?"

   "Hemm, engkau sudah menduga sedemikian jauh sehingga tahu akan nama yang kupakai?"

   "Engkau seorang yang amat penting dan ternama tentu saja, maka akan bodohlah kalau engkau menggunakan nama sendiri selagi melakukan tugas mata-mata."

   "Kau memang cerdik luar biasa dan aku percaya padamu, Nona. Ketahuilah, aku memang utusan kaisar untuk menolong pasukan kami yang terkurung. Dan di sana aku memang menjadi jenderal. Biarpun nama yang kupakai palsu, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan namaku yang tulen, hanya di balik. Namaku adalah Cin Liong, Kao Cin Liong."

   Semenjak kecil Ci Sian sudah banyak bertemu orang pandai, akan tetapi belum pernah dia mendengar nama ini. Kalau dia tahu siapa pemuda ini, tentu dia akan terkejut setengah mati. Pemuda ini sesungguhnya bukan orang biasa, melainkan keturunan suami isteri pendekar yang pernah menggegerkan kolong langit de-ngan ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi. Para pembaca cerita SEPASANG RAJAWALI dan JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu dapat mengingat atau menduga siapa adanya pemuda she Kao ini. Kao Cin Liong ini adalah cucu Jenderal Kao Liang yang sangat terkenal, seorang jenderal yang gagah perkasa dan yang membiarkan dirirnya tewas terbakar demi setianya terhadap kerajaan dan demi menjaga nama baik keluarga Kao (baca KISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI).

   Ayah dari Kao Cin Liong bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, seorang pendekar yang memiliki kepandaian luar blasa dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti lawan disegani kawan. Ibunya yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi adalah saudara angkat dari Puteri Bhutan Syanti Dewi, dan juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Suami isteri ini tinggal di dalam Istana Gurun Pasir dan merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan yang disegani. Agaknya darah kakeknya mengalir dalam dari Cin Liong karena semenjak kecil, selain suka akan ilmu silat dan sastra, anak ini juga tertarik sekali akan sejarah para pahlawan.

   Apalagi riwayat kakeknya seperti yang dia dengar dari ayahnya amat menarik hatinya dan sejak kecil dia pun bercita-cita untuk menjadi seperti kakeknya, menjadl seorang pahlawan dan panglima di kerajaan! Melihat bakat dan semangat puteranya, setelah puteranya itu memperoleh pendidikan Ilmu silat yang cukup tinggi darinya, Kao Kok Cu dengan persetujuan isterinya lalu membawa Kao Cin Liong ke kota raja dan dengan perantaraan adiknya, yaitu Kao Kok Han yang telah menjadi seorang perwira tinggi, Cin Liong lalu memasuki ketentaraan. Karena kepandaian silatnya memang hebat sekali, dan kaisar amat kagum kepadanya, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah cucu mendiang Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa, maka dalam waktu pendek saja pemuda perkasa ini telah memperoleh kedudukan tinggi.
(Lanjut ke Jilid 15)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15
Apalagi ketika beberapa kali dia berhasil memimpin pasukan menindas pemberontakan-pemberontakan di sepanjang pantai Po-hai dan di utara, bahkan melakukan pembersihan terhadap para bajak laut, dia berjasa besar dan dalam usia yang masih amat muda dia sudah berpangkat jenderal! Tercapailah cita-citanya untuk hidup seperti mendiang kakeknya yang amat dikaguminya. Dan dalam melaksanakan tugasnya, pemuda ini memang hebat dan tegas, persis seperti kakeknya dahulu. Ketika Kaisar mendengar pelaporan bahwa pasukan Nepal mengganggu perbatasan Tibet dan memukul mundur pasukan Tibet yang melakukan penjagaan di tapal batas, bahkan telah menduduki Lhagat, dia lalu memerintahkan untuk menggempur pasukan Tibet yang telah menjadi daerah taklukan itu.

   Lima ribu orang pasukan dikirim ke barat, dipimpin oleh panglima yang amat gagah perkasa karena panglima ini bukan lain adalah Kao Kok Han. Akan tetapi, karena kelihaian panglima Nepal, pasukan ini terjebak dan terkurung di lembah bukit sehingga tidak mampu lagi untuk membobolkan kepungan. Mendengar ini, Kaisar menjadi marah dan hendak mengirim pasukan lebih besar. Akan tetapi Jenderal Muda Kao Cin Liong lalu menghadap Kaisar dan kepada panglima besar dia pun minta ijin untuk diperkenankan melakukan penyelidikan ke barat karena dia merasa yakin bahwa dengan bantuan orang-orang Tibet dia akan dapat menyelamatkan pasukan yang terkepung itu! Tentu saja dalam hal ini, Cin Liong bukan hanya ingin menyelamatkan pasukan itu, melainkan juga untuk menyelamatkan pamannya, yaitu Kao Kok Han pemimpin pasukan yang terkepung itu.

   Dia telah ditangisli oleh keluarga pamannya itu untuk menyelamatkan pamannya dan anak buahnya. Demikianlah, karena ingin melakukan penyelidikan secara bebas terhadap kedudukan panglima wanita yang lihai itu, maka Cin Liong dengan jalan menyelamatkan Siok Lan dan membiarkan dirinya ditangkap akhirnya dapat diterima sebagai sahabat puteri panglima itu dan memperoleh kebebasan di Lhagat sehingga dia dengan mudah dapat melakukan penyelidikan, apalagi karena dia disuruh tinggal di gedung panglima! Mendengarkan penuturan panglima muda itu, diam-diam Ci Sian menjadi kagum bukan main. Pemuda ini sungguh berani dan juga amat cerdik. Kalau saja dia sendiri tidak mengenal sinar mata mencorong itu, agaknya dia pun tidak nanti akan menduga bahwa pemuda itu adalah jenderal sakti yang datang utuk menolong pasukan yang terkepung itu!

   "Dan mengapa engkau begini percaya kepadaku, Ciangkun!".

   "Ah, Nona, harap engkau jangan me-nyebutku dengan sebutan ciangkun. Ingat, aku masih menyamar sebagai Liong Cin di sini, maka jangan kau merobah sebutanmu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Engkau tentu mau membantu kami, bukan?"

   Ci Sian tersenyum. Orang ini begitu percaya kepada diri sendiri!

   "Baiklah, Liong Cin.... aih betapa janggalnya menyebut nama palsu orang! Aku ingin sekali tahu mengapa engkau begini percaya kepadaku sehingga engkau telah membongkar rahasiamu kepadaku? Bukankah hal ini berbahaya sekali? Kalau aku membocorkan rahasiamu, bukan saja usahamu akan gagal, pasukan yang terkepung tidak akan dapat diselamatkan, dan engkau sendiri tentu akan tertimpa bencana."

   Cin Liong menggeleng kepala.

   "Aku yakin bahwa engkau tidak akan melakukan hal itu.

   "Bagaimana engkau dapat yakin?"

   Ci Sian mendesak.

   "Kita baru saja bertemu dan berkenalan, engkau tidak mengenalku, tidak mengenal watakku."

   "Nona, di dalam ilmu perang terdapat Ilmu mengenal watak orang dari wajahnya, dari sikap dan gerak-geriknya. Engkau berkepandaian silat tinggi dan wajahmu membayangkan kegagahan, bahwa engkau tidak mungkin berbuat hal-hal yang rendah dan jahat. Pula, aku dapat melihat dari sinar matanya bahwa panglima wanita itu menaruh curiga kepadamu, sungguhpun Nona Siok Lan percaya penuh kepadamu. Dari semua itu saja aku sudah tahu bahwa engkau bukanlah musuh dan dapat menjadi sekutuku."

   "Hemm, terus terang saja, aku tidak mau terlibat dalam perang dan permusuhan. Apalagi harus memusuhi Siok Lan yang begitu baik. Aku hanya ingin mencari Lauw-piauwsu."

   "Aku berjanji akan mencari piauwsu itu dan membawanya kepadamu asal engkau mau membantuku, Nona."

   "Membantu bagaimana?"

   "Menutupi rahasiaku."

   "Ah, kalau hanya begitu, tentu saja aku tidak keberatan."

   Tiba-tiba jenderal muda itu memegang lengan Ci Sian dan menariknya bersembunyi ke balik sebuah batu besar di tanah kuburan itu. Ci Sian hampir menjerit ngeri ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia telah ditarik dan mendekam di atas gundukan tanah kuburan! Akan tetapi melihat kesungguhan pemuda itu, dia pun memandang ke depan. Ternyata ada bayangan orang yang berjalan seenaknya ke arah mereka dan bayangan itu mengomel panjang pendek, kemudian setelah dekat, bayangan itu berkata,

   "Huh, tahu malu, berkencan di tanah kuburan! Berjanji simpan-simpan rahasia lagi! Persekutuan busuk, ha-ha.... sungguh persekutuan busuk!"

   Tentu saja Ci Sian terkejut bukan main. Akan tetapi Cin Liong sudah meloncat keluar dan tanpa banyak cakap dia sudah menyerang dengan totokan ke arah pundak orang itu.

   "Desss....!"

   Keduanya terdorong ke belakang dan tentu saja Cin Liong terkejut bukan main karena ternyata orang itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, atau setidaknya dapat mengimbangi tenaganya sendiri sehingga ketika orang itu menangkis, dia sampai terpental ke belakang. Sebaliknya orang itu yang juga terpental, lalu tertawa, membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tanah kuburan yang sunyi itu. Cin Liong yang merasa terkejut dan curiga, cepat melakukan pengejaran. Melihat itu, Ci Sian juga mengejar sekuatnya karena dua orang yang berkejaran itu ternyata dapat berlari secepat angin! Bayangan yang dikejar oleh Cin Liong itu berlari terus dan melompat dinding kota tanpa mempedulikan para penjaga yang banyak berkeliaran di tempat itu. Tentu saja Cin Liong tidak mau melepaskannya karena orang yang lihai itu amat mencurigakan, dan dia terus mengejar.

   Demikian pula Ci Sian melakukan pengejaran. Melihat berturut-turut ada tiga bayangan orang berkelebatan meloncati pagar tembok, para penjaga menjadi geger dan mencoba untuk melakukan pengejaran, namun mereka tertinggal jauh dan komandan jaga yang merasa khawatir cepat memberi laporan ke dalam. Sementara itu, bayangan yang dikejar-kejar itu seperti hendak mempermainkan Cin Liong dan Ci Sian yang terus melakukan pengejaran. Kadang-kadang dia tersusul dekat dan terdengar suaranya tertawa-tawa, akan tetapi kemudian tiba-tiba dia melesat jauh sekali dan meninggalkan para pengejarnya. Setelah tiba di sebuah bukit, bayangan itu mendaki naik, akan tetapi ketika tiba di lereng bukit, tiba-tiba dia memutar dan turun kembali, kini bahkan lari ke arah kota Lhagat!

   "Gila dia!"

   Cin Liong memaki dalam hatinya dan terus mengejar. Karena bulan sepotong sudah turun ke barat, maka malam yang menjadi gelap itu menyulitkan dia untuk dapat menyusul orang itu, sedangkan Ci Sian sudah mandi keringat karena lelah. Mereka berkejaran sampai setengah malam, dipermainkan oleh bayangan itu dan akhirnya, ketika malam terganti pagi dan cuaca tidak gelap lagi, orang itu berhenti berlari, bahkan kini berhenti di tengah jalan menanti para pengejarnya sambil bertolak pinggang dan tertawa-tawa.

   Akan tetapi wajahnya yang penuh ditumbuhi jenggot itu juga mengkilap basah oleh peluh, tanda bahwa main berlari-larian itu membuatnya lelah juga! Cin Liong sudah berhadapan dengan orang itu ketika Ci Sian datang terengah-engah dan kedua kakinya terasa lelah dan lemas. Mereka berdua menatap orang yang mempermainkan mereka itu dan diam-diam. Ci Sian terkejut. Untuk ketiga kalinya dia bertemu dengan orang yang matanya mencorong. Pertama adalah mata Kam Hong, ke dua mata Kao Cin Liong dan ke tiga adalah mata orang ini! Dan begitu melihat wajah yang menyeramkan itu, dan melihat bibir yang tersenyum menyeringai di balik jenggot dan kumis yang awut-awutan, tiba-tiba Ci Sian teringat. Dia pernah bertemu dengan orang ini! Akan tetapi dia telah lupa lagi di mana.

   "Siapakah engkau?"

   Dengan suara penuh wibawa. Cin Liong bertanya sambil menatap tajam. Orang itu berusia tiga puluh tahun lebih, hampir empat puluh tahun agaknya, tubuhnya sedang dan tegap, akan tetapi pakaiannya seperti pakaian pengemis, rambutnya, jenggot dan kumisnya tak terpelihara, awut-awutan, padahal dalam keadaan seperti itupun masih nampak bahwa orang ini memiliki wajah yang gagah dan tampan, terutama sekali sepasang matanya yang tajam dan memancarkan cahaya aneh, akan tetapi kadang-kadang sinar mata itu menjadi suram dan seperti lampu hampir padam diliputi kedukaan. Mendengar pertanyaan itu, orang berpakaian jembel ini tertawa dan ketika dia tertawa, nampak deretan giginya yang kuat dan putih, sungguh berbeda dengan keadaan rambut dan pakaiannya.

   "Ha-ha-ha, siapa aku, siapa engkau? Siapa jenderal yang menjadi mata-mata? Siapa yang masih muda menjadi seorang perwira tinggi, mengejar kedudukan? Haha-ha!"

   Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Begitu berjumpa dia dimaki orang, orang jembel dam gila lagi, dimaki sebagai pengejar kedudukan!

   "Siapa engkau? Kalau engkau tidak mau mengaku, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan menyerangmu!"

   Bentaknya mengancam.

   "Kau? Menyerang aku? Ha-ha, anak kecil berhati besar. Hayo sekarang majulah, seranglah, siapa takut padamu? Ha ha!"

   Ditantang seperti ini, tentu saja Cin Liong menjadi marah. Akan tetapi dia dapat menguasai hatinya, karena maklum bahwa kemarahan bukanlah cara untuk mengatasi keadaan. Dia menatap tajam, kemudian berkata,

   "Aku akan menyerangmu karena engkau mungkin membahayakan usahaku."

   "Ha-ha, anak kecil, kau majulah!"

   Cin Liong lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menyerang dengan pukulan cepat dan kuat sekali ke arah lawan. Orang jembel itu tertawa dan cepat dia mengelak.

   Gerakannya aneh dan cepat sekali, juga ketika dia membalas dengan tamparan tangan kirinya, gerakannya memang hebat. Cin Liong terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Dia menduga bahwa agaknya orang ini yang menyamar seperti orang gila tentu utusan dari panglima musuh! Maka dia pun lalu menangkis dan menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan tenaganya sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa yang mengeluarkan suara bercuitan. Lawannya berseru kagum dan juga bergerak cepat, jari-jari tangannya terbuka dan ketika tangannya bergerak, jari tangannya meluncur seperti pedang dan mengeluarkan suara bercuitan pula! Setelah saling serang dan saling megelak sampai beberapa belas kali, tiba-tiba mereka harus mengadu lengan dan mereka saling mengerahkan tenaga.

   "Dukkk!"

   Untuk ke sekian kalinya dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan keduanya terpental ke belakang!

   "Ha-ha-ha, heh-heh-heh, kau hebat juga....!"

   Pengemis aneh itu tertawa lagi dan kini wajahnya berseri, nampak gembira dan dalam keadaan seperti itu dia tidak kelihatan tua benar sehingga usianya tentu tidak lebih banyak dari empat puluh tahun. Dan melihat wajah yang tertawa, mata yang berseri-seri itu, tiba-tiba Ci Sian teringat di mana dia pernah bertemu dengan jembel ini. Dahulu, di waktu dia melakukan perjalanan dengan rombongan Lauw-piauwsu! Pengemis yang mencengkeram golok sampai rompal di dalam guha itu!

   "Benar dialah itu!"

   Tiba-tiba dia berseru dan dua orang yang sedang berhadapan itu menengok dengan heran dan kaget. Ci Sian menghampiri pengemis itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis itu.

   "Benar dia! Inilah jembel yang menolak roti dan mencengkeram golok anak buah Lauw-piauwsu itu!"

   Jembel itu tertawa dan kini dia menubruk lagi kepada Cin Liong yang cepat mengelak dan berseru,

   "Ci Sian, kau mundurlah!"

   Karena dia tahu betapa lihainya jembel itu dan amatlah berbahaya bagi Ci Sian kalau sampal diserang oleh orang itu. Akan tetapi dia terlalu memandang rendah Ci Sian. Setelah menjadi murid See-thian Coa-ong, dara ini telah memiliki kepandaian yang tinggi, maka tentu saja tidak menjadi gentar dan kini dia malah ikut maju dan menyerang, begitu tangan kanannya bergerak, seekor ular belang kuning hitam telah menyambar ke arah leher jembel itu.

   "Ular! Ular....!"

   Teriak Si Jembel dan dia mencoba untuk mencengkeram ular itu dengan tangannya.

   Namun ular itu dapat mengelak dan dengan pergelangan tangannya, Ci Sian membuat ular itu membalik dan menggigit ke arah lengan Si Jembel. Akan tetapi jembel itu memang lihai sekali dan dia dapat mengelak sambil meloncat ke kanan dan kini kedua tangannya menyambar-nyambar, dengan jari-jari tangan terbuka menotok dan menampar ke arah Cin Liong dan Ci Sian secara hebat sekali. Kembali Cin Liong terkejut. Pertama dia kagum menyaksikan kehebatan Ci Sian, kedua kalinya dia terkejut karena benar-benar jembel itu amat lihai. Betapapun juga, dia masih mengkhawatirkan keselamatan Ci Sian, dan dia pun merasa malu kalau harus mengeroyok seorang jembel sinting, padahal dia adalah seorang jenderal muda yang terkenal me-miliki kepandaian tinggi. Ayah bundanya tentu akan marah kalau mendengar bahwa dia mengeroyok seorang jembel sinting.

   "Ci Sian, aku belum kalah, biarkan aku menghadapinya. Tidak perlu kita mengeroyok!"

   Katanya.

   "Ha-ha-ha, he-heh! Keroyokan juga boleh! Kau tambah lagi dengan barisan mata-matamu, orang muda, heh-heh!"

   Tadinya Ci Sian, tidak mau menurut perintah Cin Liong, akan tetapi mendengar ucapan jembel itu, dia merasa malu sendiri. Seorang jembel cacat pikirannya, orang sinting begini mana pantas dikeroyok dua? Maka dia pun meloncat mundur dan hanya menonton dan diam-diam dia menjadi kagum. Dia harus mengakui bahwa pemuda itu hebat sekali ilmu silatnya, akan tetapi jembel itu pun lihai dan aneh gerakan-gerakannya. Tiba-tiba jembel itu merebahkan diri ke atas tanah dan dengan menolak tanah menggunakan kedua tangan, kakinya meluncur dengan serangan aneh ke arah tubuh lawan. Hebatnya, dari kedua kakinya itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main!

   Cin Liong mengelak, akan tetapi masih terhuyung, dan saat itu dipergunakan oleh lawannya untuk berjungkir balik dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka sudah menghujankan tamparan bertubi-tubi. Melihat ini, Cin Liong yang agak terdesak mudur itu tiba-tiba mengeluarkan lengking nyaring dan dia merobah ilmu silatnya, kedua lengannya kadang-kadang membentuk cakar naga dan tubuhnya menggeliat-geliat seperti seekor naga. Itulah Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti) dan begitu dia mainkan ilmu ini, Si Jembel itu berseru kaget dan terdesak hebat. Begitu Jembel itu mundur, Cin Liong terus mendesak dan biarpun jembel itu masih berusaha mempertahankan diri, namun serangan-serangan Cin Liong terlampau hebat membuat dia kewalahan dan tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang.

   "Aih, putera Ceng Ceng sungguh kurang ajar sekali, berani melawan orang tua!"

   Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Cin Liong berhenti bergerak dan memandang dengan mata terbelalak kepada jembel itu. Dan anehnya, jembel itu yang tadinya tertawa-tawa, kini mulai menangis!

   "Ceng Ceng.... Ceng Ceng.... kau memiliki putera yang lihai.... kau bahagia.... sungguh membuat aku mengiri padamu.... hu-hu-huuhh....!"

   Jembel itu menangis sesenggukan seperti anak kecil. Cin Liong dan Ci Sian memandang dengan penuh keheranan dan juga mulai merasa kasihan kepada orang lihai yang sinting itu. Akan tetapi kalau Ci Sian hanya terheran-heran, sebaliknya Cin Liong terkejut sekali mendengar ucapan dalam tangis Si Jembel itu. Wajahnya yang tampan itu berobah dan dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju dan bertanya dengan suara meragu.

   "Apakah Paman.... eh.... Si Jari Maut....?"

   Mendengar pertanyaan ini, jembel sinting itu menghentikan tangisnya, mengangkat muka memandang Cin Liong dan seketika tangisnya terganti senyum ramah

   "Eh, engkau.... engkau sudah mengenalku....?"

   Cin Liong merasa terharu bukan main. Kiranya jembel sinting itu adalah pendekar yang terkenal itu, saudara seayah lain ibu dengan ibunya sendiri, jadi masih terhitung pamannya sendiri! Jembel sinting ini adalah Wan Tek Hoat, saudara seayah lain Ibu dari ibunya yang bernama Wan Ceng dan menurut penuturan ibunya Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar besar yang tampan dan gagah, dan bahkan telah diambil mantu oleh Raja Bhutan, juga diangkat menjadi seorang panglima di Kerajaan Bhutan! Akan tetapi mengapa kini pendekar itu menjadi seperti ini, seorang jembel yang sinting?

   "Maafkan saya, Paman Wan Tek Hoat.... karena saya tidak mengenal Paman, maka saya telah bertindak kurang ajar. Akan tetapi Paman.... ah, mengapa keadaan Paman menjadi seperti ini....?"

   Cin Liong berkata sambil menjura dengan sikap hormat, hal yang membuat Ci Sian menjadi bengong terheran-heran. Orang seperti jembel yang sinting itu memang Wan Tek Hoat. Karena himpitan kecewa dan duka karena asmara gagal,

   Pendekar ini akhirnya menjadi seperti orang sinting, suka tertawa dan menangis, dan hidup tidak mempedulikan apa pun, bahkan tidak peduli akan keadaan dirinya yang sepertl jembel itu! Kadang-kadang, kalau dia lagi sendirian di tempat sunyi, teringatlah dia akan semua kebahagiaan yang dinikmatinya, ketika dia berada di samping kekasihnya. Puteri Syanti Dewi, teringatlah dia akan cinta kasih puteri itu kepadanya yang teramat besar, lalu teringat pula dia akan semua penyelewengannya, akan semua perbuatannya yang menyakiti hati Sang Puteri, maka timbullah penyesalan yang amat hebat, yang menghentak-hentak di hatinya, yang menghimpit hatinya dan mendatangkan kedukaan dan kekecewaan serta penyesalan yang hampir tidak kuat ditahannya dan yang membuat dia beberapa kali hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri saja!

   Hidup ini rasanya seperti dalam neraka baginya! Bertahun-tahun dia menderita, rasa rindu yang menggerogoti kalbu, penyesalan diri yang amat mendalam, kemudian rasa khawatir bahwa kekasihnya itu mungkin kini telah melupakannya, bahkan mungkin sekali kini telah menjadi isteri orang. Semua ini membuat keadaan batin pendekar ini makin lama makin lemah dan tertekan. Sepintas lalu kita akan merasa kasihan kepada pendekar ini. Namun kita lupa bahwa betapa kita sendiri pun hampir setiap hari menghadapi hal-hal yang sama atau tidak jauh selisihnya dengan keadaan Tek Hoat. Hidup di dunia ini begini penuh kesengsaraan, begini penuh konflik dan duka nestapa, hanya kadang-kadang, saja kita dapat menikmati kebahagiaan selintas seperti cahaya kilat diantara awan mendung yang memenuhi angkasa kehidupan.

   Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, di seluruh dunia ini penuh dengan konflik, kebencian, dendam, permusuhan yang tak kunjung habis, bahkan yang kadang-kadang meletus dalam perang yang menewaskan ratusan ribu orang manusia! Bunuh-membunuh, dendam-mendendam yang terjadi di dalam dunia kita ini, dalam jaman modern dan "maju"

   Ini, ternyata jauh lebih hebat dan mengerikan daripada yang terjadi dalam cerita silat mana pun! Di dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita semakin menjauhi Ketuhanan dan Perikemanusiaan! Ketuhanan dan Perikemanusiaan hanya menjadi hiasan bibir belaka bagi kita, hanya kita dengang-dengungkan sebagai slogan-slogan kosong! Kenyataan pahit ini harus kita hadapi dengan mata dan telinga terbuka, dan untuk menyelidiki kebenarannya, kita harus membuka mata mengamati diri kita sendiri masing-masing! Benarkah kita ini ber Tuhan?

   Benarkah kita ini berperikemanusiaan? Tak perlulah untuk menilai orang lain apakah dia atau mereka itu berTuhan atau berperikemanusiaan, karena penilaian kepada orang lain itulah yang membuat kita menjadi palsu, yang membuat kita mempergunakan pengertian ber-Tuhan dan berperikemanusiaan itu untuk menyalahkan dan menyerang orang lain! Akan tetapi marilah kita mengamati diri kita sendiri masing-masing! Kita semua mengaku beriman, kita semua mengaku ber-Tuhan, akan tetapi mari kita singkirkan semua pengakuan yang tidak ada arti dan gunanya ini, melainkan kita mengamati batin sendiri apakah benarbenar kita ber-Tuhan! Kalau kita benar-benar ber-Tuhan, sudah tentu setiap saat kita waspada, setiap saat kita sadar bahwa Tuhan mengamati semua perbuatan kita, mendengarkan semua suara hati dan mulut kita!

   Sebaliknya, kalau kita ber-Tuhan hanya di mulut belaka, maka terjadilah seperti yang sekarang ini terjadi di dunia, di antara kita semua, yaitu bahwa dalam keadaan menderita saja kita ingat kepada Tuhan, sedangkan waktu selebihnya kita lupakan begitu saja, lupakan dengan sengaja karena kita haus akan kesenangan dan Tuhan kita anggap sebagai penghalang kesenangan! Dapatkah kita hidup ber-Tuhan bukan dengan kata-kata kosong, pengakuan mulut, melainkan dengan sepenuhnya, secara mendalam, mendarah daging dan nampak dalam setiap gerakan, ya, bahkan setiap tarikan napas kita? Dapatkah? Yang menjawab hanya bukti pada diri kita sendiri, karena semua jawaban teori hanya kosong melompong tanpa arti. Penghayatan dalam kehidupan setiap saatlah yang menentukan segalanya. Kita selalu ingin disebut sebagai orang yang berperikemanusiaan!

   Betapa menggelikan dan juga menyedihkan! Seolah-olah perikemanusiaan hanya semacam cap atau semacam hiasan belaka! Pernahkah kita meneliti mengamati diri sendiri lahir batin apakah kita ini berperikemanusiaan ataukah tidak! Adakah api "kasih"

   Bernyala dalam batin kita? Tidak ada! Api itu padam sudah! Yang ada hanya abu dan asapnya saja yang membutakan mata. Yang ada hanyalah pengejaran uang, kedudukan, dan pengejaran kesenangan jelas meniadakan cinta kasih! Pengejaran kesenangan memupuk dan membesarkan si aku yang ingin senang, dan makin besar adanya si aku, makin jauhlah sinar cinta kasih dari batin. Dan semua itu, yang nampak demikian gemilang dan menyilaukan, yang nampak demikian menye-nangkan, sesungguhnya hanyalah lorong lebar menuju kepada kesengsaraan hidup.

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang, kita boleh tersenyum mengejek dengan sinis, boleh saja. Kita semua seperti dalam keadaan buta selagi mengejar-ngejar kesenangan yang kita namakan dengan istilah-istilah muluk seperti kemajuan dan sebagainya. Kapankah kita akan sadar bahwa hidup tanpa cinta kasih tidak mungkin membuat kita hidup ber-Tuhan dan berperikemanusiaan? Ber-Tuhan berarti hidup penuh sinar cinta kasih! Berperikemanusiaan berarti penuh cinta kasih! Dunia penuh konflik, penuh kebencian, penuh pertentangan dan permusuhan, penuh pemberontakan dan peperangan, namun kita masih selalu bicara tentang damai tentang perikemanusiaan dan sebagainya! Sama dengan membicarakan tentang bunga dan buah selagi pohonnya sakit dan rontok. Mendengar pertanyaan Cin Liong, Wan Tek Hoat sejenak bengong, lalu dia menjawab dengan heran,

   "Aku mengapa? Keadaanku mengapa?"

   Cin Liong tidak berani menyinggung lagi keadaan pamannya itu. Dia tahu bahwa orang sakti seperti pamannya ini kadang-kadang memang memiliki watak yang aneh, dan siapa tahu bahwa pakaian jembel itu, sikap sinting itu, adalah sesuatu yang disengaja karena memang banyak orang-orang sakti di dunia kangouw yang bersikap aneh-aneh.

   "Paman, setelah Paman mengetahui tugas saya berada di sini, mengingat beratnya tugas itu dan betapa pasukan kita terkepung dan terancam bahaya, saya mohon bantuan dan petunjuk Paman,"

   Pemuda yang cerdik ini merobah bahan percakapan dan langsung saja dia mengeluarkan isi hatinya.

   "Kao Cin Liong, begitu namamu, bukan? Sudah lama aku mengamati gerak-gerikmu dan engkau memang hebat sekali. Apa lagi yang dapat kubantu? Kulihat banyak orang pandai telah membantumu, bahkan Nona muda ini pun merupakan seorang pembantu yang hebat."

   Cin Liong lalu mengajak mereka bertiga untuk duduk di bawah sebatang pohon di tempat sunyi itu dan dia lalu menceritakan apa yang telah dilakukannya sebagai siasat untuk menyelamatkan pasukannya yang terkepung musuh. Kiranya jenderal muda ini memang amat cerdik dan lihai sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia telah berhasil menyusup ke atas bukit di mana pasukan itu dikurung dan selama beberapa hari dia mempelajari keadaan bukit itu bersama pamannya, yaitu Panglima Kao Kok Han.

   Ketika dia melihat anak sungai yang mengalir menuruni lembah, dia lalu mencari sumbernya dan begitu bertemu dengan sumber air, dia lalu memerintahkan pasukan utuk membuat bendungan besar untuk menampung air sebanyak-banyaknya di tempat yang tinggi. Pasukan menggali waduk besar dan membendung air dari sumber itu. Melihat besarnya air yang keluar dari sumber, Cin Liong sudah memperhitungkan berapa lama dia harus menampung air itu untuk dapat dipakai melaksanakan siasatnya. Kemudian diam-diam dia lalu mengatur pasukan Tibet, dipilihnya pasukan-pasukan yang gagah berani dan kuat, kemudian sebagian besar dari pasukan itu diselundupkannya ke Lhagat dan sekitarnya, ada pula yang bersama dia menyamar sebagai pemburu-pemburu, sebagai pedagang-pedagang atau pencari-pencari ikan.

   "Kita masih harus menunggu tiga hari lagi, Paman. Tiga hari lagi air waduk itu akan cukup banyak untuk dipergunakan. Sementara itu, aku harus tetap berada di Lhagat untuk memimpin pasukan gerilya kalau saatnya tiba. Akan tetapi, ternyata panglima wanita itu lihai sekali dan kalau aku tidak hati-hati, tentu dia dapat mengetahui rahasiaku."

   Wan Tek Hoat mengangguk-angguk. Dalam menghadapi percakapan serius itu.

   "gilanya"

   Tidak kumat dan dia dapat mempergunakan pikirannya dengan baik.

   "Jangan khawatir, aku mendapatkan jalan untuk membantumu agar engkau tidak dicurigai lagi."

   Ketika Cin Liong menanyakan "jalan"

   Itu, Tek Hoat tidak mau menerangkan, melainkan menyuruh dua orang muda itu cepat kembali ke Lhagat. Akan tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara orang dan Tek Hoat sudah menerjang Cin Liong dengan pukulan-pukulan dahsyat sambil berbisik.

   "Cepat lawan aku!"

   Cin Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biarpun terkejut, dia sudah dapat mengetahui siasat pamannya itu, maka dia pun cepat menangkis dan balas menyerang. Ci Sian juga seorang dara yang cerdik, akan tetapi sejenak dia bengong karena tidak tahu mengapa jembel sinting yang ternyata masih paman dari jenderal muda itu, tiba-tiba malah menyerang pemuda itu. Akan tetapi ketika dia mendengar derap kaki banyak kuda, mengertilah dia dan dia pun segera membantu Cin Liong menyerang jembel sinting itu! Terkejutlah tiga orang yang sedang bertempur ini ketika melihat bahwa pasukan yang datang itu adalah pasukan Nepal yang dipimpin sendiri oleh panglima wanita, Puteri Nandini yang ditemani oleh Siok Lam

   "Kalian harus roboh...."

   Bisik Wan Tek Hoat dengan cepat dan lirih, hanya terdengar oleh dua orang muda itu, dan dia pun cepat melakukan serangan dahsyat kepada dua orang muda itu. Cin Liong dan Ci Sian menangkis, akan tetapi mereka berteriak kaget dan terlempar, terpelanting dan roboh. Melihat ini, Puteri Nandini dan Siok Lan membalapkan kuda mereka dan berloncatan sambil mencabut senjata dan menyerang Wan Tek Hoat. Akan tetapi jembel sinting ini mengelak dari sambaran pedang panglima wanita itu, kemudian dengan jari tangan terbuka dia menghantam pedang di tangan Siok Lan dari samping.

   Dara ini menjerit kaget karena pedangnya menjadi patah-patah ketika bertemu dengan jari-jari tangan itu! Puteri Nandini juga terkejut dan cepat dia menerjang sambil memberi aba-aba agar pasukannya bergerak. Wan Tek Hoat tertawa bergelak melihat pasukan maju hendak mengeroyoknya itu. Dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di atas tanah, terus melompat jauh sambil tertawa terus. Puteri Nandini mencoba untuk mengejar, namun jembel sinting itu telah lenyap di balik pohon-pohon dan dia hanya dapat memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Sementara itu, Siok Lan sudah cepat lari menghampiri Ci Sian dan Cin Liong. Akan tetapi pertama-tama dara ini ber-lutut di dekat pemuda itu dan bertanya dengan nada suara khawatir,

   "Kau terluka....?"

   Cin Liong bangkit dan mengeluh lirih. Pangkal lengan kirinya terluka, baju di bagian itu robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Hanya luka kecil saja. Juga Ci Sian menderita luka kecil pada pundaknya, berdarah sedikit.

   "Tidak berapa parah, Nona. Penjahat itu lihai luar biasa.... kami berdua tidak mampu menangkap-nya...."

   "Hemm, kurasa dia itulah mata-mata yang pernah mencuri dalam gedung, Enci Lan! Tentu dia itulah yang dikabarkan orang jenderal dari kota raja Ceng itu!"

   Ci Sian menyambung dengan bersungut-sungut.

   Panglima wanita itu cepat memeriksa luka mereka dan mengobatinya, kemudian mengajak mereka bicara. Dia menanyakan bagaimana keduanya dapat berada di tempat ini dan bertanding dengan jembel yang lihai itu. Ci Sian dan Ci Liong lalu saling bantu, menceritakan betapa malam tadi mereka berdua melihat bayangan berkelebat di gedung. Karena tidak ingin menggegerkan gedung dan pula karena percaya kepada diri sendiri bahwa mereka berdua akan mampu menangkap penjahat itu, keduanya lalu mengejar. Akan tetapi ternyata penjahat itu lihai dan mempermainkan mereka, melarikan diri keluar dari kota sampai ke tempat ini, bahkan berlari-larian dan berkejaran sampai pagi, baru penjahat itu menanti mereka dan terjadi perkelahian yang merugikan mereka berdua. Cin Liong menarik napas panjang mengakhiri ceritanya.

   "Li-ciangkun, harap suka berhati-hati. Mata-mata itu sungguh amat lihai. Saya dan Nona Ci Sian sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa terhadapnya dan kalau dia menghendaki, agaknya kami berdua sudah tewas sewaktu kami melawannya tadi. Masih untung bahwa kami hanya menderita luka yang tidak parah."

   "Biarpun dia lihai seperti setan, kalau lain kali bertemu dengan dia, aku akan menantangnya untuk berkelahi sampai seribu jurus!"

   Ci Sian berseru dan kelihatan amat penasaran.

   "Akan tetapi, bagaimana bisa begitu kebetulan bahwa hanya kalian berdua saja yang melihat mata-mata itu pada saat yang sama?"

   Tiba-tiba Siok Lan bertanya dan dari sikap dan suaranya jelas dapat ditangkap bahwa dara ini merasa cemburu!

   "Enci Lan, Engkau menyangka apa?"

   Ci Sian membentak dengan wajar, sesuai dengan wataknya yang memang keras dan sikapnya ini banyak menolong dia dan Cin Liong dari pengamatan dua pasang mata yang memandang tajam dari Siok Lan dan ibunya.

   "Seperti biasa, malam itu karena gerah aku keluar dari kamar dan aku memang selalu waspada untuk mem-bantumu mengamat-amati gedung kalau-kalau ada tamu tak diundang menyelundup. Dan tiba-tiba aku melihat bayangan penjahat itu, dibayangi oleh Liong Cin. Dia memberi isyarat kepadaku bahwa dia mengejar orang di depan, maka aku pun ikut mengejar. Kami membantumu untuk mengejar mata-mata dan kini engkau hendak mencurigai kami?"

   "Memang benar demikian, Nona Siok Lan. Malam itu mendengar orang di luar jendela kamarku. Aku mengintai dari jendela dan melihat bayangan orang itu longak-longok seperti maling. Aku se-ngaja tidak menegur, melainkan diam-diam aku membayanginya, maka ketika dia lari keluar dari gedung dan aku mengejarnya. Nona Ci Sian melihat kami dan ikut mengejar." "Biarlah aku pergi saja dari Lhagat kalau sudah tidak kau percaya lagi, Enci Lan!"

   Siok Lan memegang lengan Ci Slan.

   "Maaf, Adik Sian. Bukan kami tidak percaya kepadamu atau kepada Saudara Liong Cin, melainkan.... eh, kami harus hati-hati dalam keadaan seperti ini...."

   "Sudahlah, kami sungguh berterima kasih kepada kalian berdua, sungguhpun amat sayang bahwa mata-mata itu dapat meloloskan diri."

   "Lain kali, kalau kalian melihat hal-hal yang mencurigakan, harap suka berteriak memberitahu agar kami semua dapat serentak bergerak menangkapnya."

   Puteri Nandini juga berkata, akan tetapi dari sikap panglima ini dan puterinya,

   Mereka berdua agaknya sudah tidak curiga lagi dan tentu saja hal ini membuat Ci Sian dan Cin Liong merasa lega. Akan tetapi, di samping kelegaan hati itu, ada sesuatu perasaan amat tidak enak dalam hati Ci Sian. Semenjak peristiwa itu, kalau kini dia melihat Cin Liong bersama Siok Lan berdua sedang berjalan-jalan atau bercakap-cakap, melihat betapa mesranya sikap Siok Lan, kepada pemuda itu, diam-diam dia merasa tidak senang! Kadang-kadang dia melawan perasaannya sendiri ini. Apakah dia cemburu? Ihh, mana mungkin? Perasaan ini timbul ketika dia merasa betapa Siok Lan cemburu terhadapnya. Dia amat sayang kepada Siok Lan dan merasa bahwa di samping semua keadaan mereka yang berlawanan, namun terdapat perasaan suka dan sayang antara mereka, perasaan suka antara dua orang sahabat yang cocok.

   Akan tetapi setelah kini dia merasa yakin bahwa Siok Lan jatuh cinta kepada pemuda itu. Dialah yang kini merasa tidak senang atau setidaknya ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Tentu saja dia mengambil sikap tidak peduli dan selalu dia menekankan di dalam hatinya bahwa sikap manis Cin Liong kepada Siok Lan itu merupakan "alasan"

   Dari jenderal muda itu untuk menjauhkan kecurigaan dan untuk menyembunyikan diri, tentu saja. Tiga hari semenjak terjadinya, peristiwa itu. Pagi hari itu Siok Lan mendekati Cin Liong dan mengajak pemuda ini berjalan-jalan ke atas sebuah bukit kecil di tepi kota Lhagat. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, berjalan berdampingan dan Siok Lan yang beberapa kali menengok dan memandang wajah pemuda itu bertanya,

   "Liong-ko (Kakak Liong), mengapa kau kelihatan termenung saja sejak tadi?"

   Cin Liong terkejut akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Dia bukan hanya terkejut karena teguran yang membuktikan ketajaman mata dara ini, akan tetapi juga terkejut mendengar sebutan Liong-ko. Hanya jarang sekali dara ini menyebutnya koko, biasanya hanya menyebut namanya saja, terutama kalau berada di depan ibu dara ini atau di depan Ci Sian.

   "Ah, tidak apa-apa, Nona."

   Mereka berjalan terus melalui tempat penjagaan dan tidak mempedulikan pandangan para perajurit Nepal yang menyeringai. Mereka berdua asyik bercakap-cakap dan agaknya sudah bukan rahasia lagi betapa akrabnya hubungan antara puteri panglima itu dengan pemuda "pemburu"

   Itu.

   Mereka kini tiba di puncak bukit kecil itu dan mereka duduk berdampingan di atas rumput hijau, memandang ke arah utara di mana nampak bukit yang dikepung tentara Nepal, bukit di mana terdapat lembah di mana tentara Ceng sedang dikepung, sudah hampir sebulan mereka dikepung tak berdaya di tempat itu! Melihat bukit ini, tak terasa lagi jantung Cin Liong berdebar keras sekali, penuh ketegangan. Malam nanti saat itu tiba, seperti telah diaturnya dengan matang. Dia telah menghubungi semua pembantunya dan semua pembantu itu tentu telah bersiap-siap melaksanakan semua perintah dan siasatnya sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Dia sendiri perlu berada di Lhagat, selain untuk mengamati gerakan panglima musuh, juga untuk membantu lancarnya penyerbuan ke Lhagat setelah pasukannya berhasil lolos darl kepungan malam nanti.

   Dan dia yakin pasukannya akan berhasil. Semua telah diperhitungkannya masak-masak. Dia dapat mem-bayangkan apa yang akan terjadi kalau bendungan di atas itu dibobol dan air yang dipergunakan sebagai pasukan pelopor untuk menghantam dan menjebol kepungan musuh. Dan pada saat yang sama, pasukan-pasukan Tibet yang sudah dipersiapkannya akan bergerak pula menghantam dari arah lain untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan pada saat air menipis, pasukan yang terkepung akan meloloskan diri, turun dari bukit, keluar dari lembah melalui jalan yang telah dibikin rata dan aman oleh air bah itu! Dan dengan kekuatan disatukan dengan pasukan-pasukan Tibet, pasukannya akan menggempur Lhagat! Untuk semua itu, dia juga mengharapkan bantuan orang-orang pandai yang telah diam-diam diselundupkan ke Lhagat dan sekitarnya!

   "Liong-koko...."

   Cin Liong terkejut dan sadar dari lamunannya, dengan enggan dia menarik kembali pandang matanya yang sejak tadi ditujukan ke arah bukit itu dan dia menoleh kepada dara yang duduk di sampingnya. Dia melihat betapa sepasang mata yang jeli itu menatapnya dengan sayu,

   Sepasang mata yang nampaknya seperti setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk, akan tetapi ada sinar aneh dari sepasang mata di balik bulu-bulu mata yang lentik itu. Siok Lan memang cantik sekali, kecantikan yang manis dan aneh seperti biasa terdapat pada kecantikan dara-dara yang berdarah campuran. Siok Lan adalah seorang dara berdarah peranakan Han dan Nepal dan agaknya dara ini menerima kurnia yang luar biasa dari alam, dia agaknya telah mewarisi segi-segi baiknya saja dari ayah bundanya yang berbeda bangsa itu. Kulitnya putih kuning halus seperti kulit wanita bangsa ayahnya, demikian pada kehitaman dan kelebatan rambutnya, ramping dan se-mampainya bentuk tubuhnya. Dan dia memiliki sepasang mata yang lebar dan indah dengan bulu mata lentik, hidung yang agak mancung dan dagu meruncing seperti kemanisan wajah Ibunya.

   Cin Liong adalah seorang pemuda yang sejak kecil mengejar ilmu kepandaian dan belum pernah dia melibatkan diri dengan hubungan antara pria dan wanita. Hubungannya dengan Siok Lan hanya merupakan hubungan yang berdasarkan siasat perangnya belaka, maka selama ini dia menganggap dara ini sebagai puteri dari panglima pasukan musuhnya, sungguhpun secara pribadi dia mengagumi dara ini, juga Ibunya yang dianggapnya seorang panglima yang pandai dan dara ini me-miliki watak yang amat baik. Kini, dalam keadaan santai, duduk berdua di tempat sunyi itu, mendengar suara Siok Lan memanggilnya, kemudian setelah menoleh bertemu pandang mata yang demikian indah dan penuh getaran perasaan memandangnya, jantung Cin Liong terasa berdebar aneh.

   Baru sekarang selama dia hidup dia merasakan suatu getaran aneh dalam hatinya, dan wajah dara itu seolah-olah baru sekarang dilihatnya, baru sekarang dia menemukan keindahan dan kecantikan luar biasa pada mata dan bibir itu! Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang, bertaut seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka terpesona dan seolah-olah pandang mata saling melekat tak dapat dipisahkan lagi. Akan tetapi akhirnya Cin Liong dapat menguasai debaran jantungnya dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia bertanya lirih.

   "Ada apakah, Nona?"

   Siok Lan juga baru sadar bahwa sejak tadi dia seperti terayun dalam alam mimpi, dan dia menjadi malu sekali, cepat dia menunduk dan mukanya men-jadi lebih merah daripada muka pemuda itu.

   "Liong-ko, sejak tadi kulihat engkau melamun saja, seperti orang yang berduka, atau seperti orang yang khawatir. Ada apakah?"

   Cin Liong tersenyum.

   "Tidak apa-apa, Nona."

   Dara itu mengangkat muka memandang dan kini sepasang matanya tidak sayu lagi seperti tadi, melainkan bersinar tajam penuh selidik.

   "Sejak kita datang ke tempat ini, engkau duduk melamun dan memandang ke arah bukit di sana itu, Liong-ko. Aku dapat merasakan bagaimana kedukaan dan kekhawatiran menekan hatimu melihat pasukan kerajaan itu terkepung di sana sudah sebulan...."

   "Ah, tidak....!"

   Cin Liong cepat membantah dan diam-diam dia terkejut sekali. Apakah dara ini mengetahui pula rahasianya? Kalau begitu, amat berbahaya dan dia harus cepat turun tangan. Terbongkarnya rahasianya akan berbahaya sekali, dapat menggagalkan siasatnya yang akan dilaksanakan malam nanti. Akan tetapi dara itu nampak tenang saja, bahkan tersenyum pahit.

   "Aku mengerti, Liong-ko. Engkau adalah seorang bangsa Han, dan tentu saja tidak senang melihat pasukan bangsamu terkepung dan menghadapi kehancuran...."

   Karena masih meragu, Cin Liong belum turun tangan, dan dia memancing,

   "Engkau tahu bahwa aku hanyalah seorang pemburu Nona, aku tidak mencampuri urusan perang...."

   "Aku mengerti, Liong-ko, akan tetapi aku pun dapat menduga betapa hatimu duka dan khawatir oleh akibat perang yang mengancam pasukan bangsamu. Aku sendiri pun benci perang! Aneh kedengarannya. Ibu seorang panglima perang, tapi aku benci perang. Dan tahukah engkau, Liong-ko, Ibu sendiri pun benci perang!"

   "Ehh....?"

   Cin Liong benar-benar terkejut mendengar ini, dan dia menatap wajah cantik itu dengan heran. Siok Lan mengangguk lalu menunduk, merenung.

   "Ya, Ibuku benci perang. Ibuku adalah seorang puteri Nepal, sejak kecil mempelajari kesenian dan kesusastraan. Akan tetapi dia pun mempelajari ilmu silat dan perang. Biarpun begitu, dia selalu mencela perang!"

   "Akan tetapi mengapa dia menjadi panglima?"

   "Karena.... patah hati.... gagal dalam asmara."

   "Ahhh....!"

   Dara itu menoleh dan menatap wajah Cin Liong, kemudian dia menggeser duduknya sehingga berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak dia menatap tajam, kemudian dia berkata,

   "Dengarlah, Liong-ko, aku akan menceritakan riwayat kami kepadamu. Akan tetapi harap semua ini dirahasiakan."

   Cin Liong hanya mengangguk-angguk dan merasa heran mengapa dara ini demikian percaya kepadanya.

   "Ibuku adalah seorang wanita Nepal, puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari seni, sastra, silat dan ilmu perang. Kemudian Ibuku menikah dengan seorang pangeran Nepal, seorang pange-ran tua yang menjadi Ayah tiriku."

   "Ayah tirimu....?"

   "Ya, aku.... Ayah kandungku adalah seorang pria berbangsa Han, seperti engkau, Liong-ko."

   "Hemmm.... sudah kuduga itu, melihat keadaanmu."

   "Karena Ibu lebih perkasa dan pandai daripada Ayah tiriku, maka Ibu lalu diangkat menjadi perwira tinggi dalam ketentaraan. Ibu menerima pengangkatan itu untuk menghibur hatinya, karena.... karena sesungguhnya Ibu tidak mencinta suaminya yang jauh lebih tua, dan hal itu terjadi sampai Ayah tiriku meninggal dunia. Semenjak itu Ibu menjadi panglima dan biarpun dia membenci perang, terpaksa dia melakukan tugas kewajibannya sebaik mungkin."

   "Dan.... Ayah kadungmu?"

   Dara itu menggeleng kepala.

   "Ibu merahasiakannya. Aku bahkan tidak tahu siapa she Ayahku itu. Aku tidak tahu di mana dia, masih hidup ataukah sudah mati. Heran sekali, Ibu agaknya amat membenci Ayah kandungku sehingga setiap kali aku bertanya, dia marah-marah dan bahkan pernah menamparku karena bertanya itu. Agaknya.... agaknya dia akan sanggup membunuhku kalau aku bertanya terus."

   Dan sampai di sini, Siok Lan dara yang biasanya lincah gembira itu kelihatan berduka, bahkan ada air mata menitik turun dara kedua matanya. Diam-diam Cin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia diam saja, masih terheran-heran mendengar cerita yang luar biasa itu. Ibu dara ini, panglima yang pandai dan perkasa itu, ternyata menyimpan rahasia kehidupan yang amat menyedihkan! Siok Lan mengusap air matanya, berhenti menangis, kemudian menarik napas panjang berulang-ulang.

   "Liong-ko, betapa inginku pertemuan antara kita tidak terjadi di tempat ini, di waktu perang seperti ini. Ah, betapa akan senangnya duduk bercakap-cakap denganmu di tempat ini kalau tidak ada perang di situ, kalau keadaan tenteram dan damai. Akan tetapi.... betapapun juga.... karena adanya perang inilah, maka kita dapat saling bertemu."

   

Jodoh Rajawali Eps 37 Jodoh Rajawali Eps 63 Jodoh Rajawali Eps 34

Cari Blog Ini