Suling Emas Naga Siluman 18
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Maka dia pun mempercepat gerakannya mendaki puncak dan setelah melihat pondok itu, dia mempergunakan suara suling untuk menyembunyikan bunyi gerakannya dan cepat dia meloncat naik ke atas wuwungan rumah, lalu bersembunyi di balik wuwungan sambil menanti datangnya malam untuk mengintai ke dalam. Petani itu kini duduk di dalam pondok, minum arak seorang diri dan setelah ruangan dalam pondok itu gelap, dia menyalakan lampu minyak sehingga ruangan itu nampak remang-remang namun cukup terang bagi Ci Sian yang mengintai dari atas genteng. Dia melihat dengan jelas kini wajah seorang laki-lakl yang tampan dan gagah, wajah yang terpelihara baik-baik dan tidak pantas dengan pakaiannya yang amat sederhana itu. Perabot rumah itupun amat sederhana pula, dan pondok itupun hanya memiliki sebuah ruangan saja,
Di mana terdapat sebuah meja bundar dengan enam buah bangku, semua terbuat daripada kayu sederhana, dan di sudut ruangan itu terdapat sebuah dipan dari kayu yang besar. Pria itu duduk di sebuah di antara bangku-bangku itu, menghadap ke arah pintu. Dua buah daun jendela berada di kanan kirinya, sudah tertutup dan kini pria itu agaknya sudah merasa cukup minum arak. Dia meletakkan cawan araknya di atas meja, mengusap bibir dengan saputangan dan jari-jari tangannya membereskan jenggot dan kumisnya yang terpelihara baik-baik itu dan dia lalu mengambil suling yang menggeletak di atas meja. Tak lama kemudian, terdengarlah lagi alunan suara suling yang amat merdu, terutama sekali terdengar dengan amat jelasnya oleh Ci Sian yang mengintai di atas genteng.
Dia tidak berani turun memperlihatkan diri karena dia masih belum yakin apakah benar orang ini yang dicarinya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau membayangkan bahwa ada kemungkinan, inilah orangnya, inilah ayah kandung-nya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu karena dia tidak mempunyai sesuatu yang dapat membuktikan bahwa dugaannya tidak keliru. Bagaimana dia bisa yakin bahwa orang ini benar-benar ayahnya? Selagi dia merasa bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba matanya yang tajam dapat menangkap berkelebatnya bayangan dua orang di dekat pondok itu. Dia terkejut dan terheran, hatinya merasa semakin tegang karena dia menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu, atau kalau sampai orang di bawah itu menerima tamu dan bercakap-cakap,
Mungkin saja hal itu akan menjadi jawaban keraguannya apakah benar orang ini ayah kandungnya ataukah bukan. Ketika Ci Sian melihat betapa dua bayangan yang berkelebat dengan gerakan ringan dan cepat itu kini mendekati pondok dengan hati-hati lalu mengintai ke dalam melalui jendela di sebelah utara, hatinya semakin tegang dan dia memperhatikan. Bukan main kaget dan herannya ketika dia merasa mengenal bentuk tubuh dua orang itu. Dua orang wanita! Dan Ci Sian hampir berani memastikan bahwa mereka itu adalah Siok Lan dan ibunya! Semakin yakin hatinya ketika dia melihat wanita yang sekarang memberi tanda dengan menaruh jari di depan bibir kepada wanita kedua, tanda bahwa mereka tidak boleh membuat suara gaduh.
Karena merasa amat tertarik, Ci Sian lalu mengintai lagi ke dalam dan melihat betapa pria itu masih saja enak-enak meniup sulingnya, kini dengan suara semakin merdu dan romantis, juga mengandung suara-suara keluhan duka. Memang tidak keliru dugaan Ci Sian. Dua sosok bayangan wanita itu adalah Puteri Nandini dan anaknya, Siok Lan. Seperti kita ketahui, ibu dan anak ini telah meninggalkan Lhagat dan Puteri Nandini tidak mau kembali ke Nepal setelah kekalahan pasukannya, melainkan mengajak anaknya untuk pergi mencari ayah kandung Siok Lan untuk diajak berunding tentang niat Siok Lan berjodoh dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Ketika dia mendengar bahwa di puncak itu terdapat seorang petani setengah tua hidup menyendiri, dia tidak merasa ragu-ragu lagi dan mengajak puterinya untuk melakukan penyelidikan.
"Hati-hati, jangan kau sembarangan ikut campur kalau terjadi keributan di rumah itu. Urusan antara aku dan siapa pun di sana, jangan kau mencampurinya."
Siok Lan mengangguk, sungguhpun dia merasa heran dan tidak mengerti. Betapa pun juga, hatinya tegang sekali membayangkan betapa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selamanya tidak pernah dilihatnya itu. Dengan jantung berdebar dan tangan terkepal membentuk tinju, perasaannya tidak karuan, Puteri Nandini mendekati jendela dengan puterinya. Mendengar tiupan suling yang merdu sekali itu, hatinya tergetar dan dia memejamkan kedua matanya, wajahnya menjadi merah dan terbayanglah semua pengalamannya di masa lampau, pengalamanan penuh kemesraan. Dia lalu mengintai melalui jendela itu dan begitu dia melihat petani itu yang duduk meniup suling dengan wajah mengandung duka,
Diam-diam dia mengeluh dan tubuhnya gemetar, penuh kerinduan yang selama belasan tahun ditahan-tahannya akan tetapi di samping keindahan itu juga terdapat perasaan duka dan penyesalan yang amat pahit. Setelah memejamkan mata sejenak, wanita ini mengintai lagi dan pada saat itu, tiupan suling yang mengalun itu berbunyi panjang dan semakin bernada penuh duka, makin lama makin lambat dan lirih sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Pria itu mengeluh, lalu melepaskan suling itu ke atas meja, lalu memejamkan mata, menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan terdengar keluhannya panjang pendek. Tidak dapat ditangkap jelas apa yang dikeluhkannya, akan tetapi bekas panglima wanita Nepal itu dengan sangat jelas dapat menangkap namanya disebut-sebut. dalam keluhan itu, keluhan yang menyatakan rindu terhadap Nandini!
"Nandini.... kekasihku.... mengapa kau tidak kasihan kepadaku.... aku rindu padamu, kenapa kau tidak mau menemaniku di sini....?"
Demikianlah kata-kata di antara keluhan yang dapat tertangkap oleh telinga Nandini.
Tentu saja wanita ini menjadi terharu sekali dan tubuhnya terasa panas dingin mendengar suara yang amat dikenalnya dan yang pernah amat dicintanya itu! Suara yang dahulu selalu merayunya dengan kata-kata indah, dan betapapun besar perasaan marah, sakit hati dan penyesalannya mengingat betapa dia ditinggalkan begitu saja oleh pria ini, akan tetapi begitu melihat wajahnya, melihat bentuk tubuhnya, mendengar suara tiupan sulingnya, mendengar suara keluhannya, semua kekerasan hatinya mencair dan kini dia mengintai dengan dua mata basah air mata! Terbayanglah semua pengalamannya yang mesra bersama pria ini! Suasana romantis penuh kemesraan ketika dia dan pria ini memadu kasih, belasan tahun yang lalu di waktu mereka berdua masih sama-sama muda.
Teringat dia betapa ilmu silatnya menjadi selihai sekarang karena dia menerima petunjuk oleh pria ini. Berlatih silat, bermain cinta, di antara pohon-pohon dan bunga-bunga di tempat terbuka. Betapa hidup penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan di waktu itu. Teringat akan semua ini, Nandini ingin sekali membobol daun jendela itu, ingin sekali menghampiri, mendekati, menghibur pria itu. Cintanya yang dahulu timbul kembali karena memang tidak pernah padam sama sekali. Bahkan, penyerahan dirinya sebagai isteri pangeran tua itu menambah rindu dan cintanya kepada pria ini. Akan tetapi dia teringat akan Siok Lan yang berada di situ, maka ditahan-tahannya perasaannya, hanya hatinya yang merintih menyebut nama pria yang pernah menjadi kekasihnya ini.
"Nandini.... ah, Nandini, tidak terasakah hatimu betapa aku menderita rindu.
"Omitohud....! Dasar mata keranjang, hidung belang, jahanam ceriwis keparat!"
Dari luar jendela yang berlawanan, yaitu di sebelah selatan, terdengar suara nyaring yang menyumpah ini. Mendengar ini, pria itu menoleh ke arah jendela sebelah selatan, tanpa bangkit berdiri, melainkan tersenyum. Dan begitu dia tersenyum, wajahnya nampak semakin menarik, tampan dan kelihatan jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Memang pria ini amat tampan, di waktu mudanya dahulu sudah tentu amat tampan dan banyak menjatuh kan hati kaum wanita, sedangkan sekarang pun masih nampak tampan menarik.
"Aihh, Bi-moi yang manis, mengapa engkau main sembunyi-sembunyi dan mengintai? Kalau memang kau merasa rindu padaku dan ingin bicara dan bercanda, masuklah, sayang!"
Sungguh ucapan ini mengandung rayuan maut bagi seorang setengah tua seperti dia dan terdengar amat menggairahkan dan juga amat menarik hati.
"Omitohud, dasar gila wanita!"
Terdengar suara dari luar jendela itu dan tiba-tiba jendela itu jebol didorong dari luar dan melayanglah sesosok tubuh ke dalam kamar itu. Melihat siapa yang masuk ini, Ci Sian terkejut sekali. Tadi dia sudah bengong terlongong ketika dia mengenal bahwa dua orang wanita itu adalah Siok Lan dan ibunya. Selagi dia kebingungan dan terheran-heran belum tahu benar siapa pria itu dan mengapa Siok Lan dan Ibunya berada di situ mengintai seperti dia, maka ketika mendengar suara wanita dari luar jendela selatan itu dia pun amat kaget.
Karena dia sejak tadi mengintai, maka dia tidak melihat munculnya wanita ini di belakang jendela selatan dan tahu-tahu dia mendengar suaranya. Kini, melihat siapa yang muncul di dalam kamar dengan gerakan yang demiklan ringan dan cekatan, Ci Sian hampir berseru kaget. Wanita yang masuk ini bukan lain adalah nikouw muda cantik yang dijumpainya siang tadi! Makin bingung dan heranlah dia, akan tetapi dengan penuh perhatian dia terus mengintai dari atas genteng. Nikouw muda itu kini berhadapan dengan pria itu, wajahnya yang putih halus itu merah sekali, tanda bahwa dia sudah amat marah dan suaranya nyaring ketika dia berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku runcing terpelihara itu ke arah hidung pria itu.
"Dasar kerbau hidung belang kau! Katanya hendak bertapa di sini menjauhkan diri dari semua wanita, siapa tahu diam-diam engkau merindukan wanita lain! Keparat, sungguh tak tahu malu engkau!"
"Eh.... ehhh.... sabarlah, sayang. Engkau sendiri yang mengambil keputusan untuk menjadi nikouw sehingga aku terpaksa kekeringan dan kesepian di sini, membuat aku teringat kepada bekas-bekas kekasih lama yang kurindukan. Mengapa kau marah? Marilah, sayang, mari kau mendekat, aihh, tak tahukah engkau betapa selama ini aku amat rindu kepadamu, dan betapa setelah engkau berpakaian nikouw dan kepalamu gundul engkau menjadi semakin cantik saja?"
"Phuhh, siapa sudi rayuanmu? Dan kepalaku sudah tidak gundul lagi!"
Berkata demikian, nikouw itu membuka penutup kepalanya dan memang benar, kepala gundul itu sudah ditumbuhi rambut, walaupun baru setengah jari panjangnya.
"Aduh engkau semakin manis. Ke sinilah, mari minum arak bersamaku, Cui Bi kekasihku yang denok!"
"Brakkkkk!"
Tiba-tiba daun jendela sebelah utara pecah berantakan disusul melayangnya tubuh Nandini! Wanita ini sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi melihat betapa pria itu merayu nikouw itu sedemikian rupa. Hatinya penuh dengan cemburu yang membuat dadanya hampir meledak sehingga dia tidak ingat apa-apa lagi lalu menghantam jendela itu dan meloncat masuk.
"Nandini....!"
Pria itu berseru, nampaknya kaget akan tetapi mulutnya tersenyum penuh daya pikat.
"Engkau baru datang, bidadariku dari Nepal?"
"Laki-laki kejam, mata keranjang dan rendah budi! Jadi untuk nikouw inilah engkau meninggalkan aku?"
Bentak Nandini sambil menudingkan telunjuknya.
"Bu Seng Kin! Jadi engkau telah mempunyai gendak orang Nepal ini?"
Bentak nikouw itu dan dua orang wanita itu sejenak saling pandang penuh kebencian dan cemburu, akan tetapi kemarahan mereka itu kini tertumpah kepada pria yang disebut Bu Seng Kin itu dan mereka berdua kini menubruk maju dan menyerang pria dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan maut yang amat cepat dan ganas!
"Wah, beginikah kalian memperlihatkan rasa rindu kalian? Heh-heh, mana bisa kalian menyerangku dengan ilmu-ilmu pukulan yang kuajarkan sendiri kepada kalian? Ha-ha, tidak kena! Wah, hampir saja, Nandini! Nah, meleset, Cui Bi!"
Biarpun diserang dengan ganas oleh dua orang wanita itu, namun dengan amat mudahnya pria itu menggerakkan langkah-langkah kaki sedemikian rupa sehingga semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka!
"Wah, mana bisa kita bicara baik-baik kalau kalian marah-marah begini? Sabarlah, tenanglah....!"
Pria itu membujuk, akan tetapi bagaikan dua ekor singa betina yang marah-marah, dua orang wanita itu terus menyerang semakin hebat.
Akhirnya, entah bagaimana Siok Lan yang mengintai dari jendela dan Ci Sian, yang mengintai dari genteng itu tidak tahu benar, tiba-tiba saja dua orang wanita yang marah-marah itu telah kena dirangkul pinggang mereka di kanan kiri dan pria itu sambil tersenyum-senyum menarik mereka dan mengajak mereka duduk di atas bangku, di kanan kirinya! Akan tetapi Ci Sian segera dapat menduga bahwa tentu pria yang amat lihai itu telah berhasil menotok jalan darah dua orang wanita itu sehingga menjadi lemas dan tidak dapat melawan lagi. Dugaannya memang benar karena biarpun mereka tidak melawan ketika dirangkul dan didudukkan ke atas bangku, keduanya memaki-maki kalang-kabut!
"Bu-taihiap, kalau engkau sampai mengganggu dan menghinaku, aku bersumpah akan memusuhimu sampai titik darah terakhir!"
Nandini berkata akan tetapi tidak mampu melepaskan dirinya yang dipaksa duduk di samping pria itu dan pinggangnya yang masih ramping itu dirangkul!
"Bu Seng Kin, aku bersumpah akan membunuh diri kalau engkau berani mengganggu diriku!"
Nikouw itu juga berkata tanpa mampu melepaskan dirinya yang juga dirangkul pinggangnya.
"Ha-ha-ha, manisku, sayangku, kalian adalah isteri-isteriku, kalian adalah jantung hatiku, aku sayang dan cinta kepada kalian, mana mungkin aku akan mengganggu dan menghina kalian? Akan tetapi kalian juga jangan mengecewakan hatiku lagi, dan suka temani aku makan."
Sambil tersenyum girang, petani yang bernama Bu Seng Kin itu lalu melepaskan rangkulannya dan mengeluarkan makanan dari sudut belakang ruangan yang merupakan dapur. Tidak banyak macamnya makanan itu, hanya beberapa macam sayur sederhana, nasi dan daging kering. Akan te-tapi dengan lagak sedang pesta besar, Bu Seng Kin lalu mengatur semua itu di atas meja. Dua orang wanita itu hanya memandang saja, kadang-kadang saling lirik dan saling menyelidiki keadaan ma-sing-masing.
"Ha-ha, mari kita makan, manis. Nandini sayangku, kau makanlah, sawi putih ini dahulu menjadi kesukaanmu, bukan?"
Dan dia lalu mengambil sepotong sayur dari mangkok dengan sumpitnya dan membawa makanan itu ke mulut Nandini. Karena maklum bahwa dia tidak berdaya, juga karena terharu akan sikap yang manis dan menyayang dari pria itu, Nandini tidak dapat menolak, membuka mulut dan makan sayur itu.
"Dan kesukaanmu dahulu adalah daging dendeng asin ini, bukan, Cui Bi?"
Dia mengambil sepotong kecil daging dengan sumpitnya dan mendekatkannya ke mulut Cui Bi yang kecil mungil itu.
"Gila! Kau tahu sebagai nikouw aku tidak makan daging!"
Cui Bi berkata.
"Ah, engkau menjadi nikouw karena terpaksa dalam kemarahanmu, bukan sewajarnya. Sekarang setelah berkumpul kembali dengan aku, tidak perlu kau berpantang daging lagi. Hayolah, jangan pura-pura, manisku."
Dan nikouw itu terpaksa menerima pula daging itu dan memakannya. Demikianlah, dengan sikap gembira sekali Bu Seng Kin lalu makan minum, menyuapkan makanan secara bergantian kepada dua orang wanita di kedua sisinya itu, juga memberi mereka minum arak. Karena pandainya dia bicara dan merayu, dua orang wanita itu agaknya perlahan-lahan lenyap kemarahan mereka, bahkan mereka kadang-kadang sudah mau tersenyum oleh cerita lucu, walaupun senyum yang ditahan-tahan.
"Hayo ceritakan pengalamanmu semenjak berpisah dariku, Bu-taihiap, ceritakan semua tanpa ada yang kau sembunyikan tentang wanita-wanita yang kau ambil sebagai pengganti-ku, baru aku mau melanjutkan makan minum bersamamu."
Tiba-tiba Nandini berkata sambil melirik ke arah nikouw yang berada di samping kiri pendekar itu.
"Benar! Aku pun harus mendengar semua petualanganmu sebelum bertemu dengan aku yang agaknya merupakan seorang di antara banyak wanita yang kau rayu dan menjadi jatuh!"
Kata pula nikouw itu.
"Kalau tidak, aku pun tidak sudi duduk bersamamu lagi."
Bu Seng Kin tersenyum lebar dan berdongak ke atas, mengejutkan hati Ci Sian karena dara ini merasa seolah-olah pendekar itu memandang kepadanya yang sedang mengintai. Akan tetapi pendekar itu menunduk kembali dan dia pun mencurahkan perhatiannya. Biarpun dia merasa muak menyaksikan adegan roman-romanan itu, akan tetapi dia pun ingin mendengar cerita orang yang diduganya adalah pria yang dicarinya, yaitu ayah kandungnya. Hatinya sudah seperti disayat-sayat karena kecewa melihat tingkah pria di bawah itu yang jelas merupakan seorang pria tukang merayu wanita, sedang pria yang hidung belang yang pandai sekali menjatuhkan hati wanita.
"Ha-ha-ha, baiklah, baiklah, akan kuceritakan. Aihh, biarpun sudah lewat belasan tahun, hampir dua puluh tahun, engkau masih nampak cantik jelita saja, Nandini, betapa masih kuingat benar ketika aku terpaksa meninggalkanmu, kasihku."
"Bohong! Dan jangan sebut aku kekasihmu, kalau engkau benar cinta padaku tidak mungkin engkau meninggalkan aku!"
Kata Nandini dengan marah karena hatinya masih panas kalau teringat betapa dalam keadaan mengandung dia telah ditinggal pergi oleh kekasihnya ini.
"Aihh, jangan kau berkata begitu. Aku pergi meninggalkanmu dengan hati yang berdarah, luka parah oleh kedukaan. Ah, ya, Cui Bi belum tahu akan riwayat kami, biarlah kuceritakan secara singkat."
Pendekar itu lalu bercerita, didengarkan oleh Siok Lan dan Ci Sian yang masih mengintai.
"Biarpun terus terang saja, Nandini bukan merupakan wanita pertama yang pernah menjadi kekasihku, akan tetapi baru kuakui bahwa dialah wanita pertama yang benar-benar membuat aku tergila-gila dan dengan Nandinilah untuk pertama kali aku benar-benar menaruh cinta."
"Huh, siapa percaya?"
Kata, Nandini, akan tetapi sepasang matanya berseri penuh kegembiraan mendengar ini, dan nikouw di sebelah itu memandang iri!
(Lanjut ke Jilid 17)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
"Sungguh mati! Akan tetapi, seperti kau ketahui, Ayah Nandini marah-marah melihat hubungan antara puterinya dan aku karena Nandini telah ditunangkan kepada seorang pangeran. Ayah Nandini bahkan menyerangku dan berusaha membunuhku, akan tetapi dia sudah tua dan sampai meninggal karena serangan jantungnya sendiri. Aku merasa menyesal sekali, apalagi ketika aku mendengar bahwa kalau Nandini tidak berpisah dariku, maka pangeran itu akan menangkap dan membunuh seluruh keluarganya. Tentu saja aku tidak menghendaki hal itu terjadi, maka aku lalu pergi meninggalkan Nandini, dengan hati hancur berdarah, hanya demi menjaga keselamatan keluargamu, Nandini."
"Hemm, benarkah itu?"
Nandini bertanya, nampaknya terharu.
"Aku berani bersumpah tujuh turunan...."
"Turunanmu jangan dibawa-bawa dalam hukum akibat petualanganmu!"
Nandini memotong.
"Teruskan ceritamu."
Kata Gu Cui Bi, nikouw itu, dengan hati semakin iri dan cemburu.
"Setelah meninggalkan Nepal, tentu saja aku bertemu dengan banyak wanita cantik, di antaranya adalah puteri kepala suku Biauw yang manis, ada pula pendekar-pendekar wanita petualang kang-ouw, ada pula puteri-puteri datuk kaum sesat, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan-selingan saja dan tidaklah sungguh-sungguh seperti yang terjadi antara aku dan Nandini. Kemudian, kurang lebih setahun semenjak meninggalkan Nepal dan bertualang dengan belasan orang wanita secara selewat saja, aku bertemu dengan seorang pendekar wanita yang bernama Sim Loan Ci dan kami saling mencinta lalu kami menikah."
Hampir saja Ci Sian mengeluarkan suara saking kagetnya, akan tetapi dia cepat-cepat menutup mulutnya dan mengerahkan tenaga untuk menekan batinnya yang terguncang ketika dia mendengar nama Ibunya disebut-sebut itu! Sim Loan Ci adalah ibunya, ibu kandungnya seperti yang pernah didengarnya dari kakeknya bahwa Ibunya she Sim dan ayahnya seorang pendekar besar yang tentu saja she Bu, sama dengan she kakeknya. Dia lalu mendengarkan lagi dengan penuh perhatian.
"Dialah isteriku pertama yang sah, walaupun wanita seperti Nandini ini juga kuanggap isteriku sendiri, dan juga engkau, Cui Bi."
"Tak perlu merayu, lanjutkan ceritamu."
Desak dua orang wanita itu.
"Setelah menikah setahun lamanya, kami mempunyai seorang anak perempuan. Akan tetapi, berbareng dengan kebahagiaan ini, datanglah malapetaka. Kiranya hubunganku dengan puteri-puteri datuk kaum sesat itu, yang kutinggalkan karena memang kuanggap hanya hubungan selewat dan merupakan hiburan belaka, mendatangkan akibat panjang! Aku dicari-cari oleh para datuk kaum sesat, bahkan di antaranya terdapat Im-kan Ngo-ok yang mencari-cariku, karena seorang puteri mereka telah membunuh diri setelah kutinggalkan sehingga kini Im-kan Ngo-ok mencariku untuk membunuhku!"
"Huh, sudah sepatutnya engkau dibunuh!"
Kata Nandini.
"Dasar mata keranjang!"
Nikouw itu menyambung.
"Biar kulanjutkan ceritaku."
Kata pendekar itu setelah menarik napas panjang.
"Semenjak melahirkan, kesehatan Loan Ci amat buruk. Hal ini menggelisahkan hatiku, karena dalam keadaan seperti itu, mempunyai seorang bayi dan seorang isteri yang tidak sehat, tentu saja amat berbahaya menghadapi ancaman musuh-musuh seperti Im-kan Ngo-ok yang lihai itu. Maka terpaksa aku lalu membawa isteriku dan Anakku kepada Ayahku. Ayahku adalah seorang pendekar yang amat terkenal, yaitu Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun, seorang tokoh besar di dunia selatan. Ketika itu, aku agak takut-takut menghadap Ayah, karena aku pernah diusir oleh Ayah ketika di waktu muda aku bermain-main dengan seorang gadis dusun tempat kami."
"Dasar hidung belang ceriwis!"
Nandini kembali mencela.
"Mata keranjang tak tahu malu, kecil-kecil sudah gila perempuan sehingga diusir Ayah sendiri!"
Gu Cui Bi menyambung.
"Wah, kalian ini terus menerus mencelaku."
Bu Seng Kin terkekeh.
"Ayahku tidaklah segalak kalian. Dia memaafkan aku dan menerima kedatanganku dengan baik. Kemudian malah Ayah menganjurkan agar meninggalkan anak kami bersama Ayah, kemudian aku bersama isteriku pergi menjauhkan diri agar Im-kan Ngo-ok tidak mencelakai anak kami. Beberapa kali kami tersusul oleh mereka dan aku melakukan perlawanan mati-matian. Kalau saja isteriku tidak dalam keadaan sakit payah, kiranya kami berdua tidak akan takut menghadapi mereka. Akan tetapi karena isteriku sedang sakit, dan aku harus melindunginya, maka terpaksa aku melarikan diri bersama isteriku dan terus dikejar-kejar oleh Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari mereka, bersembunyi di Pegunungan Go-bi-san dan di sanalah isteriku meninggal dunia...."
Pendekar itu diam dan di atas genteng, Ci Sian menangis. Air matanya berlinang-linang dan dia menahan isaknya. Jelaslah kini bahwa pria di bawah itu, pria yang mata keranjang itu, adalah ayah kandungnya, dan ibunya benar-benar telah meninggal dunia.
"Semenjak itu, kembali aku berkeliaran...."
"Dan main perempuan....!"
Nandini mencela.
"Habis, mau apa lagi? Agaknya aku tidak boleh berjodoh lama-lama dengan wanita yang kucinta. Aku pindah dari pelukan satu ke lain wanita, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan hidup dan aku tidak pernah bersungguh-sungguh. Paling lama sebulan aku dapat bertahan dalam pelukan seorang wanita dan aku sudah pergi lagi...."
"Mencari yang lain! Phuihh!"
Nandini mencela.
"Sampai engkau berjumpa denganku."
Tiba-tiba nikouw itu berkata, suaranya mengandung kebanggaan. Pendekar itu menarik napas panjang.
"Ya, sampai aku bertemu denganmu, Cui Bi. Sekarang biar Nandini mendengar cerita tentang kita. Setelah aku mulai bosan merantau, bosan bertualang, pada suatu malam bertemulah aku dengan seorang nikouw di sebuah kuil Kwan-im-bio, di sebelah lereng bukit. Nikouw itu cantik dan muda dan.... aku jatuh cinta."
"Pada seorang nikouw? Dan engkau merayunya pula?"
Nandini bertanya, alisnya berkerut.
"Ha, apa bedanya? Dia pun seorang wanita, bukan? Dia masuk menjadi nikouw karena. patah hati, akan dikawinkan dengan seorang kakek kaya, dia tidak sudi dan melarikan diri setelah dipaksa menjadi isteri kakek itu selama sepekan. Lalu dia masuk menjadi nikouw dan ber-temu dengan aku."
"Engkau mahluk berdosa, Bu Seng Kin! Engkau merayu pinni dan menyeret pinni ke dalam jalan sesat!"
Tiba-tiba nikouw itu berkata dan suaranya mengandung isak penyesalan. Bu Seng Kin cepat merangkul pundaknya.
"Aih, Cui Bi, hal itu telah lama berlalu, bukan? Kita sama-sama mencinta, dan kemudian engkau melarikan diri dari kuil bersamaku, memelihara rambut lagi dan menjadi wanita biasa, kita hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan."
"Ya, sampai aku tahu bahwa engkau adalah Si Petualang besar, bahkan engkaulah Si Perayu yang pernah membuat Bibiku tergila-gila dan diceraikan oleh Paman sehingga akhirnya Bibiku mati karena nelangsa. Kiranya engkaulah petualang yang telah menghancurkan hati banyak sekali kaum wanita itu. Aku menyesal dan aku lalu kembali menjadi nikouw, untuk minta ampun atas dosaku, juga untuk mintakan ampun atas dosanya. Dan engkau sudah berjanji akan bertapa di sini, untuk menebus dosa!"
Bu Seng Kin tersenyum lebar.
"Sudah kuusahakan hal itu, Cui Bi. Engkau tahu betapa bertahun-tahun aku menahan diri, aku hidup kesepian penuh kerinduan, terutama rindu sekali kepada orang-orang yang kucinta. Engkau menyiksaku, Cui Bi, maka sekarang, bertepatan dengan kedatangan Nandini, kita berkumpul di sini bertiga. Marilah kita hidup bersama, menikmati kehidupan kita yang tinggal tidak lama lagi ini, menikmati kebahagiaan hidup kita bertiga di hari tua bersama. Aku cinta kalian....!"
Dia lalu merangkul keduanya.
"Bu-taihiap, demi Tuhan, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan mengganggu dan menghinaku!"
Nandini berseru.
"Orang she Bu, jangan engkau mengotori diriku; telah dua tahun aku menyucikan diri!"
Nikouw itu pun berkata.
"Aku bersumpah takkan mengganggu dan menghina kalian berdua, aku cinta pada kalian, tidak mungkin aku mau menyusahkan kalian."
Kata pendekar itu dan tiba-tiba dia menarik leher Nandini dan.... mencium mulut wanita itu dengan penuh kemesraan. Nandini terkejut sekali, tak mampu bergerak, bahkan tubuhnya menggigil dan naik sedu sedan dari dadanya, setelah pria itu melepaskan ciumannya, dia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
"Kau.... kau.... manusia busuk.... kau melanggar sumpahmu....!"
"Ha-ha, siapa melanggar sumpah, Nandini yang manis? Aku bersumpah tidak akan mengganggu dan menghina kalian. Engkau adalah isteriku yang kucinta, kalau seorang suami mencium isterinya, apakah itu mengganggu atau menghina namanya?
"Aku.... aku bukan isterimu, engkau bukan suamiku!"
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin menurut umum, akan tetapi bukankah kita sudah menjadi suami isteri, bukankah engkau pertama kali menyerahkan diri kepadaku, dan bukankah kita saling mencinta, Nandini? Apa salahnya orang yang saling mencinta berciuman?"
"Laki-laki busuk, mata keranjang, hidung belang.... tak tahu malu!"
Cui Bi memaki-maki dengan marah, akan tetapi tiba-tiba dia harus menghentikan maki-makinya karena mulutnya sudah dicium pula oleh pria itu, dengan sama mesranya seperti ketika dia mencium Nandini tadi! Nikouw itu gelagapan tak mampu bersuara, dan hanya memejamkan mata dan tanpa disadarinya, kedua lengannya merangkul leher pendekar itu!
"Kau memang tak tahu malu!"
Nandini membentak penuh cemburu dan tangannya bergerak menampar, akan tetapi tamparan yang sama sekali tidak bertenaga. Bu Seng Kin lalu membujuk rayu keduanya dengan kata-kata manis.
"Maafkanlah aku, Nandini dan Cui Bi, aku cinta kalian, tidak kasihankah kalian kepadaku? Aku hanya ingin menikmati kehidupan di dunia ini bersama kalian orang-orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku."
Pendekar itu bahkan berlutut di depan mereka, memohon-mohon dan akhirnya kembali dia merangkul mereka dan sekali ini,
Ketika dia mencium mereka, dua orang wanita itu hanya dapat memejamkan mata dengan muka berobah merah sekali. Mereka lupa segala! Ternyata pria ini masih hebat kemampuannya untuk merayu dan menundukkan wanita-wanita, dan terutama sekali karena memang dua orang wanita itu tak pernah mampu melupakannya dan masih mencintanya. Ci Sian yang melihat tontonan ini, disamping merasa heran dan juga malu, terutama sekali dia merasa berduka, teringat akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, maka dia menghapus air matanya dan mengambil keputusan untuk pergi saja lagi dari situ. Untuk apa menemui seorang ayah kandung seperti itu? Seorang petualang asmara yang memalukan. Seorang laki-laki hidung belang, mata keranjang yang gila perempuan!
"Brukkkk....!"
Tiba-tiba saja pintu depan dari pondok itu runtuh ke dalam, tertendang orang dari luar dan muncullah seorang wanita cantik yang kelihatan galak. Seorang wanita yang selain cantik juga berpakaian mewah, dan melihat wanita ini, kembali Ci Sian terkejut bukan main dan dia tidak jadi meninggalkan tempat itu,
Melainkan mengintai penuh perhatian dengan hati tertarik dan amat tegang karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita tokoh Lembah Suling Emas, musuh dari gurunya See-thian Coa-ong itu! Teringatlah dia akan cerita Tang Cun Ciu. Wanita ini pernah bercerita bahwa dia memiliki wajah seperti isteri Bu-taihiap, dan bahwa berjina dengan Bu-taihiap ketika pendekar itu bersama isterinya berkunjung ke Lembah Suling Emas! Mengertilah dia sekarang! Tentu wanita isteri Bu-taihiap yang datang bersama pendekar itu ke Lembah Suling Emas adalah ibu kandungnya! Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sudah marah sekali melihat bekas kekasihnya itu berkasih-kasihan dengan dua orang wanita, kini sudah melangkah masuk dan seketika dia menuding ke arah muka pria itu.
"Sungguh sampai sekarang engkau masih mata keranjang dan gila perempuan! Dan engkau mudah melupakan yang lama berganti yang baru Laki-laki tak punya jantung!"
"Eh-eh.... lihat siapa yang datang ini! Bidadari dari Lembah Suling Emas! Cun Ciu, kekasihku yang manis. Mari, mari sayang, mari duduk bersama Kakanda...."
"Keparat, engkau sudah main gila dengan wanita asing ini dan dengan seorang nikouw malah, tak tahu malu! Dan engkau masih berani bersikap manis kepadaku! Selayaknya kalau kubunuh engkau, Bu Seng Kin!"
Pada saat itu, sungguh aneh sekali, Nandini dan Gu Cui Bi sudah meloncat dengan sigapnya dari atas bangku mereka dan berdiri di kanan kiri Bu Seng Kin dengan pandang mata dan sikap marah! Diam-diam Ci Sian dan Siok Lan merasa heran sekali.
Bukankah dua orang wanita itu seperti tertotok dan kehilangan tenaga, akan tetapi mengapa kinl tiba-tiba saja mampu bergerak selincah itu? Hal ini tidaklah aneh dan merupakan sebab pula mengapa Bu Seng Kin begitu yakin akan dirinya sendiri dalam merayu dua orang wanita itu. Dia hanya menotok dua orang wanita itu untuk membuat mereka kehilangan tenaga sementara saja, sebentar saja. Akan tetapi, melihat dua orang itu tidak pulih-pulih tenaganya, tahulah dia bahwa mereka itu sengaja berpura-pura masih belum bebas dari totokan, tentu hanya dengan maksud agar mereka berdua dapat "mendekatinya"
Tanpa harus merasa malu, karena berada dalam keadaan "tertotok".
Mengetahui rahasia mereka ini maka tadi Bu Seng Kin berani melanjutkan rayuannya, maklum bahwa dua orang wanita itu ternyata menyambut rayuannya dan ternyata bahkan mengharapkan rayuannya. Kini, melihat betapa ada seorang wanita lain mengancam kekasih mereka, dua orang wanita itu tanpa mereka sadari sudah meloncat dan hendak menghadapi wanita itu. Cun Ciu adalah seorang wanita yang berwatak keras dan juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia masih marah sekali oleh cemburu ketika tadi melihat bekas kekasihnya itu bermesraan dengan dua orang wanita itu, yang dilihatnya sama sekali bukanlah isteri kekasihnya itu. Maka sambil berseru nyaring dia sudah menerjang maju, mengirim pukulan ke arah Bu Seng Kin.
"Ah, jangan marah dong, sayang!"
Bu Seng Kin cepat mengelak dan menangkis karena dia tahu betul bahwa wanita ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, merupakan seorang di antara tokoh-tokoh Lembah Suling Emas yang merupakan keluarga sakti.
"Dukkk!!"
Dua buah lengan bertemu dan akibatnya, baik Bu Seng Kin yang tentu saja tidak mengerahkan seluruh tenaga itu, maupun Cun Ciu terdorong mundur ke belakang. Diam-diam Bu Seng Kin kagum dan terkejut karena dari pertemuan lengan itu saja maklumlah dia bahwa wanita ini telah memperoleh kemajuan hebat semenjak berpisah darinya belasan tahun yang lalu!
"Cun Ciu Moi-moi, engkau sungguh lihai!"
Dia memuji, akan tetapi wanita itu sudah menyerangnya lagi kalang kabut. Dan memang wanita ini memiliki ilmu kepandaian hebat, maka terjadilah pertandingan yang amat hebat dan membingungkan Bu Seng Kin.
"Ah, mengapa kau marah-marah, Ciu-moi? Apakah kau datang menemui aku yang rindu kepadamu ini hanya untuk menyerang dan hendak membunuhku?"
"Tutup mulut dan jaga serangan ini!"
Bentak Cun Ciu yang menyerang terus. Tingkat kepandaian Bu Seng Kin sudah amat tinggi dan kalau dia bersungguh-sungguh, biar Cun Ciu sendiri pun takkan mampu mengalahkannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau bersungguh-sungguh melawan wanita cantik ini, maka dia kelihatan terdesak hebat. Melihat ini, Nandini membentak,
"Darimana datangnya perempuan liar?"
Dan dia pun maju membantu kekasihnya.
"Pinni juga tidak mungkin diam saja melihat perempuan ganas hendak membunuh orang!"
Dan Gu Cui Bi juga sudah meloncat ke depan dan mengeroyok. Dua orang wanita ini tentu saja bukan wanita sembarangan, melainkan wanita-wanita lihai yang sudah memiliki tingkat tinggi, maka begitu dikeroyok tiga, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi kewalahan dan terdesak juga. Melihat ini, Bu Seng Kin khawatir kalau-kaiau dua orang kekasihnya itu akan melukai Tang Cun Ciu, maka dia lalu membentak keras,
"Tahan....!"
Tang Cun Ciu yang memang sudah terdesak itu lalu melompat ke belakang dan memandang dengan mata marah.
"Mau apa kau menghentikan pertempuran?"
Bentaknya. Nandini dan Gu Cui Bi memandang dengan kagum karena mereka berdua tahu bahwa wanita yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mereka sendiri.
"Cun Ciu, mengingat akan hubungan antara kita dahulu, tidak maukah engkau bicara baik-baik daripada menyerang dan marah-marah seperti itu?"
"Siapa tidak marah? Aku jauh-jauh meninggalkan lembah, hanya karena tidak betah lagi di sana dan aku rela meninggalkan keluarga di sana untuk mencarimu dan apa yang kudapatkan? Bukan engkau hidup bersama isterimu, melainkan dengan dua orang wanita asing...."
"Ah, engkau salah paham, manis. Ketahuilah, dia ini bernama Nandini dari Nepal dan dia merupakan isteriku yang pertama! Dan ini adalah Gu Cui Bi, dia ini adalah isteriku yang terakhir."
"Hemm.... begitukah....?"
Tang Cun Ciu memandang ragu.
"Dan di mana isterimu yang dahulu bersamamu mengunjungi lembah?"
"Dia sudah meninggal dunia. Mari, kau duduklah, Cun Ciu dan kita bicara baik-baik. Sungguh mati, aku akan sedih sekali kalau engkau memusuhiku, aku.... aku cinta padamu, Cun Ciu, dan engkau tentu tahu akan hal ini."
Dirayu seperti itu, hati Tang Cun Ciu mulai menjadi dingin, kemarahannya mereda dan dia pun duduk menghadapi meja bersama pendekar itu dan dua orang wanita saingannya.
"Bu Seng Kin, kau bilang hanya ada kami berdua, sekarang muncul seorang lagi!"
Gu Cui Bi menegur.
"Dia.... dia ini bernama Tang Cun Ciu, ketika aku datang ke Lembah Suling Emas, aku dan dia.... eh, kami saling jatuh cinta. Dan sampai sekarang.... ah, aku masih cinta kepadanya.... apalagi setelah dia menyusulku ke sini, rela meninggalkan suaminya...."
"Suamiku sudah lama meninggal dunia!"
Kata Cun Ciu.
"Belum ada setahun semenjak engkau pergi, suamiku meninggal dan aku tinggal menjanda sampai sekarang. Kutunggu-tunggu beritamu akan tetapi engkau tak kunjung datang atau memberi kabar, sungguh engkau kejam sekali!"
"Ah, siapa tahu bahwa engkau sudah menjadi janda, kekasihku? Kalau aku tahu.... hemm, mungkinkah aku membiarkan engkau kesepian sendiri?"
Kata Bu Seng Kin sambil memegang tangan yang halus itu di atas meja. Cun Ciu cepat menarik tangannya karena dia merasa malu, melihat tangannya dipegang-pegang di depan dua orang wanita lain.
"Cun Ciu, kalian bertiga ini adalah wanita-wanita yang kucinta sepenuh hatiku. Engkau tinggallah bersamaku di sini, kita hidup bersama, berempat, sampai akhir hayat...."
"Hemm, dan esok atau lusa bermunculan lagi wanita-wanita lain bekas kekasihmu yang tak dapat dihitung banyaknya!"
Nandini menegur ketus.
"Aih, Nandini manis. Aku memang belum menceritakan tentang Cun Ciu karena mengira dia masih menjadi isteri orang. Tak baik menceritakan isteri orang, bukan? Berbeda lagi kalau dia sudah menjanda. Dia memang bekas kekasihku, kami saling mencinta...."
"Kalau ada wanita lain lagi yang muncul, bagaimana?"
Tanya Cun Ciu.
"Aku bersumpah, hanya tiga orang kalian ini saja, tidak ada yang lain!"
Kata Bu Seng Kin.
"Laki-laki macam engkau ini mana bisa dipercaya?"
Kata Gu Cui Bi.
"Sungguh mati...."
"Begini saja,"
Kata Cun Ciu,
"aku memang meninggalkan lembah untuk tinggal bersama dia. Dan mengingat bahwa kalian berdua sudah datang lebih dulu, aku pun mau menerima hidup di sini bersama kalian, asal dia tidak pilih kasih! Dan kalau ada datang wanita lain, kita bertiga maju membunuh wanita itu! Dan kalau perlu, membunuh juga dia ini!"
"Cun Ciu benar, memang dia seorang belum tentu dapat mengalahkan aku, akan tetapi kalau kalian bertiga maju bersama, mana aku bisa menang?"
Kata Bu Seng Kin sambil tertawa.
"Nah, isteri-isteriku yang terkasih, mari kita rayakan pertemuan ini dengan minum arak. Cun Ciu, aku sungguh rindu kepadamu!"
Dan tanpa malu-malu dia merangkul wanita ini dan menciuminya, di depan Nandini dan Cui Bi yang memandang sambil tersenyum masam tentunya!
Cun Ciu meronta lemah akan tetapi seperti dua orang wanita terdahulu, dia pun tidak mampu melawan rayuan maut dari pria itu dan akhirnya mereka berempat duduk dengan mesra, bercakap-cakap dan sambil makan minum mereka menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing. Kalau Ci Sian terkejut dan kemudian merasa semakin penasaran dan muak melihat semua yang terjadi itu, adalah Siok Lan yang merasa khawatir ketika melihat ibunya ikut bertempur tadi. Akan tetapi karena dia sudah menerima pesan ibunya agar tidak ikut campur, maka dia hanya menahan diri dan seperti juga Ci Sian, dia merasa kecewa menyaksikan tabiat ayah kandungnya yang demikian mata keranjang dan tukang merayu wanita.
Hatinya sendiri penasaran, akan tetapi melihat betapa ibunya sudah mau berbaik dengan pria itu bahkan dengan dua orang madunya, dia pun tidak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi Siok Lan tidak dapat berdiam diri lagi dan meloncatlah dia dari luar jendela, memasuki pondok itu. Semua orang, kecuali Nandini dan Bu Seng Kin, memandang dengan kaget. Kiranya Bu Seng Kin sudah tahu bahwa di balik jendela itu ada orang yang mengintai, bahkan dia sudah tahu sejak tadi bahwa di atas genteng juga ada yang mengintai, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan memandang rendah. Kini, melihat bahwa yang mengintai dari balik jendela adalah seorang dara yang cantik, wajah pendekar ini berseri gembira.
"Ah, seorang dara cantik seperti bidadari! Apakah kedatanganmu juga mencari aku, Anak manis?"
"Laki-laki gila, sudah butakah engkau dan hendak merayu anak sendiri?"
Nandini marah.
"Eh, anak sendiri?"
"Dia itu anakmu, anak kita. Lupakah engkau betapa ketika kita hidup bersama selama sebulan itu mengakibatkan aku mengandung? Dan lupakah engkau bahwa ketika aku menyatakan kekhawatiranku itu, engkau meninggalkan dua nama untuk seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yaitu kalau-kalau kekhawatiranku terbukti? Anak ini namanya Bu Siok Lan, nama yang telah kau tinggalkan itu."
"Ahhh....!"
Bu Seng Kin memandang dengan mata terbelalak kepada Siok Lan.
"Anakku.... anakku....!"
"Siok Lan, inilah macamnya ayah kandungmu!"
Kata Nandini kepada puterinya. Biarpun hatinya kurang senang dan meragu, namun Siok Lan lalu melangkah maju dan berlutut di depan kaki pria itu sambil menyebut,
"Ayah...."
"Anakku yang baik.... kau maafkan Ayahmu yang berkelakar tadi."
Kata Bu Seng Kin dan mendengar kesungguhan dalam suara pria itu, diam-diam Siok Lan merasa terharu juga. Agaknya sikap ayahnya yang mudah merayu wanita itu seolah-olah terlalu dibuat-buat! Beginikah sesungguhnya watak dasar dari pria ini? Dia masih meragu.
"Bu-taihiap,"
Kata Nandini yang tidak bisa mengubah sebutan Bu-taihiap itu kepada pria yang menjadi ayah kandung puterinya itu,
"sesungguhnya, kedatanganku bersama anakmu Siok Lan ini adalah untuk keperluan anak kita itu."
"Tentu saja,"
Jawab Bu Seng Kin.
"Dia berhak untuk bertemu dengan Ayahnya. Kau duduklah, Siok Lan."
Kata Bu Seng Kin sambil menarik bangun puterinya. Dara itupun lalu duduk di atas sebuah bangku, di dekat ibunya.
"Bukan begitu maksudku. Ketahuilah bahwa seperti yang telah kuceritakan tadi, aku baru saja mengalami kekalahan dalam memimpin pasukanku, kalah melawan pasukan Kerajaan Ceng sehingga terpaksa aku melepaskan Lhagat dan pergi ke sini. Nah, di dalam peristiwa itu, terjadi hal yang menimpa anak kita, yang membuat aku bingung sekali dan terpaksa kami datang untuk minta bantuanmu."
"Tentu saja aku siap membantu anakku. Urusan apakah itu?"
Nandini lalu dengan singkat mencerita kan betapa ketika dia masih memimpin pasukan menduduki Lhagat, di situ muncul seorang jenderal muda yang menyelinap dan menyamar, dan jenderal muda itu akhirnya telah berhasil mengalahkannya dalam perang.
"Ketika Jenderal muda itu menyamar dan menyusup ke Lhagat, dia menjadi seorang pemburu muda dan dengan pandainya dia berhasil menjadi tamu kami karena dia pernah menyelamatkan nyawa Siok Lan. Kemudian.... mereka berdua, Jenderal Muda itu dan Siok Lan, saling jatuh cinta...."
"Bagus sekali! Anakku pantas menjadi isteri Jenderal Muda!"
Pendekar itu berkata sambil tertawa girang.
"Enak saja kau bicara! Tidak begitu mudah!"
"Apa? Apa kau sendiri tidak setuju? Karena Jenderal itu adalah Jenderal yang pernah menjadi musuhmu?"
"Bukan begitu. Kekalahan itu mem-buat aku enggan pulang ke Nepal dan memang.... kami hendak mencarimu. Akan tetapi, engkau tidak tahu siapa Jenderal itu."
"Siapa dia? Seorang jenderal muda, apa sih artinya? Tidak terlalu tinggi untuk puteriku, bahkan andaikata dia Pangeran pun tidak akan terlalu tinggi!"
"Engkau tidak tahu siapa dia. Jenderal Muda Itu bernama Kao Cin Liong, dan dia adalah putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, cucu mendiang Jenderal Kao Liang!"
"Ahhh....!"
Yang mengeluarkan suara itu adalah Bu Seng Kin, Gu Cui Bi dan juga Tang Cun Ciu karena mereka terkejut bukan main mendengar nama-nama yang amat terkenal itu. Bahkan pendekar she Bu itu sendiri mengerutkan alisnya yang tebal, termangu-mangu. Kemudian dia memandang kepada puterinya dengan penuh perhatian. Dipandang seperti itu, Siok Lan menundukkan mukanya. Pendekar itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali.
"Naga Sakti Gurun Pasir.... bukan main....!"
"Apakah kau hendak mengatakan bahwa dia tidak terlalu tinggi? Apakah kau masih berani memandang rendah?"
Nandini bertanya dan yang ditanya seperti orang kehabisan akal karena terkejutnya.
"Ahhh, siapa kira akan terjadi peristiwa aneh ini? Tidak kelirukah kalian? Benarkah Jenderal Muda itu putera Naga Sakti Gurun Pasir?"
"Dia telah diperkenalkan pada saat terakhir. Maka, dapat kau bayangkan betapa kaget dan bingungku ketika anak kita memberitahukan hal itu. Aku hanya seorang wanita Nepal, mana mungkin membicarakan hal ini dengan keturunan Jenderal Kao Liang? Akan tetapi, mengingat bahwa orang tua jenderal itu adalah pendekar yang amat kenamaan, maka sebaiknya engkau yang menemuinya, Butaihiap, sebagai sesama pendekar kiranya akan lebih mudah membicarakan urusan jodoh itu."
Bu Seng Kin mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya masih berkerut.
"Akan tetapi aku tidak berani bertindak ceroboh. Siok Lan anakku, benarkah engkau dan putera Naga Sakti Gurun Pasir itu saling mencinta?"
Ditanya seperti itu, tentu saja jantung dara itu berdebar dan mukanya berubah merah sekali. Akan tetapi dia adalah keturunan orang gagah yang sejak kecil mengutamakan kegagahan, maka dia membuang rasa malu itu dan memandang wajah pria yang menjadi ayahnya itu dan menjawab,
"Aku tidak tahu bahwa dia adalah seorang jenderal muda, lebih tidak tahu lagi bahwa dia putera seorang pendekar sakti dan cucu seorang jenderal terkemuka. Ketika itu, aku hanya mengenalnya sebagai seorang pemburu muda,.... Ayah."
"Tidak peduli tentang itu, yang penting, apakah benar bahwa kalian saling mencinta?"
"Aku.... aku cinta padanya.... Ayah."
"Dan dia? Apakah dia juga cinta padamu?"
"Kukira begitulah."
"Eh, bagaimana ini? Cinta orang tidak anak baik. Apakah engkau tidak yakin benar bahwa dia cinta padamu?"
"Aku yakin."
"Lalu mengapa engkau mengira-ira saja? Apakah dia sudah menyatakan cintanya kepadamu dengan jelas, melalui kata-kata?"
Dara itu menggeleng.
"Habis bagaimana?"
"Ayah, perlukah kujelaskan hal ini? Seorang wanita akan dapat mengetahui apakah pria itu mencintanya ataukah tidak, melalui sinar matanya, melalui senyumnya, melalui suaranya, dan.... dan.... pendeknya aku yakin dia pun cinta padaku, Ayah."
"Hemm.... kita tidak boleh ceroboh, Anakku. Sekali aku, Ayahmu ini, mengajukan perjodohan, haruslah diterima oleh fihak sana, karena kalau tidak, hal itu dapat menimbulkan kesan yang menghina, kecuali kalau fihak sana mengemukakan dua alasan, yaitu pertama, bahwa putera mereka tidak cinta atau jika dia sudah bertunangan dengan orang lain. Oleh karena itu, sebelum aku menemui Naga Sakti Gurun Pasir, hal yang selama hidupku belum pernah kuimpikan, aku harus yakin dulu bahwa fihak sana akan menerima."
"Jadi engkau mau mengurus perjodohan anak kita?"
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Nandini dengan girang.
"Tentu saja, itu sudah menjadi kewajibanku. Sejak Siok Lan kecil, aku tidak pernah memperlihatkan kasih sayang sebagai seorang ayah, maka sekarang aku berkesempatan membuktikan sayangku kepada anak.'"
"Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Kita bersama pergi ke kota raja! Ya, kita semua, aku, Siok Lan, dan kalian bertiga. Kalau memang kalian bertiga sudah bertekad untuk hidup bersamaku, suka duka ditanggung berempat, mari kalian ikut bersamaku ke kota raja. Di sana, biar Siok Lan bertemu dengan jenderal muda itu dan memperoleh ketegasan bahwa dia memang mencinta anak kita dan bahwa jenderal muda itu belum terikat jodoh dengan orang lain. Setelah ada ketentuan ini, barulah aku akan pergi menghadap pendekar sakti itu."
"Baik, Ayah, aku setuju."
Kata Siok Lan yang maklum akan maksud ayahnya itu.
"Hemm, belum mau turun jugakah kamu yang berada di atas sejak senja tadi?"
Tiba-tiba orang she Bu itu berseru sambil memandang ke atas. Ci Sian mendengar semua urusan yang dibicarakan di bawah itu dan hatinya terasa semakin berduka. Sambil menahan isak dia hendak meloncat turun, maka ketika tiba-tiba dia mendengar suara pria yang sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri itu, dia seperti didorong saja dan cepat dia melayang turun dari atas genteng.
"Ada orang! Dan kau sudah sejak tadi, mengapa dia tidak saja?"
Tang Cun Ciu berteriak dan wanita ini sudah berkelebat keluar melalui jendela untuk melakukan pengejaran. Khawatir kalau kekasihnya yang berhati keras dan berwatak ganas itu akan melakukan sesuatu yang lancang,
Bu Seng Kin mengejar dan dua orang wanita lain bersama Siok Lain juga melakukan pengejaran. Keadaan di luar malam itu ternyata cukup terang karena bulan tersenyum di atas, seolah-olah mentertawakan ulah manusia-manusia di dunia ini. Tidak ada segumpal pun awan menghalangi senyumnya sehingga keadaan cukup terang. Nampaklah bayangan Ci Sian berlari-lari meninggalkan puncak itu, dikejar oleh mereka semua. Pengejar Ci Sian itu adalah orang-orang yang tinggi ilmunya, maka sebentar saja Ci Sian tersusul, apalagi karena memang dara ini tidak ingin berlumba lari. Dia terpaksa menghentikan larinya dan berdiri tegak menanti orang-orang yang mengejarnya itu. Diam-diam dia lalu mengerahkan tenaga dan ilmunya, terdengar suara melengking tinggi dari mulutnya yang menggetarkan seluruh keadaan sekeliling tempat itu.
Mendengar suara ini, Bu Seng Kin mengeluarkan seruan heran, demikian pula Tang Cun Ciu karena mereka berdua mengenal khi-kang yang tinggi dan aneh. Dan ketika mereka semua tiba di depan dara yang berdiri tegak itu, mereka terbelalak kaget melihat betapa banyak ular berdatangan dari segenap penjuru dan kini mengelilingi tempat di mana dara itu berdiri, seolah-olah merupakan pasukan pengawal yang melindungi dara itu. Sedikitnya ada seratus ekor ular besar kecil berada di situ dan dari jauh masih nampak beberapa ekor ular bergerak datang. Agaknya semua ular yang berada di puncak dan sekitarnya telah memenuhi panggilan dara pawang ular itu! Tang Cun Ciu merasa seperti mengenal dara itu, akan tetapi begitu melihat Ci Sian, Nandini dan Siok Lan berseru heran.
"Ci Sian....!"
Nandini berseru.
"Sian-moi, engkau di sini? Mengapa engkau di sini dan mengapa engkau melakukan pengintaian? Singkirkan ular-ularmu itu, Sian-moi, kita bukanlah musuh!"
Akan tetapi dengan sikap dingin Ci Sian berkata,
"Pergilah kalian semua, aku tidak butuh dengan kalian semua. Pergi....!"
"Omitohud, bocah siluman ini berbahaya!"
Kata Gu Cui Bi yang merasa ngeri melihat begitu banyak ular yang seakan-akan melindungl dara itu.
"Hemm, tidak semudah itu, Nona!"
Bu Seng Kin membentak. Dia tidak ingin mengganggu nona muda itu, akan tetapi dia tahu bahwa nona muda inilah orang pertama yang mendatangi pondoknya dan sejak tadi mengintai.
"Dia ini yang siang tadi berkeliaran menanyakan tempat tinggalmu!"
Gu Cui Bi berseru dan Bu Seng Kin merasa makin curiga, lalu dia bergerak maju hendak menangkap dara itu. Akan tetapi Ci Sian mengeluarkan suara melengking nyaring dan ular-ularnya bergerak menyerang semua orang itu!
Terdengar jerit-jerit karena jijik, akan tetapi wanita-wanita yang lihai itu tentu saja tidak mudah menjadi korban ular dan mereka pun mengelak dan menendang atau menginjak ular-ular itu. Ci Sian sendiri mengamuk, menyerang orang yang berani mendekatinya dan karena yang berani menyerangnya adalah Tang Cun Ciu dan Bu Seng Kin, maka dia menerjang dua orang ini dengan kemarahan meluap-luap! Dara ini mengeluarkan seluruh Ilmunya yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong. Akan tetapi dia ber-hadapan dengan Cui-beng Sian-li Tang Cu Ciu dan Bu-taihiap yang memiliki ilmu silat tinggi, maka tentu saja dia terdesak hebat dan ular-ularnya pun banyak yang mati. Bahkan kalau saja Bu Seng Kin menghendaki, tentu dalam waktu singkat dia yang dikeroyok dua itu akan roboh.
Akhirnya, semua ularnya mati dan Ci Sian yang melihat ini merasa begitu marah dan berduka sehingga dia menjerit dan tidak dapat mengelak ketika tangan Cui-beng Sian-li menampar ke arah lehernya. Melihat serangan dahsyat yang mengancam nyawa dara muda itu, Bu Seng Kin cepat menyentuh lengan kekasihnya itu sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak Ci Sian, namun cukup membuat Ci Sian roboh terguling dalam keadaan pingsan karena selain terkena tamparan itu, juga dara ini menderita tekanan batin yang hebat sejak dia tiba di pondok itu. Tang Cun Ciu memiliki watak yang amat keras. Melihat betapa tamparannya disentuh oleh kekasihnya sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak, hatinya tidak puas sekali.
"Budak siluman ini harus dibunuh!"
Dan dia pun sudah mengirim pukulan lagi ke arah tubuh yang sudah tidak bergerak itu.
"Cun Ciu, jangan....!"
Bu Seng Kin mencegah dan dia pun bergerak maju mengulur tangan untuk mendahului wanita itu, menyelamatkan nyawa dara itu.
"Dukkkk!"
Tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat, sebuah lengan menangkis tangan Cun Ciu dan Bu Seng Kin sekaligus. Pendekar sakti dan kekasihnya yang juga berilmu tinggi itu terkejut bukan main karena tangkisan lengan itu membuat mereka terdorong ke belakang sampai terhuyung! Ketika mereka memandang ke depan, sudah tidak ada apa-apa lagi di situ kecuali bangkai seratus lebih ular-ular mati. Tubuh dara muda yang tadi menggeletak pingsan itu pun telah lenyap!
"Eh, ke mana dia....?"
Bu Seng Kin berseru kaget.
"Aku hanya melihat bayangan berkelebat."
Kata Gu Cui Bi, nikouw itu. Nandini dan Siok Lan juga melihat berkelebatnya bayangan hitam dan mereka pun tidak melihat ke mana perginya Ci Sian yang tadi terpukul roboh.
"Ahh.... telah muncul seorang yang memiliki kepandaian luar biasa hebatnya!"
Seru Bu Seng Kin dengan ada suara penuh kagum dan juga khawatir.
"Mudah-mudahan saja dia tidak salah paham, bukan maksud kita untuk mencelakai dara itu. Sungguh heran, siapakah dara itu, dan mengapa ia datang ke sini?"
"Ayah, dia bernama Ci Sian dan...."
"Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah gadis murid See-thian Coa-ong itu! Ya benar, gadis yang.... ah, sekarang aku mengerti mengapa dia datang ke sini. Apakah engkau tidak melihat wajahnya, Kin-koko?"
Tokoh wanita Lembah Suling Emas ini menyebut kekasihnya Kin-koko, sebutan yang mesra.
"Tidak, aku tidak begitu memperhatikan wajahnya."
"Dia serupa benar dengan mendiang Sim Loan Ci, isterimu....!"
Kisah Sepasang Rajawali Eps 58 Jodoh Rajawali Eps 24 Jodoh Rajawali Eps 34