Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 58


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 58



Kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang anak perempuan yang lincah, bengal, puteri dari seorang datuk sesat yang amat kejam, yaitu Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo. Karena ditemani oleh Pendekar Super Sakti, perjalanan ke barat daya itu berjalan lancar dan tidak ada yang berani mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau melalui daerah berbahaya, Suma Han menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan membawa mereka berjalan seperti terbang berloncatan melewati jurang-jurang dalam dan lebar sehingga diam-diam Ceng Ceng yang seperti boneka hidup itu menjadi kagum bukan main, sedangkan Hwee Li bersorak-sorak girang kalau mendapatkan dirinya dapat pula "terbang"

   Tanpa duduk di atas punggung rajawalinya.

   Perjalanan itu lancar dan cepat. Dan pada suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang rumput yang sudah dekat dengan kota raja Bhutan, karena daerah ini sebetulnya sudah termasuk wilayah Bhutan, dekat dengan perbatasan di timur. Dan pada sore harinya, di tepi daerah padang rumput ini, tibalah mereka di sebuah perkampungan suku bangsa Nomad yang mengembala ternak. Mereka ini adalah peternak-peternak Nomad yang selalu berpindah tempat dan selalu hidup di dekat padang-padang rumput di mana mereka dapat membiarkan ternak kam-bing mereka makan sekenyangnya. Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu bahwa yang berada di perkampungan peternak itu adalah suku bangsa yang tidak liar dan yang suka hidup damai.

   Maka mereka bertiga diterima oleh mereka sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama mereka. Ternyata malam itu suku bangsa peternak Nomad ini sedang mengadakan keramaian untuk merayakan pahlawan-pahlawan mereka yang menang perang. Tentu saja Pendekar Super Sakti tidak tahu bahwa kepala suku bangsa ini bersama puluhan anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut menggabungkan diri untuk memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini merayakan kemenangan para pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota raja Bhutan dan yang dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang. Sukarnya, di antara suku bangsa ini, hanya ada beberapa orang saja yang dapat berbahasa Han, itu pun tidak lengkap sehingga sukar sekali bagi Suma Han dan dua orang gadis itu untuk bicara dengan mereka.

   Dengan bahasa tangan yang serba tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat menangkap bahwa suku bangsa itu sedang merayakan pesta "menang perang", akan tetapi tidak jelas perang dengan siapa dan di mana! Akan tetapi, Suma Han yang tidak mau mencampuri urusan mereka dan merasa sudah untung diterima sebagai tamu, tidak ingin menyelidiki lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum sekenyangnya. Hwee Li yang bengal itu tidak mau tinggal diam. Setelah kenyang makan minum, melihat kegembiraan suku bangsa itu, dia meninggalkan dua orang teman seperjalanannya untuk menonton keramaian. Bermacam-macam pertunjukan diadakan. Ada pertunjukan adu gulat, ada pula adu domba, tari-tarian, nyanyian dan lain-lain.

   Akan tetapi yang paling menarik hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang agaknya berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang suling mengiringi gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya seperti seorang penari yang genit. Para penonton merasa ngeri karena maklum akan bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka menonton agak menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat pintu pagar yang mengitari perkampungan itu. Tentu saja Kim Hwee Li tertarik sekali karena gadis cilik ini memang sejak kecil biasa bermain-main dengan segala macam ular, dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang jinak sampai yang paling buas dan beracun. Yang membuat dia terheran dan geli hatinya adalah suara suling yang ditiup oleh orang bersorban itu.

   Suara suling itu melengking tidak pernah ada putusnya, seolah-olah orang itu tidak pernah menarik napas, dan lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat dengan irama suling seolah-olah ular itu mengerti pula akan lagu yang ditiup melalui suling. Karena amat tertarik, tanpa disadarinya, Hwee Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran penonton yang berjongkok agak jauh. Beberapa orang berseru dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Hwee Li, akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis itu mendekat. Mereka itu kelihatan khawatir, akan tetapi Hwee Li menoleh kepada mereka, tersenyum dan mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tidak mengkhawatirkan dia. Lalu dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil mengawasi gerak-gerik ular itu.

   Orang India bersorban itu menggunakan tangan kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li sedangkan tangan kanannya tetap memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling yang ditiupnya. Akan tetapi Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa gembiranya bertemu "kawan lama", yaitu seekor ular berbisa seperti cobra itu, sama sekali tidak mempedulikan orang India itu. Bahkan kini Hwee Li menggerak-gerakkan kedua lengannya yang kecil panjang, digerak-gerakkan dengan amat lemasnya seperti dua ekor ular menari-nari! Tangannya dibentuk seperti kepala ular dan lengannya seperti badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk amat lemasnya. Para penonton yang mula-mula merasa khawatir, kini menjadi geli dan tertarik, bahkan ada yang memuji karena memang indah sekali gerakan kedua lengan tangan Hwee Li, seolah-olah gadis cilik itu seorang penari ular yang amat pandai.

   Akan tetapi seruan-seruan pujian menjadi seruan-seruan keheranan bercampur kekhawatiran ketika mendadak ular cobra itu kini meninggalkan keranjang, meninggalkan orang India dan menghampiri Hwee Li sambil menari-nari, matanya mencorong dan mulutnya mendesis-desis, lehernya mekar makin lebar. Orang bersorban itu terbelalak, matanya melotot saking heran dan penasaran melihat betapa ularnya, ular yang dipeliharanya bertahun-tahun dan selalu taat kepada sulingnya itu sekarang mendadak saja meninggalkan dia dan suara sulingnya tidak lagi mempengaruhinya. Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup makin kuat sehingga lehernya menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia menahan napas terlalu lama. Benar saja, ular itu terkejut dan menengok, lalu bergerak kembali ke tukang suling.

   "Trak-trak.... cek-cek-cek....!"

   Tiba-tiba Hwee Li membunyikan jari-jari tangannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah dan ibu jarinya, disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular cobra kembali menengok kepadanya. Terjadilah "adu kekuatan"

   Antara suara suling dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular itu yang kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li, lalu lehernya ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu melingkarkan tubuhnya pada tangan gadis cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan nampaknya jinak bukan main!

   Orang bersorban itu bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis cilik ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang "pawang ular"

   Yang hebat, maka dia menghentikan tiupan sulingnya, bangkit berdiri dan menjura ke arah Hwee Li sebagai penghormatan, kemudian menyodorkan keranjang ular, agaknya minta agar Hwee Li mengembalikan ular itu kepadanya. Para penonton juga menjadi kagum, ada yang bertepuk tangan dan tempat itu menjadi berisik sekali karena semua oreng membicarakan kelihaian gadis cilik ini dan menduga-duga siapa adanya pawang ular cilik yang hebat ini. Akan tetapi Hwee Li memandang kepada orang bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan menghina, apalagi ketika melihat banyak di antara penonton memberi mata uang dan barang-barang hadiah lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular cobra itu melingkar di lengan dan lehernya, kemudian dia berkata,

   "Kau orang yang kejam dan tak tahu malu, menggunakan ular untuk mencari uang! Kau menyiksa ular ini dengan sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang. Huh, tak tahu malu!"

   Setelah berkata demikian, Hwee Li lalu meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra itu. Tentu saja orang bersorban menjadi marah. Dia sudah per-nah merantau ke timur dan sedikit-sedikit dia dapat juga berbahasa Han.

   "Nona, tunggu....! Kau kembalikan ularku!"

   Katanya marah. Hwee Li berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya.

   "Apa? Siapa bilang ini ularmu? Dia tentu ular yang bebas dan kau tangkap lalu kau paksa mencarikan uang untukmu!"

   "Kembalikan!"

   Orang India itu membentak.

   "Tidak!"

   Hwee Li juga membentak dan kini dia lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu terkejut dan menghilang di dalam semak-semak yang tebal.

   "Kurang ajar!"

   Orang bersorban itu marah sekali, lalu dia mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini kecil saja, sebesar kelingking dan panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya belang-belang merah hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari tangannya yang coklat panjang menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li! Gadis cilik ini tersenyum mengejek, membiarkan ular itu menggigit lengannya, kemudian dengan gerakan cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu.

   Dia adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai sekali dan totokannya membuat tangan orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular terlepas dan ular kecil itu membalik dan menggigit ibu jari tangannya. Orang India itu menjerit, membuang ularnya dan dia berjingkrak-jingkrak sambil memegangi ibu jari tangannya yang tergigit ular beracun itu. Adapun Hwee Li dengan tenang saja mengobati luka di lengannya. Dia sudah kebal terhadap gigitan ular yang bagaimana beracun pun, karena di Pulau Neraka adalah pusat segala macam ular beracun maka dia pun hanya mengobati lukanya saja, bukan memunahkan racunnya yang tidak akan mengganggunya sedikitpun juga. Akan tetapi, orang India itu ketakutan setengah mati karena dia maklum bahwa gigitan ular kecil itu amat berbahaya dan dia tidak tahu bagaimana caranya mengobatinya.

   Para penonton menjadi ikut sibuk karena terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu. Karena tidak mengerti bahasanya, maka para penonton yang tadi melihat orang India itu lebih dulu menyerang, tidak ada yang menyalahkan si gadis cilik, apalagi melihat gadis cilik itu pun terkena gigitan ular kecil. Hanya yang membuat mereka terheran-heran, kalau gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa orang India ini menjadi begitu ketakutan dan kini berjingkrakan sambil menangis? Tiba-tiba di antara penonton muncul seorang gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat cantik jelita, sukar dikatakan siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li, karena keduanya memiliki kecantikan khas masing-masing, hanya gadis ini lebih dewasa daripada Hwee Li.

   Gadis ini dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri orang India itu, mengeluarkan sebungkus obat dan dengan cekatan dia menggunakan sebuah pisau kecil merobek ibu jari itu, mengeluarkan darahnya dan membubuhkan obat ke ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan robekan baju orang India itu sendiri. Dan orang India itu berhenti menangis, agaknya luka beracun itu seketika menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura dengan dalam sampai tubuhnya hampir terlipat menjadi dua kepada nona yang tanpa banyak bicara telah mengobatinya itu. Kini, nona itu berdiri menghadapi Hwee Li, sambil bertolak pinggang, sikapnya galak bukan main seperti seorang guru memarahi muridnya!

   "Kau sungguh bocah yang kejam dan perlu dihajar!"

   Nona itu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li.

   "Masih sekecil ini sudah main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah besar kelak tentu akan menjadi iblis betina!"

   Hwee Li tentu saja tidak takut. Dia meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali, akan tetapi juga membayangkan kebengalannya.

   "Phuih, sombongnya! Baru bisa menyembuhkan gigitan ular begitu saja lagaknya sombong seolah-olah telah menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau ini tentu hanya Nona penjual obat yang biasa berteriak-teriak di pasar-pasar. Apa sih anehnya?"

   Nona muda itu bukan lain adalah Teng Siang In. Sebagai anak dari mendiang Yok-sian Si Dewa Obat, tentu saja dia adalah seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Setelah menjadi murid See-thian Hoat-su, di sepanjang perjalanan kalau melihat tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat mujarab,

   Dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mengambilnya dan dia lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang penting-penting di antaranya obat penawar luka-luka berbisa. Maka dengan mudah dia mampu mengobati orang India itu. Seperti kita ketahui, Siang In juga memiliki watak lincah jenaka dan galak, maka kini berhadapan dengan Hwee Li yang bengal, diejek sebagap penjual obat di pasar, Siang In menjadi marah sekali. Biarpun dia belum sempat digembleng oleh See-thian Hoat-su, namun dia pernah belajar ilmu silat bersama kakaknya, maka kini dia cepat menyerang Hwee Li. Akan tetapi, biarpun dia lebih muda, Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih lihai. Dengan gesit dia mengelak dan balas menyerang.

   Terjadilah perkelahian di antara dua orang gadis cilik yang sama-sama cantik jelita ini, dan kejadian ini amat menarik hati dan menggembirakan hati para suku bangsa liar yang memang menganggap perkelahian sebagai tontonan yang mengasyikan, apalagi kalau dilakukan oleh dua orang gadis yang demikian cantiknya. Setelah saling serang selama belasan jurus, Siang In mulai terdesak dan sudah beberapa kali dia menerima tamparan tangan Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan mulailah Siang In yang galak itu memaki-maki. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan yang gesit dan tahu-tahu Ceng Ceng sudah tiba di tempat perkelahian itu. Semua orang makin kagum dan gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik dan gagah perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang se-dang berkelahi mati-matian itu, hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan mereka.

   "Berhenti, jangan berkelahi!"

   Gadis yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru.

   "Hwee Li, mundur kau!"

   "Subo, dia kurang ajar!"

   Hwee Li berkata.

   "Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di pasar, dia sombong dan dia yang lebih dulu menyerangku."

   "Bocah setan!"

   Siang In yang beberapa kali kena ditampar Hwee Li masih marah-marah sekali.

   "Muridnya setan gurunya tentu iblis!"

   Dia kini malah memaki Ceng Ceng untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya karena dia tadi ditampari dan belum sempat membalas sudah dipisahkan.

   "Hemm, apakah kau tukang obat yang pandai?"

   Ceng Ceng menghampiri sambil mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar maki-makian gadis cantik itu. Pertanyaan yang sewajarnya ini oleh Siang In dianggap penghinaan pula, maka dia lalu menjawab,

   "Aku tukang obat atau bukan, setidaknya lebih bersih daripada kalian guru dan murid iblis peng-ganggu orang!"

   Dan Siang In langsung lalu menerjang dan memukul Ceng Ceng. Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berwatak keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda kedukaan hebat. Maka melihat sikap Siang In dia sudah menjadi marah sekali.

   "Bocah lancang dan sombong! Coba kauobati ini kalau bisa!"

   Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya.

   "Plakkk....! Oughhh....!"

   Siang In terpelanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biarpun tubuh Ceng Ceng sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis ini tentu saja masih menguasai pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.

   "Eh, Siang In, kau kenapa....?"

   Tiba-tiba seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan para penonton menjadi makin tegang. Kakek itu memeriksa pundak Siang In dan dia mengerutkan alis-nya, lalu bangkit menghadapi Ceng Ceng.

   "Hemmm.... agaknya aku pernah bertemu dengan engkau, Nona yang bertangan kejam. Sungguh kejam kau menjatuhkan pukulan beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan obat penawarnya, jangan sampai aku orang tua menjadi hilang sabar kepadamu,"

   Kata kakek itu yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

   "Subo, dia ini tentu pembual yang suka menjual obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib palsu yang beroperasi di pasar-pasar. Jangan layani dia!"

   Hwee Li mengejek. Ceng Ceng memandang kakek itu.

   "Muridmu yang lancang, mencampuri urusan muridku dan lebih dulu menyerang muridku, mengandalkan kepandaian mengobati. Sekarang biarlah dia atau engkau mengobati luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita pergi!"

   Akan tetapi baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, terdengar kakek itu berseru,

   "Tahan dulu! Lihat, apakah kalian mampu menahan serangan jubahku ini!"

   Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, siap menghadapi kakek itu yang disangkanya akan menyerang mereka. Akan tetapi mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya, melemparkan jubah itu ke arah mereka dan.... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut bukan main ketika jubah itu tiba-tiba menjadi "hidup"

   Dan telah menyerang mereka kalang-kabut, menghantam mereka dengan lengan jubah seolah-olah digerakkan oleh setan!

   "Hiiiiiihhh...., tolongggg, Subo....!"

   Hwee Li menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini dengan perasaan tegang dan seram. Akan tetapi Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu! Para penonton kini makin menjauh karena orang Nomad sederhana ini amat percaya tahyul dan kini melihat sehelai jubah dapat mengamuk, mereka tentu saja menjadi ketakutan. Ceng Ceng sendiri selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini. Mukanya yang memang sudah muram itu menjadi makin pucat, matanya terbelalak dan beberapa kali dia bergidik dan merasa ngeri. Jubah itu benar-benar telah menjadi "hidup"! Biarpun dia pandai dan tenaganya juga amat kuat, tentu saja dia kewalahan melawan sehelai jubah yang hidup! Dipukul betapa keras pun, tentu saja jubah itu tidak merasakan apa-apa sebaliknya tamparan-tamparan ujung lengan jubah itu mendatangkan rasa panas.

   "Hiiiihhhh.... tolongg.... takuttt.... Locianpwe.... tolong, Locianpweee....!"

   Hwee Li menjerit-jerit dikejar oleh jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa panas dan pedas. Tiba-tiba muncul Pendekar Super Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap tenang.

   "Hemmm, menggunakan ilmu menggoda anak-anak perempuan, sungguh merupakan watak kekanak-kanakan saja!"

   Dengan tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan.... jubah itu seperti ketakutan, seperti seorang kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang seperti hidup itu kini "memasuki"

   Lagi tubuh dan kedua lengan See-thian Hoat-su dan telah dipakainya kembali. Sejenak kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang masih gemetaran itu memandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah bangkit duduk dan menonton. Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh dan mereka berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi. Sampai lama kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa bergelak,

   "Ha-ha-ha-ha, hampir tak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari Pulau Es yang juga terkenal sebagai Pendekar Siluman yang tersohor itu?"

   Pendekar Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar namanya, maka dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab,

   "Saya memang datang dari Pulau Es."

   "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar Siluman, kabarnya engkau disamping memiliki kepandaian silat yang tak terkalahkan, juga amat kuat di dalam ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat di antara kita."

   "See-thian Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil yang suka pamer? Kalau ada persoalan di antara kita, apakah tidak lebih baik kita selesaikan secara damai?"

   Suma Han berkata.

   "Ha-ha-ha, justeru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya main-main saja dengan mereka."

   Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su mengeluar-kan sinar mencorong yang aneh.

   "Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu itu bukan sembarangan tongkat, lihat dia pandai terbang....!"

   Pendekar Super Sakti menghela napas panjang.

   "Sesukamulah, Hoat-su."

   Dan dia membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su menggerakkan tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, diantara mereka. Pendekar Super Sakti hanya bersedakap dan bersikap tenang saja. Semua orang yang menonton menjadi melongo saking herannya, melihat tongkat butut itu melayang-layang di antara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah sebuah benda hidup.

   "Pendekar Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri, ha-ha-ha!"

   Terdengar suara See-thian Hoat-su. Dia bicara sambil tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekuatan mujijat yang amat berwibawa. Semua orang yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan takut ketika melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini telah berubah menjadi seekor harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara menggetarkan tempat itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya dan seperti hendak menyerang kakek berkaki buntung sebelah itu.

   "Kau keliru, Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga yang hendak menyerangmu!"

   Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang namun juga mengandung wibawa yang amat kuat. Para penonton kini menjadi makin ketakutan, ada yang menggigil dan tidak dapat bangkit berdiri, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar terbelalak ketika melihat betapa harimau besar itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak menyerang Kakek See-thian Hoat-su! See-thian Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah lagi menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi menjadi bentuk naga seperti yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi. Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang yang menonton di situ makin lama menjadi makin ketakutan.

   Siapa yang tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara bentuk harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadeng "pertandingan"

   Itu sedemikian hebatnya sehingga ada kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor harimau yang tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau seekor naga yang tubuh belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi ketakutan dan mereka makin lama makin mundur menjauhi dua orang kakek yang mereka anggap siluman-siluman itu. Setelah mengadu kekuatan sihir beberapa lamanya, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah menjadi seekor naga yang beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.

   "Hebat engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!"

   Katanya sambil menghentikan pengerahan tenaga mujijat. Suma Han mengangkat tangannya dan "naga"

   Itu terbang kembali ke tangannya dan berubah lagi menjadi sebatang tongkat.

   "See-thian Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti seorang anak-anak saja."

   Pendekar Super Sakti menegur.

   "Ha-ha-ha-ha, memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak suka bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka bermain-main dengan pikiran dan nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak begitukah?"

   Suma Han tersenyum.

   "Engkau benar, Hoat-su. Harap engkau orang tua suka memaafkan kalau dua orang temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu."

   Suma Han menuding ke arah Ceng Ceng dan Hwee Li, akan tetapi dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah duduk berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana bersahabat! Memang demikianlah. Hwee Li dan Siang In yang keduanya memiliki watak yang hampir sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee Li telah setengah memaksa subonya untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan di antara mereka, bahkan mereka lalu bersahabat.

   "Bagaimanakah Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?"

   Kakek See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapapun juga itu bertanya.

   "Aku sedang mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian Bu...."

   "Heee, Siang In. Bukankah kau mengenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu?"

   Tiba-tiba kakek itu memanggil muridnya. Mendengar disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi berubah merah sekali. Akan tetapi dia meninggalkan Hwee Li dan mendekati gurunya, memandang kepada Pendekar Super Sakti dengan penuh selidik.

   "Tentu saja aku mengenal dia, Suhu,"

   Jawabnya.

   "Bagus!"

   Suma Han berseru girang.

   "Di mana kau terakhir ini bertemu dengan dia, Nona?"

   "Nanti dulu,"

   Siang In menjawab.

   "Siapakah Locianpwe yang aneh ini mengapa bertanya tentang dia?"

   "Ha-ha-ha, bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es, ayah dari pemuda itu."

   Siang In terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat.

   "Maafkan saya...."

   Pendekar Super Sakti tersenyum. Seorang dara yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid seorang sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.

   "Aku hanya ingin tahu di mana engkau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona?"

   Dia mengulang pertanyaannya.

   "Di dalam hutan.... ketika terjadi pencegatan yang dilakukan gerombolan Tambolon terhadap rombongan pengawal Puteri Bhutan."

   Gadis itu lalu bercerita, akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan betapa dia telah dicium oleh pemuda itu! Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya.

   "Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang perginya anakku yang suka bertualang itu, Nona?"

   "Dia agaknya diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang telah berada di tapal batas Bhutan dan...."

   Siang In menoleh ke kanan kiri, melihat banyak orang anggauta suku bangsa penggembala itu menonton, dia lalu berkedip dan mendekati Pendekar Super Sakti, berbisik,

   "Mereka ini adalah suku bangsa yang terbujuk oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan."

   Melihat Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik, Ceng Ceng yang menaruh curiga lalu mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata kepada Pendekar Super Sakti,

   "Kalau begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu...."

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
See-thian Hoat-su tertawa.

   "Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau mencari keributan, kami mempunyai urusan pribadi sendiri, maka maafkan kami yang harus pergi sekarang. Hayo, Siang In!"

   Dia memegang tangan muridnya dan pergi dengan cepat. Siang In melambaikan tangan kepada mereka terutama kepada Hwee Li yang dibalas pula oleh Hwee Li. Setelah guru dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng,

   "Kita harus berhati-hati dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati pimpinan suku bangsa ini dan mencari keterangan dari mereka."

   Baru saja dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki buntung ini yang tadi telah memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga mereka yang menonton menjadi kagum dan juga takut, kini bergerak minggir dan memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang berpakaian jubah lebar dan lebih mewah daripada pakaian mereka semua.

   Kiranya mereka ini adalah tiga orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari kakek berkaki buntung sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang mengalahkan orang India ahli bermain ular. Dengan sikap ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang Pendekar Super Sakti dan dua orang dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja disambut dengan baik oleh Pendekar Super Sakti. Mereka lalu diajak memasuki perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang terbuat dari daging domba, menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah, yaitu susu domba. Melalui seorang penerjemah, Pendekar Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka bahwa memang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak kepada Raja Tambolon yang kini sedang memerangi Bhutan.

   "Kami membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti Anda,"

   Kata kepala suku tertua sambil meman-dang Suma Han penuh perhatian.

   "Karena di pihak tentara Bhutan terdapat pemimpin-pemimpin yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di sana memimpin pasukan pertahanan Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Dia dibantu oleh seorang laki-laki setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang luar biasa."

   Mendengar ini, Pendekar Super Sakti menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita Kerajaan Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda lihai itu tentulah Suma Kian Bu.

   "Baiklah, kami akan melihat-lihat peperangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana,"

   Katanya dengan girang. Kepala suku itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang laki-laki muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan untuk pasukan Raja Tambolon yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan.

   Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut bersama mereka menuju ke medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah mengenal jalan dengan baik, maka perjalanan dapat dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan melalui pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik. Akan tetapi, sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota raja Bhutan, ketika rombongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut sekali mendengar bunyi melengking tinggi dari atas, apalagi ketika mereka memandang dan melihat seekor burung rajawali yang besar dan berbulu hitam menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan itu dan pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.

   "Jangan panah....!"

   Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah meluncur ke arah burung.

   "Hek-tiauw, awas panah....!"

   Hwee Li yang sudah mengenal burungnya itu berseru keras. Namun penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia menyampok anak panah itu dengan kakinya, kemudian dia menukik dan hendak menyerang ke arah kepala suku yang memanahnya tadi. Akan tetapi, dengan sekali bergerak, Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya, memapaki rajawali hitam yang menyambar turun itu.

   "Plak! Desss....!"

   Rajawali terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang yang menunggang rajawali itu.

   "Ayah....!"

   Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu. Sedangkan Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget ketika serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti, membuat burungnya terpental. Maka kini melihat puterinya berada di situ, dia menjadi girang dan juga heran dan setelah menyuruh burung rajawalinya turun, dia pun meloncat ke atas tanah.

   "Ayah....! Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!"

   Hwee Li berseru dengan wajah bersungut-sungut. Sementara itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat.

   Tentu orang ini bukan manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini turun menunggang burung raksasa untuk menghukum. Maka dua puluh lebih orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia itu kini menjatuhkan diri berlutut! Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya setelah sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia memandang dengan penuh perhatian kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan yang tadi membuat rajawalinya terpental. Sampai lama kedua orang ini berdiri saling pandang karena Suma Han juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan Hwee Li sudah lari ke dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.

   "Aih, hek-tiauw, kau sudah sembuh....?"

   Katanya sambil membelai kepala burung rajawali itu yang mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang dibelai majikannya. Hal ini membuat semua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan makin ketakutan. Kiranya rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan dewa!

   "Kau.... kau.... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!"

   Akhirnya Hek-tiauw Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keraguan masih menempel di dalam suaranya.

   "Hek-tiauw Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kau rampas dan kuasai,"

   Kata Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa.

   "Tahukah engkau tempat apa yang kau rampas dan kuasai itu? Tempat pembuangan dan siapa sudah menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu, karena kepergiannya berarti hanya menyebar malapetaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka."

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak.

   "Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu dengan Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada kesempatan. Siapa tahu sekarang bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku. Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang namanya menggetarkan kolong langit."

   Setelah berkata demikian, Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum akan kelihaian Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia lalu menerjang Pendekar Super Sakti.

   "Wuuuutttt.... syuuuuttt....!"

   Angin yang dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan yang dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan ketakutan, cepat mereka mundur dan berusaha menenangkan kuda mereka yang meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.

   "Hemmm....!"

   Suma Han mengeluarkan seruan dan tubuhnya sudah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan serangan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang lagi, menubruk seperti seekor singa kelaparan dengan kedua tangan terpentang dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han menggunakan kecepatan gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk tempat kosong.

   "Ayaaaah.... jangan....!"

   Hwee Li berteriak.

   "Ssssttt, Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!"

   Ceng Ceng berseru mencegah muridnya karena dia tahu betapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua orang sakti yang sedang bertanding itu. Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh Pulau Neraka itu. Maka kini, berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu lawan dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali. Hwee Li tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu menjadi gelisah dan dia tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok Pendekar Super Sakti. Maka dia yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu dikeroyok, lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu menenangkan kuda masing-masing.

   "Haaaihhh.... waaahhhh!"

   Hek-tiauw Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat jurus dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan pendekar itu memang hanya mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan gerakannya tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di sekeliling dua orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi udara.

   "Hemm, kau sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!"

   Terdengar seruan Pendekar Super Sakti dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan tangannya melayang dan membalas serangan-serangan itu. Hek-tiauw Lo-mo terkejut, membalik sambil menangkis, namun tubuh lawannya berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang dari kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo kini hanya mengelak dan menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga sukar dia ikuti dengan pandang mata!

   "Pendekar Siluman, jangan menggunakan ilmu siluman, hayo hadapi aku secara jantan!"

   Teriaknya marah dan juga jerih.

   "Hek-tiauw Lo-mo, apa yang kau maksudkan dengan cara jantan?"

   "Heiiit!"

   Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan sinar hitam tipis menyambar ke arah berkelebatnya bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya karena melayani lawan bicara.

   "Plakkk!"

   Jala itu kena sambaran hawa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan.... robek seperti terbakar. Itulah pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga benda pusaka yang tahan api itu masih tidak mampu bertahan menghadapi pukulan itu.

   "Keparat!"

   Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak.

   "Hadapi pukulanku ini!"

   "Hemm....!"

   Pendekar Super Sakti berdiri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya berdiri dengan satu kaki, kedua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.

   "Desss....!"

   Tubuh Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar dan terbanting roboh lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di ujung bibirnya! Sejenak dia memandang penuh kebencian, penuh ke-marahan, akan tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan yang sudah bertahun-tahun dianggapnya sebagai musuhnya yang nomor satu di dunia ini. Sejenak mereka berpandangan dari jarak lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menunduk, membungkuk lalu membentak,

   "Pendekar Siluman, kau sambutlah ini kalau memang kau jantan....!"

   Lalu tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan dengan kepala di depan, seperti seekor kerbau menyerang dengan tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti. Pendekar ini terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak menyingkir, bahkan lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang kecil.

   "Cappp....!"

   Kepala Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh kakek Pulau Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke belakang. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak menghantam ke arah kedua pundak Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini sudah menggerakkan dulu kedua tangannya menyambut hantaman itu!

   "Plakkk!"

   Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.

   "Locianpwe, jangan bunuh ayahku....!"

   Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam itu berseru nyaring. Sejenak Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan bunyi melengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku bangsa liar itu meringkik ketakutan dan membuat rajawali hitam juga meronta-ronta ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.

   "Aduhhh....!"

   Tak tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, kemudian menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan yang masih berdiri tegak dan tenang, kemudian secepat kilat dia menyambar pinggang Hwee Li, meloncat ke atas punggung rajawali hitam yang segera menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.

   "Hwee Li....!"

   Ceng Ceng berseru kaget.

   "Ayah, lepaskan aku....! Aku mau ikut Subo....!"

   Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu sudah terbang tinggi dan lapat-lapat terdengar tangis Hwee Li.

   "Ohh...."

   Ceng Ceng mengeluh.

   "Dia diajak pulang ayahnya, perlu apa disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan dengan ayahnya. Agaknya hanya anaknya saja yang akan mampu merubahnya,"

   Kata Pendekar Super Sakti. Ceng Ceng diam saja dan memang peristiwa ini hanya sebentar saja menggores hatinya yang sudah menjadi layu. Kini pimpinan rombongan, diikuti oleh semua anak buahnya berlutut di depan Pendekar Super Sakti.

   "Pendekar besar.... siapakah yang datang menunggang burung dewa tadi? Apakah dia itu dewa atau golongan iblis?"

   Tanya pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han daripada yang lain. Suma Han tersenyum.

   "Kalau dikatakan bahwa dia itu iblis memang lebih cocok,"

   Jawabnya.

   "Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang dewa!"

   Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat, mereka berlutut dan menyembah-nyembah.

   "Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,"

   Kata Suma Han. Gembira karena mereka merasa dibantu oleh dewa, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Bhutan yang sedang dikurung oleh pasukan-pasukan Tambolon. Puteri Milana, Gak Bun Beng, Panglima Jayin dan para panglima lainnya malam itu mengadakan perundingan.

   Bentrokan dengan pihak musuh secara terbuka, ternyata tidak menguntungkan mereka. Biarpun dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, mereka dapat dikata menang karena jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tentara mereka, akan tetapi robohnya para korban di pihak mereka itu berarti berkurangnya jumlah mereka sehingga pertahanan mereka menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja dapat menyusun kembali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar! Mereka semua merasa bingung dan kehabisan akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan siasat perang, dalam keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata,

   "Kalau mengandalkan perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah mereka tentu akan menderita kerugian. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat, menyerang mereka dari luar."

   "Menyerang mereka dari luar?"

   Tanya Jayin bingung.

   "Apa yang paduka maksudkan?"

   "Sepasukan pengawal pilihan yang dipimpin oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan mereka tentu akan bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan pasukan-pasukan keluar, kemudian menyerang mereka dari berbagai jurusan, tentu mereka akan menjadi kacau-balau. Benteng kita cukup kuat, dan tidak perlu dijaga terlalu banyak tentara. Kalau banyak terjadi penyerangan oleh pihak kita dari luar, tentu mereka menyangka bahwa penyerang-penyerang dari luar itu merupakan bala bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan melemahkan semangat mereka. Barisan yang dipimpin Tambolon bukan merupakan suatu suku bangsa yang bersatu, melainkan dari banyak suku bangsa. Sekali semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai."

   Semua orang tidak ada yang dapat membantah siasat yang dikemukakan oleh Milana.

   "Biar aku memimpin pasukan menyelundup dan menerobos keluar dari kepungan musuh,"

   Kata Bun Beng. Milana mengangguk.

   "Memang penerobosan keluar ini saya percayakan kepadamu, Gak-suheng. Kita memilih bagian yang paling lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian selatan diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat berpencar menjadi pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh perwira masing-masing, kemudian mencari tempat persembunyian yang baik di empat penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak musuh tak dapat beristirahat dan mengalami kekacauan."

   Puteri Milana lalu mengemukakan rencana siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para pembantunya. Sampai lewat tengah malam mereka berunding dan mengantar persiapan karena menurut rencana mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak musuh sedang lelah-lelahnya, mereka akan melakukan penyelundupan atau penerobosan keluar itu. Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang, yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok, sudah siap di pintu gerbang barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri.

   Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun Beng yang berpakaian biasa, bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak buah pasukan, mengena-kan pakaian biasa seperti yang telah diatur dalam rencana siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar. Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh Puteri Milana, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar tembok. Penjaga segera datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebelah timur terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi kebakaran besar dan terdengar teriakan-teriakan dan tanda-tanda persiapan dan
(Lanjut ke Jilid 57)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 57
perang! Peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan penerobosan itu.

   "Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu,"

   Katanya kepada Gak Bun Beng.

   "Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam.... aku khawatir kalau-kalau Tek Hoat melakukan sesuatu di luar rencana."

   Semua orang berkumpul di atas benteng dan memandang ke tempat terjadinya kebakaran dan melihat perang yang hanya mereka ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tak lama kemudian, sinar matahari pagi menerangi keadaan di bawah dan tak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun Beng dan Milana melihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak tentara musuh. Biarpun dari atas menara masih agak jauh tempat pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil saja, namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat Bun Beng terkejut bukan main.

   "Dia Tek Hoat....!"

   Serunya.

   "Eh, benarkah?"

   Tanya Milana.

   "Aku tidak lupa gerakan silatnya!"

   "Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu lancang sekali."

   "Dan terlalu berani. Lihat, mungkin semua pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding tinggal dia seorang diri. Aku harus menolongnya. Milana, harap kau perintahkan penjaga pintu gerbang untuk siap menolongku masuk...., aku harus menolongnya."

   "Tapi...."

   "Tidak ada tapi...."

   "Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya."

   Sri Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah itu berkata,

   "Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya."

   "Kita tidak boleh kehilangan banyak anggauta pasukan, Sri Baginda. Saya dapat menolong dia. Sumoi, aku pergi!"

   Dengan cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat yang lebih rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan berjungkir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi mata biasa untuk mengikuti gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia telah tiba di atas tanah di luar tembok benteng.

   Terdengar teriakan-teriakan dan anak-anak panah meluncur dari berbagai jurusan. Akan tetapi Puteri Milana yang mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perhatian itu telah memerintahkan barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua anak panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus berloncatan maju ke arah Tek Hoat yang dikepung oleh banyak musuh. Puteri Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan penjaga pintu gerbang untuk bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat kalau mereka nanti sudah mundur sampai di pintu gerbang. Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang pagi itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek Hoat memimpin pasukannya untuk membakar perkemahan Tambolon dan mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita tidak setuju akan niat pemuda itu.

   "Kita harus menanti isyarat dari Puteri Milana,"

   Kata panglima itu.

   "Sungguh tidak baik kalau bertindak sendiri tanpa menanti perintah atasan."

   "Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan pihak musuh dengan mudah dapat memperkuat kedudukan dengan men-datangkan bala bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja terkurung dan dari mana diharapkan bantuan? Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan mereka, menyerbu di te-ngah malam selagi mereka tidak menyangka, melakukan pembakaran perkemahan mereka sebanyaknya dan kita menyergap di dalam kegelapan malam. Pembakaran-pembakaran yang kita lakukan merupakan pertanda bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku tidak tahan kalau harus berdiam diri menyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya."

   Demikian Tek Hoat bicara penuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera menyatakan persetujuan dah kegembiraan mereka. Pasukan pengawal itu adalah pasukan pilihan yang gagah perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi dan diam saja menyaksikan kota raja dikepung musuh. Akhirnya Sangita, yang juga merupakan seorang panglima setia dan gagah perkasa, menyetujui dan setelah lewat tengah malam, bergeraklah mereka menyerbu dan membakar perkemahan pihak musuh. Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut. Datangnya serbuan itu amat tidak mereka sangka dan sepak-terjang Tek Hoat dan Sangita bersama pasukannya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan banyak terjatuh korban di pihak musuh.

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam gelap terjadilah, namun tentu saja pihak penyerbu lebih untung karena mereka sudah memperhitungkan segala-galanya, sedangkan pihak pasukan Tambolon yang terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana kekuatan pihak penyerbu sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri. Akan tetapi, Tambolon yang menjadi marah oleh gangguan dari luar ini, sudah mengumpulkan pasukan besar dan mengurung hutan itu sehingga pasukan pengawal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak mempunyai jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan biarpun mereka telah merobohkan banyak sekali jumlah lawan, setiap orang perajurit paling sedikit membunuh lima orang musuh namun setelah pagi tiba mereka terkurung,

   Terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok. Sangita yang sudah tua mengamuk dengan sepasang goloknya seperti seekor singa tua. Entah berapa puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, akan tetapi akhirnya dia pun roboh di bawah serangan puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur lebur, kematian yang amat gagah dari seorang perajurit, akan tetapi juga kematian yang amat menyedihkan. Serbuan dan pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik, selain membunuh banyak sekali musuh, juga membikin mereka panik, kacau dan menurun semangat mereka. Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai akhirnya tinggal Tek Hoat sendiri yang masih mengamuk.

   Tak terhitung banyaknya lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya sudah menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun tidak terhindar dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh. Dengan pakaian compang-camping, tubuh luka-luka dan berlumuran darah sendiri bercampur dengan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk hebat ketika Bun Beng muncul. Betapapun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat banyak, yang roboh sepuluh datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari luka-lukanya, tak lama lagi Tek Hoat tentu akan roboh pula seperti Sangita kalau pertandingan itu dilanjutkan.

   "Plak-plak-desss....!"

   Enam orang di antara para pengeroyok Tek Hoat terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir ketika Gak Bun Beng menyerbu. Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan melanjutkan amukannya dengan pedang rampasannya.

   "Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu gerbang....!"

   Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua orang pengeroyok lagi.

   "Tidak!"

   Tek Hoat menjawab tegas.

   

Pendekar Super Sakti Eps 30 Sepasang Pedang Iblis Eps 14 Sepasang Pedang Iblis Eps 2

Cari Blog Ini