Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 28


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



Kemudian Syanti Dewi memberi isarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar. Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus.

   "Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya. Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui. Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.

   "Tapi.... agaknya pria yang kaucinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu?"

   Syanti Dewi menggeleng kepalanya,

   "Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya, bagi-ku...."

   "Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?"

   Sampai lama Syanti Dewi tidak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan daripada jawaban,

   "Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapapun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tidak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ah, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja per-mintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi...."

   Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!

   "Kalau memang engkau sudah mengambil keputusan, nah, besok kau lakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar kepada Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghenda-ki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci."

   Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu.

   "Ah, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Biarpun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan prikemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya.... tidak mungkiniah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain...."

   Pangeran Kian Liong memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, lalu menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya.

   "Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!"

   "Pangeran, harap ampunkan dia...."

   "Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, dan juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tidak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bu-kan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa mengecewakan hati Ouw-toanio, dan setelah engkau ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu?"

   Syanti Dewi terkejut dan juga merasa terharu, sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang amat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!

   "Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan...."

   "Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk mengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya? Tidak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andaikata aku mengambil sepuluh orang wanita sekalipun."

   "Ah, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran."

   "Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi?"

   Pada saat itu nampak dua orang pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu. Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran.

   "Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran."

   Kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu. Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu. Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, tiba-tiba ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.

   "Tringgg....!"

   Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai mengeluarkan bunyi nyaring.

   "Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini?"

   Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.

   "Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka."

   Syanti Dewi lalu mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, kemudian dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang.

   Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu. Biarpun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat di dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria yang bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.

   "Mari, Pangeran!"

   Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya. Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih maupun sebagai seorang sahabat! Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok itu, walaupun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, namun dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya bercepat-cepat meninggalkan taman.

   "Ahhh....!"

   Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya. Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung.

   Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu itu, yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang. Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur.

   Baik yang dikeroyok maupun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan ketika diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan! Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius. Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.

   "Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi."

   Komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar.

   "Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan. untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu...."

   Komandan itu menggeleng kepalanya.

   "Sungguh berbahaya sekali, yang kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran."

   Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya.

   "Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tidak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi."

   Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi.

   Dua orang yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan. Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang-orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran! Akan tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja.

   "Aku tidak khawatir."

   Katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi.

   "Biarpun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?"

   Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat. Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu.

   Sudah jelas ada orang yang jahat hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya! Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersendau-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu. Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu.

   Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah dia mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke pulau itu Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan! Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana. Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar dan ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan.

   Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justeru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya! Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu. Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebah-kan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu.

   Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan! Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula! Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk.

   Betapapun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya.Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu,

   Dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya. Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan! Syanti Dewi tidak berobah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu.

   Kedua matanya menjadi basah. Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya. Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur.

   Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar Sang Pangeran dapat menang. Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya dalam hutan berkat pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang Pangeran itu berobah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi, dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya!

   Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu kalau saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok.

   Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang ingin mencelakai pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena kalau hal itu dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu pernah diculik dan tidak dibunuh? Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti Dewi! Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu? Cara satu-satunya yang terbaik baginya, adalah melindungi Pangeran itu secara langsung!

   Maka dia pun bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang menyerang, tentu mengambil jalan dari atas wuwungan. Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, dia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap lagi ditelan kegelapan malam. Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya. Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.

   "Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat hendak datang.... biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran...."

   Bisik Tek Hoat. Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik kembali sambil turun dari atas pembaringan,

   "Baik, cepat kau gantikan aku dan aku...."

   Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!

   "Ah, kenapa Paduka....?"

   "Ssssttt...., aku mau nonton!"

   Bisik Pangeran itu yang sudah bersembunyi di kolong pembaringan! Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggeleng kepala.

   Pangeran ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton, dan bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main! Akan tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk berbantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti. Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biarpun bukan seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk!

   Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke dalam kamar. Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia, sudah siap siaga. Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil.

   Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan. Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar. Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. itulah pukulan, jari telanjang yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.

   "Wuuuttt.... cettt....!"

   Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya!

   itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan dapat membunuh lawan seketika! Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thai-houw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki Pangeran.

   Ji-ok mengira bahwa dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya? Tak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka. Maka ketika tiba-tiba "Pangeran"

   Itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!

   "Huh!"

   Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah menyerangnya dengan menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya.

   Pertempuran sengit terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan telunjuk tangan yang amat berbahaya itu. Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw Kee An sampai terbuka, akan tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap! Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan.

   "Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!"

   Teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi. Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang saking kagetnya, akan tetapi dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal kepala itu.

   "Paduka Pangeran...."

   Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.

   "Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa."

   Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran.

   "Paduka selamat, Pangeran? Aihh, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran?"

   Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An,

   "Souw-ciangkun, suruh anak buahmu keluar semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut."

   Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, Syanti Dewi.

   "Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar. Akan tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka lalu pergi. Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat berani menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tidak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to.

   "Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!"

   "Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar terlindung."

   Kata Syanti Dewi.

   "Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini."

   "Biarkan hamba saja yang menjaga dalam kamar Pangeran."

   Kata Souw Kee An. Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas bahwa malam itu mereka tidak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara mencurigakan. Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan penjaga. Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal!

   Menurut hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini mendapat kepastian bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada lima orang saja di antara begitu banyak tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing. Orang pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran Kian Liong! Oran ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga bernama Yu Cian, seorang pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol juara pertama ketika diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya karena kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan harta untuk menyogok para pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu.

   Orang ke empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua daripada para calon lainnya, karena dia sudah berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang pendekar muda yang gagah perkasa di selatan dan selain terkenal alim dan belum menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan Pendekar Budiman, karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah mengadakan pertunjukan di istana Kaisar. Kelima orang calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah daripada Pangeran Kian Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti Dewi untuk menentukan pilihannya.

   "Adikku, kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita hanya ada empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat sendiri mereka itu dan di antara tamu, dan memang hasil penyelidikan orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku."

   Syanti Dewi tersenyum pahit.

   "Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon, mengapa tidak?"

   Jawaban ini tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran malam tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biarpun dia belum melihat empat orang yang dicalonkan itu, namun hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak mungkin dia dapat memilih seorang di antara mereka, maka dia sudah mengambil keputusan untuk "memilih"

   Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui. Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri.

   "Yakin benarkah engkau bahwa beliau boleh dimasukkan sebagai calon?"

   "Mengapa tidak, Enci? Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan?"

   Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali.

   Memang itulah yang diharapkan. Kalau saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi calon permaisuri! Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus celah-celah daun di pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas di depan, di mana telah dipersiapkan ruangan pesta dan diatur meja-meja yang dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum. Berbondong-bondong para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan dengan musik yang dimainkan oleh wanita-wanita muda. Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh orang dari bermacam golongan,

   Segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kuih kering. Kemudian, seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang, yang bertugas sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta dilanjutkan dengan hidangan, akan dilakukan pembukaan barang-barang hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika beberapa orang wanita pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja besar itu. Setiap bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan benda sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita lain yang berdiri di tempat tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu.

   Para tamu kadang-kadang mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan yang amat indah dan yang luar biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar ditemukan. Agaknya para penyumbang itu hendak berlumba untuk memikat hati sang juita melalui barang-barang sumbangan itu. Akan tetapi bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan napas dan memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah sumbangan dari pemuda hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng, berlian yang berkeredepan mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh tambahan sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum dan jelas bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap benda-benda berharga yang telah diperlihatkan tadi.

   "Sumbangan ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!"

   Demikian terdengar suara wanita yang membuat laporan. Terdengar tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda bahwa mereka semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekalipun semua tamu dapat merasakan bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she Thio itu jelas menduduki tingkat paling atas dan hal ini saja sudah menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi. Semua mata kini melirik ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu, Syanti Dewi merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani, membuat para tamu sukar untuk tidak melirik ke arahnya.

   Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya dari kepala, ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan tetapi dengan cara yang demikian luwes dan menarik. Di balik sutera hijau yang tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke bawah berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak membayang di balik kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari emas bertaburan intan dan mutu manikam. Betapa pun indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua itu nampaknya menyuram apabila dibandingkan dengan wajah itu sendiri.

   Tanpa wajah yang gemilang dan berseri, cantik jelita dan mengandung kemanisan yang kadang-kadang menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan berahi itu, kiranya semua pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerakgeriknya begitu luwes dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya kini menelan ludah dengan pandang mata yang sukar dialihkan. Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan anggun, sungguhpun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian Liong. Pangeran ini adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biarpun dia hanya memandang dari jauh, dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan tadi,

   Seuntai kalung tadi, berharga jauh lebih mahal daripada semua barang sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah dapat dijadikan modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh serius sajalah yang mau menyum-bangkan benda semahal itu. Kalau Syanti Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang yang kaya-raya. Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari tempat duduknya ketika benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda penyumbang itu!

   Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran. Kemudian hadiah-hadiah berupa lukis-an, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak berpa-sangan, dan sajak-sajak serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu demi satu, dan diumumkan nama para penyumbangnya. Ketika nama pemuda Yu Cian disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera menaruh perhatian, terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra. Bahkan Sang Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat sajak dan tulisan. Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang duduk agak jauh, maka terdengarlah Sang Pangeran berkata,

   "Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!"

   Mendengar anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian besar dari para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata kepadanya di antara suara bising itu,

   "Enci, sudah sepatutnya kalau engkau minta penulis sajak untuk membaca-nya sendiri."

   Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun mengenal baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan terhadap dia, maka dia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan keadaan menjadi hening, maka terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan halus,

   "Memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian Siucai membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!"

   Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah dan dengan muka yang berobah merah sekali terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan langkah-langkah tenang dia menuju ke tempat para pembantu wanita yang membuka barang-barang hadiah sumbangan itu. Setelah menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah Pangeran, Syanti Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda ini dengan kagum. Seorang pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di kota raja. Suasana menjadi hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu membacakan sajaknya terdengar satu-satu dengan jelas. :

   "Cantik Indah bagai bunga anggrek harum semerbak bagaikan bunga mawar merdu merayu bagaikan sumber air,Gilang gemilang seperti fajar menyingsing redup syahdu seperti sang senjakala duhai Bunga Pulau Ular Emas! Tiada sesuatu mampu kupersembahkan kecuali seuntai sajak bisikan kalbu disertai hati yang subur basah tempat Sang Bunga mekar berseri."

   Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening dan mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukan sepenuhnya perasaannya sehingga seolah-olah dia sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka, demikian terasa oleh semua orang sehingga suasana menjadi mengharukan. Bahkan setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih menjadi hening sekali.

   Baru setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai memuji. Pangeran Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali kepada pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria yang sedang dilanda asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala bunga yang seolah-olah tidak pernah layu dibandingkan dengan semua di dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar bunga yang keharumannya tidak pernah lenyap biarpun bunganya sendiri telah lama layu! Dan suara apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah berhenti, mengandung dendang asmara yang kekal?

   Kemudian dalam pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan gilang-gemilang seperti fajar menyingsing dan redup syahdu seperti sang senjakala. Memang tiada keindahan yang begitu menggetarkan hati yang peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai timbul sebagai bola besar kemerahan yang berseri-seri, dan keredupan senjakala di waktu matahari tenggelam yang menciptakan warna-warna dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa indahnya di langit barat. Kemudian, yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa-apa ke-cuali sajak yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan luapan cinta kasih yang diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu!

   Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu kasih sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam benda berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus! Dengan muka kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang dalam lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam lautan kemesraan! Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil "memperkenalkan"

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dua di antara calon-calon itu secara tidak langsung kepada semua orang.

   Kini hidangan mulai dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah itu. Para tamu makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik dibunyikan keras-keras dan nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan lemah-gemulai di panggung yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena ada hidangan dan tontonan tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak "melupakan"

   Syanti Dewi sehinga hanya beberapa orang saja yang dapat melihat ketika wanita itu meninggalkan tempat duduknya menuju ke dalam. Setelah beberapa macam tarian disajikan, tiba-tiba Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan dengan suaranya yang nyaring dia mengumumkan,

   "Mohon perhatian Cu-wi yang mulia! Dengan penuh rasa terima kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi dengan sebuah tarian istimewa dari Bhutan!"

   Musik berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari dalam muncullah Syanti Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat betapa puteri itu dengan pakaian yang serba mewah meriah, memakai selendang kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung.

   Meledaklah suara tepuk sorak menyabutnya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini sehingga menenggelamkan suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi yang kini sudah berjongkok dengan sikap manis sambil menyembah, mulai bangkit dan diikuti irama tetabuhan yang merdu mulailah dia menari! Memang indah sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki keluwesan dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih kecil. Maka ketika dia menari semua orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di antara penonton menjadi hening. Tari-tarian asing yang
(Lanjut ke Jilid 27)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27
belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang sudah terbiasa, pesona itu semakin berkurang.

   Akan tetapi, memang harus diakui bahwa gerakan menari dari Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian halus, merasa amat kagum. Kalau para tamu itu terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengaruh tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton dari tempat sembunyiannya, dan dia tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya secantik itu, menari seindah itu, terkenanglah dia akan segala keada-annya bersama kekasihnya itu, dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata perlahan-lahan menitik turun di atas pipinya yang tertutup cambang.

   "Syanti.... Syanti.... kekasihku...."

   Demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan rasa nyeri, karena kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau dia mengingat betapa dia telah berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu. Dan kini, melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan, bahkan telah menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat tinggi kedudukannya dari kota raja, kemudian menengok kepada keadaan dirinya sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa, bahkan namanya pun telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak menengok keadaan diri sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu!

   Dan Syanti Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum melayani pria lain! Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, dia tuduh telah berjina dengan orang lain, telah menjadi pemberontak dan mengkhianati Raja Bhutan, ayahnya sendiri (baca cerita JODOH RAJAWALI )! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air mata menetes turun. Sorak-sorai dan tepuk tangan meledak ketika Syanti Dewi mengakhiri tariannya. Dengan langkah-langkah yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai memuji-mujinya dari segenap tamu, termasuk juga Sang Pangeran. Ouw Yan Hui telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang kembali. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring,

   "Atas permintaan dari Ouwyang-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda Kui Lun Eng untuk tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!"

   Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut dengan tepuk tangan. Nama Kui Lun Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai seorang ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari rombongan tamu bangkitlah seorang pemuda jangkung yang kemudian melangkah dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada Pangeran dan Ouw Yan Hui, kemudian berkata,

   "Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti Dewi."

   Kemudian, diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni bahwa ahli musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi, pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di sudut. Dengan enak, karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara beberapa buah yang-kim, dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya sedangkan dia duduk bersila di panggung pemain musik itu. Kemudian, dia mengeluarkan sebatang suling bambu dari saku bajunya yang sebelah dalam.

   Tiba-tiba terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini dengan pakaian serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk sebagai pernyataan terima kasih atas sambutan para tamu. Melihat munculnya nona itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya. Mula-mula hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan lirih-lirih saja, akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat dan semakin keras dan mulailah terdengar lagu yang dinyanyikan yang-kim itu dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini semua orang yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak mengenal lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang karena mereka seperti mendengar derap kaki ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata berdencing dan saling beradu,

   Semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu. Bukan main! Sang Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain yang-kim seindah itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong belaka, melainkan setiap rangkaian nada seperti menceritakan sesuatu sehingga terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat darah mengalir dan debu mengepul tinggi! Ketika suara yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara seperti sorak kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang tadinya seperti terpukau, seolah-olah mereka merasakan terseret dalam suasana perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan kembali ke dalam nyata.

   Maka meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Dengan tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya, bukan dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan kirinya mulai menggerayangi yang-kim kembali. Dan kini terdengarlah paduan suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan itu dan kembali semua orang tenggelam ke dalam pesona suara yang amat luar biasa. Paduan suara itu demikian serasinya, mengalunkan lagu percintaan yang syahdu, menghayutkan perasaan ke suasana yang amat mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung duka dan patah hati. Memang hebat sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara musik itu pada wajah para pendengarnya.

   

Jodoh Rajawali Eps 57 Jodoh Rajawali Eps 42 Jodoh Rajawali Eps 34

Cari Blog Ini