Suling Emas Naga Siluman 34
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 34
"Bagus, hatiku lega mendengar itu. Dan engkau mempunyai tugas yang amat berat, Hong Bu. Selain mempertahankan pedang, juga untuk membela nama baik keluarga Cu dan Lembah Suling Emas yang terpaksa kita robah menjadi Lembah Naga Siluman ini, kelak engkau harus membuktikan bahwa Koai-liong kiam (Pedang Naga Siluman) tidak kalah terhadap Kim-siauw (Suling Emas). Carilah Kam Hong dan ajaklah dia bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih unggul antara kalian, dengan demikian harapan kami selama ini tidak akan siasia."
Tentu saja Hong Bu sudah pernah mendengar akan hal ini, hal yang sungguh membuat hatinya tidak enak. Dia amat kagum dan suka kepada Kam Hong, dan kenyataan bahwa dia kelak harus berhada-pan dengan pendekar itu sebagai musuh, sungguh membuat hatinya tidak enak, apalagi kalau dia teringat kepada Ci Sian yang menjadi sumoi dari pendekar besar itu! Akan tetapi, dia maklum, bahwa dia tidak dapat menolak permintaan suhunya ini.
"Baik, Suhu. Pesan Suhu ini pasti akan teecu penuhi."
"Masih ada lagi, muridku. Engkau melihat sendiri betapa Suhu-suhumu telah terluka dan terpaksa menjadi hwesio karena dikalahkan oleh keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Aku yakin bahwa kalau engkau sudah menyempurnakan latihan-latihanmu, engkau akan mampu mengalahkan dia. Maka aku menghendaki agar kelak engkau mencari Naga Sakti Gurun Pasir dan atas nama kami membalas kekalahan kami untuk mempertahankan kehormatan nama keluarga Cu!"
Sebenarnya, di lubuk hatinya, Sim Hong Bu tidak setuju dengan sikap suhunya. Suhu dan susioknya ini kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir bukan karena urusan pribadi seperti yang mereka ceritakan kepadanya tadi. Keluarga Kao itu datang sebagai utusan Kaisar dan kalau dalam pertandingan perebutan pedang itu keluarga Cu kalah,
Hal itu sudah wajar karena dalam setiap pertandingan tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pula, apa jeleknya kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya dipuja-puja seperti tokoh dewa dalam dongeng? Akan tetapi suhu dan keluarga suhunya memang dia tahu amat keras kepala, tidak dapat menerima kekalahan karena terlalu lama terbiasa dengan anggapan bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang tak pernah terkalahkan, keluarga yang menyimpan rahasia ilmu-ilmu dahsyat, nenek moyang mereka yang menciptakan benda-benda, pusaka seperti Suling Emas dan Pedang Naga Siluman. Cu Han Bu melihat keraguan muridnya dan diam-diam dia merasa agak malu juga. Dia agaknya dapat membaca apa yang menjadi keraguan hati muridnya, maka dia berkata lagi,
"Hong Bu, ketahuilah bahwa kami tidak mempunyai dendam sakit hati pribadi terhadap Naga Sakti Gurun Pasir. Pertentangan antara mereka dan kami hanya kebetulan saja karena puteranya menjadi jenderal dan utusan Kaisar. Akan tetapi, kalau engkau sebagai murid dan pewaris keluarga kami tidak memperli-hatkan bahwa kita tidak kalah oleh mereka, tentu dunia kang-ouw akan menganggap bahwa nama keluarga Cu adalah nama kosong belaka."
"Baiklah, teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan."
Akhirnya Hong Bu menjawab dan diam-diam dia mengeluh dalam hatinya karena selain dia kini karena pedang itu telah menjadi buronan pemerintah, juga dia sudah berjanji akan menghadapi dua orang pendekar yang paling sakti di dunia ini!
"Ada satu hal lagi, muridku. Yaitu mengenai diri Sumoimu, Pek In. Telah kupikirkan dalam-dalam hal ini untuk waktu lama sekali. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau kelak Pek In dapat menjadi isterimu, Hong Bu."
Tentu saja Pek In menjadi malu dan menundukkan mukanya yang berobah merah sekali dan jantungnya berdebar-debar tegang. Sebaliknya, wajah Hong Bu menjadi pucat, kemudian merah. Tak disangkanya gurunya akan membicarakan hal itu secara terbuka. Dia tahu betul bahwa sumoinya jatuh cinta kepadanya, dan dia pun sudah dapat menduga dari sikap suhunya bahwa suhunya juga setuju untuk mengambil mantu dia. Akan tetapi dia sendiri menyayang Pek In hanya sebagai murid. Tanpa disengajanya, tiba-tiba saja wajah Ci Sian terbayang di depan matanya.
"Suhu.... tentang ini.... teecu.... teecu sama sekali masih belum berpikir soal perjodohan...."
Cu Han Bu menarik napas panjang.
"Hong Bu, kukatakan tadi bahwa aku akan merasa berbahagia kalau kelak engkau dapat berjodoh dengan Pek In. Tentu saja aku sama sekali tidak memaksamu, urusan perjodohan adalah urusan dua orang dan terserah kepada kalian, aku hanya mengatakan akan berbahagia kalau kalian berjodoh...."
Sampai di sini, Cu Han Bu memberi isarat membubarkan pertemuan itu karena kesehatannya belum pulih benar dan terlalu banyak bicara mendatangkan rasa nyeri di dadanya.
Demikianlah, pernikahan antara Yu Hwi dan Cu Kang Bu dilangsungkan dengan sederhana sekali, dengan pesta antara keluarga dan anak buah lembah itu sendiri tanpa dihadiri oleh seorang pun dari luar lembah, dan disaksikan arwah nenek moyang mereka yang mereka sembahyangi. Dan pada keesokan harinya, Sim Hong Bu harus meninggalkan lembah, membawa bekal emas dan perak secukupnya dan menyembunyikan pedang pusaka itu di balik jubahnya. Dua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu sendiri yang mengantarnya sampai ke luar dari lembah. Kemudian, beberapa hari sesudah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu pergi menuju ke sebuah Kuil yang berada di puncak sebuah bukit dekat lembah, lalu disaksikan oleh para hwesio mereka menggunduli rambut, menjadi hwesio lalu melakukan perjalanan untuk mengasingkan diri mereka,
Sesuai dengan janji mereka terhadap Si Naga Sakti Gurun Pasir! Yu Hwi dan Cu Kang Bu kini menjadi majikan lembah. Akan tetapi baru sebulan setelah mereka menikah, mereka sudah ditimpa suatu peristiwa yang membingungkan hati mereka, yaitu lenyapnya Cu Pek In dari lembah! Di dalam kamar gadis itu mereka menemukan sehelai surat yang memberitahukan mereka bahwa gadis itu hendak pergi menyusul dan mencari Sim Hong Bu dan minta agar paman dan bibinya tidak mencarinya! Cu Kang Bu menjadi bingung sekali. Dia yang diserahi untuk mengurus Pek In oleh kakaknya, akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa gadis itu untuk kembali? Setelah berunding dengan isterinya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk tinggal diam saja sambil manyimpan surat itu.
"Pek In jatuh cinta dan merasa ditinggalkan Hong Bu, maka dicari pun tidak akan ada gunanya."
Demikian Yu Hwi berkata.
"Dia sudah dewasa dan memiliki ilmu kepandaian cukup, maka perlu apa khawatir? Biarlah dia merantau memperluas pengetahuannya. Keputusan hati seorang gadis yang jatuh cinta tidak mungkin dirobah lagi dan percuma saja kalau kau cari dia juga."
Demikianlah, Cu Kang Bu tidak pergi mencari Pek In karena dia dapat mengerti akan kebenaran kata-kata isterinya. Andaikata dicari dan dapat dia temukan, apakah dia akan menggunakan kekerasan memaksa Pek In tinggal di lembah? Tidak mungkin! Dia tahu bahwa keponakannya itu bukan hanya suka memakai pakaian pria, akan tetapi juga mempunyai kekerasan hati, kadang-kadang melebihi pria.
"Suhu...."
Kakek itu membuka matanya dan memandang dengan sinar mata sayu. Kakek itu kurus sekali dan mukanya pucat, tanda bahwa selain jarang makan, juga kakek ini kurang memperoleh sinar matahari. Dan memang sudah lama Sai-cu Kai-ong, kakek yang pernah menjadi Raja Pengemis dan menjadi tokoh kang-ouw yang disegani ini, mengasingkan diri di sebuah kamar di gedung besar seperti istana kuno itu, di Puncak Bukit Nelayan, seorang diri saja. Hidupnya terasa hampa setelah dia bertemu dengan cucunya, Yu Hwi yang telah memllih suami lain. Dia tidak ingin apa-apa lagi selain menanti kematian. Hidup ini baginya banyak dukanya daripada sukanya, banyak kecewanya daripada puasnya.
Kekecewaannya yang paling besar adalah karena dia merasa bahwa dia adalah seorang yang tidak berbakti, seorang yang tidak dapat memenuhi kehendak mendiang ayahnya, mendiang nenek moyangnya. Dia telah gagal menjodohkan keturunan Yu dengan keturunan Kam, dan ini baginya merupakan puKuian berat, merasa dirinya put-hauw (tidak berbakti), seorang yang murtad. Kata kebaktian masih selalu didengungkan orang, bahkan dianggap sebagai suatu sila kehidupan manusia beradab yang amat penting. Kebaktian dianggap sebagai ukuran kebudayaan, kesusilaan, bahkan kebaikan seseorang. Bagi kebanyakan orang tua, kata "hauw"
Atau bakti dijadikan semacam pegangan atau senjata untuk menyerang anak-anaknya kalau anak-anak itu tidak menyenangkan hatinya, dan anak-anak itu, karena takut dianggap tidak berbakti atau murtad,
Maka mereka itu memaksa diri untuk melakukan apa-apa yang dianggap hauw (bakti) terhadap orang tua! Berbakti adalah suatu sikap dipaksakan! Betapa tidak? Di balik kebaktian ini jelas terkandung pamrih! Kalau orang ingin berbakti, jelas bahwa dia berpamrih untuk menjadi anak baik dan tentu karena anak yang berbakti itu mendapat berkah, banyak rejekinya, terhormat, terpandang dan sebagainya. Apakah artinya sikap berbakti kalau di dalam hati nuraninya tidak ada cinta kasih? Kalau kita mempunyai sinar cinta kasih dalam batin kita, terhadap orang lain pun kita berhati penuh kasih, penuh iba, apalagi terhadap ayah bunda sendiri! Di mana ada kasih, maka kata berbakti itu tidak ada lagi karena dalam setiap perbuatannya terhadap orang tua, tentu penuh dengan kasih sayang yang tanpa pamrih!
Berbakti karena tahu bahwa berbakti itu baik dan sebagainya hanya melahirkan sikap yang palsu dan dibuat-buat, melahirkan perbuatan dan ucapan yang tidak sama dengan isi hatinya. Hanya karena ingin berbakti, maka terjadilah kenyataan betapa mulut tersenyum berkata-kata halus sungguhpun di dalam hati memaki-maki, pada lahirnya memberi ini itu padahal di dalam hatinya tidak rela! Hal ini dapat kita lihat pada diri kita sendiri, pada kanan kiri kita, melihat kehidupan seperti apa- adanya, menelanjanginya dan tidak tertipu oleh Kuiitnya belaka. Akan tetapi, kalau batin kita penuh cinta kasih, maka tidak akan ada caci maki di dalam hati, tidak ada rela atau tidak rela. Yang ada hanyalah kasih sayang saja! Betapa kita manusia di dunia ini sudah kehilangan api cinta kasih! Kita mengorek-orek abunya dan mengejar-ngejar asapnya belaka.
Kita rindu akan cinta kasih, ingin semua manusia di dunia ini, ingin seluruh isi mayapada ini, ingin para dewata, malaikat dan Tuhan, mencinta kita! Kita haus akan cinta kasih karena di dalam diri kita kehilangan cinta kasih itu! Kita mencari-cari dan mengejar-ngejar melalui kebaktian, kewajiban, menjadi orang baik, memuja-muja dan sebagainya lagi. Akan tetapi yang kita kejar-kejar itu hanyalah asapnya. Cinta kasih tak mungkin dikejar-kejar, tak mungkin dapat diusahakan supaya ada, tak mungkin dapat dikuasai dan diikat, tak mungkin dapat dilatih seperti pengetahuan mati! Cinta kasih datang dengan sendirinya kalau batin kita terbuka, peka dan kosong, dalam arti kata bersih dari pada segala keinginan dan perasaan si-aku, yaitu keinginan untuk senang dan perasaan-perasaan iri, benci, marah, takut dan sebagainya.
Kita tidak mungkin memiliki batin yang peka dan "terbuka"
Kalau masih ada kotoran-kotoran dari si-aku, yaitu pikiran yang selalu menjangkau, mencari, mengejar dan menginginkan segala sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, lahir maupun batin. Barulah kalau batin kita sudah penuh dengan sinar cinta kasih, segala perbuatan kita adalah benar, tidak pura-pura, tidak palsu, tanpa pamrih, wajar dan bersih seperti keadaan anak kecil yang belum dikuasai oleh akunya. Ada yang berkata "tidak mungkin itu!"
Nah, siapakah yang berkata demikian itu? Mari kita lihat baik-baik. Bukankah yang berkata itu adalah sang aku yang ingin baik, ingin dipenuhi cinta kasih, kemudian melihat bahwa dia tidak mungkin hidup tanpa segalanya yang dianggapnya menyenangkan itu? Kita dapat mengamati ulah tingkah si-aku ini setiap saat dalam diri kita sendiri, dan ini merupakan langkah pertama ke arah kebijaksanaan.
"Suhu....!"
Kam Hong berkata lagi ketika melihat betapa kakek itu memandangnya seperti orang sedang mimpi, seolah-olah tidak mengenalnya lagi.
"Suhu, teecu adalah Kam Hong"
"Kam Hong....? Engkau Siauw Hong....?"
"Benar, Suhu, teecu adalah Siauw Hong."
Kata Kam Hong dengan hati terharu. Tak disangkanya bahwa suhunya yang biasanya bertubuh tegap dan bersikap gagah penuh semangat itu, yang menghadapi dunia dengan hati ringan, kini kelihatan demikian tua dan lemah seperti orang kehilangan semangat.
"Dan Nona ini siapa...."
(Lanjut ke Jilid 32)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 32
"Teecu adalah Bu Ci Sian, Locianpwe."
Jawab Ci Sian yang tadi masuk bersama Kam Hong. Mendengar suara dara yang demikian nyaring dan bersih, Sai-cu Kai-ong membuka matanya lebih lebar. Kalau saja Yu Hwi yang berlutut di samping Kam Hong itu, pikirnya!
"Suhu, dia ini adalah Sumoi teecu, sama-sama mempelajari ilmu sejati dari Suling Emas."
Kata Kam Hong. Sai-cu Kai-ong terbelalak.
"Apa? Apa maksudmu? Apakah itu ilmu sejati dari Suling Emas? Bukankah engkau keturunan langsung dari Suling Emas, keluarga Kam?"
Dengan sabar Kam Hong lalu menceritakan semua pengalamannya di Pegunungan Himalaya, betapa dia bertemu dengan Ci Sian dan mereka berdua tanpa disengaja telah bertemu dengan jenazah kuno dari tokoh yang membuat suling emas, dan betapa dari jenazah itu mereka berdua menemukan ilmu sejati dari pencipta suling emas sehingga mereka menjadi kakak beradik seperguruan. Kemudian, dengan hati-hati sekali Kam Hong lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Yu Hwi di Lembah Suling Emas. Kakek Itu menarik napas panjang.
"Aku sudah tahu, Siauw Hong. Yu Hwi telah datang ke sini bersama tunangannya...."
"Cu Kang Bu....?"
"Benar, dan memang harus diakui bahwa pilihannya itu tidak keliru, akan tetapi tetap saja hatiku penuh kekecewaan bahwa ikatan perjodohan itu putus...."
"Harap Suhu suka tenangkan dari. Urusan jodoh tidak dapat dipaksakan, Suhu. Dan bukankah kata orang bahwa jodoh berada di tangan Tuhan? Anggap saja bahwa tidak ada jodoh antara teecu dan Yu Hwi dan hal itu tidak perlu dijadikan penyesalan benar."
Sai-cu Kai-ong tersenyum pahit.
"Ah, engkau tidak tahu betapa hal itu menjadi idaman nenek moyang kami sejak dahulu...., akan tetapi sudahlah. Yang sudah terjadi tidak mungkin dirobah lagi. Siauw Hong, sekarang, ke mana engkau hendak pergi? Ketahuilah bahwa Sin-siauw Seng-jin telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, di tempat pertapaannya, di puncak tak jauh dari sini. Aku sendiri yang telah mengurus pemakamannya, di puncak itu juga."
Kam Hong menarik napas panjang. Berita ini tidak mengejutkan hatinya karena memang kakek itu sudah tua sekali. Akan tetapi sedikit banyak dia pun merasa terharu. Kakek itu bersusah payah merahasiakan keturunan Kam, kemudian mendidiknya sebagai guru kedua sesudah Sai-cu Kai-ong, dengan penuh kasih sayang.
"Teecu akan bersembahyang ke makam beliau, kemudian teecu berdua Sumoi akan pergi ke daerah Sin-kiang...."
"Hemm, engkau baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya dan kini hendak pergi ke daerah Sin-kiang? Ada keperluan apakah di tempat liar itu?"
"Teecu hendak mengantar Sumoi mencari sarang gerombolan Hek-i-mo...."
"Ahh....?"
Bekas Raja Pengemis itu nampak terkejut bukan main. Hek-i-mo....? Sungguh berbahaya sekali.
"Mau apa kalian hendak ke sana?"
"Locianpwe, Ibu teecu tewas karena penyakit yang diderita setelah Ibu bertentangan dengan Hek-i-mo."
Jawab Ci Sian.
"Hemm, jadi urusan balas dendam, ya?"
Kakek itu bertanya, nada suaranya seperti orang kesal dan memang sesungguhnya dia merasa bosan karena sebagian besar daripada hidupnya dia hanya menghadapi soal balas dendam saja di dalam dunia kang-ouw dan dia merasa muak dengan hal itu.
"Bukan itu saja yang terutama, Locianpwe. Teecu berpendapat bahwa kalau gerombolan liar dan jahat macam Hek-i-mo tidak dibasmi, maka lebih banyak orang lagi orang-orang tidak berdosa akan menjadi korban mereka. Dahulu Ibu pernah gagal, biarlah sekarang teecu sebagai anaknya melanjutkan usaha yang mulia itu, membersihkan dunia dari gerombolan jahat. Dan Kam-suheng sudah sanggup untuk membantu teecu."
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang.
"Yah, kalian masih muda dan bersemangat besar. Akan tetapi, Siauw Hong, yakin benarkah engkau dan Sumoimu ini bahwa kalian akan mampu menghadapi Hek-i-mo? Ingat, entah sudah berapa banyaknya pendekar-pendekar yang tewas di tangan mereka sehingga sampai kini pun tidak ada lagi yang berani mencoba-coba menentangnya."
"Tentu saja sebelum melihat kekuatan mereka, teecu tidak yakin, Suhu. Betapapun juga, untuk menentang kejahatan dan membantu Sumoi, teecu sanggup dan berani."
"Ci Sian, kalau mendiang Ibumu pernah berani menentang Hek-i-mo, tentu engkau keturunan keluarga yang hebat. Siapakah nama Ayahmu?"
Ditanya ayahnya, Ci Sian cemberut dan hatinya tidak senang. Siapa akan merasa senang mengaku Bu Seng Kin sebagai ayahnya kalau orang itu demikian gila wanita dan mempunyai isteri yang tidak kepalang banyaknya? Dia malu berayah Bu Seng Kin! Melihat keraguan sumoinya, Kam Hong lalu mewakilinya menjawab,
"Sumoi adalah puteri dari Bu Taihiap yang bernama Bu Seng Kin...."
"Ah, pantas kalau begitu!"
Sai-cu Kai-ong berseru girang.
"Kiranya Ayahmu adalah pendekar besar itu!"
Akan tetapi Ci Sian sama sekali tidak kelihatan girang atau bangga dan hal ini dianggap oleh kakek itu sebagai sikap rendah hati yang amat baik. Setelah bercakap-cakap selama setengah hari dan dalam kesempatan mana Ci Sian memasakkan yang enak-enak untuk Sai-cu Kai-ong yang seolah-olah memperoleh kembali kegembiraannya dalam pertemuan ini, mereka lalu mohon diri. Setelah mendapat keterangan di mana letak makam Sin-siauw Seng-jin, Kam Hong bersama Ci Sian meninggalkan puncak Bukit Nelayan itu, diantar oleh Sai-cu Kai-ong sampai ke depan pintu dan kakek ini memandang ke arah dua orang muda itu sampai mereka lenyap dari pandangan mata. Dia menarik napas panjang dan berkata lirih,
"Jelas bahwa dia mencinta dara itu. Puteri Bu Taihiap! Dan Yu Hwi berjodoh dengan penghuni Lembah Suling Emas! Memang sayang sekali ikatan jodoh mereka itu putus, akan tetapi keduanya memperoleh pengganti yang sama sekali tidak mengecewakan. Semoga Yu Hwi hidup bahagia dengan suaminya dan Siauw Hong hidup bahagia dengan gadis she Bu itu."
Kam Hong melakukan upacara sembahyang sederhana di depan makam Sin-siauw Seng-jin, diikuti juga oleh Ci Sian yang sudah mendengar penuturan suhengnya itu tentang diri kakek yang luar biasa itu.
Mereka bermalam di makam itu semalam, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka menuruni puncak dan mulailah mereka dengan perjalanan mereka menuju ke Sin-kiang, daerah barat yang liar itu, untuk mencari Hek-i-mo, gerombolan penjahat yang dikabarkan ganas dan lihai seperti segerombolan siluman. Perjalanan yang jauh, sukar dan berbahaya! Kita tinggalkan dulu perjalanan dua orang muda itu dan mari kita menengok dan berkenalan dengan yang dinamakan gerombolan Hek-i-mo itu. Gerombolan ini bersarang di Lereng Pegunungan Ci-lian-san yang terletak di perbatasan antara propinsi Sin-kiang dan Cing-hai. Di kedua propinsi ini, nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam) amat terkenal dan boleh dibilang merekalah yang menjadi pemerintah gadungan yang menguasai semua jalan-jalan raya yang menghubungkan kedua daerah itu.
Tidak ada perampok atau bajak sungai yang tidak tunduk kepada mereka, dan juga semua perusahaan pengawal dari kedua proplnsi itu semua mengenal dan bersahabat dengan Hek-i-mo. Mereka semua itu dengan sikap hormat menyeyerahkan sejumlah "pajak"
Atau "hadiah"
Kepada perkumpulan ini agar terjamin lancar pekerjaan mereka. Bukan hanya mereka yan berkepentingan lewat di daerah tapal batas kedua propinsi ini saja yang bersahabat dengan Hek-i-mo, bahkan juga para pembesar di Sin-kiang boleh dibilang sudah dikuasai oleh perkumpulan lni. Pembesar yang bersahabat dengan Hek-i-mo tentu akan dilindungi. Oleh karena itu, bukan merupakan pemandangan aneh kalau orang melihat satu dua orang anggauta Hek-i-mo yang dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam,
Berkeliaran di kota-kota di daerah Sin-kiang atau Cing-hai sekalipun, dan menerima "sumbangan"
Dari toko-toko yang besar. Belasan tahun lamanya pengaruh Hek-i-mo merajalela tanpa ada yang barani menentangnya. Memang dahulu banyak juga pendekar-pendekar yang berusaha menentang kakuasaan hitam ini, namun satu demi satu para pendekar penentang itu roboh, tewas atau terluka parah. Tidak ada seorsng pun dapat menandingi Hek-i-mo dan akhirnya tidak ada lagi pendekar yang begitu bodoh untuk menyerahkan nyawa begitu saja. Karena daerah ini terlalu jauh dari kota raja, dan juga karena Hek-i-mo tidak pernah terdengar memberontak, juga tidak melakukan kejahatan dengan mencolok, bahkan tidak pernah merampok karena mereka ini tidak pernah kekurangan "penghasilan", maka Hek-i-mo dapat bertahan sampai belasan tahun tanpa terganggu.
Di manakah letak kekuatan Hek-i-mo dan bagaimana kuatnya? Hek-i-mo dipimpin oleh seorang kakek yang kini usianya sudah sekitar enam puluh lima tahun dan selama belasan tahun ini dia hanya dikenal dengan nama julukannya, yaitu Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam) karena dia selalu memakai baju hitam-hitam dan tubuhnya yang seperti raksasa itu memang menyeramkan. Kulit tubuhnya putih dan berbulu, karena memang dia mempunyai darah Han bercampur Kozak, ayahnya seorang Rusia Kozak dan ibunya seorang wanita Han. Wajahnya dapat dikatakan tampan dan gagah, akan tetapi sepasang matanya yang kebiruan itu amat tajam seperti mata setan, dan senyumnya selalu sinis, mengandung ejekan yang memandang rendah siapapun juga. Raksasa ini rambutnya sudah putih semua, dan memang rambutnya itu agak keputihan, dan dalam usia lima puluh tahun,
Lima belas tahun yang lalu ketika dia pertama kali muncul di barat, rambutnya pun sudah putih. Dahulu, sebelum dia dikenal sebagai Hek-i Mo-ong, namanya adalah Phang Kui, dan dia menggunakan she Phang yang menjadi she Ibunya. Hek-I Mo-ong ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Selain ilmu silatnya yang tinggi, tenaganya yang amat besar, juga dia memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang dipelajarinya dari Tibet. Ilmu sihir atau ilmu hitamnya inilah yang amat ditakuti orang, dan mula-mula memang dia selalu mempergunakan ilmu hitam ini untuk mencari pengaruh dan menundukkan orang-orang. Phang Kui ini memang cerdik. Begitu muncul, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu, dia tidak mau mengganggu orang baik-baik atau orang-orang pemerintah, melainkan merajalela di antara orang-orang jahat.
Ditundukkannya semua perampok, bajak sungai, maling-maling dan semua orang jahat, ditundukkan semua perkumpulan yang menggerakkan tempat-tempat perjudian atau pelacuran, semua ketua mereka satu demi satu dikalahkannya. Namanya mulai dikenal dan ditakuti dan kalau orang sudah ditakuti oleh golongan sesat, tentu saja penduduk juga menjadi takut! Phang Kui menjadi "rajanya"
Orang jahat dan dia dijuluki Hek-i Mo-ong! Dan mulailah orang-orang jahat mendekatinya dan menyanjungnya. Namun, Phang Kui tidak mau sembarangan memilih orang. Dia akhirnya berhasil mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang dipilihnya, yang memiliki kepandaian atau bakat ilmu silat, memiliki tubuh yang kuat.
Dia mengumpulkan lima puluh orang yang digemblengnya sehingga mereka menjadi pasukan yang amat kuat, karena masing-masing anggauta merupakan seorang ahli silat yang tangguh di samping mempelajari satu dua macam ilmu hitam. Semenjak itulah, perkumpulan Hek-i-mo berdiri, beranggautakan lima puluh orang yang tangguh sekali. Kemudian, Hek-i Mo-ong mengumpulkan delapan orang murid yang terdiri dari orang-orang yang tadinya sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, di antara tokoh-tokoh hitam yang yang ditundukkannya. Mereka ini dianggap sebagai murid-murid kepala dan beberapa tahun kemudian, terkenal pulalah nama Hek-I Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) yang merupakan murid-murid dan wakil Hek-i Mo-ong. Delapan orang murid inilah yang mengurus segala urusan, juga mengepalai dan menggembleng anggauta-anggauta Hek-i-mo.
Sedangkan Hek-i-mo sendiri lebih banyak mendekam di dalam sarangnya, yaitu sebuah gedung yang. cukup indah di lereng Pegunungan Ci-lian-san. Pekerjaannya hanyalah bersamadhi, makan enak, pesta-pesta, dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada delapan orang murid-muridnya, baik dalam hal ilmu silat atau ilmu hitam. Hanya kalau ada urusan-urusan penting sekali sajalah maka Hek-i Mo-ong keluar sendiri. Akan tetapi segala urusan harian yang tidak begitu penting, cukup diselesaikan oleh Hek-i Pat-mo saja. Akan tetapi, sampai usia enam puluh lima tahun itu, Hek-i Mo-ong tidak pernah menikah, walaupun di bagian belakang gedungnya terdapat bagian luas di mana hidup belasan orang wanita muda dan cantik yang merupakan sekumpulan wanita-wanita peliharaan atau selir-salirnya!
Dia, bukan seorang yang mata keranjang dan pengejar wanita, akan tetapi wanita-wanita muda cantik itu adalah "hadiah-hadiah"
Dari kepala perampok, pimpinan piauw-kiok dan juga pembesar! Dia tidak menolaknya dan mengumpulkan wanita-wanita muda itu, akan tetapi hanya jarang dia menggauli mereka, juga Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu tidak ada yang beristeri sungguhpun usia mereka sudah antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Hal ini bukan berarti mereka tidak mau berdekatan dengan wanita, akan tetapi mereka tidak mau terikat dengan wanita seperti guru mereka, dan wanita itu bagi mereka hanyalah alat bersenang-senang, tiada lain! Dan agaknya apabila mereka menghendaki seorang wanita cantik,
Maka wanita itu sudah pasti akan terjatuh oleh mereka, baik melalui ancaman, maupun ilmu silat atau ilmu sihir. Betapapun juga, suhu mereka sudah memperingatkan dengan keras para murid tidak mengganggu wanita-wanita keluarga pembesar atau keluarga golongan "sahabat-sahabat"
Mereka, dan hanya membatasi pada wanita-wanita dusun dan wanita-wanita gunung saja. Malam itu adalah malam bulan purnama. Dan seperti biasa, pada malam-malam seperti itu, Hek-i Mo-ong tentu mengajak delapan orang muridnya untuk berlatih samadhi di tempat terbuka, untuk menampung sinar bulan purnama yang mempunyai hikmat mennperkuat ilmu hitam mereka. Akan tetapi, tidak seperti biasanya, malam itu merupakan malam istimewa bagi Hek-i Mo-ong karena ada urusan penting yang harus ditanganinya sendiri,
Yaitu dengan ditawannya tiga orang musuh yang berani datang menentang Hak-i-mo! Biarpun yang manghadapi musuh-musuh ini adalah murid-muridnya, bahkan yang menawan juga murid-muridnya, akan tetapi untuk memutuskan hukuman apa yang harus diberikan kepada mereka harus dia sendiri yang menentukan. Malam itu bulan amat terang, tidak ada awan hitam menghalang. Cahaya bulan yang misterius memandikan permukaan bumi dan terutama sekali di tanah datar tertutup rumput di belakang rumah gedung yang menjadi sarang Hek-i-mo itu cahaya bulan nampak aneh dan mendatangkan hawa dingin yang mendirikan bulu roma. Sunyi sekali suasana di tempat itu, sebuah padang rumput yang luas di belakang gedung. Sejak tadi, para anak buah Hek-i-mo sudah berkumpul.
Mereka memang disuruh berkumpul di tempat itu untuk menyaksikan "pengadilan"
Yang akan disidangkan untuk men-jatuhkan hukuman kepada tiga orang tawanan. Karena sebagian dari mereka bertugas menjaga keamanan seperti biasa, maka yang berkumpul hanya sekitar tiga puluh orang, yang membentuk lingkaran lebar sakali di lapangan rumput itu, seperti pagar manusia yang aneh karena mereka semua berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengan di belakang, tidak bergerak seolah-olah tiga puluhan orang itu telah berobah menjadi arca. Pakaian mereka yang hitam membuat keadaan mereka itu lebih menyeramkan lagi. Hanya karena sinar bulan yang terang saja mereka dapat nampak, karena di malam hari tanpa bulan, mereka tidak akan kelihatan sama sekali. Pakaian mereka, sampai sepatu mereka, semua berwarna hitam.
Kemudian di sebelah dalam lingkaran luas yang dibuat oleh tiga puluh orang itu, nampak sebuah lingkaran lain, sebuah lingkaran yang garis tengahnya kurang lebih empat lima meter, dan lingkaran itu pun merupakan lingkaran segi delapan yang dibentuk oleh delapan orang yang duduk teratur seperti Pat-kwa (Segi Delapan). Delapan orang ini berusia sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan sepasang mata yang berkilau tajam dan sikap mereka juga seperti arca, tanpa bergerak, duduk mereka bersila dan kedua lengan terletak di atas paha. Di tengah-tengah lingkaran mereka itu terdapat sebuah bantal bundar ber-warna merah, dan tak jauh dari situ nampak tubuh tiga orang yang terbelenggu kaki tangannya. Delapan orang itu adalah Hek-i Pat-mo, juga mereka semua mengenakan pakaian dan sepatu hitam, hanya lengan kanan mereka memakai sebuah gelang berwarna kemerahan.
Kepala mereka memakai penutup kepala kain hitam pula sehingga mereka nampak lebih menyeramkan daripada para anak buah yang tidak memakai penutup kepala, melainkan menggelung rambut mereka ke atas seperti kebiasaan pendeta tosu. Tak lama kemudian, tiga puluh lebih anggauta Hek-i-mo yang berdiri dengan kedua kaki terpentang itu, tiba-tiba menggerakkan kaki mereka dan kini kedua kaki itu merapat dan mereka berdiri tegak, memandang ke arah belakang gedung dengan sikap seperti pasukan memberi hormat kepada komandan mereka. Juga delapan orang Hek-i Pat-mo itu memandang ke arah pintu belakang gedung yang terbuka dari dalam dan dari pintu itu muncullah seorang laki-laki tinggi besar dengan langkah tenang.
Memang Ketua Hek-i-mo ini menyeramkan. Muncul di terang bulan seperti itu, pakaiannya yang serba hitam itu membuat wajahnya makin nampak putih, demikian pula rambutnya seperti benang-benang perak saja, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Kepalanya tidak ditutupi, dan rambutnya yang panjang itu dibiarkan awut-awutan di atas kedua pundaknya. Bertemu dengan orang ini di tempat gelap yang sunyi seakan cukup membuat yang bertemu itu lari ketakutan, mengira bertemu dengan iblis. Setelah memasuki lingkaran itu, Hek-i Mo-ong lalu duduk bersila di atas bantal bundar merah yang telah tersedia di situ, dan delapan orang muridnya mengangkat kedua tangan ke depan hidung, dengan tangan dirangkapkan seperti orang menyembah.
Itulah penghormatan mereka sebagai murid kepada ketua mereka atau juga guru mereka. Di bawah sinar bulan purnama, lingkaran itu cukup terang dan Hek-i Mo-ong memandang ke arah tiga tawanan yang terbelenggu kaki tangan mereka dan rebah miring itu. Tiga orang tawanan itu adalah tiga orang yang berpakaian ringkas seperti biasa dipakai oleh para kang-ouw. Seorang kakek berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pemuda yang berusia antara dua puluh lima tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh tahun. Mereka itu jelas tidak berdaya, sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan ada luka-luka berdarah di beberapa bagian tubuh mereka, namun sikap mereka masih gagah dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan ketika Hek-i Mo-ong muncul, mereka memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.
"Siapakah dia?"
Hek-i Mo-ong bertanya sambil menuding ke arah kakek itu. Seorang di antara murid-muridnya, yang bersila berhadapan dengannya dan yang kumisnya amat lebat menutupi mulutnya,
"Namanya Cia Khun, adik dari Ciau-piauwsu dari kota Sin-ning."
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk.
"Balas dendam, ya? Cia-piauwsu tewas karena berani menentang Hek-i-mo, apa anehnya dengan itu? Tidak ada penasaran karena salahnya sendiri. Dan orang seperti kalian ini, dengan kepandaian rendah, berani mencoba untuk menentang kami? Sekarang kau sudah tertawan, mau bilang apa lagi?"
"Hanya hendak mengatakan bahwa engkau adalah seorang manusia iblis terkutuk!"
Kakek, yang bernama Cia Kun itu membentak. Hek-i Mo-ong tersenyum lebar.
"Dan pemuda itu?"
Tanyanya tak acuh.
"Putera dari mendiang Cia-piauwsu."
Jawab muridnya yang berkumis tebal.
"Gadis itu?"
"Puterinya."
"Keduanya belum menikah?"
"Belum."
"Sayang, sayang....! Nah, kalian bertiga orang-orang tiada guna ini, boleh pilih. Mati atau menebus nyawamu bertiga dengan seribu tail perak!"
"Iblis!"
Kakek itu memaki.
"Jangankan kami tidak punya uang sebanyak itu, andaikata punya sekali pun, tidak sudi kami memberikan kepada iblis macammu! Lebih baik kami mati!"
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, masih hendak berlagak gagah-gagahan? Orang she Cia, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang dapat me-larang?"
"Bunuhlah! Siapa takut mampus?"
Kakek itu membentak dengan mata melotot, dan dua orang keponakannya hanya memandang dengan wajah agak pucat karena betapapun juga, ngeri hati mereka melihat Ketua Hek-i-mo ini.
Mereka bertiga dengan nekat datang untuk membalaskan kematian Cian-piauwsu, yaitu ketua perusahaan pengawalan yang tewas di tangan Hek-i-mo. Mereka disambut oleh delapan orang murid kepala Hek-i-mo dan dalam perkelahian satu lawan satu, mereka bertiga kalah semua, luka-luka dan tertawan. Baru ilmu kepandaian muridnya saja sudah sehebat itu, apalagi kepandaian gurunya ini. Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara ketawa sekali lagi, lalu memberi perintah kepada seorang di antara delapan muridnya untuk mengambilkan lilin-lilin dari dalam rumah. Seorang murid yang duduk di arah belakang, menyanggupi lalu meloncat bangun dengan cepat, tahu-tahu sudah lenyap dari situ dan memasuki rumah dari pintu belakang. Demikian cepat gerakan orang ini, apalagi karena pakaiannya hitam maka dia seolah-olah dapat menghilang saja, persis seperti lblis!
Tak lama kemudian dia sudah datang lagi, membawa sebungkus lilin. Bungkusan dibuka dan keluarlah lilin yang cukup banyak. Hek-i Mo-ong mengambil sebatang lilin, lalu membuat gerakan aneh dan.... lilin yang sebatang itu menyala! Dia menaruh lilin di depannya, dan sungguh mengherankan, biarpun malam itu ada angin lembut bertiup, namun lilin yang bernyala itu sama sekali tidak terganggu. Nyala api lilin itu tetap anteng dan tidak bergerak. Sambil tersenyum-senyum aneh Raja Iblis Hitam itu lalu mengepal-ngepal lilin-lilin tadi dengan kedua tangannya yang besar. Seperti terkena hawa panas, lilin-lilin itu menjadi lunak dan kakek raksasa ini lalu membentuk lilin-lilin putlh menjadi boneka-boneka, tiga buah boneka yang mirip dengan tiga orang tawanan itu. Seorang kakek, seorang pemuda dan seorang gadis!
Tiga tawanan itu memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia Iblis itu. Membuat boneka? Sudah gila agaknya orang itu, seperti anak kecil saja, membuat boneka di saat menyeramkan seperti itu. Akan tetapi delapan orang muridnya hanya memandang penuh perhatian, seperti murid-murid yang sedang mempelajari sesuatu, sedangkan barisan anggauta Hek-i-mo yang kini sudah ikut duduk bersila, tetap dalam keadaan mengepung atau membuat lingkaran, memandang dengan takjub dan penuh hormat, sedikit pun tidak berbuat sesuatu atau mengeluarkan suara, bahkan hampir tidak berani bergerak. Setelah selesai membuat boneka-boneka itu, Hek-i Mo-ong lalu mendirikan tiga buah boneka dari lilin putih itu di depannya sambil menyeringai girang.
Tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya ke arah para tawanan. Angin dahsyat menyambar dari tangannya, membuat rambut kepala tiga orang tawanan itu berkibar dan.... beberapa helai rambut mereka itu beterbangan ke arah kakek yang luar biasa ini. Hek-i Mo-ong telah mengambil masing-masing tiga helai rambut dari kepala tiga orang tawanan secara luar biasa sekali! Dan tiga helai rambut itu lalu dia pasangkan pada kepala boneka masing-masing. Sungguh aneh sekali semua ini, dan tiga orang tawanan itu mulai merasa serem karena mereka sudah mendengar bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli ilmu hitam seperti iblis sendiri. Setelah tersenyum-senyum melihat hasil karyanya, kakek itu lalu memandang lagi ke arah tiga orang tawanannya.
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lepaskan belenggu mereka!"
Perintahnya.
"Tapi, Suhu, mereka itu sudah nekat, tentu akan mengamuk dan merepotkan!"
Kata Si Kumis Tebal.
"Ha-ha-ha, tidak. Mereka tidak akan mampu bergerak sebelum kuperintah!"
Jawab kakek ini, lalu dia menggunakan jari telunjuk untuk menotok kepada tiga buah boneka itu dan benar saja, ketiga orang tawanan itu dibebaskan dari belenggu, mereka tidak mampu menggerakkan kaki tangan, biarpun mereka tidak merasakan nyeri dan sebenarnya jalan darah mereka berjalan normal. Mereka masih rebah dan hanya memandang kepada boneka-boneka di depan kakek yang menyeramkan itu.
"Ha-ha-ha, murid-muridku, kalian lihatlah baik-baik. Biarpun aku bukan seorang ahli pembuat boneka, akan tetapi kalian dapat melihat dengan jelas bahwa tiga buah boneka ini adalah mereka bertiga, bukan? Kekurang-sempurnaan pembuatan boneka ini disempurnakan dengan pemasangan rambut aseli mereka di kepala boneka masing-masing, inilah yang dinamakan ilmu Memindahkan Semangat Dalam Boneka. Kalian sudah kuajari caranya dan manteranya. Nah, dengarlah baik-baik, dan lihatiah."
Kakek itu lalu mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan gemetar ke atas boneka-boneka itu, makin lama kedua tangannya gemetar makin hebat dan mulutnya mengucapkan mantera-mantera dalam bahasa Tibet kuno.
Delapan orang muridnya, Hek-i Pat-mo, memandang dengan penuh perhatian, dengan mata yang hampir tidak pernah berkedip. Dan terjadilah keanehan yang menyeramkan. Tiga buah boneka yang rebah telentang di depan kakek itu mulai bergerak-gerak! Mula-mula hanya tiga helai rambut di kepala boneka-boneka itu yang bergerak-gerak seperti tertiup angin, dan agaknya gerakan rambut ini menjalar ke dalam boneka-boneka itu dan mulailah boneka-boneka itu bergerak-gerak seperti kemasukan roh. Dan tiga orang tawanan tu, kini tidak terbelenggu lagi, ikut pula bergerak-gerak dan gerakan tubuh mereka persis dengan gerakan boneka-boneta itu, atau mungkin sebaliknya, yaitu bagaimanapun mereka bergerak, boneka-boneka itu ikut pula bergerak.
"Lihat baik-baik, muridku, lihat baik-baik. Selama ini, ilmu yang kalian pelajari hanya teorinya saja, dan kita sekarang memperoleh kesempatan untuk mempraktekkannya dengan tawanan-tawanan bandel ini. Nah, aku mulai dengan laki-laki yang tua itu."
Dia mengambil sebuah di antara boneka-boneka itu, memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya lalu mengeluarkan sebatang jarum. Kembali dia mengucapkan mantera, dan tiba-tiba dia memasukkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan boneka.Terdengar suara mengaduh dari kakek tawanan dan kakek itu menggunakan tangan kanan untuk memegangi tangan kirinya yang tiba-tiba saja sudah berdarah, seperti juga tangan boneka tertusuk jarum itu yang mengeluarkan sedikit darah. Hek-i Mo-ong terkekeh senang sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri ketika dia melihat darah, seperti seekor harimau kelaparan mencium bau darah.
Dia menancapkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan kanan boneka dan kembali kakek itu mengeluh dan telapak tangan kanannya mengucurkan darah seperti baru saja ditusuk pedang yang amat runcing dan tajam. Kedua tangannya kini telah terluka berdarah, akan tetapi biarpun begitu, dia masih memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan sepasang mata terbelalak penuh kebencian. Hek-i Mo-ong bukan tidak tahu akan kekerasan hati tawanannya, dan agaknya hal ini menambah keganasannya. Dia menusukkan jarum itu bertubi-tubi ke semua bagian tubuh mereka. Mula-mula ke arah kedua kakinya, kemudian lengannya, kedua pipinya, pundaknya. Mula-mula ke bagian tubuh yang tidak mematikan dan seluruh tubuh kakek itu mengeluarkan darah? Di bagian tubuh boneka yang tertusuk nampak bintik-bintik darah, akan tetapi di tubuh kakek itu darah mulai bercucuran membasahi seluruh pakaianya.
Akan tetapi kakek itu tidak mengeluh lagi, bahkan lalu mengatupkan bibirnya menahan semua rasa nyeri. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan melihat betapa kakek itu berkelojotan tanpa mengeluarkan suara, dan pandang matanya masih ditujukan kepada penyiksanya dengan penuh kebencian. Ada keinginan hatinya untuk nekat dan menyerang kakek iblis itu, akan tetapi setiap kali dia hendak menggerakkan kaki tangannya, dia terguling lagi dan karena kini seluruh tubuhnya penuh luka-luka dan darahnya banyak yang terbuang, maka dia menjadi semakin lemas dan akhirnya hanya rebah dan menanti datangnya maut saja. Hek-i Mo-ong agaknya sudah merasa bosan menyiksa lawannya, maka kini dia menusukkan jarumnya ke dada boneka sampai tembus.
Kakek tawanan mengeluarkan jerit tertahan satu kali, tubuhnya berkelojotan dan dari dada dan punggungnya mengucur darah, tidak banyak lagi dan tubuhnya pun terkulai lemas dan tak bernyawa lagi. Sejak tadi, dua orang keponakannya hanya dapat menonton dengan mata terbelalak penuh kengerian dan jantung berdebar tegang. Mereka berdua pun tidak mampu menggerakkan kaki tangan, seolah-olah ada tali yang tidak nampak masih membelenggu mereka. Kini, melihat paman mereka itu sudah tidak bergerak lagi, mereka merasa sedih dan marah sekali, akan tetapi bercampur juga dengan perasaan lega karena paman mereka itu tidak akan menderita lagi. Maka mereka lalu menujukan pandang mata mereka kepada Hek-i Mo-ong dengan penuh kebencian, sedikit pun mereka tidak merasa takut walaupun mereka berdua maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan kakek iblis ini.
"Ha-ha-ha, kalian yang masih muda-muda, apakah tidak sayang akan hidup kalian? Sediakan seribu tail perak dan aku akan membebaskan kalian dari kematian."
Hek-i Mo-ong masih mencoba untuk membujuk dua orang muda itu. Baginya, tentu saja uang sebanyak itu jauh lebih penting daripada nyawa dua orang yang tidak ada artinya itu. Akan tetapi, dua orang muda itu sudah marah sekali. Selain mereka tidak mempunyai uang sebanyak itu, juga mereka tidak sudi takluk terhadap kakek iblis itu.
"Hek-i Mo-ong iblis tua bangka, siapa takut akan ancamanmu?"
Pemuda itu berteriak marah dan berusaha untuk memperoleh kembali tenaganya agar dia dapat mengamuk dan menyerang kakek itu. Akan tetapi usahanya sia-sia saja karena setiap kali kaki dan tangannya dapat bergerak, segera ada tenaga lain yang membuatnya lumpuh kembali.
"Bagus, kau mau main gagah-gagahan? Nah, rasakanlah ini!"
Kakek itu lalu menggunakan jarumnya yang telah menewaskan kakek tawanan tadi, untuk menusuk-nusuk kepala boneka pemuda itu, tusukannya tidak terlalu dalam akan tetapi cukup untuk mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa pada pemuda itu. Tiba-tiba saja pemuda itu dapat ber-gerak, mencengkeram dengan kedua tangannya kepada kepalanya, menjambak-jambak rambutnya karena dia merasakan kenyerian yang tak tertahankan lagi. Dan dari balik rambut-rambut kepalanya itu mulai bercucuran darah yang menetes-netes di leher dan mukanya. Mengerikan sekali. Hek-i Mo-ong adalah seorang ahli totok, maka tusukan-tusukannya ditujukan kepada jalan-jalan darah dan kini pemuda itu menggunakan sepuluh jari tangannya mencakar sana-sini, seluruh tubuhnya yang terasa sakit-sakit.
dan gatal-gatal, bergulingan dan mengeluarkan suara seperti gerengan seekor binatang buas. Seluruh tubuhnya kini mengeluarkan darah seperti halnya pamannya tadi, akan tetapi dia lebih tersiksa daripada pamannya. Kemudian sambil tertawa bergelak Hek-i Mo-ong lalu memegang kedua kaki boneka yang sudah berbintik-bintik merah, dan menaruh boneka itu di atas api lilin yang bernyala di depannya. Terdengar jeritan melengking yang amat mengerikan keluar dari mulut pemuda itu dan.... semua mata, terutama mata gadis itu, memandang terbelalak kepada tubuh pemuda itu. Kini tubuh pemuda itu, terutama di bagian mukanya, mulai berkeriput, mengering seperti terkena api, dan makin lama jeritannya makin lemah dan tubuhnya mulai meleleh, seperti lilin dibakar, berbareng dengan melelehnya boneka lilin yang terkena api itu.
Bau sangit menusuk hidung. Bukan hanya gadis itu yang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan peristiwa ini, bahkan para anggauta Hek-i-mo juga memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka itu ketakutan, membayangkan betapa akan mengerikan kalau sampai mereka terhukum oleh ketua mereka seperti itu. Hanya wajah Hek-I Pat-mo sajalah yang tidak berobah, bahkan sinar mata mereka berapi dan penuh kegembiraan dengan demonstrasi kekuatan ilmu hitam yang mengerikan itu. Akhirnya Hek-i Mo-ong melemparkan sisa boneka pemuda yang telah terbakar itu, dan di situ nampak bekas tubuh pemuda itu yang telah menjadi seonggok daging terbakar yang mengeluarkan bau keras.
"He-he-he-he, bagaimana, Nona? Apa-kah engkau masih hendak berkeras kepala? Kalau engkau mau berusaha mengeluarkan uang tebusan itu, mungkin engkau akan dapat hidup!"
"Siluman keparat! Untuk apa aku hidup lagi setelah engkau membunuh Paman dan Kakakku sekejam itu? Kaukira aku takut melihat siksaan itu? Siksalah aku, bunuhlah, akan tetapi jangan harap aku akan tunduk kepadamu, Iblis berwajah manusia!"
Kakek itu tidak marah, hanya terkekeh.
"Murid-muridku, lihat baik-baik, boneka-boneka yang telah mengandung satu semangat dengan orang-orangnya itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk mempengaruhi tubuh mereka, melainkan juga piklran mereka. Lihatlah, aku akan membikin percobaan dengan gadis ini."
Mendengar ini, gadis itu dengan mata terbelalak memandang ke arah boneka lilin yang memakai sehelai rambutnya itu, mukanya pucat dan jelas ada kengerian hebat di dalam pandang matanya, namun ia tetap tidak sudi untuk menaluk.
Kakek itu mengambil guci arak yang terletak di sampingnya, kemudian menempelkan guci ke bibirnya dan dituangkan sedikit arak ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata sebentar, lalu disemburkan arak itu ke arah boneka yang dipegangnya, dan dengan sepasang mata yang tajam seperti mata setan itu dia menatap ke arah wajah boneka, mulutnya berkemak-kemik. Dan nampaklah boneka itu mengeluarkan uap tipis! Berbareng dengan itu, terdengar keluhan dari mulut gadis itu. Hek-i Pat-mo memandang kepada gadis itu untuk menyaksikan akibat dari ilmu hitam guru mereka. Gadis itu mengeluh perlahan, kedua matanya terpejam, kemudian ia mengerang dan kedua tangannyaa bergerak, mula-mula ke arah dadanya, lalu ke arah kepalanya dan tubuhnya mulai bergulingan, mulutnya terengah-engah dan sikapnya seperti orang kepanasan.
Makin lama, rintihannya makin sering dan keras, dan bangkitlah ia, matanya masih terpejam dan kini, seperti orang kegerahan yang berada di dalam kamar seorang diri, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu sampai tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya. la lalu bangkit berdiri, meliuk-liukkan tubuhnya seperti orang masih kegerahan, lalu membuka matanya. Bukan lagi mata yang bersinar keras hati dan penuh kebencian dari gadis tadi, melainkan sepasang mata yang penuh gairah! Dan, seperti tertarik oleh besi semberani, gadis yang bertelanjang bulat itu menghampiri Hek-i Mo-ong, lalu menjatuhkan diri berlutut dan dengan erangan-erangan dan belaian kedua tangan, mulailah ia membelai dan merayu Hek-i Mo-ong! Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi gila, atau seorang yang kehausan karena nafsu berahi.
"Ha-ha-ha!"
Hek-i Mo-ong mendorongnya sampai terjengkang, kemudian kakek itu menggunakan tangan kiri mengambil beberapa ekor semut-semut merah yang berada di situ, memijit sedikit semut-semut itu dan ditempelkannya semut-semut yang kesakitan itu pada boneka lilin. Semut-semut yang kesakitan itu tentu saja lalu menggigit tubuh boneka itu dan gadis itu menjerit-jerit lirih, tubuhnya terasa gatal-gatal dan sakit dan ia menggaruk sana-sini dan tentu saja tubuhnya yang telanjang bulat itu menggeliat-geliat, berkelojotan. Melihat ini, kalau Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja dengan dingin, delapan muridnya sudah memandang dengan mata melotot dan mulut berliur, mereka mulai terserang gairah nafsu menggelora. Melihat keadaan murid-muridnya ini, Hek-i Mo-ong malah tertawa.
"Heh-heh-heh, kalau kalian mau, bawalah ia. Akan tetapi sesudahnya, ia harus mati agar kelak tidak mendatangkan marabahaya bagi kita."
Seperti delapan ekor serigala dilepas dari kurungan, delapan orang murid kepala itu nampak gembira sekali. Seorang di antara mereka, yang merupakan murid tertua atau pimpinan dari Hek-i Pat-mo, lalu meloncat dan menyambar tubuh telanjang gadis itu, dipanggulnya dan setelah menjura kepada Hek-i Mo-ong, dia lalu meloncat pergi diikuti oleh tujuh orang adik-adik seperguruannya. Terdengar suara ketawa mereka, biarpun bayangan mereka sudah tidak nampak lagi dan pandang mata para anggauta Hek-i-mo mengikuti bayangan mereka tadi dengan pandang mata penuh iri!
Akan tetapi, ketua mereka lalu menyuruh mereka membersihkan tempat itu dan menyingkirkan dua mayat itu. Kemudian, dengan langkah gontai seolah-olah sedang berjalan-jalan dan tidak pernah terjadi sesuatu, Hek-i Mo-ong meninggalkan tempat itu untuk kembali ke gedungnya. Dia sudah menghukum tiga orang musuh yang berani melawannya, juga telah mendemonstrasikan kepandaian ilmu hitamnya, pertama untuk melatih dan memberi petunjuk kepada Hek-i Pat-mo, kedua untuk membuat para anggautanya semakin tunduk dan takut. Dia tahu bahwa gadis itu tentu akan tewas karena tidak mungkin dapat bertahan hidup setelah dikuasai oleh delapan orang murid kepala yang telah dikuasai oleh nafsu berahi yang menggelora itu. Dan dia tersenyum.
Sekali-kali perlu juga semangat delapan orang muridnya itu dibangkitkan agar gairah hidupnya makin besar dan kesetiannya kepadanya semakin menebal. Demikianlah keadaan Hek-i-mo yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong Phang Kui. Kakek ini bukan hanya lihai sekali ilmu sihirnya yang berdasarkan ilmu hitam, akan tetapi kabarnya juga amat lihai ilmu silatnya. Bahkan Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itupun hampir tidak pernah menemui tandingan. Entah sudah berapa puluh atau ratus kali kaum pendekar atau mereka yang memiliki ilmu silat dan mencoba untuk menentang Hek-i-mo, harus mengalami kekalahan terhadap delapan orang murid kepala ini. Sebagian besar di antara para pendekar yang berani menentang mereka, mengalami kematian menyedihkan, dan hanya sedikit yang dapat lolos dengan menderita luka yang cukup hebat.
Pada suatu malam bulan purnama yang sunyi. Angkasa bersih sekali sehingga nampak bulan purnama sepenuhnya, besar bulat dan terang tidak dihalangi sedikit pun awan tipis sehingga bulan nampak anteng tidak pernah bergerak dengan latar belakang langit yang hitam pekat di mana nampak bintang-bintang yang sinarnya menjadi lemah dan layu oleh sinar bulan. Tidak ada angin bersilir di padang rumput itu. Hek-i Mo-ong duduk di atas setumpukan tengkorak manusia yang disusun menjadi tumpukan piramida yang menuding ke atas. Hek-i Mo-ong duduk di puncak tumpukan itu, di atas tengkorak paling atas. Sungguh mengherankan betapa dia dapat duduk bersila di atas sebuah tengkorak saja dan tumpukan itu tidak sampai runtuh didudukinya. Untuk dapat meloncat dan duduk tak bergerak di atas tumpukan tengkorak seperti itu membutuhkan gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.
Di sekeliling kakek ini, di atas tumpukan tengkorak-tengkorak lain, akan tetapi tumpukan ini jauh lebih kecil dan rendah, duduklah Hek-i Pat-mo, bersila seperti suhu mereka pula, dan mereka itu duduk mengelilingi suhu mereka dalam bentuk segi delapan. Kiranya Hek-i Mo-ong Phang Kui sedang melatih diri bersama murid-muridnya, Untuk bersamadhi dan menerima dan mengumpulkan kekuatan yang terkandung dalam sinar bulan purnama untuk memperkuat kekuatan sihir mereka! Kalau mereka sedang berlatih seperti ini, tidak ada seorang pun anggauta Hek-i-mo yang boleh mendekat. Mereka itu hanya diwajibkan untuk menjaga di luar pekarangan itu. Dan kalau mereka sedang berlatih seperti itu, suasananya menjadi amat menyeramkan, seolah-olah di sekitar daerah itu terasa adanya hawa yang penuh dengan kekuatan hitam yang mengerikan.
Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak seolah-olah alam berhenti dan mati. Yang menguasai alam di tempat itu adalah kesunyian yang tidak wajar. Akan tetapi, kalau Hek-i Pat-mo bersila dengan tekun dan tenggelam dalam keheningan samadhi yang mereka buat, sebaliknya Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Tingkat kepandaian delapan orang muridnya itu belum mencapai tingkat setinggi yang dimilikinya sehingga kalau dia dapat merasakan datangnya getaran yang tidak wajar, murid-muridnya itu tidak mengetahuinya. Hek-i Mo-ong sudah sejak tadi sadar dari samadhinya dan dia memandang lurus ke depan, tidak bergerak-gerak karena dia sedang memperhatikan sekitar tempat itu, bukan dengan matanya melainkan dengan telinga dan perasaannya yang amat peka di saat itu. Dia tahu bahwa ada dua orang datang mendekati tempat itu, dua orang yang dia tahu bukan orang sembarangan karena getarannya terasa amat kuatnya oleh kepekaannya.
Dia tahu bahwa dua orang yang dapat tiba di tempat itu, menembus penjagaan para anggauta Hek-i-mo tanpa diketahui sama sekali, tentulah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika tiba-tiba muncul dua bayangan orang yang memang telah diduganya, karena tidak seperti yang disangkanya, dua orang yang muncul itu bukanlah orang-orang tua yang sepatutnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, melainkan dua orang muda, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis remaja! Dia terkejut dan mengerahkan kekuatannya untuk menambah peka perasaannya, akan tetapi perasaannya itu tidak membohonginya. Getaran yang amat hebat itu memang datang dari dua orang muda yang telah berada di tempat itu! Hek-i Mo-ong masih diam saja. Dia ingin melihat apa yang hendak dilakukan oleh dua orang muda itu.
Jodoh Rajawali Eps 7 Kisah Sepasang Rajawali Eps 57 Jodoh Rajawali Eps 28