Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 7


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Ihhhhh...."

   Puteri itu mengeluh.

   "Kelihatan dekat, kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!"

   Siang In tertawa.

   "Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar daripada bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah, mengeluh. Hal itu adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu maka menjadi lama dan kelihatan jauh...."

   Tiba-tiba Siang In menghentikan kata-katanya, memegang tangan puteri itu dan menghentikan langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak olehnya serombongan orang berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka datang agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga. Syanti Dewi menjadi gelisah dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan berkata lirih.

   "Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut itu."

   Pasukan itu berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan pasukan menyerukan aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua orang dara itu, berdiri berjajar memenuhi jalan.

   Mereka memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah yang aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama mereka hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini cantik jelitanya! Seolah-olah dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!. Melihat dua orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Dia mengebut-ngebutkan pakaian seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis sehingga tubuhnya menjadi melengkung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya kemudian melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.

   "Heiiiii! Kalian dua orang Nona Muda siapakah, dari mana dan hendak ke mana?"

   Si jangkung ini bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, nyanyian sumbang! Melihat lagak orang ini, mau tidak mau Syanti Dewi merasa geli hatinya dan dia menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak menahan suaranya terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung oleh semacam kebiasaan, tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh suasana di dalam istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak merasa kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.

   "Kami adalah dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!"

   Siang In menjawab sambil terkekeh.

   "Ha-ha-ha, Nona ini lucu!"

   "Lucu dan manis, heh-heh."

   "Kedua-duanya cantik jelita!"

   "Hussshhh, diam kalian!"

   Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara. Sungguhpun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka kadangkadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggauta tubuh yang menggairahkan Itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat menundukkan muka dengan alis berkerut.

   "Nona, jangan kau main-main! Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang! Hayo lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku terhadap kalian dua orang dara-dara muda bertindak kasar."

   "Nanti dulu, mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi ke kota di puncak itu

   "Ha-ha-ha-ha-ha!"

   Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang ke arah kota berdinding tebok itu.

   "Mengapa kalian tertawa!?"

   Tanyanya.

   "Di atas itu bukan kota Nona, melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian"

   Kata pula si jangkung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi berpangkat kopral. Siang In dan Syanti Dewi saling pandang dan merasa terkejut dan kecewa. Kiranya mereka telah salah duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah perkumpulan yang bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang. Hati Naga berarti keberanian, dan hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama seperti itu. Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata,

   "Aih, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan harap maafkan kaii."

   "Eh-eh, nanti dulu, Nona!"

   Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya itu berpencar lalu membentuk lingkaran mengurung dua orang dara itu.

   "Hemmm.... kalian mau apa?"

   Siang In tersenyum menyembunyikan kemarahannya dibalik senyum manis.

   "Kalian sudah melanggar wilayah kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk menghadap Kongcu."

   "Hemmm, siapa itu Kongcu?"

   Tanya Siang In.

   "Kongcu adalah majikan dan ketua kami."

   "Kongcu pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!"

   "Tentu saja, dan kita akan mendapatkan hadiah!"

   Mereka tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan anggauta-anggauta perkumpulan orang gagah. Lagak
(Lanjut ke Jilid 07)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
mereka ini tiada bedanya dengan penjahat-penjahat kecil atau sebangsa perampok liar saja.

   "Kalau kami tidak mau?"

   Tanyanya.

   "Ha-ha, mau tidak mau kalian harus ikut bersama kami, jawab Jiu Koan. Siang In melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya,

   "Eh, siapa namamu tadi? Jiu Koan?" "Benar."

   "Jadi engkau ini seorang jagoan Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau memang jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan me-nyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Akan tetapi kalau aku menang kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?"

   Jiu Koan memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis yang membawa payung ini memiliki kepandaian dan kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis ke dua itu, yang kelihatan lemah lembut, tentu tidak bisa silat.

   "Baik, akan tetapi karena kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, biarlah kalian boleh pergi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas untuk menghadap Kongcu."

   "Baiklah, jawab Siang In sambil berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu.

   "Kau ajukan jagomu biar dilawan temanku ini."

   Dan dia menggunakan ilmunya, sehingga hanya Syanti Dewi saja yang mendengar bisikannya,

   "Enci, kau lawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah."

   Syanti Dewi mengangguk. Memang dia telah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya pernah memperoleh kemajuan hebat ketika dia memperoleh petunjuk-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng beberapa tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Akan tetapi selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat.

   Maka, untuk bertanding tentu saja gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi! Jiu Koan lalu memberl isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar, usianya tentu belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran otot-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu. Syanti Dewi merasa agak ngeri berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik ini dapat me-masang kuda-kuda ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata,

   "Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah."

   "Tidak perlu banyak cakap, majulah!"

   Syanti Dewi berkata.

   "Ha-ha, hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!"

   Raksasa itu tertawa dan menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi. Puteri ini terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepatnya. Namun dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Dalam perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di ujungya, maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.

   "Ehhh!"

   Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu. Dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya berusaha menangkap Sang Puteri, melainkan juga menggunakan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Karena kaki dan tengannya memang besar dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari.

   "Kau hendak lari ke mana sekarang?"

   Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi. Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi dia membalas dengan pukulan ke arah muka raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu begitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri!

   "Aihhhg....!"

   Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang. Dia berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan, ketika berjungkir-balik itu tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh Si raksasa untuk menyerbu ke depan. Pada saat itu, Siang In menggerak-gerakkan tangannya ke arah Si raksasa dan berseru,

   "Laki-laki tidak sopan jangan main curang dan kurang ajar!"

   Suaranya melengking nyaring dan mengandung daya tarik luar biasa sehingga Si raksasa itu memandang kepadanya. Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu pandang dengan dara itu, otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In.

   "Eh.... eh.... mana....?"

   Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara cantik yang menjadi lawannya.

   "Plak! Plak!"

   Dua kali pipinya ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah terasa panas dan dia terhuyung ke belakang. Syanti Dewi sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka dia lalu melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya yang kecil.

   "Buk-buk-bukkk!"

   Tiga kali dia memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke belakang.

   Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan mereka itu seperti orang bingung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok? Si raksasa itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan tetapi dia sama sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha untuk menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya menngenai angin saja karena Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget dan heran melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di depannya, padahal lawannya berada di sebelah kirinya!

   "Takkk! Aughhhhh.... aduhhhhh....!"

   Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan dengan kaki kanan. Hanya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh ujung besi sepatu Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan main, kiut-miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di dalam sumsum.

   "Dukkk....! Aduhhh....!"

   Dan si raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah menjadi biru dan bengkak itu. Siang In menggerakkan tangannya dan kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat mudah itu. Siang In meloncat ke depan sambil tersenyum.

   "Nah, jelas bahwa temanku memperoleh kemenangan! Hayo, orang she Jiu. Sekarang kau majulah!"

   Jiu Koan masih terheran-heran oleh kekalahan temannya. Dia memandang ke arah Syanti Dewi dengan pandang mata penuh selidik. Apakah yang terjadi, pikirnya. Temannya itu bukan seorang lemah atau tolol, akan tetapi dalam pertandingan tadi, temannya telah bersikap lebih daripada tolol! Setelah dia memberi isyarat dan si raksasa itu oleh teman-temannya diangkat minggir, Jiu Koan lalu berkata,

   "Kemenangan temanmu mencurigakan!"

   "Eh-eh-eh, sudah jelas kawanmu kalah, engkau masih mencari alasan!"

   Siang In mengejek.

   "Benar, akan tetapi sungguh tidak wajar! Tendangan-tendangan yang dilakukan temanmu tadi sebetulnya bukan apa-apa, sungguh tidak mungkin bisa mengalahkan kawanku itu kalau dia dalam keadaan wajar. Mungkin dia sedang sakit atau ada sesuatu, yang mengganggunya"

   "Ah, omong kosong! Sudah kalah masih mencari-cari alasan kosong. Orang she Jiu, ketahuilah bahwa kami berdua adalah ahli-ahli menggunakan kaki untuk mengalahkan lawan! Temanku tadi menggunakan keahliannya itu dan telah merobohkan kawanmu, maka jangan banyak alasan. Kalah ya kalah saja, habis perkara!"

   Muka Jiu Koan menjadi merah sekali.

   "Bagus!"

   Bentaknya marah.

   "Kalau begitu coba kau kalahkan aku dengan keahlian kakimu itu!"

   Diam-diam Siang In harus mengakui kecerdikan orang ini, akan tetapi dia tersenyum dan menjawab,

   "Baik, engkau lihat saja, aku tidak akan menggunakan kedua tanganku untuk mengalahkanmu, cukup dengan kedua kakiku saja!"

   Ucapan dara ini dianggap terlalu sombong oleh Jiu Koan, maka kemarahannya meluap dan dia membentak,

   "Bocah sombong, kau boleh lihat betapa aku akan menangkap kedua kakimu dan merobek celanamu agar kau tidak bersikap sombong lagi!"

   Baru saja orang ini berkata demikian, tiba-tiba kaki kiri Siang In yang menjadi marah mendengar kata-kata itu sudah melayang dengan kecepatan yang tidak terduga-duga.

   "Plakkk!"

   Kaki itu sudah menendang dagu Jiu Koan sehingga orang ini terhuyung ke belakang sambil memegangi dagunya, matanya terbelalak kaget dan juga marah. Dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka, kemudian dia menyerbu ke depan dengan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, menghujamkan pukulan dan cengkeraman bertubi-tubi. Namun, kini Siang In sudah mengetahui bahwa lawannya itu lebih besar lagak daripada kepandaiannya, maka dengan mudah saja dia menggunakan ginkangnya yang istimewa untuk mengelak ke kanan kiri. Menghadapi seorang lawan seperti ini saja, memang baginya tidak perlu menggunakan kedua tangan, apalagi menggunakan sihirnya.

   Dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya dan setiap kali kakinya bergerak, kalau tidak ada bagian tubuh yang tertendang, tentu lawannya itu terhuyung ketika menangkis, karena tendangan kaki dara itu mengandung kekuatan yang amat hebat. Baru saja berjalan belasan jurus pertandingan itu, Jiu Koan sudah terdesak terus dan tidak mampu menyerang lagi karena kedua kaki lawannya bergerak seperti kilat cepatnya, bergantian kanan kiri menyambar dan menghajarnya. Memang Siang In tadi tidak berkata berlebihan bahwa dia adalah seorang ahli menggunakan sepasang kakinya. Oleh gurunya dia telah diberi ilmu silat yang mendasarkan atas permainan kaki yang dinamakan ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) dan kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang bertubi-tubi.

   Terdengar bunyi bertubi-tubi ketika tubuh Jiu Koan dihajar oleh tendangan-tendangan kaki yang kecil mungil itu. Tentu saja kini keadaannya berbeda dengan ketika Syanti Dewi melawan raksasa tadi. Syanti Dewi yang pernah belajar ilmu silat tentu saja mengerti pula bagaimana untuk menggunakan kaki menendang, namun dia sama sekali bukanlah ahli seperti Siang In. Tadi dia dengan mudah menendangi tulang kering kaki lawannya karena lawannya itu tidak dapat melihatnya oleh kekuatan sihir Siang In. Kini, biarpun Jiu Koan berusaha mengelak dan menangkis, namun datangnya tendangan-tendangan yang bertubi dan amat cepat itu sukar dihindarkan dan akhirnya, sebuah tendangan kilat bersarang di perutnya.

   "Bukkk!"

   Dan kini tubuh Jiu Koan terjengkang, terbanting ke atas tanah di mana dia meringis dan mengaduh-aduh, memegangi perutnya yang menjadi mulas dan nyeri bukan main.

   "Tangkap mereka! Bunuh....!"

   Jiu Koan berteriak-teriak sambil bangkit memegangi perutnya, kemudian tangan kanannya mencabut golok yang tergantung di pinggangnya. Juga semua anak buahnya mencabut senjata masing-masing. Melihat ini, Syanti Dewi menjadi cemas juga dan cepat dia mendekati Siang In. Akan tetapi Siang In malah melangkah maju.

   "Kalian ini anggauta-anggauta Perkumpulan Hati Naga, apakah tidak mengenal seekor naga aseli? Lihat baik-baik siapa aku!"

   Syanti Dewi memandang penuh perhatian kepada tiga belas orang itu dan terjadilah keanehan. Tiga belas orang itu terbelalak memandang kepada Siang In, muka mereka menjadi pucat sekali, kemudian didahului oleh Jiu Koan mereka membuang senjata mereka dan lari tunggang langgang! Syanti Dewi cepat menoleh dan dia melihat betapa dara itu masih biasa saja tubuhnya, akan tetapi kepalanya yang cantik jelita itu kini telah berubah menjadi kepala seekor naga yang menyeramkan! Tentu saja Syanti Dewi juga ketakutan dan menjauhkan dirinya. Karena dia tidak langsung dikuasai sihir, maka dia hanya melihat kepala Siang In saja yang berubah menjadi naga, tidak seperti tiga belas orang itu yang melihat seekor naga yang lengkap, yang mengancam untuk menerkam mereka.

   "Enci, kesinilah, aku tidak apa-apa,"

   Kata Siang In tersenyum lucu dan ketika Syanti Dewi menoleh, ternyata Siang In sudah biasa kembali.

   "Aihhh, kau menakutkan aku...."

   Katanya. Pada saat itu terdengar suara melengking panjang dan suara ini disusul bentakan,

   "Kembalilah kalian penakut-penakut menjemu-kan!"

   Mendengar suara ini, Jiu Koan dan dua belas orang anak buahnya berhenti dan mereka cepat menjura kepada seorang pemuda yang baru muncul.

   "Am-pun, Kongcu.... ada.... ada siluman...."

   Jiu Koan berkata akan tetapi dia menoleh dan memandang ke arah dua orang gadis itu, ternyata mereka adalah dua orang gadis cantik yang tadi dan tidak -nampak ada naga di situ. Pemuda tampan itu tidak mempedulikan Jiu Koan dan dia segera bertindak menghampiri Siang In dan Syanti Dewi.

   Dua orang dara itu pun memandang penuh perhatian dan mereka dapat menduga bahwa tentulah orang ini yang disebut kongcu dan menjadi majikan atau ketua dari Perkumpulan Liong-sim-pang yang markasnya seperti benteng di puncak bukit itu. Ketika pemuda itu yang bukan lain adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun, melihat bahwa yang ribut-ribut di situ adalah dua orang dara yang demikian cantik jelitanya, diam-diam dia merasa terkejut, terheran dan juga girang sekali. Jantungnya sudah bergoncang hebat karena harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat wanita sedemikian hebat dan cantiknya seperti dua orang dara ini! Sejenak dia bengong dan pandangan matanya seperti terasa oleh dua orang gadis itu, menggerayangi wajah dan tubuh mereka.

   Siang In memandang sambil tersenyum, penuh perhatian. Pemuda itu memang tampan, bahkan terlalu tampan dan wajah yang dibedaki putih, alis yang dipertebal dengan cat alis, bibir yang di beri sedikit pemerah bibir, dan pipi yang agak kemerahan itu mendekati kecantikan wajah seorang wanita. Pemuda itu pesolek sekali, pakaiannya serba indah dan terbuat dari sutera mahal, bajunya berkembang-kembang dan biarpun pemuda itu berdiri dalam jarak empat metet darinya, dia dapat mencium bau wangi semerbak datang dari tubuh pemuda itu! Diam-diam Siang In bergidik. Pemuda ini betul-betul mengerikan! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Tang Hun sesungguhnya sudah berusia tiga puluh tahun.

   "Enci, mari kita pergi,"

   Kata Siang In, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mengajak untuk turun kembali dari lereng bukit itu karena dia merasa tidak enak menyaksikan pandang mata pemuda pesolek yang mengerikan itu.

   "Eh-eh, harap perlahan dulu, Ji-wi Siocia (Nona Berdua)....!"

   Terdengar suara halus dan ada angin menyambar dari samping mereka. Kembali Siang In terkejut karena ternyata pemuda pesolek itu kini telah berdiri di depan mereka, tanda bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat juga! Kini mereka berhadapan dekat dan bau harum semerbak makin menyengat hidung kedua orang dara itu. Siang In pura-pura tidak mengenal orang itu dan dia bertanya,

   "Siapa engkau dan perlu apa engkau menghadang perjalanan kami?"

   Hwa-i-kongcu Tang Hun menjura de-ngan sikap hormat dan dengan tersenyum ramah dia berkata,

   "Harap Ji-wi Siocia suka memaafkan anak buah kami kalau mereka itu lancang dan membikin Jiwi tidak senang hati."

   "Hemmm, anak buahmukah mereka itu?"

   "Benar, Nona. Saya adalah Tang Hun, majikan atau ketua dari Liong-Sim-pang dan di atas itu adalah tempat tinggal kami".

   "Ah, kiranya begitu? Memang anak buahmu tadi kurang ajar terhadap kami, akan tetapi telah kami beri hajaran kepada mereka. Kalau kau hendak membela mereka...."

   "Aih, tidak sama sekali, Nona! Bahkan kalau mereka itu berani kurang ajar terhadap tamu-tamu kami yang terhormat, mereka patut dihukum. Jiu Koan, ke sini engkau!"

   Pemuda itu membentak dan Jiu Koan, komandan pasukan itu cepat datang menghampiri ketuanya dengan sikap takut dan hormat.

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siap, Kongcu,"

   Katanya dengan berdiri tegak seperti perajurit.

   "Aku melihat tadi engkau dan se-orang lagi bertanding melawan Nona ini. Siapa yang seorang lagi? Panggil sini!"

   Jiu Koan berteriak memanggil temannya, si raksasa tadi digajul kedua tulang kering kakinya oleh Syanti Dewi. Raksasa ini pun datang menghadap dengan sikap hormat dan takut.

   "Mereka inikah yang telah meng-ganggu. Ji-wi?"

   Tang Hun bertanya sambil kini memandang kepada Syanti Dewi. Puteri ini yang dipandang oleh sepasang mata yang mempunyai sinar tajam dan aneh itu bergidik lalu mengangguk. Sinar mata pemuda ini amat tajam dan aneh, hampir setajam mata Siang In, akan tetapi kalau mata Siang In tajam lembut dan jujur, mata orang ini tajam akan tetapi mengandung gairah nafsu-nafsu yang mengerikan.

   "Baik, kalian lihatlah, Ji-wi Siocia. Aku menghukum mereka karena kekurangajaran mereka. Kupenggal kepala mereka!"

   Syanti Dewi terkejut bukan main melihat pemuda itu mencabut pedang dan dengan satu kali gerakan kilat, pedangnya itu berkelebat membacok ke arah leher dua orang itu.

   "Wuuuttttt.... crak-crakkk!"

   Dan leher dua orang itu terbabat putus, kepala mereka terpental dan darah muncrat-muncrat!

   "Ihhh....!"

   Syanti Dewi menjerit dan meloncat ke belakang dengan hati penuh kengerian. Akan tetapi Siang In memegang lengannya dan berbisik, suaranya berwibawa sekali.

   "Tidak apa-apa, Enci. Lihat lagi baik-baik, badut itu hanya membohongi kita."

   Syanti Dewi terheran, mengangkat mukanya dan benar saja. Dia melihat dua orang tadi masih berdiri dan tidak terjadi sesuatu dengan leher mereka! Pemuda itu tersenyum.

   "Tang-pangcu, kami bukan anak kecil. Tidak perlu kau menipu, kami dengan sulapan yang hanya pantas kau pertunjukkan di pasar itu. Dan kami pun tidak ingin melihat dua ekor babi ini disembelih!"

   Berkata demikian, Siang In menggerakkan tangan ke arah dua orang anak buah Liong-sim-pang itu dan kini pemuda itu terbelalak dan meloncat ke belakang karena tiba-tiba dia melihat dua orang pembantunya itu berubah menjadi dua ekor babi!

   "Aihhhhh...., bukan main....!"

   Dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, kelihatan mengerahkan sinkang dan seluruh tenaga batinnya, barulah dia melihat dua orang pembantunya itu kembali menjadi manusia seperti biasa.

   "Hebat....!"

   Dia berseru lagi dan kini dia saling pandang dengan Siang In. Dia lalu menjura.

   "Engkau hebat, Nona. Marilah kita naik ke puncak, kita bicara di sana. Ji-wi adalah tamu-tamu agung kami."

   Akan tetapi Siang In menggeleng kepala.

   "Terima kasih. Kami akan pergi saja"

   "Mana bisa begitu, Nona? Bukankah kalian sudah naik sampai ke sini? Kemana lagi kalau bukan hendak mengunjungi Liong-sim-pang?"

   Pemuda pesolek itu bertanya heran. Siang In menggeleng kepala dan berkata,

   "Maaf, sesungguhnya bukan niat kami untuk mengunjungi Liong-sim-pang atau siapapun juga. Dari bawah bukit tadi kami mengira bahwa yang di atas itu adalah sebuah dusun atau kota, maka kami hendak mengunjunginya. Kemudian kami bertemu dengan orang-orangmu dan terjadi salah paham. Sekarang biarkan kami pergi dan kami akan menganggap Liong-sim-pang perkumpulan orang-orang gagah yang tidak suka mengganggu wanita."

   Pemuda itu menjura dengan hormat.

   "Maaf, Ji-wi Siocia. Mungkin orang-orangku telah berlaku lancang, akan tetapi sekali lagi aku mengundang kalian menjadi tamu kehormatan kami. Hari sudah hampir malam dan Ji-wi akan kemalaman di jalan. Maka sebaiknya bermalam ditempat kami ini."

   Akan tetapi, bujukan ini tidak dapat menundukkan hati dua orang gadis itu. Dari pandang mata pemuda itu saja mereka sudah dapat menduga bahwa pemuda seperti ini tidak boleh dipercaya.

   "In-moi, mari kita pergi saja,"

   Syanti Dewi berkata.

   "Pangcu, kami berterima kasih atas undangannmu, akan tetapi kami akan pergi saja. Selamat berpisah."

   Pada saat itu, terdengar suara ketawa yang melengking panjang dan terkejutlah Siang In karena dia mengenal suara ini. Syanti Dewi juga terkejut karena ada suara ketawa akan tetapi tidak ada orangnya. Dia menoleh ke arah Siang In dan mengikuti arah pandangan mata temannya itu. Tampak olehnya ada asap hitam yang bergumpal-gumpal dan bergulung-gulung datang dari atas, kemudian setelah tiba di situ, asap itu membuyar dan tampaklah seorang nenek tua India yang berpakaian serba hitam, sudah tua sekali, berdiri di situ. Syanti Dewi terkejut karena dia pun mengenal nenek ini yang dulu merupakan pembantu dan guru mendiang Tambolon, raja liar yang sakti itu.

   "Subo....!"

   Siang In juga cepat memberi hormat dengan menjura ke arah nenek itu. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek ini. Seorang nenek India ahli sihir yang berilmu tinggi, isteri dari See-thian Hoatsu, yaitu guru Siang In. Oleh karena itu, Siang In menyebut subo (ibu guru) kepada nenek itu.

   "Eh, eh, Subo, siapakah Nona ini dan mengapa menyebutmu Subo?"

   Hwa-i-kongcu bertanya dengan heran, kaget dan juga girang.

   "Ho-ho, dia itu adalah murid See-thian Hoatsu,"

   Kata Si Nenek sambil tertawa sehingga mulutnya yang tidak ada giginya sama sekali itu terbuka seperti gua gelap.

   "Aih, kiranya masih Sumoiku sendiri!"

   Tang Hun berseru girang.

   "Heh, bocah, siapa namamu? Aku sudah lupa lagi!"

   Nenek itu dengan kata-katanya yang logatnya kaku bertanya.

   "Teecu (Murid) Teng Siang In...."

   "Oya, Siang In! Mana tua bangka gurumu itu? Biar kuketuk kepalanya, hoho!"

   Durganini celingukan ke kanan kiri.

   "Suhu sedang bertapa di Gua Tengkorak di Po-hai, Subo...."

   "Hi-hik, dia, tentu akan mampus dan menambah jumlah tengkorak di sana."

   Tiba-tiba dia memandang ke arah Syanti Dewi yang sejak tadi menunduk dengan jantung berdebar.

   "Hei! Ini.... bukankah ini Puteri Bhutan itu?"

   Siang In terkejut, tidak menyangka bahwa nenek itu mengenal Syanti Dewi. Memang Durganini seorang yang aneh, kadang-kadang pikun sekali, akan tetapi kadang-kadang ingatannya tajam.

   "Benar, Subo...."

   "Wah, kebetulan. Tang Hun, Inilah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dialah yang paling tepat menjadi permaisurimu. Hayo bawa dia!"

   Tang Han juga terkejut dan girang.

   Memang sudah lama dia mencari wanita yang kiranya cocok untuk menjadi isterinya yang syah, yang dapat dibanggakannya. Ketika tadi dia bertemu dengan dua orang dara ini, seketika dia telah jatuh cinta kepada keduanya dan wanita-wanita seperti mereka inilah yang kiranya pantas menjadi isterinya. Siapa tahu, yang satu masih sumoinya sendiri dan yang lain adalah Puteri Bhutan yang terkenal itu karena pernah nama puteri itu disebut-sebut oleh seluruh dunia kang-ouw sebagai puteri asing yang pernah menggegerkan negara. Kiranya orangnya demikian cantik seperti bidadari dan kini gurunya sendiri menganjurkan agar dia memperisteri puteri itu! Tentu saja tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Tang Hun sudah maju dan mengulur tangan hendak menangkap lengan Puteri Syanti Dewi.

   "Tahan....!"

   Siang In berseru marah.

   "Ho-ho, Siang In, kau mau apa? Sudah sepantasnya kau datang membawakan calon isteri untuk Suhengmu! Bawa dia Tang Hun,"

   Kata Durganini. Tang Hun menyambar lengan Syanti Dewi. Puteri ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu saja. Dia mengelak dan tangannya menampar ke arah muka Tang Hun. Akan tetapi pemuda ini tertawa, membiarkan pipinya ditampar dan pada saat itu juga, dia telah menotok Syanti Dewi yang menjadi lemas dan memondong tubuh yang padat menggairahkan itu.

   "Keparat....!"

   Siang In menerjang maju akan tetapi tiba-tiba dia berhenti karena ada asap hitam menghadangnya seperti tirai. Dia tidak dapat maju, hanya melihat Syanti Dewi dipondong dan dibawa lari oleh pemuda itu naik ke puncak bukit. Sedangkan kini dari atas datang banyak sekali anak buah Liong-sim-pang menuju ke tempat itu.

   "Hi-hik, bocah tolol. Apakah engkau mau melawan aku?"

   Durganini tertawa mengejek. Hati Siang In mendongkol sekali. Sesungguhnya dia tidak takut menghadapi nenek ini karena dia maklum bahwa biarpun nenek ini memiliki sihir yang amat hebat, melebihi kepandaian gurunya sendiri, namun dalam hal ilmu silat dia dapat mengatasinya dan dia sudah mendapat petunjuk dari See-thian Hoat-su bagaimana untuk melindungi dirinya sendiri dari serangan ilmu sihir lawan yang lebih handal. Akan tetapi, anak buah Liong-sim-pang begitu banyak. Mana mungkin dia seorang diri akan dapat menang? Bahkan dia tentu akan tertawan sehingga celakalah mereka berdua kalau dia juga sampai tertawan. Tidak, dia harus tetap bebas agar dapat mencari akal untuk menolong Syanti Dewi.

   "Subo, kau terlalu!"

   Teriaknya.

   "Kau hanya berani mengganggu aku. Suhu berkata bahwa kalau Suhu bertemu Subo, kalau Subo berani datang ke Gua Tengkorak di pantai Po-hai Suhu akan me-ngunduli kepalamu!"

   Nenek itu menjerit, suaranya melengking seperti suara iblis dari neraka layaknya. Akan tetapi Siang In yang sudah menduga bahwa nenek itu akan marah, telah membalikkan tubuhnya dan menge-rahkan ginkangnya untuk lari secepatnya menuruni bukit. Nenek itu mengejar, akan tetapi, seperti telah diduga oleh Siang In, nenek yang sudah amat tua itu tidak mampu menyusulnya dan dari belakang juga tidak mampu menggunakan sihirnya. Dia sudah tahu dari gurunya bahwa nenek Durganini mempunyai pantangan besar, yaitu tidak mau diganggu rambutnya yang dibanggakannya, rambut yang panjang dan sampai dia tua renta pun rambutnya tetap hitam.

   Maka sengaja Siang In tadi mengatakan bahwa gurunya hendak menggunduli kepalanya, maka tentu saja nenek itu menjadi marah karena merasa dihina dan dengan gemas dia mengejar Siang In. Karena dia tidak mampu menyusul dara yang larinya cepat sekali itu, sehingga napasnya sampai hampir putus tetap saja tidak mampu menyusul, nenek yang marah sekali ini melanjutkan perjalanannya menuju ke pantai Po-hai untuk mencari bekas suaminya, See-thian Hoat-su yang katanya hendak menggunduli kepalanya. Dia hendak membalas penghinaan itu kepada si kakek yang katanya bertapa di Gua Tengkorak. Dan memang inilah maksud Siang In membohongi nenek itu agar si nenek sakti itu meninggalkan benteng Liong-sim-pang!

   Malam itu, Siang In duduk dengan bingung dan termenung di bawah bukit, dalam sebuah hutan. Hatinya gelisah sekali dan kadang-kadang dia mengepal tinjunya. Dia bersumpah bahwa kalau sampai pemuda pesolek murid Durganini itu mengganggu Syanti Dewi, memperkosa puteri itu, dia akan menyiksa dan membunuhnya! Akan tetapi, hatinya agak lapang, ketika dia menyelidiki pada keesokan harinya menangkap seorang penjaga di dekat tembok benteng dan memaksanya mengaku, dia mendengar bahwa Hwa-i-kongcu tidak mengganggu Sang Puteri, hanya mengumumkan bahwa dua minggu lagi Hwa-i-kongcu, akan merayakan pernikahannya dengan Syanti Dewi dan mengundang semua kenalan dan tokoh-tokoh kang-ouw sambil menanti kembalinya Nenek Durganini yang semalam telah pergi entah ke mana.

   Mendengar ini, Siang In lalu mencari akal untuk dapat menolong puteri itu dari cengkeraman pemuda pesolek itu. Dia tidak berani sembrono memasuki benteng untuk menolong sendiri, karena selain pemuda pesolek itu juga pandai ilmu sihir sehingga mungkin sihirnya tidak banyak menolong, juga dia mendengar bahwa di dalam benteng itu Hwai-kongcu mempunyai pembantu-pembantu banyak orang pandai dan anak buah Liong-sim-pang juga tidak kurang dai lima puluh orang banyaknya. Dia harus mencari akal dan agaknya, menurut perhitungannya, sebelum hari pernikahan tiba, Syanti Dewi akan aman. Pemuda pesolek itu tentu tidak akan mau merusak keadaan dan suasana pengantin baru, tentu tidak akan memperkosa gadis yang dicalonkannya menjadi isterinya yang syah!

   Sekarang kita tinggalkan dulu Teng Sian In yang sedang mencari akal untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi dan marilah kita kembali mengikuti pengalaman Suma Kian Lee yang telah kita tinggalkan, karena dua peristiwa itu sejalan dan agar jangan sampai salah satu di antaranya tertinggal jauh. Seperti telah diceritakan di bagian depan, terjadi keributan di taman istana Gubernur Ho-nan, di mana Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan, menyambut datangnya utusan kaisar yang bukan lain adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang masih muda belia itu. Ter-jadilah keributan di dalam taman ketika terjadi penghinaan dari mereka yang bersikap anti kaisar kepada utusan sehingga mengakibatkan pertempuran antara para pengawal utusan dan fihak yang anti kaisar.

   Pertempuran yang hebat terjadi antara jagoan-jagoan Ho-nan yang diam-diam menen-tang kaisar dan para pengawal utusan. Jagoan-jagoan Ho-nan dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo li yang cantik genit, sedangkan para pengawal istana itu dibantu oleh jagoan-jagoan Gubernur Ho-pei yang bertugas sebagai pengiring utusan kaisar ke Ho-nan. Seperti telah kita ketahui, diam-diam Suma Kian Lee hadir di dalam pesta itu dan menyaksikan pertempuran-pertempuran tanpa campur tangan. Akan tetapi ketika dia melihat Pangeran Yung Hwa, utusan kaisar itu melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia di celah-celah tebing, ketika dia hendak ditangkap tempo hari. Tentu saja Suma Kian Lee tidak dapat tinggal diam 1agi.

   Betapapun juga, ayahnya adalah mantu kaisar dan dia terhitung adalah cucu kaisar. Biarpun sudah amat jauh karena yang berdarah keluarga kaisar adalah ibu tirinya, ibu Kian Bu, akan tetapi Pangeran Yung Hwa itu masih sedarah dengan Nirahai, ibu tirinya, dengan demikian masih ada hubungan darah pula dengan Suma Kian Bu, adik tirinya! Oleh karena itu harus ditolongnya, apalagi pada saat itu Pangeran Yung Hwa merupakan seorang utusan kaisar yang sebetulnya tidak boleh diganggu oleh siapapun karena mengganggu utusan sama dengan mengganggu yang mengutusnya. Pada saat itu, Pangeran Yung Hwa hampir terpegang oleh perwira tinggi besar bernama Su Kiat itu yang telah mengulur tangan kanannya yang panjang untuk menangkap pundak Sang Pangeran sambil berseru,

   "Pangeran, perlahan dulu....!"

   "Plakkk!"

   Kian Lee menampar dari belakang menampar perlahan pundak Su Kiat, akan tetapi cukup hebat akibatnya karena tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan pingsan seketika!

   "Keparat, kiranya engkau pun mata-mata dari Ho-pei!"

   Terdengar bentakan keras dan tiba-tiba ada angin menyambar dahsyat dari belakangnya. Kian Lee cepat mengelak dan ternyata yang menyerangnya itu adalah kakek berambut merah tadi, yang menyerangnya dengan guci araknya. Hebatnya, bukan hanya guci arak itu yang menyambar ke arah kepalanya, akan tetapi juga dari mulut guci itu muncrat arak wangi yang seolah-olah hidup, yang menyambar ke arah matanya! Akan tetapi, serangan dari kakek bernama Wan Lok It dan berjuluk Ho-nan Ciu-lo-mo ini dengan cepat dapat dihindarkan oleh Kian Lee.

   "Singgg....!"

   Sinar hijau menyambar dari arah kirinya. Sekali ini Kian Lee terkejut karena pedang yang bersinar hijau itu benar-benar amat berbahaya sangat cepat dan mendatangkan angin dingin. Dia membuang diri dan menggerakkan kaki untuk menendang agar si pemegang pedang tidak dapat melanjutkan serangan. Pemegang pedang itu dengan gesitnya dapat pula mengelak dan ketika Kian Lee memandang, ternyata penyerangnya itu adalah wanita cantik yang agaknya menjadi pembesar para panglima di Ho-nan, yaitu Mauw Siauw Mo-li.

   Kian Lee masih diserang oleh beberapa orang lain yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun dia masih dapat mengelak dan balas memukul tanpa menggunakan pukulan maut karena memang dia tidak ingin bermusuhan dengan para jagoan ini dan kalau tadi dia turun tangan hanyalah karena dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dan dikejar oleh Perwira Su Kiat. Sambil menghadapi pengeroyoknya yang lihai dan jumlahnya ada enam orang itu, Kian Lee memperhatikan keadaan di situ dan melihat bahwa Pangeran Yung Hwa telah digandeng oleh Gubernur Kui Cu Kam dari Ho-nan, dan gubernur ini bersikap seolah-olah hendak menghentikan pertempuran dan hendak melerai, kemudian menarik Pangeran Yung Hwa untuk menyelamatkan diri.

   Juga dia melihat Gubernur Hok Thian Ki, yaitu Gubernur Ho-pei yang sudah tua itu berlari-lari dan dikejar oleh beberapa orang jagoan Ho-nan pula. Kian Lee menjadi bingung akan tetapi karena dia sendiri pun dikepung dan dikeroyok, maka dia harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu. Pemuda perkasa itu memang tadi salah menduga. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena pangeran ini hendak menyingkir dari keributan dan pertempuran itu. Dan Perwira Su Kiat mengejarnya bukan untuk mencelakai pangeran itu. Gubernur Ho-nan belumlah begitu nekat untuk mencelakakan utusan kaisar, bahkan gubernur itu hendak melindungi Pangeran Yung Hwa agar jangan sampai ikut celaka dalam penyergapan yang ditujukan untuk menawan Gubernur Ho-pei itu.

   Dia ingin menawan Gubernur Hok Thian Ki dan mempergunakannya sebagai sandera untuk dapat menguasai sebagian daerah Ho-nan di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei. Gubernur Hok Thian Ki yang melihat bahaya cepat berusaha menyelamatkan diri, lari dan dilindungi oleh Tok-gan Sinciang Liong Bouw, yaitu si mata satu tinggi besar yang merupakan pengawal pribadinya, juga dibantu dua orang pengawal lain. Belasan orang pengawal Ho-nan mengejarnya dan ditahan oleh Tok-gan Sin-ciang, bersama dua orang kawannya, sedangkan Gubernur Hok yang tua itu terus melarikan diri, menyelinap di sebuah lorong gelap dan melihat betapa para pengawalnya terus mundur sambil menahan serbuan para pengeroyoknya. Gubernur Hok cepat menyelinap me-masuki sebuah kamar dan cepat-cepat menutupkan pintu kamar itu.

   "Taijin, cepat ke sini...."

   Suara halus ini mengejutkan-nya. Gubernur itu tadi tidak memperhatikan dan mengira kamar itu kosong. Akan tetapi ternyata kamar itu kamar tamu yang tinggali oleh Kian Lee, dan wanita muda yang menegurnya itu bukan lain adalah Phang Ciu Lan, yaitu pelayan cantik yang melayani Kian Lee! Gubernur Hok membalikkan tubuh dan siap untuk melawan, akan tetapi ketika melihat bahwa yang menegurnya hanya seorang pelayan muda yang cantik, hatinya menjadi lega.

   "Sssttttt.... harap kau diam dan menolongku.... aku hanya bersembunyi.... mereka mengejar untuk membunuhku,"

   Katanya, terengah-engah karena tadi dia berlari-lari dengan hati tegang. Di luar kamar terdengar suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan orang bertempur, akan tetapi masih agak jauh.

   "Saya mengerti, Taijin. Biarpun saya hanya pelayan di sini, akan tetapi saya memperhatikan semua dan mengenal Taijin. Bukankah Taijin adalah Hok-taijin, gubernur dari Ho-pei?"

   "Benar, anak baik. Biarkan aku bersembunyi di sini sampai aman"

   "Justeru kalau bersembunyi di sini tidak akan aman, Taijin. Sebaiknya Taijin cepat dapat pergi dari tempat ini, pergi dari Ho-nan dan kembali ke utara."

   "Tapi.... tapi bagaimana?"

   "Saya akan membantu Taijin. Taijin hrus menyamar, marilah, Taijin"

   Dengan tabah sekali wanita muda itu lalu membantu Gubernur Ho-pei itu melakukan penyamaran. Dicukurnya kumis gubernur tua itu dan jenggotnya yang panjang dipotong pendek, rambut kepala diawut-awut dan topi kebesarannya dlilepas, lalu rambutnya digelung biasa secara sederhana dan diikat dengan kain kepala yang kotor. Kemudian Cui Lai, menyerahkan seperangkat pakaian tukang kebun dan menyuruh gubernur itu berganti pakaian sebagai tukang kebun.

   "Bagaimana dengan Pangeran....?"

   Gubernur yang setia itu mengeluh dan merasa khawatir sekali.

   "Jangan khawatir, Taijin. Saya yakin Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tidak apa-apa"

   "Eh, engkau seorang pelayan, bagaimana tahu ?"

   "Saya memperhatikan, Taijin, dan saya mendengarkan percakapan mereka, antara gubernur dan Ouw-teetok dan para pengawal. Pangeran tidak akan diganggu, akan tetapi memang Paduka yang akan ditawan "

   "Celaka....!"

   "Jangan khawatir, kini tidak akan ada yang mengenal Paduka. Mari, saya antar ke luar"

   Cui Lan menggandeng tangan pembesar tua itu.

   "Nanti dulu....!"

   Pembesar itu berhenti, lalu membalik kepada Cui Lan dan dirangkulnya dara itu penuh keharuan.

   "Nona.... kau seorang pelayan akan.... tetapi.... ah, berhasil atau tidak usahamu ini percayalah bahwa aku Hok Thian Ki tidak akan melupakan pertolonganmu ini!"

   Cui Lan menjadi terharu.

   "Sudahlah, Taijin, saya berani melakukan ini karena saya memperoleh suatu keyakinan dari seorang yang saya puja bahwa hidup haruslah diisi dengan perbuatan yang berguna, yaitu antaranya menolong orang yang berada di fihak benar. Marilah!"

   Dia menggandeng tangan pembesar itu, ditariknya keluar, kemudian mereka menyelinap di antara rumah-rumah, pohon--pohon dan di antara orang-orang yang masih ribut bertempur tanpa ada yang mempedulikan mereka. Siapa yang akan mempedulikan seorang pelayan dan seorang tukang kebun di saat geger seperti itu?

   "Kita harus melalui taman...."

   "Tempat pertempuran itu?"

   Gubernur Hok terkejut.

   "Benar, akan tetapi hanya di sana terdapat pintu belakang untuk lolos. Pula, sebagai tukang kebun berada di taman, Paduka tidak akan menarik perhatian dan kecurigaan. Marilah, Taijin...."

   Mereka berjalan terus memasuki taman di mana benar saja masih terjadi pertempuran hebat antara para pengawal utusan kaisar, para jagoan Ho-pei dan para perajurit pengawal Ho-nan yang amat banyak.

   Juga nampak Kian Lee masih dikurung oleh Mauw Siauw Mo-li, Bun Hok Ti pengawal Ouw-teetok yang mata keranjang itu, Ho-nan Ciulo-mo jagoan dari Ho-nan dan banyak lagi tokoh-tokoh pengawal yang berkepandaian tinggi karena mereka melihat betapa lihainya pemuda tampan yang tadinya menjadi tamu mereka akan tetapi ternyata kini membantu fihak Ho-pei itu. Kian Lee memang sengaja mengamuk untuk menarik tenaga-tenaga yang terkuat dari Ho-nan agar. mengeroyoknya sehingga dengan demikian, fihak Ho-pei akan dapat meloloskan diri. Kalau dia mau, tentu saja dengan ilmunya yang tinggi, dia bisa mengirim pukulan-pukulan maut dan menewaskan banyak orang namun pemuda ini tidak bermaksud membunuh, hanya merobohkan saja beberapa orang tanpa membunuhnya.

   Akan tetapi menghadapi orang-orang seperti Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo, tentu saja tidak akan mudah merobohkan mereka tanpa membunuhnya. Sambil menghadapi pengeroyokan itu, menggunakan kaki tangan untuk menang-kisi senjata-senjata yang menyambar, juga mengelak ke sana-sini, pandang mata Kian Lee masih terus mencari-cari. Bagaima-na dengan Pangeran Yung Hwa? Bagaimana dengan Gubernur Hop-ei? Demikian pikirnya dengan hati khawatir juga. Tiba-tiba dia mengenal wajah Cui Lan. Terkejut dia. Apa yang dilakukan oleh gadis pelayan cantik itu di dalam taman, tempat yang telah menjadi medan pertempuran itu? Dan siapa yang jalan tergesa-gesa bersama pelayan itu?. Pada saat itu, Cui Lan juga menengok dan memandang ke arah pemuda yang dilayaninya tadi, pemuda yang amat baik dan sopan.

   "Aiiiiihhh....!"

   Cui Lan menjerit ketika melihat Si Rambut Merah, yaitu Honan Ciu-lo-mo, dengan dahsyat menggerakkan guci araknya menghantam dan mengenai dada Kian Lee yang agak terpecah perhatiannya memandang Cui Lan.

   "Desssss....!"

   Kian Lee terkejut, tubuhnya sudah terlindung sinkang yang otomatis, dan ia tidak mengalami luka parah, namun tetap saja dia terlempar ke belakang dan karena dia berdiri membelakangi kolam besar di taman itu, otomatis dia jatuh ke dalam kolam.

   "Byuuuuurrr....!"

   "Aiiiiihhhhh....!"

   Kembali Cui Lan menjerit dan banyak orang menoleh ke arah suara jeritan itu, akan tetapi karena yang menjerit itu hanya seorang pelayan yang berdiri bersama seorang tukang kebun, maka mereka tidak memperhatikan lagi, juga pada waktu itu si tukang kebun sudah memegang tangan Cui Lan dan diajaknya pergi dari situ dengan cepat, menyelinap ke dalam gelap. Tok-gan Sin-ciang dan dua orang temannya juga sudah mengamuk di dalam taman. Mereka tadi dapat memancing para pengeroyoknya untuk menjauhi tempat di mana Gubernur Ho-pei bersembunyi dan kini, Tok-gan Sin-ciang biarpun hanya bermata sebelah, namun dia mengenal "tukang kebun"

   Yang tadi berdiri di sana bersama pelayan itu.

   Dia berteriak girang dan terus, mengamuk, agar fihak musuh tidak memperoleh kesempatan memperhatikan tukang kebun itu! Sedangkan komandan pasukan pengawal yang gagah perkasa, yaitu komandan Pasukan Garuda yang melihat betapa pemuda perkasa yang membantu fihaknya itu terjengkang ke dalam air kolam, dia cepat meloncat dan terjun ke dalam air. Komandan ini adalah seorang yang pandai renang, maka dia khawatir akan keadaan pemuda yang membantu fihaknya itu, maka dia ingin menolong. Akan tetapi, sebetulnya Kian Lee tidak apa-apa dan bagi pemuda yang lahir dan dibesarkan di Pulau Es ini tentu saja bergerak di air bukan merupakan hal yang asing baginya. Melihat komandan yang perkasa itu berenang menghampirinya, Kian Lee berkata,

   "Tidak apa-apa, Ciangkun!"

   "Awas....!"

   Komandan itu berseru ketika melihat anak panah yang banyak sekali menyambar ke arah Kian Lee.

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi dengan tenang Kian Lee menggerakkan kedua tangannya dan anak-anak panah itu runtuh semua, membuat Sang Komandan menjadi kagum bukan main. Akan tetapi sekarang, anak-anak panah itu bukan hanya menyerang Kian Lee, melainkan juga menyerangnya! Terpaksa dia menyelam dan ternyata bahwa di tepi kolam telah berdiri pasukan panah yang siap untuk menyerang mereka berdua dengan anak panah mereka! Sibuk jugalah Kian Lee dan komandan itu. Biarpun Kian Lee amat lihai, namun berada di air tentu saja gerakannya tidak leluasa. Dia dapat menangkis atau menyelam, juga komandan yang cukup tangguh itu dapat pula menyelam untuk menghindarkan diri dari sambaran anak-anak panah, akan tetapi mereka berdua pun tidak bisa naik ke darat!

   "Kita harus mencari jalan ke luar!"

   Kian Lee berseru dan komandan itu mengangguk lalu menyelam lagi karena dia sudah dijadikan sasaran anak panah. Mereka mulai berenang menjauh ke tengah. Kolam itu cukup luas dan dalam dan ternyata di pinggir timur terdapat pintu air untuk membuang atau menguras air itu agaknya. Kalau airnya tidak sedalam ini, tidak setinggi tubuhnya, tentu dia akan dapat menggunakan dasar kolam untuk berpijak dan meloncat ke dalam, pikir Kian Lee. Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li di antara para pemanah itu. Tadi Kian Lee sudah merobohkan beberapa orang anggauta pasukan itu dengan menangkapi anak panah dan menyambitkannya ke arah mereka.

   "Hentikan anak-anak panah itu kalian orang-orang tolol. Lihat, aku akan membunuh mereka dengan ini! Dan wanita cantik itu melontarkan sebuah benda ke arah Kian Lee!

   "Celaka....!"

   Kian Lee berseru. Dia mengenal benda itu karena dia tahu bahwa Mauw Siauvv Mo-li, sumoi dari Hektiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka ini selain amat lihai ilmunya, juga mernpunyai senjata rahasia yang amat mengerikan, yaitu senjata peledak! Kalau sampai senjata itu meledak di kolam, dia dan komandan pasukan pengawal Kuku Garuda itu tentu akan celaka dan tewas!

   Pemuda ini memang memiliki dasar watak tenang sekali. Biarpun menghadapi ancaman bahaya yang amat besar ini, bahaya maut baginya, namun dia masih dapat bersikap tenang dan ketenangannya inilah yang menyelamatkannya, karena di dalam ketenangan itu terkandung ke-waspadaan dan kecerdasan yang luar biasa, yang bergerak lebif cepat dari apa pun juga di dunia ini. Dalam waktu beberapa detik itu saja, ketika benda itu melayang ke arahnya, Kian Lee telah dapat mempergunakan kecerdasannya dan membuat perhitungan yang amat tepat. Dia lalu mengulur tangan, maklum bahwa benda itu akan meledak setiap bertemu dengan benda keras, maka dia mengerahkan sinkang membuat telapak tangannya selunak kapas, kemudian begitu benda itu menempel di tangannya, dia cepat melontarkan benda itu ke arah pintu air di timur!

   "Blaaarrrrr....!"

   Sinar kilat menyilaukan mata memecahkan kegelapan dan api muncrat ketika benda peledak itu menghancurkan pintu air. Karena pintu air yang pecah dengan mendadak ini, air kolam membanjir ke arah pintu air itu,

   Dan arus yang terjadi karena sedotan air yang mengalir turun itu sedemikian kuatnya sehingga seorang yang perkasa seperti Suma Kian Lee sendiri pun sampai tersedot dan hanyut oleh arus yang amat kuat itu. Apalagi si komandan yang biarpun gagah namun masih jauh di bawah Kian Lee tingkatnya. Keduanya tak kuasa menahan diri, hanyut oleh arus air yang amat kuat, melewati pintu air dan terus disedot masuk ke saluran air di bawah tanah yang memang menjadi pembuangan air kolam itu dan semua air yang datang dari seluruh bagian istana. Suma Kian Lee menangkap tangan komandan yang mengeluh karena terbentur-bentur batu, lalu mereka berdua membiarkan diri mereka hanyut sambil meraba ke depan untuk melindungi diri dari benturan tiba-tiba. Sementara itu melihat betapa dua orang itu selamat, Mauw Siauw Mo-li dan Wan Lok It Si Setan Arak menjadi penasaran sekali.

   "Kita hadang mereka di sungai, di mana saluran itu memuntahkan airnya dan kita bunuh mereka di sana kalau mereka belum mampus!"

   Teriak Wan Lok It dan bersama beberapa orang pengawal dia lalu cepat berlari menuju ke tempat itu, yaitu ke sungai yang mengalir di pinggir dan luar kota. Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda itu terus hanyut dan setelah agak jauh ternyata arus air tidak lagi begitu kencang, dan karena saluran itu melebar, maka air pun menjadi dangkal. Hanya setinggi pinggang. Maka mereka lalu berjalan kaki dengan hati-hati di tempat gelap itu, mengikuti aliran air. Gelap pekat di terowongan saluran air ini, sampai tangan sendiri pun tidak dapat mereka lihat.

   "Eh, apakah di depan itu?"

   Tiba-tiba komandan pasukan Kuku Garuda itu berseru. Kian Lee juga sudah melihat benda-benda yang berkelap-kelip mengeluarkan sinar kehijauan itu. Begitu kecil dan banyak, bergerak-gerak, dan agaknya benda-benda itu tentulah kunang-kunang. Akan tetapi bagaimana terdapat kunang-kunang, di dalam terowongan, di atas air? Biasanya binatang-binatang kecil ini hanya terdapat di kebun-kebun dan ladang-ladang di mana terdapat padi atau gandum. Mereka merasa heran sekali, dan mereka lalu berjalan mendekati makin lama makin dekat dan betapapun mereka membelalakkan mata, tetap saja mereka tidak dapat melihat benda atau binatang apakah yang berkerlapan seperti kunang-kunang itu.

   "Eh, baunya....!"

   Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali. Teringatlah dia akan ular-ular merah di Pulau Es, yang juga mengeluarkan bau seperti ini, wangi-wangi amis, tanda ular beracun atau sejenis binatang lain yang beracun.

   "Awas....!"

   Akan tetapi terlambat karena komandan itu yang ingin tahu binatang apa yang mengeluarkan sinar berkeredepan itu telah mengulur tangan untuk menangkap seekor, akan tetapi "kunang-kunang"

   Itu bergerak dan tahu-tahu tangannya telah digigit oleh seekor ular!

   "Aduhhhhh....!"

   Dia menangkap dengan tangan ke dua, dari rabaannya tahulah dia bahwa yang menggitnya adalah seekor ular, mnaka diremasnya ular itu sampai hancur.

   "Celaka, aku digigit ular....!"

   Dan memang yang mereka sangka kunang-kunang itu ternyata adalah mata ular-ular yang banyak sekali terdapat di dekat mulut terowongan saluran air itu! Kini ular-ular itu bergerak cepat dan mengeroyok mereka!

   "Kerahkan singkang melindungi tubuh!"

   Kian Lee berseru dan mulailah dia menggunakan kedua tangannya untuk memukul-mukul ke depan sehingga ular-ular yang berdekatan dengan mereka mati semua dan bangkai mereka hanyu oleh air. Kian Lee lalu memasukkan kedua tangannya ke air untuk memungut batu-batu kecil dari dasar terowongan itu, dan dengan batu-batu ini dia menyambiti ular-ular itu yang mudah saja dia ketahui dari mata mereka yang bersinar-sinar. Bagaikan lampu-lampu kecil, setiap terkena sambitan batu, lampu itu padam, tanda bahwa sambitan itu tepat mengenai kepala ular dan membuatnya tewas seketika. Akan tetapi komandan itu tidak dapat membantunya karena lengan kirinya sudah terasa lumpuh dan kaku, tanda bahwa dia telah terkena racun gigitan ular tadi yang mulai memperlihatkan pengaruhnya.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 49 Kisah Sepasang Rajawali Eps 36 Kisah Sepasang Rajawali Eps 55

Cari Blog Ini