Jodoh Rajawali 43
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 43
"Kami tidak akan menyerah kepada siapapun juga!"
Tiba-tiba Kang Swi Hwa berkata dengan nada suara keras dan dia sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Tidak seperti gurunya, dara ini belum pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok, maka dia pun tidak merasa gentar sama sekali sungguhpun dia tahu bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang lihai dan lawanlawan tangguh.
"Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong dan muridnya memang amat hebat!"
Kembali hwesio cebol itu tertawa dan memuji.
"Siapa dapat mengira bahwa kalian berdua dapat menyamar sebagai dua orang iblis Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi! Ha-ha-ha! Melihat Hek-sin Touw-ong menyamar sebagai seorang di antara mereka masih tidak mengherankan, akan tetapi bagaimana engkau bisa menyamar sebagai seorang iblis seperti mereka itu, Nona? Mengagumkan, sukar untuk dapat dipercaya! Eh, Nona Cilik, aku berani bertaruh bahwa engkau tidak akan mampu menyamar sebagai aku atau sebagai Ngo-te ini!"
Di dalam hatinya, Kang Swi Hwa mengejek. Kalau ada alat-alatnya, tentu saja dia akan mampu menyamar sebagai mereka, sungguhpun untuk menyamar sebagai Su-ok dia harus menekuk lututnya dan untuk menyamar sebagai Ngo-ok dia harus menggunakan jangkungan, yaitu dua potong kayu untuk menyambung kakinya agar dia dapat menjadi jangkung seperti tosu itu. Akan tetapi dia tidak mau melayani kelakar ini dan hanya memandang dengan sinar mata marah.
"Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong, kepandaian kalian amat hebat dan mengagumkan hati Pangeran Nepal. Oleh karena itu, beliau mengutus kami berdua untuk mengundang kalian sebagai tamu terhormat ke dalam benteng, mungkin akan memberi hadiah atas permainan sandiwara kalian yang amat berhasil itu. Marilah, Touw-ong, mari kami iringkan ke benteng di lembah sana."
Sikap hwesio cebol itu masih manis sekali, terlalu manis malah. Akan tetapi Hek-sin Touw-ong kini sudah maklum bahwa keramahan hwesio cebol ini adalah wataknya dan cirinya yang khas, sama sekali bukan keramahan yang timbul dari hati yang beriktikad baik. Maka dia pun tidak mau melayani, melainkan memandang dengan tajam.
"Ji-wi tidak perlu pura-pura. Memang sesungguhnya kami berdua yang semalam mengunjungi benteng. Kami telah gagal, nah, sekarang Ji-wi datang menyusul kami dan betapapun juga kami tidak akan mau kembali ke sana, baik itu merupakan undangan maupun paksaan."
Ucapan ini halus akan tetapi juga merupakan tantangan.
"Su-ko, kenapa cerewet? Tangkap mereka!"
Bentak Ngo-ok Toat-beng Sian-su sambil menubruk ke arah Swi Hwa.
"Ngo-te, awas, jangan lukai dia, kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Jangan sampai membuat Sam-ko dan pangeran menjadi marah!"
Si cebol berseru, kemudian secepat kilat dia pun sudah menerjang kepada Hek-sin Touw-ong!
Swi Hwa menggerakkan pedangnya, memutar pedang itu untuk membabat kedua tangan panjang yang mengancamnya dari kanan kiri itu. Sinar pedangnya bergulung-gulung dan membentuk lingkaran yang berhawa tajam sekali karena dara ini memainkan pedang dengan pengerahan Ilmu Kiam-to Sin-siang yang dipelajarinya dari gurunya. Biarpun dia lihai bukan main, Ngo-ok tidak mau sembarangan mempertaruhkan kedua lengannya, atau sedikitnya tentu lengan bajunya akan hancur kalau terkena sambaran sinar pedang itu, maka dia menggunakan kegesitannya untuk menarik kembali tangan yang hendak terbacok, kemudian membalas dengan kedua tangan itu meluncur dari sana-sini seperti dua ekor ular terbang yang berusaha menangkap atau menotok dara itu.
Bulu tengkuk dara itu meremang saking ngerinya ketika beberapa kali tangan telanjang si jangkung itu menyampok pedangnya dan terdengar bunyi berdencing nyaring ketika pedangnya bertemu dengan jari tangan itu, seolah-olah tangan itu terbuat daripada baja yang amat kuat! Sementara itu, Hek-sin Touw-ong sudah bertanding dengan hebat melawan Su-ok Siauw-siang-cu. Hek-sin Touw-ong yang maklum bahwa dia menghadapi lawan pandai dan bahwa dia dan muridnya terancam bahaya maut, telah mengeluarkan ilmunya yang amat hebat, yaitu Kiam-to Sin-ciang dan mengerahkan ginkangnya untuk berkelebatan dengan cepatnya. Dia harus dapat merobohkan lawannya yang gemuk pendek ini sebelum dia dapat membantu muridnya.
Dia tahu bahwa muridnya bukanlah tandingan si jangkung itu, dan maklum bahwa kalau dia dan muridnya sampai tertangkap dan dibawa kembali ke lembah, tentu mereka berdua akan celaka dan menerima hukuman berat atas perbuatan mereka semalam yang mengacau dan membakar benteng di lembah Huang-ho itu. Bunyi angin bersuitan dan mendesis-desis ketika kedua tangan Raja Maling ini bergerak melancarkan serangan Kiam-to Sin-ciang. Demikian hebatnya ilmu itu sehingga orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok sendiri tidak berani secara lancang menerima pukulan itu dengan tu-
(Lanjut ke Jilid 42)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 42
buhnya. Su-ok bergulingan menghindarkan diri, kemudian dia meloncat dan tubuhnya yang pendek itu menjadi makin pendek ketika dia berjongkok dan perutnya yang gendut itu makin menggembung terisi penuh hawa mujijat! Kemudian, dari tenggorokan dan perutnya berbunyi suara
"kok-kok-kok!"
Dan itulah ilmunya yang amat luar biasa, ilmu pukulan Katak Buduk! Ketika Hek-sin Touw-ong kembali menggerakkan kedua tangan dan dari kedua telapak tangannya itu me-nyambar hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mengandung angin tajam sekali, Su-ok lalu mendorong dengan kedua tangannya yang pendek ke depan. Angin pukulan dahsyat menyambar dari kedua tangannya dan begitu angin pukulan ini bertemu dengan hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang, tubuh Hek-sin Touw-ong terjengkang dan dia tentu sudah roboh terbanting kalau saja dia tidak cepat meloncat ke kiri dan terhindar dari dorongan hawa dahsyat yang mendorong pukulannya tadi membalik itu!
Bukan main kagetnya hati Si Raja Maling! Dan kini kakek pendek itu tertawa-tawa, kemudian bergulingan dan mengejarnya seperti seekor binatang trenggiling dan melakukan serangan dari atas tanah secara tidak terduga-duga! Dan setiap kali Touwong menggunakan Kiam-to Sin-ciang, selalu kakek pendek itu menggunakan pukulan sakti Katak Buduk membuat Kiamto Sin-ciang kehilangan kehebatannya dan selalu terdorong kembali! Perkelahian antara Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dan kakek tosu jangkung Ngo-ok tidak berlangsung terlalu lama. Agaknya Ngo-ok juga merasa jengkel menyaksikan kenekatan dara itu, maka dia lalu mengerahkan tenaganya dan begitu pedang di tangan nona itu menusuknya, dia menggunakan jari-jari tangannya menangkis dan terus mencengkeram dan pedang itu sudah kena dicengkeramnya!
"Krek-krekkk!"
Pedang itu dicengkeram patah-patah dan dilemparkan ke samping, kemudian sebelum Swi Hwa sempat mengelak, tengkuknya sudah dicengkeram dan tubuhnya diangkat ke atas!
Swi Hwa hampir pingsan ketika merasa betapa jari-jari tangan yang panjang dan besar sudah mencengkeram baju di dadanya dan hendak mencabik dan merenggutnya. Tak terasa lagi dia menjerit. Jeritan itu menolongnya karena Su-ok sudah menggelinding dekat dan menendang lutut Ngo-ok. Hampir saja Ngo-ok tertendang roboh kalau dia tidak cepat meloncat tinggi sekali sambil mem-bawa tubuh Swi Hwa yang seperti hampir pingsan rasanya dibawa melambung tinggi itu.
"Ngo-te, kuperingatkan kau, jangan ganggu dia!"
Bentak Su-ok.
"Eh, kau mengiri? Apa pedulimu?"
Bantah Ngo-ok.
"Tolol kau, Ngo-te. Kalau kau mengganggunya dan Sam-ko marah, juga Pangeran, tentu Twa-ko dan Ji-ci juga marah dan kalau mereka semua marah, apa kau kira hanya engkau saja yang akan dihajar? Aku pun ikut bertanggung jawab, mengerti? Jangan ganggu dia sebelum kita menyerahkan kedua orang guru dan murid ini kepada Pangeran. Kalau kau nekat, aku akan menggempurmu sendiri!"
"Huh, menyebalkan!"
Ngo-ok berseru marah dan kecewa, jari tangannya menotok dan seketika tubuh Swi Hwa menjadi lumpuh dan ketika dia dilemparkan ke atas tanah, dara itu tak dapat bergerak lagi. Hek-sin Touw-ong tadi sudah merasa khawatir menyaksikan betapa muridnya tertawan, akan tetapi legalah hatinya ketika dia melihat Su-ok menyelamatkannya dari ancaman malapetaka yang amat mengerikan. Melihat muridnya sudah ter-bebas dari malapetaka, Raja Maling itu lalu menyerang lagi, kini tidak menyerang kepada Su-ok, melainkan kepada Ngo-ok saking marahnya melihat betapa si jangkung itu tadi hampir saja meng hina muridnya.
"Cusss-cusssss.... wuuut-wuuuttt.... brettt....!"
Ujung baju Ngo-ok terobek oleh hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang dan tubuh si jangkung sampai terhuyung ke belakang. Hal ini adalah karena dia sama sekali tidak menyangka akan kehebatan serangan dari Si Raja Maling itu,
Maka dia tadi terdesak dan lupa untuk mengelak, melainkan menangkis sehingga biarpun dia tidak terluka, namun bajunya robek dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Si jangkung mengeluarkan suara aneh dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas lalu secara aneh sekali tubuh yang membalik ini sudah menyerang kalang-kabut kepada Hek-sin Touw-ong! Raja Maling ini sudah banyak menghadapi lawan lihai dan aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia diserang orang yang berjungkir balik seperti ini. Dia agak bingung karena kedua tangan yang panjang itu menyerangnya dari bawah dan begitu dia menggunakan kedua tangan untuk menangkis, tiba-tiba dari angkasa meluncur turun dua batang kaki yang menyerangnya secara hebat, mengancam ubun-ubun kepala dan tengkuknya!
"Jangan bunuh dia, Ngo-ok, manusia bandel!"
Bentak Su-ok dan bentakan ini menyelamatkan nyawa Hek-sin Touw-ong karena Ngo-ok teringat bahwa dia sama sekali tidak boleh membunuh kalau dia ingin selamat kembali ke benteng, maka kakinya yang menotok ke arah ubun-ubun itu mengubah gerakan menotok ke leher dan ketika Hek-sin Touw-ong mengangkat tangan menangkis, kaki kirinya sudah menotok tengkuk.
"Dukkk! Tubuh Hek-sin Touw-ong roboh dalam keadaan pingsan oleh totokan ujung kaki yang amat tepat dan amat kuat itu.
"Bagus! Engkau telah maju pesat, Ngo-te. Engkau telah dapat merobohkan guru dan murid itu tanpa membunuh mereka. Hebat, aku kagum sekali!"
Kata Su-ok sambil tertawa. Tosu jangkung itu memandang kepada Su-ok, lalu menyeringai dan meludah ke samping kiri.
"Cuhhh!"
Dan dia hanya memandang kepada tubuh Swi Hwa yang terlentang di atas tanah dengan sinar mata penuh gairah dan kekecewaan karena kembali dia terhalang untuk melampiaskan gelora nafsunya, terutama sekali untuk memenuhi koleksi kuku-kuku ibu jari wanita yang sudah berjumlah empat ratus kurang satu itu!
"Mari kita cepat kembali, Ngo-te. Jangan sampai masakan-masakan untuk kita itu menjadi dingin. Nah, kau panggul si tua itu, biar aku yang membawa nona ini!"
Kata Su-ok yang tahu bahwa dia tidak boleh mempercayakan tubuh wanita muda itu kepada Ngo-ok, maka cepat dia menyambar tubuh Swi Hwa dan mengempitnya sambil berkelebat cepat pergi dari tempat itu.
Ngo-ok meludah kembali dengan hati mengkal, kemudian menggunakan ujung kakinya untuk mencokel tubuh Hek-sin Touw-ong ke atas, menyambarnya dengan tangan kiri, memanggulnya dan dia pun berlari cepat menyusul Su-ok menuju ke benteng di lembah Huang-ho. Pangeran Liong Bian Cu merasa girang dan kagum bukan main ketika melihat Su-ok dan Ngo-ok telah kembali membawa Hek-sin Touw-ong dan Kang Swi Hwa. Akan tetapi tentu saja hati pangeran ini masih kecewa, marah dan juga berduka karena Hwee Li, dara yang dicintanya itu, dan Puteri Syanti Dewi, tawanan yang amat penting baginya, belum ditemukan kembali. Sejenak dia memandang kepada tubuh Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa yang dilemparkan ke atas lantai, lalu sang pangeran itu menarik napas panjang dan berkata,
"Aih, sayang sekali bahwa yang ditemukan hanya dua orang pengacau ini. Apa gunanya kecuali hanya menghukum mereka? Kami akan lebih gembira kalau yang dapat dibawa kembali adalah Hwee Li dan Puteri Bhutan....."
Ban Hwa Sengjin maklum bahwa diam-diam sang pangeran kecewa sekali atas hasil pengejaran Su-ok dan Ngo-ok. Dia pun maklum betapa pentingnya Syanti Dewi bagi Nepal, dan betapa pangeran itu amat mencinta Hwee Li. Maka dia lalu berkata,
"Harap Paduka tenangkan hati. Sudah saya katakan tadi bahwa menghadapi orang pandai harus pula mempergunakan kesaktian dan setelah kini saudara-saudaraku berada di sini, kita tidak perlu khawatir. Kiranya bukan merupakan tugas yang terlalu berat untuk menemukan dan membawa kembali dua orang dara itu, Pangeran. Twa-ko dan Ji-ci, sekarang aku mengharap bantuan kalian untuk mencari dua orang dara itu. Yang seorang bernama Hwee Li, seorang dara berusia delapan belas tahun, berpakaian serba hitam, suka bermain dengan ular-ular beracun, anak angkat dari Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka, wajahnya cantik jelita dan wataknya periang, jenaka dan agak.... agak liar. Dan dara yang ke dua adalah seorang Puteri Bhutan, usianya dua puluh satu tahun, cantik sekali, lemah lembut dan halus, bernama Syanti Dewi. Kalau tidak keliru, dua orang dara itu tentu bersama dengan seorang pemuda yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil, bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es."
"Ahhh....!"
Hampir berbareng kakek gorilla dan nenek tengkorak itu berseru kaget mendengar ucapan terakhir itu.
"Ya, benar, Twa-ko dan Ji-ci. Pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, maka kalian kini memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian. Harap kalian dapat mencari dan membawa kembali dua orang puteri itu ke sini dan untuk jasa itu, Pangeran Nepal pasti tidak akan melupakannya."
"Tentu saja!"
Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri dan menjura.
"Pertolongan Ji-wi Locianpwe amat berharga dan saya pasti tidak akan melupakan budi Ji-wi itu."
Kakek gorilla itu saling pandang dengan nenek bertopeng tengkorak, lalu terdengar kakek itu berkata dengan suaranya yang tenang dan lembut,
"Ji-moi, mari kita pergi!"
Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan orangnya sudah lenyap! Nenek muka tengkorak memandang kepada koksu dan berkata,
"Sam-te, tugas kami berat namun menegangkan dan menggembirakan. Mungkin saja kami gagal, akan tetapi kami percaya bahwa kau, Su-te dan Ngo-te tidak akan mem-biarkan kami penasaran."
"Jangan khawatir, Ji-ci!"
Kata Koksu Nepal dan percakapan sekali ini terjadi seperti dua orang saudara dan memang koksu itu bicara sebagai Sam-ok, bukan sebagai koksu. Akan tetapi jawabannya belum selesai ketika tubuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah lenyap pula dari tempat itu! Hek-sin Touw-ong yang tadinya pingsan, sudah sejak tadi siuman, akan tetapi kakek ini pura-pura masih pingsan, dan diam-diam dia memperhatikan keadaan di situ dan mendengarkan semua percakapan. Dia terkejut bukan main melihat betapa Im-kan Ngo-ok telah berkumpul semua di dalam benteng itu! Dan mendengarkan mereka bicara, tahulah kakek ini bahwa Koksu Nepal yang lihai itu bukan lain adalah Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok!
Tahulah dia bahwa dia dan muridnya tak mungkin dapat lolos dari tempat yang dihuni demikian banyaknya orang-orang pandai itu! Hanya dengan akal saja dia akan dapat menyelamatkan muridnya. Dia sendiri adalah seorang yang sudah tua, hidup bukan lagi merupakan suatu hal yang terlalu berharga baginya, dan kematian bukan merupakan suatu hal yang menakutkan. Akan tetapi Swi Hwa! Dia tidak boleh mati dalam usia semuda itu! Dan terbayanglah di depan mata kakek ini semua yang telah terjadi atas diri anak itu dan dia merasa berdosa sekali! Dia telah menculik anak itu, memisahkan anak itu dari semua keluarganya! Semua itu dilakukan hanya untuk melampiaskan dendam dan kemarahannya, dan setelah dipeliharanya, maka dia mencinta anak itu seperti anaknya sendiri. Dan sekarang, anak itu akan mati! Semua adalah gara-gara dia, dan anak itu tidak boleh mati karena menjadi muridnya!
"Ahhh....!"
Dia mengeluh dan pura-pura baru siuman dari pingsannya, bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri.
"Ahhh.... Ji-wi Lo-enghiong Su-ok dan Ngo-ok sungguh tak boleh dibuat permainan, dan sekarang aku yang dijadikan permainan! Mengapa orang segolongan sendiri menyusahkan kami guru dan murid?"
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong pura-pura kaget melihat sang pangeran dan Koksu Nepal.
"Celaka! Kenapa kami dibawa ke sini?"
Ban Hwa Sengjin memandang dengan muka keren.
"Hek-sin Touw-ong, apa yang telah kau lakukan bersama muridmu ketika menyamar sebagai Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, mengacau di dalam benteng?"
Bentaknya. Pada saat itu, Swi Hwa sudah bergerak pula dan dara ini meloncat berdiri, akan tetapi gurunya cepat menarik tangannya, diajak berlutut,
"Lekas berlutut, kita berada di depan Pangeran dan Koksu Nepal yang mulia!"
Swi Hwa heran menyaksikan sikap gurunya, akan tetapi ketika dia melihat bahwa dia telah berada di dalam benteng, terkurung oleh orang-orang pandai yang sekian banyaknya, dia tidak mem-bantah dan cepat dia berlutut sambil menundukkan mukanya.
"Koksu yang mulia, Locianpwe Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang sakti tentu sudah maklum mengapa orang-orang seperti kita melakukan suatu tindakan. Sesuai dengan kebijaksanaan golongan kita kaum hitam, tentu saja kami berdua guru dan murid juga melakukan hal itu demi kepentingan kami sendiri, yaitu menerima hadiah dan juga atas tekanan dari Pendekar Siluman Kecil. Tadinya kami kira bahwa benteng ini hanya menjadi tempat orang-orang yang dimusuhi oleh Pendekar Siluman Kecil yang minta bantuan kami, sama sekali kami tidak tahu bahwa banyak tokoh dan datuk dari golongan kita sendiri berkumpul di sini. Kami berdua tidak mati pun sudah sangat untung, hanya mengalami kegagalan saja. Harap Locianpwe memaklumi keadaan kami."
Dengan ucapan itu Hek-sin Touw-ong hendak menyatakan bahwa dia dan muridnya sama sekali tidak berniat memusuhi Im-kan Ngo-ok yang dianggap orang-orang dari satu golongan, yaitu golongan hitam atau kaum sesat, dan bahwa penyerbuannya semalam di dalam benteng adalah karena penekanan Siluman Kecil dan juga hadiah yang diberi-kannya, jadi dasarnya hanya "pekerjaan"
Saja, bukan permusuhan pribadi. Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kakek muka hitam ini sebagai raja maling, tentu saja merupakan tokoh hitam pula di dunia kang-ouw, maka dia pun tidak merasa benci. Hanya karena kedudukannya sebagai koksu dan karena guru dan murid ini telah mengacau benteng maka dia harus bertindak.
"Tak perlu banyak cakap. Kalian telah mengacaukan tempat ini, baik sebagai musuh atau bukan tidak ada bedanya. Sekarang katakan, di mana adanya Siluman Kecil dan Nona Hwee Li? Di mana pula adanya Puteri Syanti Dewi?"
Pertanyaan terakhir itu mengejutkan hati guru dan murid itu. Jelas bahwa mereka berempat gagal untuk melarikan Syanti Dewi, juga gagal untuk melarikan seorang pun dari keluarga Jenderal Kao, bagaimana sekarang Koksu Nepal ini menanyakan tentang Puteri Bhutan itu? Apakah puteri itu berhasil melarikan diri di waktu ribut-ribut semalam? Karena maklum bahwa mereka berdua tidak berdaya dan bahwa agaknya gurunya yang biasanya tidak banyak cakap itu kini hendak menggunakan "kepandaiannya"
Bicara, maka Swi Hwa diam saja dan menyerahkan semua jawaban kepada suhunya.
"Kami telah gagal melarikan Syanti Dewi seperti yang dikehendaki oleh Siluman Kecil,"
Jawab Touw-ong dengan tenang.
"Setelah kegagalan itu, maka kami berpencar, saya melarikan diri bersama murid saya, hal yang agak mudah karena kami berdua menyamar sebagai..."
Dia menoleh ke arah Hek-tiauw Lo-mo, dan Hek-hwa Lo-kwi,
".... kedua orang gagah itu, sedangkan Siluman Kecil melarikan diri bersama Nona Hwee Li. Setelah itu, kami berdua tidak lagi bertemu dengan mereka. Tentang Puteri Bhutan, sungguh kami tidak tahu karena telah gagal membawanya, bahkan kalau tidak salah, ketika itu sang puteri sudah dibawa masuk kembali oleh seorang Panglima Bhutan...."
Penuturan ini memang cocok dengan laporan para pengawal yang melakukan pengeroyokan, maka Ban Hwa Sengjin berpendapat bahwa tentu Siluman Kecil yang telah berhasil melarikan sang puteri. Hanya Siluman Kecil yang memiliki kepandaian tinggi sekali, bahkan dia sendiri karena kurang hati-hati, pernah roboh pingsan oleh Siluman Kecil itu. Sedangkan Touw-ong bersama muridnya ini tentu hanya memiliki kepandaian biasa saja, buktinya mudah tertawan oleh Su-ok dan Ngo-ok.
"Pangeran, saya kira Raja Maling ini tidak membohong dan memang mereka ini tidak tahu di mana adanya Sang Puteri dan juga Nona Hwee Li. Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?"
Pangeran itu mengerutkan alisnya.
"Dia telah mengacau benteng, melakukan pembakaran, dan bersama muridnya telah menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?"
Ucapan pangeran itu seperti bertanya kepada semua orang yang ada di ruangan itu. Hatinya memang mengkal sekali kalau mengingat bahwa perbuatan kedua orang ini telah menyebabkan hilangnya Syanti Dewi, sungguhpun Hwee Li memang sudah lolos sebelum mereka berdua ini datang mengacau dengan penyamaran mereka.
"Serahkan saja mereka kepada kami berdua!"
Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan marah.
"Bunuh saja mereka!"
Kata pula Hek-hwa Lo-kwi.
"Siksa mereka agar mengaku di mana adanya Sang Puteri Syanti Dewi!"
Kata Mohinta.
"Saya yakin bahwa dia yang menyerang saya dan melarikan sang pu-teri, tentu seorang kawan dari mereka ini!"
"Koksu, harap serahkan gadis ini kepadaku sebagai pengganti yang tempo hari!"
Tiba-tiba Ngo-ok berkata dan menoleh kepada Swi Hwa. Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong tertawa.
"Sungguh mengherankan. Di dalam rimba sekalipun, tidak ada harimau makan harimau dan srigala makan srigala! Kalau golongan hitam tidak saling membantu, mana mungkin menghadapi golongan putih yang kuat? Kami guru dan murid memang telah melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya karena kami tidak tahu bahwa di sini terdapat banyak orang-orang segolongan, dan kami tertipu dan tertekan oleh Siluman Kecil! Kalau kami dianggap sebagai golongan putih hendak dihukum, silakan. Siapa takut mati? Akan tetapi, sungguh menggelikan sekali kalau terdengar di dunia kang-ouw betapa ada kawan makan kawan sendiri! Pangeran, kami guru dan murid adalah orang-orang yang mencari rejeki menggunakan kemampuan kami. Kalau Paduka memaafkan kami dan memberi kami pekerjaan, kiranya kami dapat mempergunakan kepandaian kami untuk keuntungan Paduka!"
Pangeran Liong Bian Cu yang sedang marah itu memang tertarik oleh kepandaian guru dan murid ini. Masih belum dapat dia melenyapkan keheranannya betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang menghadapnya kemarin sore itu adalah penyamaran dari guru dan murid ini! Kini, mendengar omongan kakek bermuka hitam itu, dia berkata,
"Orang berdosa, apalagi yang hendak kau sampaikan kepada kami? Pekerjaan apa yang dapat kami berikan kepada kalian yang telah melakukan dosa besar itu?"
"Pangeran, harap jangan percaya kepada omongannya!"
Lo-mo berkata marah.
"Lo-mo, jangan ganggu pembicaraan Pangeran dengan pesakitan!"
Ban Hwa Sengin menegur dan Hek-tiauw Lo-mo melotot marah, akan tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi.
"Pangeran, saya masih heran mendengar akan lenyapnya sang puteri. Sedangkan saya bersama murid saya, juga pendekar Siluman Kecil yang demikian sakti bersama Nona Hwee Li, tidak mampu melarikan sang puteri, bagaimana dalam keadaan ribut-ribut kebakaran itu ada orang yang mampu melarikannya? Hal itu hanya berarti bahwa ada orang lain yang melarikan sang puteri, dan menurut pendapat saya, orang itu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kepandaian Siluman Kecil."
Semua orang tertegun dan bengong mendengar ini. Juga Ban Hwa Sengjin menjadi terkejut dan diam-diam dia memperhatikan karena dugaan yang diajukan oleh Raja Maling itu memang masuk di akal. Akan tetapi, siapakah orang yang lebih tinggi dari Siluman Kecil? Padahal Siluman Kecil itu sudah demikian lihainya!
"Jangan ngawur!"
Bentaknya.
"Siapakah orangnya yang dapat lebih lihai dari Siluman Kecil dan mengapa pula dia melarikan sang puteri?"
Hek-sin Touw-ong memang cerdik dan dia tidak kekurangan akal untuk mengemukakan dugaan-dugaan yang dapat diterima, semua itu dilakukannya untuk menyelamatkan muridnya dari ancaman hukuman mati.
"Ketika kami dimintai bantuan oleh Siluman Kecil, rencana kami adalah melarikan Puteri Bhutan dan juga keluarga Jenderal Kao Liang. Akan tetapi melihat keluarga jenderal itu demikian banyaknya, Siluman Kecil lalu hendak melarikan sang puteri saja. Akan tetapi hal itu pun gagal dilakukan karena kami ketahuan. Dalam keributan itu, ternyata sang puteri benar-benar lenyap. Hal ini tentu dilakukan oleh seorang yang amat lihai dan mengingat bahwa keluarga Jenderal Kao berada di sini sebagai tahanan, maka siapa lagi orang yang lebih lihai daripada Siluman Kecil itu selain putera sulung Jenderal Kao yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir?"
"Ahhh....! Benar juga dugaannya!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita berseru dan wanita yang bangkit dari tempat duduknya itu bukan lain adalah Cheng-yan-cu Kim Cui Yan! Liok Tek Hwi juga berkata kepada Pangeran Liong Bian Cu,
"Kiranya dugaannya itu tidak salah. Tadi pun aku sudah menduga bahwa tentu dia yang datang melarikan sang puteri."
Ban Hwa Sengjin berubah wajahnya dan alisnya berkerut.
"Si Naga Sakti Gurun Pasir?"
Dia sudah mendengar nama ini, nama yang amat terkenal bukan karena pendekar itu sendiri melainkan karena tempat tinggalnya, yaitu Istana Gurun Pasir yang menjadi tempat tinggal Si Dewa Bongkok, guru dari Naga Sakti itu! Benarkah pendekar yang sama tenarnya dengan nama pendekar Pulau Es itu telah datang?
"Ah, kalau benar dia yang datang, kenapa dia tidak melarikan puteranya, melainkan puteri itu?"
Terdengar Kim Cui Yan membantah.
"Benar juga pendapatmu itu, Sumoi."
"Kita harus menyelidiki hal ini,"
Kata Pangeran Liong Bian Cu.
"Kita harus dapat menyelidiki tentang putera sulung Jenderal Kao itu, mencari keterangan dari keluarganya."
"Akan tetapi mereka semua itu keras hati dan tidak takut mati, mana mereka mau membocorkan rahasia Si Naga Sakti?"
Ban Hwa Sengjin meragu.
"Kalau Paduka suka memaafkan kami berdua guru dan murid, maka saya dapat menyelidikinya dengan menyamar sebagai Jenderal Kao dan bicara dengan mereka!"
Tiba-tiba Hek-sin Tow-ong yang melihat kesempatan baik terbuka itu segera berkata.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu mereka akan membuka semua rahasia tentang putera sulung dari jenderal itu. Akan tetapi tentu saja lebih dulu saya harus mengenal mereka, satu-satu, dan apa hubungan mereka dengan jenderal itu."
Pangeran dan koksu saling pandang dan diam-diam koksu memberi persetujuan dengan anggukan kepalanya. Memang tidak ada untungnya kalau hanya membunuh kedua orang guru dan murid ini, dan kalau dapat mempergunakan mereka sebagai pembantu, memanfaatkan kepandaian mereka menyamar, agaknya akan banyak berguna dan menguntungkan. Pula, mereka itu bukanlah musuh-musuh golongan, bahkan orang-orang segolongan dan perbuatan mereka semalam di benteng itu hanya terdorong oleh pekerjaan mereka sebagai maling yang menghendaki keuntungan dalam setiap perbuatan mereka!
Demikianlah, setelah mempelajari gerak-gerik Jenderal Kao dan mengenal semua keluarga jenderal itu, Si Raja Maling lalu menyuruh muridnya yang melakukan penyamaran. Dia sudah percaya benar akan kepandaian Swi Hwa dalam hal menyamar, bahkan kelincahan dara itu membuat Swi Hwa tidak kalah pandai daripada sang guru dalam meniru gerak-gerik orang lain. Selain ini, juga Raja Maling ini hendak menonjolkan jasa muridnya karena sesungguhnya semua ini dilakukannya untuk menyelamatkan sang murid dari hukuman berat. Dan usaha yang dilakukan oleh Swi Hwa memang berhasil baik sekali! Semua keluarga jenderal itu tidak ada yang tahu bahwa yang bercakap-cakap dengan mereka di luar pintu jeruji besi itu bukanlah Jenderal Kao Liang! Bahkan isteri sang jenderal sendiri tidak mengenal kepalsuan ini. Mereka saling bercakap tentang lolosnya Puteri Bhutan,
Dan Swi Hwa sebagai Jenderal Kao menyatakan dugaannya kepada keluarganya bahwa mungkin yang melarikan sang puteri adalah Kao Kok Cu, putera sulungnya atau Si Naga Sakti itu. Akan tetapi keluarganya membantah. Tidak mungkin, kata mereka, karena kalau benar Naga Sakti yang datang, tentu puteranya, Kao Cin Liong, yang akan diselamatkannya lebih dulu, atau juga ayah ibunya, bukan puteri dari Bhutan itu! Dari percakapan ini, Swi Hwa mendengar tentang semua riwayat Jenderal Kao Liang, dan juga betapa jenderal itu telah menyuruh puteranya yang ke tiga, yaitu Kao Kok Han, untuk mencari Naga Sakti dan memberi tahu tentang segala malapetaka yang menimpa keluarga Kao. Semua yang diketahuinya dari hasil percakapan ini, oleh Swi Hwa dan gurunya dilaporkan kepada Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya,
Melihat betapa dara itu dalam melakukan penyamaran sungguh amat mengagumkan, pangeran ini dan koksu menerima mereka berdua sebagai pembantu-pembantu mereka karena Pangeran Liong Bian Cu memang ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang pandai, terutama dari golongan hitam untuk membantunya. Dan sesungguhnya Hek-sin Touw-ong juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang memang sudah diincarnya untuk membantunya, bahkan ketika terjadi pertemuan di lembah ini antara para tokoh hitam, Hek-sin Touw-ong juga diwakili oleh Ang-siocia, muridnya itu. Mengingat akan semua inilah, maka pangeran dan koksu memaafkan pengacauan mereka berdua di dalam benteng semalam, dan menarik mereka sebagai pembantu dan sekutu!
"Bagaimana kita menyeberang lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?"
Syanti Dewi bertanya ketika dia bersama Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang hari itu, melihat air laut yang bergelombang, luas dan sampai ke kaki langit tidak nampak ada tepi atau pulau itu.
"Dengan kapal tentu saja. Kapalku sudah menantiku di sini,"
Jawab wanita cantik itu sambil tersenyum. Kemudian Ouw Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan pakaiannya, memukulkan ujung anak panah itu ke atas batu dan anak panah itu pun terbakarlah, mengeluarkan asap berwarna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya menggunakan jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu saja, dia melontarkan anak panah itu ke udara. Nampak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru nampak nyata. Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat kemudian, nampak sinar asap biru meluncur di sebelah barat.
"Nah, itulah mereka!"
Kata Ouw Yan Hui dengan wajah girang sambil memandang ke barat. Syanti Dewi juga ikut memandang dan tidak lama kemudian, muncullah sebuah kapal yang amat indah. Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak buah menurunkan sebuah perahu kecil yang didayung oleh empat orang dengan cepat menuju ke pantai. Setelah perahu itu tiba di pantai, barulah nampak oleh Syanti Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu adalah wanita-wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas sehingga dari jauh tidak kelihatan bahwa mereka itu wanita.
"Tocu telah pulang!"
Mereka berseru dengan girang dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Ouw Yan Hui yang mereka sebut tocu (majikan pulau). Ouw Yan Hui hanya tersenyum, kemudian menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke dalam perahu kecil yang segera didayung dengan cepat oleh empat orang wanita itu menuju ke kapal besar. Setelah tiba di kapal dan naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah wanita, muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya bersih. Dan begitu sang tocu naik ke atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada Ouw Yan Hui! Mereka bersikap seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata amat mewah.
"Hei, kalian semua lihatlah baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku dan kalian harus bersikap hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia."
Semua orang yang masih berlutut itu memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut "Siocia!"
Dengan suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali. Dia memang sudah biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di tempat ini dia merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan secara otomatis, keagungannya sebagai seorang puteri seketika timbul dan dia mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai tanda menerima penghormatan itu. Terdengar suara bisik-bisik memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi isyarat agar kapal segera dilayarkan.
Sibuklah semua anak buah kapal itu dan Syanti Dewi mengagumi ruangan-ruangan yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan Hui mengajaknya masuk ke dalam bilik kapal yang cukup luas. Di situpun mereka disambut oleh para pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka sibuk melayani sang tocu, menyediakan air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan bersih, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan hidangan. Ouw Yan Hui mandi dan bertukar pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah daripada yang dipakainya tadi, dan sehabis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti Dewi dipersilakan mandi pula dan puteri ini kembali mengagumi kamar mandi tocu itu di dalam kapal yang indah dan lengkap. Air hangat dalam kolam air yang berbau harum membuat tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya dengan pakaian yang serba baru!
Pakaian itu adalah, pakaian Ouw Yan Hui yang memerintah pelayan untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh kedua orang wanita cantik ini memang tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan Hui dapat pula dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas. Kemudian Sang Puteri Bhutan dipersilakan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi gurunya itu. Hidangannya juga serba mewah, tidak kalah oleh masakan di restoran-restoran besar. Tahulah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain gagah perkasa dan lihai sekali, jua amat kaya raya! Syanti Dewi tidak tahu arah mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan tetapi, cuaca telah berubah gelap dan para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu masih terus berlayar.
Ouw Yan Hui mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka tidur sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur. Syanti Dewi merasa demikian aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan nyenyak sekali, tanpa mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan nyanyian membangunkannya. Cepat dia menengok dan ternyata bahwa Ouw Yan Hui telah pergi, karena tempat tidurnya kosong dan dari jendela bilik kapal yang ditutup tirai biru tipis itu menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi! Betapa nyenyaknya dia tidur! Seperti telah mengikuti semua gerak geriknya begitu dia duduk, datanglah seorang pelayan yang berkata dengan sikap hormat dan suara halus,
"Siocia, air untuk mandi telah siap. Siocia menghendaki air hangat atau air dingin?"
"Dingin saja,"
Jawab Syanti Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk.
"Sudah siap di kamar mandi, Siocia."
"Ke manakah perginya.... Tocu?"
"Tocu sudah menanti di geladak kapal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan beliau."
Ah, jadi suara musik dan nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk menyambut kedatangan Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke kamar mandi, diikuti oleh pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan pakaian baru yang sudah dipersiapkan. Setelah selesai mandi dan melihat betapa pakaian yang diperuntukkan dia amat bagusnya, dia berseru,
"Ah, untuk apa pakaian begini indah dan mewah?"
"Atas perintah Tocu, Siocia. Untuk menghadiri penyambutan ini!"
Jawab pelayan dengan tegas dan singkat, agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini. Syanti Dewi cepat mengenakan pakaian indah itu, dibantu oleh pelayan. Setelah selesai, seorang pelayan lain datang menghadap dan memberl hormat.
"Tocu minta kepada Siocia untuk makan pagi di geladak sambil menikmati pesta sambutan."
Hampir Syanti Dewi tertawa. Bukan main penolongnya ini! Agaknya mempunyai kehidupan yang amat mulia dan mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau seorang ratu saja! Dia pun lalu berjalan keluar dari kamar, didahului oleh pelayan tadi dan ketika dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi kembali merasa kagum bukan main. Kiranya kapal itu telah berlabuh di pantai sebuah pulau yang subur sekali, penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti sebuah taman yang amat besar, luas dan indah.
Sejauh mata memandang, tidak nampak rumah melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka! Seperti pulau sorga dalam dongeng saja! Dan di pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang menari-nari amat indahnya, lemah gemulai, dengan melambaikan selendang-selendang yang beraneka warna, dengan gerakan berirama sehingga selendang-selendang yang beraneka warna itu seperti bunga-bunga yang berkembang dan mekar. Mereka menari sambil menyanyi, diiringi musik yang dimainkan oleh wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun pria di situ, semua wanita belaka, dari yang berpakaian pelayan, berpakaian penjaga atau perajurit, sampai para penari dan pemain musik, semua perempuan dan jumlah mereka amat banyak, tak terhitung oleh Syanti Dewi yang berdiri bengong.
"Ah, engkau sudah bangun, Syanti? Mari, duduklah di sini, enak makan di sini mandi cahaya matahari pagi sebelum panas sambil menikmati tarian dan nyanyian!"
Syanti Dewi menengok dan dia melihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan hidangan yang sudah lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan berdiri di dekat situ dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik bangku yang memang sudah dipersiapkan untuk Syanti Dewi.
"Terima kasih, Enci"
Kata Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan hidangan dan minuman untuk puteri itu. Mereka berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang sengaja diadakan untuk menyambut pulangnya Ouw Yan Hui.
"Enci, apakah setiap kali kau bepergian, pulangnya disambut seperti ini?"
Syanti Dewi bertanya. Wanita cantik itu tersenyum.
"Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam beberapa tahun ini aku tidak pernah meninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa girang melihat aku pulang, agaknya mereka itu khawatir karena sudah beberapa pekan lamanya aku tidak pulang. Mereka itu menganggap aku sebagai ratu mereka, Syanti."
"Enci, engkau memang pantas menjadi ratu! Pulau ini milikmu?"
Wanita itu mengangguk.
"Begitulah. Pulau ini kosong, tidak ada orangnya, dan punghuninya hanyalah ular-ular beracun, bahkan di sini terdapat ular beracun paling hebat yang kulitnya seperti emas, dan dinamakan Kim-coa. Tidak ada nelayan berani mendarat di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini yang kuberi nama Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur sekali, maka setelah lewat belasan tahun, kau lihat pulau ini telah berubah menjadi tempat yang menyenangkan sekali, dan aku hidup bersama lima puluh orang anak buahku di tempat ini dengan bahagia."
"Belasan tahun? Engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu engkau datang ke tempat ini ketika masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak engkau dapat menaklukkan ular-ular beracun dan dapat berlayar sampai di tempat terpencil ini? Dan.... menurut ceritamu, kau pernah bersuami.... eh, apakah kalian dahulu juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini tidak ada tetangga.... ataukah kau maksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara pelayan-pelayanmu ini?"
Ouw Yan Hui tersenyum geli.
"Ah, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu aku tidak tinggal di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah membunuh mereka, aku menjadi buronan dan aku melarikan diri dengan perahu, sampai akhirnya tiba di sini!"
"Tapi.... tapi kau tadi bilang bahwa engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun...."
Ouw Yan Hui mengangguk.
"Sudah tujuh belas tahun."
Syanti Dewi terbelalak.
"Mana mungkin? Tentu ketika itu engkau baru berusia paling banyak delapan tahun, Enci...."
"Ketika pertama kali aku mendarat di, pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti, sekitar dua puluh dua tahun."
"Ahhh....! Tapi.... tapi...."
Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah wanita itu penuh selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun.
"Kau kira berapakah usiaku, Syanti? Sudah empat puluh tahun."
"Tidak mungkin!"
Puteri Bhutan itu berseru. Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tersenyum lebar, hampir tertawa.
"Baru melihat aku saja engkau sudah terheran-heran, apalagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya."
"Siapakah Bibi Maya?"
"Dia adalah guruku, guru dalam ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia kalau kebetulan dia berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat. Kasihan para pelayan di istanaku yang sudah lama menanti-nanti."
Keheranan demi keheranan, kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti Dewi semenjak dia dilarikan oleh Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia menjadi tawanan sampai dia mendarat di Kim-coa-to.
Pulau itu tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup besar untuk ditinggali oleh Ouw Yan Hui bersama lima puluh orang anak buahnya itu. Merupakan sebuah perkampungan berikut ladang yang ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon-pohon buah. Terdapat belasan pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anak buah majikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai tidak nampak karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan yang tidak terlatu besar, akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau Ouw Yan Hui menyebut rumahnya itu istana karena memang indah seperti istana raja saja! Dan di belakang istana itu terdapat sebuah taman yang indah sekali, merupakan inti dari pulau yang sudah merupakan taman besar itu.
Benar saja seperti yang telah diduganya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas geladak kapal dan tidak melihat adanya seorang pun pria, ternyata di atas pulau itu memang sama sekali tidak ada prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak ada wanita yang sudah tua, paling tua berusia tiga puluh tahun dan rata-rata memiliki wajah bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja! Akan tetapi, setelah segala pengalamannya yang mengerikan terjatuh ke tangan orang-orang jahat, kini berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi merasa aman. Hanya satu hal yang membuat Syanti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat kecantikan wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat puluh tahun.
Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan, memang terdapat ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan tetapi tidak seperti ini, sudah berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua puluh lima tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal wanita berusia empat puluh tahun ini sudah pernah bersuami, pernah pula mengandung dan melahirkan! Setelah tinggal di Pulau Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih ginkang kepada Syanti Dewi. Mula-mula Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti permainan kanak-kanak saja. Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu-kupu terbang dan menangkapnya, akan tetapi dari seekor kupu-kupu dia lalu disuruh menangkap dua ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya.
Dia dilatih untuk bersamadhi, mengatur pernapasan, dan bagaimana dia harus mengerahkan sinkang di waktu berloncatan mengejar kupu-kupu. Jangan dikira mudah mengejar kupu-kupu, terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang amat lincah dan pandai mengelak. Pertama kali mengejarnya, seekor kupu-kupu saja baru dapat ditangkapnya setelah Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar-ngejarnya sampai berjam-jam lamanya. Akan tetapi, setelah Syanti Dewi memperoleh kemajuan dan mulai memiliki gerakan yang lincah dan gesit sekali, dia dapat menang-kapnya dengan sekali lompat, dan setelah lewat dua bulan, dia dapat menangkap lima ekor kupu-kupu hanya dengan beberapa kali loncatan saja! Setelah itu, Ouw Yan Hui lalu mengajarnya untuk menangkap burung terbang!
"Aih, Enci Hui, mana mungkin aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak bersayap seperti burung!"
Syanti Dewi berkata penuh keraguan.
"Kau lihatlah aku!"
Kata wanita itu sambil memandang ke atas, ke arah pohon-pohon di mana terdapat beberapa ekor burung berwarna coklat dengan dada putih.
"Akan kutangkap burung-burung itu!"
Tiba-tiba tubuhnya lenyap, berkelebat ke atas dan dengan mata terbelalak Syanti Dewi melihat, bayangan wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang pohon lalu disusul suara burung-burung mencicit ketakutan. Sesosok bayangan berkelebat turun dan tahu-tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di masing-masing tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beterbangan di antara daun-daun pohon itu!
"Hebat, Enci! Kau hebat bukan main!"
Syanti Dewi berseru.
"Kalau kau tekun berlatih, engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari kita latihan di lian-bu-thia dengan burung-burung ini!"
Syanti Dewi diajak ke ruangan latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui melepaskan empat ekor burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam ruangan itu, akan tetapi tidak dapat keluar karena jendela dan pintunya sudah ditutup rapat. Atas petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejar-ngejar empat ekor burung itu. Dia menggunakan kegesitannya dan kelincahannya yang diperoleh selama berlatih menangkap kupu-kupu, akan tetapi sampai sehari itu, belum juga dia berhasil menangkap seekor pun di antara burung-burung itu!
Ternyata jauh sekali bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan burung yang jauh lebih gesit dan cepat itu! Kembali Syanti Dewi harus dengan tekun melatih samadhi dan pernapasan, dan tiada bosan-bosannya dia berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui selalu menggantikan burung-burung itu dengan burung-burung baru yang segar dan lebih gesit, akan tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa, bahkan kadang-kadang di waktu malam Syanti Dewi berlatih seorang diri di dalam lian-bu-thia, akhirnya Puteri Bhutan itu berhasil juga menangkap burung terbang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi beberapa bulan kemudian dia dapat menangkap empat lima ekor burung yang dilepas oleh Ouw Yan Hui di dalam ruangan silat itu!
"Bagus, engkau memang berbakat dan untungnya engkau pernah mempelajari dasir-dasar ilmu silat tinggi dari pendekar-pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah menguasai dasar-dasar ginkang. Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita boleh mulai berlatih di luar untuk memperoleh keringanan tubuh sehingga engkau dapat mulai belajar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat engkau dapat berlari seperti terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang. Akan tetapi ilmu ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun sekali."
Mulailah Syanti Dewi berlatih di bawah petunjuk Ouw Yan Hui.
Latihan ini dilakukan di tempat-tempat sunyi, tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang Ouw Yan Hui mengajak Syanti Dewi untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah lautan, kemudian mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di laut, bertelanjang bulat karena memang di tengah laut itu sunyi sekali, seperti dua orang peri laut kedua orang wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak dan di sini Ouw Yan Hui mengajarkan ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada Syanti Dewi! Tanpa disadarinya sendiri, Syanti Dewi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu yang mengubah dirinya sama sekali, dari seorang puteri yang biarpun mengenal ilmu silat namun tergolong lemah di antara tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi seorang wanita yang memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang sukar dicari tandingannya.
Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi pada dirinya, akan tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul dengan Ouw Yan Hui dan selalu meniru contoh-contoh yang diberikan wanita itu dalam berlatih ilmu, maka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui juga menular kepada Syanti Dewi! Puteri Bhutan itu kini makin cantik, atau makin pesolek, makin angkuh dan tinggi hati, juga keramahan pada wajahnya lenyap, berubah menjadi dingin! Akan tetapi karena dinginnya ini bukan terpengaruh batinnya, melainkan pengaruh dari luar, maka gadis yang sudah dewasa ini, yang rindu akan belaian kasih sayang pria pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api, sehingga karena dibungkus oleh sifat dingin yang ditularkan Ouw Yan Hui maka Syanti Dewi kini seperti gunung berapi yang tertutup salju!
Di sebelah timur daratan Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil. Terutama agak ke utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak terhitung banyaknya, pulau-pulau yang masih terasing dan masih banyak yang kosong. Di ujung utara, di ternpat terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat sebuah pulau di antara pulaa-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam dongeng para tokoh kang-ouw, yang dinamakan Pulau Es! Jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah melihat pulau ini, karena selain sukar sekali didatangi, juga kebanyakan orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut kepada penghuninya yang lebih terkenal daripada pulau itu sendiri. Penghuni Pulau Es atau majikan dari Pulau Es terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman. Baru menyebut namanya saja, semua orang dari golongan hitam atau kaum sesat sudah menggigil ketakutan.
Para pembaca cerita Pendekar Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal siapa adanya Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah Suma Han, dan kini Suma Han atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut, sudah lebih dari enam puluh tahun. Pendekar sakti ini tinggal dengan tenang dan tenteramnya di Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang wanita yang amat mencinta suami mereka, amat setia dan juga merasa amat berbahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama suami dan madu mereka. Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa ketentera-man, ketenangan atau kedamaian hidup sama sekali bukan tergantung daripada tempat atau keadaan di luar diri kita, melainkan sepenuhnya tergantung dari keadaan batin kita sendiri!
Betapapun sunyi tempat di mana kita tinggal, namun kalau batin kita tidak hening, kalau batin kita sibuk dan bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya! Oleh karena itu, bukan hanya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di puncak gunung yang sunyi akan menderita karena kebisingan batinnya, sebaliknya orang yang berada di tengah kebisingan akan dapat menikmati keheningan batinnya. Sungguhpun tak dapat disangkal bahwa keadaan di luar itu ada pengaruhnya juga terhadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin kita sendiri. Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari penanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi. Segala macam hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan suatu fakta, dan apakah kejadian itu menjadi masalah ataukah tidak, sepenuhnya tergantung dari pikiran yang menanggapinya.
Kalau pikiran menanggapi, tentu saja timbul masalah karena pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan setelah masalah timbul, tentu saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran. Demikian pula halnya dengan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya Pendekar Super Sakti saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya yang tinggi sukar dicari bandingnya, bahkan kedua orang isterinya juga merupakan wanita-wanita yang amat lihai. Kedua orang wanita itu, baik Puteri Nirahai maupun Lulu, pernah menggegerkan dunia persilatan pada pu-luhan tahun yang lalu. Akan tetapi, kesaktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es amat sunyi itu, tetap saja bukan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka di waktu usia mereka su-dah mulai tua itu.
Selama beberapa bulan ini terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya tertindih oleh kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu, putera dari Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es selama enam tahun dan belum pernah pulang! Puteranya yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang lalu juga pergi meningalkan Pulau Es bersama adiknya itu (baca cerita Sepasang Rajawali), akan tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan memperdalam ilmunya di Pulau Es selama beberapa tahun. Kini, Kian Lee telah diutusnya untuk pergi mencari adiknya, dan sudah hampir setahun lamanya Kian Lee belum pulang sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya itu. Tentu saja hal ini membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah.
Apalagi kegelisahannya itu bertambah dengan adanya sikap dari dua orang isterinya. Mereka berdua itu selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah dan berduka karena mereka merasa rindu dan khawatir sekali. Terutama Puteri Nirahai yang sudah enam tahun tidak melihat puteranya. Sebagai wanita-wanita gagah, mereka pantang untuk memperlihatkan kedukaan mereka, akan tetapi mereka menjadi marah-marah karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan kepergian dua orang anak mereka itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati mereka kepada suami mereka dengan wajah muram. Ketika pada suatu malam, kedua isterinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja menghadapi dia makan, dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas panjang dan mendorong mangkok nasinya ke samping.
Kisah Sepasang Rajawali Eps 51 Kisah Sepasang Rajawali Eps 10 Kisah Sepasang Rajawali Eps 45