Ceritasilat Novel Online

Suling Emas Naga Siluman 9


Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Kau kah Raja Pengemis? Biar kubikin kau menjadi pengemis mati?"

   Dan dia sudah berjungkir-balik dan menyerang Sai-cu Kai-ong dengan hebatnya! Para pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu tidak lupa kepada tokoh ini. Sai-cu Kai-ong adalah seorang tokoh besar, keturunan dan ahli waris ketua-ketua Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia bernama Yu Kong Tek dan tinggal di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai sebelah selatan kota Paoteng, di Pegunungan Tai-hang-san.

   Seperti telah diceritakan dalam cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI , kakek ini pernah mendidik Kam Hong ketika pendekar itu masih kecil, bahkan dasar-dasar ilmu silat yang dimiliki Kam Hong adalah hasil didikan kakek ini. Kini, menghadapi cara berkelahi dari Ngo-ok yang aneh, dengan jungkir balik itu, Sai-cu Kai-ong tidak menjadi gentar dan dia segera mainkan Ilmu silat Khong-sim Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong). Dengan tenang dia menghadapi setiap serangan kaki atau tangan, dan dia membalikkan keadaan, yaitu menghadapi kedua kaki lawan dengan kedua tangannya, sedangkan kedua tangan lawan dihadapi dengan kedua kakinya! Artinya, dia menangkis tendangan-tendangan kaki dengan tangan, sebaliknya menangkis pukulan-pukulan tangan dengan kaki!

   Terjadilah perkelahian yang amat aneh dan seru sehingga keadaan di situ menjadi semakin ribut. Setelah kini ada yang berani turun tangan menyerang Yeti, maka mulailah beberapa orang kang-ouw mencoba-coba untuk merampas pedang di tangan Yeti itu. Mereka seolah-olah membantu Si Ulat Seribu, padahal tentu saja maksud mereka tidak demikian, melainkan mereka menyerang Yeti untuk dapat merampas pedang itu. Akan tetapi sungguh akibatnya hebat sekali. Beberapa orang di antara mereka terkena sambar sinar pedang keramat itu dan roboh tewas, ada pula yang dirubung ulat-ulat dari lengan Si Ulat Seribu sehingga jatuh beberapa orang lagi menjadi korban. Akan tetapi ada pula yang masih terus mengurung Yeti sehingga Hong Bu yang melihat keadaan itu menjadi khawatir sekali akan keselamatan Yeti.

   Tiba-tiba Wan Tek Hoat tertawa-tawa dan dia pun lalu masuk ke dalam medan pertempuran! Memang dia sedang bingung karena kedukaannya mencari-cari kekasihnya tanpa hasil. Maka dia pun berkelahi seperti orang bingung, kadang-kadang membantu Sai-cu Kai-ong, kadang-kadang dia membantu Yeti, dan adakalanya juga dia menyerang Yeti! Akan tetapi anehnya belum pernah dia menyerang Sai-cu Kai-ong! Maka terjadilah perkelahian yang simpang-siur akan tetapi karena dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi, maka menjadi pertempuran yang amat seru dan angin pukulan yang menyambar-nyambar amat dahsyatnya. Selagi pertempuran yang kacau itu berlangsung dengan serunya, tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu yang diiringi oleh bunyi musik yang amat indah.

   Sungguh merupakan hal yang teramat aneh di tempat seperti itu, di tengah-tengah orang yang sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu diiringi suara musik yang demikian indahnya. Tentu saja suara aneh ini membuat semua orang terheran-heran dan otomatis yang sedang berkelahi itu dengan sendirinya berhenti dan semua orang berloncatan mundur, membuat Yeti dan Wan Tek Hoat menjadi bingung. Yeti berdiri bengong seperti tidak tahu harus berbuat apa, dan Tek Hoat terkekeh aneh, akan tetapi keduanya lalu diam dan juga seperti terpesona oleh suara nyanyian dan musik itu. Suara itu adalah suara wanita, amat merdu, akan tetapi juga mengandung tenaga yang mujijat dan seolah-olah dapat meredakan panasnya hati mereka semua.

   Semua mata memandang ke arah datangnya suara dan dari bawah puncak datar itu muncullah seorang pemuda yang diiringkan oleh belasan orang dayang yang berpakaian indah dan berwajah cantik-cantik. Pemuda itu sendiri adalah seorang pemuda tanggung, kurang lebih lima belas tahun usianya, berwajah tampan sekali dan kulit mukanya halus, sepasang matanya yang lebar itu mengandung sinar jernih dan tajam. Di belakangnya ada seorang dayang yang membawa sebuah bendera yang berwarna merah dan ada sulaman benang emas yang berbunyi KIM SIAUW SAN KOK (Lembah Gunung Suling Emas). Setelah tiba di atas pucak datar yang menjadi tempat pertempuran itu, Si Pemuda Tanggung memandang kepada mereka semua, lalu memandang kepada mayat-mayat di atas tanah, kemudian dia berkata kepada seorang dayang yang berpakaian kuning,

   "Kui Hwa, lenyapkan mayat-mayat itu untuk membersihkan tempat kita."

   Wanita berpakaian atau berbaju kuning itu mengangguk,

   Kemudian mengeluarkan sebuah botol yang bentuknya seperti tubuh ular, membuka tutup botol dan begitu dia memercikkan sedikit cairan berwarna putih seperti perak ke atas tubuh mayat-mayat itu, maka nampaklah asap mengepul tebal dan dalam waktu beberapa menit saja mayat-mayat itu lenyap menjadi cairan kuning dan akhirnya cairan itu pun lenyap masuk ke dalam tanah di antara salju! Semua orang menjadi bengong, apalagi mereka yang tahu akan obat-obatan seperti Sai-cu Kai-ong, karena dia tahu bahwa obat yang dapat mencairkan mayat secepat itu hanya terdapat dalam dongeng saja dan dia sendiri belum pernah menyaksikannya dengan mata kepala sendiri! Kini tinggal bau yang tidak enak saja tercium di tempat itu, sedangkan mayat-mayat itu lenyap sama sekali, berikut ulat-ulat gundulnya!

   "Lan-hwa, lenyapkan bau busuk agar berobah wangi."

   Kembali pemuda itu berkata, suaranya halus dan tenang seolah-olah di situ tidak ada orang lain kecuali dia dan para dayangnya! Seorang dayang berbaju hijau yang juga muda dan cantik mengangguk, lalu mengambil sebuah botol merah, menghampiri bekas tempat mayat dicairkan tadi, dan ketika dia membuka tutup botol itu dan memercikkan sedikit isinya ke atas tempat-tempat itu, terciumlah bau yang sedap harum dan lenyap sama sekali bau tidak enak tadi, membuat semua orang merasa seolah-olah mereka berada di taman yang penuh dengan bunga! Kini pemuda itu memandang kepada semua orang yang berada di situ, dan ketika pandang matanya bertemu dengan Yeti, dia membelalakkan sepasang matanya yang lebar dan indah itu,

   "Aih, kiranya inikah yang selama ini didesas-desuskan sebagai Yeti? Dan dia pula yang telah menemukan pedang kami? Betapa anehnya!"

   Pada saat itu, Hong Bu yang sejak tadi khawatir akan keselamatan Yeti yang dikeroyok, kini merasa lega dengan munculnya pemuda yang tampan halus itu. Akan tetapi dia terkejut menyaksikan kelihaian pemuda itu menyingkirkan mayat-mayat dan bau-bau mayat dicairkan, dan dia juga mendengar ucapan terakhir tadi. Maka meloncatlah dia keluar dari balik batu besar, mendekati Yeti dan memegang lengan Yeti seperti hendak melindungi.

   "Memang Yeti yang menemukan pedang ini, akan tetapi sama sekali tidak pernah merampas pedang seperti yang akan dilakukan oleh semua orang yang tak tahu malu ini!"

   Dia menentang pandang mata semua yang hadir dengan penuh keberanian.

   "Melainkan ada orang yang menusukkan pedang ini di pahanya. Lihat, pahanya masih juga belum sembuh. Dan sekarang, kembali dia dikejar-kejar hendak dibunuh dan dirampas pedangnya! Sungguh manusia merupakan mahluk paling kejam dan licik di dunia ini!"

   Pemuda tampan itu seperti tercengang mendengar ini dan sampai lama matanya menatap wajah Hong Bu seperti orang tidak percaya akan apa yang didengarnya.

   "Siapa kau?"

   Akhirnya pemuda itu bertanya, suaranya mengandung keheranan dan mungkin kekaguman.

   "Aku Sim Hong Bu, dan aku adalah satu-satunya manusia yang menjadi sahabat Yeti!"

   Jawab Hong Bu dengan bangga dan berani. Yeti agaknya senang mendengar ini, tangan kirinya mengelus-elus rambut kepala Hong Bu dan tangan kanan masih memegang pedang dengan kaku.

   "Cukup semua ini!"

   Tiba-tiba Sam-ok Ban Hwa Seng-jin berkata dengan suaranya yang nyaring.

   "Siapakah engkau, orang muda? Dan mengapa engkau mengatakan bahwa pedang itu adalah pedang kalian?"

   Pemuda itu menoleh dan menghadapi Ban Hwa Seng-jin.

   "Aha, kiranya Sam-ok Ban Hwa Seng-jin yang bicara! Bukankah engkau pernah menjadi Koksu dari Nepal? Dan semua saudaramu juga hadir. Hemm, juga Si Ulat Seribu, Si Golok Setan, dan bukankah Anda Sai-cu Kai-ong?"

   Katanya mengangguk kepada kakek berjenggot itu.

   "Hem, dan inikah Si Jari Maut? Betapa bedanya dengan yang pernah kami dengar. Yang di sana itu, bukankah kalian bertiga adalah Liok-te Sam-mo (Tiga Iblis Bumi)? Kulihat hadir pula Pat-pi Kim-wan (Lutung Emas Tangan Delapan), dan itu Tok-gan Sin-liong (Naga Sakti Mata Satu), mengapa matamu yang sebelah kau tutupi dengan kain? Hemm, masih banyak tokoh-tokoh yang terkenal. Pantas saja tempat ini menjadi ramai!"

   Semua orang terkejut bukan main dan mereka memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengenal pemuda ini, akan tetapi pemuda ini mengenal mereka satu demi satu, padahal mereka itu datang dari seluruh pelosok dunia, ada yang dari selatan, dari timur, dari utara dan dari barat! Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi ingin sekali tahu, kecuali tentu saja Si Jari Maut dan Yeti yang tetap tidak peduli sikapnya.

   "Siapakah engkau?"

   Tanya pula Ban-hwa Seng-jin, kini suaranya menjadi halus, dan hati-hati.

   "Anda sekalian yang telah datang ke sini hendaknya jangan membuat ribut di tempat kami ini. Ini termasuk wilayah Lembah Gunung Suling Emas, tempat keluarga kami semenjak turun tenurun ribuan tahun lamanya. Jika kalian hendak berkunjung ke tempat kami, lakukanlah hal itu dengan sopan seperti layaknya tamu-tamu terkenal. Ayah dan paman-pamanku tentu akan menyambut kalian dengan gembira. Silakan! Juga engkau, Sim Hong Bu. Sahabatmu, Yeti itu, boleh ikut, jangan khawatir, kami tidak biasa membeda-bedakan tamu, baik dia itu anjing, biruang, atau manusia!"

   Bibir itu tersenyum dan Sim Hong Bu juga tersenyum karena ucapan itu setidaknya menyatakan bahwa dalam pandangan pemuda tampan itu, derajat Yeti tidaklah kalah oleh manusia mana pun! Sungguh aneh memang. Kini pemuda itu diikuti oleh para dayangnya yang belasan orang banyaknya itu membalikkan tubuh dan berjalan perlahan pergi dari situ tanpa menoleh sedikitpun juga kepada para tamu itu seolah-olah mereka semua yakin bahwa para tamu yang sudah dipersilakan itu tentu akan mengikuti mereka. Dan memang kenyataannya pun begitu!

   Para tokoh kang-ouw itu kini melangkah dan perlahan-lahan mengikuti rombongan aneh itu menuruni puncak datar itu. Orang-orang yang tadinya saling berkelahi itu kini seperti serombongan tamu terhormat, berjalan bersama-sama tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di dalam hati masing-masing me-mang ingin sekali tahu siapa "tuan rumah"

   Yang memiliki tempat seaneh ini. Mereka tidak berani lancang melanjutkan perkelahian yang belum menentu itu, apalagi kalau sampai fihak tuan rumah turun tangan. Tentu membuat mereka yang sudah saling berlawan sendiri itu menjadi makin berabe. Maka, mereka semua ingin melihat bagaimana perkembangannya agar mereka dapat mengambil tindakan yang menguntungkan fihak masing-masing. Tentu saja kecuali Si Jari Maut yang hanya ikut-ikutan saja dengan rombongan itu, dan Yeti yang ditarik lengannya oleh Hong Bu.

   Pemuda tampan itu bersama rombongannya berjalan terus berliku-liku, melalui lereng-lereng yang terjal, menyelinap di antara bukit-bukit es yang amat banyak terdapat di situ, ada puluhan buah ba-nyaknya dan macamnya sama sehingga orang luar akan sukar sekali untuk mengenal jalan yang dilalui rombongan ini. Akhirnya mereka berhenti di tepi tebing yang curam sekali. Tidak ada jalan turun atau naik dan semua tamu itu sudah melongo keheranan mengapa rombongan pemuda itu membawa mereka ke tempat seperti itu. Akan, tetapi tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangannya dan dia sudah memegang sebatang suling. Suling dari emas! Tentu saja, melihat ini, Sai-cu Kai-ong terbelalak dan hampir saja dia mengeluarkan seruan kaget. Bukankah yang memiliki suling emas itu hanya bekas muridnya dan calon cucu mantunya,

   Kam Hong keturunan langsung dari keluarga Suling Emas? Dan kini pemuda tampan itu menyuling. Suara sulingnya merdu bukan main, bernada tinggi sampai melengking dan seperti hendak memecahkan anak telinga. Tiba-tiba pula dia berhenti meniup suling dan dari bawah tebing itu "terbanglah"

   Sehelai tambang yang merentang antara tepi tebing itu sampai ke puncak di depan sana! Kiranya tadinya tambang itu memang sudah ada, hanya tergantung ke bawah sehingga tidak nampak, dan kini, atas isarat bunyi suling, agaknya para penjaga di sebelah sana, yaitu di puncak depan yang nampak tertutup sebagian oleh awan atau kabut, menarik ujung tambang di sana sehingga kini tambang yang diikatkan ujungnya yang sebelah sini pada batu besar dan ditanamkan di tebing sini, merentang kuat-kuat dan nampak jelas.

   "Maaf, Cu-wi yang terhormat. Tidak ada jalan lain menuju ke lembah kami kecuali melalui jembatan ini. Siapa yang ingin mengunjungi tempat tinggal kami, kami persilakan mengikuti kami."

   Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan tenangnya lalu melangkahkan kaki ke atas tambang itu,

   Diiringkan oleh belasan orang dayang itu dan mereka semua lalu berjalan di atas tambang itu, merupakan barisan yang aneh. Hebatnya, selagi menyeberang jurang tebing yang amat curam itu melalui tambang, mereka yang memegang alat musik itu masih memainkan lagu merdu, seolah-olah mereka bukan sedang berjalan di atas tambang maut, melainkan sedang berjalan-jalan di kebun bunga saja! Para orang kang-ouw ,yang berada di situ adalah orang-orang pandai. Berjalan di atas tambang seperti itu saja tentu bukan merupakan hal aneh bagi mereka. Akan tetapi mereka maklum dan bergidik kalau memikirkan bahwa orang luar tidak mungkin dapat melalui tambang ini karena pasti terjaga siang malam dan sekali ada orang luar berani lancang mempergunakan tambang ini tanpa ijin,

   Fihak sana tinggal melepaskan ujung tambang di sana dan orang luar yang lancang hendak memasuki daerah itu, betapa pun saktinya dia, tentu akan menghadapi kematian yang mengerikan di dasar jurang yang luar biasa curamnya sehingga tidak nampak dari atas itu. Mereka lalu melangkah ke atas tambang dan satu demi satu mereka pun berjalan di atas tambang. Hong Bu juga tidak takut untuk berjalan di atas tambang, akan tetapi hatinya merasa ngeri juga ketika melihat ke bawah dan tidak nampak apa-apa, hanya nampak kabut saja, seolah-olah orang berjalan di atas tambang yang direntang di udara yang amat tinggi. Akan tetapi Yeti agaknya tidak sabar lagi, dan dia sudah menyambar pinggang Hong Bu lalu dipanggulnya dan dia berjalan di atas tambang itu dengan mudah dan enaknya.

   Tambang itu agak terayun-ayun karena tubuh Yeti yang lebih berat daripada yang lain. Akhirnya semua tamu tibalah sudah di tepi sana, yaitu di tebing dari sebuah lembah yang sungguh lain daripada di seberang sini. Sungguh aneh sekali karena lembah ini biarpun juga tidak terhindar dari hawa dingin dan salju, namun salju tidak begitu tebal dan di sini tumbuh macam-macam tumbuhan yang aneh-aneh, bahkan ada burung-burung dan ada binatang-binatang berkeliaran di lembah itu. Puncaknya juga tertutup salju, akan tetapi diselang-seling warna hijau daun-daun. Dan lembah itu sungguh tak mungkin dapat didatangi orang luar kecuali melalui tambang tadi karena selain terkurung jurang-jurang yang curam, juga melalui daerah-daerah yang mudah sekali terjadi salju dan tanah longsor sehingga merupakan daerah maut!

   Semua tamu, kecuali SI Jari Maut yang tidak mengacuhkan apa pun, dan Yeti, memandang ke sekeliling penuh takjub. Anehnya, Yeti kelihatan biasa saja, bahkan tenang-tenang sekarang, dan kadang-kadang ada nampak oleh Hong Bu betapa Yeti menarik napas panjang beberapa kali. Dan agaknya daerah ini bukan merupakan daerah asing bagi Yeti, seoah-olah dia berada di rumah atau daerah sendiri. Dan hal ini mungkin saja, pikir Hong Bu. Yeti memiliki kepandaian menjelajahi daerah salju itu jauh lebih hebat daripada kepandaian manusia mana pun, tentu bukan tidak mungkin kalau Yeti pernah mendatangi tempat ini melalui jalan lain betapa pun tidak mungkin hal itu dilakukan agaknya oleh manusia.

   "Cu-wi, silakan."

   Kata pemuda itu dan para tamu melihat betapa dari tempat penjagaan di tepi tebing sebelah sini, nampak beberapa orang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap memutar alat penggulung tambang dari baja. Benar dugaan mereka, tempat itu selalu terjaga dan bahkan jembatan tambang itu selalu dijaga orang sehingga tidaklah mungkin orang luar datang melalui tambang itu tanpa seijin pemilik lembah yang dinamakan Lembah Gunung Suling Emas ini! Mereka lalu mengikuti rombongan dayang dan pemuda itu menuju ke tengah lembah di mana nampak bangunan-bangunan mengelilingi sebuah bangunan besar yang megah dan mewah. Sungguh mengagumkan dan juga mengejutkan sekali bagaimana di tempat seperti itu, yang terasing dari keramaian dunia ada orang dapat membangun bangunan yang seperti istana itu!

   Dan mereka makin kagum ketika tiba di dekat bangunan-bangunan seperti perkampungan itu karena di situ memang indah, terdapat taman-taman bunga yang aneh-aneh, yang penuh dengan batu-batu ukir-ukiran, arca-arca yang dibuat secara indah sekali. Ketika melewati sebuah taman, tiba-tiba Yeti mengulur tangannya memetik setangkai bunga merah dan langsung saja memakannya, bahkan memberikan setangkai kepada Hong Bu yang tanpa ragu-ragu juga memakannya. Dan memang seperti yang diduga, Yeti tidak menipunya, bunga merah itu berbau sedap dan rasanya enak, agak masam-masam seperti buah apel! Melihat ini, pemuda itu menengok dan berkata dengan wajah berseri,

   "Aihh, kiranya Yeti mengenal Bunga Hati Merah kami!"

   Serunya gembira dan juga kagum.

   "Dia adalah penjelajah nomor satu di Himalaya, tentu saja mengenal segalanya."

   Jawab Hong Bu membanggakan sahabatnya. Pemuda tampan itu hanya tersenyum, lalu dengan tangannya mempersilakan semua orang untuk melanjutkan perjalanan menuju ke ruangan depan rumah terbesar di perkampungan aneh itu. Ketika mereka tiba di depan rumah besar dan indah seperti istana itu, nampak papan nama yang besar dan indah tulisannya dipasang orang di depan pintu gerbang.

   "ISTANA SULING EMAS"

   Demikian bunyi tulisan dan kembali Sai-cu Kai-ong tertegun. Para pembaca tentu juga sama herannya seperti Sai-cu Kai-ong, karena bu-kankah keluarga Pendekar Suling Emas adalah keluarga yang sudah habis dan kini tinggal diri Kam Hong seorang sebagai keturunan terakhir? Bagaimana di Himalaya, di tempat terasing ini terdapat perkampungan yang disebut Lembah Gunung Suling Emas, dan pemuda yang menyambut mereka itu pun tadi meniup suling emas dan kini istana ini disebut Istana Suling Emas? Apa hubungannya ini dengan nenek moyang dari cucu mantunya itu? Akan tetapi sebelum menerangkan soal yang aneh ini, lebih dulu sebaiknya kita ketahui bagaimana Sai-cu Kai-ong, tokoh kang-ouw yang sudah lama menutup diri di Tai-hang-san itu,

   Kini tiba-tiba muncul pula bersama orang-orang kang-ouw di Himalaya? Apakah dia juga ingin memperebutkan pedang keramat yang dikabarkan lenyap dari istana itu? Sesungguhnya tidaklah demikian. Seorang kang-ouw yang gagah perkasa seperti Sai-cu Kai-ong tidak sudi lagi memperebutkan sesuatu seperti sebagian besar tokoh-tokoh kaum sesat. Dia memang datang ke Pegunungan Himalaya sehubungan dengan berita membanjirnya orang-orang kang-ouw di pegunungan yang tinggi itu, akan tetapi bukan untuk mencari pedang. Andaikata dia dapat memperoleh pedang itu, tentu hanya untuk dikembalikan ke istana kaisar. Tidak, dia tidak ingin berebut pedang, akan tetapi dia mengharapkan untuk dapat bertemu dengan cucu perempuannya yang telah menghilang bertahun-tahun lamanya.

   Cucu perempuan itu adalah Yu Hwi, atau yang pernah dikenal sebagai Kang Swi Hwa atau Ang Siocia, seorang yang cantik dan lincah, penuh keberanian dan kecerdikan, pandai sekali menyamar menjadi apa pun, dan memiliki ilmu mencopet yang luar biasa. Semua ilmu ini dipelajarinya dari gurunya, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja Maling yang terkenal itu. Cucu perempuan yang menjadi tunangan Kam Hong itu melarikan diri, agaknya menolak dijodohkan dengan Kam Hong dan sampai kini tidak pernah ada beritanya! Maka, hal ini amat menyusahkan hati kakek ini dan berangkatlah dia ke Pegunungan Himalaya untuk mencari cucunya itu yang diharapkannya akan datang juga ke daerah itu untuk beramai-ramai memperebutkan pedang keramat.

   Maka, sudah tentu saja kakek ini terheran-heran bukan main ketika disambut oleh pemuda yang bersuling itu dan dibawa ke dalam perkampungan luar biasa yang dinamakan Lembah Gunung Suling Emas, karena keluarga Suling Emas adalah sahabat dari keluarganya sendiri. Semenjak ratusan tahun yang lalu, keluarganya, yaitu keluarga Yu dari Khong-sim Kai-pang adalah sahabat-sahabat dari keluarga Pendekar Suling Emas dan karena mengingat pertalian persahabatan antara nenek moyangnya itulah maka diambil keputusan untuk menjodohkan Yu Hwi, keturunan terakhir dari keluarga Yu, dengan Kam Hong, keturunan terakhir dari keluarga Kam atau keluarga Suling Emas. Dan kini tiba-tiba muncul keluarga Suling Emas lain di tengah-tengah Pegunungan Himalaya!

   Tentu saja Sai-cu Kai-ong tidak tahu akan hal ini. Akan tetapi di lain pihak, keluarga yang tinggal di Lembah Gunung Suling Emas ini adalah keluarga yang benar-benar hebat, sedemiklan hebatnya sehingga keluarga ini sudah mengenal semua orang yang mendatangi daerah mereka dan pemuda yang menyambut tadi pun sudah mengenal nama-nama mereka! Biarpun keluarga ini tidak pernah berkecimpung di dunia kang-ouw, akan tetapi mereka mempunyai banyak sekali penyelidik, apalagi dalam menghadapi perebutan pedang keramat itu, maka mereka sudah menyelidiki semua tokoh yang ikut naik ke Pegunungan Himalaya sehingga gambaran-gambaran tentang mereka telah dikenal oleh semua penghuni Lembah itu dan pemuda itu pun dengan mudah dapat mengenalnya satu demi satu!

   Keluarga Suling Emas yang berada di lembah ini bukan lain adalah keturunan langsung dari kakek kuno yang ditemukan mayatnya oleh Kam Hong di bagian lain dari lembah itu! Memang aneh sekali. Keluarga ini sendiri tidak tahu bahwa masih ada mayat nenek moyang mereka yang masih utuh dan membawa-bawa rahasia terbesar dari ilmu keturunan mereka dan sama sekali tidak mengira bahwa mayat nenek moyang mereka itu akan ditemukan oleh Kam Hong dan bahkan pemuda ini yang akhirnya mewarisi semua ilmu nenek moyang mereka! Mereka ini adalah keturunan dari kakek pembuat suling emas yang lihai itu, turun temurun tinggal di tempat itu. Karena mereka merupakan keluarga yang pandai, dan berhubungan dekat dengan keluarga Raja Nepal, maka mereka tidak kekurangan sesuatu.

   Semenjak nenek moyang mereka, mereka itu merupakan sahabat keluarga Raja Nepal dan seringkali memberi nasihat dan petunjuk, dan sebaliknya Raja Nepal juga selalu mencukupi keperluan mereka, bahkan mendirikan istana itu untuk mereka setelah pada puluhan tahun yang lalu keluarga mereka berjasa mengusir musuh-musuh yang datang dari barat Kerajaan Nepal! Jadi memang ada perbedaan besar antara keluarga Suling Emas yang berada di Himalaya ini dengan keluarga Suling Emas, yaitu keluarga Kam yang menjadi keturunan Pendekar Suling Emas Kam Bu Song. Keluarga Suling Emas di Himalaya ini adalah keturunan dari pembuat suling emas itu, sedangkan keluarga Kam adalah orang yang akhirnya mendapatkan Suling itu dan dipergunakan sebagai senjata dan akhirnya terkenal dengan julukan Pendekar Suling Emas.

   Jadi terdapat perbedaan yang besar sekali, dan tidak ada hubungannya sama sekali, kecuali hubungan melalui suling emas yang kini dipegang Kam Hong itu, hubungan antara pembuat suling dan pemakai suling. Sungguhpun terdapat suatu keistimewaan yang sama, yaitu ahli mempergunakan suling sebagai senjata! Keluarga Suling Emas di lembah ini adalah keluarga Cu, yaitu nama keturunan dari kakek pembuat suling emas, yang sesungguhnya masih seorang pangeran dari Kerajaan Cin yang suka merantau dan akhirnya menetap di Himalaya, yaitu di lembah itu. Menurut dongeng keluarga Cu, kakek ini setelah berkeluarga dengan puteri Nepal, menetap di situ dan hidup sampai beranak cucu. Akan tetapi pada suatu hari dia menghilang, katanya untuk pergi bertapa dan tidak ada lagi yang mendengar tentang dirinya.

   Anak cucunya hidup terus di lembah itu, ada pula yang pergi merantau, akan tetapi lembah itu tetap dipelihara, bahkan sekarang, keturunan terakhir yang tinggal di situ terdapat tiga orang laki-kaki. Yang pertama bernama Cu Han Bu, pria sederhana berusia empat puluh tahun, ayah dari pemuda tampan yang menyambut para tamu tadi. Yang ke dua bernama Cu Seng Bu, pria berusia tiga puluh lima dan yang ke tiga bernama Cu Kang Bu, pria berusia tiga puluh tahun. Kedua orang ini belum menikah. Tiga orang inilah merupakan keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas she Cu itu. Cu Han Bu baru mempunyai seorang anak saja, yaitu "pemuda"

   Yang menyambut para tamu tadi. Akan tetapi anak itu sebetulnya bukan seorang laki-laki, melainkan seorang anak perempuan.

   Karena ingin sekali mempunyai anak laki-laki, maka untuk menutupi kekecewaannya, Cu Han Bu dan isterinya memperlakukan anak mereka seperti anak laki-laki, bahkan sejak kecil anak itu memakai pakaian laki-laki, sungguhpun dia sadar sepenuhnya bahwa dia seorang perempuan. Sebagai seorang anak yang berbakti Cu Pek In, demikian nama anak itu, dia ingin menyenangkan hati orang tuanya dan selalu berpakaian pria sehingga dia menjadi seorang pemuda cilik sekarang! Sebagai keturunan dari kakek sakti pembuat suling emas itu, sudah tentu saja keluarga Cu ini mewarisi ilmu-ilmu yang mujijat dan tinggi sekali. Sudah belasan tahun semenjak ayah mereka meninggal, keluarga yang terdiri dari tiga orang pria perkasa ini tidak lagi berhubungan dengan Nepal. Mereka melihat betapa Nepal mulai melakukan penyelewengan, mulai mencampuri urusan kaisar di Tiongkok, maka mereka tidak mau mencampuri.

   Apalagi ketika mereka mendengar bahwa Raja Nepal yang baru mempunyai seorang Koksu yang kabarnya merupakan orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, keluarga Cu ini makin mengundurkan diri dan tidak pernah berhubungan. Oleh karena itu, maka mereka tidak mengenal Sam-ok Ban-hwa Seng-jin, sungguhpun mereka mendengar namanya, dan mungkin juga Koksu Nepal itu mendengar tentang nama mereka. Dan memang demikianlah kenyataannya. Ketika pemuda tampan yang sesungguhnya adalah Cu Pek In itu bersama rombongan dayangnya menyambut dan menyebut nama Lembah Gunung Suling Emas, berdebar rasa jantung Sam-ok. Dia sudah mendengar tentang keluarga di Himalaya ini, yang menurut berita di Nepal merupakan keluarga yang turun temurun bersahabat dengan keluarga Raja Nepal,

   Akan tetapi yang semenjak raja yang sekarang, yaitu raja yang mengangkat dirinya sebagai koksu, tidak pernah lagi terdengar beritanya dan agaknya putus hubungan antara keluarga Cu itu dengan keluarga Kerajaan Nepal. Sam-ok tidak peduli akan hal itu ketika dia masih menjadi koksu, apalagi mendengar bahwa tempat tinggal keluarga itu merupakan rahasia besar dan tidak ada seorang pun tahu presis di mana letak tempat tinggal mereka. Yang diketahui umum hanyalah bahwa tempat itu berada di Pegunungan Himalaya. Dan kini, tanpa disangka-sangkanya, dia telah ikut rombongan orang kang-ouw memasuki daerah itu, tempat tinggal keluarga Cu yang menjadi sahabat keluarga raja sejak ratusan tahun yang lalu! Dengan demikian, maka ada dua orang dalam rombongan itu yang berdebar-debar hatinya, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sam-ok Ban-hwa Seng-jin.

   Ketika para tamu yang mengikuti Cu Pek In dan rombongan dayang itu sudah tiba di ruangan depan yang luas dan terhias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah, Cu Pek In mempersilakan mereka menanti di situ dan para dayang lalu masuk ke dalam melalui pintu besar di depan dan di tengah ruangan itu. Tak lama kemudian, para tamu yang masih berdiri karena belum dipersilakan duduk itu melihat pintu itu terbuka dari dalam dan keluarlah tiga orang laki-laki. Semua orang memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang mengesankan pada diri tiga orang pria itu. Mereka itu berpakaian biasa saja, dengan sikap yang sederhana pula, akan tetapi wajah dan pandang mata mereka serius dan penuh wibawa, sedangkan sinar mata mereka yang mencorong itu mengejutkan, orang karena hal itu menunjukkan bahwa mereka itu memiliki kekuatan dalam yang hebat!

   "Ayah, inilah mereka yang membikin ribut di puncak datar. Semua, kecuali yang tewas dalam keributan antara mereka, telah kuundang datang sebagai tamu sesuai dengan perintah Ayah."

   Kata Cu Pek In sambil menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya. Tentu saja Sai-cu Kai-ong dan Ban-hwa Seng-jin, lebih-lebih dari para tamu lainnya, memandang dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik sekali. Tiga pasang mata dari pihak tuan rumah itu dengan tajamnya memandang para tamunya seorang demi seorang, dan paling lama mereka memperhatikan Sam-ok Ban-hwa Seng-jin yang menjadi tidak enak hati, kemudian mereka juga memandang Yeti sampai lama, terutama ke arah pedang yang berada di tangan Yeti.

   "Tidak salah lagi, itulah Koai-liong-pokiam keluarga kami!"

   Tiba-tiba orang termuda di antara mereka, Cu Kang Bu berseru. Orang ke tiga ini bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan selain sikapnya gagah, juga dia kasar dan jujur. Dan inilah Yeti seperti yang diceritakan Twa-so (Kakak Ipar Perempuan Tertua)!"

   Tiba-tiba terdengar suara merdu,

   "Tidak salah, dialah binatang itu!"

   Semua orang menengok karena terkejut. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, akan tetapi tidak ada yang mendengar datangnya seorang wanita di tempat itu, tahu-tahu wanita itu telah muncul saja di situ, entah sejak kapan. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, cantik sekali, dengan pinggang ramping dan gerak geriknya luwes dan lemah gemulai seperti gerakan seorang penari pandai atau gerakan tubuh seekor ular saja, dan pakaiannya juga mentereng dan mewah, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas seperti gelung rambut puteri-puteri istana!

   "Dialah binatang itu, dan itulah pedang kami! Kalian, harus merampasnya dari tangan Yeti keparat itu!"

   Bentak lagi wanita ini. Akan tetapi tiba-tiba Cu Pek In berkata,

   "Pek-bo, Ayah, Yeti itu adalah milik pemuda itu. Sebaiknya pedang itu diminta kepadanya."

   Mendengar ini, Cu Han Bu memandang kepada Hong Bu dengan penuh perhatian, seolah-olah tidak percaya kepada omongan puterinya. Mana mungkin Yeti, mahluk yang selama ini menjadi dongeng dan ditakuti semua orang, yang amat sakti sehingga Twa-sonya sendiri kewalahan menghadapinya, menjadi milik bocah ini?

   "Siapakah namamu, orang muda?"

   Tanyanya hati-hati. Memang, tokoh ini selalu bersikap hati-hati, tidak seperti Kang Bu. Sim Hong Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan keluarga yang berilmu tinggi, dan juga mereka adalah tuan rumah, maka sebagai tamu yang tahu diri dan mengenal kesopanan, dia lalu melangkah maju, memberi hormat dan menjawab,

   "Nama saya Sim Hong Bu, Locianpwe."

   Sikap dan ucapan Hong Bu ini menyenangkan hati Han Bu yang mengangguk-angguk. Bocah ini sungguh mengagumkan dan jarang pada jaman itu menemukan bocah yang begini matang, begini tabah dan berani berdiri di atas kakinya sendiri seperti orang yang sudah dewasa benar. Juga, sekali pandang saja dia dapat mengukur bahwa bocah ini memiliki bakat yang baik sekali, sinar matanya begitu tajam, gerak-geriknya begitu tenang.

   "Benarkah bahwa Yeti ini adalah milikmu, peliharaanmu?"

   Hong Bu melirik ke arah pemuda tampan itu, lalu menjawab lantang.

   "Harap jangan ada yang menghina Yeti! Dia ini sama sekali bukan binatang peliharaan, bukan binatang liar yang jahat, harap semua mengetahui betul hal ini!"

   "Huh, omongan apa itu! Kami sudah merasakan kebuasannya!"

   Tiba-tiba Ngo-ok mendengus marah, tangannya meraba daun telinganya yang pecah-pecah ketika dia berkelahi melawan Yeti itu.

   "Benar!"

   Su-ok berteriak.

   "Yeti itu mahluk buas seperti iblis!"

   Sepasang alis tuan rumah ini berkerut dan sinar matanya seperti kilat menyambar ke arah dua orang itu.

   "Tuan-tuan berada di tempat sopan, harap Tuan-tuan menjaga kesopanan dan bicara menanti giliran!"

   Kata Cu Han Bu, suaranya berwibawa. Su-ok dan Ngo-ok berdiam diri dan wajah mereka agak merah.

   "Bagaimana jawabanmu, Sim Hong Bu? Banyak orang kang-ouw mengabarkan bahwa Yeti ini jahat, kejam dan telah membunuh dan melukai banyak orang."

   Kata pula Cu Han Bu. Mereka semua masih berdiri dan semua orang kini memandang kepada Hong Bu.

   "Yang mengatakan bahwa Yeti jahat dan kejam, suka menyerang atau membunuh orang adalah bohong, Locianpwe!"

   Kata Hong Bu.

   "Yeti ini bukan binatang buas, bukan peliharaan saya, melainkan sahabat saya yang paling baik. Manusialah yang jahat, yang mengganggunya, menyerangnya sehingga dia membela diri dan untuk membela diri, tentu saja dia harus mengalahkan lawannya, kalau perlu mungkin membunuhnya. Pahanya dilukai orang ditusuk pedang, tentu saja dia menjadi marah. Semua orang agaknya hendak membunuhnya untuk merampas pedang yang ditusukkan di pahanya. Siapa yang tidak akan menjadi marah dan membela diri?"

   "Toa-so."

   Tiba-tiba Cu Han Bu menoleh kepada wanita cantik tadi.

   "Apakah dia tidak menyerangmu dan apakah Toaso yang mendahului menyerangnya?"

   Wanita cantik itu berjebi, bibirnya yang penuh dan merah itu bermain sebentar, kemudian dia berkata,

   "Memang aku yang menyerangnya lebih dulu, akan tetapi siapa yang tidak menjadi kaget melihat dia tiba-tiba muncul dan kelihatan begitu buas? Aku menyerangnya dan dia melawan, ternyata dia lihai sekali dan biarpun aku berhasil menusuk pahanya, pedang itu tertinggal di paha-nya, dia menjadi buas dan aku terpaksa melarikan diri. Lalu dia menghilang...."

   Cu Han Bu mengang-guk-angguk, lalu menghadapi semua orang kang-ouw yang berdiri di hadapannya.

   "Apakah Cu-wi sengaja berdatangan ke Himalaya untuk mencari pedang Koai-liong-pokiam itu?"

   Dia menuding ke arah pedang yang masih dipegang oleh Yeti.

   "Hemm, terus terang saja, siapakah yang tidak ingin mendapatkan pedang itu?"

   Jawab Toa-ok dengan suara halus.

   "Ketahuilah, Cu-wi. Pedang pusaka itu adalah milik keluarga kami sejak turun menurun. Nenek moyang kami yang membuatnya dan menciptakannya. Pada suatu hari pedang itu hilang dan setelah kami mendengar pedang itu berada di istana kaisar, Toa-soku ini pergi ke sana dan mengambilnya kembali. Akan tetapi malang baginya, di tengah jalan bertemu dengan Yeti dan pedang itu tertinggal di paha Yeti. Pedang itu adalah hak kami dan hendaknya Cu-wi tidak memperebutkan lagi. Untuk itu kami dapat menjelaskannya, dan untuk jerih payah Cu-wi kami bersedia mengganti sekedar ongkos perjalanan yang telah dikeluarkan."

   "Ah, mana ada aturan seperti itu?"

   Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring, suara Si Ulat Seribu. Wajahnya yang buruk menjadi semakin buruk karena marahnya. Dialah yang merasa paling dirugikan dalam perebutan pedang itu, karena selain empat orang pemikul tandu yang menjadi pembantu-pembantunya itu tewas oleh ulat-ulatnya sendiri, juga sebagian ulatnya telah mati dan lenyap pula.

   "Bagaimana bisa enak saja mengakui pedang tanpa bukti-bukti yang jelas? Kalau hanya penjelasan saja, setiap orang pun mampu mengisap jempol!"

   Wanita cantik kakak ipar keluarga Cu itu melangkah maju dan suaranya lantang ketika dia berseru,

   "Perempuan buruk! Apakah Si Ulat Seribu sudah mempunyai nyawa rangkap berani berkata seperti itu di sini?"

   Dia sudah melangkah maju, akan tetapi Cu Han Bu lalu melerai dan berkata dengan suara berwibawa.

   "Harap Toa-so suka memaafkan bicaranya. Ingat, siapa dia dan sudah patutlah kalau orang seperti dia bicara demikian."

   Agaknya Sang Toa-so itu cukup segan terhadap adik iparnya ini maka dia mundur lagi dengan mulut cemberut. Cu Han Bu lalu berkata kepada Sim Hong Bu, suaranya ramah dan halus.

   "Orang muda, apakah engkau percaya kepada kami keluarga dari Lembah Gunung Suling Emas? Kalau. percaya, serahkan pedang itu kepadaku untuk dipergunakan sebagai bukti bahwa memang kami yang berhak atas pedang itu."

   Sim Hong Bu cepat berkata.

   "Tentu saja, Locianpwe. Saya kira, Yeti pun tidak akan serakah mengukuhi pedang bukan miliknya, apalagi saya. Hanya kami mohon agar pedang benar-benar dikembalikan kepada yang berhak."

   Setelah berkata demikian, dia menoleh kepada Yeti dan berkata halus.

   "Sahabatku Yeti, tolong pinjamkan sebentar pedang itu."

   Aneh sekali, sejak tadi Yeti diam saja seperti termenung, dan mendengar ucapan Hong Bu itu dia segera menurunkan tangannya yang memegang pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Sim Hong Bu. Hong Bu mengambil pedang itu dan menyerahkannya dengan sikap hormat kepada Cu Han Bu. Tuan rumah ini mengangkat pedang tinggi-tinggi di atas kepalanya.

   "Pedang Koai-liong-pokiam ini adalah pedang pusaka buatan nenek moyang kami, oleh karena itu kami tahu segala hal-ihwalnya, riwayatnya dan rahasia-rahasianya. Ada rahasia pada pedang ini. Cu-wi sekalian boleh mencoba dan mencarinya. Kalau tidak ada yang tahu, barulah kami akan menunjukkan rahasianya sebagai bukti bahwa pedang itu adalah milik dan pusaka keluarga kami."

   Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, Cu Han Bu menyerahkan pedang pusaka itu kepada orang yang berdiri paling dekat dengannya, yaitu Si Ulat Seribu tadi. Wanita bermuka buruk itu menerima pedang itu.

   Semua mata memandang dan tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran untuk melarikan pedang itu, bahkan Im-kan Ngo-ok pun tidak berani. Karena siapa yang melarikan pedang itu tentu akan berhadapan dengan mereka semua, ditambah lagi pihak tuan rumah! Dan jalan keluar dari tempat itu hanya melalui tambang. Tidak mungkin melarikan diri dengan pedang itu! Maka kini Si Ulat Seribu meneliti pedang itu, digerak-gerakkan, ditekan sana-sini, akan tetapi karena dia memang tidak tahu rahasianya, dia tidak menemukan sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali bahwa pedang itu benar-benar amat hebat, sebatang pedang yang terbuat daripada logam yang aneh sekali, agak kemerahan dan ada sinar-sinar kehijauan, amat ringannya namun membayangkan kekerasan yang tak terlawan oleh apa pun!

   
Suling Emas Dan Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sebatang pedang yang luar biasa!"

   Katanya kemudian dan dia pun mengembalikannya kepada tuan rumah.

   "Akan tetapi aku tidak melihat apa-apa yang aneh padanya."

   "Nah, jelas bahwa Si Ulat Seribu tidak dapat menunjukkan rahasianya, maka sekarang giliran orang berikutnya."

   Dan dia lalu menyerahkan pedang itu kepada tokoh lain. Pedang itu terus berpindah tangan setelah setiap orang meneliti dengan penuh kecermatan, namun biar Im-kan Ngo-ok sendiri yang terkenal sebagai orang-orang licik dan cerdik, tidak dapat menemukan rahasia itu. Orang terakhir adalah Sam-ok Ban-hwa Seng-jin yang memegang pedang itu, menerimanya dari Cu Han Bu sambil berkata.

   "Telah lama sekali kami mengenal nama penghuni Lembah Gunung Suling Emas sebagai orang-orang terhormat dan gagah perkasa, maka kini kami percaya bahwa dalam urusan pedang, ini penghuni Lembah Gunung Suling Emas tidak akan berlaku curang."

   Cu Han Bu tersenyum tenang,

   "Sam-ok Ban-hwa Seng-jin, kami pun mendengar akan namamu sebagai bekas Koksu Nepal yang pandai. Cobalah pergunakan kepandaianmu untuk mengetahui rahasia pedang yang menjadi milik nenek moyang kami ini. Bahkan Kaisar Ceng sendiri yang menyimpan pedang ini sejak dua keturunan, tidak tahu akan rahasianya. Hanya kami, pemilik sah dari pedang ini yang akan dapat menunjukkan rahasianya."

   Sam-ok memeriksa dengan teliti sekali, dari ujung pedang sampai ke gagangnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat menemukan rahasia pedang itu. Akhirnya dia mengembalikan kepada tuan rumah sambil berkata,

   "Kami tidak melihat ada rahasia apa pun pada pedang ini."

   Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu berkata.

   "Nah, Cu-wi sekalian melihat sendiri bahwa tidak ada seorang pun yang tahu akan rahasia pedang ini. Sekarang hendak kami perlihatkan."

   Tuan rumah memegang batang pedang itu dan mengacungkan pedang ke atas, ke arah udara.

   "Cu-wi, lihatlah baik-baik!"

   Tiba-tiba pedang itu mengeluarkan bunyi dan tergetar, lalu nampaklah
(Lanjut ke Jilid 09)
Suling Emas & Naga Siluman (Seri ke 11 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09
sinar berkilat keluar dari gagang pedang, melalui dua bagian meruncing yang mengapit pedang dan tak lama kemudian, jatuhlah dua ekor burung yang tadi beterbangan di atas, menggelepar-gelepar sekarat! Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya pedang itu mengandung rahasia, dapat mengeluarkan senjata rahasia seperti itu!

   "Bagus sekali!"

   Hong Bu berteriak memuji.

   "Locianpwe, bagaimana hal itu dapat terjadi?"

   Tuan rumah tersenyum, menjawab pertanyaan itu akan tetapi ditujukan kepada semua tamunya,

   "Cu-wi lihat, tanpa mengenal rahasia pedang ini mana mungkin melakukan hal tadi? Nenek moyang kami membuat pedang ini dengan menyimpan rahasia itu. Gagang pedang menyimpan jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat rahasia di dalam gagang, dan untuk menggerakkan alat rahasia itu kita harus mengerahkan tenaga sin-kang yang mengandung hawa panas sampai suhu tertentu, barulah alat itu bergerak dan jarum-jarum itu dapat keluar dengan kecepatan yang mematikan."

   Semua orang merasa kagum sekali. Akan tetapi dengan terheran-heran mereka melihat betapa tuan rumah itu menyerahkan pedang itu kembali kepada Sim Hong Bu sambil berkata,

   "Nah, terimalah kembali pedang yang kami pinjam tadi. Pedang ini telah terjatuh ke tangan Yeti dan hal ini terus terang saja terjadi karena kelengahan pihak kami sendiri."

   Dia tidak terang-terangan menyalahkan Toa-sonya sungguhpun semua tamu maklum wanita itulah yang lengah sehingga pedang menancap di paha Yeti.

   "Oleh karena itu, kalau Yeti tidak ingin mengembalikan, kami tidak menyalahkan dia dan kelak kami akan mempergunakan kepandaian untuk merampasnya kembali dari tangannya."

   Sim Hong Bu juga terkejut sekali melihat pedang dikembalikan kepadanya. Akan tetapi dia mengerti dan makin kagumlah hatinya terhadap tuan rumah yang ternyata selain gagah perkasa, juga jujur dan budiman. Maka dia lalu menerima pedang itu, menyerahkan kepada Yeti sambil berkata,

   "Yeti, kalau engkau menganggap aku sahabatmu, aku minta keikhlasanmu agar engkau mengembalikan pedang ini kepada yang berhak, yaitu kepada Locianpwe majikan dari Lembah Suling Emas ini. Akan tetapi kalau engkau tidak rela, aku pun tidak berani memaksa, hanya aku akan kecewa."

   Yeti itu mengeluarkan suara aneh, nampak ragu-ragu, sebentar memandang kepada pedang itu, kepada wajah Hong Bu, kemudian menoleh ke arah wanita cantik yang telah melukai pahanya, dan akhirnya pedang yang telah diterimanya itu dikembalikannya kepada Hong Bu dan dia menunduk, sikapnya tak acuh!

   "Yeti, engkau merelakan pedang ini dikembalikan kepada pemiliknya yang sah?"

   Tanya Hong Bu dengan suara girang sekali. Yeti itu tidak menjawab, hanya mengangguk dan tetap diam saja. Girang dan legalah hati Hong Bu.

   "Bagus, engkau sahabatku yang sejati, Yeti, jauh lebih budiman daripada manusia-manusia yang jahat di dunia ini!"

   Maka Hong Bu tidak ragu-ragu lagi menyerahkan pedang itu dengan kedua tangannya kepada Cu Han Bu sambil berkata,

   "Inilah pedang itu, Locianpwe. Yeti mengembalikannya kepada Locianpwe sebagai pemilik yang sah. Seorang gagah tidak akan menginginkan barang orang lain, dan Yeti, biarpun bukan termasuk manusia, namun berjiwa tidak kalah gagahnya dengan para pendekar."

   Cu Han Bu memandang dengan kagum kepada Hong Bu, lalu menarik napas panjang,

   "Amat sukar menemukan mahluk seperti Yeti, dan lebih sukar lagi menemukan seorang anak seperti engkau, Sim Hong Bu."

   Kemudian dia menerima pedang itu dan menyerahkannya kepada Cu Kang Bu untuk disimpan. Cu Kang Bu menerima pedang itu dengan sikap hormat, lalu membawanya masuk ke dalam. Dengan wajah cerah kini Cu Han Bu mempersilakan semua tamunya duduk.

   "Silakan Cu-wi sekalian duduk untuk menerima hidangan penghormatan kami dan untuk mendengarkan kisah tentang pedang itu sekadarnya dari kami."

   Semua orang diam-diam merasa kecewa sekali karena pedang itu telah kembali kepada majikan Lembah Suling Emas ini dan akan sukarlah bagi mereka untuk mengharapkan memperoleh pedang keramat itu. Akan tetapi terdapat hiburan bahwa mereka berhasil memasuki daerah terlarang dan rahasia ini. Hal ini sudah merupakan pengalaman yang luar biasa bagi mereka. Maka mereka pun tanpa malu-malu lagi lalu mengambil tempat duduk dan berkelompok memilih teman masing-masing. Sim Hong Bu mengambil tempat duduk di sudut bersama Yeti yang tidak mau duduk di atas kursi, melainkan mendeprok di atas lantai. Sejak tadi, Yeti nampak seperti orang yang lemas dan kesal, lebih banyak menunduk seperti orang termenung. Hidangan pun dikeluarkan oleh para dayang yang muda dan cantik dan berbau harum itu.

   Dan semua orang semakin kagum karena arak yang dihidangkan adalah arak yang amat baik dan masakan-masakan mengepulkan uap itu pun bukan masakan sembarangan dan terbuat dari bahan dan bumbu yang mahal-mahal! Tentu saja di tempat itu terdapat ruangan es yang dingin dan yang dapat dipakai menyimpan daging atau apa saja sehingga berbulan-bulan dalam keadaan masih segar! Setelah semua tamu dipersilakan makan minum, semua orang merasa puas kecuali Yeti yang tidak mau makan apa-apa sehingga Hong Bu pun merasa tidak begitu lezat makan sendirian saja, dan dayang-dayang sudah menyingkirkan mangkok piring meninggalkan cawan dan guci arak berikut penganan, tuan rumah lalu bercerita tentang pedang keramat itu. Semua orang mendengarkan dengan asyik karena memang cerita itu agak aneh.

   Kakek buyut dari tiga orang saudara Cu itu, yang bernama Cu Hak, mewarisi kepandaian nenek moyangnya dalam hal kesenian memasak dan membentuk logam, pendeknya kepandaian seorang pandai besi yang luar biasa. Akan tetapi, kalau di antara nenek moyangnya itu ahli dalam hal pembuatan benda dari logam emas, ada yang ahli perak, dan ada pula yang ahli ukir-ukir batu atau kayu, Cu Hak ini adalah seorang ahli pembuat pedang yang amat baik. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cu Hak yang sudah berusia lanjut itu bangun dalam keadaan lemah dan agaknya penyakit jantungnya kumat. Dia mengeluh panjang pendek dan tidak bangkit dari tempat tidurnya. Anak cucunya datang menjaganya, akan tetapi kakek itu tetap gelisah dan akhirnya berkata bahwa ma-lam tadi dia bermimpi melihat seekor naga terbang melayang turun kemudian menghilang ke belakang rumahnya, masuk ke bawah sebuah batu sebesar rumah yang berada di belakang rumah mereka.

   "Cari di bawah batu itu.... carilah.... tentu ada apa-apa di situ"

   Pintanya berkali-kali. Karena melihat kakek itu keadaannya payah, maka anak cucunya lalu beramai-ramai mencari. Dengan kekuatan yang disatukan, keluarga yang memang lihai dan berilmu tinggi ini mendorong batu sehingga menggelinding beberapa meter dari tempat semula, lalu digalilah tanah di bawah batu itu. Dan mereka menemukan sebongkah batu yang berwarna hijau kemerahan. Mereka membawa batu itu kepada kakek Cu Hak dan kakek yang sedang sakit itu seketika bangkit dari tidurnya, memegang batu itu dan berseru girang,

   "Hebat....! Ini adalah logam mulia! Ini adalah logam pusaka keramat. Ah, pantas saja bersemangat naga."

   Kakek itu seperti sembuh seketika dan dia pun menyibukkan dirinya di dalam dapur perapian tempat dia membuat pedang itu. Bongkahan batu yang ternyata merupakan logam mulia itu dibakar dan digemblengnya menjadi sebatang pedang yang diberi nama Koai-liong-pokiam. Diberi nama Pedang Naga Siluman karena ternyata "naga"

   Itu ternyata tidak mendatangkan berkah. Semenjak membuat pedang itu, Kakek Cu Hak menderita sakit. Akan tetapi dia memaksa diri menyelesaikan pedang itu, dan kemudian pedang itu selesai dan sempurna, dia pun meninggal dunia setelah meninggalkan pesan tentang rahasia yang terkandung dalam gagang pedang.

   "Nah, demikianlah riwayat pedang kami itu."

   Cu Han Bu melanjutkan.

   "Akan tetapi, hanya beberapa bulan setelah pedang itu jadi, pedang itu pun lenyap dari sini. Kami tahu siapa yang mengambilnya, akan tetapi itu merupakan rahasia keluarga kami dan tidak dapat kami ceritakan kepada siapapun juga. Karena itu kami tak pernah ribut-ribut dan menganggap bahwa pedang itu sudah lenyap begitu saja. Sampai kemudian setelah kami bertiga saudara menjadi dewasa, kami mendengar bahwa pedang itu tahu-tahu sudah berada di gudang pusaka istana Kaisar! Setelah mengetahui akan pedang kami itu, Toa-so kami lalu turun tangan, datang ke kota raja dan mengambil kembali pedang pusaka kami itu. Akan tetapi, dia bertemu dengan Yeti dan selanjutnya Cu-wi telah mengetahui. Demikianlah riwayat pedang itu, yang berada di tangan kaisar selama puluhan tahun tanpa kami ketahui dan sekarang pedang pusaka itu telah kembali ke dalam lingkungan keluarga kami. Maka harap Cu-wi maklumi dan tidak menjadi penasaran. Tentu saja untuk jerih payah Cu-wi, kami tidak akan tinggal diam dan kami hendak membekali Cu-wi dengan hadiah sekadarnya."

   "Nanti dulu....!"

   Tiba-tiba Si Ulat Seribu, wanita muda bermuka mengerikan itu berkata dan dia sudah bangkit dari kursinya. Mukanya yang bopeng dan pletat-pletot itu kelihatan merah, tanda bahwa arak tua telah mulai mempengaruhinya. Semua orang memandang kepa-danya dan pihak tuan rumah juga memandangnya dengan penuh perhatian.

   "Kami berterima kasih kepada keluarga Cu yang telah menerima kami sebagai tamu. Akan tetapi kami, terutama aku sendiri, bukanlah sebangsa pengemis yang datang untuk minta-minta sedekah!"

   Dia melirik ke arah Sai-cu Kai-ong yang tadi telah merugikannya. Kemudian, melihat betapa kakek ini tidak mempeduli-kannya, dia melanjutkan.

   "Akan tetapi kami adalah orang-orang gagah yang terus terang saja tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang dicuri dari istana kaisar. Kini ternyata pedang itu adalah milik keluarga Cu di sini. Biarpun kami melihat buktinya, namun tentu saja sebagai orang-orang yang biasa memandang kepada kegagahan, kami merasa ragu-ragu apakah pedang pusaka itu patut dimiliki oleh keluarga Cu. Oleh karena itu, ingin sekali aku melihat apakah sudah selayaknya dan sepantasnya keluarga Cu menjadi majikan pedang itu."

   Setelah berkata demikian, tanpa nampak dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke tengah ruangan itu. Memang Si Ulat Seribu ini adalah seorang ahli gin-kang yang luar biasa.

   Tubuhnya dapat bergerak sedemikian ringannya seolah-olah dia pandai terbang saja! Bagi para tokoh yang hadir, ucapan itu sudah cukup jelas. Wanita bermuka aneh mengerikan ini jelas menantang pihak tuan rumah itu untuk mengadu ilmu! Memang ada semacam "penyakit"

   Yang hinggap di dalam batin hampir semua tokoh kang-ouw, yaitu mereka ini haus sekali akan ilmu silat dan adu ke-pandaian. Mereka belum merasa puas kalau belum menguji ilmu orang lain yang terkenal pandai, bahkan untuk kesenangan mengadu ilmu ini mereka tidak akan menyesal andaikata harus kehilangan nyawa dalam pi-bu (adu kepandaian silat) itu! Sebelum Cu Han Bu menjawab, ter-dengar suara tertawa merdu dan Tang Cun Ciu, wanita yang cantik dan berpakaian mewah berlagak genit itu, yang disebut toanio oleh pihak tuan rumah, telah bangkit dari duduknya.

   "Hi-hi-hik, Si Ulat Seribu boleh berlagak di luar tempat ini, akan tetapi di sini tidak akan laku lagakmu. Akulah yang mencuri pedang dan kalau ada yang tidak terima dan meragukan kemampuan kami, boleh menguji kepandaiannya dengan aku. Toa-cek (Paman Terbesar), biarkan aku menandingi Si Ulat Seribu!"

   Kata-kata terakhir ini ditujukan kepada Cu Han Bu. Wanita ini adalah isteri dari kakak angkat Cu Han Bu, maka dia memanggil Han Bu dengan sebutan toa-cek,

   Kemudian kepada Seng Bu dia menyebut ji-cek (paman ke dua) dan kepada Kang Bu menyebut sam-cek (paman ke tiga), yaitu sebutan lajim dari seorang kakak ipar untuk menyebut adik-adik suaminya, yang menyebutnya untuk anaknya, sungguhpun Tang Cun Ciu ini tidak mempunyai anak dalam pernikahannya dengan mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, anak angkat dari ayah keluarga Cu itu. Si Ulat Seribu sudah menghadapi Tang Cun Ciu dan memandang tajam sekali. Dia tahu bahwa orang yang mampu mencuri pedang dari dalam gedung pusaka istana tanpa diketahui orang, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi anehnya, dia belum pernah mendengar nama wanita ini atau bertemu padanya, padahal hampir semua nama orang-orang kang-ouw yang terkenal telah dikenalnya.

   "Orang menamakan aku Si Ulat Seribu, dan aku tidak pernah melakukan pi-bu (adu ilmu silat) dengan orang yang tidak kukenal namanya."

   Kata Si Ulat Seribu dengan sikapnya yang keren. Tang Cun Ciu tertawa dan semua orang harus mengakui bahwa di samping gesit, wanita ini memang cantik dan mempunyai daya tarik atau daya pikat yang amat kuat. Apalagi kalau tertawa nampak deretan giginya yang seperti mutiara, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun akan tetapi dia nampak masih seorang gadis remaja saja!

   "Hi-hi-hik, Ulat Seribu! Sungguh julukan yang menjijikkan. Aku Tang Cun Ciu memang tidak suka memamerkan nama di dunia kang-ouw, akan tetapi orang-orang menyebutku dahulu Cui-beng Sian-li. Nah, kalau engkau ada kepandaian, majulah."

   Diam-diam Si Ulat Seribu terkejut. Ternyata dia pernah mendengar nama Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah)! Akan tetapi sudah lama sekali, sedikitnya sepuluh tahun yang lalu, di perbatasan Sin-kiang muncul nama ini yang amat menggemparkan, lalu nama itu lenyap bersama orangnya. Kiranya orangnya telah berada di Lembah Suling Emas!

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 59 Jodoh Rajawali Eps 54 Jodoh Rajawali Eps 37

Cari Blog Ini